Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Saat itu ia menggeleng pelan. Menolak dengan halus uang yang kuulurkan— berupa
tiga lembar seribuan. Katanya ia tidak ngemis, cuma numpang istirahat. Seketika aku
perhatian orang, dan tentu saja, uang. Aku teringat pada dua orang temanku yang
masih berada di coffee shop seberang jalan. Beberapa waktu yang lalu, aku masih
bergabung dengan mereka, membicarakan investasi bisnis, yang, kata orang lain
mungkin bisnis gelap. Tapi kami menyebutnya ‘ladang penghasil uang’. Investasi
yang akan kami lakukan hanya sepuluh juta masing-masing orang, dan dalam satu
tahun, uang kami akan berlipat-lipat. Aku tidak tahu berapa, tapi salah satu dari
mereka meyakinkan uang kami bisa berlipat hingga sepuluh kali, hanya dalam kurun
waktu satu tahun. Aku memikirkannya. Menurutku bisnis ini memang sangat
prospektif. Tapi aku tidak tahu apakah aku punya uang itu sekarang. Aku pamit
sebentar untuk membeli rokok dan mengecek saldo rekening di ATM seberang jalan.
Menimbang-nimbang apakah bisa berinvestasi dalam bisnis tadi. Agen TKW fiktif.
Entah bagaimana, temanku punya kenalan yang bisa membuatkan akta notaris palsu
ingin bekerja di luar negeri, kemudian menyalurkan mereka ke Amerika dan Eropa
Sewaktu menyeberang, mataku tertumbuk pada pria itu, dengan setelan lusuh dan
menggantung lemas di pundak hingga ke pinggang. Mungkin, isi tas itu tidak
sebanding dengan ruang yang disediakan, sehingga tidak bisa membentuk tas
cangklongan tadi. Tapi aku sempat melihat ada tutup merah menyembul dari balik tas
itu, mungkin botol air minum. Mata pria itu begitu sayu, dengan rambut dan kumis
seputih kapur, yang mengingatkanku pada bapak. Mungkin usia mereka tidak terpaut
jauh, atau bahkan sebaya. Mereka sama-sama memiliki pencederaan usia atas
kemudaan mereka, sehingga tampak begitu tua dan rapuh, dengan kesan putih yang
berlebihan pada jaringan rambut di tubuh mereka. Kerut-merut mulai menguasai kulit
pria-pria tua yang legam itu, dia dan bapakku. Sangat tampak, mereka terjajah usia.
Pria itu dan bapakku sungguh mirip. Bedanya, bapakku tidak ngemis begini. Tengah
hari seperti ini, ia pasti sedang pulas di kasur beratap genteng dingin yang—
rumah yang dihuni oleh tokek menandakan rumah itu dingin dan nyaman. Aku
menjadi miris.membayangkan jika bapakku ngemis begini. Aku lalu memberinya tiga
lembar seribuan. Kuulurkan padanya, kali ini, aku tidak melempar uang pemberianku
ketika menyetir di perempatan. Itu karena aku terburu lampu merah dan tentu saja,
mereka pasti sudah senang ada yang berbaik hati dengan melempar uang, tidak peduli
itu sopan atau tidak. Lagipula, tau apa mereka soal sopan, yang penting kan uang.
Anak-anak yang masih bocah saja tidak ragu meminta uang pada siapapun yang
mereka temui di jalan. Entah itu benar-benar butuh atau disuruh. Aku juga tidak
tangan, tapi mungkin ini cara lain agar orang semakin kasihan. Tapi, biarlah, aku
teringat bapakku sendiri, jadi aku mau memberinya uang. Lagipula, tiga ribu tidak
begitu berarti bagiku. Aku mengulurkan uang padanya, berharap bisa menyentuh
tangannya, juga aku menaruh hormat karena teringat bapak. Aku tidak tega
melemparkan uang itu begitu saja, membayangkan kalau bapak yang ngemis begini.
kuulurkan padanya, katanya ia tidak ngemis, cuma numpang istirahat. Aku tersentak,
menelan cemooh batinku yang sedari tadi mengira bahwa ia hanya berpura-pura
minta belas kasihan orang-orang yang lewat di jalan itu. Saat itu aku benar-benar
mendikte kejadian-kejadian yang ada, bahkan sebelum kualami. Aku tadi mencoba-
coba mencocokan pola, tentang bertemu para pengemis dan pengamen dan langsung
sinis pada siapapun yang menyerupai mereka. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku
jalan, orang-orang selalu memberinya uang. Ada yang sempat ia tolak, namun,
kebanyakan ia beri ke pengemis yang sebenarnya karena orang yang memberinya tadi
buru-buru mengejar bus, atau hanya melempar dari kendaraan yang mereka naiki.
