Вы находитесь на странице: 1из 7

Hibriditas Budaya dan Public Sphare

Summarized and Prepared by


Ben Ibratama
benibratama10@gmail.com
Mahasiswa Master Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM

Abstrak

Tulisan ini memaparkan tentang hibriditas budaya dalam ruang publik secara umum. Secara spesifik
tulisan ini membahas tentang politik hibriditas, public sphare, evolusi sosial dari Habermas, dan
perbedaan struktur dalam kehidupan sosial. Dalam proses penyusunan, penulis menggunakan
metode literature review dari berbagai sumber yaitu sumber primer dan sekunder. Sumber primer
berasal dari buku Redeveloping Communication for Social Change yang dirangkum oleh Karin
Gwinn Wilkins, sementara sumber sekunder berasal dari jurnal dan karya tulis ilmiah dari internet
yang terkait dengan hibriditas budaya dan public sphare.

Kata Kunci : politik hibriditas, public sphare, evolusi sosial, perbedaan strukutur sosial

Tulisan ini mecoba melihat dan menganalisis pengaruh-pengaruh budaya dari negara barat
yang dilakukan sebelum lahirnya studi tentang imperealisme budaya, dan yang terbaru disebut
sebagai hibriditas pada studi postkolonial. Tujuan yang lain adalah untuk mengetahui mengenai
konseptualisasi prospek demokrasi, karena sejauh ini terdapat hal yang cukup kontradiktif antara
demokrasi dan HAM, representasi nilai-nilai HAM bertentangan dengan berbagai proses difusi yang
dilakukan oleh negara barat pada negara-negara dunia ke tiga melalui budaya imperealistik.
Pelestarian berbagai budaya dan tradisi merupakan bagian dari analisis politik, seharusnya yang
didiskusikan adalah mengenai hubungan teori demokrasi yang menjelaskan tentang perbedaan
budaya yang sejatinya harus dilindungi. Hal ini digambarakan dalam teori Habermas tentang
tindakan komunikatif dari berbagai tradisi yang dimainkan dalam sebuah ruang publik.
Escobar di dalam bukunya Encountering Development memberikan beberapa argumen,
Escobar mempengaruhi dengan menggunakan kerangka berpikir antropologi pembangunan, bahwa
kegagalan pembangunan diberbagai dunia ketiga bukanlah sebuah kecelakaan, sebaliknya usaha
pembangunan harus digali dari berbagai disiplin disetiap elemen yang bisa diartikulasikan dengan
menggunakan berbagai ekspansi hegemoni negara barat. Keinginan Escobar dalam hal ini adalah,
bahwa postmodernis berkontribusi pada studi perubahan sosial di negara dunia ketiga setelah satu
dekade. Argumen teoritis dan asumsi bahwa power harus bisa dikonstrusikan bukan hanya melalui
terminologi tentara dan uang tapi juga pada wacana lainnya. Esscobar sebenarnya lebih tertarik
pada permasalahan yang kompleks, dan menganalisis seluruh kekuatan-kekuatan yang tidak legal
namun berfokus pada tujuan pemberdayaan.
Teori-teori diskursif harusnya melibatkan teori politik yang mencakup teori demokrasi dalam
berbagai perspektif yang kontemporer. Berdasarkan argumen ini bermaksud untuk melihat subjek
dari pengaruh budaya global. Difusi global dari budaya barat merupakan merupakan gambaran
umum tentang pengaruh budaya yang pada dasarnya sering bersifat mengganggu. Analisis lebih
awal seperti pengaruh budaya, lebih luas dilakukan oleh neo Marxist. Salah satu contohnya adalah
perdagangan media massa yang bukan merupakan bagian dari ideologi dominan tapi hanya sebuah
produk tertentu untuk mendapatkan keuntungan, sementara pada kontribusi yang lain mengalami
