Вы находитесь на странице: 1из 28

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 0

To Whom I Love: Words, Phrases, Sentences and

Stories. Also My Family

— Rengget Geni Latiefah

Antologia Juli- 2010


ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 1
Tjerita Terdiri dari:
- Lelaki Tua Itu Bukan Bapak
- Dia Penumpang Logawa
- Tiang Sekolah Kami Tidak Digerus Rayap

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 2


Lelaki Tua Itu Bukan Bapak

Rengget Geni Latiefah

Saat itu ia menggeleng pelan. Menolak dengan halus uang yang kuulurkan— berupa

tiga lembar seribuan. Katanya ia tidak ngemis, cuma numpang istirahat. Seketika aku

tersentak, mengira orang sepertinya hanya bisa berpura-pura menderita, minta

perhatian orang, dan tentu saja, uang. Aku teringat pada dua orang temanku yang

masih berada di coffee shop seberang jalan. Beberapa waktu yang lalu, aku masih

bergabung dengan mereka, membicarakan investasi bisnis, yang, kata orang lain

mungkin bisnis gelap. Tapi kami menyebutnya ‘ladang penghasil uang’. Investasi

yang akan kami lakukan hanya sepuluh juta masing-masing orang, dan dalam satu

tahun, uang kami akan berlipat-lipat. Aku tidak tahu berapa, tapi salah satu dari

mereka meyakinkan uang kami bisa berlipat hingga sepuluh kali, hanya dalam kurun

waktu satu tahun. Aku memikirkannya. Menurutku bisnis ini memang sangat

prospektif. Tapi aku tidak tahu apakah aku punya uang itu sekarang. Aku pamit

sebentar untuk membeli rokok dan mengecek saldo rekening di ATM seberang jalan.

Menimbang-nimbang apakah bisa berinvestasi dalam bisnis tadi. Agen TKW fiktif.

Entah bagaimana, temanku punya kenalan yang bisa membuatkan akta notaris palsu

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 3


untuk usaha kami. Kemudian, agen kami akan menampung pelamar-pelamar yang

ingin bekerja di luar negeri, kemudian menyalurkan mereka ke Amerika dan Eropa

untuk dijadikan pekerja seks. Kami pun mendapatkan keuntungan.

Sewaktu menyeberang, mataku tertumbuk pada pria itu, dengan setelan lusuh dan

bersandal jepit. Ia terlihat duduk memelas dengan mencangklong tas yang

menggantung lemas di pundak hingga ke pinggang. Mungkin, isi tas itu tidak

sebanding dengan ruang yang disediakan, sehingga tidak bisa membentuk tas

cangklongan tadi. Tapi aku sempat melihat ada tutup merah menyembul dari balik tas

itu, mungkin botol air minum. Mata pria itu begitu sayu, dengan rambut dan kumis

seputih kapur, yang mengingatkanku pada bapak. Mungkin usia mereka tidak terpaut

jauh, atau bahkan sebaya. Mereka sama-sama memiliki pencederaan usia atas

kemudaan mereka, sehingga tampak begitu tua dan rapuh, dengan kesan putih yang

berlebihan pada jaringan rambut di tubuh mereka. Kerut-merut mulai menguasai kulit

pria-pria tua yang legam itu, dia dan bapakku. Sangat tampak, mereka terjajah usia.

Pria itu dan bapakku sungguh mirip. Bedanya, bapakku tidak ngemis begini. Tengah

hari seperti ini, ia pasti sedang pulas di kasur beratap genteng dingin yang—

bahkan— tokek pun enggan beranjak. Orang-orang di kampungku percaya bahwa

rumah yang dihuni oleh tokek menandakan rumah itu dingin dan nyaman. Aku

menjadi miris.membayangkan jika bapakku ngemis begini. Aku lalu memberinya tiga

lembar seribuan. Kuulurkan padanya, kali ini, aku tidak melempar uang pemberianku

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 4


seperti yang biasa kulakukan pada pengemis dan pengamen yang sering kutemui

ketika menyetir di perempatan. Itu karena aku terburu lampu merah dan tentu saja,

mereka pasti sudah senang ada yang berbaik hati dengan melempar uang, tidak peduli

itu sopan atau tidak. Lagipula, tau apa mereka soal sopan, yang penting kan uang.

Anak-anak yang masih bocah saja tidak ragu meminta uang pada siapapun yang

mereka temui di jalan. Entah itu benar-benar butuh atau disuruh. Aku juga tidak

terlalu memedulikan. Bapak ini hanya lain, menurutku. Ia tidak menengadahkan

tangan, tapi mungkin ini cara lain agar orang semakin kasihan. Tapi, biarlah, aku

teringat bapakku sendiri, jadi aku mau memberinya uang. Lagipula, tiga ribu tidak

begitu berarti bagiku. Aku mengulurkan uang padanya, berharap bisa menyentuh

tangannya, juga aku menaruh hormat karena teringat bapak. Aku tidak tega

melemparkan uang itu begitu saja, membayangkan kalau bapak yang ngemis begini.