Setelah mengobrol, ia tidak tampak tua dan rapuh seperti yang kubayangkan. Ia
begitu antusias berbicara, bahkan tak jarang ia tergelak atas candanya sendiri, atau
karena melihat kucing yang sedang menetek pada induknya. Katanya, aku orang
membelikannya es cincau supaya bisa ngobrol lebih lama. Ia tampak antusias, tapi
juga masih punya air minum di tasnya. Aku terkejut. Lagi. Ia begitu berhati-hati dan
tidak langsung memanfaatkan kebaikan orang lain. Aku kagum padanya. Aku lalu
berkata bahwa harga segelas es cincau tidak lebih dari tiga ribu rupiah yang hendak
kuberikan padanya, jadi impas. Setidaknya aku sudah mencoba mengikhlaskan uang
itu untuk bapak, kataku. Ia tersenyum dan menerima traktiranku dengan senang hati.
“Podolski” jawab bapak itu ketika aku menanyakan namanya. “Wah, namanya kok
kayak pemain sepak bola, Pak? keren banget!” ujarku bersemangat. Bapak itu
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 6
kemudian melihat kearahku sambil tertawa. “Oh, bukan. Tadi, teh, bapak lagi baca
tulisan di koran. Kalau nama bapak, teh, Dadang, atuh, kumaha jadi Podolski. Keren
pisan!” koreksinya. Kami tertawa. “Kebetulan saya lagi gandrung sama Jerman,
makanya kaget kok nama bapak kayak pemain idola saya,” kataku sambil menenggak
cincau hingga dingin tenggorokan. Pak Dadang masih tertawa sambil menyeruput
menceritakan bahwa anaknya melamar jadi TKW di Arab sejak tiga bulan lalu, tapi
hingga kini, ia tidak mendapat kabar apapun dari anaknya. Awalnya ia mengira tidak
adanya kabar dari anaknya itu dikarenakan biaya telepon mahal, jadi ia dan
anaknya mencari uang di luar negeri karena takut akan mengalami penganiayaan
seperti yang diberitakan di televisi. Tapi, tidak ada pilihan lain, karena keluarga
anaknya itu juga tidak begitu utuh, dan mereka butuh biaya. Pak Dadang sehari-
harinya juga hanya seorang petani yang menyewa lahan dari juragan sawah di
tersenyum. Biarlah orang lain tidak tahu, tidak enak membicarakan rumah tangga
orang, katanya.
sekali keluarga, katanya. Cucunya bahkan sempat mendapat teguran dari sekolah,
kalau tidak melunasi SPP tidak boleh mengikuti ujian. Aku ikut sedih mendengarnya.
Aku mengatakan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya, tapi aku
mendoakan semoga anaknya cepat memberi kabar dan cucunya bisa ikut ujian. Ia
informasi, karena, orang-orang di kampung juga tidak ada yang mengerti dimana
anaknya bisa diketemukan. Aku menawarkan diri untuk mengantar, tapi ia menolak
dengan halus, tidak ingin merepotkan. Ia bisa naik bus, katanya. Cuma, memang
ongkosnya mepet karena dua hari di Jakarta ternyata menghabiskan uang, padahal ia
tidak menyewa penginapan, hanya numpang tidur masjid. Uangnya digunakan untuk
ongkos naik kendaraan, makan ala kadar, dan sisanya untuk pulang kembali ke Tasik.
