Вы находитесь на странице: 1из 15

BAB I

PENDAHULUAN

Persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan secara struktural, berakar dari sistem

budaya patriarkis yang membuat hubungan laki-laki dan perempuan tidak setara. Hal ini

sangat nampak pada kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan dan semakin lemahnya

peran Negara untuk melindungi warganya akibat tekanan globalisasi. Dalam sector ekonomi,

Negara lebih memberikan perlindungan kepada pemilik modal daripada menjaga sumber

daya alam dan mensejahterakan perempuan. Perempuan secara sistematis telah dikondisikan

untuk tidak berpeluang memikirkan wilayah public dan mengambil keputusan yang

sebenarnya juga menentukan keberlangsungan hidupnya, serta tidak mempunyai posisi

sebagai pengambil keputusan bersama untuk sector public (Hidayah, 2011).

Menurut Vandana Shiva, dalam perjuangan menyelamatkan lingkungan, perempuan

adalah korban sekaligus tokoh penggeraknya yang langsung berhadapan dengan kelompok

penguasa (penindas). Konsep ecofeminisme Shiva yaitu menawarkan pandangan atau jalan

keluar tentang masalah kehidupan manusia dan alam di masa mendatang. Ekofeminisme

seperti dalam buku Reclaim The Earth menawarkan analisis relasi perempuan dan alam dan

bagaimana perempuan sepanjang masa telah melindungi alam (Mariana, 2005).

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara.

Terjadinya kerusakan lingkungan hidup akibat eksploitasi telah mengabaikan hak warga

negara untuk mendapatkan lingkungan yang sehat. Perempuan dan anak adalah bagian warga

Negara yang mempunyai dampak secara langsung akibat pencemaran. Perempuan yang

terganggu kesehatannya akibat lingkungan hidup yang tidak sehat akan berakibat secara tidak

langsung terhadap kesehatan anak sebagai generasi penerus bangsa (Hidayah, 2011).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Wanita sebagai buruh kerja

Peningkatan pemanfaatan lahan untuk pertanian komersial dan internasional agrobisnis

tentunya menyebabkan meningkatnya jumlah penduduk yang tidak memiliki lahan untuk

diolah, dan akibatnya semakin banyak wanita yang mencari pekerjaan sebagai buruh tani

yang dibayar. Di Amerika Latin, buruh wanita sering dipekerjakan untuk tugas buruh yang

rumit seperti memetik biji kopi, serta pemilihan dan penyortiran kacang. Wanita dikatakan

cocok dengan pekerjaan seperti itu, yang membutuhkan jari yang cekatan dan dedikasi yang

tinggi untuk tugas yang menjenuhkan dan berulang-ulang. Di India, hampir seluruh

penanaman padi dilakukan oleh wanita, yang terus bekerja tanpa henti dari pukul 10.30 pagi

hingga pukul 06.00 malam yang menurut hukum adalah upah minimum. Di negara-negara

Asia Tenggara, seperti Indonesia, wanita juga sangat aktif dalam penanaman padi. Bekerja

sebagai pemetik daun teh, penyadap getah karet atau pekerja lepas, wanita di Malaysia dan

Sri Lanka berkerja lebih dari setengah kemampuan buruh dalam penanaman, namun

menerima upah yang lebih kecil dibandingkan pekerja pria.

Pekerja penanaman wanita pada umumnya diperkerjakan dengan upah terendah, seperti

penyiangan, penyemprotan dan pemanenan. Pekerjaan ini bisa menjadi tugas yang berat dan

melelahkan, pada saat penyemprotan, dapat terkena bahaya semprotan bahan kimia. Di

Malaysia, wanita mendapatkan 63 persen dari angkatan pekerja dalam penanaman karet,

pekerjaan penyadap getah karet mulai dari pukul 06.00 am dan agar dapat menyadap jumlah
pohon yang diperlukan, rata-rata 500, dibutuhkan sebuah tangga yang wanita itu harus bawa

dari pohon ke pohon. Pekerjaan selesai pukul 02.00 siang, dan banyak dari wanita itu

melanjutkan pekerjaan di penanaman pada sore harinya.