Ia mendongak. Lalu menggeleng lemah. Tangannya mendorong pelan uang yang

kuulurkan padanya, katanya ia tidak ngemis, cuma numpang istirahat. Aku tersentak,

menelan cemooh batinku yang sedari tadi mengira bahwa ia hanya berpura-pura

minta belas kasihan orang-orang yang lewat di jalan itu. Saat itu aku benar-benar

merasa ditampar kenyataan bahwa penglihatan dan pengalamanku ternyata telah

mendikte kejadian-kejadian yang ada, bahkan sebelum kualami. Aku tadi mencoba-

coba mencocokan pola, tentang bertemu para pengemis dan pengamen dan langsung

sinis pada siapapun yang menyerupai mereka. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 5


meminta maaf. Ia hanya tersenyum dan bilang tidak apa-apa karena aku bukan orang

pertama yang menyodorkan uang padanya. Selama ia mencoba beristirahat di pinggir

jalan, orang-orang selalu memberinya uang. Ada yang sempat ia tolak, namun,

kebanyakan ia beri ke pengemis yang sebenarnya karena orang yang memberinya tadi

buru-buru mengejar bus, atau hanya melempar dari kendaraan yang mereka naiki.

Setelah mengobrol, ia tidak tampak tua dan rapuh seperti yang kubayangkan. Ia

begitu antusias berbicara, bahkan tak jarang ia tergelak atas candanya sendiri, atau

karena melihat kucing yang sedang menetek pada induknya. Katanya, aku orang

pertama yang mengajaknya ngobrol. Lalu aku menawarkan diri untuk

membelikannya es cincau supaya bisa ngobrol lebih lama. Ia tampak antusias, tapi

mengingatkan kalau-kalau ajakanku tadi cuma basa-basi sebaiknya jangan, karena ia

juga masih punya air minum di tasnya. Aku terkejut. Lagi. Ia begitu berhati-hati dan

tidak langsung memanfaatkan kebaikan orang lain. Aku kagum padanya. Aku lalu

berkata bahwa harga segelas es cincau tidak lebih dari tiga ribu rupiah yang hendak

kuberikan padanya, jadi impas. Setidaknya aku sudah mencoba mengikhlaskan uang

itu untuk bapak, kataku. Ia tersenyum dan menerima traktiranku dengan senang hati.

Aku memesan dua.

“Podolski” jawab bapak itu ketika aku menanyakan namanya. “Wah, namanya kok

kayak pemain sepak bola, Pak? keren banget!” ujarku bersemangat. Bapak itu
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 6
kemudian melihat kearahku sambil tertawa. “Oh, bukan. Tadi, teh, bapak lagi baca

tulisan di koran. Kalau nama bapak, teh, Dadang, atuh, kumaha jadi Podolski. Keren

pisan!” koreksinya. Kami tertawa. “Kebetulan saya lagi gandrung sama Jerman,

makanya kaget kok nama bapak kayak pemain idola saya,” kataku sambil menenggak

cincau hingga dingin tenggorokan. Pak Dadang masih tertawa sambil menyeruput

minumannya dan menyendoki cincau itu sedikit-sedikit. Aku kemudian menanyainya

mengapa ia sampai duduk-duduk sendirian di pinggir jalan, apakah ia sedang dalam

perjalanan atau menunggu seseorang. Ia sedang mencari anaknya, katanya. Ia

menceritakan bahwa anaknya melamar jadi TKW di Arab sejak tiga bulan lalu, tapi

hingga kini, ia tidak mendapat kabar apapun dari anaknya. Awalnya ia mengira tidak

adanya kabar dari anaknya itu dikarenakan biaya telepon mahal, jadi ia dan

keluarganya menunggu. Sebenarnya, ia khawatir dan sempat tidak menyetujui

anaknya mencari uang di luar negeri karena takut akan mengalami penganiayaan

seperti yang diberitakan di televisi. Tapi, tidak ada pilihan lain, karena keluarga

anaknya itu juga tidak begitu utuh, dan mereka butuh biaya. Pak Dadang sehari-

harinya juga hanya seorang petani yang menyewa lahan dari juragan sawah di

kampungnya. Aku agak penasaran sebenarnya dengan ‘tidak begitu utuh’-nya

keluarga anaknya, apakah mereka bercerai atau suaminya meninggal. Ia hanya

tersenyum. Biarlah orang lain tidak tahu, tidak enak membicarakan rumah tangga

orang, katanya.

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 7


Tiga bulan menunggu kiriman uang dan kabar, nyatanya tidak kunjung datang. kuatir

sekali keluarga, katanya. Cucunya bahkan sempat mendapat teguran dari sekolah,

kalau tidak melunasi SPP tidak boleh mengikuti ujian. Aku ikut sedih mendengarnya.

Aku mengatakan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya, tapi aku

mendoakan semoga anaknya cepat memberi kabar dan cucunya bisa ikut ujian. Ia

berterimakasih, dalam bahasa sunda, dan mengatakan bahwa ia tidak bermaksud

membebaniku, sekedar bercerita dan, syukur-syukur kalau aku bisa menunjukkan

dimana itu pemerintah yang mengurusi TKW-TKW sehingga ia bisa mencari

informasi, karena, orang-orang di kampung juga tidak ada yang mengerti dimana

anaknya bisa diketemukan. Aku menawarkan diri untuk mengantar, tapi ia menolak

dengan halus, tidak ingin merepotkan. Ia bisa naik bus, katanya. Cuma, memang

ongkosnya mepet karena dua hari di Jakarta ternyata menghabiskan uang, padahal ia

tidak menyewa penginapan, hanya numpang tidur masjid. Uangnya digunakan untuk

ongkos naik kendaraan, makan ala kadar, dan sisanya untuk pulang kembali ke Tasik.

