Вы находитесь на странице: 1из 26

ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) COR PULMONAL

ATAU PULMONARY HEART DISEASE

A. Definisi
Pulmonary heart disease adalah pembesaran ventrikel
kanan (hipertrofi dan/atau dilatasi) yang terjadi akibat
kelainan paru, kelainan dinding dada, atau kelainan pada
kontrol pernafasan. Tidak termasuk di dalamnya kelainan
jantung kanan yang terjadi akibat kelainan jantung kiri atau
penyakit jantung bawaan.
Cor Pulmonale (CP) adalah suatu keadaan dimana
terdapat hipertofi dan atau dilatasi dari ventrikel kanan
sebagai akibat dari hipertensi (arteri) pulmonal yang
disebabkan oleh penyakit intriksik dari parenkhim paru,
dinding thoraks maupun vaskuler paru. Karena itu untuk
mendiagnosa CP maka harus disingkirkan adanya Stenosis
Mitral, Kelainan jantung Bawaan atau Gagal Jantung Kiri yang
juga dapat menyebabkan dilatasi dan hipertrofi ventrikel
kanan. CP dapat bersifat akut akibat adanya emboli paru
yang masif, dapat juga bersifat kronis.
Pulmonary heart disease dapat terjadi akut maupun
kronik. Penyebab pulmonary heart disease akut tersering
adalah emboli paru masif, sedangkan pulmonary heart
disease kronik sering disebabkan oleh penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK). Pada pulmonary heart disease kronik
umumnya terjadi hipertrofi ventrikel kanan, sedangkan pada
pulmonary heart disease akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.
Tidak semua pasien PPOK akan mengalami
pulmonary heart disease, karena banyak usaha pengobatan
yang dilakukan untuk mempertahankan kadar oksigen darah
arteri mendekati normal sehingga dapat mencegah terjadinya
Hipertensi Pulmonal. Pada umumnya, makin berat gangguan
keseimbangan ventilasi perfusi, akan semakin mudah terjadi
ganguan analisis gas darah sehingga akan semakin besar
terjadinya Hipertensi Pulmonal dan pulmonary heart disease.
Penyakit yang hanya mengenai sebagian kecil paru tidak
akan begitu mempengaruhi pertukaran gas antara alveoli dan
kapiler sehingga jarang menyebabkan terjadinya Hipertensi
Pulmonal dan pulmonary heart disease. Tuberculosis yang
mengenai kedua lobus paru secara luas akan menyebabkan
terjadinya fibrosis disertai gangguan fungsi paru sehingga
menyebabkan terjadinya pulmonary heart disease.
Hipoventilasi alveoli sekunder akibat sleep apnea syndrome
tidak jarang disertai dengan Hipertensi Pulmonal dan
pulmonary heart disease Kronik. Beberapa penyebab dari CP
disebutkan seperti dibawah ini.

B. Patogenesis
1. Cor Pulmonale Akut
Pada emboli paru yang masif terjadi obstruksi akut yang
luas pada pembuluh darah paru. Akibatnya adalah:
Tahanan vaskuler paru meningkat
Hipoksia akibat pertukaran gas ditengah kapiler-alveolar
yang terganggu hipoksia tersebut akan menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah (arteri) paru.
Tahanan vaskuler paru yang meningkat dan vasokonstruksi
menyebabkan tekanan pembuluh darah arteri paru yang
meningkat (hipertensi pulmonal).
Hipertensi pulmonal yang terjadi secara akut tidak
memberikan waktu yang cukup bagi ventrikel kanan untuk
berkompensasi, sehingga terjadilah kegagalan jantung
kanan akut. Gagal jantung kanan mulai terjadi jika tekanan
arteri pulmonalis meningkat tiba-tiba melebihi 40-50
mmHg. Gagal jantung kanan akut ditandai dengan sesak
nafas yang terjadi secara tiba-tiba, curah jantung menurun
(low output state) sampai syok, JVP yang meningkat, liver
yang membengkak dan nyeri dan bising insufisiensi
trikuspid.

