Вы находитесь на странице: 1из 53

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang dibutuhkan oleh
masyarakat. Perkembangan dan pertumbuhan rumah sakit semakin meningkat
pesat setiap tahunnya, sehingga masing-masing rumah sakit perlu
mempertahankan kualitas pelayanannya (Andini, 2006). Kualitas pelayanan
yang baik dari suatu rumah sakit tidak terlepas dari proses, peran dan fungsi
dari manajemen pelayanan keperawatan yang baik pula.
Manajemen keperawatan adalah suatu tugas khusus yang harus
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan serta mengawasi sumber-sumber
yang ada termasuk sumber daya manusia (Ratiza,2013). Menurut Gillies
(2004), manajemen keperawatan adalah proses pelaksanaan pelayanan
keperawatan melalui upaya staf keperawatan untuk memberikan asuhan
keperawatan, pengobatan dan rasa aman kepada pasien, keluarga dan
masyarakat.
Komponen utama dalam manajemen keperawatan adalah fokus pada
sumber daya manusia dan materi secara efektif. Tujuan dari manajemen
keperawatan untuk meningkatkan dan memperatahankan kualitas pelayanan
keperawatan, untuk kepuasan pasien melalui peningkatan produktifitas dan
kualitas kerja perawat. (Nursalam, 2000). Konsep yang harus dikuasai dalam
manajemen adalah konsep tentang pengelolaan perubahan, konsep manajemen
keperawatan, perencanaan yang berupa rencana strategi melalui pendekatan
pengumpulan data, analisa SWOT, dan menyusun langkah langkah
perencanaan, melakukan pengawasan dan pengendalian (Nursalam, 2000).
Salah satu pengendalian yang dilakukan dalam mengelola ruangan yaitu
kemampuan dalam mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit dan upaya
pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang
bermutu. Dalam pemberian pelayanan yang bermutu, seorang petugas
kesehatan harus memiliki kemampuan untuk mencegah infeksi dimana hal ini
memiliki keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan karena mencakup setiap
aspek penanganan pasien (Soeroso, 2007).

1
Masalah infeksi nosokomial makin banyak mendapat perhatian karena di
samping dapat meningkatkan morbilitas maupun mortalitas, juga menambah
biaya perawatan dan obat-obatan, waktu dan tenaga yang pada akhirnya akan
membebani pemerintah atau rumah sakit, personil rumah sakit maupun
penderita dan keluarganya. Hal ini jelas bertentangan dengan kebijaksanaan
pembangunan bidang kesehatan yang justru menekankan peningkatan efisiensi
pelayanan kesehatan.
Infeksi nosokomial atau disebut juga Hospital Acquired Infection (HAI)
adalah infeksi yang didapatkan dan berkembang selama pasien di rawat di
rumah sakit (WHO, 2004). Sumber lain mendefinisikan infeksi nosokomial
merupakan infeksi yang terjadi di rumah sakit atau fasilitas pelayanan
kesehatan setelah dirawat 2x24 jam. Pasien, petugas kesehatan, pengunjung
dan penunggu pasien merupakan kelompok yang paling berisiko terjadinya
infeksi nosokomial, karena infeksi ini dapat menular dari pasien ke petugas
kesehatan, dari pasien ke pengunjung atau keluarga ataupun dari petugas ke
pasien (Husain, 2008).
Infeksi nosokomial terjadi diseluruh dunia, termasuk dinegara negara
berkembang maupun negara miskin. Sebuah survei mengenai prevalensi
infeksi nosokomial yang dikelola WHO, pada 55 rumah sakit di 14 negara
yang dibagi menjadi 4 wilayah, yakni Eropa, Mediterranian Timur, Asia
Tenggara dan Pasifik Barat, menunjukkan bahwa sekitar 8,7 % rumah sakit
pasien mengalami infeksi nosokomial, pada survei lain menyatakan sekitar 1,4
juta pasien diseluruh dunia mengalami infeksi nosokomial. Penelitian tersebut
dilaporkan frekuensi paling tinggi terjadi pada rumah sakit di Mediterranian
Timur sebesar 11,8 %, diikuti oleh wilayah Asia Tenggara 10%, kemudian
wilayah Pasifik Barat 9,0% dan diikuti Eropa 7,7 %.
Tingginya angka kejadia infeksi nasikomnial disebabkan oleh berbagai hal
dan salah satunya penularan dapat terjadi melalui tenaga perawat ditempatkan
sebagai penyebab yang paling utama infeksi nosokomial. Penularan melalui
tangan perawat dapat secara langsung karena tangan yang kurang bersih atau
secara tidak langsung melalui peralatan yang invasif. Menurut NNIS (National
Nasocomial Infection Supervilence) menyatakan 3 sampai 10 % dari seluruh
penderita yang dirawat di RS menjadi korban infeksi nosokomnial dan 90%

2
infeksi nosokomnial disebabkan oleh bakteri dan selebihnya disebabkan oleh
virus dan jamur.
Banyaknya faktor yang menyebkan terjadinya infeksi nosokomial
menuntut kemampuan perawat untuk mencegah tranmisi infeksi di rumah sakit
dan upaya pencegahannya. Perawat berperan dalam pencegahan infeksi
nosokomial, hal ini disebabkan perawat merupakan salah satu anggota tim
kesehatan yang berhubungan langsung dengan klien dan bahan infeksius di
ruang rawat. Perawat juga bertanggung jawab menjaga keselamatan klien di
rumah sakit melalui pencegahan kecelakaan, cidera, trauma, dan melalui
penyebaran infeksi nosokomial (Handiyani,2000). Di ruang UGD aktifitas
seorang perawat dituntut sangat cepat dan tepat, hal ini sering menyebabkan
perawat kurang memperhatikan aspek aseptik dalam melakukan tindakan
keperawatan.
Salah satu tindakan aseptic yang dapat dilakukan prawat dalam
meminimalisasi kejadian infeksi nosokomial adalah dengan mencuci
tangan.Tindakan mencuci tangan secara benar dapat mengurangi kejadian
infeksi nosokomial. Selain itu, perawat juga harus memperhatikan peralatan
yang kurang steril, air yang terkontaminasi kuman, cairan desinfektan yang
mengandung kuman, yang sering meningkatkan risiko infeksi nosokomial
(Utje, 1993).

I.2 TUJUAN
Tujuan dari praktik klinik profesi kepemimpinan dan manajemen
keperawatan adalah untuk memfasilitasi permasalahan nosokomial yang ada di
Unit Gawat Darurat RSUD Depok.

I.3 MANFAAT PENULISAN


Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi :
1. RSUD Depok
Sebagai bahan informasi tambahan dan masukan dan masukan
dalam rangka untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dalam
pelayanan rumah sakit dan kualitas manajemen di setiap ruangan.
2. UGD RSUD Depok
Sebagai masukan dan informasi kepada perawat untuk
meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dalam memberikan asuhan

3
keperawatan terutama dalam penanganan masalah infeksi nosokomial dan
asuhan keperawatan.
3. Mahasiswa Keperawatan
Sebagai masukan dan informasi bagi mahasiswa praktik untuk
meningkatkan pengetahuan dan melaksanakan asuhan keperawatan secara
komprehensif kepada pasien.
4. Masyarakat
Meningkatkan kepuasan dalam pemberian pelayanan asuhan
keperawatan di unit rawat inap.

I.4 METODE PENULISAN


Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan studi literatur yaitu
pengetahuan dari buku-buku, internet berupa jurnal-jurnal penelitian. Selain itu,
penulis juga menggunakan informasi-informasi yang didapat dari hasil observasi
dan wawancara di ruangan.

I.5 SISTEMATIKA PENULISAN


Sistematika penulisan dalam makalah ini terdiri dari 6 bab. Bab I terdiri
dari latar belakang, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan. Bab II berisi tentang konsep dasar yang terdiri dari
manajemen keperawatan, pasien safety dan standar asuhan keperawatan. Bab
III merupakan analisa data yang terdiri dari analisa situasi ruangan, analisan
SWOT, perumusan masalah, POA, dan prioritas masalah. Bab IV berisi tentang
intervensi dan implementasi. Bab V berisi tentang pembahasan yang terdiri
kesenjangan teori dan penyelesaian serta analisa. Bab VI berisi penutup yang
terdiri dari kesimpulan dan sara
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 KONSEP MANAJEMEN KEPERAWATAN


II.1.1 Defenisi
Manajemen keperawatan merupakan suatu bentuk koordinasi dan integrasi
sumber-sumber keperawatan dengan menerapkan proses manajemen untuk
mencapai tujuan dan obyektifitas asuhan keperawatan dan pelayanan keperawatan
(Huber, 2000). Kelly dan Heidental (2004) menyatakan bahwa manajemen
keperawatan dapat didefenisikan sebagai suatu proses dari perencanaan,

4
pengorganisasian, kepemimpinan dan pengawasan untuk mencapai tujuan. Proses
manajemen dibagi menjadi lima tahap yaitu perencanaan, pengorganisasian,
kepersonaliaan, pengarahan dan pengendalian (Marquis dan Huston, 2010).
Swanburg (2000) menyatakan bahwa manajemen keperawatan adalah kelompok
dari perawat manajer yang mengatur organisasi dan usaha keperawatan yang pada
akhirnya manajemen keperawatan menjadi proses dimana perawat manajer
menjalankan profesi mereka.
Manajemen keperawatan memahami dan memfasilitasi pekerjaan perawat
pelaksana serta mengelola kegiatan keperawatan. Suyanto (2009) menyatakan
bahwa lingkup manajemen keperawatan adalah manajemen pelayanan kesehatan
dan manajemen asuhan keperawatan. Manajemen pelayanan keperawatan adalah
pelayanan di rumah sakit yang dikelola oleh bidang perawatan melalui tiga
tingkatan manajerial yaitu manajemen puncak (kepala bidang keperawatan),
manajemen menegah (kepala unit pelayanan atau supervisor), dan manajemen
bawah (kepala ruang perawatan). Keberhasilan pelayanan keperawatan sangat
dipengaruhi oleh manajer keperawatan melaksanakan peran dan fungsinya.
Manajemen keperawatan adalah proses kerja setiap perawat untuk
memberikan pengobatan dan kenyamanan terhadap pasien. Tugas manager
keperawatan adalah merencanakan, mengatur, mengarahkan dan mengawasi
keuangan yang ada, peralatan dan sumber daya manusia untuk memberikan
pengobatan yang efektif dan ekonomis kepada pasien (Gillies, 2000).

II.1.2 Prinsip-Prinsip Manajemen Keperawatan


Seorang manajer keperawatan melaksanakan manajemen keperawatan
untuk memberikan perawatan kepada pasien. Swanburg (2000) menyatakan
bahwa prinsip-prinsip manajemen keperawatan sebagai berikut:
1. Manajemen keperawatan adalah perencanaan.
2. Manajemen keperawatan adalah penggunaan waktu yang efektif.
3. Manajemen keperawatan adalah pembuatan keputusan.
4. Pemenuhan kebutuhan asuhan keperawatan pasien adalah urusan manajer
perawat.
5. Manajemen keperawatan adalah suatu perumusan dan pencapaian tujuan
sosial.
6. Manajemen keperawatan adalah pengorganisasian.
7. Manajemen keperawatan merupakan suatu fungsi, posisi atau tingkat
sosial, disiplin, dan bidang studi.

5
8. Manajemen keperawatan bagian aktif dari divisi keperawatan, dari
lembaga, dan lembaga dimana organisasi itu berfungsi.
9. Budaya organisasi mencerminkan nilai-nilai kepercayaan.
10. Manajemen keperawatan mengarahkan dan pemimpin.
11. Manajemen keperawatan memotivasi.
12. Manajemen keperawatan merupakan komunikasi efektif.
13. Manajemen keperawatan adalah pengendalian atau pengevaluasian.

II.1.3 Fungsi-Fungsi Manajemen Keperawatan


Manajemen memerlukan peran orang yang terlibat di dalamnya untuk
menyikapi posisi masing-masing sehingga diperlukan fungsi-fungsi yang jelas
mengenai manajemen (Suarli dan Bahtiar, 2009). Fungsi manajemen pertama
sekali diidentifikasi oleh Henri Fayol (1925) yaitu perencaanaan, organisasi,
perintah, koordinasi, dan pengendalian. Luther Gulick (1937) memperluas fungsi
manajemen fayol menjadi perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing),
personalia (staffing), pengarahan (directing), pengkoordinasian (coordinating),
pelaporan (reporting), dan pembiayaan (budgeting) yang disingkat menjadi
POSDCORB. Akhirnya, fungsi manajemen ini merujuk pada fungsi sebagai
proses manajemen yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, ketenagaan,
pengarahan, pengawasan (Marquis dan Huston, 2010). Fungsi manajemen
menurut G.R. Terry adalah planning, organizing, actuating, dan controlling,
sedangkan menurut S.P. Siagian fungsi manajemen terdiri dari planning,
organizing, motivating, dan controlling (Suarli dan Bahtiar, 2009).

