Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
BAB III
BANK UMUM BERDASAR PRINSIP SYARIAH
KELAS III G
OLEH KELOMPOK 3:
I GUSTI KOMANG AGUNG ARTA JAYA NIM. 1517051245
NI KADEK AYU METI KRISDAYANTI NIM. 1517051278
MADE SITA DIAZ OCTAVIANI NIM. 1517051391
2
kantor BPR. Perkembangan bank berdasarkan prinsip syariah masih sangat kecil
dibandingkan dengan bank konvensional. Hingga awal tahun 2005, terdapat 3 bank
umum syariah dan 16 unit usaha syariah. Lihat daftar berikut ini :
Bank Umum Syariah :
1. Bank Muamalat Indonesia (BMI)
2. Bank Syariah Mandiri (BSM)
3. Bank Syariah Indonesia
Unit Usaha Syariah :
1. Bank IFI Syariah
2. Bank Danamon Syariah
3. BRI Syariah
4. Bank Niaga Syariah
5. Bank Permata Syariah
6. Dll.
3
Dalam sistem bank syariah dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun
investasi. Cara titipan dan investasi berbeda dengan deposito pada bank
konvensional di mana deposito merupakan upaya membungakan uang. Konsep
dana titipan berarti kapan saja nasabah membutuhkan, bank syariah harus dapat
memenuhinya. Akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang
tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang
membutuhkan pengendapan dana. Sesuai dengan fungsi bank sebagai
intermediary yaitu lembaga keuangan penyalur dana nasabah penyimpan kepada
nasabah peminjam, dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau
investasi tadi kemudian dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksaksi
perniagaan yang diperbolehkan pada sistem syariah. Keuntungan dari
pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang
akan dibagikan kepada nasabah. Jika hasil usaha semakin tinggi maka semakin
besar pula keuntungan yang dibagikan bank kepada nasabahnya. Namun jika
keuntungannya kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang dibagikan
bank kepada nasabahnya.
3. Kewajiban Mengelola Zakat
Bank syariah diwajibkan menjadi pengelola zakat yaitu dalam arti wajib
membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan
mendistribusikannya. Hal ini merupakan fungsi dan peran yang melekat pada
bank syariah untuk memobilisasi danadana sosial (zakat, infak, sedekah)
4. Struktur Organisasi
Di dalam struktur organisasi suatu bank syariah diharuskan adanya Dewan
Pengawas Syariah (DPS). DPS bertugas mengawasi segala aktivitas bank agar
selalu sesuai dengan prinsipprinsip syariah. DPS ini dibawahi oleh Dewan
Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing masing
lembaga keuangan syariah, DSN dapat memberikan teguran jika lembaga yang
bersangkutan menyimpang. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada
lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Departemen
Keuangan untuk memberikan sanksi.
Secara ringkas perbedaan antara bank syariah dengan bank konversional dapat
dilihat pada tabel berikut.
No Bank Syariah Bank Konversional
1. Berivestasi pada usaha yang halal Bebas nilai
2. Atas dasar bagi hasil, margin keuntungan dan fee Sistem bunga
3. Besaran bagi hasil berubah-ubah tergantung Besaran tetap
4
kinerja usaha
4. Profit falah oriented Profit oriented
5. Pola hubungan kemitraan Hubungan debitur-kreditur
6. Ada dewan pengawas Syariah Tidak ada lembaga sejenis
Sistem bagi hasil dalam perbankan syariah sering menjadi bahan pertayaan dan
selalu dibandingkan dengan sistem bunga dalam perbankan konversional. Untuk
menjelaskan keduanya, tabel berikut membandingkan sistem bagi hasil dan sistem
bunga.
No Sistem Bunga Sistem Bagi Hasil
1. Penentuan suku bunga dibuat pada waktu Penentuan besarnya resiko bagi hasil
akad dengan pedoman harus selalu dibuat pada waktu akad dengan pedoman
untung untuk pihak bank. pada kemungkinan untung dan rugi.
