Вы находитесь на странице: 1из 6

MENEMUKAN SIFAT DASAR SEJATI DIRI ANDA DAN

MEMPELAJARI JALAN MENUJU PENCERAHAN BATIN


(To find your true nature and learn the way of enlightenment)

Yang Mulia Bhiksuni Cheng Yen (Wang Chin Yun)


Taiwan, 14 Mei 1937
Penghargaan Ramon Mag Say Say (Nobel Perdamaian th. 1991)

Hyang Buddha mengatakan: "Adalah sukar untuk menemukan sifat dasar anda yang
sejati dan belajar menemukan jalan menuju pencerahan batin", serta jarang bagi manusia
yang mampu berpedoman pada sifat dasar sejati hingga mencapai suatu pencerahan batin
yang sempurna.

Selanjutnya hal itu merupakan kelemahan dari adanya kebodohan (Moha). Semua
mahluk sebenarnya memiliki kesamaan dalam kemurnian batin, sifat dasar kesucian,
kebaikan-kebaikan, yang menjadi watak manusia bijaksana yang telah dibawa sejak lahir.
Tetapi manusia cenderung mengabaikan begitu saja, dan senantiasa mengejar kebaikan-
kebaikan serta kebijaksanaan yang berada diluar dari dirinya. Sehingga dengan cara ini
manusia menjadi kehilangan pola pandang tentang keberadaan sesungguhnya sifat dasar
sejati tersebut yang terdapat didalam dirinya. Dengan kata lain bahwa mereka telah
membuang waktu percuma pada hidupnya yang Sangat berharga dan membawa dirinya
sendiri menuju pada jalan penipuan.

Sifat kebuddhaan (Boddhicitta) berada di dalam diri, bukan diluar

Pada masa perang (th.475-222 Sebelum Masehi) di zaman Tiongkok kuno, para penguasa
panglima perang menguasai beberapa kota di China. Di negara bagian Yen, terdapat
seorang anak yang mendengar bahwa orang-orang di negara bagian Chao, berjalan
dengan langkah gaya yang anggun menuju tempat pertunjukan kesenian drama, karena
banyak kegiatan seni sedang berkembang tumbuh subur disana, dilengkapi sejumlah artis.
Anak tersebut mencoba beraktivitas kreatif mempelajari cara berjalan yang anggun.
Maka ia berangkat ke Chao dan tinggal disana selama beberapa tahun. Dari hasil yang
didapat, anak tersebut tidak hanya gagal dalam mempelajari cara berjalan yang baru,
tetapi dia juga lupa bagaimana cara berjalan seperti awalnya. Pada akhirnya, anak
tersebut kembali ke Yen dengan cara merangkak.

Walaupun ini merupakan sebuah cerita yang mustahil, sebenarnya banyak terjadi
kesamaan pada orang lain yang persis anak yang berasal dari Yen tersebut, mereka telah
kehilangan apa yang telah dimiliki, seperti sifat-sifat dasar kebuddhaan. Insting manusia
akan mengajarkan semua anak sehat pada saat tertentu setelah kelahirannya, untuk belajar
cara berjalan. Anak dari Yen tersebut malah ingin meninggalkan cara ini dan mempelajari
cara berjalan yang dipergunakan dalam pertunjukan drama. Pada akhirnya, ia gagal
mempelajari sesuatu yang baru dimana pada saat yang bersamaan, kehilangan pula
kemampuan untuk berjalan secara normal / alami. Umat Buddha pun ingin mencari sifat
kebuddhaan (Boddhi Citta) mereka. Tetapi mengapa tidak pernah mencari dalam diri
masing-masing ?
Pada suatu hari, sekolah pendidikan perawatan Tzu Chi mengadakan acara. Para murid
dan keluarganya berkumpul di lapangan dan memainkan permainan, dimana setiap
kelompok harus menyediakan barang-barang yang berkaitan dengan objek yang
disebutkan oleh moderator. Setiap kelompok yang dapat menyediakan barang terbanyak
disebut pemenang. Semuanya berkumpul termasuk direktur sekolah, istri beserta suami
turut berpartisipasi dalam acara permainan tersebut. Para murid bermain spontan, saat
mereka membutuhkan sesuatu, mereka melihat lalu memintanya dari siapa saja yang
terlihat ada memegang barang, walaupun mereka kenal atau tidak. Mereka yang hadir
turut berpartisipasi dalam luapan kegembiraan. Bila yang dibutuhkan sehelai rambut, para
murid akan membiarkan teman satu timnya untuk mencabut sehelai rambut dari mereka.
Selain itu juga para murid meminjam tali sepatu atau ban pinggang dari semua orang.
Anehnya pada babak akhir permainan, sepatu direktur sempat juga dipinjam !