II.1.4 Perencanaan Kegiatan Keperawatan


Perencanaan merupakan fungsi dasar dari manajemen. Perencanaan adalah
koordinasi dan integrasi sumber daya keperawatan dengan menerapkan proses
manajemen untuk mencapai asuhan keperawatan dan tujuan layanan keperawatan
(Huber, 2000). Perencanaan adalah usaha sadar dan pengambilan keputusan yang
diperhitungkan secara matang tentang hal-hal yang akan dikerjakan dimasa yang
akan datang oleh suatu organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Siagian, 1992). Suarli dan Bahtiar (2009) menyatakan bahwa perencanaan adalah
suatu keputusan dimasa yang akan datang tentang apa, siapa, kapan, dimana,
berapa, dan bagaimana yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang
dapat ditinjau dari proses, fungsi dan keputusan. Perencanaan memberikan

6
informasi untuk mengkoordinasikan pekerjaan secara akurat dan efektif
(Swanburg, 2000).
Perencanaan yang adekuat dan efektif akan mendorong pengelolaan sumber
yang ada dimana kepala ruangan harus mengidentifikasi tujuan jangka panjang
dan tujuan jangka pendek serta melakukan perubahan (Marquis dan Huston,
2010). Suarli dan bahtiar (2009) menyatakan bahwa perencanaan sangat penting
karena mengurangi ketidakpastian dimasa yang akan datang, memusatkan
perhatian pada setiap unit yang terlibat, membuat kegiatan yang lebih ekonomis,
memungkinkan dilakukannya pengawasan.
Fungsi perencanaan pelayanan dan asuhan keperawatan dilaksanakan oleh
kepala ruang. Swanburg (2000) menyatakan bahwa dalam keperawatan,
perencanaan membantu untuk menjamin bahwa klien akan menerima pelayanan
keperawatan yang mereka inginkan. Perencanaan kegiatan keperawatan di ruang
rawat inap akan memberi petunjuk dan mempermudah pelaksanaan suatu kegiatan
untuk mencapai tujuan pelayanan dan asuhan keperawatan kepada klien.
Perencanaan di ruang rawat inap melibatkan seluruh personil mulai dari perawat
pelaksana, ketua tim dan kepala ruang. Tanpa perencanaan yang adekuat, proses
manajemen pelayanan kesehatan akan gagal (Marquis dan Huston, 2010).
1. Pendekatan Perencanaan
a. Perencanaan inside-out dan perencanaan outside-in
b. Perencanaan top-down dan perencanaan bottom-up
c. Perencanaan contingency
2. Dasar Dasar Perencanaan yang Baik
a. Forecasting
b. Penggunaan skenario
c. Benchmarking
d. Partisipasi dan keterlibatan
e. Penggunaan staf perencana

II.1.4.1 Memandang Proses Perencanaan Sebagai Suatu Rangkaian


Kegiatan Yang Harus Dijawab Dengan Memuaskan ( 5 W + 1 H ) Yaitu :
1. What atau apa kegiatan-kegiatan yang harus dijalankan dalam rangka
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan ?
2. Who atau siapa yang akan menjalankan kegiatan-kegiatan tersebut ?
3. Where atau dimana kegiatan-kegiatan tersebut hendak dilaksanakan ?
4. When atau kapan kegiatan tersebut akan dilaksanakan ?
5. Why atau mengapa kegiatan tersebut perlu dilaksanakan?
6. How atau bagaimana cara melaksanakan kegiatan tersebut ?

II.1.4.2 Langkah- Langkah Perencanaan

7
1. Pengumpulan data
2. Analisa lingkungan (Analisa SWOT : S = Strength, W = Weakness, O =
Opportunities, T = Threaths)
3. Pengorganisasian data: pilih data yang mendukung dan menghambat
4. Menetapkan dan memprioritaskan masalah.

II.1.4.3 Memandang Proses Perencanaan Sebagai Suatu Masalah Yang


Harus Diselesaikan Dengan Menggunakan Langkah-Langkah
Berikut :
1. Mengetahui sifat hakiki dari masalah yang dihadapi.
2. Mengumpulkan data-data yang akurat sebelum menyusun rencana.
3. Menganalisa dan menginterpretasi data yang telah terkumpul
4. Menetapkan beberapa alternatif penyelesaian masalah.
5. Memilih cara yang terbaik untukmenyelesaikan masalah
6. Melaksanakan rencana yang telah disusun
7. Menilai hasil yang telah dicapai

II.1.4.4 Tujuan Perencanaan


1. Meningkatkan pencapaian tujuan dan kesuksesan yang difokuskan pada
hasil bukan pelaksanaan.
2. Menuntut kita untuk berpikir kritis dan mengevaluasi alternative-alternatif
yang bisa mengembangkan atau mengubah keputusan.
3. Membentuk suatu struktur untuk pengambilan keputusan yang konsisten
sesuai dengan tujuan organisasi .
4. Mengajak atau menggerakan orang-orang untuk bekerja atau bertindak aktif
daripada bersikap reaktif.
5. Mengatur kegiatan hari-perhari atau kegiatan jangka pangjang yang
terfokus.

II.1.4.5 Karakteristik Perencanaan


1. Proses Pembuatan Rencana
a. Menetapkan tujuan
b. Observasi dan analisa lingkungan
c. Menganalisa kemungkinan-kemungkinan
d. Membuat sintesa
2. Bentuk-Bentuk Perencanaan
a. Rencana Global (Global Plan)
b. Rencana Strategik (Strategic Plan)
c. Rencana Operasional (Operational Plan)
3. Jenis Perencanaan Berdasarkan Waktu :
a. Perencanaan Jangka Panjang (10-25 th)
b. Perencanaan Jangka Menengah ( 5-10 th)
c. Perencanaan Jangka Pendek ( 1-5 th)

8
II.1.5 Pengorganisasian Keperawatan
Pengorganisasian dilakukan setelah perencanaan. Pengorganisasian adalah
langkah untuk menetapkan, menggolongkan dan mengatur berbagai macam
kegiatan, menetapkan tugas pokok dan wewenang serta pendelegasian wewenang
oleh pimpinan kepada staf dalam rangka mencapai tujuan (Muninjaya, 2004).
Huber (2000) menyatakan bahwa pengorganisasian adalah memobilisasi sumber
daya manusia dan material dari lembaga untuk mencapai tujuan organisasi, dapat
juga untuk mengidentifikasi antara hubungan yang satu dengan yang lain.
Pengorganisasian dapat dilihat secara statis dan dinamis. Secara statis merupakan
wadah kegiatan sekelompok orang untuk mencapai tujuan, sedangkan secara
dinamis merupakan suatu aktivitas dari tata hubungan kerja yang teratur dan
sistematis untuk mencapai tujuan tertentu (Suarli dan Bahtiar, 2009).
Manfaat pengorganisasian untuk penjabaran secara terinci semua pekerjaan
yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan, pembagian beban kerja sesuai
dengan kemampuan perorangan/kelompok, dan mengatur mekanisme kerja antar
masing-masing anggota kelompok untuk hubungan dan koordinasi (Huber, 2000).
Marquis dan Huston (2010) menyatakan bahwa pada pengorganisasian hubungan
ditetapkan, prosedur diuraikan, perlengkapan disiapkan, dan tugas diberikan.
Prinsip-prinsip organisasi saling ketergantungan dan dinamis. Kepala ruangan
dapat menciptakan lingkungan yang meransang dalam praktik keperawatan.
Prinsip-prinsip pengorganisasian menurut Swanburg (2000) adalah:
1. Prinsip rantai komando
Prinsip rantai komando menyatakan bahwa untuk memuaskan anggota efektif
secara ekonomi dan berhasil dalam mencapai tujuan. Komunikasi cenderung ke
bawah dan satu arah. Pada organisasi keperawatan, rantai komando ini datar,
dengan garis manajer dan staf teknis serta administrasi yang mendukung
perawat pelaksana.
2. Prinsip kesatuan komando
Prinsip kesatuan komando menyatakan bahwa seorang perawat pelaksana
mepunyai satu pemimpin dan satu rencana. Keperawatan primer dan
manajemen kasus mendukung prinsip prinsip kesatuan komando ini.
3. Prinsip rentang kontrol
Prinsip ini menyatakan bahwa setiap perawat harus dapat mengawasi secara
efektif dalam hal jumlah, fungsi, dan geografi. Pada prinsip ini, makin kurang
pengawasan yang diperlukan untuk perawat. Perawat harus memiliki lebih

9
banyak pengawasan untuk menghindari terjadinya kesalahan. Kepala ruangan
harus lebih banyak mengkoordinasikan.
4. Prinsip spesialisasi
Prinsip spesialisasi menyatakan bahwa setiap orang harus menampilkan satu
fungsi kepemimpinan tunggal, sehingga ada devisi kerja atau pembagian tugas
yang membentuk departement.

II.1.6 Ketenagaan Keperawatan


Pengaturan staf dan penjadwalan adalah komponen utama dalam
manajemen keperawatan. Swanburg (2000) menyatakan bahwa pengaturan staf
keperawatan merupakan proses yang teratur, sistematis, rasional diterapkan untuk
menentukan jumlah dan jenis personel keperawatan yang dibutuhkan untuk
memberikan asuhan keperawatan pada standar yang ditetapkan sebelumnya.
Manajer bertanggung jawab dalam mengatur sistem kepegawaian secara
keseluruhan (Gillies, 2000). Ketenagaan adalah kegiatan manajer keperawatan
untuk merekrut, memimpin, memberikan orientasi, dan meningkatkan
perkembangan individu untuk mencapai tujuan organisasi (Marquis dan Huston,
2010). Ketenagaan juga memastikan cukup atau tidaknya tenaga keperawatan
yang terdiri dari perawat yang profesional, terampil, dan kompeten. Kebutuhan
ketenagaan dimasa yang akan datang harus dapat diprediksi dan suatu rencana
harus disusun secara proaktif untuk memenuhi kebutuhan.
Manager harus merencanakan ketenagaan yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan asupan pasien. Upaya harus dilakukan untuk menghindari kekurangan
dan kelebihan personalia saat ada fluktuasi jumlah dan akuitas pasien. Kebijakan
prosedur ketenagaan dan penjadwalan harus tertulis dan dikomunikasikan kepada
semua staf. Kebijakan dan penjadwalan tidak boleh melanggar undang-undang
ketenagakerjaan atau kontrak pekerja. Kebijakan ketenagaan harus yang ada harus
diteliti secara berkala untuk menentukan apakah memenuhi kebutuhan staf dan
organisasi. Upaya harus terus dilakukan agar dapat menggunakan metode
ketenagaan dengan inovatif dan kreatif (Marquis dan Huston, 2010).

II.1.6.1 Perencanaan Tenaga Keperawatan


1. Perencanaan tenaga atau staffing merupakan salah satu fungsi utama
seorang pimpinan organisasi termasuk organisasi keperawatan.

10
2. Keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh kualitas sumber daya
manusianya. Hal ini terkait erat dengan bagaimana seorang pimpinan
merencanakan ketenagaan di unit kerjanya.

II.1.6.2 Langkah-Langkah Perencanaan Tenaga Keperawatan (Gillies, 1989)


Meliputi :
1. Mengidentifikasi bentuk dan beban pelayanan keperawatan yang akan
diberikan.
2. Menentukan kategori perawat yang akan ditugaskan untuk melaksanakan
pelayanan keperawatan.
3. Menentukan jumlah masing-masingkategori perawat yang dibutuhkan.
4. Menerima dan menyaring untuk mengisi posisi yang ada.
5. Melakukan seleksi calon-calon yang ada.
6. Menentukan tenaga perawat sesuai dengan unit atau Shiff.
7. Memberikan tanggung jawab untuk melaksanakan tugaspelayanan
keperawatan.

II.1.7 Pengarahan Keperawatan


Pengarahan adalah fase kerja manajemen, dimana manajer berusaha
memotivasi, membina komunikasi, menangani konflik, kerja sama, dan negosiasi
(Marquis dan Huston, 2010). Pengarahan adalah fungsi manajemen yang
memantau dan menyesuaikan perencanaan, proses, dan sumber yang efektif dan
efisien mencapai tujuan (Huber, 2000). Pengarahan yang efektif akan
meningkatkan dukungan perawat untuk mencapai tujuan manajemen keperawatan
dan tujuan asuhan keperawatan (Swanburg, 2000). Motivasi sering disertakan
dengan kegiatan orang lain mengarahkan, bersamaan dengan komunikasi dan
kepemimpinan (Huber, 2006).

