Вы находитесь на странице: 1из 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Persaingan merebutkan gelar prestasi sudah menjadi makanan sehari-


hari bagi orang-orang yang terjun di dunia olahraga. Kebanggaan atas
keberhasilan menaklukan saingannya dari berbagai daerah mampu membawa
kebanggaan, bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk kebanggan
tim, kota , bahkan negaranya. Namun tak jarang kita menemui orang-orang
yang terlalu terpaku dengan gelar juara sehingga melupakan esensi
kemenangan yang sesungguhnya, bertanding dengan jujur dan bersih. Bagi
atlet atlet yang sangat terpaku kepada kemenangan dan gelar juara namun
merasa kurang mampu dan percaya diri dengan kemampuan alamiahnya yang
berupa kekuatan, kecepatan dan daya tahan maka obat-obatan tak jarang
menjadi solusi atas kecemasan mereka.

Pengguanaan obat-obatan dalam dunia olahraga telah berlangsung


lama. Bahkan sejak dimulainya olimpiade modern sudah dikenal jenis obat-
obatan seperti strychinine, heroin, cocaine, dan morphine yang ternyata lebih
banyak efek merugikan daripada efek menguntungkannya bagi atlet. Obat
yang paling efektif menunjang penampilan atlet adalah amphetamine
ternyata sudah jamak digunakan sejak perang dunia II dan masuk ke dalam
dunia olah raga diawal tahun 50-an. Obat ini memiliki istilah lain dikalangan
atlet balap sepeda Italia yaitu la bomba dan dikalangan atlet balap sepeda
Belanda dikenal sebagai atoom. Dengan penggunaan yang sedikit diatas dosis
normal amphetamine mampu menciptakan sensasi berkurangnya kelelahan
sehingga para olahragawan dikhawatirkan akan menggunakan amphetamine
secara tidak terkontrol. Salah satu contoh kasus penyalahgunaan amphetamine
dilaporkan terjadi tahun 60-an seorang atlet balap sepeda tewas karena efek
samping amphetamine yang mampu mengakibatkan heatstroke. Pada tahun
1967 atlet balap sepeda asal Inggris Tom Simpson tewas pada saat mengikuti
Tour de France diduga kuat karena kelebihan dosis amphetamine.
Penggunaan obat-obatan guna menunjang kemampuan berolahraga
untuk meraih prestasi dinilai sangat membahayakan tubuh si pengguna, selain
itu penggunaan obat-obat tadi atau kita kenal dengan istilah doping telah
menghilangkan sisi sprotifitas dan kejujuran dalam sebuah pertandingan.
Doping tak hanya merugikan tubuh pengguna namun juga mencemarkan nama
baik tim, kota, negara dan bahkan cabang olahraga tersebut.
BAB II
ISI

A. SEJARAH DOPING

Kata doping berasal dari bahasa Belanda, dop, nama minuman


beralkohol yang terbuat dari kulit anggur yang digunakan oleh tentara Zulu
dalam meningkatkan keberanian dalam peperangan. Istilah tersebut menjadi
umum pada sekitar pergantian abad ke 20, aslinya mengacu pada pemberian
obat pada kuda pacu. Praktek meningkatkan kinerja melalui pemberian zat-zat
atau bahan-bahan artifisial lainnya berusia sama dengan olahraga kompetitif
itu sendiri.

Olahragawan Yunani kuno dikenal menggunakan diet khusus dan obat


perangsang untuk memperkuat diri mereka. Strychnine, kafein, kokain, dan
alkohol sering digunakan oleh pembalap sepeda dan olahragawan endurens
lainnya pada abad 19. Thomas Hicks memenangkan lari marathon pada
olimpiade 1904 di Saint Louis karena menggunakan telur mentah, injeksi
strychnine, dan meminum brandy selama pertandingan. Sejak tahun 1920
dilakukan pembatasan penggunaan obat-obatan dalam olahraga.

