Вы находитесь на странице: 1из 8

Perubahan dan Rekayasa Sosial

Wawan K. Kuswandoro, (wkwk.lecture.ub.ac.id)


Ben Ibratama
benibratama10@gmail.com
Mahasiswa Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan UGM

Pendahuluan
Memahami Realitas Sosial
Pokok penting dalam teori sosial adalah kemampuan untuk menjelaskan dan memahami
realitas sosial. Berikut ini adalah penjelasan dan pemahaman atas realitas sosial dan pengetahuan
manusia tentang realitas sosial yakni posisi teori sosial dalam menjelaskan dan memahami realitas
sosial sehingga memunculkan aneka perspektif teori sosial dalam beberapa paradigma. Realitas
sosial, merupakan kehidupan manusia yang terbentuk dalam proses yang terus-menerus, yakni gejala
sosial sehari-hari, yang dalam pengertian sehari-hari dinamakan pengalaman bermasyarakat. Atau
dengan kata lain, realitas sosial itu tersirat dalam pergaulan sosial yang diungkapkan secara sosial
melalui tindakan sosial seperti komunikasi lewat bahasa, bekerjasama lewat organisasi-organisasi
sosial. Pengalaman bermasyarakat inilah sebenarnya esensi masyarakat itu. Realitas sosial seperti
ini ditemukan dalam pengalaman intersubjektif, merujuk pada struktur kesadaran umum ke
kesadaran individual dalam kelompok yang saling berinteraksi. Maka jika ingin mengetahui,
mempelajari, menjelaskan dan memahami esensi masyarakat, didapat melalui mempelajari
pengalaman bermasyarakat atau realitas sosial (Berger, 2013).
Dan pengalaman bermasyarakat, yang merupakan agregasi pengalaman-pengalaman
individual yang membawa subjektivitasnya masing-masing, mengandung unsur pengetahuan sosial,
kesadaran, persepsi individual (sistem nilai, dsb) dan memiliki dimensi subjektif dan objektif yang
berbeda-beda sehingga berciri paradoksal dan kompleks, membawa kompleksitas realitas sosial.
Pengalaman intersubjektivitas ini dapat dijelaskan, bahwa pada proses sosial, masing-masing
individu pada dimensi subjektif-nya menghadirkan kenyataan sosial dalam konstruksinya dan ia
memanifestasikannya melalui proses eksternalisasi (sebagai kenyataan objektif, dimensi objektif)
yang kemudian mempengaruhi kembali manusianya melalui proses internalisasi (realitas subjektif).
Di sini terdapat dialektika antara diri (self) dengan dunia sosio-kultural, yang berlangsung dalam
satu proses, melibatkan tiga momen simultan : eksternalisasi (penyesuaian diri dengan dunia sosio-
kultural), objektivasi (interaksi sosial dalam dunia intersubjektivasi), dan internalisasi (identifikasi
diri dengan lembaga sosial). Maka dapat dikatakan bahwa masyarakat sebagai produk manusia dan
manusia sebagai produk masyarakat seperti dikatakan Berger. Inilah realitas sosial yang
dikonstruksikan, atau konstruksi sosial atas realitas (social construction of reality).
Maka bagaimana menjelaskan dan memahami realitas sosial yang sebenarnya ? Untuk
menjelaskan dan memahami realitas sosial (dengan kompleksitasnya tersebut), diperlukan perangkat
sistem pengetahuan sosial yang mampu menangkap gejala-gejala sosial yang bersifat intersubjektif
(relativitas sosial) itu dan men-sintesa-kan gejala sosial yang kelihatan paradoksal dan kontradiktif
ke dalam suatu sistem penafsiran yang sistematis, ilmiah dan meyakinkan; yakni yang disebut teori
sosial. Teori sosial ini dibangun di atas bangunan sosial dari realitas yang paradoksal-kontradiktif,
intersubjektif dan relatif itu tadi. Karenanya, bangunan teori yang memadai adalah yang bercorak
dialektis, yaitu pendekatan dialektika untuk menjelaskan dan memahami realitas sosial yang berciri
relativitas sosial, paradoksal, dan intersubjektif, yang berlangsung dalam tiga momen simultan tadi
itu. Jika di-meta-konsepkan (meminjam terminologi meta-teori), konsepsi relativitas sosial,
paradoksal, dan intersubjektif terdiri dari anasir konteks sosial spesifik dan hubungan-hubungannya
yakni pengetahuan-pengetahuan kecil yang tumbuh di masyarakat, konstruksi individual atas
realitas sosial dan proses-proses sosial yang membawa serta perangkat pengetahuan kecil tadi.
Variasi empiris ini semua terpelihara dalam berbagai situasi sosial yang akhirnya membentuk
suatu kenyataan, atau pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Di
sinilah bidang gerak teori sosial (sosiologi) dimaksud, teori sosial yang relevan dengan konteksnya,
memuat analisis sosiologis yang memadai mengenai konteks-konteks itu. Konteksnya adalah
berbasis pada berbagai kenyataan yang dianggap sebagai diketahui oleh masyarakat, atau dengan
kata lain, suatu sosiologi pengetahuan, yang akan menjawab social construction of reality tadi itu.
Sosiologi pengetahuan ini lebih kepada konsep filosofis keilmuan sosial, yang memberikan napas
bahkan ruh pada teori sosial yang relevan dengan konteks tadi itu. Konsep sosiologi pengetahuan
ini awal diciptakan oleh Max Scheler yang kemudian diperbarui rumusannya oleh Karl Mannheim
(dalam bukunya Ideologi dan Utopia), dan Berger juga menggunakannya, menjelaskan bahwa