II.1.8 Pengendalian Keperawatan


Pengendalian adalah fungsi yang terus menerus dari manajemen
keperawatan yang terjadi selama perencanaan, pengorganisasian, ketenagaan,
pengarahan (Swanburg, 2000). Pengendalian adalah pemantauan dan penyesuaian
rencana, proses, dan sumber daya yang secara efektif mencapai tujuan yang telah
ditetapkan (Huber, 2006). Selama fase pengendalian, kinerja diukur menggunakan
standar yang telah ditentukan dan tindakan diambil untuk mengoreksi
ketidakcocokan antara standar dan kinerja (Marquis dan Huston, 2010). Fungsi

11
pengawasan bertujuan agar penggunaan sunber daya lebih efisien dan staf dapat
lebih efektif untuk mencapai tujuan program (Muninjaya, 2004).
Prinsip pengawasan yang harus diperhatikan manager keperawatan dalam
menjalankan fungsi pengendalian (Muninjaya, 2004) adalah:
1. Pengawasan yang dilakukan harus dimengerti oleh staf dan hasilnya
mudah diukur
2. Pengawasan merupakan kegiatan penting dalam upaya mencapai tujuan
organisasi
3. Standar untuk kerja harus dijelaskan kepada semua staf.

II.1.9 Fungsi Perencanaan


Fungsi perencanaan manajemen keperawatan di ruang rawat inap yang
dilaksanakan oleh kepala ruangan melibatkan seluruh personil mulai dari perawat
pelaksana, ketua tim, dan kepala ruangan. Sebelum melakukan perencanaan
terlebih dahulu dianalisa dan dikaji sistem, strategi organisasi, sumber-sumber
organisasi, kemampuan yang ada, aktifitas spesifik dan prioritas (Swanburg,
2000). Kepala ruangan harus melibatkan seluruh individu dan unit organisasi
terkait perencanaan (Marquis dan Huston, 2010).
Perencanaan kepala ruang di ruang rawat inap meliputi perencanaan
kebutuhan tenaga dan penugasan tenaga, pengembangan tenaga, kebutuhan
logistik ruangan, program kendali mutu yang akan disusun untuk pencapaian
tujuan jangka pendek, menengah dan panjang. Disamping itu kepala ruang
merencanakan kegiatan di ruangan seperti pertemuan dengan staf pada permulaan
dan akhir minggu.Tujuan pertemuan adalah untuk menilai atau mengevaluasi
kegiatan perawat sudah sesuai dengan standar atau belum, sehingga dapat
dilakukan perubahan-perubahan atau pengembangan dari kegiatan tersebut
(Swanburg, 2000).
Unsur-unsur yang terlibat dalam perencanaan menurut Suarli dan Bahtiar (2009),
yaitu:
1. Meramalkan (forecasting), misalnya memperkirakan kecenderungan
masa depan (peluang dan tantangan).
2. Menetapkan tujuan (estabilishing objektive), menyusun acara yang
urutan kegiatannya menurut skala prioritas.
3. Menyusun jadwal pelaksanaan (scheduling), misalnya
menetapkan/memperhitungkan waktu dengan tepat.

12
4. Menyusun anggaran (budgeting), misalnya mengalokasikan sumber
yang tersedia (uang, alat, manusia) dengan memperhitungkan waktu
dengan tepat.
5. Mengembangkan prosedur, misalnya menentukan tata cara yang paling
tepat.
6. Menafsirkan dan menetapkan kebijakan (interpreting and estabilishing
policy), misalnya menafsirkan kebijakan atasan dan menetapkan
kebijakan operasional.
Peran kepemimpinan yang berhubungan dengan hierarki perencanaan menurut
Marquis dan Huston (2010), yaitu:
1. Mengkaji lingkungan eksternal dan internal.
2. Berpikir kreatif dan inovatif dalam perencanaan.
3. Mempengaruhi dan menginspirasi anggota agar aktif terlibat dalam
perencanaan jangka panjang.
4. Secara periodik melakukan klarifikasi nilai untuk meningkatkan kesadaran
diri.
5. Mengarahkan untuk mendengarkan aktif dan memberikan umpan balik.
6. Mengkomunikasikan tujuan organisasi kepada anggota.
7. Memotivasi anggota untuk terlibat aktif dalam mengambil keputusan.
8. Terbuka untuk ide baru dan berbagai ide.
9. Menjadi model peran dalam menetapkan metode perencanaan.

II.1.10 Fungsi Pengorganisasian


Kepala ruangan bertanggung jawab untuk mengorganisasi kegiatan
pelayanan dan asuhan keperawatan di ruang rawat inap (Swanburg, 2000)
meliputi :
1. Struktur organisasi
Struktur organisasi ruang rawat inap terdiri dari : struktur, bentuk dan bagan.
Berdasarkan keputusan Direktur rumah sakit dapat ditetapkan struktur
organisasi ruang rawat inap untuk menggambarkan pola hubungan antar
bagian atau staf atasan baik vertikal maupun horizontal. Juga dapat dilihat
posisi tiap bagian, wewenang dan tanggung jawab serta jalur tanggung
gugat. Bentuk organisasi disesuaikan dengan pengelompokan kegiatan atau
sistem penugasan.
2. Pengelompokam kegiatan
Setiap organisasi memiliki serangkaian tugas atau kegiatan yang harus
diselesaikan untuk mencapai tujuan. Kegiatan perlu dikumpulkan sesuai
dengan spesifikasi tertentu. Pengelompokan kegiatan dilakukan untuk

13
memudahkan pembagian tugas pada perawat sesuai dengan pengetahuan
dan keterampilan yang mereka miliki serta disesuaikan dengan kebutuhan
klien. Ini yang disebut dengan metoda penugasan keperawatan. Metoda
penugasan tersebut antara lain : metode fungsional, metode alokasi
klien/keperawatan total, metode tim keperawatan, metode keperawatan
primer, dan metode moduler.
3. Koordinasi kegiatan
Kepala ruangan sebagai koordinator kegiatan harus menciptakan kerjasama
yang selaras satu sama lain dan saling menunjang untuk menciptakan
suasana kerja yang kondusif. Selain itu perlu adanya pendelegasian tugas
kepada ketua tim atau perawat pelaksana dalam asuhan keperawatan di
ruang rawat inap.
4. Evaluasi kegiatan
Kegiatan yang telah dilaksanakan perlu dievaluasi untuk menilai apakah
pelaksanaan kegiatan sesuai rencana. Kepala ruang berkewajiban untuk
memberi arahan yang jelas tentang kegiatan yang akan dilakukan. Untuk itu
diperlukan uraian tugas dengan jelas untuk masing-masing staf dan standar
penampilan kerja.
5. Kelompok kerja
Kegiatan di ruang rawat inap diperlukan kerjasama antar staf dan
kebersamaan dalam kelompok, hal ini untuk meningkatkan motivasi kerja
dan perasaan keterikatan dalam kelompok untuk meningkatkan kualitas
kerja dan mencapai tujuan pelayanan dan asuhan keperawatan.
Keterampilan yang harus dimiliki oleh kepala ruangan sebagai manajemen
yang terintegrasi dalam pengorganisasin menurut Marquis dan Huston (2010)
yaitu:
1. Kepala ruangan memandang struktur organisasi sebagai peta yang memberi
jalan kepada siapa mereka harus berkomunikasi dan siapa yang memiliki
kewenangan
2. Kepala ruangan memiliki pemahaman personal tentang rancanagan
organisasi yang lebih besar
3. Kepala ruangan memahami kesulitan yang menyertai setiap struktur,
sehingga dapat memberi dukungan.
4. Kepala ruangan harus memiliki pengetahuan tentang budaya organisasi,
meningkatkan pengembangan budaya yang konstruktif, menjelaskan serta

14
mengkomunikasikan pengembangan budaya tersebut kepada perawat
pelaksana.
5. Kepala ruangan berpikir kritis dan memiliki perilaku model peran yang baik
untuk menyelesaikan masalah
6. Kepala ruangan menahan diri untuk tidak menghakimi dan mendukung
semua anggota untuk ikut berpartisipasi dan berkontribusi
7. Kepala ruangan memahami organisasi dan mengenali apa yang dapat
dibentuk, diubah, dan yang tetap.

II.1.11 Fungsi Ketenagaan


Ketenagaan mengerjakan perekrutan, wawancara, mengontrak, dan orientasi
staf. Keberhasilan perekrutan tergantung pada sumber daya alam, jumlah tenaga
perawat yang memadai, gaji yang kompetitif, reputasi organisasi, daya tarik
lokasi, dan status ekonomi. Manajer bertanggung jawab dalam merekrut perawat
(Swanburg, 2000).
Hubungan kepala ruangan dengan perekrut harus bersifat kolaboratif.
Kepala ruangan terlibat dalam perekrutan, wawancara, dan pemilihan pegawai.
Keterlibatan kepala ruangan tergantung pada besar institusi, adanya departemen
personalia yang terpisah, adanya perekrut perawat organisasi tersebut dan
penggunaan manajemen keperawatan yang sentralisasi dan desentralisasi.
Merekrut perawat dilakukan dengan wawancara sebagai metode seleksi
penerimaan perawat (Marquis dan Huston, 2010).
Wawancara dapat dijadikan sebagai landasan untuk memilih orang untuk
berbagai posisi. Hal yang paling penting dalam perektutan adalah mengawasi staf
baru selama proses (Swanburg, 2000). Program orientasi yang dipersiapkan dan
dilaksanakan dengan baik mengajarkan perawat baru mengenai perilaku yang
sesuai dengan tujuan organisasi. Orientasi perawat baru yang berhasil akan
mengurangi terjadinya gesekan (Marquis dan Huston, 2010).
Peran kepala ruangan dalam ketenagaan meliputi perencanaan untuk
keperluan ketenagaan selanjutnya dan perubahan di dunia keperawatan. Kepala
ruangan bertanggung jawab dalam penyusunan sistem kepegawaian (Gillies,
2000). Kepala ruangan sangat berperan dalam penjadwalan, pengembangan
perawat, sosialisai perawat, mengadakan pelatihan untuk perawat (Marquis dan
Huston, 2010). Manager harus mengetahui jumlah jabatan yang diatur pada setiap

15
klasifikasi kerja temasuk jabatan yang kosong. Anggaran keuangan angan
memperlihatkan pekerja apa yang dibutuhkan (Gillies, 2000).
Penjadwalan yang dilakukan sendiri memberikan kesempatan dan tanggung
jawab kepada perawat untuk membuat jadwal kerja sendiri (Marquis dan Huston,
2010). Gillies (2000) menyatakan bahwa dalam hal penjadwalan kepala ruangan
harus mengatur tentang pola-pola perputaran jawdal, jadwal-jadwal liburan, dan
praktek-praktek lembur. Alat dan metode yang digunakan untuk menentukan
kebutuhan kepersonaliaan perlu ditinjau ulang secara berkala. Tanggung jawab
fiskal dan etis adalah fungsi yang menyertai ketenagaan (Marquis dan Huston,
2010).
Berdasarkan pada filosofi para kepala ruangan dalam hal mengembangkan fungsi
ketenagaan menurut Gillies (2000) adalah sebagai berikut:
1. Memberikan seorang staf perawat yang professional secara keseluruhan
dalam ruangan.
2. Memberikan staf yang tepat dengan perbandingan perawat 1:1 dengan
pasien untuk setiap jam kerja.
3. Tenaga kesehatan lain dengan perbandingan 2:1 dengan pasien setiap
ruangan.
4. Melibatkan seluruh staf perawat dalam menyusun program ketenagaan.
5. Membagi tenaga perawat secara merata dalam hal jadwal libur, jam
kerja,waktu putaran, waktu istirahat.
6. Bertanggung dalam perencanaan ketenagaan.
7. Membuat jadwal perawat paling cepat jadwal 2 bulan.
8. Mengerti akan kebutuhan staf dalam hal istirahat, liburan.
9. Memberikan penghargaan kepada perawat berprestasi.

II.1.12 Fungsi Pengarahan


Fungsi pengarahan selalu berkaitan erat dengan perencanaan kegiatan
keperawatan di ruang rawat inap dalam rangka menugaskan perawat untuk
melaksanakan mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kepala ruangan dalam
melakukan kegiatan pengarahan melalui: saling memberi motivasi, membantu
pemecahan masalah, melakukan pendelegasian, menggunakan komunikasi yang
efektif, melakukan kolaborasi dan koordinasi (Swanburg, 2000). Memotivasi
adalah menunjukkan arah tertentu kepada perawat atau staf dan mengambil
langkah yang perlu untuk memastikan mereka sampai pada tujuan (Soeroso,
2003).

