Вы находитесь на странице: 1из 24

Tentang Kejujuran Akademik1

Oleh: Bagus Takwin

Pendahuluan

Kejujuran akademik menjadi hal yang penting dan semakin genting


seiring dengan kemajuan teknologi informasi. Di jaman elektronik yang
didominasi kemudahan akses informasi ini, kejujuran akademik mendapat
tantangan dan godaan besar. Kecurangan akademik, terutama
plagiarisme, semakin mudah dilakukan dengan adanya teknologi internet.
Orang dapat memperoleh informasi dengan sangat mudah: buku,
makalah, slide presentasi, ringkasan buku, hasil penelitian, dan
sebagainya. Sebagai contoh, pencarian di Google tentang term papers
memberikan hasil lebih dari 300 juta entri. Di dalam setiap entri bisa ada
puluhan hingga ratusan makalah. Lebih jauh lagi, bukan hanya mudah
mendapatkannya untuk dibaca, melainkan juga mudah untuk disalin, baik
sebagian maupun seluruhnya. Tersedianya mesin-mesin penerjemah juga
memudahkan orang untuk mengalihbahasakan tulisan-tulisan ke berbagai
bahasa.

Semua itu meningkatkan kemudahan orang untuk mengambil


begitu saja, meniru, menjiplak, atau sekedar menerjemahkan karya-karya
ilmiah untuk diklaim sebagai milik sendiri. Kemudahan itu merupakan
godaan bagi insan akademik untuk melakukan peniruan dan plagiarisme,
apalagi pada saat-saat yang mendesak karena waktu yang pendek atau
tugas yang sulit. Bagi penyelenggara pendidikan, dosen dan komite etik,
situasi yang rentan terhadap terjadinya ketidakjujuran ini merupakan
tantangan besar. Mereka perlu memikirkan strategi dan cara untuk
mencegah ketidakjujuran dan mempromosikan kejujuran.

1 Makalah ini disampaikan dalam Kuliah Umum menyambut tahun ajaran


2011/2012 di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 12 September 2011.

1
Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya kecurangan akademik,
terutama plagiarisme, sudah banyak dilakukan. Kita dapat temukan
pembahasan dan peringatan tentang plagiarisme di internet tahun 2011
lebih dari 24 juta entri. Itu mengindikasikan adanya kesadaran tentang
pentingnya mencegah plagiarisme di tengah kemudahan memperoleh
informasi, sekaligus juga memberi peringatan kepada kita tentang
meningkatnya kecenderungan kecurangan akademik. Usaha lain untuk
mencegah dan mendeteksi plagiarisme adalah meningkatnya pembuatan
software untuk deteksi plagiarisme, tetapi terbatas di perguruan tinggi
negara tertentu sebab belum semua perguruan tinggi memiliki
kemampuan menyediakan dan menggunakan software itu.

Plagiarisme hanya salah satu bentuk ketidakjujuran akademik.


Bentuk-bentuk lainnya mencakup: (1) fabrikasi (fabrication), yaitu
pemalsuan data, informasi atau rujukan dalam karya akademik; (2)
berbohong atau pemberian informasi palsu kepada dosen/instruktur
mengenai tugas akademik, seperti membuat alasan palsu atas
ketidakhadiran di kelas atau keterlambatan menyerahkan tugas; (3)
mencontek; (4) menyuap dosen untuk mendapatkan nilai yang baik; (5)
memeras mahasiswa dengan ancaman nilai jelek bagi mahasiswa;
sabotase terhadap penyelesaian tugas orang lain; (6) memperoleh
keuntungan yang tak adil, seperti menggunakan satu makalah yang sama
untuk dua tugas di mata ajar yang berbeda, mencuri ide, mendominasi
sumberdaya pembelajaran umum untuk kepentingan sendiri,
menyembunyikan kontribusi orang lain dalam pengerjaan tugas,
kerjasama ilegal, dan free rider (tidak berkontribusi dalam pengerjaan
tugas tetapi mendapat kredit); serta (7) penyimpangan perilaku
profesional atau pelanggaran etika akademik, etika profesi dan etika
penelitian (disarikan dari Newstead, Franklyn-Stokes, & Armstead, 1996;
Irvine, 1996; Bjorklund & Wenestam, 1999; Rhoten, 1999; Hannabuss,
2001; Bennet, 2005; Marsden et al., 2005; Engler et al., 2008). Bentuk-
bentuk kecurangan akademik ini pun semakin marak seiring dengan
meningkatnya persaingan akademik sebagai implikasi dari semakin
banyaknya orang yang kuliah di perguruan tinggi.

2
Dalam situasi yang ditandai oleh meningkatnya kemungkinan dan
kemudahan untuk melakukan kecurangan akademik, pembahasan
tentang kejujuran (juga ketidakjujuran) akademik menjadi satu agenda
penting dan genting saat ini. Usaha-usaha untuk mempromosikan
kejujuran akademik dan mencegah ketidakjujuran akademik perlu
dilakukan oleh perguruan tinggi. Usaha-usaha itu perlu dilakukan sejak
awal mahasiswa memasuki perguruan tinggi. Mahasiswa baru sejak awal
perlu disadarkan dan diberi pemahaman tentang pentingnya kejujuran
akademik dalam pengembangan ilmu pengetahuan, dan lebih jauh lagi
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peraturan, rambu-rambu
dan prosedur penanganan ketidakjujuran akademik perlu disosialisasikan
sejak mahasiswa pertama kali memasuki perguruan tinggi. Kuliah umum
ini merupakan salah satu dari usaha itu.

Pentingnya Kejujuran Akademik

Mengapa kejujuran penting dalam perolehan dan pengembangan


ilmu pengetahuan? Mengapa kejujuran akademik menjadi salah satu nilai
moral yang sangat penting dalam komunitas akademik?

Ilmu pengetahuan, sejak masa Aristoteles (abad ke-4 SM),


merupakan ikhtiar manusia untuk membangun dan mengorganisasi
pengetahuan yang dapat diandalkan secara logis dan rasional.
Pengetahuan yang hendak dibangun dan diorganisasi itu adalah
pengetahuan tentang dunia dan isinya. Kesesuaian antara pengetahuan
dan obyek yang dijelaskannya merupakan salah satu kriteria dari ilmu
pengetahuan yang memadai. Pengetahuan-pengetahuan itu harus dapat
diandalkan untuk memahami, menjelaskan, meramalkan, dan
mengendalikan gejala yang ada di dunia. Untuk dapat memperoleh
keterandalan itu, diperlukan pengamatan dan pengenalan yang akurat
dan valid terhadap gejala sehingga data yang diperoleh sungguh-sungguh
mewakili atau mencerminkan gejala.