masyarakat telah memiliki pengetahuannya sendiri atau interpretasi tentang kehidupannya sendiri,
yang bersifat kompleks, maka dalam melihat realitas sosial harus memperhatikan pengetahuan
dalam struktur kesadaran masyarakat. Karena itulah, sosiologi pengetahuan memfokuskan kajiannya
pada hubungan antara pemikiran manusia dan konteks sosial di mana pemikiran itu timbul, sehingga
kesadaran manusia ditentukan oleh keberadaan sosialnya.
Rumusan Mannheim memberikan ruh pada sosiologi pengetahuan, dengan konsep
relasionisme sebagai perspektif epistemologis dari sosiologi pengetahuannya, yakni pengetahuan
yang senantiasa berelasi dalam relativitas sosio-historisnya, sehingga pengetahuan itu selalu
merupakan pengetahuan dari segi suatu posisi tertentu. Pada perkembangan teori sosial, konsepsi
sosiologi pengetahuan Mannheim yang lebih mengemuka ke gejala ideologi ini hadir pada
pemikiran sosiologi misalnya Robert Merton pada teori struktural fungsional yang merupakan
pembaruan dari gurunya, Talcott Parsons yang tidak terlalu memasukkan ide sosiologi
pengetahuan dalam bangunan teorinya, C. Wright Mills yang membahas sosiologi pengetahuan
berupa penjelasan. Yang menarik adalah apa yang dilakukan Werner Stark, yang menggeser
sosiologi pengetahuan dari ideologi ala Mannheim ke telaah sistematis kondisi-kondisi sosial bagi
pengetahuan sebagai pengetahuan, sehingga mengarah pada sosiologi kebenaran.
Ringkasnya, sosiologi pengetahuan menekuni segala sesuatu yang dianggap sebagai
pengetahuan oleh masyarakat. Pada perumusan teoretisnya, sosiologi pengetahuan pertama-tama
harus sibuk dengan apa saja yang diketahui oleh masyarakat sebagai kenyataan dalam
kehidupan sehari-hari, yang tidak teoretis (prateoretis) atau pra-ilmiah, yakni pengetahuan akal sehat
(common sense), yang hidup di masyarakat. Karenanya, sosiologi pengetahuan harus mengarahkan
perhatiannya pada pembentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of reality). Artinya,
bahwa sosiologi pengetahuan merupakan konsep dasar, yang menyemangati teori sosial dan upaya
teorisasi sosial. Karena untuk menjelaskan dan memahami realitas sosial, (dengan segala karakter
seperti deskripsi di atas) diperlukan teori yang relevan dengan karakter itu. Sosiologi pengetahuan,
hadir sebagai suluh-pemandu.
Pada perkembangan teori sosial, tentu saja tidak semua teori sosial bersemangatkan esensi
konsepsi sosiologi pengetahuan ini karena konsep sosiologi pengetahuan baru dikenal dan
diperkenalkan oleh Max Scheler pada tahun 1925 melalui esensinya Probleme einer Soziologie des
Wissens yang terbit pada tahun itu. Pada periode sebelumnya, ketika munculnya teori-teori sosial
sejak zaman August Comte (positivisme) hingga periode Max Scheler dan Karl Mannheim ini dst:
Talcott Parsons, Robert Merton (fungsionalisme struktural) dst hingga teori modernitas dan teori
kritis, dengan aneka teori yang diperkenalkan dan dikembangkan adalah tahap-tahap perkembangan
teori sosial yang ingin menjelaskan dan memahami realitas sosial. Tidak ada yang salah dengan
teori-teori sosial yang telah berkembang itu. Penjelasannya adalah, bagaimana teori-teori itu bisa
menjelaskan dan memahami realitas sosial, tergantung dari paradigma yang digunakan, bagaimana
teori dan pemikirnya memandang atau memaknai realitas sosial. Dan, teori terdahulu merupakan
penyumbang ide bagi teori berikutnya, tentu saja dengan beberapa pembaruan.
Pada era Comte (1798-1957), pertama kali nama sosiologi diperkenalkan, realitas sosial
dipandang sebagai mirip gejala alam, dengan mengembangkan fisika sosial yang kemudian
disebut sosiologi, Comte menghendaki sosiologi meniru hard science. Lahirlah positivisme
(filsafat positif), sebagai perlawanan dari filsafat negatif dan destruktif dari Abad Pertengahan
(Ritzer, 2014:17). Comte berada pada garis terdepan pada perkembangan sosiologi positif, dan
sebagai peletak dasar perkembangan teori sosiologi berikutnya. Pengaruh pemikiran Comte besar
sekali pada Herbert Spencer dan Emile Durkheim (1858 1917).
Tradisi konservatif Comte berlanjut ke Durkheim, namun karya Durkheim menjadi kekuatan
dominan pada perkembangan sosiologi. Durkheim mengembangkan konsep pokok sosiologi melalui
uji empiris, yakni melalui karyanya The Rule of Sociological Methods, ia menekankan bahwa
sosiologi mempelajari apa yang ia sebut fakta sosial, yang dibedakan menjadi : fakta sosial
materiel dan non-materiel. (Ritzer, 2014:24). Perkembangan berikutnya, fakta sosial non-materiel
menempati posisi lebih sentral, yang dalam karya terakhirnya, The Elementary Forms of Religious
Life, Durkheim memusatkan bentuk terakhir fakta sosial non-materiel yakni agama. Dari sini kita
mengenal arus besar paradigma sosiologi, yakni: fakta sosial, definisi sosial dan perilaku sosial. Dari
overview di atas, maka ada beberapa teori sosial yang digunakan untuk menjelaskan dan memahami
realitas sosial yang relevan dengan karakter realitas sosial tersebut; yang pokok untuk diketahui
adalah

