Вы находитесь на странице: 1из 22

113

BAB III

PENEGAKKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA HAK KEKAYAAN

INTELEKTUAL PADA PRODUK FARMASI DI INDONESIA

3.1. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA

Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak disebut-sebut kata

konsumen. Kendati demikian, secara implisit dapat ditarik beberapa pasal yang

memberikan perlindungan hukum bagi konsumen obat-obatan palsu ini.

Ketentuan pidana yang dapat dikaitkan dengan akibat hukum peredaran obat

palsu dapat tersirat dalam ketentuan-ketentuan Kitab Undang- undang Hukum

Pidana berikut ini:

1 Pasal 204 Pidana

a. Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-

bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau

kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan,

diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.


b. Jika perbuatan mengakibatkan matinya manusia, yang bersalah

dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama

waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

113
114

2 Pasal 205 Pidana

a. Barang siapa karena salahnya menyebabkan barang yang berbahaya

bagi jiwa atau kesehatan orang, terjual, diterimakan atau dibagi-bagikan,

sedangkan si pembeli atau memperoleh atau yang memperoleh tidak

mengetahui akan sifatnya yang berbahaya itu, dihukum penjara selama-

lamanya 9 bulan atau kurungan selama-lamanya 6 bulan, atau denda

sebanyak-banyaknya empat ribu rupiah.


b. Kalau ada orang mati lantaran itu, maka si tersalah dihukum penjara

selama-lamanya satu tahun empat bulan atau kurungan selama-lamanya

satu tahun.

3 Pasal 386 Pidana

a. Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan,

minuman atau obat-obatan, yang diketahuinya bahwa itu dipalsu, dan

menyembunyikan hal itu, diancamdengan pidana penjara paling lama

empat tahun.
b. Bahan makanan, minuman atau obat-obatan itu dipalsu, jika nilainya atau

faedahnya menjadi kurang karena sudah dicampurdengan sesuatu bahan

lain.

4 Pasal 393 Pidana

a. Barangsiapa memasukkan ke Indonesia tanpa tujuan terang untuk

dikeluarkan lagi dari Indonesia, menjual, menawarkan, menyerahkan,

membagikan atau mempunyai persediaan utuk dijual atau dibagi-bagikan,

barang-barang yang diketahui atau dengan sepatutnya harus diduga,

bahwa pada barangnya itu sendiri atau pada bungkusannya, dipakaikan


115

secara palsu nama, firma atau merek yang menjadi hak orang lain atau

untuk menyatakan asalnya barang, nama sebuah tempat tertentu dengan

ditambahkan nama firma yang khayal, ataupun, bahwa pada barangnya

sendiri atau pada bungkusnya ditirukan nama, firma atau merek yang

demikian sekalipun dengan sedikit perubahan, diancam dengan pidana

penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak

enam ratus
b. Jika pada waktu melakukan kejahatan belum lewat lima tahun sejak

adanya pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu

juga, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

3.2. UNDANG-UNDANG NO 8 TAHUN 1999

Selain itu Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen dan Undang-undang Nomor 2001 tentang Paten juga dapat dikaitkan

dengan akibat hukum dalam peredaran obat-obatan palsu. Pada undang-undang

Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dapatdiketahui antara lain

dalam ketentuan pasal 60-63 :

a. Pasal 60 UU no 8 tahun 1999:


1 Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan

sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal

19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
2 Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak

Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).


3 Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-

undangan.
4 Pasal 61 UU Nomor 8 tahun 1999:
116

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau

pengurusnya.

5 Pasal 62 UU No. 8 tahun 1999 :


b Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1)

huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) , dan Pasal 18 dipidana dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling

banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

c Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal

11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d

dan huruf fdipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau

pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

d Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap

atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

e Pasal 63 UU No 8 tahun 1999:

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat

dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :

1 Perampasan barang tertentu;

2 Pengumuman keputusan hakim;

3 Pembayaran ganti rugi;


117

4 Perintah pemberhentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya

kerugian konsumen;

5 Kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau

6 Pencabutan izin usaha.

3.3. UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 2001

Sedangkan pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten

masalah obat-obatan palsu ini dapat terlihat diantaranya diatur dalam Pasal 130,

Pasal 131, dan Pasal 134.