penyempitan yang berfokus pada efek budaya dan analisis media sebagai studi imperealisme. Prasa
imperealisme budaya memiliki kekuatan, testimoni, dan durasi bahwa pengaruh budaya bergerak
bermula dari utara ke selatan.
Kritik budaya sebelumnya berdasarkan pada model serta gaya ekonomi, asosiasi, dan hegemoni
dengan hubungan neokolonial, bahwa budaya dilihat sebagai sesuatu yang kuat berdasarkan teori
imperealisme budaya, sementara penelitian tentang hibriditas budaya lebih memperhatikan untuk
mempertahankan budaya lokal meskipun adanya penggabungan budaya baru, dan pada akhirnya
membentuk kebiasaan yang baru dalam bentuk yang baru. Studi postkolonial mengkombinasikan
hal tersebut dengan fokus pada kekuatan implikasi di dalam menciptakan perbedaan.
Pendekatan yang lebih baru mengenai studi hibriditas dihidupkan kembali oleh postmodernis,
jika budaya menjadi pendekatan yang memuaskan kemudian menjadi sesuatu yang dibutuhkan, hal
inilah yang diabaikan dalam pendekatan dan analisis barat. Satu hal yang diperhatikan adalah tentang
pelibatan akademi-akademi didalam konstruksi ideologi kolonial. Perdebatan tentang filosofi Afrika
yang ditujukan pada masalah pengembangan dan refleksi pemikiran yang berbasis dari sumber
intlelektual masyarakat yang ada, seperti di negara barat ada sebuah prilaku dan asumsi kategori dari
hipotesa imperealisme budaya, dari perspektif ini imperealisme budaya gagal dalam memperkaya
budaya barat.
Studi tentang pengaruh budaya mempertimbangkan kemajuan melampui budaya tersebut,
pendekatan imperealisme budaya dianalisis melalui analisis hibriditas. Bagaimana pun pendekatan
hibriditas merupakan terminologi pendekatan postmodernis yang digunakan untuk analisis politik.
Seajauh ini studi tentang pengaruh budaya bergantung pada dekonstruksi yang membuka peluang
bagi institusi ekonomi dan politik. Dari perspektif hibriditas ada dua pertentangan yang dapat dilihat
yaitu megenai pengaruh budaya dari negara barat dan pelestarian budaya serta konsep tentang
demokrasi. Seajuh ini kontradiksi antara demokrasi dan representasi nilai HAM semakin meluas
yang pertama karena negara barat melakukan difusi yang sangat kuat untuk program modernisasi.
Jurgen Habermas dalam teori tindakan komunikatif menganalisis sebuah proses perubahan
dalam sebuah teori demokrasi. Bagian dari teori ini terhubung dengan isu pembangunan, tapi tidak
bisa dieksplorasi secara sistematik. Dua hal tersebut menurut Habermas dirasakan menjadi bagian
dari masalah, menahan modernisasi kadang-kadang menjadi sesuatu yang bias, dan teori Habermas
kemudian menuai kritik. Modernisasi memiliki pengaruh dalam skala yang lebih besar dan sebagian
menggunakan teori evolusi sosial, kemudian dikaitan dengan analisis public sphare. Ini merupakan
hal penting dalam mempertimbangkan hibriditas budaya, bukan hanya dari sudut pandang korban
dari imperealisme budaya, tapi juga pada perspektif agen sosial dan hibriditas budaya pemerintahan.
Banyak teori tentang hibriditas dan mencakupi teori politik dan teori publik dan negara.
Habermas tidak bermaksud melibatkan teori tentang publik dan negara yang bisa digunakan, tapi
teori Habermas dalam penelitian dikombinasikan dengan teori elemen dasar dari teori evolusi sosial,
institusi politik, dan hibriditas budaya (Wilkins,2000).