1) Teori Fungsionalisme Struktural Parson


Teori fungsionalisme struktural, yang diperkenalkan oleh Talcott Parsons, merupakan teori
dalam paradigma fakta sosial dan paling besar pengaruhnya dalam ilmu sosial di abad sekarang,
sehingga dapat disinonimkan dengan sosiologi (Ritzer, 2005:117). Teori ini memfokuskan kajian
pada struktur makro (sosiologi makro) yakni pada sistem sosial, yang melalui teori ini Parsons
menunjukkan pergeseran dari teori tindakan ke fungsionalisme struktural. Kekuatan teoretis Parsons
terletak pada kemampuannya melukiskan hubungan antara struktur sosial berskala besar dan pranata
sosial (Ritzer 2005:82). Bangunan teori fungsionalisme struktural Parsons banyak terpengaruh oleh
pemikiran Durkheim, Weber, Freud dan Pareto, dan yang disebut terakhir inilah yang paling besar
pengaruhnya bagi pengembangan teori fungsionalisme struktural, terutama gagasan Pareto tentang
masyarakat yang dilihatnya dalam hubungan sistem (Ritzer, 2011:280). Konsepsi Pareto yang
sistematis tentang masyarakat, yang dipandangnya sebagai sebuah sistem yang berada dalam
keseimbangan, yakni kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling tergantung, sehingga
perubahan satu bagian dipandang menyebabkan perubahan lain dari sistem, dan dilebur dengan
pandangan Comte, Durkheim dan Spencer yang menganalogikan masyarakat dengan organisme,
memainkan peran sentral dalam pengembangan teori fungsionalisme struktural Parsons (Ritzer,
2005:54-55).
Teori fungsionalisme struktural Parsons berkonsentrasi pada struktur masyarakat dan antar
hubungan berbagai struktur tersebut yang dilihat saling mendukung menuju keseimbangan dinamis.
Perhatian dipusatkan pada bagaimana cara keteraturan dipertahankan di antara berbagai elemen
masyarakat (ibid., halm.83). Pemerhatian teori ini pada unsur struktur dan fungsi dalam meneliti
proses sosial dalam masyarakat (ibid., halm 118), dan pandangannya pada masyarakat sebagai
sebuah sistem yang terdiri dari bagian-bagian atau subsistem yang saling tergantung, teori ini
menganggap integrasi sosial merupakan fungsi utama dalam sistem sosial. Integrasi sosial ini
mengonseptualisasikan masyarakat ideal yang di dalamnya nilai-nilai budaya diinstitusionalisasikan
dalam sistem sosial, dan individu (sistem kepribadian) akan menuruti ekspektasi sosial.
Maka, kunci menuju integrasi sosial menurut Parsons adalah proses kesalingbersinggungan antara
sistem kepribadian, sistem budaya dan sistemosial, atau dengan kata lain, stabilitas sistem (Ritzer
2011:280-281).