Tahun 1928 Federasi Atletik Amatir Internasional (IAAF) merupakan


federasi olahraga internasional pertama yang melarang penggunaan doping
(penggunaan zat perangsang). Setelah itu diikuti oleh federasi-federasi
lainnya, tetapi pembatasan tersebut kurang efektif karena tidak dilakukannya
pengujian. Sementara itu masalahnya semakin memburuk dengan penggunaan
hormon-hormon sintetik yang ditemukan pada tahun 1930 dan semakin marak
penggunaannya sejak tahun 1950. Pada olimpiade Roma 1960 terjadi kematian
olahragawan balap sepeda asal Denmark Knud Enemark Jensen pada saat
perlombaan (hasil autopsi ditemukan adanya amphetamine) hal ini semakin
mendesak otoritas olahraga untuk melakukan pengujian doping.

Pada tahun 1966 UCI (balap sepeda) dan FIFA (sepak bola) merupakan
beberapa federasi internasional pertama yang memperkenalkan pengujian
doping pada Kejuaraan Dunia mereka. Pada tahun berikutnya International
Olympic Committee (IOC) membentuk Komisi Medisnya dan menyusun
daftar terlarang pertamanya. Pengujian obat-obatan pertama kali
diperkenalkan pada Pertandingan Olimpiade Musim Dingin di Grenobel dan
pada Olimpiade Mexico pada tahun 1968. Setahun sebelumnya, pentingnya
kegiatan anti-doping telah menjadi sorotan dengan kematian tragis pembalap
sepeda Tom Simpson pada saat Tour de France.

Kebanyakan Federasi Olahraga Internasional memperkenalkan


pengujian doping pada tahun 1970-an. Penggunaan anabolic steroid semakin
meluas, walau begitu, terutama dalam lomba kekuatan, pada saat itu belum
ada metode untuk mendeteksinya. Sebuah metode pengujian yang dapat
dipercaya pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 dan IOC
menambahkan anabolic steroid ke dalam daftar terlarangnya pada tahun 1976.
Akibatnya adalah peningkatan yang nyata atas jumlah diskualifikasi akibat
penggunaan obat-obatan pada akhir tahun 1970-an, terutama pada olahraga
kekuatan seperti nomor lempar dan angkat berat.

Kegiatan anti-doping semakin kompleks antara tahun 1970 dan 1980


dengan munculnya kecurigaan dari negara-negara terhadap doping yang
dilakukan oleh sejumlah negara. Sebagai contoh negara Republik Demokratik
Jerman yang membuktikan kecurigaan ini. Kasus doping yang paling terkenal
di tahun 1980-an adalah Ben Johnson, pelari cepat asal Kanada yang terbukti
menggunakan stanozolol (anabolic steroid) pada Olimpiade Seoul, 1988.
Akibatnya Johnson dikenakan sanksi dan gelarnya dicabut. Kasus Johnson ini
menarik perhatian dunia karena belum pernah terjadi sebelumnya. Dalam
perjalanan selanjutnya terdapat bukti keterkaitan antara metode pengujian
yang lebih efektif dan penurunan pencapaian prestasi pada beberapa cabang
olahraga yang cukup besar, terutama pada cabang olahraga atletik.

Sementara perang terhadap stimulan dan steroid mulai menunjukkan


hasilnya, medan utama perang terhadap doping mulai bergeser pada doping
darah. Blood boosting, mengambil dan memasukkannya kembali darah
olahragawan untuk meningkatkan haemoglobin pembawa oksigen semakin
banyak dipraktekkan sejak tahun 1970-an. IOC melarang doping darah pada
tahun 1986.

Cara lain untuk meningkatkan kadar haemoglobin terus diujicobakan.


Salah satunya adalah erythropoietin (EPO), yang dimasukkan ke dalam daftar
terlarang IOC pada tahun 1990. Perang terhadap EPO terhambat oleh
kurangnya metode yang dapat dipercaya. Sebuah metode deteksi EPO, yang
didasarkan pada kombinasi analisis urin dan darah, pertama kali diterapkan
pada olimpiade Sidney pada tahun 2000.