16
Kepala ruangan haruslah menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan
bekerja yang harmonis, bersikap objektif dalam menghadapai persoalan dalam
pelayanan keperawatan melalui pengamatan, dan objektif juga dalam menghadapi
tingkah laku stafnya. Kepala ruangan harus peka akan kodrat manusia yang punya
kelebihan dan kekurangan, memerlukan bantuan orang lain, dan mempunyai
kebutuhan yang bersifat pribadi dan sosial (Muninjaya, 2004).
Manajer keperawatan harus memiliki keterampilan komunikasi
interpersonal yang baik. Kepala ruangan setiap hari berkomunikasi dengan pasien,
staf, dan atasan setiap hari (Nursalam, 2012). Komunikasi membentuk inti
kegiatan manajemen dan melewati semua proses manajemen (Marquis dan
Huston, 2010).
Prinsip komunikasi manajer keperawatan menurut Nursalam (2012), yaitu:
1. Manajer harus mengerti struktur organisasi, siapa yang terkena dampak dari
keputusan yang dibuat. Jaringan komunikasi formal dan informal perlu
dibangun antara manajer dan staf
2. Komunikasi bukan hanya sebagai perantara, tetapi sebagai proses yang tak
terpisahkan dalam organisasi
3. Komunikasi harus jelas, sederhana, dan tepat.
4. Perawat profesional adalah mampu berkomunikasi dengan secara adekuat,
lengkap dan cepat.
5. Manajer harus meminta umpan balik apakah komunikasi dapat diterima
6. Menjadi pendengar yang baik adalah komponen penting dalam komunikasi.
Konflik sering terjadi dalam tatanan asuhan keperawatan. Konflik yang
terjadi antar staf dengan staf, staf dengan pasien, staf dengan keluarga dan
pengunjung, staf dengan dokter (Swanburg, 2000). Manajer memiliki interaksi
dengan staf yang memiliki nilai, keyakinan, latar belakang dan tujuan berdeda
yang menjadi sumber terjadinya konflik (Marquis dan Huston, 2010). Sebagai
manajer keperawatan, kepala ruangan memiliki asumsi bahwa konflik suatu hal
yang dapat dihindari dan jika konflik tidak dikelola dengan baik, maka dapat
menghasilkan penyelesaian yang kreatif dan berkualitas. Kepala ruangan
menggunakan konflik yang konstruktif dalam menciptakan lingkungan yang
produktif (Nursalam, 2012).
Pengarahan akan mencapai tujuannya jika dikerjakan dengan baik. Dauglas
dalam Swansburg (2000) mengatakan bahwa ada dua belas aktivitas teknis yang
berhubungan dengan pengarahan pada manajemen, yaitu:

17
1. Merumuskan tujuan perawatan yang realistis untuk pelayanan keperawatan,
pasien dan perawat pelaksana.
2. Memberikan prioritas utama untuk kebutuhan klien sehubungan dengan
tugas-tugas perawat pelaksana.
3. Melaksanakan koordinasi untuk efisiensi pelayanan.
4. Mengidentifikasi tanggung jawab dari perawat pelaksana.
5. Memberikan perawatan yang berkesinambungan.
6. Mempertimbangkan kebutuhan terhadap tugas-tugas dari perawat pelaksana.
7. Memberikan kepemimpinan untuk perawat dalam hal pengajaran,
konsultasi, dan evaluasi.
8. Mempercayai anggota.
9. Menginterpretasikan protokol.
10. Menjelaskan prosedur yang harus diikuti.
11. Memberikan laporan ringkas dan jelas.
12. Menggunakan proses kontrol manajemen.

II.1.13 Fungsi Pengendalian


Ukuran kualitas pelayanan dan asuhan keperawatan dengan indikator proses
yaitu nilai dokumentasi keperawatan, indikator out put yaitu tingkat kepuasan
klien, tingkat kepuasan perawat, lama hari rawat. Untuk kegiatan mutu yang
dilaksanakan kepala ruang meliputi: Audit dokumentasi proses keperawatan tiap
dua bulan sekali, survei kepuasan klien setiap kali pulang, survei kepuasan
perawat tiap enam bulan, survei kepuasan tenaga kesehatan lain, dan perhitungan
lama hari rawat klien, serta melakukan langkah-langkah perbaikan mutu dengan
memperhitungkan standar yang ditetapkan (Swanburg, 2000).
Tambahan peran manajer dalam pengendalian adalah menentukan seberapa
baik staf melakukan tugas yang diberikan. Hal ini dilakukan dengan penilaian
kinerja. Proses penilaian kinerja staf dapat digunakan secara efektif dalam
mengarahkan perilaku pegawai untuk menghasilkan kualitas pelayanan yang
tinggi (Nursalam, 2012). Marquis dan Huston (2010) menyatakan bahwa
penilaian kinerja membuat staf mengetahui tingkat kinerja mereka.
Dalam melaksanakan penilaian kinerja, manajer perlu menetapkan orang
yang bertanggung jawab mengevaluasi setiap staf. Idealnya supervisor
mengevaluasi rekan terdekatnya, dimana satu orang mengevaluasi kerja rekannya
secara akurat (Nursalam, 2012). Staf harus dilibatkan dalam proses penilaian
kinerja dan memandang penilaian ini sebagai hal yang akurat dan adil (Marquis
dan Huston, 2010).

18
Peran Manajer dapat mempengaruhi faktor motivasi dan lingkungan. Tetapi
faktor lain yang mungkin mempengaruhi tergantungnya tugas, khususnya
bagaimana manajer bekerja dalam suatu organisasi. Secara umum peran manajer
dapat dinilai dari kemampuannya dalam memotivasi dan meningkatkan kepuasan
staf. Kepuasan kerja staf dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan fisik, psikis,
dimana kebutuhan psikis tersebut dapat terpenuhi melalui peran manajer dalam
memperlakukan stafnya. Hal ini dapat ditanamkan kepada manajer agar
diciptakan suasana keterbukaan dan memberikan kesempatan kepada staf untuk
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya (Marquis dan Huston, 2010).

II.1.14 Uraian Tugas Karu, Katim, PP


1. Karu:
Seorang perawat profesional yang diberi wewenang dan tanggung jawab
dan mengelola kegiatan pelayanan perawatan di satu ruang rawat.
Peran Fungsi karu:
1. Menentukan standar pelaksanaan kerja.
2. Memberi Pengarahan katim.
3. Supervisi dan evaluasi tugas staf .

Peran karu dalam:


1. Pengkajian:
Mengidentifikasi masalah terkait fungsi manajamen
2. Perencanaan
a. Menunjuk katim yang bertugas diruangan masing-masing.
b. Mengkikuti serah terima pasien dari shift sebelumnya.
c. Mengidentifikasi tingkat ketergantungan pasien: gawat, transisi,
dan persiapan pulang bersama katim.
d. Mengidentifikasi jumlah perawata yang dibutuhkan berdasarkan
aktivitas dan kebutuhan pasien bersama katim, mengatur
peugasan/penjadwalan.
e. Merencanakan strategi pelaksanaan keperawawatan.
f. Mengikuti visite dokter untuk mengetahui kondisi patfisiologi,
tindakan medis yang dilakukan, program pengobatan,dan
mendiskusikan dengan dokter tentang tindakan yang akan
dilakukan terhadap pasien.
g. Mengatur dan mengendalikan asuhan keperawatan:
1) Membimbing pelaksanaan askep
2) Membimbing penerapan proses keperawatan dan menilai askep

19
3) Mengadakan diskusi untuk pemecahan masalah
4) Memberikan informasi kepada pasien atau keluarga yang baru
masuk
h. Membantu pengembangan staf: pendidikan, latihan dll.
i. Merencanakan bimbingan terhadap peserta di keperawatan.
3. Pengorganisasian
a. Merumuskan metode atau sistem penugasan yang digunakan
b. Merumuskan tujuan/sistem metode
c. Membuat rincian tugas katim dan anggota tim secara jelas
d. Membuat rentang kendali: karu membawahi 2 katim, dan katim
membawahi 2 3 orang perawat
e. Mengatur dan mengendalikan logistik ruangan
f. Mengatur dan mengendalikan situasi lahan praktek
g. Mendelegasikan tugas saat karu tidak berada di tempat kepada
katim
h. Memberi wewenang kepada tata usaha untuk mengurus
administrasi pasien
i. Mengatur penugasan jadwal pos /pekarya
j. Identifikasi masalah dan cara penanganan
4. Pengarahan
a. Memberikan pengarahan kepada ketua Tim
b. Memberikan motivasi dalam meningkatkan
c. pengetahuan, ketrampilan dan sikap anggota Tim
d. Memberi pujian kepada anggota Tim yang
e. melaksanakan tugas dengan baik
f. Membimbing bawahan
g. Meningkatkan kolaborasi dengan anggota tim
h. Melakukan supervisi
i. Memberikan informasi tentang hal-hal yang
j. berhubungan dengan yankep diruangan
k. Melakukan pelaporan dan pendokumentasian
5. Pengawasan
a. Melalui komunikasi: mengawasi dan berkomunikasi langsung
dengan katim maupu pelaksana mengenai askep yang diberikan
kepada pasien.
b. Melalui supervisi:
1) Pengawasan langsung melalui inspeksi, mengamati sendiri atau
melalui laporan langsung secara lisan dan
memperbaiki/mengatasi kelemahan/kendala yang terjadi saat itu
juga
2) Pengawasan tidak langsung mengecek daftar hadir katim ,
membaca dan memeriksa rencana keperawatan serta catatan
yang dibuat selama dan sesudah proses keperawatan

20
dilaksanakan, mendengarakn laporan katim tentang pelaksanaan
tugas
6. Evaluasi
a. Fungsi pengendalian:
1) Mengevaluasi kinerja katim.
2) Memberikan umpan balik pada kinerja katim.
3) Mengatasi masalah di ruang rawat dan menetapkan tidak lanjut.
4) Memperhatikan aspek legal dan etik keperawatan.
5) Melakukan pelaporan dan pendokumentasian.

2. Katim:
a. Membuat perencanaan berdasarkan tugas dan kewenangannya yang
didelegasikan oleh karu.
b. Membuat penugasan, supervisi dan evaluasi.
c. Mengetahui kondisi pasien dan dapat menilai kebutuhan pasien.
d. Mengembangkan kemampuan anggota.
e. Menyelenggarakan konferensi.

Peran katim dalam


1. Pengkajian :
Mengumpukan data kesehatan klien
2. Perencanaan
a. Bersama karu mengadakan serah terima tugas setiap pergantian dinas
b. Melakukan pembagian tugas atas anggota kelompoknya
c. Menyusun rencana askep
d. Menyiapkan keperluan untuk melaksankan askep
e. Mengikuti visite dokter
f. Menciptakan kerjasama yang harmonis antar tim dan antar anggota
tim
g. Memberi ertolongan segera pada klien dengan kedaruratan
h. Membuat laporan pasien
i. Melakukan ronde keperawatan bersama karu
j. Mengorientasikan pasien baru
3. Pengorganisasian
a. Merumuskan tujuan dari pengorganisasian tim keperawatan
b. Melakukan pembagian tugas bersama karu sesuai dnegan perencanaan
terhadap pasien yang menjadi tanggung jawabnya.
c. Pembagian kerja sesuai dengan tingkat ketergantungan pasien
d. Mengkoordinir pekerjaan yang harus dilakukan bersama anggota tim
kesehatan lain
e. Mengatur waktu istirahat untuk anggota tim

21
f. Mendelegasikan pelaksanaan proses askep kepada anggota tim dan
pelimpahan wewenang: pengambilan keputusan dan penggunaan
sumber daya.
g. Membuat rincian tugas anggota tim meliputi pemberian askep,
kerjasama anggota dan antar tim.
4. Pengarahan
a. Memberikan pengarahan kepada anggota tim
b. Memberikan bimbingan pada anggota tim
c. Memberikan informasi yang berhubungan dengan askep
d. Mengawasi proses pemberian askep
e. Melibat anggota tim sampai awal dan akhir kegiatan
f. Memberikan pujian/motivasi kepada anggota tim
g. Melakukan pelaporan dan pendokumentasian
5. Pengawasan
a. Melalui komunikasi mengawasi dan berkomunikasi langsung dengan
perawat pelaksana dalam memberi askep
b. Melalui Supervisi: melihat/mengawasi proses askep yang
dilaksanakan oleh anggota tim dan melihat catatan yang dibuat selama
proses keperawatan serta mendengar laporan secara lisan tentang
tugas yang dilakukan.
6. Pengarahan
a. Memberi pengarahan tentang tugas setiap anggota tim.
b. Memberi petunjuk kepada anggota tim dalam melaksnakan askep
c. Memberi teguran, pengarahan kepada anggota tim yang melalaikan
tugasnya atua membuat kesalahan
d. Memberi pujian kepada anggota tim yang melaksanakan tugasnya
dengan baik: tepat waktu, berdasarkan prinsip, rasional, dan sesuai
kebutuhan pasien.
7. Evaluasi
Fungsi pengendalian:
a. Mengevaluasi asuhan keperawatan
b. Memberikan umpan balik pada pelaksana
c. Memperhatikan aspek legal dan etik
d. Melakukan pelaporan dan pendokumentasian

3. Perawat Pelaksana (PP)


Perawat pelaksana: Seorang perawat yang diberikan wewenang dan
ditugaskan untuk memberikan pelayanan keperawatan langsung kepada klien.
Tugas Perawat Pelaksana:

22
1. Memberikan perawatan secara langsung berdasarkan proses keperawatan
dengan sentuhan kasih sayang.
a. Melaksanakan tindakan perawatan yang telah disusun.
b. Mengevalusai tindakan keperawatan yang telah diberikan.
c. Mencatat dan melaporkan semua tindakan perawatan dan repons pasien
pada catatan perawatan.
2. Melaksanakan program medik dengan penuh tanggung jawab, misal:
a. Pemberian obat.
b. Pemeriksaan laboratorium.
c. Persiapan pasien yang akan dioperasi.
Perawat pelaksana: Seorang perawat yang diberikan wewenang dan
ditugaskan untuk memberikan pelayanan keperawatan langsung kepada klien.
Peran Perawat Pelaksana Pengkajian- : mengkaji kesiapan pasien dan diri sendiri
untuk melaksanakan suhan keperawatan.
1. Perencanaan
a. Bersama Karu mengadakan serah terima tugas.
b. Menerima pembagian tugas dari katim.
c. Bersama katim menyiapkan keperluan untuk melaksanakan asuhan
keperawatan.
d. Mengikuti ronde keperawatan.
e. Menerima pasien baru.
2. Implementasi
Fungsi Pengorganisasian:
a. Menerima penjelasan tujuan pengorganisasian tim.
b. Menerima pembagian tugas.
c. Melaksanakan tugas yang diberikan oleh katim.
d. Melaksanakan program kolaborasi dengan tim kesehatan lain.
e. Menyesuiakn waktu istirahat dengan anggota tim lainnya.
f. Melaksanakan asuhan keperawatan.
g. Menunjang pelaporan, mencatat tindakan keperawatan yang dilaksanakan.
Fungsi pengarahan:
a. Menerima pengarahan dan bimbingan dari katim.
b. Menerima informasi yang berkaitan dengan askep dan melaksanakan askep
dengan etik dan legal.
c. Memehami pemahaman yang telah dicapai.
d. Menunjang pelaporan dan pendokumentasian.
3. Evaluasi
Fungsi pengendalian:
Menyiapkan menunjukkan bahan yang diperlukan untuk proses evaluasi serta
ikut mengevaluasi kondisi pasien.

23
II.2 KONSEP PATIENT SAFETY
Keselamatan pasien (patient safety) rumah sakit adalah suatu sistem dimana
rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Sistem tersebut meliputi asesmen
risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko. Sistem
tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh
kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak melakukan tindakan
yang seharusnya dilakukan. (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit,
Depkes R.I. 2006)
Setiap tahun menetapkan National Patient Safety Goals (sejak 2002), Juli
2003: Menerbitkan Pedoman The Universal Protocol for Preventing Wrong Site,
Wrong Procedure, Wrong Person Surgery, Maret 2005 mendirikan International
Center for Patient Safety. (JCAHO-Joint Comm. On Accreditation for Healthcare
Organization USA)
WHO Health Assembly ke 55 Mei 2002 menetapkan resolusi yang
mendorong negara untuk memberikan perhatian kepada problem Patient Safety
meningkatkan keselamatan dan sistem monitoring. Pada bulan Oktober 2004,
WHO dan berbagai lembaga mendirikan World Alliance for Patient Safety
dengan tujuan mengangkat isu Patient Safety Goal First do no harm dan
menurunkan morbiditas, cedera dan kematian yang diderita pasien. (WHO: World
Alliance for Patient Safety, Forward Programme, 2004). Enam tujuan penanganan
patient safety menurut Joint Commission International antara lain:
mengidentifikasi pasien dengan benarmeningkatkan komunikasi secara efektif,
meningkatkan keamanan dari high-alert medications, memastikan benar tempat,
benar prosedur, dan benar pembedahan pasien, mengurangi risiko infeksi dari
pekerja kesehatan, mengurangi risiko terjadinya kesalahan yang lebih buruk pada
pasien.
Salah satu penyebab utama kesalahan yang tidak dapat dihindarkan oleh
pasien dalam organisasi perawatan kesehatan adalah kesalahan pengobatan.
Pengobatan dengan risiko yang paling tinggi yang menyebakan luka melalui
penyalahgunaan (meliputi kemoterapi, konsentrasi cairan elektrolit, heparin, IV
digoxin, dan adrenergic agonists) adalah dkenal sebagai high-alert drugs.

24
Namun mungkin kesalahan atau mungkin tidak menjadi lebih banyak dengan
obat-obatan tersebut dibandingkan obat yang lainnya, mungkin berhubungan
dapat juga lebih menghancurkan atau memperburuk.
Pada tahun 1999, sekitar 160 organisasi perawat kesehatan melalui United
States- based Institute for Safe Medication Practices (ISMP), lima pengobatan
yang sering terjadi dan hasil yang salah dalam kematian atau masalah yang serius
yang mana adalah Insulin, Opiates and narcotics, Injectable potassium
chloride/phosphate concentrate, Intravenous anticoagulants (heparin) dan
sodium chloride solutions di atas 0.9 %.
Obat-obatan adalah salah satu bagian yang terpenting dalam penanganan
pada pasien untuk memastikan patient safety. Seperti, potassium chloride (2
mEq/ml atau konsentrasi yang lebih), pothasium phosphate, sodium chloride
(0,9%) atau dengan konsentrasi lebih), dan magnesium sulfate (50% atau
konsentrasi lebih). Kesalahan ini dapat juga muncul ketika angota staf tidak engan
benar mengorientasikan ke unit perawatan pasien, ketika perawat kontrak dan
digunakan dan tidak berorientasi dengan benar, atau selama keadaan gawat
darurat. Pada staf pendidik dapat dicegah Look-Alike, Sound Alike Errors
mengajarkan staf untuk mencegah bunyi kedengarannya sama tetapi berbeda
dengan menggunakan:
1. Menuliskan dengan benar dan mengucapkan ketika mengkomunikasikan
informasi dalam pengobatan. Buat pendengar tersebut mengulang
kembali pengobatan tersebut untuk meyakinkan mereka mengerti dengan
benar.
2. Mengingatkan merek tersebut dan nama obat generik yang biasa
diucapakan dan seperti terlihat.
3. Memperhatikan potensial untuk kesalahan kesalahan pembagian ketika
menambahkan obat
4. Kelompokkan obat dengan kategori daripada dengan alpabet.
5. Mengingatkan menempatkan dalam sistem komputer dan di atas label
pada tempat pengobatan untuk tanda dokter, perawat, dan farmasi pada
masalah yang potensial.
6. Meliputi indikasi pada pengobatan dalam menolong farmasi
mengidentifikasi masalah potensial.

25
7. Melakukan check tempat atau label pengobatan selain label pasien
sebelum memberikan dosis kepada pasien (Joint Commission
International, 2007).
Terdapat enam tahapan untuk mengambil keputusan dalam pemberian
pengobatan yaitu:
1. Membuat diagnosa yang benar.
2. Mengerti patofisiologi pada penyakit tersebut, review pilihan menu dari
farmakoterapi.
3. Teliti pasien obat dan dosis yang benar.
4. Memilih poin-poin akhir atau bagian untuk mengikuti.
5. Memelihara hubungan terapeutik dg pasien. (Melmon and Morellis
Clinical Pharmacology, 2000).
Adapun untuk memberikan obat dengan tepat terdapat 6 tepat yang harus
diperhatikan yaitu:
1. Tepat obat: mengecek program terapi pengobatan dari dokter,
menanyakan ada tidaknya alergi obat, menanyakan keluhan pasien
sebelum dan setelah memberikan obat, mengecek label obat, mengetahui
reaksi obat, mengetahui efek samping obat, hanya memberikan obat yang
didiapkan diri sendiri.
2. Tepat dosis: mengecek program terapi pengobatan dari dokter, mengecek
hasil hitungan dosis dengan dengan perawat lain, mencampur/mengoplos
obat.
3. Tepat waktu: mengecek program terapi pengobatan dari dokter,
mengecek tanggal kadarluarsa obat, memberikan obat dalam rentang 30
menit.
4. Tepat pasien: mengecek program terapi pengobatan dari dokter,
memanggil nama pasien yang akan diberikan obat, mengecek identitas
pasien pada papan/kardeks di tempat tidur pasien
5. Tepat cara pemberian: mengecek program terapi pengobatan dari dokter,
mengecek cara pemberian pada label/kemasan obat.
6. Tepat dokumentasi: mengecek program terapi pengobatan dari dokter,
mencatat nama pasien, nama obat, dosis, cara, dan waktu pemberian obat
(Kozier, B. Erb, G. & Blais, K. (1997).

26
II.2.1 Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit Sebagai Langkah Strategis
Keselamatan Pasien Rumah Sakit- KPRS (patient safety) adalah suatu
system dimana RS membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ni termasuk: asesment
risiko, Identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
Peloporan dan analisis insiden, Kemampuan belajar dari insiden dan tindak
lanjutnya serta Implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.
Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya
diambil. Tujuan sistem keselamatan pasien RS:
1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS
2. Meningkatnya akuntabilitas RS terhadap pasien dan masyarakat,
3. Menurunnya KTD di RS,
4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan KTD (Buku Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah
sakit, Depkes R.I. 2006)
World Alliance for Patient Safety menyusun program: Six areas of action for
2005:
1. Tantangan Global Keselamatan Pasien. Focusing over an initial two-year
cycle on the challenge of health-care associated infection 2005-2006:
Clean care associated infection: Clean Care is safer Care
2. Pasien untuk Keselamatan Pasien. Involving patient organizations and
individuals in Alliance work.
3. Taxonomy untuk Keselamatan Pasien. Ensuring consistency in the
concepts, principles, norms and terminology used in patient safety work.
4. Riset untuk Keselamatan Pasien. Promoting existing interventions in
patient safety and coordinating international efforts to develop solutions.
5. Pelaporan dan Pembelajaran. Generating best practice guidelines for
existing and new reporting systems.
Programe: six areas of action (2005)
1. Speak up if you have guestions or concerns: its your right to know.
2. Pay attention to the care you are receiving.
3. Educate youself about your diagnosis, test and treatment.
4. Ask a trusted family member or friend to be your advocate.
5. Know what medications you take and why you take them.
6. Use a health care provider that rigorously evaluates itself against
safety standars.

27
7. Participate in all decisions about your care (WHO: World Alliance for
Patient safety, Forward Programme, 2004)

II.2.2 Menurut Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit (Depkes


R.I. 2006) Terdapat tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien Rumah
Sakit:
1. Membangun kesadaran akan nilai KP, menciptakan kepemimpinan &
budaya yg terbuka & adil.
2. Memimpin dan dukung staf anda, membangun komitmen & fokus yang
kuat & jelas tentang KP di RS Anda
3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko, mengembangkan sistem
dan proses pengelolaan risiko, serta melakukan identifikasi & asesmen
hal yang potensial bermasalah
4. Mengembangkan sistem pelaporan, memastikan staf agar dgn mudah
dapat melaporkan kejadian / insiden, serta RS mengatur pelaporan kpd
KKP-RS.
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien, mengembangkan cara-
cara komunikasi yg terbuka dgn pasien
6. Melakukan kegiatan belajar & berbagi pengalaman tentang kp,
mendorong staf anda utk melakukan analisis akar masalah untuk belajar
bagaimana & mengapa kejadian itu timbul
7. Mencegah cedera melalui implementasi sistem KP, menggunakan
informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan
perubahan pada sistem pelayanan.

II.2.3 Adapun 7 Standar Keselamatan Pasien RS (KARS DepKes)


1. Hak pasien.
2. Mendidik pasien dan keluarga.
3. Keselamatan pasien dan asuhan berkesinambungan.
4. Penggunaan metoda-metoda peningkatan kinerja, untuk melakukan
evaluasi dan meningkatkan keselamatan pasien.
5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien 6.
Mendidik staf tentang keselamatan pasien.
6. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan
pasien. (Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah sakit, Depkes R.I.
2006).

28
II.2.4 Indikator Patient Safety
Indikator patient safety merupakan ukuran yang digunakan untuk
mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator
ini dapat digunakan bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah
diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat
untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di
rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang
berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada IPS ini
maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah
timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada pasien. (Dwiprahasto,
2008).
Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS
tingkat area pelayanan.
1. Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk
mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien
mendapatkan berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini
hanya mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder akibat
terjadinya risiko pasca tindakan medik.
2. Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan
medik yang didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat
(kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun
diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik.

II.2.5 Tujuan penggunaan Indikator Patient Safety


Indikator patient safety (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area
pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, seperti
misalnya untuk menunjukkan:
1. adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu.
2. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau
terapi sebagaimana yang diharapkan
3. tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan
4. Disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan (pemerintah vs
swasta atau urban vs rural). (Dwiprahasto, 2008).