2. CP Kronis
Seperti yang telah disebutkan, PPOM adalah penyebab
tersering CP kronis (lebih dari 50% kasus). Pada penyakit
paru kronis maka akan terjadi penurunan vaskuler bed
paru, hipoksia, dan hiperkapnea/asidosis respiratorik.
Hipoksia dapat mengakibatkan penyempitan pembuluh
darah arteri paru, demikian juga asidosis respiratorik. Di
samping itu hipoksia akan menimbulkan polisitemia
sehingga viskositas darah akan meningkat. Viskositas
darah yang meningkat ini pada akhirnya akan
meningkatkan tekanan pembuluh darah arteri paru akan
meningkat. Jadi adanya penurunan vaskuler bed, hipoksia
dan hiperkapnea akan mengakibatkan peningkatan
tekanan darah (arteri) pulmonal, hal ini disebut hipertensi
pulmonal. Adanya hipertensi pulmonal menyebabkan
beban tekanan pada ventrikel kanan, sehingga ventrikel
kanan melakukan mekanisme kompensasi berupa hipertrofi
dan dilatasi. Keadaan ini disebut Cor pulmonale. Jika
mekanisme kompensasi ini gagal maka terjadilah gagal
jantung kanan.
C. Etiologi
Etiologi dari CP secara garis besar dapat dibagi menjadi
sebagai berikut:
1. Penyakit Parenkim Paru
Penyakit paru obstruktif menahun (PPOM) merupakan
penyebab tersering CP kronis.
Brokiektasis
Sistik fibrosis
Penyakit paru restriktif
Pneumokoniosis
Sarcoidosis
2. Kelainan Dinding Thoraks dan otot pernafasan
Kiposkoliosis
Amiotrofik lateral sclerosis (ALS)
Myasthenia gravis
3. Sindrom Pickwikian dan sleep apnea
4. Penyakit vaskuler paru
Emboli paru berulang atau emboli paru masif
Emboli paru yang masih masif merupakan penyebab
tersering dari CP akut sedangkan emboli paru berulang
dapat menyebabkan CP kronis.
Hipertensi pulmonal primer
Anemia sel sabit (Sickle cell anemia)
Schistosomiasis
Skleroderma

D. Manifestasi Klinis
Informasi yang didapat bisa berbeda-beda antara satu
penderita yang satu dengan yang lain tergantung pada
penyakit dasar yang menyebabkan pulmonary heart disease.
1. Kor-pumonal akibat Emboli Paru :
sesak tiba-tiba pada saat istirahat,
kadang-kadang didapatkan batuk-batuk,
dan hemoptisis.
2. Kor-pulmonal dengan PPOM :
sesak napas disertai batuk yang produktif (banyak
sputum).
3. Cor pulmonal dengan Hipertensi Pulmonal primer :
sesak napas dan,
sering pingsan jika beraktifitas (exertional syncope).
4. Pulmonary heart disease dengan kelainan jantung kanan :
bengkak pada perut dan, kaki
cepat lelah.

Gejala predominan pulmonary heart disease, yaitu :


batuk produktif kronik,
dispnea karena olahraga,
wheezing respirasi,
kelelahan dan kelemahan.
Jika penyakit paru sudah menimbulkan gagal jantung kanan,
gejala - gejala ini lebih berat:
Edema dependen.
Nyeri kuadran kanan atas dapat juga muncul.
Kurang tanggap/ bingung.
Mata menonjol.

Tanda- tanda pulmonary heart disease :


sianosis,
clubbing,
vena leher distensi,
ventrikel kanan menonjol atau gallop (atau keduanya),
pulsasi sternum bawah atau epigastrium prominent
(menonjol),
hati membesar dan nyeri tekan, dan
edema dependen.

E. Patofisiologi
Beratnya pembesaran ventrikel kanan pada pulmonary heart
disease berbanding lurus dengan fungsi pembesaran dari
peningkatan afterload. Jika resistensi vaskuler paru
meningkat dan relative tetap, seperti pada penyakit vaskuler
atau parenkim paru, peningkatan curah jantung sebagaimana
terjadi pada pengerahan tenaga fisik, maka dapat
meningkatkan tekanan arteri pulmonalis secara bermakna.
Afterload ventrikel kanan secara kronik meningkat jika
volume paru membesar, seperti pada penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), pemanjangan pembuluh paru, dan
kompresi kapiler alveolar.

Penyakit paru dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan


pada suatu waktu akan mempengaruhi jantung serta
menyebabkan pembesaran ventrikel kanan. Kondisi ini
seringkali menyebabkan terjadinya gagal jantung. Beberapa
kondisi yang menyebabkan penurunanan oksigenasi paru
dapat mengakibatkan hipoksemia (penurunan PaO2) dan
hipercapnea (peningkatan PaCO2), yang nantinya akan
mengakibatkan insufisiensi ventilasi. Hipoksia dan
hiperkapnea akan menyebabkan vasokonstriksi arteri
pulmonal dan memungkinkan terjadinya penurunan
vaskularisasi paru seperti pada emfisema dan emboli paru.
Akibatnya akan terjadi peningkatan ketahanan pada sistem
sirkulasi pulmonal, yang akan menjadikannya hipertensi
pulmonal. Tekanan rata-rata pada arteri baru (arterial mean
preassure) adalah 45 mmHg, jika tekanan ini meningkat
dapat menimbulkan pulmonary heart disease. Ventrikel kanan
akan hipertropi dan mungkin akan diikuti gagal jantung
kanan.