Karena tidak ingin uangnya habis terlalu dini, ia memutuskan berjalan dari Stasiun
Cawang ke Mampang, area dimana banyak gedung pemerintahan berjajar, kata orang
sekitar sini hingga Kuningan. Aku berpura-pura hendak ke arah yang sama, kebetulan
mobilku juga parkir di ruas jalan ini, jadi bisa sekalian mengantar Pak Dadang ke
menerimanya dan mengucapkan terima kasih sampai dua kali, dan berkata bahwa ia
sangat tertolong dan menghemat ongkos jadi bisa pulang langsung ke Tasik setelah
semoga lancar-lancar saja. Ia mengamini dan pamit untuk segera masuk ke dalam
gedung. Aku mempersilakan sambil tersenyum simpul karena merasa sudah bisa
berbuat sesuuatu yang baik untuk hari ini, setidaknya, doa keduaku bisa terkabul—
tentang cucunya supaya bisa ikut ujian— jika Pak Dadang menyadari ada tiga lembar
seratus ribuan yang terselip di buku tadi. Aku yakin kalau memberinya secara terlihat
pasti langsung ditolak. Harga diri lelaki tua itu terlalu mahal untuk dikasihani.
Aku menggeser porsneling dan meluncur kembali kearah coffee shop tempat kedua
temanku yang sudah mencetak 30 missed call dan 20 sms di ponsel sedari aku
mengobrol dengan Pak Dadang tadi. Aku membayangkan uang yang akan mengalir
jika berbisnis dengan mereka. Sepuluh juta saja, aku mendesis, mencoba mengira-
ngira berapa keuntunganku setelahnya, selama satu tahun berbisnis agen palsu tadi.
Aku sempat mendengar beberapa orang yang beranjak tergesa dari Departemen
Tenaga Kerja tadi dan meneriaki para petugas ‘maling orang’ dengan bersungut.
Seorang ibu dengan lelaki yang mencoba menenangkannya tapi wanita itu masih
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 9
menangis histeris dan berteriak-teriak agar mereka mengembalikan anaknya.
Seseorang menanyainya mengapa ia berteriak, wanita itu masih histeris, lelaki yang
menjaganya tadi berkata bahwa anaknya tidak kunjung kembali dari Malaysia setelah
menjadi TKW, sudah empat tahun. Aku mengalihkan pandang ke Pak Dadang,
melihat mata sayunya itu berair, ia mematung sebentar, mengelus dada sambil
bergumam, lalu menyeka matanya dan kembali menapaki tangga teras gedung dan
terlihat berinteraksi dengan satpam. Aku menjadi miris. Mungkin hal yang sama akan
terjadi padaku, diteriaki maling orang, jika masih nekat menyetor untuk investasi.
Menyetor bagaimana, saldo di rekeningku saja aku tidak tahu, belum sempat
membayangkan berapa banyak senyum yang nantinya pudar ketika para wanita yang
ingin berjuang demi keluarganya itu harus menjadi budak nafsu, bukan pembantu,
sepeti yang mereka kira. Aku tidak sanggup menjadi pembawa petaka dan
menyebabkan orang-orang seperti Pak Dadang dan ibu-ibu tadi bernasib sial gara-
gara bisnis kami. Aku mencoba melupakan tawaran bisnis dua temanku. Mobil
kuputar arah masuk ke Tol dan seketika itu, aku memutuskan untuk memelajari bisnis
budidaya tokek di rumah, seperti yang dilakukan bapakku dan sebagian besar
Ia tidak menyangka hal itu akan terjadi. Itu adalah yang pertama baginya, sejauh
yang ia ingat. Ia hanya mengatakan, “Baiklah, sampai jumpa,” ketika Pria itu
senyum yang mengembang, tapi masih canggung. Dinar Logaya tercenung sejenak,
memikirkan bahwa pagi itu ia makan singkong dengan sambal sehingga, mungkin,
hal itu yang menyebabkan sekarang perutnya jadi mulas. Ia benar-benar tercenung
sampai bisa mendengarkan detak jantungnya yang lebih cepat dari bunyi tik-tik-tik
jam tangannya dan perasaan yang sesak bahkan setelah turun dari angkutan umum
dengan pria itu beberapa waktu lalu. Kini, ia sedang akan menuju Jember, tapi masih
menunggu sinyal petugas sehingga kereta yang ditumpanginya dapat segera berpacu
ke stasiun berikutnya. Dinar melambai kearah pria yang mengantarnya itu dengan
senyum yang masih canggung, tidak secara langsung menatap matanya, tapi hanya
selintas. Sedangkan pria itu hanya mengangguk pelan dan melambai dua kali dari
balik jaket biru tuanya yang tebal, hari itu cuaca agak mendung dan angin sedang
membaca cerita latin yang belum diselesaikannya sejak beberapa minggu lalu selama
berada di Madiun. Ia disibukkan oleh pekerjaan rumah tangga dan beberapa hal yang
membuatnya tidak bisa meneruskan cerita latinnya, tapi malah sibuk kesana-kemari
Matanya memindai cepat tulisan-tulisan yang tercetak pada buku itu, tapi pikirannya
sedang menerawang bersama pria tadi. Seseorang yang dikenalnya sejak lama, tapi
hanya sebatas kenal-temu saja, hampir tidak pernah berbicara kecuali di suatu sore
ketika Banyu meminjam pompa sepeda. Selain itu, mereka hanya menyapa dengan
anggukan, jika kebetulan sedang bertatap-pandang. Dinar terlalu pemalu, dan pemuda
itu tidak punya bakat berhubungan dengan wanita. Meski jarak rumah mereka terpaut
beberapa tetangga, Dinar dan Banyu sangat jarang memulai perbincangan. Nenek
Dinar juga tipe konservatif yang tidak memperbolehkan pertemuan dua orang tadi
tanpa muhrim. Meski Nenek Dinar bukan tipe agamawan yang taat, tapi ia tahu adat.