Di bagian perkebunan teh, wanita memetik daun teh ke dalam keranjang besar yang

mereka pikul di punggung mereka. Penggambaran penanaman di Tanzania menunjukkan

kondisi kerja yang sangat tidak menyenangkan, para wanita harus memetik di bawah terik

matahari dan hujan tanpa adanya pakaian pelindung. Keranjang menjadi sangat berat dan

proses pemetikan memberikan tegangan pada otot bahu dan punggung. Para pekerja wanita

mengeluhkan adanya penyakit dan luka pada kaki mereka karena berdiri di atas lumpur, dan

terkadang di atas kotoran manusia, karena tidak adanya fasilitas sanitary di kebun tersebut.

Banyak wanita pekerja penanaman itu bersentuhan dengan cairan kimia beracun.

Kutipan berikut ini menggambarkan kegunaan dari herbisida beracun dalam penanaman di

Malaysia.

Selama 8 jam sehari para pekerja wanita itu mulai dari masa remaja hingga umur

50-an terkena cairan kimia yang sangat beracun ini. Para wanita tidak dilengkapi

dengan peralatan yang layak untuk menangani bahan kimia saat mereka

mencairkannya, bahkan tidak juga dilengkapi dengan pakaian pelindung yang

seharusnya. Wanita yang mencairkan bahan kimia tersebut kemudian diharuskan

mengangkatnya dengan bahu dalam kontainer yang diikat pada tiang yang akan

disebarkan pada penyemprot dengan titik-titik penanaman yang berbeda. Sangat

sering air dari sungai dan saluran air hujan digunakan untuk pencairan dan pencucian

container bahan kimia tersebut. Hal ini mengakibatkan kontaminasi pada sungai.

Sebagian besar para pekerja penanam wanita tersebut tidak diinformasikan

tentang bahaya dari bahan kimia yang mereka selalu gunakan. Mereka juga tidak

mengerti bahaya racun dari bahan kimia itu. Walaupun terdapat label peringatan dan
instruksi bahaya, hal ini tidak cukup dan tidak berguna karena para pekerja wanita itu

buta huruf.

Kondisi kehidupan para pekerja penanaman tersebut seringkali tidak sesuai standard.

Berdasarkan pada laporan ILO (International Labor Organization), wanita yang bekerja di

penanaman di Sri Lanka mengeluhkan kurangnya ruang dan masalah sumber air bersih.

Rata-rata 30-35 orang menggunakan 1 keran air, dalam banyak kasus seringkali

tidak ada air dan para wanita harus mengangkatnya, entah apakah karena pipanya

rusak atau dicuri. Masalah lainnya adalah kondisi sanitasi yang buruk, bau dari

jamban, lubang di dinding, atap yang bocor, dan pintu juga jendela yang rusak.

Wanita sebagai pekerja di sektor formal dan informal

Bagian ini tidak berusaha menggambarkan seluruh aspek dari pekerja wanita, tapi

memberikan contoh dari bagaimana, di negara berkembang, pekerja wanita memiliki

hubungan dengan lingkungan. Di banyak kasus, mereka dilibatkan dengan lingkungan secara

langsung, sebagai contoh, mereka menggunakan lingkungan alam untuk mendapatkan energi

dan bahan mentah, dan wanita yang bekerja dalam proyek konstruksi terlibat dalam

modifikasinya. Di sisi lain, pabrik tempat wanita bekerja dapat menyebabkan kerusakan

lingkungan dan menghasilkan produk yang berbahaya.

Pengolahan bahan pangan dan Industri Rakyat

Pengolahan bahan pangan dalam berbagai bentuk sangat meluas dan merupakan

pekerjaan alami wanita sebagai penghasil makanan. Walaupun banyak dari hasilnya adalah

untuk keluarga, tapi beberapa juga sering dijual di jalanan dan di pasar.

Di Ghana, dan banyak negara lainnya, wanita sering terlibat dalam memproduksi

minyak kelapa yang digunakan untuk memasak. Metode tradisional dengan mendidihkan
buah kelapa, kemudian mengetukkannya untuk mengekstrak minyak dan kemudian harus

dididihkan kembali agar minyaknya terpisah, telah tergantikan dengan metode yang lebih

modern menggunakan tanki penekan dan penyulingan. Para wanita menjual minyak dalam

jumlah banyak ke pasar, kebanyakan pada agent, walaupun beberapa dijual dalam jumlah

sedikit.