a. Pasal 130 UU No. 14 tahun 2001:


Barang siapa dengan sengaja tanpa hak melanggar hak Pemegang

Paten Sederhana dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4

(empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus

ribu rupiah).
b. Pasal 131 UU No. 14 tahun 2001 :
Barang siapa dengan sengaja tanpa hak melanggar hak Pemegang

Paten Sederhana dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2

(dua) tahun dan/atau denda Rp. 250.000.000 (dua ratus ribu rupiah).
c. Pasal 134 UU No. 14 tahun 2001:
Dalam hal terbukti adanya pelanggaran Paten, hakim dapat

memerintahkan agar barang-barang pelanggaran Paten tersebut disita

oleh Negara untuk dimusnahkan.

3.4 Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM).


118

Departemen Kesehatan berencana memberikan sanksi kepada

profesional farmasi yang diketahui melakukan pelanggaran dengan melakukan

aktivitas di pasar perdangangan obat gelap.Hal itu dikemukakan Kepala BPOM

disela-sela Rakernas Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) di Semarang.

Menurutnya saat ini pihaknya tengah mengkaji sistem penerapan sanksi profesi

itu dengan sejumlah asosiasi farmasi seperti GP Farmasi dan ISFI. Hal itu

dilakukan karena banyak temuan panel apotek dalam pasar gelap obat-obatan

yang melibatkan distributor dan produsen ilegal.

Sejumlah toko obat disinyalir melakukan praktek operasional tersembunyi,

seperti yang dilakukan pedagang bernama SN (38). Ia membuka toko obat pada

petak berukuran 1 x 1,5 meter, dikawasan pasar 16 Ilir.

SN, memasang kotak obat mulai dari jenis bebas hingga obat daftar G yang

ditata sedemikian rupa. Ketika konsumen meminta salah satu obat dari yang

dipasang , SN biasanya mengatakan, stok sudah habis.Informasi awal dari

sejumlah teman dekatnya menyebut, SN yang perantauan asal Jakarta,

memasok Ponstan palsu ke apotek, toko obat, warung maupun pedagang lapak

(kaki lima) di Pasar 16 Ilir maupun daerah lain di provinsi Sumsel.

Pada tanggal 4 Januari 2007, ribuan butir obat ilegal (tanpa nomor registrasi),

kadarluasa, dan daftar G diamankan jajaran Direktorat Narkoba Polda Sumsel

dari lima lapak milik sejumlah pedagang di Pasar 16. Dua tersangkanya, Arwai

(30), warga Jl. KH Anwar Mangku, Plaju Palembang, dan Roh (55), warga

Tembok Baru, Plaju Palembang, telah dilimpahlan ke kejaksaan. Mereka

dinyatakan melanggar UU Kesehatan No. 36 tahun 2009, pasal 82 karena

menjual obat tanpa izin.


119

Selanjutnya dikemukakan ibu Endah Yulia, Apt bahwa Ketua Ikatan Pengusaha

Apotek Palembang (IPAP), H. Affandi Uji, SE mengatakan, untuk meminimalisir

peredaran obat palsu, kedepan perlu Peraturan Daerah (Perda) pembatasan

jenis obat yang boleh beredar,yakni generik dan original (obat yang melalui riset

oleh perusahaan asing). Ia menambahkan keberadaan perda dapat mendorong

persaingan bisnis yang sehat antar sesama pengusaha apotek. Pengusaha

apotek nakal yang biasa menjual obat dengan harga sangat murah karena

membeli dari black market dan impor akan tersingkir dengan sendirinya, selain

itu perda juga dapat menjadi kekuatan hukum yang dapat membantu

rakyat.Kasus yang pernah terjadi yaitu dapat ditemukan berupa sejumlah obat

yang beredar di Pasar 16 Ilir Palembang terbuat dari sagu.Oleh Ketua Yayasan

Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sumsel, RM Taufik Husni MM, temuan ini

sudah dilaporkan ke BPOM, Dinkes maupun Pemerintah Provinsi Sumsel, tetapi

belum ada tindak lanjut sampai sekarang.

