Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Pendahuluan
Memahami Realitas Sosial
Pokok penting dalam teori sosial adalah kemampuan untuk menjelaskan dan memahami
realitas sosial. Berikut ini adalah penjelasan dan pemahaman atas realitas sosial dan pengetahuan
manusia tentang realitas sosial yakni posisi teori sosial dalam menjelaskan dan memahami realitas
sosial sehingga memunculkan aneka perspektif teori sosial dalam beberapa paradigma. Realitas
sosial, merupakan kehidupan manusia yang terbentuk dalam proses yang terus-menerus, yakni gejala
sosial sehari-hari, yang dalam pengertian sehari-hari dinamakan pengalaman bermasyarakat. Atau
dengan kata lain, realitas sosial itu tersirat dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial
melalui tindakan sosial seperti komunikasi lewat bahasa, bekerjasama lewat organisasi-organisasi
sosial. Pengalaman bermasyarakat inilah sebenarnya esensi masyarakat itu. Realitas sosial seperti
ini ditemukan dalam pengalaman intersubjektif, merujuk pada struktur kesadaran umum ke
kesadaran individual dalam kelompok yang saling berinteraksi. Maka jika ingin mengetahui,
mempelajari, menjelaskan dan memahami esensi masyarakat, didapat melalui mempelajari
pengalaman bermasyarakat atau realitas sosial (Berger, 2013).
Dan pengalaman bermasyarakat, yang merupakan agregasi pengalaman-pengalaman
individual yang membawa subjektivitasnya masing-masing, mengandung unsur pengetahuan sosial,
kesadaran, persepsi individual (sistem nilai, dsb) dan memiliki dimensi subjektif dan objektif yang
berbeda-beda sehingga berciri paradoksal dan kompleks, membawa kompleksitas realitas sosial.
Pengalaman intersubjektivitas ini dapat dijelaskan, bahwa pada proses sosial, masing-masing
individu pada dimensi subjektif-nya menghadirkan kenyataan sosial dalam konstruksinya dan ia
memanifestasikannya melalui proses eksternalisasi (sebagai kenyataan objektif, dimensi objektif)
yang kemudian mempengaruhi kembali manusianya melalui proses internalisasi (realitas subjektif).
Di sini terdapat dialektika antara diri (self) dengan dunia sosio-kultural, yang berlangsung dalam
satu proses, melibatkan tiga momen simultan : eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio-
kultural), objektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubjektivasi), dan internalisasi (identifikasi
diri dengan lembaga sosial). Maka dapat dikatakan bahwa masyarakat sebagai produk manusia dan
manusia sebagai produk masyarakat seperti dikatakan Berger. Inilah realitas sosial yang
dikonstruksikan, atau konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality).
Maka bagaimana menjelaskan dan memahami realitas sosial yang sebenarnya ? Untuk
menjelaskan dan memahami realitas sosial (dengan kompleksitasnya tersebut), diperlukan perangkat
sistem pengetahuan sosial yang mampu menangkap gejala-gejala sosial yang bersifat intersubjektif
(relativitas sosial) itu dan men-sintesa-kan gejala sosial yang kelihatan paradoksal dan kontradiktif
ke dalam suatu sistem penafsiran yang sistematis, ilmiah dan meyakinkan; yakni yang disebut teori
sosial. Teori sosial ini dibangun di atas bangunan sosial dari realitas yang paradoksal-kontradiktif,
intersubjektif dan relatif itu tadi. Karenanya, bangunan teori yang memadai adalah yang bercorak
dialektis, yaitu pendekatan dialektika untuk menjelaskan dan memahami realitas sosial yang berciri
relativitas sosial, paradoksal, dan intersubjektif, yang berlangsung dalam tiga momen simultan tadi
itu. Jika di-meta-konsepkan (meminjam terminologi meta-teori), konsepsi relativitas sosial,
paradoksal, dan intersubjektif terdiri dari anasir konteks sosial spesifik dan hubungan-hubungannya
yakni pengetahuan-pengetahuan kecil yang tumbuh di masyarakat, konstruksi individual atas
realitas sosial dan proses-proses sosial yang membawa serta perangkat pengetahuan kecil tadi.
Variasi empiris ini semua terpelihara dalam berbagai situasi sosial yang akhirnya membentuk
suatu kenyataan, atau pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Di
sinilah bidang gerak teori sosial (sosiologi) dimaksud, teori sosial yang relevan dengan konteksnya,
memuat analisis sosiologis yang memadai mengenai konteks-konteks itu. Konteksnya adalah
berbasis pada berbagai kenyataan yang dianggap sebagai diketahui oleh masyarakat, atau dengan
kata lain, suatu sosiologi pengetahuan, yang akan menjawab social construction of reality tadi itu.
Sosiologi pengetahuan ini lebih kepada konsep filosofis keilmuan sosial, yang memberikan napas
bahkan ruh pada teori sosial yang relevan dengan konteks tadi itu. Konsep sosiologi pengetahuan
ini awal diciptakan oleh Max Scheler yang kemudian diperbarui rumusannya oleh Karl Mannheim
(dalam bukunya Ideologi dan Utopia), dan Berger juga menggunakannya, menjelaskan bahwa
masyarakat telah memiliki pengetahuannya sendiri atau interpretasi tentang kehidupannya sendiri,
yang bersifat kompleks, maka dalam melihat realitas sosial harus memperhatikan pengetahuan
dalam struktur kesadaran masyarakat. Karena itulah, sosiologi pengetahuan memfokuskan kajiannya
pada hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di mana pemikiran itu timbul, sehingga
kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya.