Contoh pengolahan makanan yang menggunakan minyak dalam jumlah yang besar dari

lingkungan yaitu pembakaran ikan. Banyak wanita membuat barang-barang dari bahan yang

mereka kumpulkan atau mereka pelihara untuk dijual di pasar lokal. Di India, beragam

produk dapat dilihat di pasar desa mingguan. Kerajinam tangan dan juga industri kecil juga

penting, bahan-bahan lokal, khususnya yang berasal dari hutan digunakan untuk membuat

produk seperti keranjang dan tikar. Wanita sebagai penghasil barang-barang rumah tangga

dilibatkan dalam pembuatan baju, furnitur kecil, alas kaki dan renda dan beedis (sejenis

cerutu).

Wanita sebagai Pengelola

Telah menjadi hal wajar bahwa banyak wanita dilibatkan dalam beberapa bentuk

managemen lingkungan. Dalam bagian ini, wanita sebagai pengelola telah dipertimbangkan

dengan acuan kepada populasi dan sumber daya alam. Wanita adalah kunci keseimbangan di

antara populasi dan lingkungan, karena mereka bisa memainkan peran vital dalam

mengontrol pertumbuhan populasi. Wanita sebagai pengelola dari sumber daya alam adalah

subjek dari bagian final bab ini. Bagian ini ditulis oleh Collete Dehlot, ahli dalam bidangnya,

yang memiliki manfaat tambahan dari pengetahuan tentang pemanfaatan sumber daya alam

wanita pribumi di negaranya sendiri, Congo.

Wanita dan Populasi


Wanita, melalui perencanaan keluarga, dapat memberikan kontribusi dalam

pengurangan laju pertambahan populasi, Dan karena tekanan populasi adalah faktor kunci

dari degradasi lingkungan, diasumsikan bahwa penurunan populasi dapat menguntungkan

lingkungan. Lebih sedikit kelahiran dapat menguntungkan wanita, memungkinkan mereka

untuk lebih efisien dalam peran mereka sebaga pengelola lingkungan.

Peran Tradisional Wanita

Dalam beberapa golongan masyarakat, status seorang wanita tergantung dari berapa

banyak anak yang dimilikinya, terutama anak laki-laki, yang cenderung lebih diperhatikan

dan lebih disukai.

Diskriminasi menentang wanita dan anak perempuan dimulai saat lahir, ketika

kelahiran anak perempuan dinilai lebih rendah dibandingkan anak laki-laki. Dari 38

negara yang diteliti oleh World Fertility Survey, 23 menunjukkan anak laki-lakinya

lebib disukai, Anak laki-laki disusui lebih lama, lebih banyak diberi protein, dan lebih

sering dibawa ke pelayanan kesehatan. Anak perempuan memulai pekerjaan rumah

sebagai wanita dari umur yang sangat muda. Seorang anak perempuan melewati masa

anak-anaknya menjadi wanita dewasa pada hari pertama siklus menstruasinya.

Seringkali dinikahkan sebelum badannya sepenuhnya terbentuk, resiko kehamilan dan

keibuan menjadi lebih besar. Mendapatkan anak dalam usia muda, terlalu sering, dan

pada umur yang telah tua, mengacaukan kesehatan dan kekuatan juataan wanita.

Wanita di negara berkembang menikah saat umur mereka masih muda. Berdasarkan

pada angka World Fertility Survey, 50% wanita Afrika menikah pada umur 18 tahun, 40%

wanita Asia, dan 30% wanita Amerika Latin. Di Bangladesh umur rata-rata bagi anak

perempuan yang menikah pada umur 11.6 tahun dan 15.7 di Sierra Leone. Dari umur yang
lebih awal ini pada wanita melakukan reproduksi secara terus menerus, kemudian

mempunyai anak dalam jumlah banyak dengan jarak umur yang dekat.

Ada beberapa alasan mengapa masyarakat menginginkan jumlah anak yang banyak;

untuk mengimbangi tingkat kematian bayi yang tinggi, untuk mempertahankan persediaan

tenaga kerja yang cukup, harapan yang tidak berhenti untuk memiliki anak laki-laki, dan,

dalam kasus keluarga berpoligami, dan yang paling penting hak istimewa dan nilai warisan

milik istri dengan anak terbanyak.