a) Kontribusi pada Perkembangan Teori Sosial


Kontribusi teori Parsons pada perkembangan teori sosial adalah pada pengembangan teori dan
analisis sosial, sistem sosial, integrasi sosial dan sistem tindakan dalam sistem sosial
(dioperasionalkan dalam empat skema tindakan : AGIL). Prioritas Parsons adalah bagaimana
membakukan suatu teori yang memadai tentang sistem sosial, yang mampu memberikan
seperangkat acuan struktural yang konsisten untuk analisis (Turner 2012:160). Analisis sistem sosial
Parsons memandang sistem sosial sebagai satu kesatuan, meliputi semua jenis kehidupan kolektif
(Ritzer 2005:127), sehingga ia mengutamakan dominasi sistem sosial atas bagian-bagian atau
subsistem/ individu yang dikatakannya, mengendalikan individu, dan individu bertindak menurut
ekspektasi logis dari sistem masyarakat. Dengan kata lain, subsistem memang ingin patuh pada
sistem. (Ritzer 2011:282). Dalam mengoperasionalkan fungsi sistem sosial yang terkait dengan
subsistem, Parsons mengajukan empat skema fungsi penting untuk semua sistem tindakan, yang
terkenal dengan sebutan skema AGIL, yang dipercaya Parsons diperlukan oleh semua sistem
sosial. Menurut Parsons, suatu sistem sosial agar tetap bertahan (survive), harus memiliki empat
fungsi AGIL ini, yaitu: A (Adaptation), G (Goal Attainment), I (Integration) L (Latency), yang
keempat-empatnya beroperasi dalam relasi input-output dalam pertemuan yang kompleks, dan
didudukkan sebagai konsep analitis, bukan deskripsi empiris tentang kehidupan sosial (Ritzer
2011:301-302).
Teori fungsionalisme struktural ini tampak konservatif, terlalu mengagungkan dominasi
struktur dan enggan memberi ruang bagi konflik, sehingga seringkali dianggap anti perubahan
sosial. Parsons sendiri menganggap perubahan sosial itu menyusahkan dan membahayakan
imperatif-imperatif sistem. Namun, pemikiran Parsons masih relevan dengan studi perubahan sosial.
Perubahan sosial dalam pemikiran Parsons dilakukan dari perspektif evolusioner yang tertib.
Kompleksitas kemasyarakatan membutuhkan diferensiasi subsistem yang lebih luas dan
transformasi terjadi sebagai akibat ketegangan-ketegangan sistem yang meningkat karena mal-
integrasi di antara komponen-komponennya. Masyarakat digambarkan bergerak melewati tahap-
tahap ekuilibrium temporer, perubahan sosial berlangsung mengikuti urutan tertib dan dipolakan
sesuai kebutuhan sistem yang bersifat swatata. (Ritzer 2011:281). Integrasi sosial, menurut Parsons,
bisa dicapai jika bagian-bagian saling sesuai dan setelah tercapai ekuilibrium, selanjutnya tidak
memerlukan syarat mekanisme khusus apapun. (ibid., halm 282). Dapat disimpulkan bahwa isu
teoretis utama teori fungsionalisme struktural Parsons, sebagaimana dikatakan oleh Alexander yang
dikutip Ritzer (2011:297) adalah tatanan sosial dan tindakan sosial. Pemikiran fungsionalisme
struktural Parsons dikembangkan dengan beberapa perubahan- oleh Robert Merton, murid Parsons,
yang lebih menyukai teori yang terbatas dan menengah. (Ritzer 2005:136).

b) Kritik dan Perkembangan Berikutnya


Dominasi dan penetrasi sistem sosial kepada sistem kepribadian Parsons, dikritik oleh Niklas
Luhmann dan para teoretikus kritis mazhab Frankfurt yang berkiblat pada karya-karya Marx.
Luhmann menyatakan bahwa hubungan antar sistem dan lingkungannya lebih kompleks daripada
apa yang dideskripsikan oleh Parsons. Luhmann menganggap penekanan Parsons pada konsensus
nilai dan penetrasi sistem sosial terhadap sistem kepribadian, membatasi jenis-jenis hubungan sosial.
(Ritzer 2011:287). Walaupun teori Parsons sempat dinyatakan cacat dan tidak layak hingga akhir
1960-an dan 1970-an, namun kembali mencuat pada 1980-an bahkan melahirkan mazhab
neofungsionalisme yang dipelopori Jeff Alexander. Dan pemikiran Parsons tentang sistem-tindakan
dan sistem sosial merupakan titik tolak bagi kajian selanjutnya dalam teori sistem, teori pertukaran
sosial, teori kekuasaan, tatanan konflik, dan dengan bantuan rekannya, Neil Smelser, diperluas
dalam bidang sosiologi ekonomi, sosiologi institusi dsb sehingga Parsons dianggap pembaru kreatif
dari tradisi sosiologi klasik.