Selain itu, ia juga tidak ingin malu dengan Bu Ustadz yang sering berdakwah tentang
Awalnya ia juga ingin menguji apakah kedua orang itu sungguh-sungguh atas gejolak
mereka, atau hanya sekedar lewat sesaat. Dinar pernah menceritakan ketertarikannya
terhadap Banyu pada suatu sore, ketika pemuda itu meminjam pompa sepeda dan
pertama kalinya. Neneknya, yang saat itu sedang memarut kelapa, tersenyum, teringat
gejolaknya pada suaminya beberapa puluh tahun lalu, ketika mereka sedang mencari
katak di tengah hujan. Saat itu umurnya baru enam tahun tapi ia sudah bertekad
untuk menjadi istri pemuda itu sepuluh tahun lagi. “Iya, baik, dan tidak punya
Neneknya kemudian sering memergoki gadis itu melamun, melihat kearah kamar
sewaan Banyu, kadang-kadang juga sambil menulis sesuatu yang ketika ditanya pasti
akan menjawab bahwa itu adalah tugas kuliah, dengan wewangian yang menguar dari
baliknya. Lalu neneknya akan tertawa kecil dan berpura-pura percaya, dan Dinar akan
malu-malu lagi dan menyimpan kertas itu ke dalam lacinya yang dikunci.
Pria yang sejak lama diharapnya itu malah memintanya untuk tidak membiarkan jari
manisnya diselubungi cincin dari siapapun, baru tadi. Awalnya ia ingin menimpali
dengan guyonan apakah Banyu berencana menjadiknnya model toko emasnya yang
baru dibuka, namun lidahnya tiba-tiba kelu dan senyumnya mendadak canggung.
Kulitnya terlihat gelisah, menguarkan aroma pahit dan berkeringat dingin. Dinar tidak
pernah merasa tersanjung seperti itu sejauh yang ia tahu. Pria itu benar-benar
dan menewaskan hampir sepuluh orang, termasuk Dinar. Saat itu ia tidak pernah
memikirkan tentang hal buruk apapun. Ia hanya ingin pulang ke Jember dan
terkena asam urat dan minta dijenguk. Entah karena Dinar satu-satunya cucu
kapanpun ketika sedang sakit, atau karena neneknya tahu bahwa Dinar juga
membutuhkan alasan supaya bisa ke Madiun dan bertemu Banyu sebelum pria itu
menjadi perjaka terakhir di desa yang belum juga meminang siapapun, termasuk
dirinya. Konon, setelah meminjam pompa sepeda sore itu, Banyu menjadi sering
bertanya tentang Dinar. Ia bahkan mulai memikirkan untuk memulai bisnis agar bisa
menghasilkan uang secara lebih mandiri, ketimbang hanya menjadi kurir pos. Ia
memutuskan untuk menjalankan usaha toko emas, dengan modal dari penjualan
motornya yang baru saja lunas kredit, dan tambahan pinjaman dari Bank atas saran
nenek Dinar. Banyu merasa ia perlu menghasilkan uang lebih untuk berkeluarga,
penghasilannya saat ini hanya cukup untuk menghidupi diri sendiri saja. Nenek Dinar
menasehati bahwa jika hanya karena uang, sebaiknya ia tidak terlalu memikirkan,
karena orang tua Dinar juga cukup mapan. Namun Banyu hanya mengangguk dan
bilang supaya keluarganya tidak kekurangan, dan tidak merepotkan orang lain.