2. Besarnya persentase bedasarkan pada Besarnya rasio (nisbah) bagi hasil
jumlah uang (modal) yang dipinjamkan. bedasarkan pada jumlah keuntungan yang
diproleh.
3. Tidak tergantung pada kinerja usaha. Bergantung pada kiberja usaha. Jumlah
Jumlah pembayaran bunga tidak pembagian bagi hasil meningkat sesuai
mengikat meskipun jumlah keuntungan dengan peningkatan jumlah pendapatan.
berlipat ganda saat keadaan ekonomi
sedang baik.
4. Eksistensi bunga diragukan kehalalannya Tidak ada agama yang meragukan
oleh semua agama termasuk agama keabsahan bagi hasil.
islam.
5. Pembayaran bunga tetap seperti yang Bagi hasil tergantung pada keuntungan
dijanjikan tanpa pertimbangan proyek proyek yang dialankan. Jika pryek itu
yang dijalankan oleh pihak nasabah tidak mendapat keuntungan maka
untung atau rugi. kerugian akan ditanggung oleh kedua
belah pihak.
5
Berdasarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR 12
Mei 1999 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, prinsip kegiatan usaha bank
syariah adalah :
a. Hiwalah
Akad pemindahan piutang nasabah (Muhil) kepada bank (Muhalalaih) dari
nasabah lain (Muhal). Muhil meminta muhalalaih untuk membayarkan
terlebih dahulu piutang yang timbul dari jual beli. Pada saat piutang tersebut
jatuh tempo, muhal akan membayar kepada muhalalaih. Muhalalaih
memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan piutang.
b. Ijarah
Akad sewa-menyewa barang antara bank (Muaajir) dengan penyewa
(Mustajir). Setelah masa sewa berakhir barang sewaan dikembalikan kepada
muaajir.
c. Ijarah Wa Iqtina
Akad sewa-menyewa barang antara bank(Muaajir) dengan penyewa
(Mustajir)yang diikuti janji bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan
barang sewaan akan berpindah kepada mustajir.
d. Istishna
Akad jual beli barang(Mashnu) antara pemesan (Mustashni) dengan
penerima pesanan (Shani). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakatidi
awal akad dengan pembayaran dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan.
Apabila bank bertindak sebagai Shani dan penunjukan dilakukan kepada pihak
lain untuk membuat barang (Mashnu) maka hal ini disebut Istishna Paralel.
e. Kafalah
Akad pemberian jaminan (Makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada
pihak lain di mana pemberi jaminan (Kafil) bertanggung jawab atas
pembayaran kembali suatu utang yang menjadi hak penerima jaminan
(Makful)
f. Mudarabah
Akad antara pihak pemilik modal (Shahibul Maal) dengan
pengelola(Mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.
Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan rasio yang telah
disepakati pada awal akad. Berdasarkan pada kewenangan yang diberikan
kepada mudharib, mudarabah dibagi menjadi Mudarabah Mutlaqah dan
Mudarabah Muqayyadah.
Mudarabah Mutlaqah
Mudharib diberi kekuasaan penuh untuk mengelola modal. Mudharib
tidak dibatasi, baik mengenai tempat, tujuan maupun jenis usahanya.
6
Mudarabah Muqayyadah
Shaibul Maal menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi
mudharib, baik mengenai tempat, tujuan maupun jenis usaha. Dalam
skim ini mudharib tidak diperkenankan untuk mencampurkan dengan
modal atau dana lain. Pembiayaan mudarabah muqayyadah antara lain
digunakan untuk investasi khusus dan reksa dana.
g. Murabahah
Akad jual beli antara bank dengan nasabah. Bank memberi barang yang
diperlukan nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah dengan
keuntungan yang disepakati
h. Musyarakah
Akad kerjasama ventura bersama antara dua pihak atau lebih pemilik modal
untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau
keuntungan dibagi sesuai dengan rasio yangtelah disepakati
i. Qardh
Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) yang
wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat
meminta jaminan atas pinjaman kepada Muqtaridh. Pengembalian pinjaman
dapat dilakukan secara angsuran ataupun sekaligus.