3
Untuk dapat memperoleh data yang mewakili gejala perlu dilakukan
pengenalan (melalui observasi, wawancara, pengukuran, dan
sebagainya), pencatatan dan pelaporan yang tepat dan sesuai dengan
kenyataannya. Lebih jauh lagi, diperlukan analisis dan penafsiran data
yang memadai agar penjelasan tentang gejala melalui data yang
diperoleh dapat dilakukan secara optimal sehingga sesuai dengan
kenyataan gejala yang diteliti. Di sini kejujuran menjadi faktor penting,
bahkan penentu, dari perolehan data dan hasil penelitian.

Kejujuran mencakup pengamatan dan pengenalan gejala secara


tepat dan memadai, pencatatan dan pendataan gejala sesuai dengan
kenyataannya, analisis dan penafsiran secara relevan dan logis, serta
pelaporan yang sistematis dan jelas. Tetapi tidak hanya itu, kejujuran juga
mencakup pengakuan keterbatasan penelitian, sejauh mana hasil
penelitian dapat digeneralisasi dan diterapkan, juga kesiapan untuk
menerima hasil penelitian yang tidak sesuai dengan dugaan dan harapan.
Kejujuran juga mencakup kebesaran hati untuk mengakui bahwa hasil
penelitian yang diperoleh tidak memiliki kontribusi signifikan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, jika memang hasilnya demikian. Inilah
inti dari kejujuran akademik.

Komunitas akademik, seperti perguruan tinggi (termasuk


universitas, institut dan sekolah tinggi) serta lembaga-lembaga ilmiah
lainnya merupakan wadah pengembangan ilmu pengetahuan. Di
dalamnya para insan akademik berhimpun mengembangkan ilmu
pengetahuan. Mereka melakukan pengkajian, penelitian dan riset untuk
memperoleh penjelasan ilmiah, menghasilkan teori yang dapat
menjelaskan gejala yang ada di dunia. Oleh karena itu, kejujuran
akademik adalah nilai yang harus dipegang dan dijaga oleh mereka. Tanpa
kejujuran akademik, komunitas ilmiah tak dapat membangun ilmu
pengetahuan yang dapat diandalkan untuk memahami, menjelaskan,
meramalkan, dan mengendalikan gejala yang ada di dunia.

4
Kejujuran Akademik sebagai Kekuatan Karakter

Meski pengertian kejujuran dan kejujuran akademik sudah saya


singgung dalam bagian terdahulu, di bagian ini saya akan
memaparkannya secara lebih khusus. Di sini saya memberi penekanan
pada kejujuran dan kejujuran akademik sebagai kekuatan karakter.

Saya menggunakan contoh-contoh berikut untuk memulai


penjelasan tentang pengertian kejujuran akademik.

1. Seorang dosen mengeluhkan situasi sulit yang sedang dijalaninya


dan betapa mahasiswanya tidak membantu, malah membuatnya
semakin pusing karena mahasiswanya pasif dan nilai mereka jelek-jelek.

2. Seorang mahasiswa menyampaikan kepada dosennya bahwa ia


tidak mengerjakan tugas dan tidak belajar untuk ujian karena tidak suka
pelajarannya, juga tidak suka kepada dosennya.

3. Seorang mahasiswa yang sengaja menjiplak karya orang lain dengan


alasan dosennya tidak akan memeriksa tugasnya secara cermat dan
ingin menguji apakah dosennya cukup teliti memeriksa tugas.

4. Seorang dosen kehilangan semangat mengajar dan ia mengatakan


alasan sesungguhnya bahwa ia tak bersemangat mengajar karena
merasa tidak dihargai secara layak oleh universitasnya.

Apakah mereka berempat jujur? Apakah dosen yang mengeluhkan


situasi sulit yang dihadapinya jujur karena telah mengatakan apa adanya?
Apakah mahasiswa yang mengatakan tidak suka pada pelajaran dan
dosennya jujur karena menyampaikan perasaannya? Begitu pula dengan
mahasiswa yang menjiplak karya orang lain dan dosen yang kehilangan
semangat, apakah mereka jujur? Jawabannya: tidak.

Kejujuran merupakan kekuatan dasar manusia. Di berbagai budaya,


kejujuran dinilai tinggi. Sejauh riset-riset yang sudah dilakukan oleh
banyak ahli, kejujuran merupakan nilai dan kekuatan yang secara
universal dinilai baik (Peterson & Seligman, 2004). Akan tetapi

5
pemahaman dan riset tentang kekuatan ini masih kurang. Belum ada
database memadai yang dapat menjelaskan kejujuran. Salah satu sebab
kekurangan itu adalah kompleksnya gejala kejujuran. Menurut Peterson
dan Seligman (2004), secara prosedural, cara termudah bagi peneliti
untuk mengenali kejujuran adalah dengan mendefinisikan kekuatan ini
dalam istilah obyektif (misalnya, mengatakan sesuatu secara jelas dan
apa adanya sehingga tidak mengandung ketaksaan) dan melakukan
pengukuran terhadapnya berdasarkan istilah itu. Tetapi cara ini belum
dapat memberikan penjelasan yang memadai tentang kejujuran sebagai
kekuatan manusia. Cara ini memberikan hasil hanya sejauh jika ada
sebuah jawaban benar yang digunakan sebagai patokan untuk menguji
apa yang dikatakan atau diperbuat seseorang. Contoh, Saya ke rumah
kamu tadi malam jam 7:30, tetapi tak ada yang orang di sana dapat
dinilai benar atau salah. Tetapi benar-salahnya pernyataan ini tidak
mencerminkan jujur-tidaknya seseorang. Pengukuran kejujuran sebagai
kekuatan karakter jauh melampaui kebenaran pernyataan seperti ini.

Orang jujur mengatakan yang benar. Tetapi kejujuran lebih dari


sekedar mengatakan yang benar. Itu merupakan kekuatan karakter dalam
arti luas. Istilah kejujuran mencakup pengertian selalu mengatakan yang
benar, tetapi di dalamnya juga tercakup pengertian bertanggung-jawab
atas bagaimana orang merasakan dan mengerjakan sesuatu yang
menjadi pilihannya. Kejujuran mencakup penampilan diri yang tulus dan
tidak dibuat-buat di hadapan orang lain. Dengan kata lain, di dalam
kejujuran tercakup juga otentisitas dan ketulusan. Di dalamnya juga
tercakup perasaan internal bahwa orang yang memiliki kejujuran adalah
makhluk yang koheren secara moral; memiliki integritas atau kesatuan
diri. Dalam pengertiannya yang mengandung juga makna integritas,
kejujuran didasari oleh satu set prinsip atau komitmen yang dipegang
untuk bertahan menghadapi godaan atau tantangan (McFall, 1992).

