Вы находитесь на странице: 1из 33

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR BASIS


CRANII DI RUANG GARDENA RSD dr. SOEBANDI JEMBER

disusun guna memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Ners (P3N)


Stase Keperawatan Medikal Bedah

oleh

Eka Desi Pratiwi, S. Kep


NIM 112311101053

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Fraktur Basis


Cranii di Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember yang telah disetujui dan
disahkan pada:
tanggal:
tempat: Ruang Gardena RSD dr. Soebandi Jember

Jember,

Mahasiswa

Eka Desi Pratiwi, S. Kep


NIM 112311101053

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

.. ..
NIP. NIP.
A. Anatomi dan Fisiologi Otak
1. Bagian-bagian Otak
Sistem saraf pusat (SSP) terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. SSP
dilindungi oleh tulang-tulang yaitu sumsum tulang belakang dilindungi oleh ruas
tulang belakang dan otak dilindungi oleh tengkorak. Sebagian besar otak terdiri
dari neuron, glia, dan berbagai sel pendukung. Otak manusia mempunyai berat
2% dari berat badan orang dewasa (3 pon), menerima 20% curah jantung,
memerlukan 20% pemakaian oksigen tubuh, dan sekitar 400 kilokalori energi
setiap harinya. Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi
dalam seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme
oksidasi glukosa (Price & Wilson, 2006).

Gambar 1. Bagian-bagian otak

Gambar 1. Bagian-bagian Otak

Otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu cerebrum, cerebellum, brainstem


(batang otak), dan limbic system (sistem limbik).
a. Cerebrum
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut
dengan nama cerebral cortex, forebrain, atau otak depan. Cerebrum membuat
manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran,
perencanaan, memori dan kemampuan visual. Cerebrum secara terbagi menjadi 4
(empat) bagian yang disebut lobus yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus
occipital dan lobus temporal.
1) Lobus frontal merupakan bagian lobus yang terletak pada bagian depan
cerebrum. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan,
kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi
penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan
kemampuan bahasa secara umum.
2) Lobus parietal berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti
tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
3) Lobus temporal berhubungan dengan kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
4) Lobus occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan
rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan
interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata (Muttaqin,
2008)..

Gambar 2. Lobus-lobus pada cerebrum


b. Cerebellum
Cerebellum atau otak kecil adalah bagian dari sistem saraf pusat yang
terletak di bagian belakang tengkorak (fossa posterior cranial). Semua aktivitas
pada bagian ini di bawah kesadaran (involuntary). Fungsi utama cerebelum yaitu
mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot serta mengubah tonus dan
kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan dan sikap tubuh.
Apabila terjadi cedera pada cerebelum, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap
dan koordinasi gerak otot sehingga gerakan menjadi tidak terkoordinasi (Price
dalam Muttaqin, 2008).
c. Brainstem
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga
kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum
tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk
pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan,
dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari)
saat datangnya bahaya (Puspitawati, 2009). Batang otak terdiri dari tiga bagian,
yaitu:
1) Mesencephalon atau otak tengah (mid brain) adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan cerebrum dan cerebelum.
Mesencephalon berfungsi untuk mengontrol respon penglihatan, gerakan
mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh, dan fungsi
pendengaran.
2) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri
badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla
oblongata mengontrol fungsi involuntary otak (fungsi otak secara tidak
sadar) seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
3) Pons disebut juga sebagai jembatan atau bridge merupakan serabut yang
menghubungkan kedua hemisfer serebelum serta menghubungkan
midbrain disebelah atas dengan medula oblongata. Bagian bawah pons
berperan dalam pengaturan pernapasan. Nukleus saraf kranial V
(trigeminus), VI (abdusen), dan VII (fasialis) terdapat pada bagian ini.
d. Limbic system (sistem limbik)
Sistem limbik merupakan suatu pengelompokan fungsional yang mencakup
komponen serebrum, diensefalon, dan mesensefalon. Secara fungsional sistem
limbik berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut.
1) Suatu pendirian atau respons emosional yang mengarahkan pada tingkah
laku individu
2) Suatu respon sadar terhadap lingkungan
3) Memberdayakan fungsi intelektual dari korteks serebri secara tidak sadar
dan memfungsikan batang otak secara otomatis untuk merespon keadaan
4) Memfasilitasi penyimpanan suatu memori dan menggali kembali simpanan
memori yang diperlukan