Karena tidak ingin uangnya habis terlalu dini, ia memutuskan berjalan dari Stasiun

Cawang ke Mampang, area dimana banyak gedung pemerintahan berjajar, kata orang

yang ditemuinya di stasiun. Aku mengiyakan, dari Departemen ke departemen ada di

sekitar sini hingga Kuningan. Aku berpura-pura hendak ke arah yang sama, kebetulan

mobilku juga parkir di ruas jalan ini, jadi bisa sekalian mengantar Pak Dadang ke

Departemen Tenaga Kerja, kataku.

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 8


“Haturnuhun, nyak…” ujarnya tampak sumringah setelah turun dari mobil. Aku

memberinya sebuah buku dan mengatakan bahwa itu kenang-kenangan dariku. Ia

menerimanya dan mengucapkan terima kasih sampai dua kali, dan berkata bahwa ia

sangat tertolong dan menghemat ongkos jadi bisa pulang langsung ke Tasik setelah

menanyai petugas-petugas di sana. Aku mengucap syukur atasnya dan mendoakan

semoga lancar-lancar saja. Ia mengamini dan pamit untuk segera masuk ke dalam

gedung. Aku mempersilakan sambil tersenyum simpul karena merasa sudah bisa

berbuat sesuuatu yang baik untuk hari ini, setidaknya, doa keduaku bisa terkabul—

tentang cucunya supaya bisa ikut ujian— jika Pak Dadang menyadari ada tiga lembar

seratus ribuan yang terselip di buku tadi. Aku yakin kalau memberinya secara terlihat

pasti langsung ditolak. Harga diri lelaki tua itu terlalu mahal untuk dikasihani.

Aku menggeser porsneling dan meluncur kembali kearah coffee shop tempat kedua

temanku yang sudah mencetak 30 missed call dan 20 sms di ponsel sedari aku

mengobrol dengan Pak Dadang tadi. Aku membayangkan uang yang akan mengalir

jika berbisnis dengan mereka. Sepuluh juta saja, aku mendesis, mencoba mengira-

ngira berapa keuntunganku setelahnya, selama satu tahun berbisnis agen palsu tadi.

Aku sempat mendengar beberapa orang yang beranjak tergesa dari Departemen

Tenaga Kerja tadi dan meneriaki para petugas ‘maling orang’ dengan bersungut.

Seorang ibu dengan lelaki yang mencoba menenangkannya tapi wanita itu masih
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 9
menangis histeris dan berteriak-teriak agar mereka mengembalikan anaknya.

Seseorang menanyainya mengapa ia berteriak, wanita itu masih histeris, lelaki yang

menjaganya tadi berkata bahwa anaknya tidak kunjung kembali dari Malaysia setelah

menjadi TKW, sudah empat tahun. Aku mengalihkan pandang ke Pak Dadang,

melihat mata sayunya itu berair, ia mematung sebentar, mengelus dada sambil

bergumam, lalu menyeka matanya dan kembali menapaki tangga teras gedung dan

terlihat berinteraksi dengan satpam. Aku menjadi miris. Mungkin hal yang sama akan

terjadi padaku, diteriaki maling orang, jika masih nekat menyetor untuk investasi.

Menyetor bagaimana, saldo di rekeningku saja aku tidak tahu, belum sempat

mengecek karena keasyikan ngobrol dengan Pak Dadang. Aku kemudian

membayangkan berapa banyak senyum yang nantinya pudar ketika para wanita yang

ingin berjuang demi keluarganya itu harus menjadi budak nafsu, bukan pembantu,

sepeti yang mereka kira. Aku tidak sanggup menjadi pembawa petaka dan

menyebabkan orang-orang seperti Pak Dadang dan ibu-ibu tadi bernasib sial gara-

gara bisnis kami. Aku mencoba melupakan tawaran bisnis dua temanku. Mobil

kuputar arah masuk ke Tol dan seketika itu, aku memutuskan untuk memelajari bisnis

budidaya tokek di rumah, seperti yang dilakukan bapakku dan sebagian besar

generasinya. Ah, aku tiba-tiba rindu sekali padanya.

Jakarta, Juli 2010

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 10


Dia Penumpang Logawa

Rengget Geni Latiefah

Ia tidak menyangka hal itu akan terjadi. Itu adalah yang pertama baginya, sejauh

yang ia ingat. Ia hanya mengatakan, “Baiklah, sampai jumpa,” ketika Pria itu

meninggalkannya dengan kecupan di kening. Tentunya dengan sedikit gemetar dan

senyum yang mengembang, tapi masih canggung. Dinar Logaya tercenung sejenak,

memikirkan bahwa pagi itu ia makan singkong dengan sambal sehingga, mungkin,

hal itu yang menyebabkan sekarang perutnya jadi mulas. Ia benar-benar tercenung

sampai bisa mendengarkan detak jantungnya yang lebih cepat dari bunyi tik-tik-tik

jam tangannya dan perasaan yang sesak bahkan setelah turun dari angkutan umum

dengan pria itu beberapa waktu lalu. Kini, ia sedang akan menuju Jember, tapi masih

menunggu sinyal petugas sehingga kereta yang ditumpanginya dapat segera berpacu

ke stasiun berikutnya. Dinar melambai kearah pria yang mengantarnya itu dengan

senyum yang masih canggung, tidak secara langsung menatap matanya, tapi hanya

selintas. Sedangkan pria itu hanya mengangguk pelan dan melambai dua kali dari

balik jaket biru tuanya yang tebal, hari itu cuaca agak mendung dan angin sedang

berhembus kencang. Dinar kemudian merapikan tempat duduknya dari sampah

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 11


plastik— botol aqua dan bekas makanan ringan— lalu duduk tenang dengan

membaca cerita latin yang belum diselesaikannya sejak beberapa minggu lalu selama

berada di Madiun. Ia disibukkan oleh pekerjaan rumah tangga dan beberapa hal yang

membuatnya tidak bisa meneruskan cerita latinnya, tapi malah sibuk kesana-kemari

mengantar pesanan tapé ketan yang merupakan usaha kecil-kecilan neneknya.