Merujuk Peterson dan Seligman (2004), makna kejujuran tidak


terbatas hanya pada arti teknisnya, yaitu mengatakan yang benar,
melainkan sebagai kekuatan karakter yang disertai tanggung-jawab atas

6
bagaimana seseorang mengelola perasaan dan menjaga apa yang
dikerjakannya agar sesuai dengan apa yang sudah dipilihnya. Kejujuran
adalah menampilkan diri sesuai dengan adanya (genuine, tidak dibuat-
buat) dan bertindak secara tulus, tanpa kepura-puraan, dan mengambil
tanggungjawab atas perasaan dan tindakan sendiri.

Ketidakjujuran berarti bukan hanya tidak mengatakan yang benar,


melainkan juga penampilan yang tidak sesuai dengan keadaan diri yang
sebenarnya, tidak tulus, berpura-pura, dan tidak mau bertanggungjawab
atas perasaan dan tindakan sendiri. Sebagai contoh, ketika seseorang
merasa malas mengerjakan tugas yang sudah disanggupinya untuk ia
kerjakan, lalu ia tidak mengerjakan tugas itu dan secara jujur
mengatakan, Saya tidak mengerjakan tugas saya karena saya malas,
maka orang itu, meski mengatakan yang sebenarnya, tidak menampilkan
kejujuran sebagai kekuatan karakter. Ia sudah menyatakan sanggup
mengerjakan tugas tetapi tidak mewujudkan kata-katanya menjadi
kenyataan. Ini adalah satu bentuk ketidakjujuran. Ia tidak menggunakan
kekuatannya untuk menjaga integritas dirinya dan memilih membiarkan
dirinya kalah oleh rasa malas sehingga tidak mengerjakan tugasnya. Ia
memilih dirinya dikuasai rasa malas daripada mempertahankan kesatuan
diri (dalam hal ini kesesuaian kata-kata dan perbuatannya) atau dengan
kata lain, ia tidak menampilkan dirinya secara otentik, terombang-ambing
oleh perasaan.

Kita kembali ke empat contoh yang disebutkan terdahulu.


Keempatnya merupakan contoh ketidakjujuran. Dosen yang mengeluhkan
situasi sulit yang sedang dijalaninya dan menuduh mahasiswanya malah
membuatnya semakin pusing tidak bertanggungjawab atas perasaan dan
tindakannya sebagai dosen. Perasaannya yang tak nyaman menghadapi
situasi semestinya adalah tanggungjawabnya. Ia juga bertanggungjawab
atas prestasi mahasiswanya, bukan malah menuduh mereka
menyebabkan ia pusing. Mahasiswa yang tidak mengerjakan tugas dan
tidak belajar untuk ujian tidak bertanggungjawab atas pilihannya menjadi
mahasiswa. Ia melemparkan tanggungjawabnya keluar dirinya dan

7
bersembunyi di balik perasaan tidak suka kepada pelajaran dan dosennya.
Integritas mahasiswa ini rendah. Begitu juga mahasiswa yang menjiplak
karya orang lain. Ia menampilkan ketidakjujuran. Jika ia bertanggungjawab
atas tugasnya untuk belajar, maka ia semestinya mengerjakan tugasnya
dengan baik, lepas dari apakah dosennya akan sungguh-sungguh
memeriksanya atau tidak. Kedua mahasiswa itu tidak otentik. Lalu, dosen
yang kehilangan semangat mengajar itu pun menampilkan ketidakjujuran
sebab ia tidak bertanggungjawab atas pilihannya menjadi dosen, tidak
otentik menampilkan diri sebagai dosen, dan integritasnya diragukan.

Di dalam makna kejujuran sebagai kekuatan karakter tercakup pula


pengertian bagaimana menjalankan dan menerima konsekuensi dari
pilihan hidup. Kejujuran di sini dipahami sebagai kekuatan yang
digunakan untuk menekuni peran yang hendak dijalani dalam kehidupan.
Dalam makna inilah kejujuran akademik perlu dipahami. Kejujuran
akademik berlaku baik untuk akademikus (dosen, peneliti) maupun untuk
orang-orang yang pekerjaannya memanfaatkan ilmu pengetahuan (kaum
profesional yang keahlian dan kontribusinya di masyarakat mengandalkan
temuan-temuan ilmu pengetahuan).

Seorang akademikus semestinya adalah orang yang sudah memilih


jalan hidup dan bentuk pengabdian di bidang akademik, sebagai dosen
dan peneliti. Peran sebagai akademikus mengandung konsekuensi dan
implikasi bagi diri orang yang menjalaninya. Peran itu mengandung
implikasi harapan masyarakat, setidaknya harapan komunitas ilmiah. Ada
norma yang menentukan standar dari pelaksanaan peran sebagai
akademikus. Masyarakat punya harapan dan tuntutan terhadap orang
yang mengambil peran itu. Untuk dapat menjalankan perannya dengan
segala konsekuensi dan implikasinya, mereka harus memiliki kejujuran
sebagai kekuatan karakter.

Dewasa ini, orang-orang profesional sangat mengandalkan ilmu


pengetahuan dan teknologi sebagai terapan dari ilmu pengetahuan.
Mereka memilih jalan hidup untuk memberi pengabdian dan mencari
nafkah menggunakan keahlian mereka dalam bidang ilmu tertentu.

8
Keberlangsungan profesi mereka ditunjang oleh hasil-hasil ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu mereka juga terkena kewajiban akademik,
serta perlu ikut mengindahkan nilai dan norma akademik. Kejujuran
akademik juga diharapkan ada pada mereka dalam menjalankan
perannya sebagai orang dengan profesi tertentu.

Mahasiswa, baik sebagai calon akademikus maupun sebagai calon


profesional, dituntut juga untuk memiliki kejujuran akademik. Mereka
perlu memiliki kekuatan untuk menjalankan peran mereka sebagai bagian
dari komunitas akademik. Kejujuran akademik adalah kekuatan karakter
yang mereka butuhkan untuk dapat menjaga integritas mereka, untuk
dapat menampilkan diri secara otentik, dan untuk dapat menjalankan
tugas-tugas belajar mereka di perguruan tinggi.