29
Selain penjelasan di atas metode tim perlu menjadi strategi dalam
penanganan patient safety karena metode tim merupakan metode pemberian
asuhan keperawatan, yaitu seorang perawat profesional memimpin sekelompok
tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada sekelompok
pasien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif. (Sitorus, 2006). Pada metode ini
juga memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh. Adanya pemberian
asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. (Nursalam, 2002). Jadi dengan
pemberian asuhan keperawatan yang menyeluruh kepada pasien diharapkan
keselamatan pasien dapat diperhatikan, sehingga dapat meningkatkan mutu
pelayanan.

II.3 KONSEP INFEKSI NOSOKOMIAL


II.3.1 Definisi Infeksi
Infeksi adalah penyakit yang dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain
atau dari hewan ke manusia (Gibson, 1997). Sedangkan menurut pendapat lain
bahwa infeksi adalah akibat dari invasi mikrooorganisme patogen kedalam tubuh
dan reaksi jaringan yang terjadi pada penjamu terhadap organisme toksinnya
(Scharwtz, 2000).

II.3.2 Definisi Infeksi Nosokomial


Infeksi nosokomial disebut juga infeksi rumah sakit (Hospital Infection atau
Associated Infection) adalah infeksi yang terjadi pada seseorang penderita yang
sedang dirawat atau berobat jalan dirumah sakit dan waktu tidak sedang dalam
masa tunas suatu penyakit menular (Chairuddin, 2001).
Pengertian tentang infeksi nosokomial adalah infeksi akibat transmisi
organisme patogen ke pasien yang sebelumnya tidak terinfeksi, yang berasal dari
lingkungan rumah sakit (Scharwtz, 2000)

II.3.3 Etiologi Infeksi Nosokomial


Terjadinya infeksi nosokomial dapat disebabkan beberapa elemen yang
dikemukakan oleh (Patricia, 2005) yaitu:
a. Agen Infeksius
Infeksi nosokomial dapat disebabkan oleh beberapa macam agen
penyakit dapat berupa bakteri, virus, jamur, protozoa, dan macam-macam
agen penyakit ini ditentukan pula oleh patogenitas, daya invasi, dan dosis
infeksinya.

30
b. Reservoir
Reservoir adalah tempat patogen mampu bertahan hidup tetapi dapat atau
tidak berkembang biak (Patricia, 2005). Reservoir yang paling umum
adalah tubuh manusia. Berbagai mikroogranisme hidup pada kulit dan
dalam rongga tubuh, cairan dan keluaran.
c. Portal keluar
d. Setelah mikrooganisme menemukan tempat untuk tumbuh dan
berkembang biak, mereka harus menemukan salah keluar jika mereka
masuk ke pejamu lain dan menyebabkan penyakit. Mikroorganisme dapat
keluar melalui berbagai tempat, seperti kulit dan membran mukosa,
traktus respiratorrius, traktus urinarius, traktus gastrointestinal, traktus
reproduktif dan darah.
e. Penularan
Ada banyak cara penularan mikroorganisme dari reservoir ke penjamu
(host).Penyakit infeksius tertentu cenderung ditularkan secara lebih
umum melalui cara yang spesifik. Mikroorganisme yang sama dapat
ditularkan melalui lebih dari satu rute. Misalnya, herpes zoster dapat
disebarkan melalui udara dalam nuklei droplet atau melalui kontak
langsung. Meskipun cara utama penularan mikroorganisme adalah tangan
dari pemberi layanan kesehatan, hampir semua objek dalam lingkungan
dapat menjadi alat penularan patogen. Semua personel rumah sakit yang
memberi pelayanan diagnostik dan pendukung.
f. Portal Masuk
Organisme dapat masuk kedalam tubuh melalui rute yang sama dengan
yang digunakan untuk keluar. Faktor-faktor yang menurunkan daya tahan
tubuh memperbesar kesempatan patogen masuk kedalam tubuh.

II.3.4 Klasifikasi Infeksi Nosokomial


Menurut (David, 2003) ada beberapa klasifikasi infeksi nosokomial
berdasarkan tempatnya, adalah sebagai berikut:
a. Community acquired infection
Umumnya tiap-tiap rumah sakit telah mempunyai policy untuk
menempatkan dan perawatan dari penderita dengan penyakit menular.
Problema timbul bila diagnosa tidak segera dapat ditegakkan sesaat
sipenderita masuk kerumah sakit, sehingga penderita bisa menularkan
penyakitnya pada penderita lain.
b. Cross infection (infeksi silang)

31
Kebanyakan orang menganggap bahwa infeksi silang inilah yang
dimaksud dengan infeksi nosokomial. Infeksi ditularkan dari penderita
atau anggota staf rumah sakit kependerita lainnya.
c. Infection acquired form the environtment
Keadaan lingkungan ini selalu dituduh sebagai penyebab infeksi
nosokomial. Seperti lingkungan yang kotor dalam rumah sakit, alat-alat
untuk pemeriksaan atau pengobatan. Infeksi atau keracunan dari
makanan yang disediakan dirumah sakit.
d. Self infection (infeksi diri sendiri)
Ini adalah penyebab infeksi nosokomial yang tersering. Disini kuman-
kuman jaringan tubuhnya dan menimbulkan penyakit. Misalnya pada
pemberian antibiotik flora usus. Flora usus yang tadinya tidak, oleh
karena terjadinya empat komponen yang terlihat dibawah ini merupakan
gambaran dari hospital infection. Faktor-faktor yang menentukan
terjadinya infeksi.

II.3.5 Cara Penularan Mikroorganisme


Transmisi mikroorganisme di rumah sakit dapat terjadi dengan berbagai
cara, bisa lebih dari satu cara. Menurut (Slack, 2003) ada lima cara terjadinya
transmisi mikroorganisme yaitu:
a. Contact transmision
Transmisi Kontak adalah yang paling sering pada infeksi nosokomial,
dibagi menjadi dua bagian yaitu secara langsung dan tidak langsung.
Kontak langsung (direct contact); transmisi mikroorganisme langsung
permukaan tubuh seperti saat memandikan, membalikkan pasien pada
saat melakukan kegiatan asuhan keperawatan, menyentuh permukaan
tubuh pasien.
Kontak tidak langsung (indirect contact) kontak dengan kondisi orang
yang lemah melalui peralatan yang terkontaminasi seperti peralatan
instrumen yang terkontaminasi, jarum, tangan yang terkontaminasi tidak
dicuci dan sarung tangan tidak diganti diantara pasien.
b. Droplet transmission (percikan)
Secara teroritikal merupakan bentuk kontak transmisi, namun mekanisme
transfer mikroorganisme. Patogen ke penjamu ada jarak dari transmisi
kontak. Droplet transmisi dapat terjadi ketika batuk, bersin, berbicara dan
saat melakukan tindakan khusus.
c. Airbone transmission (melalui udara)

32
Transmisi melalui udara yang terkontaminasi dengan mikroorganisme
patogen, memiliki partikel kurang yang sama dengan mikron. Tranmisi
terjadi ketika menghirup udara yang mengandung mikroorganisme
patogen. Mikroorganisme dapat tinggal di udara beberapa waktu
sehingga penanganan khusus udara dan ventilias perlu dilakukan.
Mikroorganisme yang transmisi melalui udara adalah mycobacteroum
tuberculosis, rubeola dan varicella virus.
d. Food Borne (melalui makanan)
Transmisi mikroorganisme melalui makanan alat kesehatan dan peralatan
yang terkontaminasi dengan mikroorganisme patogen.
e. Blood Borne (melalui darah)
Terjadinya infeksi dapat berasal dari penyakit HIV, hepatitis B dan C
melalui jarum suntik yang telah terkontaminasi.

II.3.6 Pencegahan Infeksi Nosokomial


Pada tahun (1995) Centre Of Disease Control and Prevention menetapkan
dua bentuk pencegahan yaitu : Tindakan pencegahan standart, didesain untuk
semua perawatan pasien di rumah sakit tanpa memperhatikan diagnosis mereka
atau status infeksi sebelumnya. Tindakan pencegahan tranmisi, yang dibagi dalam
kategori udara, droplet dan kontak dan digunakan pada pasien yang diketahui atau
dicurigai terinfeksi atau terkolonisasi patogen secara epidemiologis dapat
ditularkan melalui udara dan kontak . Tindakan pencegahan standart diterapkan
untuk darah, sekresi, dan ekresi cairan tubuh tanpa memperhatikan apakah
mengandung darah yang terlihat dan membran mukosa. Tindakan pencegahan
berdasarkan tranmisi dirancang untuk pasien yang telah didokumentasikan
megalami atau dicurigai terinfeksi yang dapat ditransmisikan melalui udara atau
droplet, organisme yang penting secara epidemiologis, termasuk isolasi penyakit
menular (Swearing, 2001)
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian infeksi harus disesuaikan
dengan rantai terjadinya infeksi nosokomial sebagai berikut menurut (Patricia,
2005) yaitu :
a. Kontrol atau eleminasi agen infeksius
Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi terhadap objek yang
terkontaminasi secara signifikan mengurangi dan seringkali
memusnahkan mikroorganisme.

33
Pembersihan adalah membuang sampah material asing seperti otoran dan
materi organik dari suatu objek. Desinfeksi menggambarkan proses yang
memusnahkan banyak atau semua mikroorganisme, denan pengecualian
spora bakteri, dari objek yang matim Biasanya menggunakan desinfeksi
kimia atau pasteurisasi basah. Sterilisasi adalah pemusnahan seluruh
mikroorganisme termasuk spora.
b. Kontrol atau eleminasi reservoir
Untuk mengeliminasi reservoir perawat harus membersihkan cairan
tubuh, drainase, atau larutan yang dapat merupakan tempat
mikroorganisme. Perawat juga membuang sampah dengan hati-hati alat
yang terkontaminasi material infeksius.Semua institusi kesehatan harus
memiliki pedoman untuk membuang materi sampah infeksius menurut
kebijakan lokal dan negara.
c. Kontrol terhadap portal keluar
Perawat mengikuti praktik pencegahan dan kontrol untuk meminimalkan
atau mencegah organisme yang keluar melalui saluran pernafasan,
perawat harus selalu menghindari berbicara langsung menghadap pasien
Perawat harus selalu menggunakan sarung tangan sekali pakai bila
menangani eksudat. Masker, gown dan kacamata jika terdapat
kemungkinan adanya percikan dan kontak cairan. Perawat yang demam
ringan namun tetap bekerja harus memakai masker, khususnya bila
mengganti balutan atau melakukan prosedur steril. Perawat juga
bertanggung jawab mengajarkan klien untuk melindungi orang lain pada
saat bersin dan batuk. Cara lain mengontrol keluarnya mikroorganisme
adalah penanganan yang hati-hati terhadap eksudat. Cairan yang
terkontaminasi dapat dengan mudah terpecik saat dibuang ditoilet atau
bak sampah.
d. Pengendalian penularan
Pengendalian efektif terhadap infeksi mengharuskan perawat harus tetap
waspada tentang jenis penularan dan cara mengontrolnya. Bersihkan dan
sterilkan semua peralatan yang reversibel. Teknik yang paling penting
adalah mencuci tangan dengan aseptik. Untuk mencegah penularan
mikroorganisme melalui kontak tidak langsung, peralatan dan bahan
yang kotor harus dijaga supaya tidak bersentuhandengan baju perawat.

34
Tindakan yang salah sering dilakukan adalah mengangkat linen yang
kotor langsung dengan tangan memgenai seragam.
e. Kontrol terhadap portal masuk
Dengan mempertahankan integritas kulit dan membran mukosa
menurunkan kemungkinan penjamu. Tenaga kesehatan harus berhati-hati
terhadap resiko jarum suntik. Perawat harus menjaga kesterilan alat dan
tindakan invasif. Klien, tenaga kesehatan dan tenaga kebersihan beresiko
mendapat infeksi dari tusukan jarum secara tidak sengaja. Pada saat
pembersihan luka perawat menyeka bagian dalam dulu kemudian bagian
luar.
f. Perlindungan terhadap penjamu yang rentan
Tindakan isolasi atau barier termasuk penggunaan gown, sarung tangan,
kacamata dan masker serta alat pelindung lainnya. Perawatan semua
klien, kewaspadaan berdasarkan penularan perlukaan untuk memgurangi
resiko infeksi untuk klienm Tanpa memandang jenis sistem isolasi,
perawat harus mengikuti prinsip dasar yaitu : harus mencuci tangan
sebelum masuk dan meninggalkan ruang isolasi, benda yang
terkontaminasi harus dibuang untuk mencegah penyebaran
mikroorganisme, pemgetahuan tentang proses penyakit dan jenis
peenularan infeksi harus diaplikasikan paa saat menggunakan barrier
pelindung, semua orang yang kemungkinan terpapar selama perpindahan
klien diluar kamar isolasi harus dilindungi. Lingkungan yang protektif
yang digunakan untuk isolasi dapat memiliki tekanan udara yang negatif
untuk mencegah partikel infeksius mengalir keluar dari ruangan. Ada
juga kamar khusus dengan tekanan aliran positif digunakan pada pasien
yang rentan seperti resepien transplantasi.
g. Perlindungan bagi perawat
Perlindungan barier harus sudah tersedia bagi pekerja yang memasuki
kamar isolasi, penggunaan gown, sarung tangan, masker dan kacamata
pelindung. Perawat mengenakan sarung tangan bila resiko terpapar
materi infeksius, khususnya sarung tangan direkomendasikan saat
perawat ada goresan atau luka pada kulit, saat melakukan fungsi vena,
karena mereka beresiko terkena tumpahan darah atau cairan tubuh
lainnya pada tangan, dan bila mereka kurang pengalaman. CDC lebih

35
lanjut merekomendasikan bahwa sarung tangan hanya digunakan sekali
pakai.