2. Pembuluh Darah Otak


Otak harus menerima kurang lebih satu liter darah per menit, yaitu sekitar
15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi
normal. SSP sangat tergantung pada aliran darah yang memadai untuk nutrisi dan
pembuangan sisa-sisa metabolismenya. Suplai darah arteri ke otak merupakan
suatu jalinan pembuluh-pembuluh darah yang bercabang-cabang, saling
berhubungan erat sehingga dapat menjamin suplai darah yang adekuat untuk sel
(Muttaqin, 2008). Suplai darah otak dijamin oleh dua pasang arteri, yaitu arteri
karotis interna dan arteri vertebrobasiler.
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteri karotis komunis.
Arteri karotis interna terdiri dari arteri karotis kanan dan kiri, yang menyalurkan
darah ke bagian depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebri anterior dan
media. Ateri serebri anterior memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti
nuklues kaudatus dan putamen basal ganglia, bagian kapsula interna dan korpus
kalosum, serta bagian lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks
somestetik dan korteks motorik. Bila arteri serebri anterior mengalami sumbatan
pada cabang utamanya, maka akan terjadi hemiplegia kontralateral yang lebih
berat di bagian kaki dibandingkan bagian tangan dan terjadi paralisis bilateral dan
gangguan sensorik bila terjadi sumbatan total pada kedua arteri serebri anterior
(Muttaqin, 2008). Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus
temporalis, parietalis, dan frontalis korteks serebri, serta membentuk penyebaran
pada permukaan lateral yang menyerupai kipas.
Arteri vertebrobasiler yang memasok darah ke bagian belakang otak
disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri
serebrum anterior bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk
suatu sirkulus willisi (Muttaqin, 2008). Aliran vena otak meninggalkan otak
melalui sinus dura mater yang besar dan kembali ke sirkulasi umum melalui vena
jugularis interna. Aliran vena otak tidak selalu paralel dengan suplai darah arteri.
Gambar 3. (A) tampak dari sisi kanan aliran darah yang menuju ke otak (B)
Arteri dalam otak dilihat dari sisi inferior
B. Anatomi Basis Cranii
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan
oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi
oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu: fossa cranii anterior, fossa cranii media
dan fossa cranii posterior.
1. Fossa crania anterior
Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior
oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis
spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan
oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina
cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada lamini
cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.
Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat
cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi
mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau
kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars
orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau
periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis
cranii fossa anterior (Khlilullah, 2011).
2. Fossa cranii media
Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os
sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri
yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os
sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan
a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os
temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.
Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan
minor os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n,
occulomotorius dan n. abducens.
Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini
merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan
ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani
dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera.
Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi
(otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars
perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral
sinus cavernosus robek (Khlilullah, 2011).
3. Fossa cranii posterior
Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum,
pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars
petrosa os temporal dab di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars
squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris,
condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal8.
Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui
oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis
assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis.
Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di
bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan
muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane
mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang
mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera (Khlilullah, 2011).
C. Konsep Teori tentang Penyakit
1. Pengertian
Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat
benturan langsung pada daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput,
mastoid, supraorbita); transmisi energi yang berasal dari benturan pada wajah
atau mandibula; atau efek dari benturan pada kepala (Haryono, 2006)

2. Klasifikasi

a. Fraktur Temporal
Dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat 3
subtipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan
mixed. Tipe transversal dari fraktur temporal dan tipe longitudinal
fraktur temporal ditunjukkan di bawah ini (Ishman dan Friedland,
2004; Qureshi, et al, 2009).
(A)Transverse temporal bone fracture dan (B) Longitudinal temporal
bone fracture

