Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
oleh
Jember,
Mahasiswa
.. ..
NIP. NIP.
A. Anatomi dan Fisiologi Otak
1. Bagian-bagian Otak
Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. SSP
dilindungi oleh tulang-tulang yaitu sumsum tulang belakang dilindungi oleh ruas
tulang belakang dan otak dilindungi oleh tengkorak. Sebagian besar otak terdiri
dari neuron, glia, dan berbagai sel pendukung. Otak manusia mempunyai berat
2% dari berat badan orang dewasa (3 pon), menerima 20% curah jantung,
memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400 kilokalori energi
setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi
dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme
oksidasi glukosa (Price & Wilson, 2006).
2. Klasifikasi
a. Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3
subtipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan
mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan tipe longitudinal
fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini (Ishman dan Friedland,
2004; Qureshi, et al, 2009).
(A)Transverse temporal bone fracture dan (B) Longitudinal temporal
bone fracture
A B
b. Fraktur Longitudinal
Terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa
pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
segmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian
anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule,
berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada
mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum
dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen
magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir
pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur
unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.Namun sistem
lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini
membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous
fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air
cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis
(Qureshi, et al, 2009).
c. Fraktur Condylar Occipital (Posterior)
Fraktur ini merupakan hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan
kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada
ligamentum alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternatif membagi
fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu dengan dan tanpa
cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang
mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis
cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung
meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II
diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligamen alar dan
membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah
cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini
berpotensi menjadi fraktur tidak stabil (American College of Surgeon
Committe on Trauma, 2004; Sugiharto, dkk, 2006).
Klasifikasi lain oleh Muttaqin (2008) menyebutkan terdapat beberapa
kejadian cedera kepala hingga terjadi fraktur basis cranii diantaranya:
1) Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua
yaitu :
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7
dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial
dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
2) Berdasarkan morfologi cedera kepala
Cedera kepala menurut dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang
meliputi:
a. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala.
Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP)
yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis
dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit
bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi
robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh
darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
a) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang
kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada
tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala
bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga
intrakranial.
b) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala.
Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura
belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering
terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya
hematum epidural.
c) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih
dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal.
Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau
laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap
bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk
dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.
e) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan robekan
pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis
kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior,
fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada
perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter
daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter
daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria.
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan
durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal
yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon
eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batles
sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat
menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah
gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan
saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis
kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang
mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan
yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung
dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada
tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang
dan kepala miring ke posisi yang sehat.
d. Etiologi
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Jatuh
c. Trauma benda tumpul
d. Kecelakaan kerja
e. Kecelakaan rumah tangga
f. Kecelakaan olahraga
g. Trauma tembak dan pecahan bom
e. Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan
adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera
kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan
memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah
kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan
terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) lokal, maupun difus.
Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu
saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan
difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak
dan umumnya bersifat makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer,
misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral
menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah
di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,
subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara
durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah
berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Otak dapat berfungsi
dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada
saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak
akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini
akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml
/menit/100 gr jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat
adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung
pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita);
transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula;
atau efek dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi
dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal
cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat
cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper
et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak
disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme
termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak,
atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe
whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara
sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan
dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba
mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata
mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut
kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior
kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula (Khlilullah, 2011)..
f. Tanda Gejala
1) Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea
dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur
basis cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di
sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis
intrakranial (Thai, 2007).
2) Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang
berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik
kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy,
nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII (Netter dan Machado, 2003).
3) Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan
labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan
pendengaran permanen (permanent neural hearing loss) (Tuli, et al,
2008).
4) Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital,
terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait
cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan
cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia
(Anderson dan Montesano, 2005; Tuli, 2008; Netter dan Machado,
2003).
5) Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan
nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan
kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralisis ipsilateral dari pita
suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah
fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X,
XI, dan XII (Anderson dan Montesano, 2005; American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004).
g. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis craniii antara lain:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
b. Pemeriksaan radiologi
1) Foto rontgen
2) CT Scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu
dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga
ukuran 1 1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam
menilai skull fraktur. CT Scan helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi
tidak diperlukan (Qureshi,et al, 2009).
3) MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai
tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada
ligament dan vaskuler. Cedera pada tulang jauh lebih baik
divisualisasikan dengan menggunakan CT Scan (Qureshi,et al,
2009).
4) Pemeriksaan arteriografi
Diagnosa Keperawatan
1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan penurunan
aliran darah ke serebral (hemoragi, hematoma); edema cerebral,
2. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan depresi pusat
pernapasan
3. Nyeri akut berhubungan dengan pergesaran fragmen tulang
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neurosensori
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan neuromuscular
6. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
7. Resiko kekurangan volume cairan
8. Resiko kerusakan integritas kulit
9. Resiko infeksi
Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Rsiko NOC: NIC:
ketidakefektifan Tissue Perfusion: Cerebral Neurologic Monitoring
perfusi jaringan otak (NOC: 543b) a. Monitor ukuran pupil, bentuk, a. mengetahui tingkat kesadaran
berhubungan dengan Circulation Status (NOC: kesimetrisan, dan reaktifitasnya melalui saraf pupil
Tahanan pembuluh 138b) b. Monitor level kesadaran b. mengontrol keadaan serebral
Neurological Status (NOC:
darah; infark c. Monitor level orientasi c. mengetahui tingkat kesadaran
376b)
Cardiac Pump Effectiveness d. Monitor Glasgow Coma Scale d. mengetahui tingkat kesadaran
(NOC: 115b) e. Monitor tanda vital: suhu, tekanan e. mengetahui kondisi tubuh klien
Setelah dilakukan asuhan darah, nadi, dan respirasi f. mengetahui keadekuatan
selama f. Monitor status respirasi: level AGD, pernafasan klien
ketidakefektifan perfusi oksimetri nadi, kedalaman, pola, laju, g. mengetahui keadaan serebral klien
jaringan cerebral teratasi dan usaha napas h. mengetahui tingat kesadaran
dengan kriteria hasil: g. Monitor Intra Cranial Pressure (ICP) i. mengetahui tingkat kesadaran
. Tekanan systole dan dan Cerebral Perfusion Pressure j. mengetahui perkembangan
diastole dalam rentang (CPP) pengobatan klien
yang diharapkan h. Monitor refleks kornea k. mengontrol keseimbangan ditubuh
(sistol: <140 mmHg; i. Monitor tonus otot pergerakan l. hemodinamik menentukan
diastole: <90 mmHg) j. Catat perubahan pasien dalam keadekuatan sirkulasi
a. Tidak ada merespon stimulus m. menurunkan TIK
ortostatikhipertensi k. Monitor status cairan
b. Komunikasi jelas l. Pertahankan parameter hemodinamik
Menunjukkan m. Tinggikan kepala 0-45o tergantung
konsentrasi dan pada kondisi pasien dan order medis
orientasi (GCS : Intracranial Pressure (ICP) Monitoring
E4V5M6) n. Monitor intake dan output n. mengatur keseimbangan cairan
a. Pupil seimbang dan o. Cek kaku kuduk klien o. kaku kuduk mengindikasikan
reaktif p. Posisikan klien dengan kepala dan peningkatan TIK