Reproduksi yang terus menerus ini dapat membayahakan kesehatan wanita dan anak

mereka. Di negara berkembang, terdapat tingkat kematian ibu yang sangat tinggi. DI negara

Afrika, satu dari 21 wanita meninggal disebabkan karena kehamilan dan melahirkan; angka

untuk negara di Asia dan Amerika Selatan adalah satu dari 38 dan satu dari 90 masing-

masingnya. Ibu termuda dan tertua memiliki resiko yang paling besar, penyebab utama dari

kematian ibu adalah pendarahan setelah melahirkan, yang paling umum terjadi pada wanita

yang telah memiliki beberapa, kehamilan dengan jarak yang dekat. Banyak wanita yang

meninggal atau terpengaruh sangat buruk karena aborsi yang tidak medis. Masalah kesehatan

lainnya adalah karena kekurangan gizi, yang pada kelahiran dengan jarak yang dekat

mengarah pada anak yang kurang sehat, dan ini menjadi salah satu faktor tingginya tingkat

kelahiran bayi.

Terpisah dari efek pada wanita itu sendiri, terdapat juga efek tidak langsung pada

lingkungan. Di mana kemampuan wanita untuk bekerja dipengaruhi oleh sakit yang

ditimbulkan saat hamil, dan begitu banyak waktu tersita untuk merawat anak-anak kecil,

lingkungan akan menjadi terlantar, karena semakin berkurangnya waktu yang tersedia untuk

merawat lahan dan mengelola sumber daya alam dengan bijak.

Wanita dan Perencanaan Keluarga


Bagi wanita, adanya metode perencanaan keluarga sangatlah penting karena metode ini

memberikan mereka kesempatan untuk memilih berapa banyak anggota keluarganya dan

mengizinkan mereka mengakses pilihan sexual yang lebih luas. Dengan memperhitungkan

populasi dunia, perencanaan keluarga penting jika target populasi ingin dicapai. Berdasarkan

pada PBB, populasi dunia pada akhir abad 20-an akan menjadi 6,25 miliar, dan pada tahun

2025 akan menjadi 8,5 miliar. Pertambahan itu bisa dihentikan pada angka 10 miliar, kira-

kira dua kali jumlah pada waktu ini, pada akhir abad 21.

Proyeksi ini cukup optimis, diasumsi bahwa kesuburan di dunia yang berkembang

secara keseluruhan akan berkurang satu hingga tiga di 30-40 tahun ke depan. Hal ini pada

gilirannya diasumsi bahwa sejumlah besar wanita di negara berkembang akan mulai

menggunakan metode Keluarga Berencana di 2 dekade selanjutnya. Untuk mengatasi

penurunan kesuburan yang diperkirakan, jumlah wanita di negara berkembang yang

melaksanakan Keluarga Berencana harus ditingkatkan menjadi 730 juta (58%) pada tahun

2000 dan menjadi 1.218 milyar (71%) (atau tingkat sekarang di negara Industri) pada tahun

2025.

Berdasarkan pada World Fertility Survey, dari survey 38 negara, 23 negara

menunjukkan bahwa lebih dari seperempat wanita lebih memilih keluarga yang lebih

kecil,dan sampai pada setengah wanita umur 40-49 tahun tidak menginginkan kehamilan

terakhir mereka.

Ada beberapa alasan mengapa wanita tidak memiliki akses ke keluarga berencana.

Salah satu kesulitan adalah akses ke klinik, pada khususnya untuk masalah waktu. Wanita

pedesaan tidak mampu berjalan dalam waktu dan jarak yang lama untuk mendapatkan

persediaan alat kontrasepsi. Bahkan biaya saat perjalanan ke klinik menjadi faktor lainnya.
PELUANG
Jika wanita memilih untuk tidak menginginkan anak, akan ada 38% pengurangan kelahiran dan 29% penurunan tingkat kematian ibu di dunia
Kematian Ibu Kelahiran

27%
AFRICA
35%

33%
ASIA
35%

35%
AMERIKA LATIN
33%

Dari 60% Negara Berkembang,


KEBUTUHAN YANG TERPENUHI separuh populasinya tidak
Wanita Afrika berkemungkinan 200 kali lebih beresiko meninggal saat melahirkan dibandingkan wanita Eropa. Tapi jutaan dari wanita Dunia Ketiga menolak Keluarga Berencana memiliki akses yang mudah untuk
melakukan Keluarga Berencana.
Di Amerika Latin, 75% wanita
AMERIKA LATIN 75%
tidak merencanakan keluarganya.
Dari gambar adalah 43% di Asia
dan 27% di Afrika.
ASIA 43% Di 10 Negara Afruka, sampai 90%
wanitanya tidak pernah mendngar
metode modern kontasepsi.
AFRICA 27%
Pengelola Sumber Daya Alam

Ada sedikit perselisihan mengenai pentingnya wanita dalam mengelola sumber daya

alam, pada khususnya di negara berkembang. Dalam banyak forum internasional,

rekomendasi dan resolusi telah diadopsi dalam keterlibatan wanita dalam setiap tingkat

bekerja untuk pengembangan yang berkelanjutan berdasarkan pemanfaatan rasional dari

sumber daya alam.