j. Al Qard ul Hasan
Akad pinjaman dari bank (Muqridh) kepada pihak tertentu (Muqtaridh) untuk
tujuan sosial yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai
pinjaman.
k. Al Rahn
Akad penyerahan barang harta (Marhun) dan nasabah(Rahin) kepada bank
(Murtahin) sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang.
l. Salam
Akad jual beli barang pesanan(Muslam fiih)anatara pembeli (Muslam) dengan
penjual(Muslamilaih). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal
akad dan pembayaran dilakukan dimuka secara penuh. Apabila bank bertindak
sebagai Muslam dan pemesanan dilakukan kepada pihak lain untuk
menyediakan barang (muslam fiih) maka hal ini disebut salam paralel.
m. Sharf
Adalah akad jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
n. Ujr
Imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang
dilakukan.
o. Wadiah
Akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang
dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga
7
keselamatan, keamanan serta keutuhan barang/uang. Berdasarkan pada
jenisnya, Wadiah terdiri atas Wadiaah Yad Amanah dan Wadiah Yad
Dhamanah.
WadiahYad Amanah
Adalah akad penitipan barang/uang di mana pihak penerima tidak
diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan/kehilangan barang titipan yang
bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.
Wadiah Yad Dhamanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan
dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan
barang/uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan
atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan
yang diperoleh dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak
penerima titipan.
p. Wakalah
Akad pemberian kuasa dari peberi kuasa (Muakkil) kepada penerima kuasa
(Wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (Taukil) atas nama pemberi kuasa.
b. Kegiatan Usaha
Istilah bank syariah atau bank bagi hasil dapat diterjemahkan menjadi lebih dari
satu pengertian, terutama apabila dikaitkan dengan pelaksanaan kegiatan
operasional sehari-hari. Agar kegiatan operasional bank syariah lebih terarah, maka
Bank Indonesia memberikan pedoman dan prinsip-prinsip yang harus dijalankan
oleh bank syariah di Indonesia. Prinsip-prinsip tersebut dituangkan dalam UU
Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, dan SK Dir BI Nomor
32/34/KEP/DIR Tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Berdasarkan pada Prinsip
Syariah. Bank wajib menerapkan prinsip syariah dalam melakukan kegiatan
usahanya yang meliputi :
a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi :
Giro berdasarkan pada prinsip wadiah
Tabungan berdasarkan pada prinsip wadiah atau mudarabah
Deposito berjangka berdasarkan pada prinsip mudarabah atau
Bentuk lain berdasarkan pada prinsip wadiah atau mudarabah
b. Melakukan penyaluran dana melalui :
Transaksi jual beli berdasarkan pada prinsip murabahah, istishna, ijarah,
salam, dan jual beli lainnya.
8
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan pada prinsip mudarabah,
musyarakah, dan bagi hasil lainnya.
Pembiayaan lainnya berdasarkan pada prinsip hiwalah, rahn, qardh,
membeli, menjual dan/ atau menjamin atas risiko sendiri surat-surat
berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata
(underlying transaction) berdasarkan pada prinsip jual-beli atau hiwalah.
Membeli surat-surat berharga pemerintah dan/atau Bank Indonesiayang
diterbitkan atas dasar prinsip syariah.
c. Memberikan jasa-jasa:
Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah
berdasarkan pada prinsip wakalah.
Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan
melakukan perhitungan dengan atau antarpihak ketiga berdasarkan
prinsip wakalah.
Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga
berdasarkan prinsip wadiah yad amanah
Melakukan kegiatan penitipan termasuk penata usahaannya untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan pada suatu kontrak dengan prinsip
wakalah.
Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan pada
prinsip ujr.
Memberikan fasilitas letter of credit (L/C) berdasarkan pada prinsip
wakalah, murabahah, mudarabah, musyarakah, dan wadiah serta
memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan pada prinsip kafalah.
Melakukan kegiatan usaha kartu debit berdasarkan pada prinsip ujr.
Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan pada prinsip wakalah.
d. Melakukan kegiatan lain seperti :
Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan pada prinsip sharf.