merepotkan orang, bahkan ketika sakit. Ia tidak suka memakai warna-warna cerah,
termasuk baju, apalagi untuk cat kamarnya. Warna paling cerah yang ia suka
hanyalah biru tua. Tidak ada yang istimewa darinya kecuali kulitnya yang cokelat
rambutnya begitu cepat. Suaranya yang dalam, otot-otot yang menonjol dan tulang
pipinya yang keras terkadang menakutkan bagi anak kecil namun terlihat sensual bagi
wanita-wanita puber. Tidak jarang remaja SMA yang terlihat melintas di depan
kamar sewaannya selama beberapa kali, terutama di sore hari, ketika ia sedang
menyiram tanaman. Pernah juga ada ibu-ibu hamil yang ngeyel supaya bisa dipeluk
ngidam. Namun, wanita hamil yang berhasil mengelabui suaminya itu kemudian
Dinar tidak pernah tau dan tidak peduli, bahkan, ketika ada ibu-ibu yang
mengumpatnya karena pernah terlihat duduk berdua dengan Banyu ketika sedang
menyiram tanaman. Nenek Dinar, meski harus berjalan tertatih-tatih karena menderita
asam urat, balik mangumpat ibu-ibu itu dan berteriak “garong” padanya, yang
membuat ibu-ibu lain mencibir dan menggunjingnya, dan kemudian mencoretnya dari
daftar arisan. Bahkan, nama Nenek pun tidak diikutsertakan lagi di kocokan
sendiri!” salah satu ibu-ibu yang selalu menjadi panutan dalam berbagai hal,
meski ada yang bilang kasihan, tapi yang lain langsung mencibirnya dan mengancam
akan mendapat perlakuan yang sama seperti Nenek. Ibu tadi pun diam saja dan
kejadian perkara. Tidak sedikit wartawan yang memaksa meringsek masuk dan
merekam berbagai keadaaan yang terdapat di sana. Ketika itu Nenek Dinar sedang
tidur, dan Banyu, sepulang mengantar Dinar, meneruskan belanja perhiasan dan
bertemu kenalan pandai emas, atas saran Nenek Dinar yang mendapatkan nama
pandai emas itu dari buku telepon. Banyu tidak akan pernah mengetahui berita
kecelakaan itu kalau saja kenalannya, si pandai emas, tidak menyalakan televisi dan
Banyu hanya bersimpati atas kecelakaan itu, ketika hanya melihat judulnya. Namun,
matanya kemudian berair dan ia merasa dadanya begitu sesak hingga ingin meledak
satunya Dinar Logaya. Ia ingat tujuannya ke pandai emas dan membuatkan Dinar
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 16
emas pertamanya sebelum ia membuka Toko Emasnya pada akhir pekan ini. Banyu
merah yang akan dibuat menjadi rumah cincin untuk Dinar, dan memberikannya dua
hari lagi karena Banyu juga ingin berbelanja untuk tokonya di Jember. Beberapa
waktu lalu, dengan nyali tinggi, Bayu mengatakan hal yang belum pernah dikatakan
pada gadis manapun, tentang menjaga jari manisnya. Ia memang berniat melamar
gadis itu, meski hampir tidak pernah berhubungan langsung, hanya mengenal Dinar
melalui nenekknya. Menurutnya itu sudah cukup, karena, nenek Dinar tidak pernah
melewatkan satu detil pun tentang Dinar, bahkan ketika gadis itu masih ngompol
ketika SMP sehingga keluarganya harus membawanya ke rumah sakit. Yang ternyata,
Banyu sudah lupa bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintainya sejak lima
belas tahun lalu, ketika orang tuanya meninggal. Dan kali ini ia akan selalu ingat,
dihadapannya: gelas, piring berisi pisang goreng, meja, kursi, televisi. Ia mengamuk
bantuan tujuh orang yang masing-masing mengunci tangan, kaki dan pinggul Banyu.
sendok! Gigit sendoknya, le!!” seorang wanita tua meneriakinya setelah memerintah
si pandai emas untuk mengambilkan sendok agar Banyu tidak menggigit lidahnya.