Perhatian kepada wanita dan sumber daya alam saat ini sedang berkembang, tapi

kekurangan pengetahuan tentang kedua hubungan ini tetap ada. Maksud dalam

mengidentifikasi hubungan peran wanita dan manajemen sumber daya alam sangat

bergantung pada kerangka berpikir, tujuan kebijakan dan perintah untuk bertindak.

Sumber daya alam dapat dikelompokkan menjadi 2 macam yaitu dapat diperbaharui

dan tidak dapat diperbaharui. Sumber daya alam yang dapat diperbaharui yaitu tumbuhan dan

vegetasi, manusia dan hewan. Hal ini dapat ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Sumber

daya alam yang tidak dapat diperbaharui adlah seperti air dan lahan (tanah). Dalam hal

kuantitas mereka terbatas, tapi kualitasnya dapat ditingkatkan dengan syarat bio-kondisi dan

dengan pengelolaan yang baik. Satu sumber daya alam yang jarang dibicarakan adalah waktu.

Waktu adalah faktor konstan yang dikenakan siklus lengkap dari semua sumber daya alam.

Walaupun, pada kebanyakan sumber daya alam, manipulasi genetik dapat memodifikasi

waktu dalam hal durasi; hanya waktu yang dapat mengatakan apakah manipulasi tersebut

bermanfaat atau membahayakan.

Proses Pengelolaan

Efek dari pengelolaan Sumber Daya Alam yang buruk telah banyak ditunjukkan secara

dramatis di banyak negara berkembang. Ekosistem berbeda telah dan sedang diserang secara
konstan dari berbagai sisi. Sebagai contoh, dalam sumber daya laut, ketika wanita mengolah

ikan, demi kesejahteraan keluarganya, industri perikanan menggunakan bahan peledak untuk

menangkap lebih banyak ikan sehingga menghabiskan ekosistem laut dari tingkat

keanekaragaman spesiesnya. Ketika wanita mengumpulkan kayu bakar untuk memasak atau

membuat bir rumahan, eksploitasi secara berlebihan dari perindustrian kayu membuka kanopi

hutan langsung terpapar sinar matahari dan menghancurkan ekosistem yang rapuh. Hal ini

lebih membahayakan stabilitas ekosistem hutan hujan tropis.

MANAJEMEN SUMBER DAYA ALAM

KONSERVASISUMBER DAYA ALAM

Di negara berkembang, bagaimanapun juga, tidak diragukan lagi pentingnya wanita

sebagai pengelola sumber daya alam mereka sendiri. Hal inilah yang menunjukkan

bagaimana hubungan tersebut yang kurang dimengerti. Diagram 3.1 Proses Manajemen

Sumber Daya Alam di atas untuk menunjukkan adanya hubungan itu. Sebagai agen

perubahan sosial, wanita di negara berkembang menjalankan tiga tingkat yang khusus, atau

dimensi pada pengelolaan Sumber Daya Alam, yang ditunjukkan pada diagram tersebut.
Pertama adalah dimensi perilaku. Dalam setiap budaya, ada bentuk perilaku

lingkungan yang lebih dan juga kurang melindungi lingkungan alam. Di beberapa daerah

Afrika, sebagai contoh, sangatlah jelas. Pohon tertentu secara khusus disebut pohon wanita,

artinya para pria tidak mempunyai hak untuk mengambil sumber daya apapun dari pohon

tersebut. Sebagai contoh adalah pohon karite di Mali. Pada beberapa daerah di hutan tropis

itu, pohon tertentu menyediakan maksud tertentu, dan denda sering dikenakan karena

pelanggaran. Hal ini adalah contoh budaya terikat perlindungan lingkungan. Tetapi juga,

tempat di mana wanita mengumpulkan kayubakar adalah dari ranting-ranting mati yang telah

jatuh dari kanopi hutan.