Matanya memindai cepat tulisan-tulisan yang tercetak pada buku itu, tapi pikirannya

sedang menerawang bersama pria tadi. Seseorang yang dikenalnya sejak lama, tapi

hanya sebatas kenal-temu saja, hampir tidak pernah berbicara kecuali di suatu sore

ketika Banyu meminjam pompa sepeda. Selain itu, mereka hanya menyapa dengan

anggukan, jika kebetulan sedang bertatap-pandang. Dinar terlalu pemalu, dan pemuda

itu tidak punya bakat berhubungan dengan wanita. Meski jarak rumah mereka terpaut

beberapa tetangga, Dinar dan Banyu sangat jarang memulai perbincangan. Nenek

Dinar juga tipe konservatif yang tidak memperbolehkan pertemuan dua orang tadi

tanpa muhrim. Meski Nenek Dinar bukan tipe agamawan yang taat, tapi ia tahu adat.

Selain itu, ia juga tidak ingin malu dengan Bu Ustadz yang sering berdakwah tentang

agama di musala dekat rumah.

Awalnya ia juga ingin menguji apakah kedua orang itu sungguh-sungguh atas gejolak

mereka, atau hanya sekedar lewat sesaat. Dinar pernah menceritakan ketertarikannya

terhadap Banyu pada suatu sore, ketika pemuda itu meminjam pompa sepeda dan

neneknya memerhatikan gadis itu tidak mengalihkan pandang hingga terpeleset


ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 12
genangan hujan. Dengan malu-malu, ia mengatakan orangnya baik ya, Nek untuk

pertama kalinya. Neneknya, yang saat itu sedang memarut kelapa, tersenyum, teringat

gejolaknya pada suaminya beberapa puluh tahun lalu, ketika mereka sedang mencari

katak di tengah hujan. Saat itu umurnya baru enam tahun tapi ia sudah bertekad

untuk menjadi istri pemuda itu sepuluh tahun lagi. “Iya, baik, dan tidak punya

gandengan,” sahutnya. Dinar malu-malu, sambil masih melanjutkan menjemur baju.

Neneknya kemudian sering memergoki gadis itu melamun, melihat kearah kamar

sewaan Banyu, kadang-kadang juga sambil menulis sesuatu yang ketika ditanya pasti

akan menjawab bahwa itu adalah tugas kuliah, dengan wewangian yang menguar dari

baliknya. Lalu neneknya akan tertawa kecil dan berpura-pura percaya, dan Dinar akan

malu-malu lagi dan menyimpan kertas itu ke dalam lacinya yang dikunci.

Pria yang sejak lama diharapnya itu malah memintanya untuk tidak membiarkan jari

manisnya diselubungi cincin dari siapapun, baru tadi. Awalnya ia ingin menimpali

dengan guyonan apakah Banyu berencana menjadiknnya model toko emasnya yang

baru dibuka, namun lidahnya tiba-tiba kelu dan senyumnya mendadak canggung.

Kulitnya terlihat gelisah, menguarkan aroma pahit dan berkeringat dingin. Dinar tidak

pernah merasa tersanjung seperti itu sejauh yang ia tahu. Pria itu benar-benar

mengingatkannya pada masa kecil ketika ia ingin mengembara ke kutub utara

sehingga bisa bertemu dengan eskimo yang ia kira sejenis eskrim.

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 13


Tentu saja kejadian itu berlangsung beberapa jam sebelum kereta Logawa terguling

dan menewaskan hampir sepuluh orang, termasuk Dinar. Saat itu ia tidak pernah

memikirkan tentang hal buruk apapun. Ia hanya ingin pulang ke Jember dan

menyelesaikan skripsinya yang tertunda karena harus ke Madiun gara-gara neneknya

terkena asam urat dan minta dijenguk. Entah karena Dinar satu-satunya cucu

perempuan yang belum berkeluarga, sehingga neneknya bisa memanggilnya

kapanpun ketika sedang sakit, atau karena neneknya tahu bahwa Dinar juga

membutuhkan alasan supaya bisa ke Madiun dan bertemu Banyu sebelum pria itu

menjadi perjaka terakhir di desa yang belum juga meminang siapapun, termasuk

dirinya. Konon, setelah meminjam pompa sepeda sore itu, Banyu menjadi sering

bertanya tentang Dinar. Ia bahkan mulai memikirkan untuk memulai bisnis agar bisa

menghasilkan uang secara lebih mandiri, ketimbang hanya menjadi kurir pos. Ia

memutuskan untuk menjalankan usaha toko emas, dengan modal dari penjualan

motornya yang baru saja lunas kredit, dan tambahan pinjaman dari Bank atas saran

nenek Dinar. Banyu merasa ia perlu menghasilkan uang lebih untuk berkeluarga,

penghasilannya saat ini hanya cukup untuk menghidupi diri sendiri saja. Nenek Dinar

menasehati bahwa jika hanya karena uang, sebaiknya ia tidak terlalu memikirkan,

karena orang tua Dinar juga cukup mapan. Namun Banyu hanya mengangguk dan

bilang supaya keluarganya tidak kekurangan, dan tidak merepotkan orang lain.