2) Teori tentang Modernitas


Teori tentang modernitas adalah teori-teori sosial yang memberi penjelasan dan interpretasi
umum tentang kekuatan-kekuatan sosial yang telah membentuk dunia modern, yakni pemikiran
modern untuk memahami dunia modern yang berisi totalitas kekuatan-kekuatan yang bekerja
dalam membentuk masyarakat modern. Pemikiran ini tak lepas dari hakikat ilmu yang melekat
dengan pembahasan terhadap konteks sosial. Dan ketika konteks sosialnya adalah masyarakat
modern, maka teori sosial yang relevan adalah teori (sosial) tentang modernitas. Teori-teori
tentang modernitas bersumber dari karya pemikir sosiologi dari klasik hingga modern seperti Marx,
Weber, Durkheim, Simmel, Giddens, Beck, Baumans, Habermas dan Castells.
Modernitas, menurut Marx ditentukan oleh ekonomi kapitalis, sedangkan menurut Weber,
rasionalitas formal. Adapun Durkheim, solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif.
Sementara itu, Simmel memandang modernitas memberikan keuntungan karena memungkinkan
untuk mengeksplorasi berbagai potensi dan kemampuan instrinsik manusia. Simmel juga
mengajukan pemikiran tentang pengaruh uang beserta akibat ikutannya (terutama alienasi) dalam
modernitas. Anthony Giddens, menggambarkan modernitas (kehidupan modern) laksana sebuah
panser raksasa (disebut juggernaut) yang terlepas dan tak terkendalikan lagi, untuk menggilas
kehidupan manusia, sehingga menghasilkan dunia yang tak terkendali juga (runaway world).
Gagasan ini sejalan dengan teori Strukturasi Giddens, yakni tentang ruang dan waktu dan
juggernaut ini melebihi kekuasaan agent dalam mempengaruhi struktur. Giddens mendefinisikan
modernitas dilihat dari empat institusi mendasar yaitu: kapitalisme, industrialisme, kemampuan
mengawasi (surveillance capacities), dan pengendalian atas alat-alat kekerasan, dengan
memusatkan kajian pada negara-bangsa (nation-state). Dinamisme modernitas dari teori strukturasi
Giddens, melalui tiga aspek: distanciation (pemisahan ruang dan waktu), disembedding
(keterlepasan), dan reflexivity (refleksivitas). Ketiga aspek ini yang kemudian menyeret manusia
modern menuju keterasingan pengalaman (sequestration of experience) yaitu suatu proses yang
terkait dengan penyembunyian yang memisahkan rutinitas kehidupan sehari-hari dari fenomena-
fenomena seperti kegilaan, kriminalitas, penyakit, kematian dan seksualitas. Keterasingan
pengalaman ini sebagai akibat dari meningkatnya peran sistem abstrak dalam kehidupan sehari-hari.
Ulrich Beck, mengusung gagasan tentang masyarakat berisiko, yakni masyarakat baru
yang terlahir dari pelarutan masyarakat industri, atau yang disebut masyarakat dengan tipe
modernitas lain (modernitas refleksif, reflexive modernity). Zygmunt Bauman, mengajukan
gagasan bahwa modern rasionalitas formal adalah holocaust atau pembunuhan massal (seperti pada
zaman Nazi Hitler terhadap Yahudi) yakni pembunuhan massal melalui birokrasi rasional-modern
(meminjam rasionalitas Weber) dan menggunakan kekuasaan. Ciri-ciri rasionalisasi yang sesuai
dengan holocaust adalah irrasionalitas dari rasionalitas dan dehumanisasi. Habermas, menyatakan
bahwa modernitas sebagai proyek yang belum selesai. Dan, Castells, berkontribusi dengan
pemikirannya tentang informasionalisme dan masyarakat jaringan sebagai akibat dari revolusi
teknologi informasi yang kemudian melahirkan kultur virtual, kultur virtualitas riil dan
kapitalisme informasional. Castells menyebut bahwa di titik ini negara semakin tak berdaya dan
tergantung pasar kapital global.
3. Teori Kritis