Kedua adalah dimensi ekonomi. Subjek ini telah dibahas dalam banyak forum

internasional di mana telah diakui bahwa wanita dalam bentuk umum adalah Dunia Kelima,

karena mereka adalah terendah dari yang rendah. Tampaknya, bagaimanapun, bahwa

pengembang, perencana, organisasi bilateral dan multilateral telah khawatir untuk bekerja

melawan kapasitas wanita Dunia Ketiga yang produktif. Dari perkenalan monokultur

tanaman, hingga penyubur dari bahan kimia wanitalah yang tidak mengerti mekanismenya,

tapi walaupun demikian wanita diminta untuk memperbaiki efeknya yang memburuk. Lahan

yang digarap diksploitasi untuk penanaman satu jenis tanaman yang belum dapat wanita lihat

adanya keuntungan. Di lain pihak, berkurangnya wanita yang menggunakan sumber daya

alam apapun yang tersedia dari sudut pandang ibu rumah tangga atau pencari nafkah,

khususnya belakangan ini. Wanita bertanggungjawab sebagai peran yang penting dalam

produksi pertanian, ternyata pengelolaan sumber daya alam sangatlah penting untuk mereka

dan mereka dapat memberikan saran yang berharga dan informasi, menyediakan pendapat

mereka jika ditanya.

Kemudian, ada dimensi teknologi. Teknologi Lingkungan cenderung dioperasikan

ketika terjadi krisis dibandingkan sebagai tindakan pencegahan. Kebanyakan teknologi


lingkungan dikembangkan dalam keadaan laboratorium dengan sedikit atau bahkan tidak ada

reproduksi dari lingkungan nyata tempat teknologi itu akan digunakan. Di negara

berkembang wanita diminta untuk menjalankan teknologi tersebut tanpa memperhatikan

apakah teknologi tersebut dapat sesuai atau tidak untuk kondisi sosial dan areanya (lihat

Bab.5). Ketika beberapa lembaga menuntut hubungan teknologi mereka dengan wanita,

biasanya berhubungan dengan keuntungan yang dapat ditambahkannya (walaupun bukan

untuk wanita itu) dibandingkan dengan pengurangan beban mereka atau peningkatan kegiatan

yang menghasilkan pendapatan. Permintaan yang besar dari sumber daya alam dan

eksploitasi mereka, bersama dengan meningkatnya kepadatan populasi telah membayangi

usaha wanita. Dan juga, sangat disayangkan, konstribusi mereka untuk konservasi dari

keanekaragaman dari sumber daya alam telah menghilang tanpa diakui.


BAB III

PEMBAHASAN

Pertanyaan yang diajukan pada kelompok kami saat persentase tanggal 20 November

lalu adalah tentang bagaimana peran pemerintah melihat kondisi memprihatinkan para

pekerja wanita tersebut di negaranya. Tentunya di samping daripada kondisi para pekerja

wanita yang terekspos mendapatkan banyak masalah, beberapa wanita di negara-negara

berkembang itu juga banyak mendapatkan penghargaan untuk usaha mereka dalam

lingkungan hidup. Selain itu, beberapa begara berkembang yang kami jelaskan dalam

persentase, memang permasalahan gender masih menjadi budaya dan adat yang telah ada.

Ada dikatakan dalam tinjauan pustaka, berdasarkan 38 negara yang disurvey oleh World

Fertility Survey, 23 negara masih mendiskriminasi kelahiran anak perempuan dan anak lelaki.

Negara-negara itu masih menganut paham tradisional tentang betapa pentingnya anak laki-

laki. Satu contoh yang disebutkan dalam refrensi, pekerja wanita penanaman Padi

mendapatkan upah minimum yang sesuai dengan peraturan di negara tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayah, Khoirul. 2011. Peran Perempuan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup:

Perspektif Undang-Undang No. 32 Tahun 2009.

Mariana amiruddin, Jurnal perempuan no.42 tahun 2005, Vandana Shiva Pembangunan

melahirkan Tunawisma di Kampung dunia, hal 128.

Mbilinji, Marjorie (1989) Plight of Women Plantation Workers, Tanzania Womens

Magazine, September, Tanzania Media Womens Association.

Yohe Ling, Chee (1989) The Malaysian Experience, Women, Environment, Development,

Seminar Report, London, Womans Enviromental Network.

Вам также может понравиться