A B
b. Fraktur Longitudinal
Terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian squamousa
pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
segmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian
anterior atau posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule,
berakhir pada fossa cranii media dekat foramen spinosum atau pada
mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan yang paling umum
dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari foramen
magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir
pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur
unsur dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.Namun sistem
lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem ini
membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous
fraktur, yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air
cells. Fraktur tersebut tidak disertai dengan deficit nervus cranialis
(Qureshi, et al, 2009).
c. Fraktur Condylar Occipital (Posterior)
Fraktur ini merupakan hasil dari trauma tumpul energi tinggi dengan
kompresi aksial, lateral bending, atau cedera rotational pada pada
ligamentum alar. Fraktur tipe ini dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan
morfologi dan mekanisme cedera. Klasifikasi alternatif membagi
fraktur ini menjadi displaced dan stable, yaitu dengan dan tanpa
cedera ligamen. Tipe I fraktur sekunder akibat kompresi aksial yang
mengakibatkan kombinasi dari kondilus oksipital. Ini merupakan jenis
cedera stabil. Tipe II fraktur yang dihasilkan dari pukulan langsung
meskipun fraktur basioccipital lebih luas, fraktur tipe II
diklasifikasikan sebagai fraktur yang stabil karena ligamen alar dan
membrane tectorial tidak mengalami kerusakan. Tipe III adalah
cedera avulsi sebagai akibat rotasi paksa dan lateral bending. Hal ini
berpotensi menjadi fraktur tidak stabil (American College of Surgeon
Committe on Trauma, 2004; Sugiharto, dkk, 2006).
Klasifikasi lain oleh Muttaqin (2008) menyebutkan terdapat beberapa
kejadian cedera kepala hingga terjadi fraktur basis cranii diantaranya:
1) Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua
yaitu :
a. Cedera kepala tumpul
Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi 7
dan decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial
dan melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.
b. Cedera tembus
Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.
2) Berdasarkan morfologi cedera kepala
Cedera kepala menurut dapat terjadi diarea tulang tengkorak yang
meliputi:
a. Laserasi kulit kepala
Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala.
Kulit kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP)
yaitu skin, connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis
dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit
bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi
robekan pada lapisan ini. Lapisan ini banyak mengandung pembuluh
darah dan jaringan ikat longgar, maka perlukaan yang terjadi dapat
mengakibatkan perdarahan yang cukup banyak.
b. Fraktur tulang kepala
Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi:
a) Fraktur linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau
stellata pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang
kepala. Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada
tulang kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala
bending dan tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga
intrakranial.
b) Fraktur diastasis
Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulang
tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang 8 kepala.
Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura
belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering
terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya
hematum epidural.
c) Fraktur kominutif
Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih
dari satu fragmen dalam satu area fraktur.
d) Fraktur impresi
Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga
besar yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal.
Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau
laserasi pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap
bermakna terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk
dibawah tabula interna segmen tulang yang sehat.
e) Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada
dasar tulang tengkorak, fraktur ini seringkali disertai dengan robekan
pada durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis
kranii berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior,
fraktur fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada
perbedaan struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter
daerah basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter
daerah basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria.
Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan
durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal
yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon
eyes sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batles
sign (fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat
menyebabkan lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah
gangguan saraf penciuman (N,olfactorius). Saraf wajah (N.facialis) dan
saraf pendengaran (N.vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis
kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang
mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan
yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung
dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada
tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda
bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang
dan kepala miring ke posisi yang sehat.

d. Etiologi
a. Kecelakaan lalu lintas
b. Jatuh
c. Trauma benda tumpul
d. Kecelakaan kerja
e. Kecelakaan rumah tangga
f. Kecelakaan olahraga
g. Trauma tembak dan pecahan bom

e. Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat mengakibatkan kerusakan struktur,
misalnya kerusakan pada paremkim otak, kerusakan pembuluh darah,
perdarahan, edema dan gangguan biokimia otak seperti penurunan
adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera
kepala dapat di golongkan menjadi 2 yaitu cedera kepala primer dan
cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang dapat terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan
memberi dampak cedera jaringan otak. Cedera kepala primer adalah
kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat benturan
terjadi. Kerusakan primer ini dapat bersifat (fokal) lokal, maupun difus.
Kerusakan fokal yaitu kerusakan jaringan yang terjadi pada bagian tertentu
saja dari kepala, sedangkan bagian relative tidak terganggu. Kerusakan
difus yaitu kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak
dan umumnya bersifat makroskopis.
Cedera kepala sekunder terjadi akibat cedera kepala primer,
misalnya akibat hipoksemia, iskemia dan perdarahan. Perdarahan cerebral
menimbulkan hematoma, misalnya Epidoral Hematom yaitu adanya darah
di ruang Epidural diantara periosteum tengkorak dengan durameter,
subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang antara
durameter dengan sub arakhnoit dan intra cerebal hematom adalah
berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Otak dapat berfungsi
dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat terpenuhi. Energi
yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses
oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran
darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi.
Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg%, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25% dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun
sampai 70% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada
saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan
dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak
akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini
akan menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml
/menit/100 gr jaringan otak, yang merupakan 15% dari cardiac output.
Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru.
Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T
dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia. Akibat
adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi. Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung
pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita);
transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula;
atau efek dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi
dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).
Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal
cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat
cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper
et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak
disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar
tengkorak.
Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme
termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak,
atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe
whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara
sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan
dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba
mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata
mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut
kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi
akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior
diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior
kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula (Khlilullah, 2011)..