Kejujuran Akademik sebagai Syarat dan Konsekuensi Peran


Akademik

Dalam pencermatan Peterson dan Seligman (2004) ditemukan


adanya kecenderungan, setidaknya di antara orang Amerika, untuk
membuang peran yang hanya menjadi topeng atau kepura-puraan,
membuang kepalsuan dan ketidaktulusan. Mereka ingin tahu pribadi
nyata di balik peran. Oleh karena itu mereka menampilkan diri sesuai
dengan perasaan mereka apa adanya. Mereka mengatakan dan
melakukan sesuai dengan yang mereka rasa dan pikirkan, bahkan jika itu
bertentangan dengan kewajiban dan tuntutan peran mereka. Contohnya,
jika mereka malas mengerjakan tugas karena tugas itu membuat mereka
muak, maka mereka tidak mengerjakan tugas itu dan mengatakan alasan
sebenarnya. Contoh lain, seorang mahasiswa membuang muka dan
menunjukkan sikap bermusuhan dengan seorang dosennya karena
mahasiswa itu kesal kepada sang dosen yang memberinya nilai buruk.
Ketika ditanya mengapa ia bertingkah demikian, mahasiswa itu menjawab
bahwa ia tak mau berpura-pura; ia berusaha jujur menunjukkan kekesalan
terhadap dosennya. Dalam pandangan orang-orang dengan

9
kecenderungan ini, orang-orang dalam empat contoh yang saya sebutkan
tadi bisa jadi dinilai sebagai orang yang jujur karena mereka menampilkan
diri apa adanya. Tetapi, seperti yang sudah saya kemukakan, justru itu
semua mengindikasikan ketidakjujuran; ketidakmampuan
mempertahankan komitmen menjalankan peran yang sudah dipilih.

Sejalan dengan Peterson dan Seligman (2004), saya tidak


mengambil rute kecenderungan itu dan menilai kecenderungan itu justru
bertentangan dengan kejujuran sebagai kekuatan karakter. Memang
berpura-pura atau menjalankan peran hanya sebagai topeng adalah hal
yang tidak baik dan perlu dibuang. Tetapi persoalannya bukan menolak
atau membuang peran dalam masyarakat, melainkan bagaimana
berperan secara konstruktif dan produktif dalam masyarakat. Bagaimana
kita turut berpartisipasi dalam masyarakat sehingga dapat memberi
sumbangan yang berharga? Itulah soalnya. Banyak orang berpura-pura
punya peran yang penting dalam masyarakat, menduduki jabatan
penting, mengincar jabatan yang wewenang dan kekuasaannya besar
tetapi bukan untuk berkontribusi bagi kemajuan masyarakat, melainkan
untuk kepentingannya sendiri. Sifat egosentrik itu memang perlu
dihilangkan, tetapi bukan dengan membuang peran-peran yang ada di
masyarakat.

Manusia adalah makhluk yang hidup, tumbuh, berkembang dan


menjadi pribadi yang berarti di dalam masyarakat. Diri dan kepribadian
manusia hanya dapat terbentuk dan berkembang melalui interaksi
dengan manusia lain di dalam masyarakat (Sullivan, 1953, Kohut, 1971).
Lebih jauh lagi, melalui peran yang dipilihnya, manusia mengembangkan
diri dan kepribadiannya. Berperan dalam masyarakat adalah salah satu
kodrat manusia dan di kebanyakan budaya, jika tidak di semua budaya,
memberi penghargaan tinggi kepada orang yang menjalankan perannya
secara baik. Tidak ada penipuan atau kepura-puraan yang terlibat ketika
setiap orang berbagi harapan yang sama tentang bagaimana orang
dengan peran tertentu harus berperilaku. Kejujuran, juga ketulusan,
keaslian (genuineness), otentisitas dan integritas dinilai berdasarkan

10
harapan-harapan itu. Orang dapat memilih perannya dalam masyarakat
tetapi ia juga memiliki tanggungjawab untuk menjalankan peran itu
secara baik. Di sisi lain, dalam diri individu kejujuran adalah kekuatan
yang menjaganya untuk menjalankan peran secara baik. Harapan dan
tuntutan terhadap orang dengan peran tertentu menjadi realistik dan
masuk akal karena orang dapat memiliki kejujuran sebagai kekuatan
karakter. Seorang akademikus diharapkan dan dituntut untuk
menjalankan perannya secara baik karena ia dapat memiliki kejujuran
sebagai kekuatan dirinya.

Tentu saja, kejujuran itu perlu dilatih sejak awal, terus-menerus


dibiasakan sambil dimaknai sebagai bagian dari peran, sehingga menjadi
bagian dari kepribadiannya. Ibarat otot kuat yang siap mengangkat beban
berat tanpa kesulitan yang berarti, kejujuran adalah kekuatan yang
memampukan orang membuang atau menghindari godaan, sehingga ia
dapat terus menampilkan diri secara otentik dan menjaga integritas tanpa
kesulitan yang berarti. Sebagai kekuatan karakter, kejujuran bersifat
psikososial, potensinya ada dalam diri, aktualitanya dipengaruhi oleh
lingkungan sosial (Peterson & Seligman, 2004).

Peran dalam masyarakat punya kesamaan dengan kepribadian. Bisa


jadi pada awalnya keduanya merupakan topeng karena belum
mencerminkan siapa sesungguhnya orang yang menjalaninya. Bisa jadi
keduanya adalah kepura-puraan jika kenyataannya pikiran, perasaan,
perkataan dan perilaku-perilaku lain yang ditampilkan tidak sesuai dengan
peran atau kepribadian yang ingin dimiliki. Tetapi, dalam arti yang
sesungguhnya peran dan kepribadian mengindikasikan adanya maksud
eksistensial (Berdyaev, 1936/1972) kehendak untuk mencapai suatu citra
diri ideal tertentu yang selangkah demi selangkah didekati dan dicapai.

Kehendak untuk berpartisipasi dalam masyarakat dengan peran


tertentu, juga kehendak untuk menjadi pribadi tertentu perlu dibedakan
dengan berpura-pura punya peran tertentu atau berpura-pura menjadi
pribadi tertentu. Sebagai contoh, jika saya ingin menjadi seorang dosen
yang mampu mengajar mahasiswa secara baik sehingga mahasiswa saya

11
menjadi semakin pintar dan saya berusaha untuk memiliki kemampuan
mengajar itu, maka saya tidak berpura-pura menjadi dosen yang mampu
mengajar. Meski pada awalnya saya belum memiliki kemampuan
mengajar secara baik, saya berusaha terus-menerus meningkatkan
kemampuan saya sehingga dapat mengajar lebih baik. Pada awalnya saya
mengakui bahwa kemampuan mengajar saya belum baik. Ini berbeda
dengan jika saya berpura-pura menjadi dosen yang mampu mengajar.
Dalam berpura-pura itu, saya mengaku mampu mengajar dan menolak
penilaian orang lain bahwa saya tidak mampu mengajar padahal saya
tahu saya tak bisa mengajar dan tak ingin menjadi dosen yang mampu
mengajar secara baik. Kepura-puraan saya tidak mendorong saya untuk
belajar meningkatkan kemampuan mengajar saya. Berbeda dengan
kepura-puraan, kehendak untuk menjadi dosen yang baik mendorong
saya untuk belajar lebih banyak agar dapat menjadi dosen yang mampu
mengajar secara baik.