a) Politik Hibriditas
Ketika fenomena yang berlangsung dalam produk-produk representasional yang mengganggu
konstruksi keutuhan berbagai wacana dan pengetahuan dalam sebuah relasi kekuasaan berbasis
oposisi biner, efek lanjutnya adalah ketidakadaan atau ketidakhadiran budaya yang bersifat otentik
atau murni. Bhabha menyebut produk budaya yang demikian sebagai hibriditas. Namun, apa yang
harus dipahami adalah bahwa hibriditas bukan sekedar wacana tentang percampuran antarbudaya
seperti dalam pengertian asimilasi, sinkretisme, ataupun kreolisasi. Lebih dari itu, dalam konsep
hibriditas terdapat persoalan politik kultural yang mendasari kelahirannya. Hibriditas merupakan
tanda produktifitas kuasa kolonial, pergeserannya memaksa dan menentukan. Hal tersebut adalah
sebutan bagi pembalikan strategis dari proses dominasi melalui pengingkaran, yakni produksi
identitas diskriminatoris yang mengamankan identitas murni dan orisinil dari kekuasaan. Hibriditas
merupakan penilaian ulang dari asumsi identitas terjajah melalui repetisi dari efek identitas
diskriminatoris.
Hibriditas memamerkan deformasi dan penggantian penting dari semua situs diskriminasi dan
dominasi. Hibriditas mengganggu kebutuhan mimetik atau narsistik dari kekuasaan kolonial tetapi
mengimplikasikan-kembali identifikasinya dalam strategi subversi yang merubah pandangan dari
yang terdiskriminasi kembali kepada mata kuasa. Karena hibrid, terjajah merupakan artikulasi dari
ruang ambivalen di mana berbagai bentuk kekuasaan dijalankan pada situs hasrat, menjadikan
objeknya terdisiplinkan sekaligus melipat gandakan diri dalam tranparansi negatif (Bhabha, 1994).
Sebagaimana saya jelaskan sebelumnya, hibriditas merupakan produk yang menekankan artikulasi
ganda, sehingga pandangan, perilaku, maupun wacana kultural yang berada di dalamnya ditujukan
untuk memaknai ulang klaim kebenaran epistemologis perbedaan sebagai basis dominasi. Dengan
mengkonstruksi subjek hibrid, pihak terjajah berada dalam lokasi yang memudahkan tuan penjajah
melakukan pengawasan terhadap mereka karena tampak mengikuti aturan maupun wacana dominan,
tetapi tetap berada dalam posisi yang tidak setara.
Namun, ketransparansian hibriditas merupakan bentuk pengingkaran transparansi negatif
terhadap kekuasaan berbasis diskriminasi karena meskipun terdisiplinkan, subjek hibrid terus
melipat gandakan budaya mereka dan mengingkari kebenaran diskriminasi kultural sehingga
kekuasaan dimunculkan dan dimaknai secara berbeda. Dalam wacana hibriditas, negosiasi sebagian
budaya lokal tetap berlangsung yang darinya kekuatan resisten dalam permainan ambivalensi dan
tipu daya pengakuan, meniru sekaligus mengejek, tidak sepenuhnya ditundukkan dalam diskriminasi
kultural tetap hadir. Aspek-aspek kultural dominan yang diapropriasi bukan lagi sebagai simbol dari
kekuasaan, tetapi sebagai tanda yang bisa memunculkan makna dan wacana baru yang terselip dan
dapat menghancurkan fondasi perbedaan kultural secara esensial. Hibriditas adalah nama bagi
pengalihan nilai dari simbol menjadi tanda yang menyebabkan wacana dominan.
Hibriditas merepresentasikan pembalikan ambivalen dari subjek yang terdiskriminasikan
menjadi objek yang menakutkan dan diluar perkiraan bagi klasifikasi paranoid, perermasalahan yang
cukup mengganggu citra dan kehadiran kekuasaan. Hibriditas bukanlah terminologi yang dapat
menyelesaikan tegangan antara dua budaya dalam permainan dialektis pengakuan. Pengalihan dari
simbol kepada tanda menciptakan krisis bagi beragam konsep kekuasaan berbasis sistem pengakuan,
spekularitas kolonial, penulisan ganda, tidak memproduksi cermin yang mana diri menangkap
bayangan dirinya, hibriditas selalu berupa layar yang pecah dari diri dan kegandaannya, sang hibrid.
Metafor-metafor itu sangat tepat, karena mereka menyiratkan bahwa hibriditas kolonial bukanlah
sebuah masalah genealogi atau identitas antara dua budaya yang berbeda yang kemudian bisa
diselesaikan sebagai isu relativisme kultural.
Hibriditas merupakan representasi dan individualis kolonial dan problematis yang membalikan
efek pengingkaran penjajah, sehingga pengetahuan-pengetahuan lain yang ditolak dan masuk ke
dalam wacana dominan dengan mengasingkan basis kekuasaanya (Bhabha, 1994). Ketika kelompok