Dalam PP nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Obat Farmasi dan Alat

Kesehatan, para pelanggar atau kegiatan pemalsuan obat akan dikenakan

sanksi pidana maksimal 15 tahun, dan denda berupa uang sebesar tiga ratus

juta rupiah. Namun, dalam kenyataannya sanksitersebut belum maksimal

diterapkan. BPOM memang hanya melakukan pemberkasan, tahap selanjutnya

diserahkan kepada pihak pengadilan (hakim). Tetapi sanksi dikenakan masih

jauh dari peraturan tersebut. Ini dapat membuat pelanggar menjadi tidak jera.

Tindak pidana pemalsuan obat telah diatur dalam beberapa peraturan

perundang-undangan di Indonesia yaitu dalam KUHP, Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 Tentang kesehatan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen. Ada perbedaan mengenai pertanggung


120

jawaban pidana yang diatur dalam KUHP dengan Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen. Perbedaan ini terletak pada subyek tindak

pidana yang akan dikenai pertanggung jawaban pidana,

Dalam KUHP subyek tindak pidana berupa orang atau person (subyek

hukum pidana). sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999

Tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen subyek tindak pidana terdiri dari Naturlije Persoon, yaitu

individu atau manusia pribadi, dan Redhtpersoon yaitu badan hukum atau

korporasi. Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan pemidanaan pelaku

tindak pidana di maksudkan untuk menentukan apakah seseorang dapat

dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi.Kemampuan

bertanggungjawab melekat padadiri pelaku atau subjek tindak pidana.Menurut

KUHP pelaku yang dapat dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana

pemalsuan obat adalah orang atau pribadi (persoon).Subjek tindak pidana orang

atau pribadi (persoon) adalah orang yang secara tunggal perbuatannya sudah

memenuhi rumusan tindak pidana pemalsuan obat, yang disebut dengan

pembuat tunggal.

3.5 Untuk dapat dikatakan sebagai pembuat tunggal atau Dader ada kriteria-

kreterianya antara lain :

a. Dalam melakukan tindak pidana pemalsuan obat disini tidak ada

keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis, sehingga dalam

proses menjual, menawarkan atau menyerahkan obat palsu tidak dibantu

oleh siapapun, hanya dikerjakan seorang diri saja;


121

b. Dalam melakukan tindak pidana telah memenuhi seluruh unsur tindak

pidana pemalsuan obat yang dirumuskan dalam KUHP, yaitu memenuhi

unsur tindak pidana pemalsuan obat sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 386 Ayat 1 KUHP Barangsiapa menjual, menawarkan atau

menyerahkan barang makanan, minuman atau obat-obatan, yang

diketahuinya bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu,

diancamdengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Dalam KUHP masih mengakui subjek tindak pidana adalah orang, bukan

badan hukum, sekalipun ada pendapat bahwa pertanggungjawaban korporasi

dapat merujuk pada Pasal 59, yang berbunyi Dalam hal-hal dimana karena

pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus atau komisaris-komisaris,

maka pengurus, anggota badan atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur

melakukan pelanggaran tidak dipidana. Hal ini dapat dilihat dari rumusan tindak

pidana yang memakai kata barangsiapa, serta jenis-jenis hukuman yang

diancamkan kepada pelaku seperti pidana penjara, pidana denda atau pidana

kurungan hanya dapat dilaksanakan oleh manusia.

Menurut Oemar Seno Adjie, dengan merujuk ketentuan pasal 59 KUHP,

tindak pidana tetap dilakukan oleh orang.Namun menurut hukum pidana

ekonomi, hukum fiscal, dan hukum pidana politik mulai meninggalkan pandangan

ini. Dalam mencermati Pasal 59 telah terjadi perkembangan dalam dokrin hukum

pidana, yaitu : Hanya orang (pribadi kodrati) yang dapat melakukan tindak pidana

dan dimintai pertanggungjawaban;


122

1 Orang dan/atau korporasi dapat melakukan tindak pidana; dalam

hal korporasi sebagai pelakunya, maka penguruslah yang dimintai

pertanggungjawaban pidana:
2 Orang dan/atau korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban

atas tindak pidana yang dilakukannya.

Pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana pemalsuan obat yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun2009 Tentang Kesehatan

mengenal tentang penggolongan pelaku, antara lain :

1 Koorporasi

Korporasi sebagai subjek tindak pidana adalah sesuatu yang relevan

untuk saat ini, mengingat bahwa sebagian besar produsen obat palsu

dilakukanoleh pelaku usaha dengan perusahaan-perusahaan skala besar (bid

business), dan perlu ada payung hukum yang secara tegas mengatur sanksi

pidana begi pelaku korporasi. Dalam Undang-Undang Kesehatan yang terdahulu

yaitu Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 Tahun 1992 tidak diatur secara

eksplisit mengenai tindak pidana korporasi, namun untuk saat ini sudah secara

jelas dalam Undang-Undang Kesehatan yang sekarang. Subjek tindak pidana

korporasi dapat ditemukan dalam Pasal 201 Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2009 Tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa : Dalam hal tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal

196, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain

pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan

terhadap korporasi berupa pidana dengan dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari

pidana dengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191,
123

Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 Selain pidana denda

sebagaimana dimaksud padaketentuan pasal 200 ayat (1), korporasi dapat

dijatuhi pidana tambahan berupa :

1. Pencabutan izin usaha dan/atau

2. Pencabutan status badan hukum.

Dengan demikian dari ketentuanPasal 201 UU No 36 tahun 2009dapat

dilihat bahwa subjek tindak pidana pemalsuan obat bukan hanya orang atau

pribadi dapat juga berupa korporasi. Pertanggungjawaban pidana yang

dikenakan pada korporasi lebih berat yang dibanding bila dilakukan oleh pelaku

pribadi manusia. Dalam pasal 201 juga dapat dilihat adanya penggunaan asas

vicarious liability, bahwa seseorang dimungkinkan bertanggungjawab atas

perbuatan orang lain. Dalam hal korporasi melakukan tindak pidana pemalsuan

obat berarti pertanggungjawaban pidana dikenakan pada pengurus korporasi

tersebut, selain itu korporasi juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana

berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum

korporasi.

Selanjutnya sama seperti pada pertanggungjawaban pidana yang diatur

dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dimana

penggolongan subjek tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen terdiri dari orang pribadi dan korporasi.

Korporasi sebagai subjek tindak pidana diatur di luar KUHP, salah satunya dapat

dilihat dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yaitu Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan


124

atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah

hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui

perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Dalam penjelasan Pasal 1 butir 3 yang yang termasuk dalam pengertian Pelaku

usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang,

distributor dan lain-lain

Pertanggungjawaban korporasi dalam perlindungan konsumen dikenakan

kepada pengurus korporasi, dimana hal ini dapat dilihat melalui Pasal 61

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau

pengurusnya. Pertanggungjawaban pidana yang dikenakan pada pengurus

korporasi berupa pidana penjara dan pidana denda (Pasal 62 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen) dan untuk korporasinya

dikenakan pidana tambahan yang berupa sanksi administrasi antara lain berupa

penarikan penarikan produk, pembayaran ganti rugi, atau pencabutan izin usaha

(Pasal 63 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen). Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa berdasarkan KUHP,

Undang-Undang No.36 Tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen diatur mengenai subjek tindak

pidana adalah orang sebagai pelaku tunggal, serta dalam Undang-Undang

Nomor 36 Tentang Kesehatan dan Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen juga diakui mengenai korporasi sebagai subjek tindak

pidana.
125

Selain dari pelaku orang tunggal dan korporasi masih terdapat

penggolongan pelaku, yaitu pelaku penyertaan (pelaku lebih dari 1

orang).Penyertaan terjadi apabila terdapat Pelaku yang lebih dari 1 orang yang

dalam melakukan tindak pidana pemalsuan obat melibatkan lebih dari satu

orang.Pelaku tindak pidana pemalsuan obat dapat dimungkinkan berbentuk

pelaku tunggal, meskipun pada kenyataannya tindak pidana pemalsuan obat sulit

dilakukan jika seseorang diri. Dalam melakukan tindak pidana pemalsuan obat

paling tidak membutuhkan bantuan orang lain atau kerjasama dari orang lain

untuk memudahkan produksi ataupun pendistribusian obat palsu tersebut.