Rumusan Mannheim memberikan ruh pada sosiologi pengetahuan, dengan konsep
relasionisme sebagai perspektif epistemologis dari sosiologi pengetahuannya, yakni pengetahuan
yang senantiasa berelasi dalam relativitas sosio-historisnya, sehingga pengetahuan itu selalu
merupakan pengetahuan dari segi suatu posisi tertentu. Pada perkembangan teori sosial, konsepsi
sosiologi pengetahuan Mannheim yang lebih mengemuka ke gejala ideologi ini hadir pada
pemikiran sosiologi misalnya Robert Merton pada teori struktural fungsional yang merupakan
pembaruan dari gurunya, Talcott Parsons yang tidak terlalu memasukkan ide sosiologi
pengetahuan dalam bangunan teorinya, C. Wright Mills yang membahas sosiologi pengetahuan
berupa penjelasan. Yang menarik adalah apa yang dilakukan Werner Stark, yang menggeser
sosiologi pengetahuan dari ideologi ala Mannheim ke telaah sistematis kondisi-kondisi sosial bagi
pengetahuan sebagai pengetahuan, sehingga mengarah pada sosiologi kebenaran.
Ringkasnya, sosiologi pengetahuan menekuni segala sesuatu yang dianggap sebagai
pengetahuan oleh masyarakat. Pada perumusan teoretisnya, sosiologi pengetahuan pertama-tama
harus sibuk dengan apa saja yang diketahui oleh masyarakat sebagai kenyataan dalam
kehidupan sehari-hari, yang tidak teoretis (prateoretis) atau pra-ilmiah, yakni pengetahuan akal sehat
(common sense), yang hidup di masyarakat. Karenanya, sosiologi pengetahuan harus mengarahkan
perhatiannya pada pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Artinya,
bahwa sosiologi pengetahuan merupakan konsep dasar, yang menyemangati teori sosial dan upaya
teorisasi sosial. Karena untuk menjelaskan dan memahami realitas sosial, (dengan segala karakter
seperti deskripsi di atas) diperlukan teori yang relevan dengan karakter itu. Sosiologi pengetahuan,
hadir sebagai suluh-pemandu.
Pada perkembangan teori sosial, tentu saja tidak semua teori sosial bersemangatkan esensi
konsepsi sosiologi pengetahuan ini karena konsep sosiologi pengetahuan baru dikenal dan
diperkenalkan oleh Max Scheler pada tahun 1925 melalui esensinya Probleme einer Soziologie des
Wissens yang terbit pada tahun itu. Pada periode sebelumnya, ketika munculnya teori-teori sosial
sejak zaman August Comte (positivisme) hingga periode Max Scheler dan Karl Mannheim ini dst:
Talcott Parsons, Robert Merton (fungsionalisme struktural) dst hingga teori modernitas dan teori
kritis, dengan aneka teori yang diperkenalkan dan dikembangkan adalah tahap-tahap perkembangan
teori sosial yang ingin menjelaskan dan memahami realitas sosial. Tidak ada yang salah dengan
teori-teori sosial yang telah berkembang itu. Penjelasannya adalah, bagaimana teori-teori itu bisa
menjelaskan dan memahami realitas sosial, tergantung dari paradigma yang digunakan, bagaimana
teori dan pemikirnya memandang atau memaknai realitas sosial. Dan, teori terdahulu merupakan
penyumbang ide bagi teori berikutnya, tentu saja dengan beberapa pembaruan.
Pada era Comte (1798-1957), pertama kali nama sosiologi diperkenalkan, realitas sosial
dipandang sebagai mirip gejala alam, dengan mengembangkan fisika sosial yang kemudian
disebut sosiologi, Comte menghendaki sosiologi meniru hard science. Lahirlah positivisme
(filsafat positif), sebagai perlawanan dari filsafat negatif dan destruktif dari Abad Pertengahan
(Ritzer, 2014:17). Comte berada pada garis terdepan pada perkembangan sosiologi positif, dan
sebagai peletak dasar perkembangan teori sosiologi berikutnya. Pengaruh pemikiran Comte besar
sekali pada Herbert Spencer dan Emile Durkheim (1858 1917).
Tradisi konservatif Comte berlanjut ke Durkheim, namun karya Durkheim menjadi kekuatan
dominan pada perkembangan sosiologi. Durkheim mengembangkan konsep pokok sosiologi melalui
uji empiris, yakni melalui karyanya The Rule of Sociological Methods, ia menekankan bahwa
sosiologi mempelajari apa yang ia sebut fakta sosial, yang dibedakan menjadi : fakta sosial
materiel dan non-materiel. (Ritzer, 2014:24). Perkembangan berikutnya, fakta sosial non-materiel
menempati posisi lebih sentral, yang dalam karya terakhirnya, The Elementary Forms of Religious
Life, Durkheim memusatkan bentuk terakhir fakta sosial non-materiel yakni agama. Dari sini kita
mengenal arus besar paradigma sosiologi, yakni: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial. Dari
overview di atas, maka ada beberapa teori sosial yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami
realitas sosial yang relevan dengan karakter realitas sosial tersebut; yang pokok untuk diketahui
adalah