II.4 KONSEP TRIAGE


a. Pengertian Triage
Triage adalah suatu konsep pengkajian yang cepat dan terfokus
dengan suatu cara yang memungkinkan pemanfaatan sumber daya manusia,
peralatan serta fasilitas yang paling efisien dengan tujuan untuk memilih
atau menggolongkan semua pasien yang memerlukan pertolongan dan
menetapkan prioritas penanganannya (Kathleen dkk, 2008).
Triage adalah usaha pemilahan korban sebelum ditangani,
berdasarkan tingkat kegawatdaruratan trauma atau penyakit dengan
mempertimbangkan prioritas penanganan dan sumber daya yang ada.
Triage adalah suatu sistem pembagian/klasifikasi prioritas klien
berdasarkan berat ringannya kondisi klien/kegawatannya yang memerlukan
tindakan segera. Dalam triage, perawat dan dokter mempunyai batasan
waktu (respon time) untuk mengkaji keadaan dan memberikan intervensi
secepatnya yaitu 10 menit.
Triase berasal dari bahasa prancis trier bahasa inggris triage
danditurunkan dalam bahasa Indonesia triase yang berarti sortir. Yaituproses
khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera ataupenyakit untuk
menentukan jenis perawatan gawat darurat. Kiniistilah tersebut lazim
digunakan untuk menggambarkan suatu konseppengkajian yang cepat dan
berfokus dengan suatu cara yangmemungkinkan pemanfaatan sumber daya
manusia, peralatan sertafasilitas yang paling efisien terhadap 100 juta orang
yang memerlukanperawatan di UGD setiap tahunnya.(Pusponegoro, 2010)

b. Prinsip Dan Tipe Triage


Di rumah sakit, didalam triase mengutamakan perawatan pasien
berdasarkan gejala. Perawat triase menggunakan ABCD keperawatan
seperti jalan nafas, pernapasan dan sirkulasi, serta warna kulit,
kelembaban, suhu, nadi, respirasi, tingkat kesadaran dan inspeksi visual
untuk luka dalam, deformitas kotor dan memar untuk memprioritaskan

36
perawatan yang diberikan kepada pasien di ruang gawat darurat. Perawat
memberikan prioritas pertama untuk pasien gangguan jalan nafas,
bernafas atau sirkulasi terganggu.Pasien-pasien ini mungkin memiliki
kesulitan bernapas atau nyeri dada karena masalah jantung dan mereka
menerima pengobatan pertama.Pasien yang memiliki masalah yang
sangat mengancam kehidupan diberikan pengobatan langsung bahkan
jika mereka diharapkan untuk mati atau membutuhkan banyak sumber
daya medis. (Bagus,2007).
Menurut Brooker, 2008. Dalam prinsip triase diberlakukan system
prioritas, prioritas adalah penentuan/penyeleksian mana yang harus
didahulukan mengenai penanganan yang mengacu pada tingkat ancaman
jiwa yang timbul dengan seleksi pasien berdasarkan : 1) Ancaman jiwa
yang dapat mematikan dalam hitungan menit. 2) Dapat mati dalam
hitungan jam. 3) Trauma ringan. 4) Sudah meninggal.Pada umumnya
penilaian korban dalam triage dapat dilakukan dengan:
1) Menilai tanda vital dan kondisi umum korban.
2) Menilai kebutuhan medis.
3) Menilai kemungkinan bertahan hidup.
4) Menilai bantuan yang memungkinkan.
5) Memprioritaskan penanganan definitive.
6) Tag Warna.

c. Prinsip dalam pelaksanaan triase :


1) Triase seharusnya dilakukan segera dan tepat waktu.
Kemampuan berespon dengan cepat terhadap kemungkinan
penyakit yang mengancam kehidupan atau injuri adalah hal yang
terpenting di departemen kegawatdaruratan.
2) Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat.
Intinya, ketetilian dan keakuratan adalah elemen yang terpenting
dalam proses interview.
3) Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian.
Keselamatan dan perawatan pasien yang efektif hanya dapat
direncanakan bila terdapat informasi yang adekuat serta data yang
akurat.
4) Melakukan intervensi berdasarkan keakutan dari kondisi.
5) Tanggung jawab utama seorang perawat triase adalah mengkaji
secara akurat seorang pasien dan menetapkan prioritas tindakan

37
untuk pasien tersebut. Hal tersebut termasuk intervensi terapeutik,
prosedur diagnostic dan tugas terhadap suatu tempat yang dapat
diterima untuk suatu pengobatan.
6) Tercapainya kepuasan pasien
a) Perawat triase seharusnya memenuhi semua yang ada di atas
saat menetapkan hasil secara serempak dengan pasien
b) Perawat membantu dalam menghindari keterlambatan
penanganan yang dapat menyebabkan keterpurukan status
kesehatan pada seseorang yang sakit dengan keadaan kritis.
c) Perawat memberikan dukungan emosional kepada pasien dan
keluarga atau temannya.
Time Saving is Life Saving (respon time diusahakan sesingkat
mungkin), The Right Patient, to The Right Place at The Right
Time, with The Right Care Provider.
Pengambilan keputusan dalam proses triage dilakukan berdasarkan :
1) Ancaman jiwa mematikan dalam hitungan menit
2) Dapat mati dalam hitungan jam
3) Trauma ringan
4) Sudah meninggal

d. Klasifikasi dan Penentuan Prioritas


Berdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage
didasarkan pada keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang
mencakup keadaan umum pasien serta hasil pengkajian fisik yang
terfokus. Menurut Comprehensive Speciality Standard, ENA tahun 1999,
penentuan triase didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh kembang dan
psikososial selain pada factor-faktor yang mempengaruhi akses
pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat sistem pelayanan
kedaruratan.Hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup setiap gejala
ringan yang cenderung berulang atau meningkat keparahannya .
Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai
penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang
timbul.Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam sistem triage adalah
kondisi klien yang meliputi :

38
1) Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan
yang memerlukan penanganan dengan cepat dan tepat
2) Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi
memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatan
3) Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa
disebabkan oleh gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing /
pernafasan, Circulation / sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka
dapat meninggal / cacat (Wijaya, 2010)

Berdasarkan prioritas perawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :


Tabel 1. Klasifikasi Triage
KLASIFIKASI KETERANGAN
Gawat darurat (P1) Keadaan yang mengancam nyawa / adanya
gangguan ABC dan perlu tindakan segera,
misalnya cardiac arrest, penurunan kesadaran,
trauma mayor dengan perdarahan hebat
Gawat tidak darurat (P2) Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak
memerlukan tindakan darurat. Setelah
dilakukan diresusitasi maka ditindaklanjuti
oleh dokter spesialis. Misalnya ; pasien kanker
tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan lainnya

Darurat tidak gawat (P3) Keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi
memerlukan tindakan darurat. Pasien sadar,
tidak ada gangguan ABC dan dapat langsung
diberikan terapi definitive. Untuk tindak lanjut
dapat ke poliklinik, misalnya laserasi, fraktur
minor / tertutup, sistitis, otitis media dan
lainnya
Tidak gawat tidak darurat (P4) Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak
memerlukan tindakan gawat. Gejala dan tanda
klinis ringan / asimptomatis. Misalnya
penyakit kulit, batuk, flu, dan sebagainya

39
Tabel 2. Klasifikasi berdasarkan Tingkat Prioritas (Labeling)
KLASIFIKASI KETERANGAN
Prioritas I (merah) Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi
dan tindakan bedah segera, mempunyai kesempatan
hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan
bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas,
pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan
nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka
terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka
bakar) tingkat II dan III > 25%
Prioritas II (kuning) Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila
tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat.
Penanganan dan pemindahan bersifat jangan
terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio
(luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma
thorak / abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.
Prioritas III (hijau) Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak
perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat
terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka ringan
Prioritas 0 (hitam) Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat
parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti
jantung kritis, trauma kepala kritis.

e. Proses Triage
Proses triage dimulai ketika pasien masuk ke pintu UGD. Perawat triage
harus mulai memperkenalkan diri, kemudian menanyakan riwayat singkat
dan melakukan pengkajian, misalnya melihat sekilas kearah pasien yang
berada di brankar sebelum mengarahkan ke ruang perawatan yang tepat.
Pengumpulan data subjektif dan objektif harus dilakukan dengan cepat,
tidak lebih dari 5 menit karena pengkajian ini tidak termasuk pengkajian
perawat utama. Perawat triage bertanggung jawab untuk menempatkan
pasien di area pengobatan yang tepat; misalnya bagian trauma dengan
peralatan khusus, bagian jantung dengan monitor jantung dan tekanan darah,
dll. Tanpa memikirkan dimana pasien pertama kali ditempatkan setelah

40
triage, setiap pasien tersebut harus dikaji ulang oleh perawat utama
sedikitnya sekali setiap 60 menit.
Untuk pasien yang dikategorikan sebagai pasien yang mendesak atau
gawat darurat, pengkajian dilakukan setiap 15 menit / lebih bila perlu.Setiap
pengkajian ulang harus didokumentasikan dalam rekam medis.Informasi
baru dapat mengubah kategorisasi keakutan dan lokasi pasien di area
pengobatan.Misalnya kebutuhan untuk memindahkan pasien yang awalnya
berada di area pengobatan minor ke tempat tidur bermonitor ketika pasien
tampak mual atau mengalami sesak nafas, sinkop, atau diaforesis.(Iyer,
2004).
Bila kondisi pasien ketika datang sudah tampak tanda - tanda objektif
bahwa ia mengalami gangguan pada airway, breathing, dan circulation,
maka pasien ditangani terlebih dahulu. Pengkajian awal hanya didasarkan
atas data objektif dan data subjektif sekunder dari pihak keluarga. Setelah
keadaan pasien membaik, data pengkajian kemudian dilengkapi dengan data
subjektif yang berasal langsung dari pasien (data primer)

f. Alur dalam proses triase.


1) Pasien datang diterima petugas / paramedis UGD.
2) Diruang triase dilakukan anamnese dan pemeriksaan singkat dan cepat
(selintas) untuk menentukan derajat kegawatannya oleh perawat.
3) Bila jumlah penderita/korban yang ada lebih dari 50 orang, maka
triase dapat dilakukan di luar ruang triase (di depan gedung IGD).
4) Penderita dibedakan menurut kegawatnnya dengan memberi
kodewarna:
a) Segera-Immediate (merah). Pasien mengalami cedera mengancam
jiwa yang kemungkinan besar dapat hidup bila ditolong segera.
Misalnya:Tension pneumothorax, distress pernafasan (RR<
30x/mnt), perdarahan internal, dsb.
b) Tunda-Delayed (kuning) Pasien memerlukan tindakan defintif
tetapi tidak ada ancaman jiwa segera. Misalnya : Perdarahan
laserasi terkontrol, fraktur tertutup pada ekstrimitas dengan
perdarahan terkontrol, luka bakar <25% luas permukaan tubuh,
dsb.

41
c) Minimal (hijau). Pasien mendapat cedera minimal, dapat berjalan
dan menolong diri sendiri atau mencari pertolongan. Misalnya :
Laserasi minor, memar dan lecet, luka bakar superfisial.
d) Expextant (hitam) Pasien mengalami cedera mematikan dan akan
meninggal meski mendapat pertolongan. Misalnya : Luka bakar
derajat 3 hampir diseluruh tubuh, kerusakan organ vital, dsb.
5) Penderita/korban mendapatkan prioritas pelayanan dengan urutan
warna : merah, kuning, hijau, hitam.
6) Penderita/korban kategori triase merah dapat langsung diberikan
pengobatan diruang tindakan UGD. Tetapi bila memerlukan tindakan
medis lebih lanjut, penderita/korban dapat dipindahkan ke ruang
operasi atau dirujuk ke rumah sakit lain.
7) Penderita dengan kategori triase kuning yang memerlukan tindakan
medis lebih lanjut dapat dipindahkan ke ruang observasi dan
menunggu giliran setelah pasien dengan kategori triase merah selesai
ditangani.
8) Penderita dengan kategori triase hijau dapat dipindahkan ke rawat
jalan, atau bila sudah memungkinkan untuk dipulangkan, maka
penderita/korban dapat diperbolehkan untuk pulang.
9) Penderita kategori triase hitam dapat langsung dipindahkan ke kamar
jenazah. (Rowles, 2007).