f. Tanda Gejala
1) Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea
dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur
basis cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di
sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow
Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis
intrakranial (Thai, 2007).
2) Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang
berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik
kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena
hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy,
nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari
keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII (Netter dan Machado, 2003).
3) Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan
labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan
pendengaran permanen (permanent neural hearing loss) (Tuli, et al,
2008).
4) Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital,
terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait
cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan
cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia
(Anderson dan Montesano, 2005; Tuli, 2008; Netter dan Machado,
2003).
5) Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan
nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan
kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralisis ipsilateral dari pita
suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor,
sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah
fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X,
XI, dan XII (Anderson dan Montesano, 2005; American College of
Surgeon Committe on Trauma, 2004).
g. Pemeriksaan Khusus dan Penunjang
Adapun pemeriksaan penunjamg untuk fraktur basis craniii antara lain:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, fungsi
b. Pemeriksaan radiologi
1) Foto rontgen
2) CT Scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu
dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga
ukuran 1 1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam
menilai skull fraktur. CT Scan helical sangat membantu dalam
menvisualisasikan fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi
tidak diperlukan (Qureshi,et al, 2009).
3) MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai
tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada
ligament dan vaskuler. Cedera pada tulang jauh lebih baik
divisualisasikan dengan menggunakan CT Scan (Qureshi,et al,
2009).
4) Pemeriksaan arteriografi