Pada akhirnya peran dan kepribadian menjadi bagian dari diri, ikut
membentuk diri yang otentik dan berkesatuan, ikut membentuk pribadi
yang berintegritas. Ini berlaku pada peran akademikus. Orang memilih
peran sebagai akademikus pada awalnya tidak langsung dapat
menjalankan perannya secara optimal. Secara bertahap ia menyesuaikan
diri, belajar menguasai keterampilan dan membentuk sifat-sifat akademik,
hingga akhirnya sunguh-sunguh memiliki keterampilan dan sifat-sifat
akademik; menjadi akademikus. Pada awalnya akademikus merupakan
maksud eksistensial atau cita-cita untuk mencapai citra diri ideal
seseorang. Dengan usaha yang sungguh-sungguh, kemauan untuk
menerima konsekuensi, implikasi dan risiko peran akademikus, kemudian
akademikus menjadi bagian dari kepribadian orang itu. Lalu, peran
akademikus bukan lagi topeng yang menutupi siapa pribadi
sesungguhnya, melainkan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
pribadi sesungguhnya. Peran akademikus ikut mendefinisikan orang yang
menjalaninya secara sungguh-sungguh. Kejujuran akademik sebagai
kekuatan karakter akademik memampukan orang untuk menjadi
akademikus.

12
Kejujuran akademik merupakan syarat dan konsekuensi dari peran
akademik. Ketika orang memutuskan untuk mengambil peran dalam
masyarakat akademik, maka ia perlu melengkapi dirinya dengan kejujuran
akademik. Tanpa kejujuran akademik, perannya di masyarakat akademik
tidak dapat dijalankan dengan baik. Seorang dosen tak dapat
menjalankan perannya sebagai dosen tanpa kejujuran akademik. Begitu
pula seorang mahasiswa tak dapat menjalankan perannya sebagai
mahasiswa tanpa kejujuran akademik. Peran dalam masyarakat akademik
juga mengandung konsekuensi kejujuran akademik. Seorang dosen akan
dituntut untuk menampilkan kejujuran akademik dalam menjalankan
perannya. Begitu pula seorang mahasiswa akan dituntut untuk
menampilkan kejujuran akademik selama ia belajar di perguruan tinggi,
bahkan setelah ia lulus dan bekerja. Jika kejujuran akademik diabaikan
oleh dosen atau mahasiswa, akan ada sanksi buat mereka, paling tidak
mereka dikeluarkan dari masyarakat akademik dan tidak memiliki
wewenang akademik.

Apa yang Membuat Orang Jujur?

Untuk dapat memfasilitasi dan mempromosikan kejujuran akademik,


kita perlu tahu apa yang membuat orang berbuat jujur. Ada dua
penjelasan yang sering digunakan untuk memahami kejujuran (Green &
Paxton, 2009). Pertama, penjelasan yang dikenal dengan sebutan
hipotesis kehendak (will hypothesis) yang menjelaskan bahwa
kejujuran merupakan hasil dari resistensi aktif terhadap godaan. Dari
sudut pandang psikologi kognitif, penjelasan ini sejalan dengan penjelasan
yang menyatakatan bahwa proses kognitif yang terkendali dapat
memampukan orang menunda reward sehingga ketika berhadapan
dengan godaan untuk tidak jujur ia mampu bertahan dari godaan dan
berperilaku jujur. Penjelasan kedua, dikenal dengan sebutan hipotesis
karunia (grace hypothesis), menyatakan bahwa kejujuran merupakan
hasil dari ketidakhadiran godaan. Penjelasan ini konsisten dengan riset-

13
riset yang menekankan determinasi tingkahlaku oleh hadir atau tidak
hadirnya proses-proses otomatis.

Green dan Paxton (2009) dalam risetnya menggunakan functional


magnetic resonance imaging (fMRI) untuk mencermati aktivitas neural
pada individu-individu yang dihadapkan dengan kesempatan memperoleh
hasil secara tidak jujur. Riset itu memberi hasil bahwa individu-individu
yang berlaku secara jujur menunjukkan tak adanya tambahan aktivitas
terkait-kontrol atau aktivitas lainnya yang sejenis ketika memilih berlaku
jujur. Aktivitas neural terkait-kontrol mereka saat dihadapkan kepada
kesempatan tidak jujur tidak berbeda secara signifikan dengan aktivitas
neural di region itu saat mereka tidak memiliki kesempatan untuk berlaku
tidak jujur. Sebaliknya, individu-individu yang berlaku tidak jujur
menunjukkan adanya aktivitas di region terkait-kontrol pada korteks
prefrontal, baik saat memilih untuk tidak jujur maupun pada kejadian
ketika mereka dihindarkan dari ketidakjujuran. Level aktivitas di region itu
berkorelasi dengan frekuensi ketidakjujuran individu. Dari hasil riset itu
disimpulkan bahwa orang jujur karena absennya godaan (temptation),
bukan karena orang dengan kehendaknya berusaha mengatasi godaan.

Lebih juga lagi dapat disimpulkan bahwa orang jujur adalah orang
yang terbiasa membebaskan dirinya dari godaan. Berbagai hal yang
umumnya dianggap sebagai godaan, bagi orang jujur bukan hal yang
signifikan sehingga tidak menggoda mereka untuk tidak jujur, setidaknya
mereka tidak mudah tergoda. Dengan kata lain, jujur sudah menjadi sifat
dari mereka; sudah menjadi bagian dari kepribadiaan. Green dan Paxton
tidak menjelaskan bagaimana orang dapat sampai pada keadaan mental
yang tak bisa atau tak mudah tergoda sehingga mereka bisa tetap jujur.
Tetapi kita dapat merujuk ke Allport (1937), yang menjelaskan bagaimana
sifat (trait) kepribadian terbentuk. Perlu ditegaskan juga di sini, kekuatan
karakter adalah sifat. Kejujuran sebagai kekuatan karakter ada sifat yang
memampukan orang yang memilikinya untuk tetap berlaku jujur dan
mampu mengabaikan godaan. Absennya godaan pada orang-orang jujur
dalam pengertian Green dan Paxton, dalam hemat saya, bukan berarti

14
orang yang jujur adalah orang yang terisolasi dari hal-hal yang mungkin
menggodanya, melainkan dapat memaknai hal-hal yang mungkin menjadi
godaan sebagai hal yang tak penting sehingga hal-hal itu diabaikan saja
tau tak perlu diberi perhatian.