F. Pemeriksaan Diagnostik
Gambaran radiologis
Pada tingkat hipertensi pulmonal jantung belum terlihat
membesar, tetapi hilus dan arteri pulmonalis utama amat
menonjol dan pembuluh darah perifer menjadi kecil/tidak
nyata.
Pada tingkat pulmonary heart disease jantung terlihat
membesar karena adanya dilatasi dan hipertrofi ventrikel
kanan. Hal ini kadang-kadang sulit dinyatakan pada foto
dada karena adanya hiperinflasi paru (misalnya pada
emfisema). Selain itu didapatkan juga diafragma yang
rendah dan datar serta ruang udara retrosternal yang lebih
besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak
membuat jantung menjadi lebih besar dari ukuran normal.

Gambaran elektrokardiogram
Pada tingkat awal (hipoksemia) EKG hanya menunjukkan
gambaran sinus takikardia saja. Pada tingkat hipertensi
pulmonal EKG akan menunjukkan gambaran sebagai berikut,
yaitu:

1. Gelombang P mukai tinggi pada lead II

2. Depresi segmen S-T di II, III, Avf

3. Gelombang T terbalik atau mendatar di V1-3

4. Kadang-kadang teadapat RBBB incomplete atau complete


Pada tingkat pulmonary heart disease dengan hipertrofi
ventrikel kanan, EKG menunjukkan:

1. Aksis bergeser ke kanan(RAD) lebih dari +90


2. Gelombang P yang tinggi (P pulmonal) di II, III,Avf

3. Rotasi kearah jarum jam (clockwise rotation)

4. Rasio R/S di V1 lebih dari 1

5. Rasio R/S di V6 lebih dari 1

6. Gelombang S ang dalam di V5 dan V6 (S persissten di


prekordial kiri)

7. RBBB incomplete atau incomplete


Pada cor-pulmonal akut (emboli paru masif), EKG
menunjukkan adanya Right Ventrikular Strain yaitu adanya
depresai segmen S-T dan gelombang T yang terbalik pada
sandapan perikordial kanan. Kadang-kadang kriteria
hipertrofi ventrikel kanan yang klasik sulit didapat.
Padmavati dalam penelitiannya menyatakan kriteria yang
lain untuk kor-pulmonal dalam kombinasi EKG sebagai
berikut:

1. rS di V5 dan V6

2. Aksis bergeser ke kanan

3. qR di AVR

4. P pulmonal

Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya polisitemia
(Ht > 50%), tekanan oksigen (PaO2) darah arteri < 60
mmHg,tekanan karbondioksida (PaO2) >50 mmHg.