Melakukan kegiatan penyertaan modal berdasarkan pada prinsip
musyarakah dan/atau mudarabah pada bank atau perusahaan lain yang
melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah.
Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan prinsip
musyarakah dan/atau mudarabah untuk mengatasi akibat kegagalan
pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya.
Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun
berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan dalam perundang-
undangan dana pensiun yang berlaku.
9
Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul mal, yaitu menerima dana
yang berasal dari zakat, infak, shadaqah, wakaf, hibah, atau dana sosial
lainnya dan menyalurkannya kepada yang berhak dalam bentuk santunan
dan/atau pinjaman kebajikan (qardhul hasan)
e. Melakukan kegiatan yang lazim dilakukan bank sepanjang disetujui oleh
Dewan Syariah Nasional.
Dalam hal bank akan melakukan kegiatan usaha yang belum difatwakan oeh
Dean Syariah Nasional, bank wajib meminta persetujuan Dewan Syariah
Nasional sebelum melaksanakan kegiatan usaha tersebut
10
E. PRINSIP-PRINSIP KEHATI-HATIAN BANK UMUM SYARIAH
Dalam Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia No 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS) dalam melakukan
kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-hatian. Adapun prinsip-prinsip
kehati-hatiann tersebut antara lain :
1) Ketentuan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPPMM)
Bank wajib menyediakan modal minimun sebesar 8% (delapan persen) dari Aset
Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). UUS wajib menyediakan modal minimum
dari ATMR dari kegiatan usaha berdasarkan pada prinsip syariah. Apabila modal
minimum UUS kurang dari 8% dari ATMR, maka kantor pusat bank umum
konvensional dari UUS wajib menambah kekurangan modal minimum. ATMR
dihitung berdasarkan bobot risiko masing-masing pos aset neraca dan rekening
administratif.
2) Kualitas Aset
Penanaman dana atau penyediaan dana bank wajib dilaksanakan berdasarkan
pada prinsip kehati-hatian dan memenuhi prinsip syariah. Pengurus bank wajib
menilai, memantau, dan mengambil langkah-langkah antisipasi agar kualitas aset
senantiasa dalam keadaan lancar. Penilaian kualitas dilakukan terhadap aset
produktif dan aset nonproduktif. Bank wajib menetapkan kualitas yang sama
terhadap beberapa rekening aset produktif yang digunakan untuk membiayai satu
nasabah dalam satu bank yang sama. Penetapan kualitas yang sama berlaku pula
untuk aset produktif berupa penyediaan dana atau tagihan yang diberikan oleh
lebih dari satu bank yang dilaksanakan berdasarkan pada perjanjian pembiayaan
bersama dan/atau sindikasi. Aset nonproduktif yang wajib dinilai kualitasnya
meliputi Agunan yang Diambil Alih (AYDA), properti yang terbengkalai,
rekening antarkantor dan suspense account serta persediaan. Kualitas aset
produktif dan nonproduktif wajib dinilai secara bulanan.
11
berdasarkan prinsip syariah serta bagian aset produktif yang dijamin dengan
jaminan pemerintah dan agunan tunai. Besarnya cadangan khusus yang dibentuk
ditetapkan sama dengan sebagaimana yang dipersyaratkan bank umum.
Kewajiban untuk membentuk PPA tidak berlaku bagi aset produktif untuk
transaksi sewa berupa akad Ijarah atau transaksi sewa dengan perpindahan hak
milik berupa akad Ijarah Muntahiyah bit Tamlik. Bank wajib membentuk
penyusutan/amortisasi untuk transaksi sewa.
4) Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS)
Bank wajib menjaga dan mengambil langkah langkah agar kualitas pembiayaan
setelah direstrukturisasi dalam keadaan lancar. Bank dilarang melakukan
restrukturisasi pembiayaan dengan tujuan menghindari:
a. penurunan penggolongan kualitas pembiayaan;
b. pembentukan penyisihan penghapusan aset (PPA) yang lebih besar; atau
c. penghentian pengakuan pendapatan margin atau ujrah secara akrual.
Restrukturisasi pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara
tertulis dari nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
b. Nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi
kewajiban setelah restrukturisasi. Restrukturisasi hanya dapat dilakukan
untuk pembiayaan dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet.