b. Bebas dari aktivitas leher pada posisi normal, menghindari p. mencegah peningkatan TIK
hip fleksi yang ekstrim q. melancarkan sirkulasi darah
kejang q. Sesuaikan kepala di tempat tidur untuk r. terlalu banyak intervensi
c. Tidak mengalami nyeri mengoptimalkan pefusi serebral mendorong peningkatan TIK
kepala r. Batasi perawatan untuk meminimalkan
peningkatan ICP
2. Ketidakefektifan pola NOC: NIC:
nafas b.d medula a. Respiratory status: Airway Management
oblongata tertekan Ventilation a. Atur posisi pasien untuk a. Memudahkan ekspansi paru dan
Batasan karakteristik: b. Respiratory status: memaksimalkan ventilasi menurunkan adanya kemungkinan
a. Perubahan Airway patency b. Anjurkan bernafas yang pelan dan lidah jatuh yang menyumbat jalan
kedalaman c. Vital sign Status dalam napas
pernafasan Setelah dilakukan c. Auskultasi suara nafas, catat area b. Membantu keefektifan pernafasan
b. Perubahan tindakan keperawatan penurunan atau ketiadaan ventilasi dan pasien
ekskursi dada selama ..pasien adanya suara nafas tambahan c. Perubahan dapat menandakan
c. Mengambil posisi menunjukkan keefektifan d. Monitor respirasi dan oksigenasi awitan komplikasi pulmonal atau
tiga titik pola nafas, dibuktikan e. Kolaborasi pemberian oksigen yang menandakan lokasi/ luasnya
d. Bradipneu dengan kriteria hasil: sudah terhumidifikasi keterlibatan otak
e. Penurunan a. Mendemonstrasikan d. Menentukan kecukupan
tekanan ekspirasi batuk efektif dan pernapasan, keseimbangan asam
f. Penurunan suara nafas yang basa dan kebutuhan akan terapi
ventilasi semenit bersih, tidak ada e. Memaksimalkan oksigen pada
g. Penurunan sianosis dan dyspneu darah arteri dan membantu dalam
kapasitas vital (mampu pencegahan hipoksia
h. Dispnea mengeluarkan
i. Peningkatan sputum, mampu
diametr anterior bernafas dg mudah,
posterior tidakada pursed lips)
j. Pernafasan b. Menunjukkan jalan
cuping hidung nafas yang paten
k. Ortopnea (klien tidak merasa
l. Fase ekspirasi tercekik, irama nafas,
memanjang frekuensi pernafasan
m. Pernafasan bibir dalam rentang
n. Takipnea normal, tidak ada
o. Penggunaan otot suara nafas abnormal)
aksesorius untuk c. Tanda Tanda vital
bernafas dalam rentang
normal: TD= 100-
140/60-90 mmHg;
N=60-100x/menit;
RR= 16-24x/menit
3. Nyeri akut NOC: NIC:
berhubungan dengan Pain Control Pain Management
peningkatan tekanan Pain Level a. Lakukan pengkajian nyeri secara a. Mengetahui gambaran klinis nyeri
intracranial (TIK) Comfort Status komprehensif termasuk lokasi, yang dirasakan
Setelah dilakukan karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas b. Memvalidasi ketidaknyamanan
tindakan keperawatan dan faktor presipitasi klien melalui subjektif dan objektif
selama . Pasien tidak b. Observasi reaksi nonverbal dari c. Dukungan untuk kesembuhan klien
mengalami nyeri, dengan ketidaknyamanan d. Memberikan kenyamanan klien
kriteria hasil: c. Bantu pasien dan keluarga untuk agar tidak fokus pada nyeri
a. Mampu mengontrol mencari dan menemukan dukungan e. Menghindari timbulnya nyeri
nyeri (tahu penyebab d. Kontrol lingkungan yang dapat f. Untuk menentukan intervensi
nyeri, mampu mempengaruhi nyeri seperti suhu g. Memberikan kenyamanan klien
menggunakan tehnik ruangan, pencahayaan dan kebisingan agar tidak fokus pada nyeri
nonfarmakologi untuk e. Kurangi faktor presipitasi nyeri h. Bantuan farmakologis dasar
mengurangi nyeri, f. Kaji tipe dan sumber nyeri i. Mengurangi timbulnya nyeri
mencari bantuan) g. Ajarkan tentang teknik non j. Meningkatkan koping diri klien
b. Melaporkan bahwa farmakologi: napas dada, relaksasi,
nyeri berkurang distraksi, kompres hangat/ dingin
dengan menggunakan h. Berikan analgetik untuk mengurangi
manajemen nyeri nyeri: ...