subordinal menginvestasikan budaya dominan dengan makna-makna yang baru, pilihan untuk tetap
menjalankan sebagain budaya lokal merupakan bagian dari strategi kultural yang bisa membalik
atau mengingkari makna yang dikehendaki kelompok dominan. Sebagai pengetahuan yang ditolak
dalam nalar dan logika kekuasaan, budaya lokal masuk ke dalam pengetahuan dominan katakanlah,
budaya modern sehingga memunculkan krisis epistemologis bagi kekuasaan yang dijalankan dengan
hukum-hukum pengakuan terhadap perbedaan.
Dalam penulisan sastra pasca kolonial berbahasa Inggris misalnya, para penulis memposisikan
bahasa ini bukan lagi sebagai suatu simbol dari kekuasaan subjek metropolitan Inggris atau Amerika
Serikat, tetapi sekedar sebagai tanda di mana mereka bisa secara bebas menegosiasikan lokalitas
sembari mengartikulasikan modernitas tetapi tidak sepenuhnya. Dengan kata lain, dalam bahasa
metaforis, sang hibrid bukan sekedar percampuran antara yang modern dan yang lokal yang bisa
menyelesaikan tegangan antardua budaya, tetapi berlangsung di dalamnya proyek agensi yang
bertujuan untuk menciptakan subjek dalam permainan ambivalen.
Dalam wacana hibriditas yang tidak terpusat, terpecah, dan bertekstur terbuka, berlangsung
sebuah mekanisme untuk mengganggu dan meresistensi otoritas kekuasaan yang dijalankan pada
seputar pengakuan terhadap perbedaan kultural. Apa-apa yang tampak sebagai subjek yang
dikonstruksi tradisional ternyata bisa menerapkan sekaligus memainkan modernitas dalam wacana
maupun praktik hidup sehari-hari, tanpa kehilangan sepenuhnya ketradisian mereka. Sementara,
ketika mereka tampak sudah menjadi manusia-manusia modern, nyatanya, subjek-yang dikonstruksi
tradisional tidak mau mengambil, mengadaptasi, dan menerapkan sepenuhnya kebenaran ideologis
pengetahuan modern yang disebarkan secara massif dalam program-program pembangunan maupun
narasi-narasi dalam media populer.
Dengan menggunakan konsep lokasi budaya yang di dalamnya berlangsung hibriditas dan
ambivalensi, Bhabha pada dasarnya ingin mendudukkan tempat dan posisi budaya bukan dalam
ketunggalan dan keterpusatan subjek. Lokasi sebuah budaya bukanlah sebuah ruang yang sudah
mapan, disini atau disana atau di kita dan di mereka, yang selamanya seperti itu.
Lokasi budaya bukan pula berada dalam ruang yang dipenuhi keberagaman kultural yang di
dalamnya berlangsung penghormatan terhadap perbedaan sebagaimana diidealisasi oleh para
multikulturalis karena persoalan tersebut menyisakan pandangan esensial dan diskriminatoris.
Lokasi budaya adalah ruang antara atau ruang ketiga yang dipenuhi perjuangan representasional,
diskursif, dan praksis untuk melakukan artikulasi negosiasi, konstruksi, secara ajeg sebagai strategi.
Dalam konsepsi yang demikian, budaya merupakan bentuk, situs, praktik, makna, wacana, dan
pengetahuan yang selalu bergerak secara dinamis sekaligus konfliktual, sehingga definisi, deskripsi,
dan teoretisasi terhadapnya tidak bisa dikerangkai secara beku dan utuh, tidak bisa pula dimaknai
sebagai asimilasi ataupun kolaborasi damai. Lebih tepatnya, budaya sebagai budaya parsial yang
menyerupai budaya diantara sama-sama tidak jelas antara yang menyerupai dan berbeda dari budaya
lain dominan sebagai akibat dari strategi hibridisasi (Bhabha, 2003).
Strategi ini mengganggu ataupun meniadakan kekuatan otoritatif dalam mengkonstruksi secara
diskursif pemahaman budaya dalam sebuah masyarakat, khususnya, sekali lagi yang bersifat biner
antara yang dominan dan yang subordinat atau minoritas. Ketika sebuah penulisan atau usaha
diskursif bertujuan mengobjektifkan atau mewajarkan pengetahuan atau identitas kultural dalam
lingkup nasional, strategi atau wacana hibridisasi yang membuka ruang negosiasi memang tidak bisa
menghancurkan ketidaksetaraan kuasa, tetapi ia mengaburkan atau mengalihkan kedalaman dari
kekuasaan yang dibenarkan melalui konstruksi identitas antagonis. Agensi hibrid menemukan
suaranya dalam dialektika digaris batas, tanpa mencari supremasi ataupun kedaulatan kultural.
Dengan siasat diskursif tersebut, mereka membentuk budaya parsial sebagai titik pijak untuk
mengkonstruksi visi komunitas di tengah-tengah kelompok atau wacana mayoritas yang sebagian
dalam yang keseluruhan (www.unej.ac.id)