h. Penatalaksanaan dan Komplikasi


Menurut Listiono (2005) dan Legros, et al (2007), prinsip penanganan
umum secara keseluruhan dari trauma kepala meliputi:
a. Pengendalian Tekanan Intrakranial
Manitol efektif untuk mengurangi edema serebral. Selain karena efek
osmotik, manitol juga dapat mengurangi TIK dengan meningkatkan
arus microcirculatory otak dan pengiriman oksigen. Efek pemberian
bolus manitol tampaknya sama selama rentang 0,25 sampai 1,0 g/kg.
b. Mengontrol tekanan perfusi otak
Tekanan perfusi otak harus dipertahankan antara 60 dan 70 mmHg,
baik dengan mengurangi TIK atau dengan meninggikan MAP.
Rehidrasi secara adekuat dan mendukung kardiovaskular dengan
vasopresor dan inotropik dapat meningkatkan MAP dan
mempertahankan tekanan perfusi otak >70 mmHg.
c. Mengontrol hematokrit
Aliran darah otak dipengaruhi oleh hematokrit. Viskositas darah
meningkat sebanding dengan semakin meningkatnya hematokrit
dengan tingkat optimal sekitar 35%. Aliran darah otak berkurang jika
hematokrit meningkat lebih dari 50% dan akan meningkat dengan
tingkat hematokrit di bawah 30%.
d. Obat-obatan sedasi
Pemberian rutin obat sedasi seperti analgesik dan agen yang
memblokir neuromuscular dapat menjadi terapi pilihan. Propofol telah
menjadi obat sedatif pilihan. Fentanil dan morfin sering diberikan
untuk membatasi nyeri, memfasilitasi ventilasi mekanis dan
mempotensiasi efek sedasi. Obat yang memblokir neuromuscular
dapat juga mencegah peningkatan TIK yang dihasilkan oleh batuk dan
penegangan pada endotrachealtube.
e. Kontrol suhu
Demam dapat memperberat defisit neurologis yang ada dan dapat
memperburuk kondisi pasien. Metabolisme otak dan oksigen
meningkat sebesar 6-9 % untuk setiap kenaikan 1 derajat Celcius.
Tiap fase akut cedera kepala, hipertermia harus diterapi karena akan
memperburuk iskemik otak.
f. Kontrol bangkitan
Bangkitan terjadi terutama padapasien yang telah menderita
hematoma, cedera termasuk patah tulang tengkorak dengan penetrasi
dural, adanya tanda fokal neurologis dan sepsis. Antikonvulsan harus
diberikan apabila terjadi bangkitan.
g. Kontrol cairan
NaCl 0,9% dengan osmolaritas 308 mosm/l, telah menjadi kristaloid
pilihan dalam manajemen dari cedera otak. Resusitasi dengan NaCl
0,9% membutuhkan 4 kali volume darah yang hilang untuk
memulihkan parameter hemodinamik.
h. Head Up 30o
Menaikkan posisi kepala dengan sudut 15-30 dapat menurunkan TIK
dan meningkatkan venous return ke jantung.
i. Merujuk ke dokter bedah saraf
Indikasi rujukan ke ahli bedah saraf:
1) GCS kurang dari atau sama dengan setelah resusitasi awal;
2) disorientasi yang berlangsung lebih 4 jam;
3) penurunan skor GCS terutama respon motorik;
4) tanda-tanda neurologis fokal progresif;
5) kejang tanpa pemulihan penuh;
6) cedera penetrasi;
7) kebocoran cairan serebrospinal.
Penanganan khusus dari fraktur basis cranii terutama untuk mengatasi
komplikasi yang timbul, meliputi:
a. Fistula cairan serebrospinal
Mengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang
ekstra arachnoid, duramater, atau jaringan epitel yang terlihat sebagai
rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu
minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu
minggu setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara
konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih
tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat.
Diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid (Haryono,
2006).
b. Rinore
Terjadi pada sekitar 25% pasien dengan fraktur basis anterior. CSS
mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat
orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang
melalui klivus. Kadang-kadang pada fraktur bagian petrosa tulang
temporal, CSS mungkin memasuki tuba eustachian dan mengalir dari
hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir
80% kasus. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan
secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk,
bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Diberikan obat-
obatan seperti laxantia, diuretik, dan steroid. Dilakukan punksi lumbal
secara serial dan pemasangan kateter subarachnoid secara
berkelanjutan. Disamping itu dapat diberikan antibiotik profilaksis
untuk mencegah timbulnya infeksi (Haryono, 2006). Pembedahan
dapat secara intrakranial, ekstrakranial dan secara bedah sinus
endoskopi. Pendekatan intrakranial yaitu dengan melakukan
craniotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi),
daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah
oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi
kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan
dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada
kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak
dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian
teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak
seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat
terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada
pembedahan didaerah fossa craniii anterior. Kerugian lain adalah
waktu operasi dan perawatan yang lama. Pendekatan ekstrakranial
dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi.
Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior
dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga
dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, transe-tmoidal
sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans-antral, tergantung
dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapang
pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat
anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah
cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal.
Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid
(Haryono, 2006). Tindakan bedah sinus merupakan tehnik operasi
yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang tinggi (83% -
94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (<3mm)
dapat diperbaiki dengan free graftmukoperikondrial yang diletakkan
diatas fistel. Pada fistel yang besar (>3mm) digunakan graft dari
tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi
dengan flap lokal atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapang
pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang
tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa
memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft
dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya (Haryono, 2006).
c. Otore
Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktur, duramater dibawahnya
serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktur
tulang petrosa diklasifikasikan menjadi longitudinal dan transversal
berdasarkan hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid
petrosa, namun kebanyakan merupakan fraktur campuran. Pasien
dengan fraktur longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran
konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan
fraktur transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan
memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat
kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan di dalam kanal
auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50% pasien. Fraktur
longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang
transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial.
Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam
seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar
4%, dibanding 17% pada rinore CSS. Pada kejadian yang jarang,
dimana otore tidak berhenti, sehingga diperlukan pengaliran lumbar
dan bahkan operasi (Haryono, 2006).
d. Infeksi
Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis
cranii.Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis cranii
adalah S. Pneumoniae. Profilaksis meningitis harus segera diberikan,
mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi
antibiotik telah digunakan. Pemberian antibiotik tidak perlu menunggu
tes diagnostik karena pemberian antibiotik yang terlambat berkaitan
erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Profilaksis
antibiotik yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan
ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya
angka resistensi antibiotik golongan penicillin, cloramfenikol, maupun
meropenem (Pillai, 2010).
e. Pnemocephalus
Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang
melaluimeningen.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan
udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan
menjadi terperangkap. TIK yang meningkat dapat memperbesar defek
yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi
dapat berupa kombinasi dari operasi untuk membebaskan udara
intrakranial, serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg
position (Qureshi, et al, 2009).
C. Asuhan Keperawatan
Data dasar pengkajian pasien tergantung tipe,lokasi dan keparahan cedera dan
mungkin di persulit oleh cedera tambahan pada organ vital.
1) Aktifitas dan istirahat
Gejala : merasa lemah, lelah, kaku hilang keseimbangan
Tanda :
a. Perubahan kesadaran, letargi
b. Hemiparese
c. ataksia cara berjalan tidak tegap
d. masalah dlm keseimbangan
e. cedera/trauma ortopedi
f. kehilangan tonus otot
2) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah atau normal, Perubahan frekuensi
jantung (bradikardia, takikardia yg diselingi bradikardia disritmiac.
3) Integritas ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresid.
4) Eliminasi
Gejala : Inkontensia kandung kemih/usus mengalami gangguan fungsi.
5) Makanan/cairan
Gejala : mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
6) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagain
lapang pandang, gangguan pengecapan dan penciuman
Tanda : Perubahan kesadran bisa sampai koma, Perubahan status mental,
Perubahan pupil, Kehilangan penginderaan, Wajah tidak simetris,
Genggaman lemah tidak seimbang, Kehilangfan sensasi sebagian tubuhg.
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yg berbeda biasanya
lama
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada ransangan nyeri yg
hebat, merintih
8) Pernafasan
Tanda : Perubahan pola nafas, nafas berbunyi, stridor,
tersedak,ronkhi,mengii.
9) Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan
Tanda : Fraktur/dislokasi,gangguan penglihatan
10) Kulit
Laserasi, abrasi, perubahan warna, tanda battle di sekitar telinga, Raccon
eyes, adanya aliran cairan dari telinga atau hidung, Gangguan kognitif,
Gangguan rentang gerak, Demam

