Вы находитесь на странице: 1из 9

Memahami Pelemahan Rupiah (Secara Benar)

Previous
/
Next
By Alvin Ulido / August 25, 2015 / Bahasa
Indonesia, Economics, Macroeconomics / 202 comments
(Revisi 25/8, 9.53: beberapa orang menganggap bahwa masalah reaksi berlebihan (a.k.a.
lebay) pasar perlu diperjelas di artikel ini. Tambahan tulisan berwarna biru)
(Revisi 25/8, 21:13: memperjelas bahwa industri yang terkena cacat bawaan adalah
industri yang diproteksi dari persaingan dengan produk luar negeri. Beberapa industri
yang tidak diproteksi malah seringkali dihambat dengan penegakan hukum yang lemah
dan regulasi yang berbelit)

Oke, jadi kemarin sore kurs Rupiah terhadap Dollar AS untuk pertama kalinya tutup di
atas 14.000. Seperti biasa, banyak orang yang tidak mengerti dasar-dasar ilmu ekonomi
mulai bicara seolah-olah tahu apa duduk perkara pelemahan Rupiah.
Pertanyaan yang mungkin muncul di benak kita semua: mengapa bisa kurs Dollar AS
(selanjutnya USD) terhadap Rupiah (selanjutnya IDR) mencapai 14.000? Salah siapakah
sehingga Rupiah bisa loyo? Apa yang akan terjadi?
Dan seperti biasa, setelah kita bertanya-tanya, pemerintah menjadi pihak pertama yang
langsung disalahkan atas pelemahan Rupiah (ada benarnya, namun tidak sepenuhnya
benar). Kemudian reaksi berikutnya beragam: pesimis terhadap nasib ekonomi Indonesia,
atau mulai menuduh pasar bebas, investor asing, bahkan mungkin orang Yahudi,
Freemason, dan Illuminati. Lalu kemudian muncul reaksi anti-asing (asing aseng), atau
reaksi lainnya yang jelas-jelas bertentangan dengan logika dasar ekonomi.
Dengan demikian, sebelum penulis mencoba menjelaskan lebih lanjut tentang pelemahan
Rupiah, kita harus mengkritisi pemikiran dasar dari kebanyakan kita: bahwa Rupiah yang
lebih kuat adalah selalu baik, dan Rupiah yang lebih lemah adalah selalu jelek. Apakah
benar demikian? (Penulis akan bahas masalah ini belakangan, jadi baca dulu lebih
lanjut :))

Bagian 1: Mengapa Rupiah Melemah


Bagian 2: Apakah Semua Akibat Faktor Luar Negeri?
Bagian 3: Apakah Pelemahan Rupiah Buruk? Bagaimana Masa Depan Indonesia?

