Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2. Anatomi Fisiologi
Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur continue dari hemisfer
serebral dan memberikan tugas sebgai penghubung otak dan saraf perifer, seperti
kulit dan otot. Panjangnya kira-kira 45 cm dan menipis pada jari-jari (Smeltzer,
2001).
Medula spinalis tersusun dari 33 segmen yaitu 7 segmen servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral, dan 5 segmen koksigis. Medulla spinalis mempunyai 31 pasang
saraf spinal, masing-masing segmen mempunyai satu untuk setiap sisi tubuh.
Columna Vertebralis atau rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur
lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang
belakang, berfungsi melindungi medulla spinalis dan menunjang berat kepala
serta batang tubuh, yang diteruskannya ke tulang paha dan tungkai bawah.
Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitu intervertebralis atau bantalan tulang
belakang. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai
57-67 cm. Medula spinalis yang keluar dari foramen intervertebralis
dikelompokkan dan dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya (Smeltzer,
2001).
Struktur medulla spinalis, dikelilingi oleh meningen, arakhnoid, dan pia mater.
Diantara durameter dan kanalis vertebralis terdapat ruang epidural. Medulla
spinalis berbentuk seperti huruf H dengan badan sel saraf (substansia grisea)
dikelilingi traktus asenden dan desenden (substansia alba). Bagian yang
membentuk H meluas dari bagian atas dan bersamaan menuju bagian tanduk
anterior (anterior horn). Keadaan tanduk-tanduk ini berupa sel-sel yang
mempunyai serabut-serabut, yang membentuk ujung akar anterior (motorik) dan
berfungsin untuk aktivitas yang disadari dan aktivitas reflex dari otot-otot yang
berhubungan dengan medulla spinalis. Bagian posterior yang tipis (upper horn)
mengandung sel-sel berupa serabut-serabut yang masuk ke ujung akar posterior
(sensorik) dan kemudian bertindak sebagai relay station dalam jaras
reflex/sensorik. Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut:
a. Vetebra Cervicalis
Vertebrata cervicalis ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak.Veterbrata
cervicalis ketujuh disebut prominan karena mempunyaiprosesus spinosus paling
panjang
b. Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal,berjumlah 5
buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpusvertebra yang besar
ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luaskearah fleksi
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkangdimana ke 5
vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi
e. Os. Coccygeal
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalamirudimenter.
Beberapa segmen ini membentuk 1 pasang saraf coccygeal (Price, 2005)
Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya
terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus
yang disebut meningen. Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi medula
spinalis dari luar ke dalam antara lain:
1) Duramater
2) Arachnoid
3) Ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi liquor
cerebrospinalis
4) Piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung
membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis
3. Etiologi
Penyebab dari cedera medulla spinalis menurut Batticaca (2008), antara lain:
a. Kecelakaan di jalan raya (paling sering terjadi)
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk
merusak kord spinal serta kauda ekuina
b. Olahraga
c. Menyelam pada air yang dangkal
d. Luka tembak atau luka tikam
e. Ganguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan
mengakibatkan cedera progresif terhadap medulla spinalis dan akar; mielitis
akibat proses inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang disebabkan
oleh fraktur kompresi pada vertembra; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan
penyakit vascular
4. Patofisiologi
Kerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah
satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien
paralisis). Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat
merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera
sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai
membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu,
tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi
pada cidera medulla spinalis akut.
Hubungan pelepasan neurotransmiter terhadap cedera seluler telah diteliti baik
pada cedera kepala maupun cedera spinal. Kebanyakan penyelidikan awal terpusat
pada turunan asam amino eksitasi yaitu glutamat dan aspartat. Terdapat pelepasan
dramatis glutamat dan aspartat hingga 6 kali kadar normal, dimana konsentrasi ini
cukup untuk membunuh neuron. Hal ini dapat terjadi hingga 1 jam setelah cedera.
Perbedaan peningkatan spesies asam amino mendukung bahwa aktivitas neuron
lebih berperan daripada lisis sel. Berbagai model telah menunjukkan disfungsi
ekstremitas dapat terjadi ketika cord terpapar asam amino eksitasi.