Pada tahun 1988 sejumlah besar zat-zat terlarang ditemukan oleh polisi
dalam penggerebekan yang dilakukan pada saat Tour de France. Skandal
tersebut menyebabkan meningkatnya harapan terhadap peran otoritas publik
dalam masalah anti-doping. Pada awal tahun 1963, Perancis telah menjadi
negara pertama yang memberlakukan peraturan anti-doping. Negara-negara
lain segera menyusul, tetapi kerjasama internasional dalam masalah anti-
doping masih terbatas pada Europe Council. Pada tahun 1980-an terdapat
peningkatan kerjasama yang cukup besar diantara otoritas olahraga
internasional dan berbagai badan-badan pemerintah. Sebelum tahun 1998
masih terjadi perdebatan dalam beberapa forum terpisah (IOC, Federasi-
Federasi Olahraga, pemerintah), yang mengakibatkan timbulnya perbedaan
definisi, kebijakan dan sanksi. Salah satu akibat dari kebingungan ini adalah
bahwa sanksi doping seringkali dipersengketakan dan terkadang
dikesampingkan dalam pengadilan sipil.

Skandal Tour de France semakin menekankan perlunya sebuah badan


internasional independen, yang akan menyatukan standar-standar bagi
kegiatan anti-doping dan mengoordinasikan upaya-upaya organisasi-organisasi
olahraga dan otoritas publik.

B. PENGERTIAN DOPING
Prof. Santosa (2012) yang di kenal sebagi bapak ilmu faal Indonesia,
didalam bukunya, mendefinisikan doping dari penyesuaian zaman namun
pada prinsipnya sama.

Pada tahun 1963, para pakar mendefinisikan doping adalah


penggunaan zat-zat (dalam bentuk apapun) yang asing bagi tubuh atau zat
yang fisiologis dalam jumlah yang tidak wajar dan dengan jalan tidak wajar
juga, oleh seseorang yang sehat dengan tujuan untuk mendapatkan suatu
peningkatan kemampuan buatan secara tidak jujur. Macam usaha psikologi
untuk meningkatkan kemampuan dalam olahraga juga harus dianggap suatu
dopping.

Karena dirasakan sukar untuk membedakan penggunaan doping dan


suatu pengobatan dengan menggunakan obat-obat stimulansia, maka di
tambahkan pula hal-hal baru dalam definisi tersebut: yaitu bila karena suatu
pengobatan terjadi kenaikan suatu kemampuan fisik karena khasiat atau
karena dosis yang berlebihan, maka pengobatan tersebut dianggap suatu
doping.

Pada kongres ilmiah olahraga internasional di Tokyo pada tahun 1988,


definisi doping di ubah lagi menjadi: pemberian atau penggunaan suatu zat
asing dalam jumlah yang tidak wajar dan diberikan melalui cara yang tidak
wajar dengan maksud khusus, yaitu meningkatkan prestasi secara buatan dan
cara ini tidak dibenarkan dalam pertandingan.

Menurut UU No. 3 tahun 2005 tentang sistem keolahragaan nasional,


Bab I ketentuan umum pasal 1 ayat 22, doping adalah penggunaan zat atau
metode terlarang untuk meningkatkan prestasi olahraga.

C. JENIS-JENIS DOPING

Berikut ini merupakan zat-zat doping atau zat-zat terlarang menurut


Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI, 2007) yaitu sebagai berikut:

1. Stimulants
Stimulants merupakan obat yang langsung mempengaruhi susunan
syaraf pusat. Stimulant ini terdiri dari berbagai obat yang dapat meningkatkan
kesegaran fisik, mengurangi kelelahan, dan meningkatkan semangat
bertanding namun juga dapat mengurangi kewaspadaan, sehingga dapat
menyebabkan kecelakaan pada olahragawan.Amphetamine dan senyawa
sejenis merupakan stimulant yang paling banyak menimbulkan masalah.