Bagian 1: Mengapa Rupiah Melemah


Kita mulai narasi kita dengan melihat apa yang terjadi di luar batas negara Indonesia.
September ini, bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, akan menentukan tingkat
suku bunga acuan untuk Dollar Amerika Serikat. Dengan semua petunjuk yang telah
diberikan oleh Federal Reserve, kebanyakan pelaku pasar berpendapat bahwa tingkat
suku bunga USD akan naik, dari 0% menjadi 0.25%. Karena suku bunga adalah harga
dari uang, cara Federal Reserve untuk menaikkan harga uang tersebut adalah
dengan menurunkan jumlah uang beredar (ingat, ketika penawaran suatu barang turun,
maka harga barang akan naik). Apa akibatnya? Kalau jumlah USD yang beredar turun,
namun jumlah mata uang yang lain (misalkan Rupiah, Ringgit, Rand, atau Reais)
tetap, maka nilai USD akan meningkat (lagi-lagi, kalau penawaran suatu barang turun,
harga akan naik).
Lalu mungkin kita bertanya-tanya, kok suku bunga Amerika Serikat naik bisa
membuat semua orang heboh?
Itu semua karena Amerika Serikat adalah perekonomian terbesar di dunia. 20% dari
seluruh barang dan jasa di dunia diproduksi di Amerika Serikat, dan USD adalah mata
uang de facto perdagangan internasional. Bayangkan kalau misalkan kalau misalkan
seekor gajah sedang mencoba masuk ke kolam renang yang kecil. Meskipun gajah
tersebut masuk perlahan-lahan ke kolam renang, ombak yang diciptakan akan tetap besar.
Begitu juga dengan Amerika Serikat.
Kemudian muncul China.
Kalau Amerika Serikat, sang perekonomian terbesar, adalah konsumen terbesar dunia
(sejak dahulu menjadibuyer of the last resort), China kurang lebih adalah pabrik terbesar
dunia. China membeli banyak barang mentah atau setengah jadi dari seluruh negara di
dunia, dari Brazil hingga Rusia. Bayangkan kalau misalkan ekonomi China melambat,
sehingga China mengurangi belanja barang mentah atau setengah jadi dari tiap negara,
termasuk Indonesia. Perlambatan ekonomi China tentu akan menurunkan ekspor dari
tiap-tiap negara di dunia, termasuk Indonesia.
Apa yang terjadi kalau ekspor melemah?
Perlu diketahui bahwa ekspor adalah salah satu sumber utama penerimaan mata uang
asing, terutama USD. Jadi, ekspor dapat digunakan untuk mewakili supply (penawaran)
USD di Indonesia. Kebalikannya, karena biaya impor dibayar dengan USD, maka impor
dapat digunakan untuk mewakili permintaan USD. Kalau misalkan ekspor turun, maka
penawaran USD akan turun, dan (lagi-lagi), harga USD akan naik.
Efek dari pelemahan ekonomi tersebut ditambah dengan kejutan tiba-tiba dari Beijing,
yaitu pelemahan nilai Renminbi terhadap Dollar (walaupun tidak lebih dari 3%) secara
tiba-tiba. Walaupun mungkin terkesan kecil, aksi ini memberi sinyal kepada pasar bahwa
pelemahan ekonomi China ternyata jauh lebih serius dari yang kita duga selama ini.

Analogi sederhana untuk


menggambarkan kondisi saat ini
di dunia adalah bahwa ada
seekor gajah yang hendak masuk
ke kolam kecil dengan pelan-
pelan (Amerika Serikat) dan ada
seekor gajah lain di tepi kolam
yang pingsan dan jatuh ke kolam
kecil yang sama (China). Ombaknya (efek negatif ke dunia) akan sangat sangat besar dan
sangat tidak mengenakkan.
Butuh bukti bahwa pelemahan ini adalah fenomena global?

Grafik di atas adalah pelemahan


beberapa mata uang eksportir
komoditas di dunia (Indonesia,
Malaysia, Brazil, Kolombia, dan
Rusia) selama sebulan terakhir.
Grafik pelemahan Rupiah adalah
yang berwarna oranye. Indonesia bahkan bukan yang paling buruk di antara hampir
semua negara yang melemah terhadap USD.
Lalu kita mungkin bertanya: kan Federal Reserve baru akan beraksi di bulan September
dan pelemahan ekonomi China belum terlihat secara nyata di data ekonomi, lalu mengapa
sudah melemah?
Jawabannya adalah kebanyakan pelaku pasar sudah memiliki ekspektasi terlebih dahulu
akan adanya pelemahan besar-besaran di seluruh dunia, dan mereka mengambil tindakan
terlebih dahulu sebelum China ataupun the Fed mengambil aksi. Kalau menunggu aksi
China atau the Fed, pelaku pasar akan merugi sangat besar (siapa cepat, dia untung).
Tapi perlu disadari bahwa semua pelemahan yang terjadi karena China dan the Fed
diperparah oleh pasar yang bereaksi berlebihan. Perlu anda ketahui bahwa para
investor (bahkan yang profesional) di sektor keuangan sangat mirip dengan ABG yang
labil dan lebay, yang suka bereaksi berlebihan ketika ada berita baik atau buruk muncul.
Sebagai akibatnya, ketika rumor buruk mengenai China dan the Fed muncul, mereka
menarik uang dari negara berkembang (mengurangi supply USD) secara besar-besaran,
jauh lebih besar dari yang seharusnya bila mereka bersikap tenang. Jadi, jangan heran
bahwa sentimen buruk apapun dapat membuat pasar gonjang ganjing seperti kemarin
kalau anda tahu bahwa orang-orang yang ada di pasar kebanyakan labil dan lebay.

