Вы находитесь на странице: 1из 4

CABARAN PANCASILA DAN PELEKATAN RULE OF LAW DALAM KEHIDUPAN

BERNEGARA
OLEH
ISHARYANTO
DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
MAKALAH DISAMPAIKAN DALAM SEMINAR AKADEMIK BADAN EKSEKUTIF
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET
KAMIS, 9 JUNI 2011

Pancasila rumah kita,


Rumah untuk kita semua,
Nilai Dasar Indonesia,
Rumah kita selamanya.
Untuk semua puji nama-Nya,
Untuk semua cinta sesame,
Untuk semua keluarga menyatu,
Untuk semua, bersambung rasa
Untuk semua saling membagi,
Pada setiap insan,
Sama dapatsama rasa,
OooIndonesiaku
(Franky Sahilatua, Pancasila Rumah Kita)

Pendahuluan

Bangsa Indonesia merumuskan cita-citanya yang amat cerah dalam Pancasila.


Dalam hal ini Pancasila adalah terjemahan dorongan hati nurani manusia
Indonesia ke dalam dimensi politik. Dalam Pancasila, bangsa Indonesia melihat
wajahnya sebagaimana ia mencita-citakannya. Pancasila, yang di dalamnya
memuat 5 prinsip bernegara, disampaikan pertama kali oleh Bung Karno pada 1
Juni 1945 di depan siding Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia. Itulah
cetak biru selain jati diri untuk mempersatukan segenap elemen bangsa. Nilai-
nilai yang terkandung di dalamnya digali oleh Bung Karno dari bumi Indonesia
yang diperkaya dengan isme-isme dunia. Pancasila menjadi dasar Negara
Indonesia, ideologi Negara RI.
Tetapi, terutama pasca Mei 1998, yang di satu pihak merupakan titik balik dari
semua yang berbau Orde Baru, tetapi di pihak lain telah terjadi pembiaran
Pancasila. Indikatornya: Pancasila semakin dilupakan, maraknya kekerasan yang
dipicu oleh fanatisme sempit atas realitas kemajemukan, dan berkembanganya
ideologi lain yang mengancam eksistensi negara kesatuan. Indicator lain:
ketiadaan contoh berupa sikap dan perilaku, terutama dari orang-orang yang
melalui jabatan teknis, kedudukan sosial, dan/atau posisi politiknya dicitrakan
sebagai tokoh panutan yang pantas ditiru dan digugu. Di ranah pendidikan,
Pancasila disampaikan sekadar sebagai kewarganegaraan. Pancasila kemudian
dalam kondisi yang paripurna: tersandera.
Sebagai dasar dan ideologi negara, Pancasila perlu dikembangkan, melalui
system berpoikir inter dan pluridispliner, menjadi suatu filosofi politik. Sebagai
suatu filosofi dan yang kemudian dikembangkan dalam ilmu pengetahuan,
Pancasila memiliki metode tertentu dalam memandang, memegang criteria
tertentu dalam menilai. Hal ini menuntutnya untuk membuat pertimbangan-
pertimbangan (judgement) tertentu tentang gejala-gejala, prediksi, dan anjuran
tertentu mengenai langkah-langkah praktis. Dengan demikian, mengutip Daoed
Joesoef (2011: 6), ia mengajarkan suatu kombinasi dari berpikir dan intervensi
aktif sebagai cara menangani kenyataan, sejauh intervensi social memang dapat
menanggulanginya. Ia dalam dirinya merupakan seperangkat gagasan vital yang
mengawasi secara kritis tindak tanduk manusia Indonesia, dan pada gilirannya,
mengharapkan disempurnakan oleh manusia dengan kekuatan nalarnya.
Pada dimensi yang demikian, saya menyebutkan adanya cabaran bagi Pancasila
dalam pelekatan rule of law di republik ini, sebagai bagian kecil untuk
mengintervensi Pancasila dalam kehidupan praktis.