b) Public Sphare
Hal ini muncul karena adanya perubahan kultur warga dalam menanggapi regulasi maupun
realitas politik di abad ke-18 seiring dengan semakin tingginya intelektual warga, melek media,
akses terhadap karya-karya bermutu, buku sastra yang mudah didapatkan, dan juga konsumsi
terhadap arah baru jurnalisme yang lebih kritis melalui berita yang dipublikasikan juga merupakan
upaya untuk menyediakan ruang-ruang publik sebagai sebuah arena diskusi yang kritis berdasarkan
argumen-argumen dalam menanggapi realitas atau pemberitaan media. Ruang publik ini terpisah
dari domain otoritas kekuasaan yang ada saat itu di Eropa dan bahkan dalam konteks ini ruang publik
bisa diartikan sebagai kekuatan baru dalam menyeimbangkan dan mengkritisi kebijakan yang
merupakan produk otoritas yang berkuasa.
Pada dasarnya ruang publik secara historis sudah muncul di tengah-tengah masyarakat Eropa,
akan tetapi ruang publik baru dalam kupasan Habermas ini tidak hanya terjadi di warung, kafe
sebagaimana terjadi di Inggris atau di salon-salon di Perancis, melainkan juga terjadi di ruang-ruang
baca maupun tempat-tempat pertemuan khusus dengan keterlibaran warga yang jauh lebih berbeda
secara komposisi, debat yang tidak berhenti pada debat kusir, dan juga odentasi dalam topik-topik
yang diangkat sebagai fokus debat.