Bagian 2: Apakah Semua Akibat Faktor Luar Negeri?


Daritadi penulis hanya memaparkan faktor luar negeri, namun apakah tidak ada faktor
dalam negeri yang menyebabkan Rupiah melemah?
Jawabannya sudah jelas tentu, namun mungkin tidak seperti yang kita bayangkan.
Kita bisa bagi faktor pelemahan dalam negeri dalam dua jenis: cacat bawaan dari
pemerintahan sebelumnya, dan kesalahan yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi.
Cacat bawaan Indonesia merupakan faktor serius yang memperparah efek dari China dan
Amerika Serikat. Tapi apa saja cacat bawaan Indonesia?
Pola pembangunan dari zaman dahulu yang fokus ke industri ekstraktif, sehingga
tergantung pada ekspor komoditas
Pendeknya, kekayaan sumber daya alam Indonesia adalah kutukan Indonesia. Selama
berpuluh-puluh tahun, pembangunan Indonesia sangat bertumpu pada sektor
pertambangan atau tanaman perkebunan (minyak, batubara, kelapa sawit), yang juga
menjadi tumpuan ekspor Indonesia. Tanpa perlu membangun infrastruktur yang efisien
atau memberdayakan manusia Indonesia lewat pendidikan yang mampu bersaing di pasar
internasional pun ekonomi Indonesia bisa tumbuh. Sebagai akibatnya, sektor yang
memerlukan SDM yang kuat, seperti industri elektronik maupun industri-industri canggih
(yang bernilai tambah tinggi dan tidak terlalu terpengaruh pelemahan China), tidak bisa
berkembang.
Industri yang terlalu dimanja pemerintah dan kurang berdaya saing, sehingga makin
tergantung pada ekspor komoditas
Kalau kita melihat pola industri di Indonesia, bahkan setelah 70 tahun merdeka, masih
banyak industri yang ingin dilindungi pemerintah dari persaingan dengan produk luar
negeri. Anda mungkin menganggap hal itu perlu, tapi tidakkah anda curiga ketika
berbagai industri, dari pertanian hingga manufaktur, terus menerus minta dilindungi dari
persaingan dengan alasan belum mampu bersaing? Seharusnya kalau memang alasannya
demikian, akan datang saatnya ketika industri sudah maju dan bisa dibiarkan bersaing di
kancah internasional. Namun sayangnya, kecenderungan industri ketika diproteksi adalah
bahwa industri tersebut mampu meraih keuntungan tanpa melakukan inovasi atau
melakukan efisiensi, sehingga kalau dilepas, memang tidak akan mampu bersaing. Jadi,
perlindungan dari persaingan asing malah hanya membuat industri dalam negeri tidak
efisien
Anda bisa bayangkan cacat bawaan Indonesia, yaitu industri yang diproteksi dari
persaingan dengan pihak asing. mirip seperti anak orang kaya yang manja dan tidak
pernah dipaksa untuk belajar atau bekerja (karena toh sudah kaya, buat apa
belajar/bekerja). Ketika sudah besar, anak tersebut tidak mampu bersaing dengan anak
orang-orang biasa yang belajar dan bekerja keras, sehingga minta perlindungan dari
orangtua yang kaya. Apakah pada akhirnya anak ini bisa bertahan? Jawabannya hampir
pasti tidak.
Jadi, selama Indonesia bergantung pada ekspor komoditas (terutama ke China), jangan
heran kalaupelemahan ekonomi China (yang mengurangi permintaan komoditas ekspor
Indonesia) bisa melemahkan Rupiah dan ekonomi Indonesia.
Tapi jangan lupa bahwa ada juga cacat yang merupakan akibat pemerintahan Jokowi. Apa
saja?
Pemerintah Jokowi, yang diharapkan mampu membawa reformasi pada tata kelola
ekonomi Indonesia, ternyata tidak mau mengambil keputusan yang sulit. Sebagai contoh,
setelah mencabut subsidi, ketika harga minyak naik mulai bulan Maret 2015,
pemerintahan Jokowi memaksa Pertamina untuk menanggung kerugian dari menjual
Pertamina di harga Rp 7.400/liter. Tidak hanya itu, pemerintah juga mulai mengintervensi