Restrukturisasi pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang
memadai serta terdokumentasi dengan baik. Restrukturisasi pembiayaan dapat
dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu akad pembiayaan awal.
Restrukturisasi pembiayaan terhadap nasabah yang memiliki beberapa fasilitas
pembiayaan dari bank dapat dilakukan terhadap masing-masing pembiayaan,
bank wajib memiliki kebijakan dan SOP tertulis mengenai restrukturisasi
pembiayaan.
5) Giro Wajib Minimum (GWM) Bank Syariah
Bank wajib memelihara GWM dalam rupiah dan bank devisa selain wajib
memenuhi GWM rupiah juga wajib memelihara GWM dalam valas. GWM dalam
rupiah besarnya ditetapkan sebesar 8% (delapan persen) dari dana pihak ketiga
(DPK) dalam rupiah dan GWM dalam valas ditetapkan sebesar 1% (satu persen)
dari DPK dalam valas. Selain memenuhi ketentuan tersebut, bank yang memiliki
rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam rupiah kurang dari 80%
(delapan puluh persen) dan:
a. memiliki DPK Rp 1 triliun s.d. Rp10 triliun wajib memelihara tambahan
GWM dalam rupiah sebesar 1% (satu persen) dari DPK dalam rupiah;
12
b. memiliki DPKdalam rupiah Rp 10 triliun s.d. Rp50 triliun wajib
memelihara tambahan GWM dalam rupiah sebesar 2% (dua persen) dari
DPK dalam rupiah; dan
c. memiliki DPK dalam rupiah Rp50 triliun wajib memelihara tambahan
GWM dalam rupiah sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam rupiah.
Bagi bank yang memiliki rasio pembiayaan dalam rupiah terhadap DPK dalam
rupiah sebesar 80% (delapan puluh persen) atau lebih dan/atau yang memiliki
DPK dalam rupiah sampai dengan Rp l triliun tidak dikenakan kewajiban
tambahan GWM.
6) Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Syariah (BUS)
Penilaian tingkat kesehatan BUS mencakup penilaian terhadap faktor-faktor
permodalan. kualitas aset, manajemen. rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas
terhadap risiko pasar.
a. Penilaian peringkat komponen atau rasio keuangan pembentuk faktor
permodalan, kualitas aset, rentabilitas, likuiditas, dan sensitivitas terhadap
risiko pasar dihitung secara kuantitatif.
b. Penilaian peringkat komponen pembentuk faktor manajemen dilakukan
melalui analisis dengan mempertimbangkan indikator pendukung dan unsur
judgement.
c. Berdasarkan pada hasil penilaian peringkat faktor finansial dan penilaian
peringkat faktor manajemen, ditetapkan Peringkat Komposit (PK).
Contoh Kasus : Setitik Nila di Bank Syariah (Kasus Kredit Fiktif sebesar Rp. 102
Miliar di Bank Syariah Mandiri Bogor)
Akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Pepatah itu kini tengah mengancam industri
perbankan syariah. Bagaimana tidak, praktik kecurangan di perbankan yang biasanya terjadi
di bank pinggir kota terjadi pada bank syariah skala nasional? Banyak orang yang
gelenggeleng kepala akibat kejadian ini bukan cuma karena terjadi di salah satu bank
nasional tapi juga di bank syariah.
Baru-baru ini Bank Syariah Mandiri, harus tertimpa kasus fraud yang boleh dibilang
paling primitif yaitu kredit fiktif dengan memalsukan dokumen-dokumen utama. Karena
kasus itu, anak usaha bank terbesar di Indonesia itu harus menanggung potensi kerugian yang
mencapai Rp102 miliar. BSM telah memecat tiga pejabatnya yang telah terbukti terlibat
dalam penyaluran kredit fiktif untuk pembelian lahan dan pembangunan perumahan di
13
kawasan Bogor itu. Tiga pejabat itu adalah Kepala Cabang Utama Bank Syariah Mandiri
Bogor, berinisial MA, yang dipecat tertanggal 4 Oktober 2013. Kemudian, Kepala Cabang
Pembantu Bank Syariah Mandiri Bogor berinisial HH tercatat dipecat 1 Desember 2012, dan
Accounting Officer Bank Syariah Mandiri Bogor, bernisial JL dipecat tanggal 1 November
2012. Perbedaan dalam penjatuhan sanksi pemecatan, ada yang pada 2012 dan 2013
dikarenakan JL dan HH melarikan diri ketika pemeriksaan internal masih berlangsung.