c) Evolusi Sosial
Teori Habermas yang berisi tentang elaborasi perubahan budaya dimulai dengan alasan yang
komunikatif, kita lebih mudah megobservasi hubungan diantara perubahan budaya, teori serta alasan
yang komunikatif dengan kritik pada refrensi teori Max Weber mengenai rasionalisasi sosial. Teori
rasionalisasi Max Weber kurang diaplikasikan dalam teori modernisasi, yang diaplikasikan dalam
pembangunan justru menjadi ancaman dalam budaya. Max Weber mencoba melihat secara ilmiah
bahwa modernisasi merupakan aplikasi progresif dalam masyarakat. Alasan tersebut berorientasi
pada analisis yang sederhana seperti sebuah prediksi dan kontrol atau pengendalian. Bangunan dari
tindakan komunikatif yang dikonstruksikan sebagai sebuah alternatif, alternatif ini menjelasakan
tentang operasi dari alasan instrumental dengan hal-hal yang objektif dan permasalahan teknis.
Selain hal di atas ada situasi komunikasi yang harus dibuat untuk mendukung argumen bahwa
komunikasi memainkan peran sentral dengan berbagai alasan yang multidimensional, singkatnya
tindakan komunikatif apa yang berorientasi menuju pemahaman dan pengertian. Dari perspektif
Habermas ini merupakan teori yang berlebihan, karena tidak ada teori yang agnostik. Argumen tanpa
preasumsi dan orientasi untuk mencapai pengertian. Brainstein menjelaskan bahwa teori tindakan
komunikatif dimaksudkan untuk menghilangkan berbagai sengketa karena perbedaan. Banyaknya
studi terbaru yang menjelaskan dan mengelaborasi analisis Habermas dari berbagai kekuatan
membuat implikasi teorinya diantara fakta dan norma, dia menjelaskan diantara hukum dan teori
praktik termasuk di dalam masyarakat dan ruang publik.
Tindakan komunikatif sebagai sebuah alasan untuk melibatkan dasar teori evolusi sosial
Habermas, hanya Max Weber yang melihat modernisasi sebagai aplikasi progresif dari seluruh
alasan masyarakat. Perbedaan dari hasil teori mereka terdapat pada konsep alasan, aspek yang
meliputi tiga perbedaan yaitu bahwa masyarakat di dalam subsistem sosial terhubung dengan
pengetahuan dan teknologi, alasan yang lebih normatif adalah bahwa masyarakat terhubungan dalam
hukum dan moral, alasan yang lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan subsistem sosial yang
terhubung dengan seni, budaya dan literatur (Wilkins,2000).
d) Perbedaan Struktur dalam Kehidupan
Proses dari rasionalisasi sosial melibatkan dimensi yang panjang menurut Habermas dari teori
evolusi sosial. Didalam proses ini muncul analisis mengenai hubungan pada perubahan budaya.
Dalam panggung modernisasi ada tiga ruang operasi. Secara sistematik Habermas menyatakan tiga
nilai ruang sebagai ruang nilai budaya. Setiap lingkup budaya menampilkan fungsi karakteristik dan
peningkatan kualitas masyarakat sipil, proses tersebut melalui tiga tahapan yaitu prakonvensional,
konvensional, dan postkonvensinal, formasi sosial yang merepresentasikan apa yang disebut sebagai
variasi langsung dari struktur kehidupan dunia.
Variasi representasi tersebut bertujuan untuk peningkatan kapasitasi sosial untuk partisipasi
kolektif didalam justifikasi dan legitimasi dalam sebuah lingkungan sosial. Didalam masyarakat
prekonvensional prinsip yang direfleksikan adalah sistem kekerabatan secara alamiah, sosial
religius, dan norma. Sementara masyarakat konvensional memiliki prinsip dimana pendistribusian
kesejahteraan berdasarkan hubungan kedekatan dan kekeluargaan. Masyarakat postkonvensioal
sudah mulai mengenal kemajuan dan teknologi serta modernisasi. Satu permasalahan dengan teori
Habermas yang jarang didiskusikan tapi memiliki peranan penting disamping perbedaan struktural
yang universal, teori tersebut mengenai nilai budaya dan interaksi sosial (Wilkins,2000).

Kesimpulan
Hibridasi budaya merupakan sebuah produk ekonomi dan politik dari negara barat untuk
mempengaruhi berbagai negara dunia ketiga, hibridasi adalah bentuk baru dari imperealisme barat.
Hibridasi budaya memiliki dua sisi yang sejatinya saling bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan
demokrasi. Dalam perspektif HAM dan demokrasi kebebasan budaya merupakan suatu hal yang
mutlak bagi setiap negara maupun individu, namun difusi powerfull yang dilakukan oleh negara
barat kepada negara dunia ketiga memberi kesan bahwa negara barat melakukan intervensi melalui
konsep hibriditas budaya dalam berbagai ruang-ruang publik .

Daftar Pustaka
Setiawan,Ikhwan.2015. Membaca Budaya bersama Bhaba : Ambivalensi, Hibriditas,dan Kultural.
www.web.unej.ac.id
Wilkins, Gwinn. (2000). Redeveloping Communication for Social Change : Theory, Practice,and
Power. America : Rowman & Littlefield Publisher

Вам также может понравиться