mekanisme pasar yang tidak pernah dilakukan pemerintah sebelumnya, seperti memaksa
Jasa Marga menurunkan tarif tol saat periode Idul Fitri, atau secara tiba-tiba memotong
kuota impor sapi secara drastis.
Anda mungkin heran mengapa hal-hal tersebut dapat menyebabkan Rupiah melemah, tapi
anda bisa lebih mengerti kalau anda berada di posisi investor asing (yang membawa
dollar ke Indonesia).
Adanya intervensi oleh pemerintah bisa mengacaukan hitungan untung rugi seorang
investor secara signifikan. Sebagai contoh, kalau misalkan investor jalan tol bisa
untung di tarif Rp. 5.000, tetapi investor tahu bahwa ia bisa dipaksa pemerintah untuk
menurunkan harga ke Rp. 3.000, ini adalah sebuah risiko bagi investor tersebut. Dan
walaupun anda bukan investor jalan tol, importir sapi, atau pengusaha minyak, kenyataan
bahwa pemerintah bisa dengan sesuka hati menaikkan atau menurunkan harga di luar
harga keekonomian akan menambah risiko anda. Belum lagi kalau pemerintah mulai
menunjukkan sentimen anti-asing, investasi anda (sebagai investor asing) bisa lenyap
karena kebijakan pemerintah di masa depan bisa menjadi tidak bersahabat dengan
investor asing.
Hal-hal tersebut adalah peningkatan risiko berinvestasi di Indonesia. Tambahkan hal itu
dengan gonjang-ganjing politik yang tidak perlu (misalkan selisih pendapat antara Rizal
Ramli, Rini Soemarno, dan Jusuf Kalla), maka risiko yang harus anda tanggung menjadi
sedemikian besar. Buat apa anda investasi di Indonesia kalau risiko rugi anda sedemikian
besar? Lebih baik anda taruh dollar anda di Filipina, Vietnam, atau Ethiopia.
Lagi-lagi, ketakutan untuk berinvestasi di Indonesia makin mengurangi supply USD di
dalam negeri dan makin menekan Rupiah.
Bagian 3: Apakah Pelemahan Rupiah Buruk? Bagaimana Masa Depan Indonesia?
Seperti halnya segala sesuatu di dunia, pelemahan Rupiah dapat dibagi menjadi
pelemahan Rupiah yang baik serta pelemahan Rupiah yang buruk.
Secara teori, pelemahan Rupiah dapat memperbaiki kinerja ekspor serta menurunkan
impor. Bila demikian adanya, pelemahan Rupiah dapat menjadi sesuatu yang baik, yang
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Bahkan beberapa negara, seperti Jepang,
Amerika Serikat, dan Uni Eropa pasca-2008 berlomba melemahkan mata uang agar bisa
mendorong pertumbuhan.
Namun kalau kita melihat data, maka kita bisa lihat bahwa ekspor dan impor Indonesia
sama-sama turun seiring dengan pelemahan Rupiah, walaupun pelemahan impor jauh
lebih tajam sehingga kondisi neraca transaksi berjalan lebih baik (ditunjukkan dengan
selisih antara ekspor dan impor yang menjadi positif). Mengapa pelemahan Rupiah tidak
meningkatkan ekspor, yang akhirnya mendorong pertumbuhan dan menstabilkan
Rupiah?
Lagi-lagi, jangan lupa bahwa komoditas ekspor unggulan Indonesia bukanlah barang
yang relatif imun dengan pelemahan ekonomi di China dan dunia, seperti semikonduktor,
komputer, komponen kendaraan bermotor, atau industri manufaktur (semuanya tidak
terlalu tergantung kepada China karena permintaan di negara-negara lain tetap besar).
Harga dan jumlah ekspor unggulan Indonesia, yaitu batubara dan kelapa sawit, sangat
tergantung kepada China. Hal ini menyebabkan pelemahan Rupiah tidak terlalu banyak
berdampak positif terhadap ekspor.
Lagipula, jangan lupa bahwa sekitar >90% impor Indonesia adalah bahan baku dan
barang modal, yang juga digunakan oleh industri manufaktur untuk membuat komoditas
yang selanjutnya akan diekspor (bagian dariglobal supply chain). Kenaikan harga barang
baku (yang diimpor) akibat USD yang naik akan membuat kenaikan daya saing (yang