Tak pelak, kejadian yang terjadi di BSM cabang Bogor itu mencoreng bank tersebut
sekaligus industri bank syariah. Bagaimana tidak, citra bank syariah sebagai bank yang tidak
hanya taat pada aturan otoritas perbankan tetapi juga otoritas kehidupan ternyata tak cukup
menghindari pegawainya berbuat curang. Karenanya munculnya risiko reputasi pada
perbankan syariah menjadi tak terhindarkan. Risiko reputasi adalah risiko akibat menurunnya
tingkat kepercayaan stakeholder antara lain regulator, nasabah, masyarakat, manajemen bank
dan pegawai. Risiko ini bersumber dari persepsi negatif terhadap bank. Di antara risiko yang
dihadapi bank, risiko reputasi merupakan risiko yang memiliki dampak paling signifikan dan
dapat mempengaruhi keberlangsungan usaha bank.
Sebenarnya apa yang terjadi pada BSM Cabang Bogor tidaklah terlalu istimewa dari
sisi modus, bahkan termasuk modus kuno. Kolusi antara orang dalam dan orang luar dalam
tindak kejahatan perbankan itu sudah menjadi modus umum. Direktur Tindak Pidana
Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Arief Sulistyanto menjelaskan, cairnya
kredit perumahan BSM Kantor Cabang Pembantu (KCP) Bogor bermula karena terjadinya
pertemuan antara pengusaha properti yang bernama bernisial IP dengan Accounting Officer
BSM berinisial JL. Awalnya IP hanya berniat mengajukan kredit untuk rumah pribadinya
dengan nilai di atas Rp1 miliar kepada BSM melalui JL. Kemudian terjadilah pertemuan
antara IP dan JL. IP yang memang sudah lama terjun pada bisnis properti, kemudian
menemukan cara untuk mendapatkan dana dari bank tersebut dengan cara curang. Karena
keduanya sudah sering bertemu dan berkomunikasi, IP tidak canggung mengutarakan niatnya
itu kepada JL. Dan mencoba membujuk JL agar mau bekerjasama untuk merealisasikan
niatnya, yaitu membuat kredit fiktif. Supaya rencana bisa berjalan dengan benar-benar mulus,
IP terlebih dahulu memberikan hadiah kepada pejabat Bank Syariah Mandiri (BSM) Kantor
Cabang Pembantu Bogor.
IP kemudian mengajukan pembiayaan pada Juli 2011 hingga Mei 2012 dengan
menggunakan akad mudharabah. Awalnya pengajuan itu untuk pembelian lahan dan
pembangunan perumahan di wilayah Bogor. IP mengajukan 197 nasabah dengan plafon
Rp100 juta sampai Rp 300 juta. Dari 197, ada 113 nasabah fiktif. Berarti hanya 84 nasabah
14
yang asli. Ke 113 identitas nasabah fiktif ini seperti KTP, persyaratan administrasi, dan data-
data semuanya dipalsukan. Kemudian rata-rata setiap nasabah fiktif dibuat IP mendapat
plafon kreditnya sebesar Rp 100 sampai Rp 200 juta. Kredit fiktif yang diajukan IP bisa
berjalan mulus tentu karena adanya kerjasama dengan orang dalam.
Sampai pada akhirnya, manajemen BSM menaruh kecurigaan pada laporan KCP BSM
Bogor. Corporate Secretary BSM Taufik Machrus menjelaskan pihaknya mencurigai ada
sesuatu yang tidak beres di kantor cabang itu pada 2012. Kemudian kecurigaan tersebut
ditindaklanjuti dengan diturunkannya direktorat kepatuhan BSM dan tim audit khusus BSM
pusat. Temuan awal sebenarnya bisa dikatakan sederhana. Tim BSM menemukan adanya
dugaan penggelembungan nilai kredit (mark up).