Teori Kritis, adalah produk sekelompok pemikir neo-Marxis Jerman (didirikan di Frankfurt,
karenanya disebut aliran atau mazhab Frankfurt) yang tidak puas terhadap teori Marxian. Mereka
menentang determinisme ekonomi dalam teori Marx, yang dari padanya menjadi titik tolak bagi
kritik selanjutnya terhadap positivisme, kritik terhadap masyarakat modern yang disebutnya
didominasi oleh elemen kultural dan mengalami penindasan kultural atas individu, dan
kemudian, kritik terhadap kultur. Teori Kritis adalah sebuah gerakan. Yakni gerakan pemikiran baru,
untuk menentang determinisme tunggal teori sosial Marxian tadi itu. Kontribusi besar Teori Kritis
adalah, pertama, analisis kebudayaan (fokus pada super-struktur kultural), yang berawal dari
penggeseran orientasi pemikiran basis (struktur) ekonomi dari tradisi Marxian ke arah elemen
subyektif dan kultural dari kehidupan sosial. Kedua, pendekatan dialektika, yang ditandai dengan
pemikiran mengenai umpan balik dan interaksi timbal balik secara terus-menerus antara berbagai
sektor masyarakat. Pemikiran dialektika ini berfokus pada totalitas sosial, dengan argumen bahwa
kehidupan sosial tidak memiliki aspek parsial, dan tidak ada fenomena yang terisolasi, sehingga
pemahaman terhadapnya harus dikaitkan dengan sejarah secara keseluruhan.
Teori Kritis menentang Teori Marx, yakni terhadap pemikiran determinisme ekonomi Marx
yang dianggapnya mekanistis dan kurang lengkap. Menurut Teori Kritis, pemusatan perhatian pada
determinan ekonomi seharusnya memperhatikan kehidupan sosial yang lain untuk dapat
memberikan penjelasan yang lebih akurat pada realitas sosial. Penentangan tersebut dilandasi pula
karena teori Marxian terpengaruh pemikiran positivisme yang cenderung melihat kehidupan sosial
sebagai proses alamiah, terjadi secara mekanis, satu variabel (sosial) mempengaruhi variabel lain.
Variabel ekonomi mempengaruhi seluruh aspek sosial yang lain. Aliran Kritis ini berpendapat
bahwa realitas sosial tidak hanya dipahami melalui determinisme ekonomi saja, tetapi melibatkan
elemen-elemen lain dalam kehidupan sosial.
Hal yang paling ditentang oleh Teori Kritis di sini adalah karena positivisme dianggap
mengabaikan (peran) aktor (subyek). Atas dasar ini pula teori Kritis juga melakukan kritik terhadap
sosiologi karena keilmiahan sosiologi sehingga bercorak positivistik. Juga, sosiologi yang terlalu
memperhatikan masyarakat sebagai satu kesatuan daripada (interaksi) individu dalam masyarakat,
menjadi sasaran kritik pula dari Teori Kritis yang lebih menyukai aktivitas manusia sebagai fokus.
Karenanya, Teori Kritis sebagian besar adalah kritik terhadap aspek kehidupan sosial dan intelektual
yang menjadi dasar bagi struktur kebudayaan. Tujuan utamanya adalah mengungkapkan sifat
masyarakat secara lebih akurat. Kelahiran Teori Kritis ini secara tidak langsung adalah atas jasa
seorang pengikut Marx yang menentang teori Marx, yakni Georg Lukacs, yang membongkar ajaran
Marx dengan memunculkan konsep reifikasi dan kesadaran kelas. Konsep reifikasi Lukacs
merujuk pada pengertian bahwa komoditas yang diciptakan manusia (konsepsi Marx) kemudian
menjadi hidup dan berbalik menguasai manusia.
Aliran Kritis ini percaya bahwa sistem kebudayaan itu bertumpu pada aktor (subyek, manusia).
Akan tetapi, manusia tidak lagi berada pada struktur kebudayaannya karena kebudayaan telah
mengalami pengorganisasian dan mengalami konstruksi dan terstruktur secara ekonomi dan berbalik
menguasai manusia yang menciptakannya (sejalan dengan konsep reifikasi Lukacs). Inilah yang