seharusnya meningkat) menjadi tidak seberapa. Kombinasi penurunan permintaan
komoditas ekspor Indonesia dan bahwa kita butuh impor bahan baku untuk bisa
melakukan ekspor membuat pelemahan USD berpotensi melemahkan ekspor lebih lanjut
dan mendorong perlambatan ekonomi.
Sebagai akibatnya, mungkin Indonesia akan mengalami perlambatan ekonomi yang
cukup serius hingga 2016 atau bahkan 2017. Namun kalian yang berharap bahwa krisis
1997/1998 akan terulang sangat mungkin akan kecewa. Mengapa?
Pertama, Rupiah sudah bergerak bebas. Efek dari pergerakan bebas Rupiah adalah bahwa
pelaku usaha mengetahui bahwa ada risiko nilai tukar yang bisa merugikan bisnis
mereka, dan mengambil langkah antisipasi sejak dini. Bank serta perusahaan-perusahaan,
walaupun masih banyak berhutang dalam USD, menjadi lebih cerdas dan sudah
melindungi diri dengan FX swap sejak dini. Jelas bahwa akan muncul gelombang gagal
bayar, namun tidak akan memiliki dampak sebesar 1998.
Kedua, tata kelola bank saat ini lebih baik dibanding 1998. Pada tahun 1998, banyak bank
merupakan anggota dari sebuah konglomerasi bisnis, serta sering disalahgunakan sebagai
sumber pendanaan murah bagi kegiatan anggota dari grup bisnis tersebut tanpa
memikirkan risiko usaha. Walaupun standar penyaluran kredit masih bisa diperbaiki, anda
harus mengakui bahwa krisis 1998 memberi banyak pelajaran berharga bagi para bank
untuk makin hati-hati dalam meminjamkan uang.
Ketiga, tata kelola belanja pemerintah sudah lebih baik dibanding 1998. Pemerintah
sudah menerapkan batas defisit anggaran pada 3% PDB setelah krisis 1998, sehingga
risiko gagal bayar masih sangat rendah. Lagipula, pemerintah saat ini lebih banyak
membiayai belanjanya dari penerimaan pajak (terutama pajak pendapatan) serta
penerbitan surat berharga di dalam negeri, yang lebih aman dibandingkan penerimaan
royalti tambang atau pinjaman bilateral luar negeri seperti di zaman sebelum krisis 1998
Anda yang memerhatikan pergerakan nilai tukar akan sadar bahwa Rupiah sebenarnya
telah melemah dari posisi tertinggi selama 10 tahun terakhir, yaitu di kisaran Rp 8.500
pada sekitar tahun 2011 hingga ke Rp 14.000 pada hari ini. Skala pelemahan yang sama
(pelemahan 40%) sebetulnya tidak jauh berbeda dengan kondisi 1998, di mana Rupiah
melemah dari posisi sebelum kerusuhan Mei 1998 (di atas Rp. 8.000) hingga ke titik
nadir, yaitu Rp. 16.000 (dalam kurang dari 3 bulan). Kenyataan bahwa anda mungkin
baru sadar hari ini bahwa Rupiah telah melemah hampir 40% dalam 4 tahun, serta
pertumbuhan yang masih positif (walaupun melemah), menunjukkan bahwa hal yang
paling menentukan efek dari pelemahan nilai tukar bukanlah nilai absolut pelemahan,
namun seberapa cepat sebuah mata uang melemah.
Sebagai penutup, kita harus ingat bahwa pelemahan Rupiah kali ini adalah pelemahan
yang serius dan berpotensi berdampak buruk bagi perekonomian. Namun demikian, kalau
kita tidak tahu apa yang menyebabkan Rupiah melemah dan langsung loncat ke dalam
aksi saling tuduh, kita sama sekali tidak membantu memulihkan kondisi perekonomian.
Kita harus bersiap menghadapi pelemahan, namun jangan lupa bahwa pelemahan kali ini
mungkin merupakan sebuah peringatan yang halus bagi Indonesia untuk tidak terlena
dengan kekayaan sumber daya alam (yang ternyata bisa jadi kutukan) dan mulai
mengalihkan fokus, di jangka panjang, pada sektor yang bernilai tambah lebih tinggi
(yang memerlukan manusia berkualitas) dan tidak terlalu terpengaruh krisis.
Semoga keadaan buruk seperti ini bisa membawa kebijakan dan respons yang baik.
Semoga.