2. Narkotika (Narcotic)
Olahragawan menggunakan narkotika hanya untuk menyembuhkan
rasa nyerinya, tetapi tidak mengobati penyebab dari nyeri, sehingga cidera
akan bertambah buruk dan dapat menimbulkan resiko ketergantungan fisik
dan psikis.

3. Cannabinoid
Berasal dari tumbuhan yang bersifat psikoaktif, dapat berbentuk ganja,
marijuana, hashish. Zat yang paling aktif dari tumbuhan cannabis adalah
tetrahydrocannabinol (THC).

4. Anabolic Steroid
Merupakan golongan obat-obatan, baik asli maupun sinteis, yang
mempunyai struktur kimia dan aktivitas farmakologis serupa dengan hormon
kelamin pria testosterone. Steroid anabolic sering disalahgunakan oleh
olahragawan untuk meningkatkan massa otot, tenaga dan kekuatan, serta
meningkatkan nafsu makan dan semangat bertanding.Steroid eksogen adalah
senyawa steroid yang tidak dapat diproduksi oleh tubuh secara alamiah,
contohnya: boldenone, stanozolol, danazol, dll. Steroid endogen adalah
senyawa steroid yang dapat diproduksi sendiri oleh tubuh secara alamiah,
seperti: androstenediol, testosterone, dll.
5. Hormon Peptida (Peptide Hormones)
Senyawa yang termasuk golongan ini adalah hormone Chorionoc
gonadotropin (hCG), Lutenizing hormone (LH), growth hormone (hGH),
insulin like growth factor (IGF-1), erythropoietin (EPO), insulin, dan
corticotrophins.

6. Beta-2 Agonists
Beta-2 agonists umumnya digunakan dalam pengobatan asma. Jika zat
ini turut beredar dalam darah akan memberikan efek anabolic. Oleh karena itu,
beta-2 agonists dilarang kecuali formoterol, salbutamol, salmeterol, dan
terbutaline yang diperbolehkan penggunaannya dalam bentuk sediaan inhalasi
untuk mencegah atau mengobati asma (asma akibat olahraga atau kondisi
bronkokonstriksi).

7. Senyawa Dengan Aktivitas Anti-Oestrogenic


Senyawa-senyawa golongan ini umumnya dipakai sebagai terapi
hormon pada penderita kanker payudara, antara lain aromatase inhibitor dan
tamoxifen. Aromatase inhibitor bekerja dengan cara mengurangi jumlah
estrogen yang beredar dalam darah. Senyawa-senyawa ini dapat
disalahgunakan untuk menghilangkan efek yang tidak diinginkan akibat
pemakaian steroid anabolic.

8. Masking Agents
Masking agents adalah zat yang memiliki potensi untuk mengganggu
pengeluaran (ekskresi) zat yang dilarang. Pada sampel urin, akan menutupi
adanya zat yang dilarang atau megubah kondisi darah. Termasuk dalam
masking agents.

9. Glucocorticosteroid
Glucocorticosteroid merupakan senyawa anti inflamasi yang kuat.
Umumnya dipakai untuk mengobati kondisi inflamasi kronik sepeti arthritis,
asma, inflamasi sendi dan reaksi alergi. Glucocorticosteroid dilarang
penggunaannya di dalam pertandingan dengan pemberian secara per-oral
(diminum), per-rektal (ke dalam rectum), dan suntikan intravena maupun
intramuscular. Pemakaian Glucocorticosteroid diperbolehkan di luar
pertandingan. Untuk cara pemakaian lainnya, seperti: pemakaian topical (oles)
untuk daerah sekitar anus, telinga, kulit, secara inhalasi, intra-artikular, hidung
dan mata maka olahragawan perlu menyertakan TUE.