Dari definisi sifat kita dapat memahami bagaimana sifat terbentuk.


Sifat adalah sistem neuropsikis dengan kapasitas untuk merajut berbagai
stimulus yang setara secara fungsional serta memulai dan memandu
tampilnya bentuk-bentuk tingkah laku adaptif dan ekspresif (Allport,
1961:347). Sebagai sistem neuropsikis, sifat nyata dan ada dalam diri
orang. Sifat membuat tingkahlaku konsisten dan sebuat sifat tetap ada
dalam diri seseorang meskipun tak ada orang lainyang melihatnya. Sifat
pada intinya bukan sesuatu yang diturunkan secara genetik meski
mendapatkan pengaruh herediter.

Sifat memandu tingkahlaku orang dan juga membuat tingkahlaku


konsisten. Artinya, sifat terkait dengan kebiasaan. Tetapi dipahami, orang
yang memiliki sifat tertentu memiliki kebiasaan terkait sifat, begitu juga
orang yang memiliki kebiasaan tertentu belum tentu memiliki sifat yang
mendasari kebiasaan itu, meskipun kebiasaan dalam tampilannya bisa
saja berfungsi seperti sifat. Kebiasaan merupakan hasil pembiasaan, bisa
tampil karena tekanan atau pemaksaan pihak luar, sedang sifat sudah
menjadi bagian dari kepribadian orang dan tetap ada terlepas dari apakah
ada paksaan dari luar atau tidak. Kebiasaan selalu tampil dalam bentuk
tingkahlaku, sedangkan sifat bisa saja tak tampil dalam bentuk
tingkahlaku tetapi tetap ada pada diri seseorang. Sifat lebih umum dari
kebiasaan, dan sifat tidak tergantung pada konteks ruang dan waktu.
Kebiasaan bisa menjadi sifat ketika kebiasaan itu kemudian memiliki
motifnya sendiri. Menurut Allport (1937), sifat adalah perpaduan
kebiasaan dengan tambahan penguatan, bukan rantai kebiasaan.
Tambahan penguatan itu adalah swa-motivasi yang mengubah kebiasaan
dari sekedar respon hasil pengkondisian menjadi aktivitas yang
motivasinya adalah aktivitas itu sendiri. Tingkahlaku yang diinisiasi dan
dipandu sifat ditujukan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Oleh karena

15
itu, pembentukan sifat pada diri seseorang terkait dengan proses
adaptasinya dengan lingkungan.

Dari definisi sifat, dapat kita pahami bahwa pembentukan sifat,


termasuk sifat jujur, melibatkan pembiasaan, sosialisasi, keteladanan,
relevansi sifat dengan tuntutan lingkungan, dan pemaknaan aktif
terhadap sifat yang hendak dibentuk. Kejujuran akademik pun merupakan
hasil pembiasaan, sosialisasi, keteladanan, adaptasi dan pemakanaan
aktif di lingkungan akademik. Kejujuran akademik pada awalnya
merupakan respon hasil pengkondisian, tetapi seiring dengan pemaknaan
terhadap sifat ini, penguatan melalui peneladanan tokoh-tokoh di
lingkungan, dan kepuasan yang diperoleh dari perilaku jujur, kejujuran
akademik berubah menjadi sifat. Aktivitas atau perilaku jujur menjadi
motivasi bagi dirinya sendiri.

Dalam konsteks psikologi moral, kejujuran, juga kejujuran akademik


bukan hanya diperlakukan sebagai sifat, melainkan juga sebagai nilai
moral yang harus dipegang kuat oleh anggota masyarakat. Dalam
masyarakat akademik, kejujuran akademik adalah nilai moral yang harus
dipegang oleh setiap angotanya. Anggota masyarakat akademik
menampilkan kejujuran bukan hanya karena mereka dibiasakan atau
memiliki sifat jujur, tetapi lebih dari itu mereka memahami bahwa
kejujuran dapat membawa mereka kepada tujuan akademik, yaitu
kemajuan ilmu pengetahuan dan pemanfaatannya untuk meningkatkan
kesejahteraan manusia. Oleh karena itu, anggota masyarakat akademik
bukan hanya harus menampilkan kejujuran akademik, melainkan lebih
jauh dari itu, mereka harus menghasrati, mendamba kejujuran akademik
sebagai sebuah kebaikan. Ini sejalan dengan Aristoteles (1999) yang
menyatakan untuk dapat tetap baik dan menghindari perilaku buruk,
orang perlu menjadi pribadi yang mencintai kebaikan. Kebaikan tidak
cukup hanya dilakukan, tetapi juga dicintai, didambakan, dihasrati. Orang
yang melakukan kebaikan tetapi tidak suka melakukannya atau merasa
terpaksa melakukannya rentang terhadap kecurangan. Orang-orang
seperti ini cenderung berperilaku curang pada situasi yang memfasilitasi

16
kecurangan. Kejujuran akademik akan bertahan terus jika para anggota
masyarakat akademik mencintainya.

Memfasilitasi dan Mempromosikan Kejujuran Akademik

Fasilitasi dan promosi kejujuran akademik di universitas perlu


dilakukan secara komprehensif, sistemik dan berkelanjutan. Untuk itu
diperlukan prinsip, kode kehormatan, peraturan dan infrastruktur (fisik
dan non-fisik) lainnya. Beberapa universitas kelas dunia dan institusi-
institusi yang memfokuskan kajian mereka kepada integritas akademik
sudah menghasilkan prinsip dan kode kehormatan yang berlaku universal.
Perguruan tinggi lain dapat memanfaatkan hasil-hasil itu demi
kepentingan peningkatan integritas akademiknya.

Sejalan dengan temuan-temuan dalam riset-riset tentang kejujuran


akademik, Donald L. McCabe and Gary Pavela (1997) mengajukan 10
Prinsip Integritas Akademik yang sekaligus mencakup usaha-usaha
memfasilitasi dan mempromosikan kejujuran akademik.

1. Mengafirmasi pentingnya integritas akademik.

Pendidikan tinggi didedikasikan untuk mencapai kebenaran.


Anggota fakultas harus mengafirmasi bahwa pencapaian kebenaran
didasari oleh nilai-nilai utama seperti ketekunan, kejujuran, dan
keberadaban.

2. Mengedepankan kecintaan terhadap pembelajaran.

Komitmen kepada integritas akademik diperkuat oleh standar


akademik yang tinggi. Untuk mencapai standar yang tinggi civitas
akademika perlu memiliki kecintaan terhadap pembelajaran.
Belajar, selain harus dilakukan terus-menerus, harus dicintai. Hasrat
untuk belajar harus dimiliki para civitas akademika.