Anak pandai emas itu bertanya mengapa harus menggigit sendok, tapi bapaknya tidak
begitu peduli dan hanya menyodokkan sendok itu ke mulut Banyu sambil mengomel
Tetangganya yang lain masih mencengkeram tangan, kaki dan pinggul Banyu agar
berhenti bergerak blingsatan, dan menuruti saran wanita tua tadi agar mengendorkan
“Biar dia tidak mati menggigit lidahnya, le” wanita tua itu berpaling ke anak si pandai
Saat itu, Nenek Dinar masih tidur, dan belum mendengar kabar apapun tentang
cucunya. Ia tidak memiliki televisi dan tidak sedang mendengar radio. Ibu-ibu lain
yang masih arisan pada sore itu terhenyak mendengar kabar bahwa ada kecelakaan
kereta Madiun- Jember ketika sedang menonton acara gosip. Seorang ibu yang
suaminya sedang kulak kain ke Jember langsung histeris dan pingsan, ada juga ibu-
ibu lain yang kambuh asmanya karena teringat bahwa anaknya juga berada kereta
Logawa. Ibu-ibu lain kebingungan dan beberapa orang berderap menuju rumah Pak
benang jahit berteriak setelah mendengar nama korban meninggal yang salah satunya
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 18
adalah Dinar, “Hah Dinar? Masyaowoooh..jangan-jangan Dinarnya Mbah Kamti?
“Hush! Sampeyan mbok jangan bikin orang tambah panik, memangnya Dinar sedang
naik kereta, apa? Wong paling juga lagi pacaran sama Banyu!”
“Lha siapa tau, lha kalo iya gimana? Wes, aku mau ngabari Mbah Kamti dulu!” ibu
itu meninggalkan benang jahitnya dan menyebrang jalan menuju rumah Nenek Dinar.
Saat itu, Nenek Dinar masih tidur. Tidak ada yang menyahuti salam Bu Parmin,
sampai tetangga sebelahnya memberitahunya bahwa Nenek Dinar sedang tidak enak
Dinar, ia menjawab bahwa Dinar sedang pergi dengan Banyu. Bu Parmin terlihat
lega, ia lantas langsung mohon diri karena menganggap bahwa dugaannya salah.
Ternyata Dinar memang sedang pacaran sama Banyu, seperti yang dikatakan
warga yang masih panik, tanpa meneruskan menjahit kancing baju pramuka anaknya.
Rayap
Pemicunya hanya satu: Tiang sekolah yang digerus rayap. Tapi, semenjak itu, kami
tidak mau bersekolah lagi. Ini sebenarnya kabar baik bagi sebagian dari kami yang
memang kesulitan membayar uang SPP, kabar buruk bagiku dan temanku satunya
karena orang tua kami begitu mendambakan kami bisa masuk ke Sekolah Menengah
Pertama terfavorit di kota. Kata mereka, kami harus mengikuti jejak saudara-saudara
yang lain. Tapi, kami tetap bersikukuh tidak mau bersekolah lagi. Tekad kami sudah
bulat. Kami memutuskan untuk, lebih baik, membantu Pak Amat berjualan tomat di
pasar, seperti yang guru kami pernah ajarkan di mata pelajaran Bahasa Indonesia.
subyek, mana predikatnya, kemudian diganti-ganti menjadi kalimat aktif, pasif, yang,
bahkan beliau tidak pernah memikirkan bagaimana nasib anak-anak Pak Amat yang
tidak bersekolah karena bapaknya hanya berjualan tomat. Pak Amat yang sebenarnya,
tidak hanya berjualan tomat, tapi juga sayuran-sayuran lain, dan istrinya membuka
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 20
warung nasi, sehingga anak-anaknya bersekolah. Tapi kami tidak. Kami tidak mau,
meski dipaksa pun. Kami tahu, tiang sekolah kami tidak benar-benar digerus rayap.
Mereka hanya menyalahkan rayap supaya tiang itu bisa diganti baru. Pak Kepala
Sekolah membicarakannya ketika menemui wali kelas kami beberapa waktu lalu. Jadi
kami memutuskan untuk tidak bersekolah lagi. Menurut kami hal itu tidak benar. Dan
guru ngaji kami pernah mengajarkan bahwa hal-hal yang tidak benar harus dihindari.