Diagnosa Keperawatan
1. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan penurunan
aliran darah ke serebral (hemoragi, hematoma); edema cerebral,
2. Ketidakefektifan pola napas yang berhubungan dengan depresi pusat
pernapasan
3. Nyeri akut berhubungan dengan pergesaran fragmen tulang
4. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neurosensori
5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan neuromuscular
6. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan kesadaran
7. Resiko kekurangan volume cairan
8. Resiko kerusakan integritas kulit
9. Resiko infeksi
Rencana Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Rsiko NOC: NIC:
ketidakefektifan Tissue Perfusion: Cerebral Neurologic Monitoring
perfusi jaringan otak (NOC: 543b) a. Monitor ukuran pupil, bentuk, a. mengetahui tingkat kesadaran
berhubungan dengan Circulation Status (NOC: kesimetrisan, dan reaktifitasnya melalui saraf pupil
Tahanan pembuluh 138b) b. Monitor level kesadaran b. mengontrol keadaan serebral
Neurological Status (NOC:
darah; infark c. Monitor level orientasi c. mengetahui tingkat kesadaran
376b)
Cardiac Pump Effectiveness d. Monitor Glasgow Coma Scale d. mengetahui tingkat kesadaran
(NOC: 115b) e. Monitor tanda vital: suhu, tekanan e. mengetahui kondisi tubuh klien
Setelah dilakukan asuhan darah, nadi, dan respirasi f. mengetahui keadekuatan
selama f. Monitor status respirasi: level AGD, pernafasan klien
ketidakefektifan perfusi oksimetri nadi, kedalaman, pola, laju, g. mengetahui keadaan serebral klien
jaringan cerebral teratasi dan usaha napas h. mengetahui tingat kesadaran
dengan kriteria hasil: g. Monitor Intra Cranial Pressure (ICP) i. mengetahui tingkat kesadaran
. Tekanan systole dan dan Cerebral Perfusion Pressure j. mengetahui perkembangan
diastole dalam rentang (CPP) pengobatan klien
yang diharapkan h. Monitor refleks kornea k. mengontrol keseimbangan ditubuh
(sistol: <140 mmHg; i. Monitor tonus otot pergerakan l. hemodinamik menentukan
diastole: <90 mmHg) j. Catat perubahan pasien dalam keadekuatan sirkulasi
a. Tidak ada merespon stimulus m. menurunkan TIK
ortostatikhipertensi k. Monitor status cairan
b. Komunikasi jelas l. Pertahankan parameter hemodinamik
Menunjukkan m. Tinggikan kepala 0-45o tergantung
konsentrasi dan pada kondisi pasien dan order medis
orientasi (GCS : Intracranial Pressure (ICP) Monitoring
E4V5M6) n. Monitor intake dan output n. mengatur keseimbangan cairan
a. Pupil seimbang dan o. Cek kaku kuduk klien o. kaku kuduk mengindikasikan
reaktif p. Posisikan klien dengan kepala dan peningkatan TIK
b. Bebas dari aktivitas leher pada posisi normal, menghindari p. mencegah peningkatan TIK
hip fleksi yang ekstrim q. melancarkan sirkulasi darah
kejang q. Sesuaikan kepala di tempat tidur untuk r. terlalu banyak intervensi
c. Tidak mengalami nyeri mengoptimalkan pefusi serebral mendorong peningkatan TIK
kepala r. Batasi perawatan untuk meminimalkan
peningkatan ICP
2. Ketidakefektifan pola NOC: NIC:
nafas b.d medula a. Respiratory status: Airway Management
oblongata tertekan Ventilation a. Atur posisi pasien untuk a. Memudahkan ekspansi paru dan
Batasan karakteristik: b. Respiratory status: memaksimalkan ventilasi menurunkan adanya kemungkinan
a. Perubahan Airway patency b. Anjurkan bernafas yang pelan dan lidah jatuh yang menyumbat jalan
kedalaman c. Vital sign Status dalam napas
pernafasan Setelah dilakukan c. Auskultasi suara nafas, catat area b. Membantu keefektifan pernafasan
b. Perubahan tindakan keperawatan penurunan atau ketiadaan ventilasi dan pasien
ekskursi dada selama ..pasien adanya suara nafas tambahan c. Perubahan dapat menandakan
c. Mengambil posisi menunjukkan keefektifan d. Monitor respirasi dan oksigenasi awitan komplikasi pulmonal atau
tiga titik pola nafas, dibuktikan e. Kolaborasi pemberian oksigen yang menandakan lokasi/ luasnya
d. Bradipneu dengan kriteria hasil: sudah terhumidifikasi keterlibatan otak
e. Penurunan a. Mendemonstrasikan d. Menentukan kecukupan
tekanan ekspirasi batuk efektif dan pernapasan, keseimbangan asam
f. Penurunan suara nafas yang basa dan kebutuhan akan terapi
ventilasi semenit bersih, tidak ada e. Memaksimalkan oksigen pada
g. Penurunan sianosis dan dyspneu darah arteri dan membantu dalam
kapasitas vital (mampu pencegahan hipoksia
h. Dispnea mengeluarkan
i. Peningkatan sputum, mampu
diametr anterior bernafas dg mudah,
posterior tidakada pursed lips)
j. Pernafasan b. Menunjukkan jalan