3. Memperlakukan mahasiswa sebagai tujuan pada dirinya sendiri.

Dosen dan pengelola fakutas harus meperlakukan mahasiswa


sebagai tujuan pada dirinya sendiri. Mereka layak memperoleh

17
pengenalan dan perhatian individual. Mereka bukan obyek atau
sumberdaya yang dipergunakan untuk kepentingan lain. Mereka
memiliki kepentingan dan tujuannya sendiri sejalan dengan tujuan
masyarakat akademik.

4. Mempromosikan lingkungan yang saling percaya di dalam kelas.

Kebanyakan mahasiswa adalah orang dewasa yang matang. Mereka


mampu menilai lingkungannya dan dapat mengenali apa yang
sedang berlangsung di sana. Lingkungan kelas yang memberi
kebebasan dan kepada mereka akan mereka hargai. Jika dosen
mempercayai mereka, mereka pun dapat mempercayai dosen.

5. Mendorong mahasiswa memiliki tanggungjawab atas integritas


akademik.

Sebagai orang dewasa, mahasiswa dapat bertanggungjawab atas


diri dan proses belajar mereka. Dengan bimbingan yang memadai,
mereka mengerjakan tugas-tugas mereka secara
bertanggungjawab. Oleh karena itu mereka perlu didorong untuk
memiliki tanggungjawab atas integritas akademik mereka dan
universitas.

6. Memperjelas apa yang diharapkan dari mahasiswa.

Dosen dan pengelola fakultas harus dapat memberikan kejelasan


tentang apa yang diharapkan dari mahasiswa. Desain dan proses
pendidikan yang dijalani harus dapat dipahami oleh mahasiswa.
Begitu juga dengan aturan, rambu-rambu dan prosedur yang
diterapkan di universitas, semua itu harus diketahui dan dapat
dipahami oleh mahasiswa.

7. Mengembangkan asesmen yang adil dan relevan.

Mahasiswa berharap usaha dan tugas mereka dihargai secara


memadai. Mereka juga ingin apa yang mereka pelajari dan kerjakan
sesuai dengan tujuan pendidikan mereka di universitas. Oleh karena

18
itu, penilaian yang adil dan relevan menjadi keharusan di
universitas.

8. Mengurangi kesempatan untuk terlibat dalam ketidakjujuran


akademik.

Ketidakjujuran akademik harus dicegah. Pencegahan adalah garis


kritis pertahanan melawan ketidajujuran akademik. Salah satu cara
mencegahkan ketidakjujuran itu adalah menghindarkan mahasiswa
dari godaan atau gugahan untuk melakukan ketidakjujuran
akademik. Universitas harus menghindari kebijakan yang ambigu,
tak terdefinisikan secara jelas atau standar yang tidak realistik
untuk bekerja sama. Manajemen kelas yang tidak memadai dan
penjagaan ujian yang lemah juga harus dihindari.

9. Menentang dan menindak keras ketidakjujuran akademik ketika itu


terjadi.

Mahasiswa mengobservasi bagaimana anggota fakultas


betingkahlaku dan menilai mereka. Jika ada anggota fakultas yang
mengabaikan integritas akademik, berbuat curang atau tidak
menjalankan tugas yang semestinya, mereka seperti mendapat
petunjuk bahwa kecurangan dimungkinkan di fakultasnya.
Mahasiswa akan kehilangan kepercayaan terhadap fakultas dan bisa
menilai rendah integritas akademik. Untuk menghindarinya, setiap
ada ketidakjujuran terjadi, itu harus ditentang dan diberi sanksi..

10. Membantu mendefinisikan dan mendukung standar integritas


akademik yang berlaku di kampus.

Tindakan yang tergolong dalam ketidakjujuran akademik oleh


mahasiswa dapat terjadi di fakultas, departemen atau program
pendidikan mana pun. Untuk mencegahnya diperlukan keterlibatan
semua civitas akademika, bukan hanya untuk mengenali pelaku
pelanggaran berulang dan menerapkan prosedur penanganan
pelanggaran, melainkan juga untuk mengafirmasi dan

19
menggunakan nilai bersama yang dibutuhkan untuk menjaga
integritas akademik dan menjadikan universitas sebagai komunitas
akademik yang sesungguhnya.

Lebih jauh lagi, untuk memfasilitasi kejujuran akademik, universitas,


melalui fakultas-fakultasnya, perlu memiliki kode kehormatan yang harus
dipatuhi oleh civitas akademikanya. Center for Academic Integrity
merumuskan kode kehormatan yang dimodifikasi dengan
mempertimbangkan kemajuan teknologi informasi, perkembangan
pemahaman hak-hak civitas akademika dan nilai-nilai demokratik yang
didasari oleh prinsip kesetaraan. Berikut ini sebagian unsur kode
kehormatan yang mereka rumuskan seperti yang dikemukakan oleh
Direktur Eksekutifnya, Timothy M. Dodd dalam situs web
http://www.academicintegrity.org (diambil tanggal 9 September 2011).

Kode kehormatan diinisiasi dan dioperasikan melalui tanggungjawab


bersama antara mahasiswa, dosen, pengelola administratif fakultas.

Mahasiswa memiliki representasi yang signifikan dalam panel


dengar pendapat yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pengelola
administratif fakultas.

Fakultas dapat menilai dan memberi sanksi langsung terlebih dahulu


(sesuai dengan panduan pemberian sanksi yang sudah dipublikasi),
selanjutnya harus berkonsultasi dengan dan melaporkan
pelanggaran ke instansi kampus yang berwenang memberikan
penilaian atau melakukan sidang lebih jauh lagi.

Pelanggaran pertama atau kedua dirujuk ke ke panel dengar


pendapat. Untuk sanksi yang lebih berat, diberikan terhadap
pelanggaran yang berulang-ulang, diperlukan sidang khusus yang
melibatkan instansi kampus yang berwenang memberikan penilaian
atau melakukan sidang lebih jauh lagi.

20
Pelibatan sanksi yang kreatif: pemberian sanksi secara kreatif yang
mempertimbangkan pemberian hukuman yang memberi efek jera
dipadukan dengan sanksi yang mendidik.

Kode kehormatan dapat mengandung klausul non-toleransi,


seringkali diungkapkan sebagai keharusan untuk bertindak atau
berespon atau kewajiban untuk mempedulikan apa yang terkandung
dalam kode kehormatan bagi semua anggota civitas akademika.