Kemudian dari mereka melanjutkan bermain lomba bakiak. Semua kalangan berbagai
usia dan golongan berbaur menjadi satu dan membentuk grup bersama. Ketika mereka
jatuh, mereka bangkit lagi dan berlari. Tidak ada yang peduli siapa yang akan menjadi
juara. Yang terpenting, semuanya bergembira. Dari semua permainan tersebut
diselenggarakan, sebenarnya merupakan tujuan.

Hidup seharusnya demikian. Kita harus menghargai sifat sifat kebuddhaan dan berhenti
untuk berpikir tentang keinginan-keinginan serta harus mengerti bahwa selama hidup
berjuang memenuhi tanggung jawab, maka tidak memprioritaskan lagi apakah kita harus
"menang" atau "kalah". Dalam kehidupan kita, yang terpenting adalah tidak kehilangan
sifat-sifat dasar batin, yang pada prinsipnya setiap manusia sama. Saat kita belajar agama
Buddha, hal pertama yang harus kita lakukan adalah kembali pada sifat-sifat dasar kita
dan memahaminya.

Pergunakan pikiran baik dari sekarang

Kita seringkali kehilangan pikiran baik, yang muncul bila saat saat dibutuhkan. Sebagai
contoh, kita menyatakan akan melakukan sesuatu perbuatan baik, tetapi di detik
berikutnya kita menyesali. Atau mungkin kita menyesali perbuatan buruk yang dilakukan
pada hari kemarin. Orang-orang seringkali menyesali perbuatan-perbuatan atau kejadian-
kejadian yang sudah lewat. Hal ini disebabkan karena tidak mempunyai pengendalian diri
yang kuat dan tidak mengerti diri kita siapa sebenarnya. Ini sebabnya kita harus waspada
dalam menjaga pikiran kita sekarang.

Jika saya (penulis) ditanya, apa yang direncanakan untuk hidup. Saya selalu menjawab,
"Saya mempunyai cita-cita besar untuk sadar dan berpegang pada setiap detik yang ada
disini pada saat ini". Dengan alasan, apabila kita dapat menjaga pikiran, kita tidak akan
melakukan atau mengucapkan sesuatu kata yang salah, selain itu lalai dan menjadi
bingung.

Dalam gerak kehidupan, kita harus bersungguh-sungguh menjaga setiap langkah pikiran.
Karena bagaimanapun juga, manusia cenderung untuk lepas dari jalur pikiran dan hidup
dalam hari-hari yang membingungkan. Kita ceroboh dalam memperlakukan orang-orang
disekitarnya, begitu kejadian dihadapi, berakhir muncul yang kita sesali. Pada saat itu
kita harus melupakan kejadian buruk, kita akan terus menyesalinya dan membuang waktu
kita dalam kecemasan yang sia-sia.

Buddha berkata, adalah sulit untuk menemukan jati diri kita dan mempelajari jalan
menuju pencerahan. Hal ini karena manusia sering kehilangan pikiran. Kesimpulannya,
hal tersebut terjadi karena kita tidak dapat menjaga pikiran kita, yang mana sebenarnya
mudah, sehingga menjadikannya sulit. Jika kita mempunyai kontrol yang kuat atas
pikiran kita dan mengenali siapa diri kita sebenarnya, maka mempelajari jalan menuju
pencerahan akan menjadi sesuatu hal yang mudah.

Memahami pikiran Hyang Buddha

Setiap mahluk hidup mempunyai fungsi dan sifat dasar yang berbeda. Apa yang kita
dengarkan suara, aroma, udara alam di pagi hari. Kokok ayam bersautan, kicau burung
bernyanyi dan bunga-bunga bermekaran menyebarkan harumnya. Mahluk-mahluk ini
menjalankan fungsinya sesuai dengan sifat dasarnya.

Sebenarnya, kita sebagai manusia juga mempunyai kegunaan/fungsi dan memiliki sifat
dasar alami. Para bhiksu dan bhiksuni tinggal di dalam vihara bangun sebelum subuh.
Entah mereka membaca sutra atau bernamaskara di depan Buddha rupang, mereka semua
mempunyai satu pikiran, yaitu meneruskan ajaran Buddha. Mereka dapat mengurangi
waktu tidur dan berusaha bangun jam 3 atau jam 4 pagi untuk menambah pengertian
tentang ajaran agama Buddha dan jalan mencari kebenaran.