Catatan:
Beberapa pembaca mungkin akan memprotes penulis karena terlalu menyederhanakan
banyak aspek dalam penjelasan mengenai pelemahan Rupiah. Pertama, tidak ada
penjelasan mengenai exchange rate overshooting. Berikutnya, tidak ada penjelasan
mengenai pelemahan nilai tukar sebagai self-fulfilling prophecy, yang
merupakan corollary dari herd behaviour (ya, pasar tidak selalu rasional) para
investor saat ini bersentimen sangat negatif terhadap semua kelas aset di negara
berkembang. Kemudian, tidak ada penjelasan bahwa hubungan terbalik antara nilai tukar
dan net export hanya akan terwujud apabila perekonomian tersebut memenuhi Marshall-
Lerner condition. Atau ketiadaan penjelasan mengenai aksi China yang
menimbulkan currency war atau kebingungan mengenai kebijakan ekonomi
China. Penyederhanaan juga dilakukan untuk menggambarkan hubungan antara
kebijakan moneter eksternal serta peningkatan risiko internal terhadap real exchange rate;
model yang benar seharusnya menggunakan model Mundell-Fleming. Lalu mengapa
penulis tetap menggunakan penjalasan yang terlalu sederhana?
Memang penjelasan penulis tidak seakurat yang seharusnya, tapi mengingat bahwa artikel
ini ditujukan untuk pembaca awam, sangat penting untuk menyederhanakan penjelasan
sedemikian hingga pembaca tanpa latar belakang ekonomi dapat mengerti.
Faktor yang Menyebabkan
Rupiah Naik Turun dan Faktor
Kurs
26APR
Apa sih yang menyebabkan rupiah naik turun? pasti itu pertanyaan semua masyarakat.
karena naik turunnya nilai rupiah mempengaruhi perekonomian suatu negara yang
berdampak pada masyarakat. Faktor naik turunnya nilai rupiah pasti berhubungan dengan
faktor kurs. yukkk kita bahass.

