Вы находитесь на странице: 1из 25

Case Report

PTERYGIUM

By :
Arif Rahman Hakim, S.Ked

Advisor :
dr. Rahmad Syuhada, Sp.M

CLINICAL WORK OF OPHTALMOLOGY


PERTAMINA BINTANG AMIN HOSPITAL
BANDAR LAMPUNG 2016
CHAPTER I
INTRODUCTION

Pterygium is a growth of conjunctival fibrovaskular degenerative and


invasive. Such as meat, it is triangular and the growth is from temporal and nasal
conjunctival direction towards the cornea in interpalpebral direction. Originally
pterygium is from the Greek word pteron which means wings. This refers to the
growth of pterygium shaped wing of the conjunctiva bulbi. Pathologic findings of
the conjunctiva, cornea Bowman layer is replaced by a network of hyaline and
elastic.
This situation is supposed to be an irritating phenomenon caused by
ultraviolet light, dry area and the environment with a lot of wind, as it is often
found in people who most of his life lives in a windy environment, full of
sunlight, dusty or sandy. Pterygium cases scattered around the world is vary
widely, depending on the geographic location, but its more common in hot and
dry climates. The factor that often affect is the area near the equator. Prevalence is
also high on the dusty and dry regions. The incidence of pterygium in Indonesia,
located in the equatorial region, ie 13.1%. The highest incidence of pterygium
occurs in patients with a lifespan of 20-49 years. Patients under the age of 15
years are rare to have pterygium. Recurrent is more common in younger age
patients compared to the older ones.
If the pterygium enlarges and extends to the area of the pupil, the lesion
should be removed surgically along with a small portion of corneal superficial
outside expansion area. The combination of conjunctival autograft and excision of
the lesion shown to reduce the risk of recurrence.

2
CHAPTER II
CASE REPORT

I. IDENTITY
Name : Tn. R
Gender : Male
Age : 57 years
Address : Baturaja Suka Banjar
Occupation : Civil Cervant

II. ANAMNESIS
Day/Date : Tuesday, 15 November 2016
Main complain : Blurred vision
Medical History :
A patient presents with blurred vision in the left eye since a month ago.
The patient says blurred vision increasingly becomes heavy, especially in the left
eye. Lately, the patient also feels in his left eye like a lump and it looks like there
is a white membrane that grows in the left eye. Dizziness (-), pain in the eye (-),
red eye (-), itchy eyes (-), eyes gunk (-)
Past Medical History :
Nothing
Family Medical History :
Having no same disease in his family.

Allergic History :

3
Allergy of medicine and food denied.

III. PHYSICAL EXAMINATION


General Condition : Good
Consciousness : Compos Mentis
Present Status : Pulse : 136x/minute
Respiratory : 28x/minute
Temperature : 37C
Generalist Status : Within normal limits

Ophthalmological Status

4
OD Eye examination OS
20/30 vision 2/60
Not done Correction Not done
Within normal limit bulbus oculi Within normal limit
(-) Paresis / Paralisis (-)
Hiperemi (-), Edema (-), Hiperemi (-), Edema (-),
entropion (-), ektropion Palpebra Superior entropion (-), ektropion
(-), lump (-) (-), lump (-)
Hiperemi (-), Edema (-), Hiperemi (-), Edema (-),
entropion (-), ektropion Palpebra Inferior entropion (-), ektropion
(-), lump (-) (-), lump (-)
Lacrimation N Aparatus lakrimalis Lacrimation N
Within normal limit Konj. Tarsalis Within normal limit
Kemosis(-), hiperemis Kemosis(-), hiperemis
konjungtiva(-),hiperemis Konj. Bulbi konjungtiva(-),hiperemis
silier(-)pterygium(-) silier(-),pterygium(+)
Within normal limit Konj. Fornices Within normal limit
white Sclera white

5
clear Cornea clear
Anterior Oculi
Camera
Coklat, rugae (+) Iris Coklat, rugae (+)
Reflex (+) Pupil Reflex (+)
clear Lense clear
Not done Tonometry Not done
IV. RESUME
A patient presents with blurred vision in the left eye since a month
ago. The patient says blurred vision increasingly becomes heavy, especially in the
left eye. Lately, the patient also feels in his left eye like a lump and it looks like
there is a white membrane that grows in the left eye. From a general physical
examination found no abnormalities and the ophthalmological examination found
only disorders on the conjunctiva Bulbi, it is found pterygium or fibrovaskular
network (+)
V. CLINICAL DIAGNOSIS
Pterigium

VI. APPEAL DIAGNOSIS


Pinguekula
Pseudopterigium

VII. MANAGEMENT
1. Ekstirpasi pterigium dengan lokal anastesi anastesi

2. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungcionam : dubia ad bonam

6
BAB III
DISKUSI

7
1. Anatomi
1.1. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak
mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh sel
goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera
dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak

Gambar 1. Anatomi mata


1.2. Kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan transparan
dan avaskular. Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan korena adalah letak
epitel kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen yang tertata sangat

8
rapi dan padat, kadar air yang konstan, dan tidak adanya pembuluh darah. Kornea
merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan refraksi +43 dioptri. Kornea
melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan
sklera ini disebut limbus.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
a. Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
b. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke
depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal
di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
c. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
a. Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
b. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan
susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan terlihat
anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang;
terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu yang lama yang
kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea
yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan
embrio atau sesudah trauma.
4. Membrana descement

9
a. Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran
basalnya.
b. Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40m.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-
40m. endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom
dan zonula okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan.
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenarasi.
Kornea merupakan bagian mata yang tembus cahaya dan menutup bola
mata di sebelah depan. Pembiasan sinar terkuat dilakukan oleh kornea, dimana 40
dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.

10
Gambar 2. Lapisan kornea

2. Pterygium
2.1. Definisi
Pterygium adalah suatu penebalan konjungtiva bulbi yang berbentuk
segitiga, mirip daging yang menjalar ke kornea, pertumbuhan fibrovaskular
konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif .
Menurut Ivan R. Schwab dan Chandler R. Dawson (1995) dalam General
Ophthalmology, pterygium merupakan suatu pelanggaran batas suatu pinguicula
berbentuk segitiga berdaging ke kornea, umumnya di sisi nasal, secara bilateral.
Sedangkan menurut Sidharta Ilyas, Pterygium merupakan suatu pertumbuhan
fibrovaskular konjungtiva yang bersifat invasif dan degeneratif. Pertumbuhan ini
biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal maupun temporal konjungtiva
yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di
bagian sentral atau di daerah kornea. Asal kata pterygium dari bahasa Yunani,
yaitu pteron yang artinya wing atau sayap. Hal ini mengacu pada pertumbuhan
pterygium yang berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi.

11
Gambar 3. Mata dengan pterygium
2.2. Epidemiologi
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,
tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator.
Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada
lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar kurang
dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk daerah garis
lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan prevalensi dan
daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah garis lintang.
Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di lintang atas dan
peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.
Di Indonesia yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus
pterygium cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah paparan
sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen,
iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan).
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang umur 20
49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Rekuren lebih
sering terjadi pada pasien yang usia muda dibandingkan dengan pasien usia tua.
Laki-laki lebih beresiko 2 kali daripada perempuan.
2.3. Mortalitas/Morbiditas

12
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam fungsi
visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi inflamasi
sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali lebih
banyak dibandingkan wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20 tahun.
Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai prevalensi yang
tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40 tahun dilaporkan
mempunyai insidensi pterygium yang paling tinggi.
2.4. Faktor Resiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni
radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan
faktor herediter.
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah paparan
sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva
menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak lintang, lamanya
waktu di luar rumah, penggunaan kacamata dan topi juga merupakan
faktor penting.
2. Faktor genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat
keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara autosom
dominan.
3. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari

13
pterygium. Yang juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis
factor dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
2.5. Etiologi dan patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea
Etiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Karena penyakit ini lebih
sering pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap sinar ultraviolet dari matahari, daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Diduga
pelbagai faktor risiko tersebut menyebabkan terjadinya degenerasi elastis jaringan
kolagen dan proliferasi fibrovaskular. Dan progresivitasnya diduga merupakan
hasil dari kelainan lapisan Bowman kornea. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.
Teori lain menyebutkan bahwa patofisiologi pterygium ditandai dengan
degenerasi elastik kolagen dan proliferasi fibrovaskular dengan permukaan yang
menutupi epitel. Hal ini disebabkan karena struktur konjungtiva bulbi yang selalu
berhubungan dengan dunia luar dan secara intensif kontak dengan ultraviolet dan
debu sehingga sering mengalami kekeringan yang mengakibatkan terjadinya
penebalan dan pertumbuhan konjungtiva bulbi sampai menjalar ke kornea. Selain
itu, pengeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear
film menimbulkan fibroplastik baru. Tingginya insiden pterygium pada daerah
beriklim kering mendukung teori ini.
Teori terbaru pterygium menyatakan kerusakan limbal stem cell di daerah
interpalpebra akibat sinar ultraviolet. Limbal stem cell merupakan sumber
regenarasi epitel kornea dan sinar ultraviolet menjadi mutagen untuk p53 tumor
supressor gene pada limbal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth
factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan meningkatkan proses