Beberapa tipe reseptor kemungkinan berperan pada cedera sekunder pada
spinal cord, termasuk reseptor kainate dan quisqualate, yang mengontrol saluran
untuk sodium (natrium) influx dan potassium (kalium) efflux, serta reseptor N-
methyl-D-aspartate (NMDA) yang memiliki saluran untuk natrium dan kalium
dan saluran untuk calcium influx. Akumulasi kalsium intraseluler dengan kalium
efflux telah diamati pada pada SCI eksperimental. Awal dari pembengkakan
neuron berhubungan dengan natrium influx, dimana dimana disintegrasi neuron
disebabkan oleh calcium influx. Baik antagonis kompetitif seperti 3-(2-
carboxypiperazin-4-yl)-propyl-1-phosphoric acid dan aminophosphoheptanoates,
serta antagonis nonkompetitif seperti phencyclidine, ketamin, magnesium,
dextrorphan, dan MK-801 telah menunjukkan dapat menurunkan cedera
neurologis sekunder.
Substansi lain yang berperan adalah peptida opioid. Dynorphin, beta-
endorphin, leu-enkephalin, dan met-enkephalin bersifat aktif pada reseptor kappa,
mu, dan delta. Opiat berhubungan dengan hipotensi yang terjadi setelah SCI.
Perawatan dengan obat yang dapat bekerja sebagai antagonis opiat menghasilkan
fungsi yang lebih baik.
Mekanisme selanjutnya pada cedera sekunder melibatkan aktivasi membrane
phospholipase, yang berakibat pada hidrolisis fosfolipid, bebasnya asam
arakidonat dan asam lemak lain dari membran sel. Aktivitas enzimatik oleh
siklooksigenase terhadap asam ini memproduksi peroksida lipid, sedangkan
aktivitas enzimatik oleh lipooksigenase memproduksi leukotrien dan prostanoid.
Lebih spesifik, level tromboksan A2 meningkat sesaat setelah terjadi SCI
eksperimental, dimana rasio tromboksan terhadap prostasiklin meningkat
abnormal hingga 18 jam. Ketidakseimbangan ini dapat menyebabkan cedera
sekunder oleh karena terbatasnya perfusi jaringan. Faktanya, pada model
eksperimental aliran darah pada spinal cord terukur pada 40-54% terhadap level
kontrol. Penggunaan steroid dan analognya dapat meningkatkan pemulihan,
kemungkinan berhubungan dengan inhibisi oleh substansi tersebut terhadap
peroksidasi lipid atau supresinya terhadap pelepasan asam amino eksitasi.
Klasifikasi cedera medulla spinalis berdasarkan lokasi cedera, antara lain:
a. Cedera Cervikal
Lesi C1-C4
Pada lesi C1-C4, otot trapezius, sternomastoideus, dan otot platisma masih
berfungsi. Otot diafragma dan interkostal mengalami paralisis dan tidak ada
gerakan volunter (baik secara fisik maupun fungsional). Di bawah transeksi spinal
tersebut. Kehilangan sensori pada tingkat C1-C3 meliputi oksipital, telinga dan
beberapa daerah wajah. Pasien pada quadriplegia C1, C2 dan C3 membutuhkan
perhatian penuh karena ketergantungan terhadap ventilator mekanis. Orang ini
juga tergantung semua aktivitas kebutuhan sehari-harinya. Quadriplegia pada C4
mungkin juga membutuhkan ventilator mekanis tetapi dapat dilepas. Jadi
penggunaannya secara intermitten saja
Lesi C5
Bila segmenC5 medulla spinalis mengalami kerusakan, fungsi diafragma rusak
sekunder terhadap edema pascatrauma akut. Paralisis intestinal dan dilatasi
lambung dapat disertai dengan depresi pernafasan. Quadriplegia pada C5 biasanya
mengalami ketergantungan dalam melakukan aktivitas seperti mandi, menyisir
rambut, mencukur, tetapi pasien mempunyai koordinasi tangan dan mulut yang
lebih baik
Lesi C6
Pada lesi segmen C6, distress pernafasan dapat terjadi karena paralisis intestinal
dan edema asenden dari medulla spinalis. Biasanya akan terjadi gangguan pada
otot bisep, triep, deltoid dan pemulihannya tergantung pada perbaikan posisi
lengan. Umumnya pasien masih dapat melakukan aktivitas higiene secara mandiri,
bahkan masih dapat memakai dan melepaskan baju
Lesi C7