Berikut ini adalah 6 Faktor Yang


Mempengaruhi pergerakkan
Nilai Tukar Mata Uang Suatu
Negara Naik/Turun:
1. Perbedaan tingkat inflasi
antara 2 negara
Suatu negara yang tingkat
inflasinya konsisten rendah akan
lebih kuat nilai tukar mata uangnya dibandingkan negara yang inflasinya lebih tinggi.
Daya beli (purchasing power) mata uang tersebut relatif lebih besar dari negara lain. Pada
akhir abad 20 lalu, negara-negara dengan tingkat inflasi rendah adalah Jepang, Jerman
dan Swiss, sementara Amerika Serikat dan Canada menyusul kemudian. Nilai tukar mata
uang negara-negara yang inflasinya lebih tinggi akan mengalami depresiasi dibandingkan
negara partner dagangnya.
2. Perbedaan tingkat suku bunga antara 2 negara
Suku bunga, inflasi dan nilai tukar sangat berhubungan erat. Dengan merubah tingkat
suku bunga, bank sentral suatu negara bisa mempengaruhi inflasi dan nilai tukar mata
uang. Suku bunga yang lebih tinggi akan menyebabkan permintaan mata uang negara
tersebut meningkat. Investor domestik dan luar negeri akan tertarik dengan return yang
lebih besar. Namun jika inflasi kembali tinggi, investor akan keluar hingga bank sentral
menaikkan suku bunganya lagi. Sebaliknya, jika bank sentral menurunkan suku bunga
maka akan cenderung memperlemah nilai tukar mata uang negara tersebut.
3. Neraca perdagangan
Neraca perdagangan antara 2 negara berisi semua pembayaran dari hasil jual beli barang
dan jasa. Neraca perdagangan suatu negara disebut defisit bila negara tersebut membayar
lebih banyak ke negara partner dagangnya dibandingkan dengan pembayaran yang
diperoleh dari negara partner dagang. Dalam hal ini negara tersebut membutuhkan lebih
banyak mata uang negara partner dagang, yang menyebabkan nilai tukar mata uang
negara tersebut terhadap negara partnernya melemah. Keadaan sebaliknya disebut
surplus, dimana nilai tukar mata uang negara tersebut menguat terhadap negara partner
dagang.
4. Hutang publik (Public debt)
Neraca anggaran domestik suatu negara digunakan juga untuk membiayai proyek-proyek
untuk kepentingan publik dan pemerintahan. Jika anggaran defisit maka public debt
membengkak. Public debt yang tinggi akan menyebabkan naiknya inflasi. Defisit
anggaran bisa ditutup dengan menjual bond pemerintah atau mencetak uang. Keadaan
bisa memburuk bila hutang yang besar menyebabkan negara tersebut default (gagal
bayar) sehingga peringkat hutangnya turun. Public debt yang tinggi jelas akan cenderung
memperlemah nilai tukar mata uang negara tersebut.
5. Ratio harga ekspor dan harga impor
Jika harga ekspor meningkat lebih cepat dari harga impor maka nilai tukar mata uang
negara tersebut cenderung menguat. Permintaan akan barang dan jasa dari negara tersebut
naik yang berarti permintaan mata uangnya juga meningkat. Keadaan sebaliknya untuk
harga impor yang naik lebih cepat dari harga ekspor.
6. Kestabilan politik dan ekonomi
Para investor tentu akan mencari negara dengan kinerja ekonomi yang bagus dan kondisi
politik yang stabil. Negara yang kondisi politiknya tidak stabil akan cenderung beresiko
tinggi sebagai tempat berinvestasi. Keadaan politik akan berdampak pada kinerja
ekonomi dan kepercayaan investor, yang pada akhirnya akan mempengaruhi nilai tukar
mata uang negara tersebut.
Dalam hal ini, pemerintah pun sudah menyiapkan sejumlah langkah yang dapat
membantu BI menjaga supaya defisit neraca transaksi berjalan tidak bertambah. Ada
delapan strategi yang disiapkan pemerintah:
Mengenakan bea anti dumping dan bea masuk pengamanan sementara sebagai respons
jika terdapat lonjakan impor barang tertentu serta penyederhanaan prosedur dan
mekanisme pengembalian.
Insentif pajak (tax allowance) bagi perusahaan yang minimal 30 persen produknya untuk
ekspor.
Insentif PPN bagi perusahaan galangan kapal.
Meningkatkan komponen biofuel agar impor BBM berkurang.
Insentif pajak bagi perusahaan asing yang tidak mengirimkan 100 persen dividennya ke
negara asal.
Merancang formulasi pembayaran pajak pemilik atau perusahaan pelayaran asing.
Mendorong BUMN membentuk reasuransi.
Mendorong dan memaksa proses transaksi di dalam negeri menggunakan rupiah.
Kepala Ekonom Bahana TCW Investment Budi Hikmat mengatakan, yang perlu
dilakukan pemerintah saat ini adalah memperkuat daya tahan dan daya saing
perekonomian dalam negeri. Caranya, dengan membenahi infrastruktur, transportasi,
kualitas sumber daya manusia, serta mencari alternatif energi.

Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Kurs Transaksi
Valuta Asing
Jumlah aliran valuta asing yang
besar dan cepat untuk memenuhi
tuntutan perdagangan, investasi
dan spekulasi dari suatu tempat yang surplus ke tempat yang defisit dapat terjadi karena
adanya beberapa faktor atau kondisi yang berbeda sehingga berpengaruh dan
menimbulkan perbedaan kurs valas atau forex rate masing-masing tempat.
Posisi Balance of Payment (BOP). Balance of Payment atau neraca pembayaran
internasional adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang semua transaksi
ekonomi internasional yang meliputi perdagangan, keuangan, dan moneter antar
penduduk suatu negara dan penduduk luar negeri untuk suatu periode tertentu, biasanya
satu tahun. Dari catatan transaksi ekonomi internasional yang terdiri atas ekspor dan
impor barang, jasa, dan modal pada suatu periode tertentu akan menghasilkan suatu
posisi saldo positif (surplus) atau negatif (defisit) atau ekuilibrum.
Tingkat Inflasi. Agar lebih bisa dimengerti kami akan menjelaskan hal ini dengan sebuah
ilustrasi. Perkembangan tingkat inflasi tersebut akan mempengaruhi permintaan dan
penawaran valas atau forex, baik JPY maupun USD sehingga kurs valas atau forex rate
JPY/USD bergeser dari JPY 100/USD menjadi JPY 105 / USD kemudian menjadi JPY
110 /USD
Suku Bunga, tidak jauh berbeda dengan pengaruh tingkat inflasi, maka perkembangan
atau perubahan tingkat bunga pun dapat berpengaruh terhadap kurs valas atau forex rate.
Besarnya GDP (Gross Domestic Product/Produk domestik bruto). Faktor kelima yang
dapat mempengaruhi kurs valas atau forex rate adalah pertumbuhan GDP/tingkat
pendapatan di suatu negara. Seandainya kenaikan pendapatan masyarakat di Indonesia
tinggi sedangkan kenaikan jumlah barang yang tersedia relatif kecil tentu impor barang
akan meningkat. Peningkatan impor barang ini akan membawa efek kepada peningkatan
demand valas yang pada gilirannya akan mempengaruhi kurs valas atau forex rate.
Kebijakan/Kontrol Pemerintah. Faktor pengawasan pemerintah yang biasanya dijalankan
dalam berbagai bentuk kebijakan moneter, fiskal dan perdagangan luar negeri untuk
tujuan tertentu pengaruh terhadap kurs valas atau forex rate umpamanya: pengawasan
lalu lintas devisa, peningkatan trade barrier, pengetatan uang yang beredar, peningkatan
tingkat suku bunga dan lain sebagainya. Kebijaksanaan pemerintah tersebut pada
umumnya akan berpengaruh terhadap penawaran dan permintaan valas atau forex yang
pada gilirannya akan berpengaruh pula terhadap kurs valuta asing atau forex.
Perkiraan , Spekulasi dan Rumor. Bilamana adanya perkiraan/harapan bahwa tingkat
inflasi atau defisit USA akan menurun atau sebaliknya juga akan dapat mempengaruhi
kurs valas atau forex rate USD. Adanya spekulasi atau rumor devaluasi Rupiah karena
defisit current account yang besar juga berpengaruh terhadap kurs valas atau forex rate
dimana valas secara umum mengalami apresiasi. Pada dasarnya, ekspektasi dan spekulasi
yang timbul di masyarakat tersebut akan mempengaruhi permintaan dan penawaran valas
yang akhirnya akan mempengaruhi valas atau forex rate.

Вам также может понравиться