Umpamanya dalam hal untuk dapat membuat obat yang mirip dengan obat yang

memiliki izin edar, dibutuhkan seseorang yang ahli dalam mendesain kemasan

obat agar tampak seperti aslinya atau juga dibutuhkan orang-orang yang mau

mendistribusikan obat yang telah diketahui palsu agar orang yang membantu

mendistribusikan tersebut mendapat keuntungan yang lebih besar.

Mengenai pertanggungajawaban pidananya dibebaskan dalam dua

golongan yang pertanggungjawaban bagi pelaku utama atau pembuat dan

pertanggungjawaban pidana bagi pembantu atau orang yang membantu dalam

mewujudkan tindak pidana pemalsuan obat.tersebut.

3.6 Pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan dibedakan dalam lima

golongan, yaitu :

1 Orang yang melakukan

Pleger adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi

rumusan tindak pidana pemalsuan obat.Perbedaan antara Pembuat (Dader)


126

dengan Pelaku (Pleger) masih diperlukan ketertiban minimal seorang yang

lainnya, baik secara fisik atau psikis. Jadi untuk seorang Pleger diperlukan

sumbangan dari peserta lain dalam melakukan tindak pidana pemalsuan obat.

Pertanggungjawaban pidana bagi pelaku (Pleger) sama dengan pelaku tunggal

(dader), diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) butir ke-1 mereka yang melakukan.

2 Orang yang menyuruh lakukan

Dalam melakukan tindak pidana pemalsuan obat dimungkinkan

seseorang tidak secara langsung melakukan sendiri dalam mewejudkan tindak

pidana, jadi orang tersebut (manus domina) menggunakan orang lain (manus

ministra) dalam mewujudkan tindak pidana pemalsuan obat, orang yang disuruh

tersebut hanyalah sebagai alat. Pertanggungjawaban pidana bagi orang yang

menyuruh lakukan tetap sama dengan pelaku (Dader), diatur dalam pasal 55

ayat (1) butir ke-1 yang menyuruh lakukan.Orang yang menyuruh lakukan

adalah orang yang melakukan tindak pidana pemalsuan obat dengan

perantaraan orang lain, sedangkan peraturan itu hanya merupakan suatu alat,

dan alat yang dipakai tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam hal tindak pidana pemalsuan obat maka sangat kecil kemungkinan

terjadi bentuk penyertaan menyuruh lakukan karena tidaklah mungkin seseorang

menyuruh orang lain yang masih dibawah umur atau terganggu jiwanya untuk

membantu dalam memproduksi atau mengedarkan obat palsu tersebut.

3 Orang yang turut serta (Mede pleger) adalah orang yang sengaja turut berbuat

atau turut mengerjakan terjadinya tindak pidana pemalsuan obat.Jadi dalam

mewujudkan tindak pidana pemalsuan obat perannya sama-sama sebagai


127

pelaku tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai

perbuatannya. Misalnya seseorang memproduksi obat palsu dan orang lain turut

serta menggandakan atau memperbanyak obat palsu tersebut dengan penuh

kesadaran bahwa telah melakukan tindak pidana pemalsuan obat.

Pertanggungjawaban pidana sama dengan pelaku (Pleger) karena secara

bersama-sama mewujudkan tindak pidana pemalsuan obat, dan mengenai

pertanggungjawaban diatur dalam Pasal 55 Ayat (1) butir ke-1 mereka yang turut

serta melakukan perbuatan.

Menurut Pompe, turut mengerjakan terjadinnya sesuatu tindak pidana ada 3

(tiga) kemungkinan : Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam

rumusan tindak pidana.

a. Salah seorang memenuhin semua unsur tindak pidana, sedang yang lain

tidak.
b. Tindak seorang pun memenuhi unsur tindak pidana seluruhnya tetapi

mereka bersama-sama mewujudkan tindak pidana tersebut.