dicemaskan oleh para teoretikus Kritis. Subyek manusia menjadi terancam oleh struktur kebudayaan
yang diciptakannya sendiri. Inilah yang terdapat pada masyarakat modern sekarang ini. Masyarakat
modern ditandai dengan adanya dominasi oleh elemen kultural (yang tadinya elemen ekonomi, pada
teori Marxian yang ditentangnya) atau penindasan kultural atas individu dalam masyarakat.
Penindasan kultural atas individu ini terjadi pada elemen-elemen kehidupan sosial yang menjangkau
relung-relung sosial hingga ke wilayah gaya hidup, pemikiran, penggunaan alat-alat dan apa yang
disebut (produk) teknologi modern.
Menurut pandangan teori Kritis, penindasan kultural dalam masyarakat modern (menggantikan
dominasi ekonomi) dihasilkan oleh rasionalitas. Kemudian, dominasi dan penindasan kultural
menghasilkan irasionalitas sehingga munculah irrasionalitas di dalam rasionalitas (ciri masyarakat
modern). Inilah yang menjadi perhatian Teori Kritis pada konteks analisis kebudayaan masyarakat
modern, dengan elemen rasionalitas dan teknologi modern, yang berperan penting sebagai
metode pengendalian eksternal terhadap individu. Teknologi modern (produk kebudayaan) telah
menguasai rakyat. Ia tampak netral ketika diciptakan tetapi kemudian ia menjelma menjadi alat
bantu efektif penindas individu. Seperti yang diyakini oleh Herbert Marcuse (salah seorang tokoh
Teori Kritis, selain Max Horkheimer dan Theodore Adorno) bahwa teknologi tidaklah netral. Ia
sebenarnya memperbudak, dan membantu menindas manusia.
Kebebasan batin aktor (individu) dilanggar dan dikurangi oleh teknologi modern, sehingga
memunculkan apa yang disebut Marcuse sebagai masyarakat berdimensi tunggal, yakni ketika
individu telah kehilangan kontrol atas pikiran kritis dan masyarakatnya. Di sinilah munculnya apa
yang disebut (dan dikritik keras) oleh para teoretisi Kritis sebagai industri kultur, yang bisa
dibentuk, diatur, dimaterialkan, distrukturkan, dikonstruksikan, didefinisikan. Pelaku pengendali
dari sistem kultural baru ini bisa jadi adalah elit baik individual maupun korporasi, menggunakan
instrumen produk kebudayaan juga seperti media massa, berpadu dengan kekuatan kultural, sosial,
politik dan ekonomi. Di titik inilah yang dikawatirkan dan dikritik keras oleh teoretisi Kritis sebagai
kultur yang diatur, tak spontan, dan palsu, atau yang dikenal dengan kultur massal atau pop
culture.
Kontribusi besar kedua dari Teori Kritis setelah analisis budaya, adalah pendekatan dialektika,
yaitu pemikiran yang bertumpu pada interelasi berbagai level realitas sosial (kesadaran individu,
superstruktur kultural, struktur ekonomi) yang berjalan secara timbal balik. Dialektika adalah
rumusan metodologis untuk memahami realitas sosial, yang melibatkan elemen pengetahuan dan
kepentingan, seperti yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas. Namun, Teori Kritis gagal untuk
mengintegrasikan teori dan praktik, karena ia sejak kelahirannya terdorong oleh kritik atas
keterbatasan teori sebelumnya (Marxian), dan dianggap ahistori serta sempat disebut oleh Greisman
sebagai paradigma yang gagal. Akan tetapi, Teori Kritis telah berjasa besar dalam pembongkaran
pemikiran determinis dalam tradisi Marxian yang tidak relevan dengan konteks kekinian. Teori
Kritis (terutama pelestarian pemikiran dialektika warisan Marx-Hegel) juga menjadi landasan pacu
bagi pertumbuhan pemikiran kritis selanjutnya dalam pemahaman realitas sosial kontemporer yang
tidak linier, kompleks, penuh kejutan dan full variasi.