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 14


Banyu bukan tipe pria yang ceria, wajahnya terlihat sendu, tapi sopan. Ia tidak suka

merepotkan orang, bahkan ketika sakit. Ia tidak suka memakai warna-warna cerah,

termasuk baju, apalagi untuk cat kamarnya. Warna paling cerah yang ia suka

hanyalah biru tua. Tidak ada yang istimewa darinya kecuali kulitnya yang cokelat

dengan kelebihan hormon testosteron yang membuat pertumbuhan pada jaringan

rambutnya begitu cepat. Suaranya yang dalam, otot-otot yang menonjol dan tulang

pipinya yang keras terkadang menakutkan bagi anak kecil namun terlihat sensual bagi

wanita-wanita puber. Tidak jarang remaja SMA yang terlihat melintas di depan

kamar sewaannya selama beberapa kali, terutama di sore hari, ketika ia sedang

menyiram tanaman. Pernah juga ada ibu-ibu hamil yang ngeyel supaya bisa dipeluk

olehnya dan mendengar detak jantungnya di kandungan mereka dengan alasan

ngidam. Namun, wanita hamil yang berhasil mengelabui suaminya itu kemudian

memamerkannya di acara-acara arisan, yang, konon, berakhir dengan pernyataan

geregetan, rasanya pasti lebih greng dari Mas Anu.

Dinar tidak pernah tau dan tidak peduli, bahkan, ketika ada ibu-ibu yang

mengumpatnya karena pernah terlihat duduk berdua dengan Banyu ketika sedang

menyiram tanaman. Nenek Dinar, meski harus berjalan tertatih-tatih karena menderita

asam urat, balik mangumpat ibu-ibu itu dan berteriak “garong” padanya, yang

membuat ibu-ibu lain mencibir dan menggunjingnya, dan kemudian mencoretnya dari

daftar arisan. Bahkan, nama Nenek pun tidak diikutsertakan lagi di kocokan

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 15


berikutnya meskipun tidak pernah absen menyetor. “Biar kapok, wong seenaknya

sendiri!” salah satu ibu-ibu yang selalu menjadi panutan dalam berbagai hal,

termasuk cara berpakaian dan menggunakan kosakata baru di tiap kesempatan

mereka berkumpul sewaktu arisan, berkomentar. Ibu-ibu yang lain menyepakati,

meski ada yang bilang kasihan, tapi yang lain langsung mencibirnya dan mengancam

akan mendapat perlakuan yang sama seperti Nenek. Ibu tadi pun diam saja dan

melanjutkan menjahit kancing.

Polisi mengumpulkan barang bukti dan memasang garis-polisi di sepanjang tempat

kejadian perkara. Tidak sedikit wartawan yang memaksa meringsek masuk dan

merekam berbagai keadaaan yang terdapat di sana. Ketika itu Nenek Dinar sedang

tidur, dan Banyu, sepulang mengantar Dinar, meneruskan belanja perhiasan dan

bertemu kenalan pandai emas, atas saran Nenek Dinar yang mendapatkan nama

pandai emas itu dari buku telepon. Banyu tidak akan pernah mengetahui berita

kecelakaan itu kalau saja kenalannya, si pandai emas, tidak menyalakan televisi dan

membesarkan volume supaya anaknya bangun dan sembayang dhuhur. Awalnya,

Banyu hanya bersimpati atas kecelakaan itu, ketika hanya melihat judulnya. Namun,

matanya kemudian berair dan ia merasa dadanya begitu sesak hingga ingin meledak

ketika melihat tayangan yang menyebutkan nama-nama korban meninggal, salah

satunya Dinar Logaya. Ia ingat tujuannya ke pandai emas dan membuatkan Dinar
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 16
emas pertamanya sebelum ia membuka Toko Emasnya pada akhir pekan ini. Banyu

berencana memberikannya kejutan, tapi belum untuk melamarnya, hanya

memberinya cincin sebagai kenang-kenangan. Ia ingat masih menyimpan kotak

merah yang akan dibuat menjadi rumah cincin untuk Dinar, dan memberikannya dua

hari lagi karena Banyu juga ingin berbelanja untuk tokonya di Jember. Beberapa

waktu lalu, dengan nyali tinggi, Bayu mengatakan hal yang belum pernah dikatakan

pada gadis manapun, tentang menjaga jari manisnya. Ia memang berniat melamar

gadis itu, meski hampir tidak pernah berhubungan langsung, hanya mengenal Dinar

melalui nenekknya. Menurutnya itu sudah cukup, karena, nenek Dinar tidak pernah

melewatkan satu detil pun tentang Dinar, bahkan ketika gadis itu masih ngompol

ketika SMP sehingga keluarganya harus membawanya ke rumah sakit. Yang ternyata,

penyembuhan modern masih kalah canggih dengan mitos jawa: menyengatkan

capung di pusar Dinar.

Banyu sudah lupa bagaimana rasanya kehilangan orang yang dicintainya sejak lima

belas tahun lalu, ketika orang tuanya meninggal. Dan kali ini ia akan selalu ingat,

karena tubuhnya blingsatan diluar kendalinya. Ia membanting apapun yang ada

dihadapannya: gelas, piring berisi pisang goreng, meja, kursi, televisi. Ia mengamuk

dan berteriak-teriak histeris. Peluhnya bercampur dengan airmata dan ingus,

membanjir. Pandai emas memanggili tetangganya dan menenangkannya dengan

bantuan tujuh orang yang masing-masing mengunci tangan, kaki dan pinggul Banyu.