4 Penganjur Penganjur dalam tindak pidana pemalsuan obat adalah orang yang

menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana pemalsuan obat

dengan menggunakan sama-sama yangditentukan oleh Undang-Undang.

Misalnya dengan adanya orang yang membujuk orang lain untuk

menyalahgunakan keahlian di bidang farmasi untuk memproduksi, sedangkan

orang yang dianjurkan tersebut tidak memiliki kewenangan untuk melakukan

praktek kefarmasian.

Pertanggungjawaban pidananya hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan

sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya diatur dalam Pasal 55 Ayat


128

(2), sedangkan sarana-sarana yang ditentukan oleh Undang-Undang yaitu

berdasarkan pasal 55 ayat (1) ke-2 KUHP yang berbunyi Mereka yang dengan

memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau

martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesuaian, atau dengan

memberikan kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang

lain supaya melakukan perbuatan.

Hampir sama dengan Menyuruh lakukan (Doen Pleger) pada Penganjuran

(Uitlokking) ini ada usaha untuk menggerakan orang lain sebagaipembuat

materiil. Perbedaannya pada Menyuruh lakukan (Doen Pleger) dengan

Penganjuran (Uitlokking) adalah Menyuruh lakukan sarana untuk menggerakkan

tidak tentukan (tidak limitatif) dan pembuat materiil tidak dapat

dipertanggungjawabkan.Sedangkan pada Penganjuran sarana untuk

menggerakan sudah ditentukan (limitatif) dan pembuat materiilnya dapat

dipertanggungjawaban.

5 Orang yang membantu perbuatan atau pembuat pembantu

Orang yang membantu perbuatan adalah orang yang secara sadar dan

sengaja memberikan bantuak pada tindak pidana pemalsuan obat. Misalnya

dalam hal tindak pidana pemalsuan obat pembantuan dapat dilakukan antara lain

dengan memberikan keterangan mengenai cara-cara memalsukan obat,

memberikan pinjaman tempat untuk melakukan produksi obat palsu. Orang yang

disebut dengan pembuat pembantu adalah orang yang membantu pelaku

(Pleger) dalam mewujudkan tindak pidana pemalsuan obat, terdiri dari :


129

1 Membantu pada saat tindak pidana pemalsuan obat dilakukan, yaitu memberikan

bantuan pada saat obat palsu tersebut dijual, ditawarkan atau diserahhkan

kepada pembeli, serta ikut menyembunyikan kebenaran tentang ketidakaslian

obat tersebut.

2 Membantu sebelum tindak pidana pemalsuan obat dilakukan dengan cara

memberikan kesempatan sarana atau keterangan.

Pembuat pembantu diatur dalam pasal 56 KUHP, yang berbunyi :

Dipidana sebagai pembantu suatu kejahatan :

1 mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2 mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.

Pertanggungjawaban pidana pembuat pembantu adalah maksimum

pidana pokok pada dikurangi sepertiga, dan yang diperhitungkan dalam

menentukan pidananya atau diperlancar beserta akibat-akibatnya.Mengenai

pertanggungjawaban pidana pembuat diatur dalam Pasal 57 Ayat (1) KUHP

Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi

sepertiga.

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) memberikan solusi

untuk mencegah terjadinya tindak pidana obat-obat palsu ini, antara lain:

1 Memberikan hak kepada setiap apoteker di apotek untuk

memberikan alternatif obat pengganti yang berkualitas dan mutu

sama kepada pasien yang merasa tidak mampu menebus


130

resepnya. Dalam upaya itu, BPOM mewajibkan seluruh apotek

memiliki apoteker. Apotek yang tidak bersedia menyediakan

apoteker akan disegel. Penertiban itu akan dilaksanakan selama

tiga bulan ke depan dan efektif mulai pertengahan Juni 2007. Hal

itu ditegaskan oleh Kepala BPOM kepada wartawan.


2 Menarik obat yang dicampuri bahan kimia atau obat keras yang

dapat menimbulkan kerugian bagi si peminumnya dari peredaran.


3 Membuat Pusat Informasi Obat dan Makananan (PIOM) Badan

POM.
4 Menindak tegas pelaku tindak pidana obat-obatan palsu ini, baik

pembuat dan pengedar atau penjualnya.