D. BAHAYA DOPING BAGI KESEHATAN


Berikut ini merupakan beberapa efek samping penggunaan doping
yang dikeluarkan oleh Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI, 2007) :

1. Stimulants
Efek samping yang sering terjadi pada dosis tinggi adalah tekanan
darah meningkat, sakit kepala, denyut jantung meningkat dan tidak beraturan,
gelisah, dan tremor.

2. Narkotika (narcotics)
Efek samping utama dari penggunaan obat ini adalah depresi
pernafasan, persepsi yang salah terhadap rasa nyeri dan bahaya, menimbulkan
resiko ketergantungan fisik dan psikis.

3. Anabolic steroid
Efek samping dari senyawa ini, antara lain dapat menimbulkan
gangguan system kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah), kerusakan
hati, dan perubahan psikis. Pada usia remaja, penggunaan steroid anabolic
dapat menghentikan pertumbuhan tulang. Pada laki-laki dapat menyebabkan
ukuran tests mengecil, buah dada membesar dan menurunkan produksi
sperma. Pada wanita dapat menyebabkan maskulinisasi (seperti pertumbuhan
kumis, pembesaran suara, dll), timbulnya jerawat, kebotakan, serta gangguan
pada fungsi indung telur dan siklus menstruasi.

4. Senyawa dengan aktivitas anti-oestrogenic


Efek samping yang mungkin timbul berupa rasa panas pada tubuh (hot
flushes), gangguan fungsi pencernaan, retensi cairan dan thrombosis vena
(gangguan pembekuan darah pada pembuluh vena).
5. Glucocorticosteroid
Efek akibat pemakaian secara umum, meliputi retensi cairan,
hiperglikemik, perubahan mood, infeksi sistemi (akibat penurunan daya imun)
dan gangguan pada jaringan otot dan tulang (contoh: osteoporosis,
mengendurnya jaringan lunak dan kelemahan otot, tulang, dan tendon).

E. SANKSI DOPING DALAM DUNIA OLAHRAGA

Berikut ini merupakan konsekuensi pelanggaran peraturan anti-doping


(LADI:2007) pelanggaran oleh olahragawan atau orang lain terhadap
peraturan anti-doping dapat mengakibatkan satu atau lebih hal-hal berikut :

1. Diskualifikasi bererti hasil-hasil olahragawan dalam sebuah kompetisi


atau pertandingan tertentu dibatalkan, dengan segala konsekuensi yang
diakibatkan termasuk pencabutan medali, poin, dan hadiah.

2. Larangan keikutsertaan berarti olahragawan atau orang lain tersebut


dilarang selama satu jangka waktu tertentu untuk ikut serta di dalam
kompetisi atau kegiatan lain atau pendanaan sebagaimana dinyatakan di
dalam pasal 10.9 code (status selama larangan keikutsertaan).

3. Skorsing sementara berarti olahragawan atau orang lain tersebut dilarang


untuk sementara waktu untuk berpartisipasi dalam kompetisi apapun
sebelum adanya keputusan final pada suatu dengar pendapat yang
dilakukan berdasarkan Pasal 8 Code (Hak atas dengar pendapat yang
adil).

BAB III
PENUTUP

A. SIMPULAN
B. SARAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. Daftar Atlet Pengguna Doping. Diakses melalui www.Republika.Com


pada tanggal 9 November 2015 pada pukul 19.30 WIB.

Associated Press. Jones returns five medals from 2000 Sydney Olympics (10/9/2007),
diakses melalui www.sport espn.go.id pada tanggal 10 November 2015 pada
pukul 06.00 WIB.

Budiawan, Made. Doping Dalam Olahraga .Seminar Nasional FMIPA UNDIKSHA


III Tahun 2013. Jurusan Ilmu Keolahragaan, Fakultas Olahraga dan Kesehatan,
Universitas Pendidikan Ganesha.
Indonesia. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 Tentang
Sistem Keolahragaan Nasional.

LADI. Pedoman Anti Doping Dalam Olahraga. 2007. LADI: Jakarta.

Santoso, G., & Didik, Z. S. (2012). Ilmu Faal Olahraga. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Вам также может понравиться