G. Penatalaksanaan
Pengobatan Cor Pulmonale pada dasarnya dibagi menjadi dua
yaitu Pengobatan Medik dan Pengobatan Tindakan bedah.
1. Pengobatan Medik
Terapi CP difokuskan kepada penyakit paru sebagai penyakit
dasarnya. Yang terbaik adalah menurunkan beban tekanan
pada ventrikel kanan disertai pengobatan yang spesifik
untuk penyakit parunya. Jika tidak terdapat tanda-tanda
gagal jantung kanan, tujuan utama pengobatan CP adalah
mencegah terjadinya gagal jantung kanan. Jika hal tersebut
sudah terjadi, maka pengobatan ditujukan untuk gagal
jantungnya, tetapi respons terhadap pengobatan biasanya
jelek, kecuali jika pengobatan yang diberikan dapat
mengendalikan hipertensi pulmonalnya.
a. Pengobatan untuk mengendalikan hipertensi pulmonal
Pengobagtan terhadap hipoksia merupakan pengobatan
yang utama dalam hal menurunkan tekanan darah
pulmonal. Pengobatan terhadap hipoksia ini dapat
dilakukan dengan 2 cara yaitu :
(1) Pengobatan terhadap penyakit dasarnya
(2) pemberian Oksigen.
Kedua cara ini hasilnya kurang memuaskan karena
hipertensi pulmonal biasanya sudah menetap sebagai
akibat terjadinya perubahan struktural pada pembuluh
darah paru.
Pada CP akut, karena hipertensi pulmonalnya sebagai
akibat obstruksi pembuluh darah paru karena adanya
emboli parunya. Terapi standar adalah heparin 5000-
10.000 unit bolus iv dilanjutkan 1000 iu/jam sampai aPTT
2x normal selama 7-10 hari dilanjutkan warfarin 2-3
bulan. Alternatif lain adalah dengan thrombolysis (mis:
streptokinase : 250.000iu dalam infus selama 30 menit,
dilanjutkan 100.000 iu/jam selama 24 - 72 jam, post
thrombolysis dilanjutkan dengan heparin seperti di atas.
Pada penderita CP kronis, sebagian besar mengalami
vasokonstriksi pada pembuluh darah parunya akibat
hipoksia. Pada penderita seperti ini harus diberikan
oksigen untuk dapat mencapai tekanan oksigen arterial
60 mmHg. Untuk penderita CP dengan PPOM sebagai
penyakit dasarnya perlu ditekankan bahwa dosis oksigen
yang diberikan harus rendah (1-2 liter/menit) dan
kontinyu. Hal ini disebabkan karena pada penderita PPOM
ventilatory drive nya tergantung dari hipoksia. Jika
diberikan oksigen dosis tinggi maka penderita akan
mengalami Oksigen narkosis sehingga pusat nafas tidak
lagi terangsang dan penderita dapat meninggal karena
gagal nafas. Di samping itu harus dihindari bahan-bahan
iritant termasuk asap rokok. Obat-obatan lain yang
biasanya diberikan adalah bronkodilator (aminofilin, 2
agonis), mukolitik dan ekspektoran untuk memudahkan
pengeluaran dahak serta antibiotik jika terjadi eksaserbasi
akut dari bronkitis. Dengan pengobatan di atas beberapa
penderita dapat diperbaiki ventilasi alveolarnya sehingga
hipoksianya dan atau asidosis respiratoriknya dapat
diatasi. Koreksi asidosis dan hipoksia pada beberapa
kasus dapat menurunkan tekanan pembuluh darah (arteri)
pulmonal. Oksigenasi yang adekuat telah terbukti dapat
menunda terjadinya gagal jantung kanan dan
memperpanjang harapan hidup penderita.
b. Pengobatan gagal jantung
Pada CP yang disertai gagal jantung kanan (Cor Pulmonale
Chronicum Decompensata = CPCD) pengobatan penyakit
paru yang mendasari dan penanganan hipoksia tetap
menjadi terapi utama. Diuretik dan flebotomi merupakan
terapi yang cukup baik pada CPCD. Vasodilator pulmoner
memberikan hasil yang cukup baik pada beberapa
penderita hipertensi pulmonal primer, tetapi hasilnya
tidak meyakinkan pada penderita CPCD dengan PPOM
sebagai penyakit dasarnya. Pemberian digitalis untuk
penderita gagal jantung kiri. Disamping itu kemungkinan
terjadinya intoksikasi digitalis lebih besar pada penderita
CPCD karena adanya hipoksia dan asidosis respiratorik.
Karena itu pemberian digitalis harus sangat hati-hati pada
penderita CPCD. Pemberian digitalis dapat
dipertimbangkan jika terdapat juga gagal jantung kiri atau
adanya aritmia terutama Atrial Fibrilasi walaupun harus
tetap hati-hati. Diuretik efektif untuk pengobatan CPCD,
terutama pada penderita dengan PPOM sebagai penyakit
dasarnya. Efek diuretik harus dimonitor secara ketat
dengan pemeriksaan analisa gas darah. Pemberian
diuretik yang berlebihan dapat menimbulkan metabolik
alkalosis yang pada akhirnya dapat menekan pusat
pernafasan dan berakibat fatal pada penderita. Flebotomi
dapat dipertimbangkan jika PCV > 55-60%. Pengambilan
darah 200-300 cc secara hati-hati dapat menurunkan
tekanan arteri pulmonal dan mungkin dapat memperbaiki
fungsi ventrikel kanan.
2. Pengobatan Tindakan Bedah
Pada beberapa kasus CP tindakan bedah mempunyai peran
dalam pengobatan. Pulmonal Embolectomy sangat
bermanfaat pada penderita emboli paru. Adenoidectomi
pada anak dengan obstruksi jalan nafas kronis,
uvulopalatopharyngeoplasty pada penderita sleep apnea
dapat mengobati CP akibat hipoventilasi yang kronis.
Transplantasi jantung-paru dilakukan pada penderita CPCD
tahap akhir (end stage).