“Anak-anak, besok kita kedatangan tamu dari Diknas, besok bajunya rapih ya, disisir
rambutnya, kuku tidak boleh panjang, atau Ibu ceplés dengan penggaris nanti,” Wali
mereka orang penting dari Diknas. Kami tidak tahu apa itu Diknas sebelum wali kelas
kami, Bu Rini, menyebutnya singkatan dari Dinas Pendidikan Nasional dan salah
satu dari kami masih tidak mengerti mengapa mereka menyebutnya Diknas, bukan
Dipenas, seperti ABRI dan TVRI yang memakai singkatan dari katanya dibagian
awal. Kata Ali, temanku satunya, sebaiknya kami tidak perlu memikirkannya, toh,
uang Ridho juga masih kurang untuk jajan. Menurutku ia benar, jadi kami berganti
memikirkan bagaimana menambah uang Ridho supaya cukup jajan ote-ote dan es
setrup. Kami patungan sehingga Ridho dapat menikmati ote-ote dan es setrup seperti
aku dan Ali. Kebetulan uang jajan aku dan Ali lebih banyak dua ratus rupiah dari
Ridho.
ikan mas, tukang harum-manis, namun sebagian ada yang bermain lompat tali dan
tersingkap roknya, kemudian mereka akan tertawa sambil menepuk pundak yang lain
dan memberitahu teman laki-laki bahwa para perempuan tidak punya selang diantara
kakinya seperti mereka, sehingga tidak perlu kuatir kalah jika adu pipis. Kami hanya
membeli ote-ote dan es setrup dan makan di kelas, meski guru kami selalu melarang,
menurutnya makan di kelas menyebabkan kelas kotor, tapi Ridho meyakinkan bahwa
mereka tidak akan buang sampah sembarangan. Sejak saat itulah, hanya kami bertiga
yang diperbolehkan makan di dalam kelas sedangkan yang lainnya di kantin, karena
Ridho selalu menepati janjinya. Aku dan Ali mengikuti lakunya itu dan kami
mendapat kepercayaan. Saat itu, ketika yang lain sedang bermain-main dan jajan di
tukang-tukang jualan, kami bertiga masih mengobrol, tentang Ultra man yang, rasa-
rasanya, semakin singkat saja. Kata Ali, itu karena sponsornya makin lama, aku tidak
berpikir demikian, kataku itu hanya perasaannya saja, mungkin Ultra man memang
sedang kehabisan musuh. Ridho tidak ikut ambil pusing, ia tidak punya televisi dan
mengejeknya, tapi kadang-kadang juga merasa kasihan. Tapi Ridho tidak ambil
pusing, menurutnya Ultra man itu tidak ada, itu hanya khayalan yang membuat anak-
mengatakan bahwa Ridho hanya iri karena tidak punya televisi. Ridho hanya
meneruskan makan ote-otenya dan bilang bahwa lebih baik uangya untuk membayar
tunggakan buku daripada membeli televisi dan menjadi pengkhayal seperti Ali dan
aku. Sebenarnya aku menyetujui pendapat Ridho, Ultra man itu tidak ada, tapi aku
takut dengan Ali, jadi aku diam saja dan memikirkan cara untuk mengalihkan
pembicaraan tapi malah memergoki sesuatu yang mengerikan, “Heh!! Ada kepala
sekolah!!”
Kepala sekolah masuk ke kelas, di belakangnya ada wali kelas kami, Bu Rini. Mereka
membicarakan tentang ruang kepala sekolah yang banyak tamu wali murid, sehingga
lebih baik membicarakan masalah itu disini. Entah masalah apa itu. Kami
bersembunyi di balik meja, takut ketahuan, karena, meski kami mendapat izin dari
Bu Rini untuk makan di dalam kelas, tapi Pak Tanoe sangat galak dan tidak kenal
kompromi. Kami takut di setrap di lapangan dan pingsan, karena saat itu matahari
“Besok jam sembilan, Bu, saya kira masih ada waktu untuk sabotase seperti yang
saya bilang. Nah, tiang ini kan sudah agak rapuh…gimana kalau dibikin rapuh saja?