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 17


Amukan Banyu berakhir dengan kejang-kejang selama beberapa menit. “Ambil

sendok! Gigit sendoknya, le!!” seorang wanita tua meneriakinya setelah memerintah

si pandai emas untuk mengambilkan sendok agar Banyu tidak menggigit lidahnya.

Anak pandai emas itu bertanya mengapa harus menggigit sendok, tapi bapaknya tidak

begitu peduli dan hanya menyodokkan sendok itu ke mulut Banyu sambil mengomel

tentang kerusakan juga tentang tidak bisa membangunkan anaknya sembayang.

Tetangganya yang lain masih mencengkeram tangan, kaki dan pinggul Banyu agar

berhenti bergerak blingsatan, dan menuruti saran wanita tua tadi agar mengendorkan

celananya dan membuka kancing kemeja agar ia bisa bernafas.

“Biar dia tidak mati menggigit lidahnya, le” wanita tua itu berpaling ke anak si pandai

emas tadi dan mengelus rambutnya.

Saat itu, Nenek Dinar masih tidur, dan belum mendengar kabar apapun tentang

cucunya. Ia tidak memiliki televisi dan tidak sedang mendengar radio. Ibu-ibu lain

yang masih arisan pada sore itu terhenyak mendengar kabar bahwa ada kecelakaan

kereta Madiun- Jember ketika sedang menonton acara gosip. Seorang ibu yang

suaminya sedang kulak kain ke Jember langsung histeris dan pingsan, ada juga ibu-

ibu lain yang kambuh asmanya karena teringat bahwa anaknya juga berada kereta

Logawa. Ibu-ibu lain kebingungan dan beberapa orang berderap menuju rumah Pak

RT dan memintanya untuk meredamkan suasana. Tiba-tiba seorang ibu dengan

benang jahit berteriak setelah mendengar nama korban meninggal yang salah satunya
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 18
adalah Dinar, “Hah Dinar? Masyaowoooh..jangan-jangan Dinarnya Mbah Kamti?

Kan rumahnya di Jember??!!”

“Hush! Sampeyan mbok jangan bikin orang tambah panik, memangnya Dinar sedang

naik kereta, apa? Wong paling juga lagi pacaran sama Banyu!”

“Lha siapa tau, lha kalo iya gimana? Wes, aku mau ngabari Mbah Kamti dulu!” ibu

itu meninggalkan benang jahitnya dan menyebrang jalan menuju rumah Nenek Dinar.

Saat itu, Nenek Dinar masih tidur. Tidak ada yang menyahuti salam Bu Parmin,

sampai tetangga sebelahnya memberitahunya bahwa Nenek Dinar sedang tidak enak

badan dan kemungkinan sedang tidur. Kemudian Bu Parmin menanyakan tentang

Dinar, ia menjawab bahwa Dinar sedang pergi dengan Banyu. Bu Parmin terlihat

lega, ia lantas langsung mohon diri karena menganggap bahwa dugaannya salah.

Ternyata Dinar memang sedang pacaran sama Banyu, seperti yang dikatakan

tetangganya tadi. Ia kemudian menyebrang jalan menuju ke rumah Bu Aminah,

tempat diselenggarakannya arisan ibu-ibu tadi, dan membantu Pak RT menenangkan

warga yang masih panik, tanpa meneruskan menjahit kancing baju pramuka anaknya.

Jakarta, Juli 2010

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 19


Tiang Sekolah Kami Tidak Digerus

Rayap

Rengget Geni Latiefah

Pemicunya hanya satu: Tiang sekolah yang digerus rayap. Tapi, semenjak itu, kami

tidak mau bersekolah lagi. Ini sebenarnya kabar baik bagi sebagian dari kami yang

memang kesulitan membayar uang SPP, kabar buruk bagiku dan temanku satunya

karena orang tua kami begitu mendambakan kami bisa masuk ke Sekolah Menengah

Pertama terfavorit di kota. Kata mereka, kami harus mengikuti jejak saudara-saudara

yang lain. Tapi, kami tetap bersikukuh tidak mau bersekolah lagi. Tekad kami sudah

bulat. Kami memutuskan untuk, lebih baik, membantu Pak Amat berjualan tomat di

pasar, seperti yang guru kami pernah ajarkan di mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Bedanya, ketika di kelas, kami hanya melafalkannya, kemudian mencari mana

subyek, mana predikatnya, kemudian diganti-ganti menjadi kalimat aktif, pasif, yang,

bahkan beliau tidak pernah memikirkan bagaimana nasib anak-anak Pak Amat yang

tidak bersekolah karena bapaknya hanya berjualan tomat. Pak Amat yang sebenarnya,

tidak hanya berjualan tomat, tapi juga sayuran-sayuran lain, dan istrinya membuka
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 20
warung nasi, sehingga anak-anaknya bersekolah. Tapi kami tidak. Kami tidak mau,

meski dipaksa pun. Kami tahu, tiang sekolah kami tidak benar-benar digerus rayap.

Mereka hanya menyalahkan rayap supaya tiang itu bisa diganti baru. Pak Kepala

Sekolah membicarakannya ketika menemui wali kelas kami beberapa waktu lalu. Jadi

kami memutuskan untuk tidak bersekolah lagi. Menurut kami hal itu tidak benar. Dan

guru ngaji kami pernah mengajarkan bahwa hal-hal yang tidak benar harus dihindari.