Lesi medulla pada tingkat C7 memungkinkan otot diafragma dan aksesoris untuk
mengkompensasi otot abdomen dan interkostal. Fleksi jari tangan biasanya
berlebihan ketika kerja refleks kembali. Quadriplegia C7 mempunyai potensi
hidup mandiri tanpa perawatan dan perhatian khusus. Pemindahan mandiri,
seperti berpakaian dan melepas pakaian melalui ekstrimitas atas dan bawah,
makan, mandi, pekerjaan rumah yang ringan dan memasak
Lesi C8
Hipotensi postural bisa terjadi bila pasien ditinggikan pada posisi duduk karena
kehilangan control vasomotor. Hipotensi postural dapat diminimalkan dengan
pasien berubah secara bertahap dari berbaring ke posisi duduk. Jari tangan pasien
biasanya mencengkram. Quadriplegia C8 harus mampu hidup mandiri, mandiri
dalam berpakaian, melepaskan pakaian, mengemudikan mobil, merawat rumah,
dan perawatan diri
b. Cedera Torakal
Lesi T1-T5
Lesi pada region T1-T5 dapat menyebabkan pernafasan dengan diafragmatik.
Fungsi inspirasi paru meningkat sesuai tingkat penurunan lesi pada toraks.
Hipotensi postural biasanya muncul. Timbul paralisis parsial dari otot adductor
pollici, interoseus, dan otot lumrikal tangan, seperti kehilangan sensori sentuhan,
nyeri, dan suhu
Lesi T6-T12
Lesi pada tingkat T6 menghilangkan semua refleks adomen. Dari tingkat T6 ke
bawah, segmen-segmen individual berfungsi, dan pada tingkat 12, semua refleks
abdominal ada. Ada paralisis spastik pada tubuh bagian bawah. Pasien dengan lesi
pada tingkat torakal harus befungsi secara mandiri. Batas atas kehilangan sensori
pada lesi torakal adalah:
T2 Seluruh tubuh sampai sisi dalam dari lengan atas
T3 Aksilla
T5 Putting susu
T6 Prosesus xifoid
T7, T8 Margin kostal bawah
T10 Umbilikus
T12 Lipat paha
c. Cedera Lumbal
Lesi L1-L5
Kehilangan sensori lesi pada L1-l5 yaitu:
L1 Semua area ekstrimitas bawah, menyebar ke lipat paha & bagian belakang dari
bokong
L2 Ekstrimitas bagian bawah kecuali sepertiga atas aspek anterior paha
L3 Ekstrimitas bagian bawah dan daerah sadel
L4 Sama dengan L3, kecuali aspek anterior paha
L5 Aspek luar kaki dan pergelangan kaki serta ekstrimitas bawah dan area sadel
d. Cedera Sakral
Lesi S1-S6
Pada lesi yang mengenai S1-S5, mungkin terdapat beberapa perubahan posisi dari
telapak kaki. Dari S3-S5, tidak terdapat paralisis dari otot kaki. Kehilangan
sensasi meliputi area sadel, skrotum, dan glans penis, perineum, area anal, dan
sepertiga aspek posterior paha
Patoflow
DIBEBASKANNYAKALIUM (K+)
intrasel&sintesis prostaglandin danbradikinin
BLOKSARAF SIMPATIS
KELUMPUHAN
MENSTIMULUSSARAF PERIFER
ISKEMIA&HIPOKSEMI
A FISIK
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi yang timbul antara lain:
a. Bila pasien dalam keadaan sadar, biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang
leher, yang mnyebar sepanjang saraf yang terkena
b. Cedera spinal dapat menyebabkan paraplegia atau quadriplegia
Akibat cedera bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera :
a. Tingkat neurologik: berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik
bagian bawah yang normal. Tingkat neurologic bagian bawah mengalami paralisis
sensori dan motorik total, kehilangan kontrol kandeng kemih, penurunan keringat
dan tonus vasomotor dan penurunan tekanan darah diawali dengan resistensi
vascular perifer.
b. Tipe cedera, mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu sendiri: Masalah
pernapasan basanya dikaitkan dengan penurunan fungsi peranpasan, beratnya
bergantung pada tingkat cedera. Otot-otot yang berperan dalam pernapasan adalah
abdominal, interkostal (T1-T11) dan diafragma. Pada cedera medulla spinalis
servikal tinggi, kegagalan pernapasan akut adalah penyebab utama kematian
(Smeltzer, 2001).