14
kolagenase sehingga sel-sel bermigrasi dan terjadi angiogenesis. Akibatnya,
terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial
fibrovaskular. Pada jaringan subkonjungtiva terjadi perubahan degenerasi elastik
dan proliferasi jaringan vaskular di bawah epitelium yang kemudian menembus
kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran Bowman oleh
pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang sering disertai inflamasi ringan. Epitel
dapat normal, tebal, atau tipis dan kadang terjadi displasia. Pada keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada
permukaan kornea.
Pemisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan
phenotype, yaitu lapisan fibroblast mengalami proliferasi sel yang berlebihan.
Pada fibroblast pterygium menunjukkan matriks metalloproteinase, yaitu matriks
ekstraselular yang berfungsi untuk memperbaiki jaringan yang rusak,
penyembuhan luka, dan mengubah bentuk. Hal ini menjelaskan penyebab
pterygium cenderung terus tumbuh dan berinvasi ke stroma kornea sehingga
terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi.
Patofisiologi pterygium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan
proliferasi fibrovaskular, dengan permukaan yang menutupi epithelium,
Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menunjukkan
basofilia bila dicat dengan hematoksin dan eosin. Jaringan ini juga bisa dicat
dengan cat untuk jaringan elastic akan tetapi bukan jaringan elastic yang
sebenarnya, oleh karena jaringan ini tidak bisa dihancurkan oleh elastase.
Histologi, pterigium merupakan akumulasi dari jaringan degenerasi
subepitel yang basofilik dengan karakteristik keabu-abuan di pewarnaan H & E .
Berbentuk ulat atau degenerasi elastotic dengan penampilan seperti cacing
bergelombang dari jaringan yang degenerasi. Pemusnahan lapisan Bowman oleh
jaringan fibrovascular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi
mungkin acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering
menunjukkan area hiperplasia dari sel goblet.

15
Gambar 4. Histopatologi pada pterigium
2.6. Gejala Klinis
Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat simetris,
karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak dengan
sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90% terletak di daerah nasal
karena daerah nasal konjungtiva secara relatif mendapat sinar ultraviolet yang
lebih banyak dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain. Selain secara
langsung, bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak
langsung akibat pantulan dari hidung.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. Perluasan
pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu
penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva
yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. Biasanya pada bagian
nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. Deposit besi dapat dijumpai
pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium (stokers line).
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain:
Mata sering berair dan tampak merah
Merasa seperti ada benda asing
Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterygium

16
Pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan tajam penglihatan
Dapat terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan
mata.
2.7. Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar mata
(sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada permukaan
kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat merah akibat dari
iritasi dan peradangan.
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya
ke arah kantus
Apex (head), bagian atas pterygium
Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk
batas pinggir pterygium.
Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :
- Progressif pterygium : Memiliki gambaran
tebal dan vascular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterygium
- Regressif pterygium : Dengan
gambaran tipis, atrofi, sedikit vaskularisasi,
membentuk membran tetapi tidak pernah
hilang
Berbentuk segitiga yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke
kornea dan badan. Derajat pertumbuhan pterigium ditentukan berdasarkan bagian
kornea yang tertutup oleh pertumbuhan pterigium, dan dapat dibagi menjadi 4
(Gradasi klinis menurut Youngson) :
Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih
dari 2 mm melewati kornea

17
Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak melebihi
pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar
3-4 mm)
Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga
mengganggu penglihatan.
2.8. Diagnosis
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada salah satu
atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau bengkak. Kondisi ini
mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa gejala dan menyebar perlahan-
lahan, pada akhirnya menyebabkan penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari
peradangan dan iritasi. Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin
tampak lebih kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah
paparan berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visi
terpengaruh. Dengan menggunakan slitlamp diperlukan untuk memvisualisasikan
pterygium tersebut. Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium
tidak dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.
2.9. Diagnosis Banding
2.9.1. Pinguekula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan
berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura
intrapalpebra dan kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak
diindikasikan pada kelainan ini. Prevalensi dan insiden meningkat
dengan meningkatnya umur. Pingecuela sering pada iklim sedang
dan iklim tropis. Angka kejadian sama pada laki laki dan perempuan.
Paparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko pinguecula.

18
Gambar 5. Mata dengan pinguekula
2.9.2. Pseudopterigium
Pertumbuhannya mirip dengan pterygium karena membentuk sudut
miring atau Terriens marginal degeneration. Selain itu, jaringan parut
fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi pun menuju
kornea. Namun berbeda dengan pterygium, pseudopterygium
merupakan akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti
pada trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah
atau ulkus perifer kornea. Pada pseudopterigium yang tidak melekat
pada limbus kornea, maka probing dengan muscle hook dapat dengan
mudah melewati bagian bawah pseudopterigium pada limbus,
sedangkan pada pterygium tak dapat dilakukan. Pada
pseudopteyigium tidak didapat bagian head, cap dan body dan
pseudopterygium cenderung keluar dari ruang interpalpebra fissure
yang berbeda dengan true pterigium.