Tetapi walaupun yang dilakukan, apakah kita akan benar-benar dapat


melihat/mendapatkan sifat-sifat dasar Hyang Buddha ? Apakah kita dapat
mengembalikan jati diri kita dan mendapatkan pencerahan ? Pada saat kita melafalkan
nama Hyang Buddha, apakah kita benar-benar memahami sifat dasar Hyang Buddha ?
Mari kita kesampingkan pertanyaan-pertanyaan ini dan kita lihat tingkah laku dan cara
berbicara kita sehari-hari. Berapa banyak sifat buruk yang kita lakukan ? Berapa banyak
yang sudah kita kenali dan kita kurangi ? Kebanyakan dari kita tidak mengerti diri kita
sendiri. Jadi bagaimana kita dapat memahami ajaran agama Buddha ?

Kita sering berkata, "Tidak ada bedanya antara pikiran, Hyang Buddha dan semua
mahluk hidup". Ini Sangatlah mudah untuk diucapkan, tetapi sebenarnya kita tidak
memahami secara keseluruhan pokok dari konsep sederhana ini. Kebanyakan dari kita
tahu dasar dari persamaan, keluguan dan kebebasan hanya sebatas kata-kata. Jarang
sekali orang menyadari bahwa pikiran yang ada dalam diri sendiri sebenarnya Sangat
dekat dengan pikiran Hyang Buddha. Ini sebabnya Hyang Buddha terasa Sangat jauh,
karena kondisi sebagai manusia seringkali tidak dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya, oleh sebab itu wujud kita sebagai manusia menjadi tidak berarti.

Jika kita dapat menggunakan tubuh manusia untuk melakukan sesuatu yang baik, maka
pikiran kita akan menyerupai pikiran Hyang Buddha. Tetapi kebanyakan manusia tidak
dapat melakukan hal ini, malah sebaliknya. Ini sebabnya kita hanya sebagai manusia
yang Sangat jauh dari Hyang Buddha.

Ayam berkokok dan anjing menggonggong, tetapi mereka tidak mampu menyadari
keberadaan tentang kebenaran. Hal ini disebabkan karena hewan tidak memiliki
intelektual. Seekor hewan hanya memiliki sifat dasar yang lugu dan murni, tetapi hewan
tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh pencerahan dan menemukan
kebenaran. Dan karenanya, hewan berada di tingkat yang Sangat jauh dengan tingkatan
Buddha. Manusia mempunyai persepsi intelektual. Lingkungan sekitar kita juga
mendukung situasi dimana bila kita mengalami dan mempelajari, dapat mendorong untuk
merefleksi diri. Dengan demikian, kita mempunyai kesempatan yang paling baik untuk
mendekatkan diri pada sifat kebudhaan.

Tetapi malangnya, banyak orang membiarkan kesempatan ini lewat begitu saja dan
menghilangkan kesempatan untuk merasakan sifat dasar mereka. Kebalikannya, mereka
mempelajari ilmu-ilmu mistik dan mencari kekuatan supernatural. Dan ini sama sekali
bukanlah maksud atau tujuan mempelajari Buddha-Dharma.

Jangan menyesali pikiran pada saat yang sudah lewat

Sebagai seorang penganut agama Buddha, sebenarnya yang kita cari adalah
mengkondisikan keadaan pikiran dan tidak menyesali perbuatan ucapan yang dilakukan
oleh pikiran pada waktu yang sudah terlewati. Hanya dengan cara ini kita dapat memiliki
pikiran yang mantap untuk meneruskan pengembangan ajaran agama Buddha. Jika kita
selalu menyesali kesalahan-kesalahan kita di masa lalu, memikirkan hal-hal buruk yang
telah kita lakukan atau ucapkan, maka kita tidak akan dapat berkonsentrasi pada masa
sekarang. Jika kita mencoba mengerti pikiran orang lain tanpa terlebih dahulu dapat
mengerti pikiran kita sendiri, kita akan lebih mudah menyimpang dari ajaran Hyang
Buddha dan akan menapak menuju jalan kejahatan.

Sikap yang benar dalam mempelajari Buddha-Dharma adalah dengan melihat pada
kenyataan hidup sekarang ini. Kita harus tahu dan menilai seberapa besar potensi yang
ada dalam diri kita, serta bagaimana kita dapat menggunakannya untuk menolong mahluk
lain.