42
BAB III
ANALISA DATA

III.1 Gambaran UGD RSUD Depok


III.1.1 Visi dan Misi RSUD Depok
a. Visi
Visi adalah pernyataan umum arah organisasi dan impian
atau cita-cita yang ingin diwujudkan untuk dapat mengantisipasi
perubahan yang sedang dan akan terjadi. visi juga merupakan
gambaran masa depan yang digunakan sebagai cara pandang
rumah sakit, sehingga RSUD Kota Depok dapat memberikan
gambaran yang jelas kepada seluruh karyawannya mengenai apa
yang akan dicapai dimasa yang akan dating sesuai dengan target-
target yang telah direncanakan sebelumnya.
Visi RSUD Kota Depok adalah Menjadi Rumah Sakit
Umum Daerah Kelas B Sebagai Jejaring Pusat Stroke.
b. Misi
Misi merupakan komponen arah dan pelaksanaan visi suatu
organisasi. Dalam mewujudkan visi RSUD Kota Depok, perlu
dilakukan upaya-upaya yang telah tercantum pada misi RSUD
Kota Depok, yaitu sebagai berikut :

43
1. Memberikan pelayanan paripurna yang bermutu prima
kepada seluruh lapisan masyarakat;
2. Membentuk RSUD Kota Depok sebagai organisasi
pembelajar menuju Rumah Sakit Kelas B dengan
keunggulan Jejaring Pusat Stroke;
3. Meningkatkan komitmen, profesionalisme dan
produktivitas SDM RSUD Kota Depok;
4. Mengembangkan manajemen RSUD Kota Depok yang
efektif dan mandiri

c. Tujuan RSUD Kota Depok


Tujuan merupakan rincian lebih lanjut dari visi dan misi
yang telah ditetapkan. Tujuan RSUD Kota Depok dirumuskan
dengan detail dan jelas sehingga memudahkan untuk menjadikan
pedoman dalam menentukan arah haluan organisasi.
Tujuan RSUD Kota Depok adalah : Meningkatkan derajat
kesehatan bagi semua lapisan masyarakat Kota Depok melalui
pelayanan kesehatan yang berkualitas prima dan komprehensif
yang ditunjang dengan tenaga yang professional, produktif,
berkomitmen tinggi serta manajemen yang efektif dan mandiri.
d. Motto
Dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan, RSUD
Kota Depok memiliki motto yang bertujuan untuk menjiwai
semangat bekerja karyawan RSUD Kota Depok. Motto RSUD
Kota Depok adalah memberikan pelayanan yang CERIA (Cepat,
Efektif, Ramah, Inovatif, Aman) dan Profesional.
Motto tersebut dilaksanakan secara berlanjut dan
menyeluruh dengan sasaran meningkatkan kepuasan pelanggan
dalam hal ini adalah pasien dan keluarganya.

III.1.2 Gambaran Ruangan UGD RSUD Depok


Unit Gawat Darurat RSUD Depok terletak di bagian depan RSUD
Depok, dimana UGD melayani pasien dengan kondisi gawat maupun
darurat berdasarka triage yang dilakukan. Pelayanan UGD ditunjang

44
oleh pelayanan laboratorium, Radiologi dan Farmasi yang melayani
secara 24 jam.

a. Denah UGD RSUD Depok

Kabid keperawatan
Diah fitri S.Kep

Kasie Keperawatan Rajal Dan Askep


Winarni S. kep

Koordinator Perawat UGD


Pratitis citra S. Amk

PJ Alkes PJ Linen PJ Askep


Desti. Amk Libralia. Amk Ages Ismayantri. Amk

Ka. Tim pagi Ka. Tim siang Ka. Tim malam

b. Struktur Organisasi

Pelaksana

POS 45
Rini, Varra, Laras, Nursalam, Satria
III.1.3 Peralatan dan Fasilitas
Fasilitas untuk pasien
a. Secara keseluruhan ruang IGD memiliki 9 bed terdiri dari

Ruang tindakan : 2 bed

Ruang isolasi : 1 bed

Ruang resusitasi : 1 bed

Ruang rawat : 5 bed

b. AC : 2 buah
c. Kursi Roda : 2 buah
d. Tempat sampah : 9 buah
e. Wastafel : 1 buah

Administrasi penunjang untuk petugas kesehatan

1) Letak ruang perawat : 1 kamar


2) Kamar mandi/wc : 1 kamar

46
3) Ruang Karu : tidak ada
4) Nurse Station : 1 pinggir ruang pasien
5) Komputer : 1 buah
6) Telepon : 1 buah
7) Kulkas : 1 buah
8) AC : 2 buah
9) Televisi : 1 buah

Alat Medik

No Nama Barang Jumlah Yang Kondisi


Tersedia

1 Termometer 2 buah Baik

2 Stetoskop 5 buah Baik

3 Timbangan berdiri 1 buah Baik

4 Bak instrument 4 buah Baik

5 Kom 7 buah Baik

6 Waskom 3 buah Baik

7 Tensimeter 3 buah Baik

8 Nebulizer 1 buah Baik

9 Tabung Oksigen 8 buah Baik

10 Standar Infuse 9 buah Baik

11 Gunting perban 1 buah Baik

12 Kursi Roda 2 buah Baik

13 Reguler O2 13 buah Baik

14 Waskom 3 buah Baik

15 Masker Stok cukup Baik

47
16 Handscoon Stok cukup Baik

17 Alkohol swab Stok cukup Baik

18 Micropore Stok cukup Baik

19 Tourniquet 4 buah Baik

20 Handscrub 1 buah Baik

21 Lampu rontgen 1 buah Baik

22 Minor set 3 buah Baik

23 Syring pump 1 buah Baik

24 Tangga bed 6 buah Baik

25 Troly 5 buah Baik

26 Tromol 4 buah Baik

27 Bengkok 2 buah Baik

28 Korentan 1 buah Baik

29 Monitor DC shok 1 buah Baik

30 Pispot 2 buah baik

31 Saturasi O2 3 buah baik

32 Standar laringoscopi 2 buah baik

III.1.2 Analisa SWOT UGD RSUD Depok


1. Strenght
a. Dari hasil observasi hubungan kerja di ruang UGD terlihat baik,
kerjasama antar perawat terjalin akrab dan penuh kekeluargaan
b. Adanya komunikasi yang baik antar sesama perawat, dokter dan tim
medis lainnya.
c. Pemeliharaan kebersihan di ruangan UGD terjaga

48
d. Sudah tersedia wastafel di nurse station serta handrub di ruangan.
e. Perawat di ruangan UGD sebagian besar sudah memahami peran dan
fungsinya dalam menjalankan askep
f. Adanya format renpra, catatan perkembangan dan pengkajian yang
telah dijadikan acuan ruangan, sehingga memudahkan perawat
dalam melakukan pengkajian dan pelaksanaan askep serta
pendokumentasian
g. Terciptanya lingkungan kerja yang harmonis
h. Kerjasama yang terjalin antara petugas medis dan non medis
sangat baik
i. Perawat baik dan sopan

2. Weakness
a. 100% pendidikan perawat adalah Ahli Madya Keperawatan.
b. Kurang lengkapnya pengisian askep terutama pada pengkajian dan
rencana keperawatan.
c. Belum terdapat struktur organisasi di ruang UGD.
d. Kurangnya pemberian pendidikan kesehataan pada klien yang akan
pulang.
e. Belum diterapkannya metode operan dalam pergantian shift.
f. Tidak efektifnya peraturan batas pengunjung atau pendamping
pasien di UGD.
g. Tidak ditulisnya evaluasi pasien pada saat pasien pulang.
h. Terdapat papan identitas di semua ruangan tetapi tidak digunakan
secara maksimal.
i. Penataan alat medis yang kurang tertata rapi.
j. Tidak efektifnya penggunaan Triage dalam menangani pasien.
k. Kurang mendukungnya penyediaan alat-alat tidak habis pakai di
ruangan seperti timbangan bayi maupun alat-alat emergency lainnya.
l. Jumlah perawat tidak mencukupi dibandingkan dengan beban kerja
yang ada sehingga pelaksanaan asuhan keperawatan yang diberikan
kurang optimal.
m. Perawat seolah-olah hanya mengerjakan intervensi medik seperti
memberi obat dan memasang infus.
n. Asuhan keperawatan tidak berjalan optimal.
o. Pendokumentasian tidak maksimal.
p. Perawat sudah terbiasa dengan kondisi sekarang.

3. Oppotunities

49
a. Manajemen rumah sakit memberi kesempatan untuk pengembangan
pengetahuan perawat.
b. Adanya mahasiswa FIKES UPN Veteran Jakarta praktek profesi
manajemen yang diharapkan agen pembaharu dalam manajemen
ruangan.
c. Ruangan UGD mempunyai peluang untuk meningkatkan akreditasi.

4. Threathts
a. Semakin kritisnya masyarakat dengan kualitas pelayanan rumah
sakit, sehingga masyarakat akan lebih memilih rumah sakit yang
dianggap lebih baik.
b. Banyaknya Rumah Sakit lain yang lebih lengkap dari segi pelayanan
kesehatan maupun fasilitas.

III.1.3 Perumusan Masalah


Berdasarkan hasil analisa situasi ruangan, analisa SWOT, hasil observasi dan
wawancara maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
No Data Masalah
1. Data hasil dari observasi : Ketidakefektifan patient
1) Masih adanya beberapa perawat yang
safety (pencegahan infeksi
tidak menggunakan teknik cuci tangan 6
nosokomial).
langkah baik sebelum maupun sesudah
kontak dengan pasien.
2) Kurang efektifnya penggunaan Handrub di
ruang UGD.
3) Masih adanya beberapa perawat yang
tidak menggunakan handscoon ketika
melakukan pemasangan infuse dan
pengambilan darah vena.
4) Masih adanya beberapa perawat yang
tidak menerapkan teknik 1 tangan ketika
menutup spuit.
5) Masih adanya beberapa perawat yang
tidak membuang spuit bekas injeksi ke
tempat pembuangan spuit tetapi hanya
meletakkannya di bengkok.
6) Perawat kurang memperhatikan five

50
moment disetiap tindakan.
7) Sterilisasi alat kurang diperhatikan dalam
melakukan tindakan perawatan luka,
pemasangan NGT, Kateter urin, dan lain
sebagainya.
8) Nasal kanul tidak selalu diganti untuk
pasien yang berbeda.
9) Tidak efektifnya peraturan batas
pengunjung ke UGD sehingga terkadang
UGD dipenuhi oleh pendamping pasien.
10) Belum adanya pemiahan alat-alat yang
digunakan untuk mengukur tanda-tanda
vital, urine dan defekasi antara pasien
infeksi dan non infeksi.

Data dari hasil wawancara:


1) Perawat mengatakan secara maksimal
akan menerapkan konsep five moment
dalam menangani pasien.

Data hasil kuesioner didapatkan hasil:


Dari kuesioner dapat diketahui bahwa dari 13
responden yang memiliki pengetahuan tinggi
tentang infeksi nosokomial sebanyak 10 orang
atau 76,9%, sedangkan yang mempunyai
pengetahuan rendah tentang infeksi nosokomial
sebanyak 3 orang atau 23,1%.
2. Data observasi didapatkan hasil: Ketidakefektifan
1) Garis triage terputus- putus.
pelaksanaan Triage
2) Belum jelasnya alur triage di ruangan
UGD
3) Masing-masing bed belum dikategorikan
apakan bed untuk pasien dengan lebel
merah, kuning atau hijau.
4) Bed tidak digunakan sesuai dengan

51
kegawat daruratan pasien.
5) Penggunaan ruangan tidak sesuai dengan
fungsinya.

Data hasil dari wawancara:


1) Perawat mengatakan konsep triage tidak
bisa dijalankan karena garis triage putus-
putus.
2) Perawat mengatakan garis alur triage
masih belum jelas, sehingga sulit untuk
meletakkan pasien sesuai dengan warna
triage pada bed.

Data hasil dari kuesioner didapatkan hasil:


Menurut kuesioner dapat diketahui bahwa dari
13 responden yang memiliki pengetahuan
tinggi tentang triage sebanyak 8 orang atau
61,5%, sedangkan yang mempunyai
pengetahuan rendah tentang triage sebanyak 5
orang atau 38,5%.

III.1.4 Prioritas Masalah


Setelah didiskusikan dengan penanggung jawab ruangan dan perawat ruangan
UGD RSUD Depok didapatkan prioritas masalah sebagai berikut:
1. Ketidakefektifan patient safety (pencegahan infeksi nosokomial).
2. Kurang efektifnya pelaksanaan triage.

III.1.5 POA
N URAIAN TUJUAN SASARA METOD MEDIA DANA WAKTU PJ
O KEGIATAN N E
1.Mini bag berisi
APD
(termometer, )

52
53

Вам также может понравиться