5 Bekerjasama dengan instansi terkait dalam hal ini Pemda untuk

melakukan tinjauan kemanfaatan lokasi ditempat yang diduga

sebagai tempat jual beli obat-obatan palsu.


6 Melakukan pengujian laboratorium terhadap obat-obatan yang

diduga palsu.
7 Pemberdayaan masyarakat agar jangan membeli obat di tempat-

tempat illegal atau jalur tidak resmi peredaran obat.

Akan tetapi BPOM mengalami kendala teknis dalam memberantas peredaran

obat palsu, karena keberadaan toko obat mendapat izin operasi dari Pemda.

YLKI menghimbau agar konsumen tidak membeli obat di tempat yang tidak

semestinya, seperti di kios-kios dipingir jalan. Konsumen juga wajib berhati-hati

terhadap obat-obatan illegal yang tidak di registrasi atau tidak terdaftar, juga

terhadap obat yang sudah kadaluarsa tapi masih diperjual belikan. Kesemuanya

ini menuntut agar asyarakat bisa lebih waspada. Konsumen juga wajib

memperhatikan ciri-ciri obat palsu. Beberapa tanda obat palsu adalah dilihat dari

nomor obat yang tidak terdaftar dan substandar yang mencakup dosis dan

komposisi obat. Jangan mengkonsumsi obat asing yang pada kemasannnya


131

tidak mencantumkan nomor registrasi ,yang diikuti angka 9 digit, karena jamu

tersebut berarti belum dievaluasi mutu dan keamanannya. Salah satu penyebab

mahalnya harga obat di Indonesia adalah karena bahan bakunya masih impor.

Sesuai peraturan Perundang-undangan yang berlaku, secara hukum

produsen bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang dihasilkan.

Produsen harus memiliki sistem pengawasan mutu yang dapat mengontrol dan

mendeteksi mutu produknya sejak awal proses sampai produk tersebut beredar

di masyarakat. Dalam hal ini, industri farmasi dipandang penting menerapkan

cara pembuatan obat yang baik. Selain itu, adalah kewajiban dari Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), untuk melakukan pengawasan dan

menyelesaikan masalah obat palsu. Selama ini BPOM hanya banyak

mengeluarkan peraturan, tetapi kurang melakukan implementasi dan tindak

lanjut terhadap aturan tersebut, dengan maraknya obat palsu, BPOM belum

berfungsi efektif sesuai dengan namanya sebagai badan pengawas.Namun,

masyarakat tidak perlu terlalu resah atau panik dengan adanya obat palsu yang

beredar bebas. Obat palsu yang beredar hanya satu persen (1%) dari obat palsu.

Itupun peredarannya biasanya hanya dijalur illegal, bukan melalui apotek. BPOM

sendiri mengakui, tidak bisa bergerak sendiri untuk mencegah peredaran obat

palsu. Harus ada kerjasama dengan instansi terkait, misalnya : beacukai,

kepolisian, dan kejaksaan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berkaitan dengan

peredaran obat- obat palsu yang merupakan obat- obat yang illegal sudah ada

ketentuan hukum yang mengatur diantaranya diatur didalam KUHP Pasal 386

Ayat (1) dan (2), Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang merek yang
132

dinyatakan dalam ketentuan pasal 90-95, dan Undang-undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen. Tetapi kenyataannya dalam pelaksanaan

hukum di Indonesia yang berkaitan dengan peredaran obat palsu ini umumnya

yang sering diterapkan hanya mengarah kepada Undang-Undang Perlindungan

Konsumen saja. Secara hukum yang bertanggung jawab atas peredaran obat-

obat illegal dapat ditujukan kepada orang perorangan maupun korporasi.

Selain dapat dikenakan pidana pokok juga dapat dikenakan pidana tambahan

yang berupa sanksi administrasi antara lain berupa penarikan penarikan produk,

pembayaran ganti rugi, atau pencabutan izin usaha. Secara hukum produsen

bertanggung jawab atas mutu dan keamanan produk yang kenyataannya

sanksitersebut belum maksimal diterapkan. BPOM memang hanya melakukan

pemberkasan, tahap selanjutnya diserahkan kepada pihak pengadilan (hakim).