Ada suatu cerita sebagai berikut. Terdapat sebuah Vihara tua, pada halaman depannya
terdapat sebuah kolam dan banyak terdapat katak yang hidup bermain diair. Katak-katak
tersebut kadangkala melompat menyelam ke dalam kolam dan tinggal di dalamnya.
Terkadang juga melompat keluar kolam untuk melihat-lihat dunia. Banyak penganut
agama Buddha datang ke Vihara tersebut untuk membakar dupa, membaca sutra, dll.
Kadang kala mereka berjalan disekitar altar dan melafalkan nama Buddha dengan
menggunakan tasbih. Ketika katak-katak tersebut berada diluar kolam dan melihat para
penganut agama Buddha berjalan dengan anggun, mereka berharap dapat melakukan hal
yang sama.
Salah satu dari katak tersebut melompat ke dalam altar pada saat orang-orang
bernamaskara di depan Buddha rupang. Katak tersebut berdoa dengan sungguh-sungguh
dan tulus agar Hyang Buddha dapat mengabulkan permintaannya untuk dapat berdiri
dengan dua kaki dan berjalan seperti manusia. Seorang dewa penghuni Vihara tergerak
hati, karena ketulusan katak tersebut, kemudian mengabulkan permintaannya. Katak
tersebut Sangat senang bercampur bangga, karena katak lainnya masih melompat dengan
menggunakan empat kaki sedangkan hanya dia yang dapat berjalan dengan dua kaki.

Pada suatu hari, tiba-tiba muncul seekor ular. Hampir semua katak masuk ke dalam
kolam untuk bersembunyi dari kejaran ular. Katak yang dapat berjalan seperti manusia,
juga merasa cemas dan takut, karena melangkah dengan 2 kaki tidak secepat melompat
dengan 4 kaki. Kemampuannya berkurang. Akhirnya, ular tersebut menangkap katak
yang berjalan. Pada saat katak tersebut meronta-ronta kesakitan dalam mulut ular, ia
berpikir dengan penyesalan yang mendalam, "Mengapa saya mengorbankan kemampuan
saya untuk melompat hanya karena ingin dapat berjalan dengan 2 kaki. Hidup saya
berakhir dalam mulut seekor ular. Namun sekarang sudah terlambat untuk kata
menyesal".

Walaupun hanya cerita anak-anak (jataka), tetapi yang terkandung ini memberi makna
peringatan yang baik buat kita. Jika kembali mempelajari Buddha-Dharma, sebelumnya
kita harus menemukan kembali sifat dasar dan kemampuan kita. Janganlah selalu mencari
sesuatu yang berada diluar jangkauan, yang pada akhirnya kita akan gagal. Beberapa
orang mengatakan bahwa mereka ingin mempelajari jalan menuju pencerahan, tetapi
sebaliknya, mereka kehilangan jati dirinya dan mengejar kekuatan supernatural dan
memasuki kerajaan setan. Bukan hanya pikiran mereka yang menjadi kacau, tetapi
mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kebijaksanaan. Hal ini
tentulah Sangat menyedihkan.

Maksud yang sesungguhnya dalam mempelajari Buddha Dharma adalah mengaplikasikan


ajaran Buddha dalam realita kehidupan sehari-hari. Dengan mempergunakan metode
ajaran Buddha sebagai embun pagi yang dapat membersihkan kebodohan dan noda batin
pada pikiran kita. Tujuan utama dalam mempelajari agama Buddha adalah
mengimplementasikan kehidupan yang selama ini di sia-siakan dan menyadari
keterbatasan kita dalam cinta kasih. Sesuatu hal yang amat keliru apabila berpikir dalam
belajar agama Buddha untuk mencari kekuatan supranatural.

Akhir kata, semoga kita semua dapat memahami diri dan dapat melaksanakan dengan
baik. Jika gagal melakukan, biarpun terus menerus melatih pengembangan spiritual, kita
akan sulit untuk memperoleh kebenaran. Sebenarnya, yang terdekat terdapat dalam diri
kita, tetapi seringkali kita lupakan dan malah mencari apa yang ada diluar diri kita. Mata
kita dapat melihat orang lain dengan jelas tetapi tidak dapat bercermin melihat wajah kita
sendiri. Mengapa yang terdekat dengan kita seringkali dilupakan atau tidak terlihat.

Dalam mempelajari agama Buddha, kita sudah seharusnya memulai dari yang terdekat,
yakni memilih jalan yang paling mudah, kemudian berupaya memberdayakan potensi
kita yang ada untuk menolong yang memerlukan. Ingatlah bahwa kita tidak boleh
melupakan yang terdekat dengan kita dan mencari sesuatu diluar jangkauan kita.toto

Вам также может понравиться