Gambar 6. Mata dengan pseudopterigium


2.10. Terapi
2.10.1. Konservatif

19
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat
tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7
hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak
dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau
mengalami kelainan pada kornea.
2.10.2. Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok
konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk
menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik,
mengupayakan komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan
yang rendah. Penggunaan Mitomycin C (MMC) sebaiknya hanya
pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat komplikasi dari
pemakaian MMC juga cukup berat.
2.10.2.1. Indikasi operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari
limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan
tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair
dan silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
2.10.2.2. Teknik pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di
limbus ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan,
meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang

20
digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk
perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih untuk
memisahkan ujung pterigium dari kornea yang
mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih
cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan
kornea.
2.10.2.2.1. Teknik bare sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat
kekambuhan tinggi, antara 24 persen dan 89 persen, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.
2.10.2.2.2. Teknik autograft konjungtiva
Memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2
persen dan setinggi 40 persen pada beberapa studi
prospektif. Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft,
biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal, dan
dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterygium
tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang
optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-
hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima,
manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari
grafttersebut. Lawrence W. Hirst, MBBS, dari Australia
merekomendasikan menggunakan sayatan besar untuk
eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan
sangat rendah dengan teknik ini.
2.10.2.2.3. Cangkok membran amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk
mencegah kekambuhan pterigium. Meskipun keuntungkan
dari penggunaan membran amnion ini belum
teridentifikasi, sebagian besar peneliti telah menyatakan
bahwa itu adalah membran amnion berisi faktor penting

21
untuk menghambat peradangan dan fibrosis dan
epithelialisai.Sayangnya, tingkat kekambuhan sangat
beragam pada studi yang ada, diantara 2,6 persen dan 10,7
persen untuk pterygia primer dan setinggi 37,5 persen
untuk kekambuhan pterygia. Sebuah keuntungan dari
teknik ini selama autograft konjungtiva adalah
pelestarian bulbar konjungtiva. Membran Amnion biasanya
ditempatkan di atas sklera , dengan membran basal
menghadap ke atas dan stroma menghadap ke
bawah. Beberapa studi terbaru telah menganjurkan
penggunaan lem fibrin untuk membantu cangkok membran
amnion menempel jaringan episcleral dibawahnya. Lem
fibrin juga telah digunakan dalam autografts konjungtiva.
2.10.3. Terapi tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi
ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC telah digunakan sebagai pengobatan tambahan karena
kemampuannya untuk menghambat fibroblas. Efeknya mirip dengan
iradiasi beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum
ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini digunakan: aplikasi
intraoperative MMC langsung ke sclera setelah eksisi pterygium, dan
penggunaan obat tetes mata MMC topikal setelah operasi. Beberapa
penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC hanya
intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah kekambuhan,
karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat dari
pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka
kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk

22
nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini
telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap
penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan dengan
pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5 hari,
bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1 tetes/hari
kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari, diberikan
bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1 tetes/ 3 jam
selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep antibiotik
Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.
2.11. Komplikasi
2.11.1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan
sentral berkurang
- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia
- Dry Eye sindrom
- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
2.11.2. Komplikasi post-operatif bisa sebagai berikut:
- Rekurensi
- Infeksi
- Perforasi korneosklera
- Jahitan graft terbuka hingga terjadi pembengkakkan dan
perdarahan

23
- Korneoscleral dellen
- Granuloma konjungtiva
- Epithelial inclusion cysts
- Conjungtiva scar
- Adanya jaringan parut di kornea
- Disinsersi otot rektus
Yang paling sering dari komplikasi bedah pterigium adalah kekambuhan.
Eksisi bedah memiliki angka kekambuhan yang tinggi, sekitar 50-80%.
Angka ini bisa dikurangi sekitar 5-15% dengan penggunaan autograft dari
konjungtiva atau transplant membran amnion pada saat eksisi
2.12. Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet dianjurkan
memakai kacamata pelindung sinar matahari.
2.13. Prognosis
Pterigium adalah suatu neoplasma yang benigna. Umumnya prognosis
baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi operasi dan sitotastik tetes
mata atau beta radiasi.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian besar pasien
dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien dengan rekuren
pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan conjungtiva autograft atau
transplantasi membran amnion. Umumnya rekurensi terjadi pada 3-6 bulan
pertama setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat keluarga
atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kacamata
sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar matahari.

DAFTAR PUSTAKA

24
1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :
http://www.aao.org/aao/publications /eyenet /201011/ pearls.cfm?. 2014
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.
hal:2-6, 116 117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian
Ilmu Penyakit Mata FK UGM. 2007
4. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh
dari :http://emedicine.medscape.com/ article/ 1192527-overview. 2014
5. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asburs General Ophthalmology 17th
edition. Philadelpia : McGrawHill. 2007
6. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New
York : Thieme. 2000
7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.
Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.
8. Miller SJH. Parsons Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill
Livingstone ; 1996. p.142

25

Вам также может понравиться