Setelah yakin adanya tindak pidana, kemudian pihak BSM pusat melapor ke kepolisian
pada 12 September 2013. Pihak BSM mengklaim pengaduan yang dilakukan merupakan
bagian dari penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance
(GCG).
Dari manajemen pusat BSM memang tidak bisa melakukan penelitian secara langsung
kredit yang diajukan nasabah. Karena kredit yang diajukan itu sifatnya perorangan dan
nilainya tidak besar, sehingga persetujuan kredit hanya sampai pada tingkat pimpinan BSM
Cabang saja.
Pihak berwajib mengemukakan alasan mengapa tiga pejabat BSM menjadi tersangka.
Berdasarkan bukti-bukti yang ada, seharusnya ketiga pejabat tersebut yang merupakan
pimpinan dan mempunyai wewenang dapat menegakan SOP yang sudah berlaku selama ini,
tapi yang mereka lakukan malah sebaliknya. Mereka menabrak aturan yang ada dengan tidak
melaksanakan ketentuan kredit dan menerima pemberian dari debitur, sehingga pejabat bank
tidak melaksanakan secara tepat ketentuan yang sudah ada. Ditambah lagi bekerjasama dalam
tindak kejahatan dengan pihak luar.
Sedangkan IP, sebagai tersangka dari luar BSM yang menjadi otak kredit fiktif ini dan
sempat menjadi buron polisi, menampung uang hasil kejahatannya yang sebesar Rp102 miliar
ke sejumlah rekening BCA dengan nomor yang berbeda-beda. Setelah dana dicairkan secara
bertahap dari BSM, kemudian langsung dimasukkan ke rekening BCA. Puluhan buku
rekening BCA atas nama dirinya dan orang lain saat ini sudah disita penyidik Direktorat
Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Bareskrim Polri.
Berulangnya kasus kejahatan perbankan merupakan bukti fungsi pengawasan internal
bank dan regulator masih bisa dibobol. Baik itu karena standard operating procedure (SOP)
tidak benar-benar berjalan, atau karena ada bagian-bagian tertentu yang tidak dijalani. Bisa
15
jadi juga karena tidak adanya evaluasi dan monitoring ketika SOP berjalan. Sebenarnya bila
melihat modus pembobolan yang terjadi di KCP BSM Bogor, tidak perlu terjadi bila
manajemen peka dan mulai bisa mendeteksi sedini mungkin, sehingga kerugian tidak
membesar. Karena memang bukan modus baru. Tidak jauh berbeda dengan modus-modus
pembobolan sebelumnya.
Kasus fraud di BSM merupakan kesalahan oknum. Kasus tersebut tidak bisa dijadikan
sebagai gambaran umum tentang kondisi perbankan saat ini lantaran memang tidak terjadi
pada beberapa bank pada waktu yang berdekatan. Kasus pembobolan BSM seharusnya
memang bisa dicegah jika bagian manajemen risiko bank lebih waspada. Kasus-kasus kredit
fiktif yang muncul menunjukkan bahwa risiko operasional dengan sistem manajemen risiko
dan reguler tidak berjalan. Oleh karena itu, bank syariah harus mengetatkan pengawasan
melalui audit internal secara berkelanjutan agar memastikan kegiatan bank syariah berjalan
dengan baik. Hal ini sangat perlu dilakukan, mengingat apa yang terjadi di Bank Syariah
Mandiri itu bisa jadi muncul pula di bank syariah lain yang pada akhirnya membuat industri
perbankan syariah terpapar risiko reputasi. Jika demikian citra bank syariah sebagai lembaga
yang aman dan menenangkan menjadi rusak akibat nila yang setitik itu.
DAFTAR PUSTAKA
Budisantoso, Totok dan Nuritomo.2015. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya Edisi 3.
Jakarta:Salemba Empat.
16
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah.
17