c. Mampu mengenali i. Tingkatkan istirahat
nyeri (skala, intensitas, j. Berikan informasi tentang nyeri seperti
frekuensi dan tanda penyebab nyeri, berapa lama nyeri
nyeri) akan berkurang dan antisipasi
d. Menyatakan rasa ketidaknyamanan dari prosedur
nyaman setelah nyeri
berkurang
e. Tanda vital dalam
rentang normal (Suhu :
36,5-3,5C; TD:
100/70-140/90 mmHg;
nadi: 60-100 x/menit;
RR: 16-24 x/menit)
f. Tidak mengalami
gangguan tidur
4. Hambatan mobilitas NOC: NIC:
fisik berhubungan Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation
dengan Kelemahan Mobility Level a. Monitoring vital sign sebelm/sesudah a. Mengontrol kemampuan klien
neutronsmiter Self care : ADLs latihan dan lihat respon pasien saat b. Melakukan terapi sesuai dengan
Transfer performance latihan kemampuan klien
Setelah dilakukan b. Konsultasikan dengan terapi fisik c. Mencegah cidera
tindakan keperawatan tentang rencana ambulasi sesuai d. Melatih klien untuk melakukan
selama.hambatan dengan kebutuhan rentang gerak minimal
mobilitas fisik teratasi c. Bantu klien untuk menggunakan e. Menentukan terapi mobilisasi
dengan kriteria hasil: tongkat saat berjalan dan cegah selanjutnya
a. Klien meningkat terhadap cedera f. Memandirikan klien untuk
dalam aktivitas fisik d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan melakukan activity daily living
b. Mengerti tujuan dari lain tentang teknik ambulasi (ADL)
peningkatan e. Kaji kemampuan pasien dalam g. Memberikan dukungan bagi
mobilitas mobilisasi kemajuan klien
c. Memverbalisasikan f. Latih pasien dalam pemenuhan h. Membantu klien terbiasa secara
perasaan dalam kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai pelahan dengan kondisi tubuhnya
meningkatkan kemampuan i. Membantu klien terbiasa secara
kekuatan dan g. Dampingi dan Bantu pasien saat pelahan dengan kondisi tubuhnya
kemampuan mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
berpindah ADLs ps.
d. Memperagakan h. Berikan alat bantu jika klien
penggunaan alat memerlukan.
Bantu untuk i. Ajarkan pasien bagaimana merubah
mobilisasi (walker) posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
5. Resiko Cedera Setelah dilakukan a. Bina hubungan saling percaya a. Menjalin rasa percaya, aman, dan
berhubungan dengan tindakan keperawatan b. Kaji status emosional klien nyaman pada klien
gangguan emosional selama 3x24 jam pasien c. Berikan klien penjelasan mengenai b. Mengetahui status emosional dan
tidak mengalami cedera informasi tentang procedure perawatan potensi cedera klien
dengan kriteria hasil: d. Modifikasi lingkungan klien c. Memberikan pengetahuan pada
a) Melaporkan tidak e. lakukan raistrain klien klien
adanya cedera fisik f. Observasi respon klien d. Mencegah cedera yang terjadi dari
b) Klien tampk tidak lingkungan
mengalami cedera e. Membatasi gerak klien
c) Tidak terdapat luka f. Mengetahui respon dari pasien
DAFTAR PUSTAKA
Legros, B., et al. 2007. Basal Fracture of The Skull and Lower (IX, X, XI, XII)
Cranial Nerves Palsy: Four Case Reports Including Two Fractures of The
Occipital Condyle. J Trauma. [diakses 13 Juni 2016].
Pillai, P.,et al. 2010. Traumatic Tension Pneumocephalus: Two Cases and
Comprehensive Review of Literature. OPUS 12 Scientist. [diakses 13 Juni
2016].