4) Teori Feminis Eksistensialis Fenomenologis


Teori feminis muncul dan berkembang untuk menjawab problematika sosial yang menyangkut
hubungan sosial antara aktor laki-laki dan perempuan dalam praktik sosial, agar tercipta keadilan
dan keseimbangan dalam hubungan sosial tersebut. Gelombang pemikiran feminis, yang dimulai
pada abad ke-18 yang ditandai dengan pemikiran feminis liberal ketika itu, ditujukan untuk
menciptakan masyarakat yang adil dan peduli pada kebebasan. Hanya dalam masyarakat yang
seperti itu perempuan, dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri (Putnam Tong, 2010: 18).
Tokoh penting feminis pada masa itu adalah Mary Wollstonecraft, dengan karyanya yang berjudul
A Vindication of the Right of Women, yang menulis tentang perempuan beruntung yakni
memperoleh cara bereksistensi secara lebih manusiawi, dan perempuan yang terkekang, yakni
perempuan peliharaan yang digambarkan sebagai burung yang disimpan dalam sangkar yang
tidak memiliki pekerjaan kecuali memamerkan sayapnya dan berjalan dengan keagungan yang
palsu. Wollstonecraft mencatat, bahwa perempuan kelas menengah ini tidak diijinkan untuk
beraktivitas di luar rumah seperti berolah raga karena kawatir akan menggelapkan kulitnya yang
putih seperti bunga lili. Karenanya, mereka dihambat untuk mengambil keputusan sendiri dan tidak
memiliki kebebasan (ibid, halm. 19).
Inilah awal mula pembedaan-pembedaan sosial antara perempuan dan laki-laki sehingga
memunculkan pemikiran dan teori feminis liberal, untuk membebaskan perempuan dari usaha
pembedaan peran gender yang dikonstruksi secara sosial oleh masyarakat (yang didominasi oleh
laki-laki). Dari sini lahirlah budaya patriarkhi dengan dominasi pada laki-laki, dan tentu saja,
perempuan sebagai pihak yang didominasi dan ter-subordinasi. Putnam Tong mencatat, bahwa
subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat kebiasaan dan
hambatan hukum, yang membatasi masuknya serta keberhasilan perempuan pada apa yang disebut
sebagai dunia publik, karena masyarakat mempunyai keyakinan yang salah bahwa perempuan secara
alamiah tidak secerdas dan sekuat laki-laki, masyarakat meminggirkan perempuan dari akademi,
forum dan pasar.
Sebagai akibat dari politik peminggiran ini, potensi yang sesungguhnya dari perempuan tidak
terpenuhi. Feminis liberal menekankan, pertama, bahwa keadilan gender menuntut kita untuk
membuat aturan permainan yang adil, kedua, untuk memastikan tidak satupun dari pelomba untuk
kebaikan dan pelayanan bagi masyarakat dirugikan secara sistematis (ibid., halm. 2-3). Akan tetapi,
lanjut Putnam Tong, teori feminis liberal tidak cukup drastis dalam menjelaskan fenomena opresi
terhadap perempuan. Muncullah pemikiran feminis radikal, yang mengklaim bahwa sistem
patriarkhal ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki dan kompetisi. Sistem patriarkhal tidak dapat
dibentuk ulang tetapi harus dicabut dari akar dan cabang-cabangnya (ibid halm 3).
Fenomena opresi terhadap perempuan yang berisi subordinasi, peminggiran dan pelenyapan
identitas sosial dan eksistensi sosial manusia perempuan ini bisa dijelaskan dengan merunut teori
feminis mulai dari teori feminis liberal sebagai pembuka jalan atau pendobrak pertama paham
subordinasi dan peminggiran terhadap perempuan sebagaimana ditulis Putnam Tong, yang
kemudian terfokus pada teori feminis eksistensialis-fenomenologis, yang diperkenalkan oleh
Simone de Beauvoir yang merupakan pemikir feminis yang menawarkan analisis fenomenologis
dan eksistensial. Beauvoir memberikan penjelasan ontologis-eksistensial atas marginalisasi
perempuan sebagai Other dalam kultur yang diciptakan laki-laki.
Rumusan klasik tema ini ada dalam analisis eksistensial oleh Beauvoir dalam bukunya The
Second Sex, ia mencatat bahwa dunia yang didiami manusia dikembangkan dari kultur yang
diciptakan laki-laki dan mengasumsikan pria sebagai subjek yakni sebagai kesadaran yang darinya
dunia dilihat didefinisikan. Kultur yang paling banter mendorong pengalaman perempuan dan cara
mengenal diri mereka sendiri ke pinggiran kerangka konseptual dan, yang paling mengerikan,
menciptakan sebuah konstruk tentang perempuan sebagai orang lain (the Other), sebuah makhluk
yang diobjektifkan (objectified), yang pembawaannya mempresentasikan sisi yang bertentangan dari
pria (Ritzer, 2014:395). Lebih detil, dalam tulisan yang dihimpun oleh Putnam Tong (2010:8-9),
analisis Beauvoir ini berargumentasi bahwa perempuan diopresi melalui ke-liyan-annya (otherness).
Perempuan adalah Liyan (the Other) karena perempuan adalah bukan laki-laki.
Laki-laki adalah bebas, makhluk yang menentukan dirinya sendiri yang mendefinisi makna
esksistensinya. Perempuan adalah Liyan (the Other), objek yang tidak menentukan makna
eksistensinya sendiri. Konsepsi subjek (perempuan) yang dalam teori feminis eksistensialis-
fenomenologis disebutkan adanya konstruk atas perempuan sebagai orang lain (liyan, the other),
atau yang diobjektifkan (objectified) dalam relasinya dengan laki-laki, Beauvoir (mengikuti Hegel,
Heidegger dan Sartre) telah menerima begitu saja bahwa otherness adalah kategori fundamental dari
pemikiran manusia. Perbedaan perempuan dan laki-laki sebagian berasal dari konstruksi sosial yang
meminggirkan perempuan dan sebagian dari internalisasi dari the otherness (Ritzer, op.cit).

Вам также может понравиться