Jadi kami tidak bersekolah sejak saat itu.

“Anak-anak, besok kita kedatangan tamu dari Diknas, besok bajunya rapih ya, disisir

rambutnya, kuku tidak boleh panjang, atau Ibu ceplés dengan penggaris nanti,” Wali

kelas memberitahu kami, sehari sebelum kedatangan Bapak-bapak yang menurut

mereka orang penting dari Diknas. Kami tidak tahu apa itu Diknas sebelum wali kelas

kami, Bu Rini, menyebutnya singkatan dari Dinas Pendidikan Nasional dan salah

satu dari kami masih tidak mengerti mengapa mereka menyebutnya Diknas, bukan

Dipenas, seperti ABRI dan TVRI yang memakai singkatan dari katanya dibagian

awal. Kata Ali, temanku satunya, sebaiknya kami tidak perlu memikirkannya, toh,

uang Ridho juga masih kurang untuk jajan. Menurutku ia benar, jadi kami berganti

memikirkan bagaimana menambah uang Ridho supaya cukup jajan ote-ote dan es

setrup. Kami patungan sehingga Ridho dapat menikmati ote-ote dan es setrup seperti

aku dan Ali. Kebetulan uang jajan aku dan Ali lebih banyak dua ratus rupiah dari

Ridho.

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 21


Saat itu jam istirahat, teman-teman yang lain menghambur ke tukang siomay, tukang

ikan mas, tukang harum-manis, namun sebagian ada yang bermain lompat tali dan

sebagian lainnya terlihat mengamati perempuan-perempuan yang bermain lompat tali.

Mereka yang mengamati perempuan-perempuan menunggu hingga para pemain

tersingkap roknya, kemudian mereka akan tertawa sambil menepuk pundak yang lain

dan memberitahu teman laki-laki bahwa para perempuan tidak punya selang diantara

kakinya seperti mereka, sehingga tidak perlu kuatir kalah jika adu pipis. Kami hanya

membeli ote-ote dan es setrup dan makan di kelas, meski guru kami selalu melarang,

menurutnya makan di kelas menyebabkan kelas kotor, tapi Ridho meyakinkan bahwa

mereka tidak akan buang sampah sembarangan. Sejak saat itulah, hanya kami bertiga

yang diperbolehkan makan di dalam kelas sedangkan yang lainnya di kantin, karena

Ridho selalu menepati janjinya. Aku dan Ali mengikuti lakunya itu dan kami

mendapat kepercayaan. Saat itu, ketika yang lain sedang bermain-main dan jajan di

tukang-tukang jualan, kami bertiga masih mengobrol, tentang Ultra man yang, rasa-

rasanya, semakin singkat saja. Kata Ali, itu karena sponsornya makin lama, aku tidak

berpikir demikian, kataku itu hanya perasaannya saja, mungkin Ultra man memang

sedang kehabisan musuh. Ridho tidak ikut ambil pusing, ia tidak punya televisi dan

hari minggu ia membantu Bapaknya berjualan tomat di pasar. Kami selalu

mengejeknya, tapi kadang-kadang juga merasa kasihan. Tapi Ridho tidak ambil

pusing, menurutnya Ultra man itu tidak ada, itu hanya khayalan yang membuat anak-

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 22


anak makin bodoh. Ali langsung mengamuk dan menyebutnya bodoh dan

mengatakan bahwa Ridho hanya iri karena tidak punya televisi. Ridho hanya

meneruskan makan ote-otenya dan bilang bahwa lebih baik uangya untuk membayar

tunggakan buku daripada membeli televisi dan menjadi pengkhayal seperti Ali dan

aku. Sebenarnya aku menyetujui pendapat Ridho, Ultra man itu tidak ada, tapi aku

takut dengan Ali, jadi aku diam saja dan memikirkan cara untuk mengalihkan

pembicaraan tapi malah memergoki sesuatu yang mengerikan, “Heh!! Ada kepala

sekolah!!”

Kepala sekolah masuk ke kelas, di belakangnya ada wali kelas kami, Bu Rini. Mereka

membicarakan tentang ruang kepala sekolah yang banyak tamu wali murid, sehingga

lebih baik membicarakan masalah itu disini. Entah masalah apa itu. Kami

bersembunyi di balik meja, takut ketahuan, karena, meski kami mendapat izin dari

Bu Rini untuk makan di dalam kelas, tapi Pak Tanoe sangat galak dan tidak kenal

kompromi. Kami takut di setrap di lapangan dan pingsan, karena saat itu matahari

sedang panas sekali.

“Besok jam sembilan, Bu, saya kira masih ada waktu untuk sabotase seperti yang

saya bilang. Nah, tiang ini kan sudah agak rapuh…gimana kalau dibikin rapuh saja?

Ada beberapa tiang juga di kelas lain yang seperti ini, saya rasa kita bisa

menggergajinya sedikit, tapi jangan sampai kelihatan, supaya bisa dapat ganti baru

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 23


dari Diknas,” Pak Tanoe berbicara dengan suara berbisik. Bu Rini terlihat gelisah,

kami tahu dari caranya memainkan ujung blusnya dengan tergesa.

“Tapi, apa tidak ketauan, Pak? Tidak dosa?”