H. Komplikasi
Komplikasi dari pulmonary heart disease diantaranya:
a. Sinkope
b. Gagal jantung kanan
c. Edema perifer
d. Kematian

I. Prognosis
Belum ada pemeriksaan prospektif yang dilakukan untuk
mengetahui prognosis pulmonary heart disease kronik.
Pengamatan yang dilakukan tahun 1950 menunjukkan bahwa
bila terjadi gagal jantung kanan yang menyebabkan kongestif
vena sistemik, harapan hidupnya menjadi kurang dari 4 tahun.
Walaupun demikian, kemampuan dalam penanganan
pasien selama episode akut yang berkaitan dengan infeksi dan
gagal napas mangalami banyak kemajuan dalam 5 tahun
terakhir.
Prognosis pulmonary heart disease berkaitan dengan
penyakit paru yang mendasarinya. Pasien yang mengalami
pulmonary heart disease akibat obliterasi pembuluh darh arteri
kecil yang terjadi secara perlahan-lahan akibat penyakit
intrinsiknya (misal emboli), atau akibat fibrosis intertisial
harapan juntuk perbaikannya kecil karena kemungkinan
perubahan anatomi yang terjadi subah menetap. Harapan
hidup pasien PPOK jauh lebih baik bila analisis gas darahnya
dapat dipertahankan mendekati normal.

J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Anamnesa meliputi:
Informasi yang didapat pada anamnesis dapat berbeda
antara satu penderita dengan penderita lain tergantung
pada penyakit dasar yang menyebabkan CP. CP akut
akibat emboli paru keluhannya adalah sesak tiba-tiba
pada saat istrahat, kadang-kadang didapatkan batuk-
batuk, dan hemoptisis.
Pada penderita CP dengan PPOM sebagai penyakit
dasarnya maka keluhannya adalah sesak nafas disertai
batuk yang produktif (banyak sputum). Pada penderita CP
dengan Hipertensi Pulmonal Primer, keluhannya berupa
sesak nafas dan sering pingsan jika beraktivitas
(exertional syncope). Dalam hal mengevaluasi keluhan
sesak nafas, haruslah disingkirkan adanya kelainan pada
jantung kiri sebagai kelainan jantung kiri (misalnya:
Stenosis mitral, payah jantung kiri) menimbulkan keluhan
orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea. Jika terjadi
gagal jantung kanan maka keluhan bengkak pada perut
dan kaki serta cepat lelah sering terjadi.
1) Identitas pasien
Kor pulmonal dapat terjadi pada orang dewasa dan
pada anak-anak. Untuk orang dewasa, kasus yang
paling sering ditemukan adalah pada lansia karena
sering didapati dengan kebiasaan merokok dan
terpapar polusi. Hal ini di dasarkan pada epidemiologi
penyakit-penyakit yang menjadi penyebab kor
pulmonal, karena hipertensi pulmonal merupakan
dampak dari beberepa penyakit yang menyerang
paru-paru.
. Untuk kasus anak-anak, umumnya terjadi kor
pulmonal akibat obstruksi saluran napas atas seperti
hipertrofi tonsil dan adenoid.
Jenis pekerjaan yang dapat menjadi resiko terjadinya
kor pulmonal adalah para pekerja yang sering
terpapar polusi udara dan kebiasaan merokok yang
tinggi.
Lingkungan tempat tinggal yang dapat menjadi resiko
terjadinya kor pulmonal adalah lingkungan yang
dekat daerah perindustrian, dan kondisi rumah yang
kurang memenuhi persyaratan rumah yang sehat.
Contohnya ventilasi rumah yang kurang baik, hal ini
akan semakin memicu terjadinya penyakit-penyakit
paru dan berakibat terjadinya kor pulmonal.
2) Riwayat sakit dan Kesehatan
Keluhan utama
Pasien dengan kor pulmonal sering mengeluh sesak,
nyeri dada
Riwayat penyakit saat ini
Pada pasien kor pulmonal, biasanya akan diawali
dengan tanda-tanda mudah letih, sesak, nyeri dada,
batuk yang tidak produktif. Perlu juga ditanyakan
mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang
telah dilakukan untuk menurunkan atau
menghilangkan keluhan-keluhan tersebut.
Penyebab kelemahan fisik setelah melakukan aktifitas
ringan sampai berat:
Seperti apa kelemahan melakukan aktifitas yang
dirasakan, biasanya disertai sesak nafas.
Apakah kelemahan fisik bersifat local atau keseluruhan
system otot rangka dan apakah disertai
ketidakmampuan dalam melakukan pergerakan.
Bagaimana nilai rentang kemampuan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari.
Kapan timbulnya keluhan kelemahan beraktifitas,
seberapa lamanya kelemahan beraktifitas, apakah
setiap waktu, saat istirahat ataupun saat beraktifitas
Riwayat penyakit dahulu
Klien dengan kor pulmonal biasanya memilki riwayat
penyakit seperti penyakit paru obstruktif kronik
(PPOK), fibrosis paru, fibrosis pleura, dan yang paling
sering adalah klien dengan riwayat hipertensi
pulmonal.
3) Pemeriksaan fisik : Review Of System (ROS)
a) B1 (BREATH)
Pola napas : irama tidak teratur
Jenis: Dispnoe
Suara napas: wheezing
Sesak napas (+)
b) B2 (BLOOD)
Irama jantung : ireguler s1/s2 tunggal (-)
Nyeri dada (+)
Bunyi jantung: murmur
CRT : tidak terkaji
Akral : dingin basah
c) B3 (BRAIN)
Penglihatan (mata):
Pupil : tidak terkaji
Selera/konjungtiva : tidak terkaji
Gangguan pendengaran/telinga: tidak terkaji
Penciuman (hidung) : tidak terkaji
Pusing
Gangguan kesadaran
d) B4 (BLADDER)
Urin:
Jumlah : kurang dari 1-2 cc/kg BB/jam
Warna : kuning pekat
Bau : khas
Oliguria
e) B5 (BOWEL)
Nafsu makan : menurun
Mulut dan tenggorokan : tidak terkaji
Abdomen : asites
Peristaltic : tidak terkaji
f) B6 (BONE)
Kemampuan pergerakan sendi: terbatas
Kekuatan otot : lemah
Turgor : jelek
Oedema
4) Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya,
bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana
perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan
terhadap dirinya, kecemasan terhadap penyakit.

2. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas yang b.d. hipoksemia secara
reversible/menetap, refraktori dan kebocoran interstisial
pulmonal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
2) Ketidakefektifan pola napas b.d. sempitnya lapang
respirasi dan penekanan toraks.
3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b.d. penurunan nafsu makan (energi lebih banyak
digunakan untuk usaha bernapas, sehingga metabolism
berlangsung lebih cepat).
4) Intoleransi aktifitas yang b.d. kelemahan fisik dan
keletihan.
5) Perubahan pola eliminasi urin b.d. oliguria.

3. Perencanaan Keperawatan
1) Gangguan pertukaran gas yang b.d. Hipoksemia secara
reversible/menetap, refraktori dan kebocoran interstisial
pulmonal/alveolar pada status cedera kapiler paru.
Tujuan :
Mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat untuk
keperluan tubuh.
Kriteria hasil :
- Klien tidak mengalami sesak napas.

- Tanda-tanda vital dalam batas normal

- Tidak ada tanda-tanda sianosis.

- PaO2 dan PaC02 dalam batas normal

- Saturasi O2 dalam rentang normal

Intervensi dan Rasional :

Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, kedalaman Berguna dalam evaluasi derajat distress
pernapasan. Catat penggunaan pernapasan dan/atau kronisnya proses
otot aksesori, nafas bibir, penyakit.
tidakmampuan bicara/
berbincang.
Tinggikan kepala tempat Pengiriman oksigen dapat diperbaiki
dengan posisi duduk tinggi dan latihan
tidur, bantu pasien untuk
nafas untuk menurunkan kolaps jalan
memilih posisi yang mudah
nafas, dispnea dan kerja nafas.
untuk bernapas. Dorong nafas
perlahan atau nafas bibir sesuai
kebutuhan atau toleransi
individu.
Awasi secara rutin kulit dan Sianosis mungkin perifer (terlihat pada
kuku) atau sentral (terlihat sekitar
warna membrane mukosa.
bibir/atau daun telinga). Keabu-abuan
dan diagnosis sentral mengindikasikan
beratnya hipoksemia.
Dorong mengeluarkan Kental, tebal, dan banyaknya sekresi
adalah sumber utama gangguan
sputum; penghisapan bila
pertukaran gas pada jalan nafas kecil.
diindikasikan.
Penghisapan dibutuhkan bila batuk tidak
efektif.
Auskultasi bunyi nafas, catat Bunyi nafas mugkin redup karena aliran
udara atau area konsolidasi. Adanya
area penurunan aliran udara
mengi mengindikasikan secret. Krekel
dan/atau bunyi tambahan.
basah menyebar menunjukkan cairan
pada intertisial/dekompensasi jantung.
Palpasi fremitus. Penurunan getaran fibrasi diduga ada
pengumpulan cairan atau udara terjebak.
Awasi tingkat kesadaran/ Gelisah dan ansietas adalah manifestasi
umum pada hypoxia, GDA memburuk
status mental. Selidiki adanya
disertai bingung/ somnolen menunjukkan
perubahan.
disfungsi sersbral yang berhubungan
dengan hipoksemia.
Evaluasi tingkat toleransi Selama distress pernapasan
berat/akut/refraktori pasien secara total
aktifitas. Berikan lingkungan
tak mampu melakukan aktifitas sehari-
yang tenang dan kalem. Batasi
hari karena hipoksemia dan dispnea.
aktifitas pasien atau dorong
Istirahat diselingi aktifitas perawatan
untuk tidur/ istirahat dikursi
masih penting dari program pengobatan.
selama fase akut. Mungkinkan
Namun, program latihan ditujukan untuk
pasien melakukan aktifitas
meningkatkan ketahanan dan kekuatan
secara bertahap dan tingkatkan
tanpa menyebabkan dispnea berat, dan
sesuai toleransi individu.