Tetapi sanksi dikenakan masih jauh dari peraturan tersebut. Ini dapat membuat

pelanggar kembali atau berulang. Untuk meminimalisir peredaran obat palsu,

kedepan perlu Peraturan Daerah (Perda) pembatasan jenis obat yang boleh

beredar dan yang lebih penting konsumen harus lebih berhati- hati dalam

membeli obat misalnya konsumen tidak membeli obat di tempat yang tidak

semestinya.
114

Jadi yang dilindungi dalam kerangka hak kekayaan intelektual adalah

haknya, bukan jelmaan dari hak tersebut. Jelmaan dari hak tersebut dilindungi

oleh hukum benda dalam kategori benda materil (benda berwujud).

Jadi dengan hal tersebut di atas dapatlah dilihat bahwa pengertian dari

Intellectual Property Right tersebut adalah hak milik kekayaan intelektual

sebagai suatu benda tidak berwujud tetapi hak nya dapat dimiliki oleh

seseorang dan oleh hukum diberikan perlindungan.

Membicarakan perlindungan hak milik intelektual ini merupakan hak

milik yang bersifat immaterial yang merupakan hak benda. Yang dimaksud

dengan hak kebendaan ialah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak itu

memberikan kekuasan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan

terhadap siapapun juga Jika kita lihat hak milik intelektual sebagai suatu hak

kebendaan yang Immaterial maka kita akan teringat kepada hak milik. Hak milik ini

menjamin kepada pemilik untuk menikmati dengan bebas dan boleh pula

melakukan tindakan hukum dengan bebas terhadap miliknya itu. Pengakuan yang

demikian berlaku juga terhadap hak milik intelektual sebagai hak milik

immaterial. Terhadap hak milik intelektual si pemilik atau si pemegang hak

dapat mengalihkan untuk seluruhnya atau sebagian kepada orang lain.

Hal ini membuktikan bahwa hak milik intelektual itu merupakan hak

yang dapat dimiliki dan oleh karenanya berlaku syarat-syarat pemilikan, baik

mengenai cara penggunaannya maupun cara pengalihan haknya. Kesemua itu

undang-undang akan memberikan perlindungan sesuai dengan sifat hak

tersebut. Dapat pula disimpulkan, bahwa perlindungan yang diberikan oleh

undang-undang terhadap hak milik intelektual misalnya dalam hal hak cipta

adalah untuk menstimulir aktivitas para pencipta agar terus mencipta atau lebih

kreatif. Penemuan-penemuan ciptaan baru itu harus didukung dan dilindungi

oleh hukum. Hal ini telah ditentukan oleh undang-undang dengan

menempatkan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hak cipta


115

Perlindungan hak milik intelektual yang dalam hal ini kita ambil

contohnya hak cipta, Undang-Undang Hak Cipta tahun 1982 menempatkan

terhadap pelanggar hak cipta sebagai suatu delik aduan yang dengan keluarnya

Undang-Undang hak Cipta No. 7 Tahun 1987, delik aduan tersebut diubah

menjadi delik biasa dimana untuk menjamin perlindungan yang lebih utuh

sekarang. Perubahan sifat delik ini adalah merupakan kesepakatan pemerintah

dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyebabkan suatu

pelanggaran bisa diperkarakan ke pengadilan secara cepat dan tidak perlu

menunggu pengaduan terlebih dahulu dari pemegang hak cipta.

Dari uraian-uraian di atas dapat dipahami bahwa hak milik intelektual adalah

sebagai hak milik yang bersifat immaterial (tidak

berwujud), tetapi penguasaannya mutlak di tangan si pemilik yang mempunyai

hak tersebut. Maka dengan alasan-alasan tersebut terhadap pemilik hak milik

intelektual tersebut oleh hukum diberikan perlindungan sehingga pemilik hak

dapat menuntut apabila ia merasa dirugikan karenanya haknya diganggu.

diterjemahkan sebagai hak kepemilikan intelektual, menyangkut hak cipta

(Copyright) dan hak milik perindustrian (Industrial Property right).

Вам также может понравиться