Posisi Pancasila

Bagaimanapun, rule of law merupakan a multi-faceted ideal, but most


conceptions give central place to a requirement that people in positions of
authority should exercise their power within a constraining framework of public
norms rather than on the basis of their own preferences, their own ideology, or
their own individual sense of right and wrong (Jeremy Waldron, 2008: 5). Dalam
perspektif politik, menjadi menarik untuk mengurai posisi Pancasila dalam
menyelimuti perjuangan mewujudkan rule of law itu. Pancasila mempunyai 2
aspek yaitu denunsiasi dan anunsiasi. Denunsiasi berarti mengkritik keadaan
yang berlaku sejauh mengenai hubungan social antarmanusia masa kekinian.
Dari aspek ini muncul anunsiasi, yaitu penggambaran suatu tatanan ideal yang
didambakan oleh bangsa ini.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan nilai final yang berfungsi instrumental
bagi usaha penyadaran kehadiran Ilahiah dalam kehidupan di alam semesta.
Oleh sebab itu, dalam ranah makro, sila ini tidak boleh dibaatsi sebagai
Keagamaan Yang Maha Esa dan ukuran keesaan itu adalah jumlah penganut.
Tidak boleh ada pembiaran dalam pemaksaan dari kelompok-kelompok yang
mengklaim berstatus mayoritas. Tidak sedikit juga sekarang ini kebijakan pusat
dan daerah yang diskriminatif dan melanggar kebebasan beragama, bahkan
lebih-lebih hak asasi manusia, seperti tuduhan yang dilekatkan akan kemunculan
Perda-perda syariah.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dalam realitasnya diinjak-dinjak oleh
kelompok mayoritas dalam beragama, tetapi juga mencakup perilaku kebijaka
pembangunan. Praktik ini berdasarkan konsep yang mengidentifikasi
pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi serta wealth production yang
mengaburkan masalah-masalah normatif, keadilan, keberadaan martabat
manusia, dan demokrasi. Di sini, hukum tidak boleh bersifat liberal, melainkan
menjadi means yang tegas dalam mencegah hilangnya kemanusiaan.
Bukankah menegakkan rule of law, sebenarnya merupakan pergulatan melawan
kemanusiaan?
Sila Persatuan Indonesia, dicederai oleh praksis pembangunan. Ada daerah yang
terus digali kekayaan buminya demi kenaikan produk nasional bruto (GNP),
tetapi sama sekalit tidak dibina kemampuan pendudukan local beprestasi teknis-
ekonomis melalui pendidikan umum dan peningkatan keterampilan serta
kemungkinan penerapan technical know-how tadi dengan mendirikan sentra-
sentra produktif. Di sini ada tuntutan bagaimana hukum menjalankan fungsi
sebagai mekanisme pengintegrasi antara negara dan kapital.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam
Permusyawaratan/perwakilan, secara diam-diam dianggap tidak praktis. Sebagai
gantinya diganti dengan sistem voting dalam pengambilan keputusan. Oleh
sebab itu, munculnya perdebatan mengenai pemilukada: dipilih langsung atau
oleh DPRD, mencerminkan tolak tarik pada posisi perdebatan tersebut.
Sila Keadilan Sosial tak terwujud, padahal hukum mengenai satu kebijakan fiscal
yang relevan bisa mewujudkan itu. Demikian juga terkatung-katungnya regulasi
sistem penyelenggaraan jaminan sosial, misalnya, masih belum diwujudkan,
padahal merupakan amanah UUD 1945 yang secara instrumentalistik berfungsi
untuk mewujudkan keadilan sosial. Dalam UUD 1945 memang tidak disebutkan
bahwa Negara Indonesia dibentuk untuk melindungi yang lemah. Namun, dalam
pembukaanyang tersirat juga sendi Pancasila, dan beberap pasalnya tersirat
semangat melindungi yang lemah ini.
Apakah yang menyebabkan sila-sila Pancasila itu tidak dapat diwujudkan dalam
praktik bernegara yang mendukung rule of law? Ada beberapa
kemungkinan, pertama, karena kebodohan (ignorance) dari elit politik
kita. Kedua, karena warisan politik Orde Baru yang membuat negara ibarat
monster. Ketiga, karena politik sebagai masalah bersama (res publica) telah
berganti dengan konsep mekansime transaksi pasar (res privata) sehingga peran
negara mewujudkan kesejahteraan publik menjadi sangat minimal dan
digantikan peran swasta.
Lagipula dalam konteks rule of law, yang bersendikan terutama kepada hukum,
Pancasila sangat jarang dibicarakan. Hal ini diungkapkan oleh Satjipto Rahardjo
(2006: 1) sebagai berikut:
Dibandingkan dengan keadaan pada beberapa puluh tahun yang lalu, dewasa ini
Pancasila sangat jarang dibicarakan, khususnya dalam hubungannya dengan
ilmu hukum. Pada masa lalu tersebut hamper setiap orang berbicara Pancasila,
bahwa pada waktu berada di lapangan sepak bola sekalipun (sepakbola
Pancasila). Hal tersebut menimbulkan hal kurang menguntungkan dalam
kegiatan pengembangan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Ia
lebih merupakan upacara daripada sesuatu yang sungguh-sungguh.
Membaca Pancasila
Saat ini kalau kita berbicara Pancasila kaitannya dengan hukum, maka selalu
memiliki kecenderungan umum dengan menempatkannya sebagai bagian yang
paling tinggi dari model piramida hukum di Indonesia (Sidharta, 2006: 320).
Dardji Darmodihardjo dan Sidharta (2004: 211-213), menempatkan Pancasila
sebagai sumber dari segala sumber hukum dengan menggambarkan gagasan
Hans Kelsen tentang Grundnorm. Namun dalam pembacaan seperti itu, baik
dalam makna ideologis maupun norma, Pancasila acapkali diperlakukan sebagai
sesuatu yang given dan pre-established, yang tidak cuma secara teologik
dimaksudkan untuk menciptakan suatu national order akan tetapi kerap
ditampilkan juga sebagai coercive order. Pancasila dalam praktiknya khususnya
pada pemerintahan masa lalu, tidak lagi diperlakukan sebagai rancang bangun
guna menata masa depan kehidupan nasional. Pancasila acapkali diperlakukan
sebagai suatu tatanan normatif yang dipercaya sudah sempurna dan final sejak
awal mulanya (Soetandyo Wignjosoebroto, 2006: 2-3).
Oleh sebab itu diperlukan penalaran baru dalam mensistematisasi hukum, baik
sebagai ilmu maupun pranata, agar diperoleh pemahaman yang utuh secara
maknawi dan relasi. Konteks pembacaan ini menjadikan teks Pancasila tidak
bersifat tunggal, pasti, dan mutlak, tetapi mempunyai nilai-nilai yang memiliki
pluralitas sangat tinggi. Dengan demikian, Pancasila secara dinamis akan
menjadi rasional sebagai pelekat rule of law dalam kehidupan bernegara.

https://isharyanto.wordpress.com/racikan-ilmiah/sajian-seminar/cabaran-
pancasila-dan-pelekatan-rule-of-law/

Вам также может понравиться