Kode kehormatan di universitas dapat dimodifikasi berdasarkan


perkembangan situasi yang terjadi di kampus dan situasi lain yang
relevan dengan kehidupan akademik. Penjelasan tentang pelanggaran-
pelanggaran yang belum diatur dalam kode kehormatan tetapi terjadi
dapat ditambahkan di sana. Pengembangan dan modifikasi kode
kehormatan ditujukan untuk meningkatkan integritas akademik dan lebih
beorientasi pada mendidik civitas akademika daripada menghukum
mereka. Kode kehormatan juga lebih berorientasi kepada promosi
integritas akademik daripada fokus pada pencegahan ketidakjujuran
akademik.

Kebijakan-kebijakan yang dibuat universitas dalam usaha


meningkatkan integritas akademik seharusnya lebih mendorong
munculnya perilaku ideal pada civitas akademikanya. Dodd dalam
http://www.academicintegrity.org (diambil tanggal 9 September 2011)
mengemukakan kode atau kebijakan integritas akademik, di antaranya:

kebijakan yang sesuai dengan nilai-nilai instusional yang sudah


disepakati;

kebijakan dapat dijalankan secara realistik dan sesuai dengan


anjuran, keharusan dan praktek-praktek yang secara budaya dinilai
baik;

21
mahasiswa adalah pendidik utama dan direkrut dari mereka yang
dikenal baik, punya kepemimpinan kuat dan dihormati karena
kebaikannya;

kebijakan dijalankan dengan proses yang bertahap untuk


menghindari faktor keterkejutan yang dapat mengganggu
keberlangsungan kinerja mahasiswa, dosen dan pengelola fakultas;

penyelidikan yang kompeten dan reliabel (melibatkan penyidik yang


terlatih, imparsial/mandiri dan permanen);

penilaian dan pemberian sanksi yang adil dan konsisten.

Penutup

Sebagai penutup, saya kemukakan ringkasan dari uraian saya


tentang kejujuran akademik. Pertama, kejujuran akademik menjadi hal
yang penting untuk diperhatikan, difasilitasi dan dipromosikan seiring
dengan meningkatnya kasus-kasus ketidakjujuran akademik yang makin
dimudahkan oleh perkembangan teknologi informasi. Di era informasi ini
kejujuran akademik mendapat tantangan dan godaan yang besar.

Kedua, kejujuran akademik sangat diperlukan komunitas ilmiah


dalam usaha mengembangkan ilmu pengetahuan. Tanpa kejujuran
akademik, komunitas ilmiah tak dapat membangun ilmu pengetahuan
yang dapat diandalkan untuk memahami, menjelaskan, meramalkan, dan
mengendalikan gejala yang ada di dunia.

Ketiga, kejujuran akademik, seperti halnya kejujuran secara umum,


bukan hanya berarti mengatakan atau menyampaikan yang benar,
melainkan lebih jauh dari itu merupakan kekuatan karakter. Kejujuran
akademik memampukan orang yang memilikinya untuk menjaga
integritas akademiknya.

Keempat, kejujuran akademik merupakan sifat yang harus dibentuk


melalui pembiasaan, sosialisasi, keteladanan, dan pemaknaan aktif pada

22
diri orang yang hendak memilikinya. Lebih jauh lagi, kejujuran akademik
harus menjadi hasrat atau dambaan dari insan akademik, harus dincintai.

Kelima, fasilitasi dan promosi kejujuran akademik perlu dilakukan


secara komprehensif, sistemik dan berkelanjutan. Diperlukan prinsip, kode
kehormatan, peraturan dan infrastruktur (fisik dan non-fisik) lainnya untuk
dapat membangun komunitas ilmiah yang berisi orang-orang yang
memiliki kejujuran akademik.

Tulisan ini merupakan satu bagian kecil dari usaha untuk


membentuk dan membentuk kejujuran akademi. Semoga dengan
penjelasan yang termuat dalam tulisan ini, pemahaman pembaca
bertambah dan semoga pemahaman itu bermanfaat.

Daftar Pustaka

Aristoteles. (1999). Nicomachean Ethics. Diterjemahkan oleh Terence


Irwin. Indianapolis: Hackett Publishing Company.
Bennett, R. (2005). Factors associtated with student plagiarism in a post-
1992 universitity. Assessment & Evaluation in Higher
Education, 30(2), 137-162.
Berdyaev, N. (1936/1972). Man as person. Dalam Reading in the
philosophy of man, 120-122. William L. Kelly & Andrew Tallon
(editors). New York: McGraw-Hill Company.
Bjorklund, M. & Wenestam, A. (1999, September). Academic cheating:
frequency, methods, and causes. Paper presented at the
European Conference on Educational Research, Lahti, Finland.
Dood, T.M. (ND). Honor Code 101: an Introduction to the Elements of
Traditional Honor Codes, Modified Honor Codes and Academic
Integrity Policies. Diambil pada 9 September 2011 dari
http://www.academicintegrity.org/educational_resources/honor
_code_101.php
Engler, J. N., Landau, J. D. & Epstein, M (2008). Keeping up with the
joneses: Students' perceptions of academically dishonest
behavior. Teaching of Psychology, 35 (2), 99-102.
Green, J.D. & Paxton, J.M. (2009). Patterns of neural activity associated
with honest and dishonest moral decisions. PNAS, Vol. 106,
No. 30.

23
Hannabuss, S. (2001). Contested texts: issues of plagiarism. Library
Management, 22(6/7), 311-316.
Irvine, C.A. (1996). What is Academic Dishonesty. Dalam Teaching
resources guide 1996-1997(pp. 77-78). California:
Instructional Resources Center, University of California.
Kohut, H. (1971). Analysis of the self. Chicago: University of Chicago Press.
Marsden, H., Carroll, M., & Neill, J.T. (2005). Who cheats at university? A
self-report study of dishonest academic behaviours in a
sample of Australian university students. Australian Journal of
Psychology, 57(1), 1-10.
McCabe, D.L. & Pavela, G. (1997). Ten Principles of academic integrity,
The Journal of College and University Law, No. 1, 117-118.
McFall, L. (1992). Integrity, dalam Ethichs and personalit, disunting oleh
John Deigh. Chicago: The University of Chicago Press.
Newstead, S., Franklyn-Stokes, A., & Armstead, P. (1996). Individual
differences in student cheating. Journal of Educational
Psychology, 88, 229-241.
Peterson, C. & Seligman, M.E.P. (2004). Character strengths and virtues: A
handbook and classification.. Oxford: Oxford University Press.
Rhoten, S. (1999). Academic Dishonesty, Dalam Teaching Nuggets 1999
(p. 75). Los Angeles: Center for Excellence in Teaching,
University of Southern California.
Sullivan, H.S. (1953d) Beginnings of the Self-System. Chapter 10 in Helen
Swick Perry and Mary Ladd Gawels (eds), The Collected Work
of harry Stack Sullivan. New York: Norton, 158-171.

24

Вам также может понравиться