Ada beberapa tiang juga di kelas lain yang seperti ini, saya rasa kita bisa
menggergajinya sedikit, tapi jangan sampai kelihatan, supaya bisa dapat ganti baru
“Bu, tidak ada pilihan lain, kalau tidak begitu, Diknas tidak akan pernah membantu
perbaikan sekolah. Nanti kita bisa bilang, tiang sekolah ini digerus rayap. Saya tahu
banyak kepala sekolah lain yang malah mengantongi bantuan dari Diknas untuk
mereka sendiri, dan menyebar isu tentang sekolah lain supaya sekolah mereka lah
yang mendapat prioritas untuk diberi bantuan. Sedangkan sekolah kita? Sudah lama
sekali tidak dapat bantuan. Lima tahun, Bu. Bagaimana kalau tiang ini benar-benar
“Ibu ini bagaimana sih? Saya kan sudah bilang, kalau cuma minta tidak dikasih.
Sekolah lain yang lebih parah dari kita yang dikasih, atau sekolah yang kepala
“Baiklah, Pak. Nanti saya suruh Karto untuk menggergaji ini sedikit..” Bu Rini
menunduk, ia menyeka matanya yang berair dengan sapu tangan. Pak Kepala Sekolah
Karto, pesuruh sekolah. Kami terhenyak. Tidak menyangka tiang sekolah kami akan
digergaji.
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 24
Hari berikutnya, kami memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Aku mendapat kabar
dari Gita, tetangga sekaligus teman sekelasku, bahwa Bu Rini juga tidak masuk, jadi
sekolah libur. Dia sangat lega karena belum sempat memotong kukunya, hari itu, ia
orang, termasuk tukang sol sepatu yang cuma melintas mencari pelanggan. Hari
berikutnya, kami tidak masuk lagi. Ibuku mulai menanyai dengan khawatir, apakah
aku sakit atau ada pemalakan di sekolah seperti diberitakan di televisi, aku berkata
tidak apa-apa. Tapi ia sangat khawatir sampai-sampai mengecat ulang kamarku dan
memasang sprei baru supaya, menurut feng shui yang dibacanya di majalah, dapat
mengembalikan semangat hidup. Aku hanya mendadak tidak enak hati karena ia
menggunakan warna perempuan, lagipula aku tidak suka bau cat basah.
Ali dan Ridho mendatangiku. Mereka bilang bahwa sekolah mendapat bantuan.
Mereka diberitahu orang tua Ridho yang mendapat penghapusan tunggakan buku
karena sekolah sedang ketiban duren, kata Ibunya. Ali mengatakan bahwa sekolah
telah berbuat curang, seperti Ultra man yang kebanyakan sponsor. Aku mulai paham
karena kakakku yang berkuliah mengomel-ngomel tentang iklan yang banyak dan
aku tidak tahu apa itu, mungkin sejenis obat. “Dan, aku menanyai guru ngaji, tentang
curang. Beliau bilang itu dosa! Haram!” Ali berkata lagi, Ridho menerawang
menatapi langit-langit kamar, dan kemudian memberi pernyataan yang, menurut kami
sepuluh tahun, ”mungkin memang sebaiknya kita tidak usah bersekolah saja. Aku
kami tentang adiknya yang bersekolah dengan beasiswa tapi tidak diperbolehkan
main, tugasnya hanya belajar saja, dan ada seseorang yang mengawasinya secara
khusus, karena sekolah itu mahal dan banyak murid asingnya. Ketika ia hendak
kembali belajar. Ibu dan Bapaknya tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis, di sisi
lain bersyukur karena anaknya bisa bersekolah di sekolah mahal secara gratis.
Sejak perbincangan sore itu, kami akhirnya memutuskan untuk, lebih baik, membantu
bapaknya Ridho berjualan tomat di pasar. Beliau juga sudah sakit-sakitan. Aku tidak
memberitahu orang tuaku bahwa aku tidak bersekolah lagi, dan Ali juga, dan Ridho
menerima bantuan kami dengan senang hati. Tiap pagi sejak sore itu aku berpura-
pura berangkat ke sekolah, hanya tidak memakai dasi Tut Wuri Handayani warna
merah di kemeja. Jika ibu sadar, ia pasti akan curiga, tapi, akhir-akhir ini ibu sibuk
mengurusi kakakku yang sering berdemo, aku sering melihatnya di televisi. Kami
berjualan di pasar induk, dengan berganti baju terlebih dahulu, dan tidak seorang pun
mengenali kami yang mantan siswa ini. Padahal tutur kata kami santun meski di pasar