“Bu, tidak ada pilihan lain, kalau tidak begitu, Diknas tidak akan pernah membantu

perbaikan sekolah. Nanti kita bisa bilang, tiang sekolah ini digerus rayap. Saya tahu

banyak kepala sekolah lain yang malah mengantongi bantuan dari Diknas untuk

mereka sendiri, dan menyebar isu tentang sekolah lain supaya sekolah mereka lah

yang mendapat prioritas untuk diberi bantuan. Sedangkan sekolah kita? Sudah lama

sekali tidak dapat bantuan. Lima tahun, Bu. Bagaimana kalau tiang ini benar-benar

roboh dan kita belum mendapat bantuan?”

“Tapi apa tidak bisa minta saja, Pak?”

“Ibu ini bagaimana sih? Saya kan sudah bilang, kalau cuma minta tidak dikasih.

Sekolah lain yang lebih parah dari kita yang dikasih, atau sekolah yang kepala

sekolahnya pintar fitnah, dan uangnya ke kantong mereka!”

“Baiklah, Pak. Nanti saya suruh Karto untuk menggergaji ini sedikit..” Bu Rini

menunduk, ia menyeka matanya yang berair dengan sapu tangan. Pak Kepala Sekolah

mengangguk dan pamit kembali ke ruangannya, Bu Rini beranjak memanggil Mas

Karto, pesuruh sekolah. Kami terhenyak. Tidak menyangka tiang sekolah kami akan

digergaji.
ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 24
Hari berikutnya, kami memutuskan untuk tidak masuk sekolah. Aku mendapat kabar

dari Gita, tetangga sekaligus teman sekelasku, bahwa Bu Rini juga tidak masuk, jadi

sekolah libur. Dia sangat lega karena belum sempat memotong kukunya, hari itu, ia

memutuskan untuk mengecat kuku seperti kakaknya dan memamerkannya ke semua

orang, termasuk tukang sol sepatu yang cuma melintas mencari pelanggan. Hari

berikutnya, kami tidak masuk lagi. Ibuku mulai menanyai dengan khawatir, apakah

aku sakit atau ada pemalakan di sekolah seperti diberitakan di televisi, aku berkata

tidak apa-apa. Tapi ia sangat khawatir sampai-sampai mengecat ulang kamarku dan

memasang sprei baru supaya, menurut feng shui yang dibacanya di majalah, dapat

mengembalikan semangat hidup. Aku hanya mendadak tidak enak hati karena ia

menggunakan warna perempuan, lagipula aku tidak suka bau cat basah.

Ali dan Ridho mendatangiku. Mereka bilang bahwa sekolah mendapat bantuan.

Mereka diberitahu orang tua Ridho yang mendapat penghapusan tunggakan buku

karena sekolah sedang ketiban duren, kata Ibunya. Ali mengatakan bahwa sekolah

telah berbuat curang, seperti Ultra man yang kebanyakan sponsor. Aku mulai paham

karena kakakku yang berkuliah mengomel-ngomel tentang iklan yang banyak dan

semacamnya, katanya merusak generasi bangsa dan menyebabkan konsumerisme,

aku tidak tahu apa itu, mungkin sejenis obat. “Dan, aku menanyai guru ngaji, tentang

curang. Beliau bilang itu dosa! Haram!” Ali berkata lagi, Ridho menerawang

menatapi langit-langit kamar, dan kemudian memberi pernyataan yang, menurut kami

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 25


semua, merupakan hal paling brilian yang pernah dipikirkan oleh anak berumur

sepuluh tahun, ”mungkin memang sebaiknya kita tidak usah bersekolah saja. Aku

tidak mau menjadi bagian orang-orang yang curang.” Kemudian ia memberitahu

kami tentang adiknya yang bersekolah dengan beasiswa tapi tidak diperbolehkan

main, tugasnya hanya belajar saja, dan ada seseorang yang mengawasinya secara

khusus, karena sekolah itu mahal dan banyak murid asingnya. Ketika ia hendak

mengajak adiknya ke pasar malam, pengawasnya langsung menyeret adiknya untuk

kembali belajar. Ibu dan Bapaknya tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis, di sisi

lain bersyukur karena anaknya bisa bersekolah di sekolah mahal secara gratis.

“Bahkan mereka memaksanya ke gereja setiap minggu”. Lanjutnya.

Sejak perbincangan sore itu, kami akhirnya memutuskan untuk, lebih baik, membantu

bapaknya Ridho berjualan tomat di pasar. Beliau juga sudah sakit-sakitan. Aku tidak

memberitahu orang tuaku bahwa aku tidak bersekolah lagi, dan Ali juga, dan Ridho

menerima bantuan kami dengan senang hati. Tiap pagi sejak sore itu aku berpura-

pura berangkat ke sekolah, hanya tidak memakai dasi Tut Wuri Handayani warna

merah di kemeja. Jika ibu sadar, ia pasti akan curiga, tapi, akhir-akhir ini ibu sibuk

mengurusi kakakku yang sering berdemo, aku sering melihatnya di televisi. Kami

berjualan di pasar induk, dengan berganti baju terlebih dahulu, dan tidak seorang pun

mengenali kami yang mantan siswa ini. Padahal tutur kata kami santun meski di pasar

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 26


yang tidak bisa mendengar suara berbisik. Jika mereka paham itu, pasti mereka sadar,

bahwa kami pernah mengenyam bangku sekolahan.

Jakarta, Juli 2010

ANTOLOGIA -- Oleh: Regget Geni Latiefah 27

Вам также может понравиться