dapat meningkatkan rasa sehat.
Awasi tanda vital dan irama Tachycardia, disritmia, dan perubahan
tekanan darah dapat menunjukkan efek
jantung
hipoksemia sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi
Awasi/gambarkan seri GDA Paco2 biasanya meningkat (bronchitis,
enfisema) dan pao2 secara umum
dan nadi oksimetri.
menurun, sehingga hipoksia terjadi
dengan derajat lebih kecil atau lebih
besar. Catatan: paco2 normal atau
meningkat menandakan kegagalan
pernapasan yang akan datang selama
asmatik.
Berikan oksigen tambahan Dapat memperbaiki/mencegah
memburuknya hypoxia. Catatan:
yang sesuai dengan indikasi
emfisema kronis, mengatur pernapasan
hasil GDA dan toleransi pasien.
pasien ditentukan oleh kadar CO2 dan
mungkin dieluarkan dengan peningkatan
pao2 berlebihan.
Berikan penekanan SSP Digunakan untuk mengontrol
ansietas/gelisah yang meningkatkan
(misal: ansietas, sedative, atau
konsumsi oksigen/kebutuhan,
narkotik) dengan hati-hati.
eksaserbasi dispnea. Dipantau ketat
karena dapat terjadi gagal nafas.
Bantu instubasi, Terjadinya/kegagalan nafas yang akan
datang memerlukan penyelamatan
berikan/pertahankan ventilasi
hidup.
mekanik,dan pindahkan UPI
sesuai instruksi pasien.

2) Ketidakefektifan pola napas b.d. Hipoksia.


Tujuan :
Memperbaiki atau mempertahankan pola

pernapasan normal
Pasien mencapai fungsi paru-paru yang maksimal.

Kriteria hasil :
Pasien menunjukkan frekuensi pernapasan yang

efektif.
Pasien bebas dari dispnea, sianosis, atau tanda-

tanda lain distress pernapasan


Intervensi dan Rasional :

Tindakan/intervensi Rasional
Berikan posisi fowler atau Memaksimalkan ekspansi paru,
menurunkan kerja pernapasan,
semi fowler
dan menurunkan resiko aspirasi
Ajarkan teknik napas dalam Membantu meningkatkan difusi
gas dan ekspansi jalan napas
dan atau pernapasan bibir atau
kecil, memberika pasien
pernapasan diafragmatik
abdomen bila diindikasikan beberapa kontrol terhadap
pernapasan, membantu
menurunkan ansietas.
Obserfasi TTV (RR atau Mengetahui keadekuatan
frekuensi pernapasan dan
frekuensi permenit)
keefektifan jalan napas

3) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


b.d. Penurunan nafsu makan (energi lebih banyak
digunakan untuk usaha bernapas, sehingga metabolism
berlangsung lebih cepat).
Tujuan : Nafsu makan membaik.
Kriteria hasil :
Gizi untuk kebutuhan metabolik terpenuhi

Massa tubuh dan berat badan klien berada dalam

batas normal.
Intervensi dan Rasional :

Tindakan/intervensi Rasional
Beri motivasi pada klien untuk Agar pasien mau memenuhi diet
yang disarankan untuk kebutuhan
mengubah kebiasaan makan.
nutrisi dalam metabolisme.
Sajikan makanan untuk klien Mengurangi anorexia pada pasien.

semenarik mungkin.
Pantau nilai laboratorium, Untuk mengetahui perkembangan
asupan gizi klien melalui sampel
khususnya transferin, albumin, dan
darah.
elektrolit.
Timbang berat badan pasien pada Untuk mengetahui perkembangan
klien dalam mempertahankan berat
interval yang tepat.
badan normal.
Diskusikan dengan ahli gizi dalam Untuk bisa lebih tepat memberikan
menentukan kebutuhan protein untuk diet kepada pasien sesuai zat gizi
klien. dan kalori yang dibutuhkan.
Pertahankan kebersihan mulut Menambah nafsu makan dan
membersihkan kuman-kuman yang
yang baik.
ada dalam mulut, sehingga makanan
yang klien makan akan terasa lebih
nikmat.

4) Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbbangan


antara suplai dan demand oksigen
Tujuan : keseimbanagn antara suplai dan demand
oksigen.
Kriteria hasil : mentoleransi aktivitas yang biasa
dilakukan dan di tunjukkan dengan daya tahan,
menunjukkan penghematan energi.
Intervensi dan Rasional :

Tindakan/ Intervensi Rasional


Beri bantuan untuk melaksanakan Ajarkan klien bagaimana
meningkatkan rasa kontrol
aktifitas sehari-hari
dan mandiri dengan
kondisi yang ada
Ajarkan klien bagaimana Istirahat memungkinkan
tubuh memperbaiki
menghadapi aktifitas menghindari
energy yang digunakan
kelelahan dan berikan periode
selama aktifitas
istirahat tanpa gangguan di antara
aktifitaa
Kolaborasi dengan ahli gizi Dengan ahli gizi, perawat
dapat menentukan jenis-
mengenai menu makanan pasien
jenis makanan yang harus
dikonsumsi untuk
memaksimalkan
pembentukan energy
dalam tubuh pasien.

5) Perubahan pola eliminasi urin b.d. Penurunan curah


jantung.
Tujuan : mengembalikan pola eliminasi urin normal.
Kriteria hasil : klien menunjukkan pola pengeluaran urin
yang normal, klien menunjukkan pengetahuan yang
adekuat tentang eliminasi urin.
Intervensi dan Rasional :

Tindakan/intervensi Rasional
Pantau pengeluaran urine, catat Pengeluaran urine mungkin sedikit
dan pekat karena penurunan
jumlah dan warna saat dimana
perfusi ginjal. Posisi terlentang
diuresis terjadi.
membantu diuresis sehingga
pengeluaran urine dapat
ditingkatkan selama tirah baring.
Pantau/hitung keseimbangan Terapi diuretic dapat disebabkan
oleh kehilangan cairan tiba-
intake dan output selama 24 jam
tiba/berlebihan (hipovolemia)
meskipun edema/asites masih ada.
Pertahakan duduk atau tirah Posisi tersebut meningkatkan
filtrasi ginjal dan menurunkan
baring dengan posisi semifowler
produksi ADH sehingga
selama fase akut.
meningkatkan dieresis.
Pantau TD dan CVP (bila ada) Hipertensi dan peningkatan CVP
menunjukkan kelebihan cairan dan
dapat menunjukkan terjadinya
peningkatan kongesti paru, gagal
jantung.
Kaji bisisng usus. Catat keluhan Kongesti visceral (terjadi pada GJK
anoreksia, mual, distensi abdomen lanjut) dapat mengganggu fungsi
dan konstipasi. gaster/intestinal.
Konsul dengan ahli diet. Perlu memberikan diet yang dapat
diterima klien yang memenuhi
kebutuhan kalori dalam
pembatasan natrium.

DAFTAR PUSTAKA

A Sovari, Ali.2009.Cor Pulmonal.


(online),emedicine.medscape.com,7 Oktober 2009
Boughman, Diane C & Hackley, Joann C.2000.Buku Saku
Keperawatan Medical Bedah.Jakarta:EGC
Wilkinson, Judith. M.2002.Buku Saku Diagnosis Keperawatan
dengan Intervensi NIC dan Kriteria NOC.EGC:Jakarta
Alpert JS, Rippe JM. Cor Pulmonale. In: Manual of Cardiovascular
Diagnosis ang Therapy. 4th edition Little Brown Co. Boston
1996.p 320-325.
Newman JH, Ross JC. Chronic Cor Pulmonale. In:The heart 8th
edition. Eds; Schlant RC, Alexander RW. McGraw Hill
Co.New York San Francisco 1994.p 1895-1904.
Wiedeman HP, Matthay RA. Cor Pulmonale. In; Heart Disease. 5th
edition. Ed. Braunwald E. WB Saunders Philadelphia
1997.p 1604-1620.
Buttler J. Braunwald E. Cor Pulmonale. In:Harrisons Principles of
Internal Medicine. 13 rd edition. Eds. Isselbacher,
Braunwald, Wilson et al. McGraw Hill.New York St.Louis
San Fransisco.1994.p 1085-1088.
----------.1997.Mastering Medical-Surgical
Nursing.USA:Springhouse Corporation.
----------.2001.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:Balai
Penerbit FK UI

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN


DIABETES MELITUS
Disusun oleh :

Nama : LUSIA BUAQ

NIM : P1605281

Program Profesi Ners

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wiyata Husada Samarinda

Вам также может понравиться