Manifestasi klinis berdasarkan lokasi yang mengalami trauma dan apakah trauma
terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan lokasi
trauma:
a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah;kehilangan refleks brachioradialis
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi sikumasih
bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki
f. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
g. T12 sampai L1
h. Paralisis di bawah lutut
i. Cauda equine
j. Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain and
hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
k. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total. Bila terjadi trauma spinal total
atau complete cord injury, manifestasi yangmungkin muncul antara lain total
paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks (Merck, 2010).
6. Komplikasi
Menurut Smeltzer (2001), komplikasi yang dapat timbul dari cedera medulla
spinalis yakni:
a. Syok spinal
Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba aktivitas reflex pada medulla spinalis
(areflexia) dibawah tingkat cedera. Dalam kondidi ini otot-otot yang disarafin
oleh bagian segmen medulla yang ada dibawah tingkat lesi menjadi parlisis
kolplet dan flaksid dan reflex-refleks tidak ada. Tekanan darah menurun. Karena
ada cedera servikal dan medulla spinalis torakal atas, pernapasan pada otot
aksesorius mayor pernapasan hilang dan terjadi masalah pernapasan : penurunan
kapsitas vital, retensi sekresi, peningkatan tekanan parsial karbondioksida,
penururnan PO2, Kegagalan pernapasan dan edema pulmonal.
b. Trombosis Vena Profunda
Merupaka komplikasi umum dari imobilitas dan umumnya pada pasien cedera
medulla spinalis. Pasien PVT berisiko mengalami embolisme pulmonal (EP)
dengan manifestasi nyeri dada pleuritis, cemas, nafas pendek, dan nilai gas darah
abnormal.
c. Komplikasi lain
Komplikasi lain dapat berupa dekubitus dan infeksi (infeksi urinarius, pernapasan,
dan local pada tempat pin).
8. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Medis:
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi
lurus:
1) Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan
agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien
2) Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi
penggunaanCrutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak
3) Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur
servikalstabil ringan
4) Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington)
untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui
spinal tidak aktif.Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada
medula spinalis denganmenggunakan glukortiko steroid intravena
b. Penatalaksanaan Keperawatan
1) Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan
didapatidefisit motorik dan sensorik di bawah area yang terkena: syok spinal,
nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual pada pria,
pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi
defekasi
2) Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya
3) Pemeriksaan diagnostik Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing,
Circulation)
b. Sirkulasi
Gejala: Berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan posisi
Tanda: Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat
c. Eliminasi
Tanda: Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis
berwarna seperti kopi tanah / hematemesis
d. Integritas Ego
Gejala: Menyangkal, tidak percaya, sedih, marah
Tanda: Takut, cemas, gelisah, menarik diri
e. Makanan /cairan
Tanda: Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
f. Higiene
Tanda: Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
g. Neurosensori
Gejala : Kebas, kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flaksid
Tanda :
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada
syok spinal)
Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok
spinalsembuh)
Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris
termasuk tendon dalam
Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yangterkena
karena pengaruh trauma spinal
h. Nyeri /Kenyamanan
Gejala: Nyeri atau nyeri tekan otot, hiperstesia tepat di atas daerah trauma.
Tanda: Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral
i. Pernapasan
Gejala: Nafas pendek, kekeurangan oksigen, sulit bernafas
Tanda : Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas,
ronki, pucat, sianosis
j. Keamanan
Gejala: Suhu yang berfluktasi (suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar)
k. Seksualitas
Gejala : Keinginan untuk kembali berfunfsi normal
Tanda: Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur (Bastticaca,
2008).
2. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan atau
paralisisotot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi
b. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal, spame oto servikal
sekunder dari cidera spina stabil dan tidak stabil
c. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan neurovascular
d. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik
3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan atau
paralisis otot- otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi.
Tujuan: Dalam waktu 2x 24 jam pola nafas kemabali efektif
Kriteria Hasil: RR dalam bats normal (12-20 x/mnt), tidak ada tanda-tanda
sianosis, analisa gas darahdalam batas normal, pemeriksaan kapasitas paru normal
Intervensi Rasionalisasi
1) Observasi fungsi pernapasan, catat Distress pernapasan dan perubahan tanda
frekuensi pernapasan, dispnea, atau vital terjadi akibat stress fisiologi dapat
perubahan tanda-tanda vital menunjukkan terjadinya spinal syok
2) Pertahankan perilaku tenang, bantu klien Membantu klien mengalami efek fisiologi
untuk kontrol diri dengan menggunakan hipoksia, yang dapat dimanifestasikan
pernapasan lebih lambat dan dalam sebagai ketakutan
3) Pertahankan jalan nafas; posisi kepala Membantu mencegah aspirasi/
tanpa gerak mempertahankan jalan nafas
4) Observasi warna kulit Menggambarkan adanya kegagalan
pernapasan yang memerlukan tindakan
segera
5) Kaji distensi perut dan spasme otot Kelainan penuh pada perut disebabkan
karena kelumpuhan diafragma
6) Lakukan pengukuran kapasitas vital, Menentukan fungsi-fungsi otot
kekeuatan pernapasan pernapasan, medeteksi adanya kegagalan
pernapasan
7) Pantau Analisa Gas Darah (AGD) Untuk mengetahui adanya kelainan
fungsi pertukaran gas sebagai contoh
hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCo2
meningkat
8) Berikan oksigen dengan cara yang tepat Metode dipilih sesuai dengan keadaan
isufisiensi pernapasan
9) Letakkan kantung resusitasi di samping Berguna mempertahankan fungsi
tempat tidur dan manual ventilasi pernapsan jika terjadi gangguan pada alat
sewaktu-waktu dapat digunakan ventilator secra mendadak.
b. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi akar saraf servikal, spame oto servikal
sekunder dari cidera spina stabil dan tidak stabil
Tujuan: Dalam waktu 1x24 jam diharapkan nyeri berkurang/hilang atau beradaptasi
Kriteria Hasil: Secara subjektif melaporkan nyeri berkurang atau dapat diadaptasi, skala nyeri 0-4,
dapat mengidentifikasi aktivitas yang menurunkan atau meningkatkan nyeri
Intervensi Rasionalisasi
1) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan Pendekatan dengan menggunakan
pereda nyeri nonfarmakologi dan non- relaksasi dan nonfarmakologi lainya
ivasif telah menunjukkan keefektifan
dalam mengurangi nyeri
2) Istirahatkan leher, atir posis fisiologis dan Posisi fifiologis akan menurunkan
pasang ban leher kompresi saraf leher, pemasangan
fiksasi kolar servikal dapat menjaga
kestabilan dalam melakukan
mobilisasi leher.
3) Lakukan massase pasa sekitar otot leher, Meningkatkan aliran darah dan
tetapi tidak pada bagian yang sakit memebatu suplai darah dan oksigen
ke area nyeri leher akibat spasme
otot
4) Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam pada Meningkatkan asupan oksigen
saat nyeri muncul sehingga akan menurunkan nyeri
sekunder dari iskemia
5) Memanajemen lingkungan : lingkungan Lingkungan tenag akan menurunkan
yang tenag dan batasi pengunjung stimulus nyeri eksternal dan
menganjurkan klien beristirahat dan
pembatasan pengunjung akan
memebantu meningkatkan oksigen
dalam ruangan
6) Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri Mengalihkan nyeri dengan
peningkatan produksi hormone
endorphin dan enkefalin yang dapat
memblok nyeri
7) Tingkatkan pengetahuan tentang penyebab Pengetahuan akan memebanu
dan menghubungkan berapa lama nyeri mengurangi nyeri.
akan berlangsung
8) Kolaborasi dalam pemberian analgetik Membantu menurnkan nyeri