cuping hidung nafas yang paten
k. Ortopnea (klien tidak merasa
l. Fase ekspirasi tercekik, irama nafas,
memanjang frekuensi pernafasan
m. Pernafasan bibir dalam rentang
n. Takipnea normal, tidak ada
o. Penggunaan otot suara nafas abnormal)
aksesorius untuk c. Tanda Tanda vital
bernafas dalam rentang
normal: TD= 100-
140/60-90 mmHg;
N=60-100x/menit;
RR= 16-24x/menit
3. Nyeri akut NOC: NIC:
berhubungan dengan Pain Control Pain Management
peningkatan tekanan Pain Level a. Lakukan pengkajian nyeri secara a. Mengetahui gambaran klinis nyeri
intracranial (TIK) Comfort Status komprehensif termasuk lokasi, yang dirasakan
Setelah dilakukan karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas b. Memvalidasi ketidaknyamanan
tindakan keperawatan dan faktor presipitasi klien melalui subjektif dan objektif
selama . Pasien tidak b. Observasi reaksi nonverbal dari c. Dukungan untuk kesembuhan klien
mengalami nyeri, dengan ketidaknyamanan d. Memberikan kenyamanan klien
kriteria hasil: c. Bantu pasien dan keluarga untuk agar tidak fokus pada nyeri
a. Mampu mengontrol mencari dan menemukan dukungan e. Menghindari timbulnya nyeri
nyeri (tahu penyebab d. Kontrol lingkungan yang dapat f. Untuk menentukan intervensi
nyeri, mampu mempengaruhi nyeri seperti suhu g. Memberikan kenyamanan klien
menggunakan tehnik ruangan, pencahayaan dan kebisingan agar tidak fokus pada nyeri
nonfarmakologi untuk e. Kurangi faktor presipitasi nyeri h. Bantuan farmakologis dasar
mengurangi nyeri, f. Kaji tipe dan sumber nyeri i. Mengurangi timbulnya nyeri
mencari bantuan) g. Ajarkan tentang teknik non j. Meningkatkan koping diri klien
b. Melaporkan bahwa farmakologi: napas dada, relaksasi,
nyeri berkurang distraksi, kompres hangat/ dingin
dengan menggunakan h. Berikan analgetik untuk mengurangi
manajemen nyeri nyeri: ...
c. Mampu mengenali i. Tingkatkan istirahat
nyeri (skala, intensitas, j. Berikan informasi tentang nyeri seperti
frekuensi dan tanda penyebab nyeri, berapa lama nyeri
nyeri) akan berkurang dan antisipasi
d. Menyatakan rasa ketidaknyamanan dari prosedur
nyaman setelah nyeri
berkurang
e. Tanda vital dalam
rentang normal (Suhu :
36,5-3,5C; TD:
100/70-140/90 mmHg;
nadi: 60-100 x/menit;
RR: 16-24 x/menit)
f. Tidak mengalami
gangguan tidur
4. Hambatan mobilitas NOC: NIC:
fisik berhubungan Joint Movement : Active Exercise therapy : ambulation
dengan Kelemahan Mobility Level a. Monitoring vital sign sebelm/sesudah a. Mengontrol kemampuan klien
neutronsmiter Self care : ADLs latihan dan lihat respon pasien saat b. Melakukan terapi sesuai dengan
Transfer performance latihan kemampuan klien
Setelah dilakukan b. Konsultasikan dengan terapi fisik c. Mencegah cidera
tindakan keperawatan tentang rencana ambulasi sesuai d. Melatih klien untuk melakukan
selama.hambatan dengan kebutuhan rentang gerak minimal
mobilitas fisik teratasi c. Bantu klien untuk menggunakan e. Menentukan terapi mobilisasi
dengan kriteria hasil: tongkat saat berjalan dan cegah selanjutnya
a. Klien meningkat terhadap cedera f. Memandirikan klien untuk
dalam aktivitas fisik d. Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan melakukan activity daily living
b. Mengerti tujuan dari lain tentang teknik ambulasi (ADL)
peningkatan e. Kaji kemampuan pasien dalam g. Memberikan dukungan bagi
mobilitas mobilisasi kemajuan klien
c. Memverbalisasikan f. Latih pasien dalam pemenuhan h. Membantu klien terbiasa secara
perasaan dalam kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai pelahan dengan kondisi tubuhnya
meningkatkan kemampuan i. Membantu klien terbiasa secara
kekuatan dan g. Dampingi dan Bantu pasien saat pelahan dengan kondisi tubuhnya
kemampuan mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
berpindah ADLs ps.
d. Memperagakan h. Berikan alat bantu jika klien
penggunaan alat memerlukan.
Bantu untuk i. Ajarkan pasien bagaimana merubah
mobilisasi (walker) posisi dan berikan bantuan jika
diperlukan
5. Resiko Cedera Setelah dilakukan a. Bina hubungan saling percaya a. Menjalin rasa percaya, aman, dan
berhubungan dengan tindakan keperawatan b. Kaji status emosional klien nyaman pada klien
gangguan emosional selama 3x24 jam pasien c. Berikan klien penjelasan mengenai b. Mengetahui status emosional dan
tidak mengalami cedera informasi tentang procedure perawatan potensi cedera klien
dengan kriteria hasil: d. Modifikasi lingkungan klien c. Memberikan pengetahuan pada
a) Melaporkan tidak e. lakukan raistrain klien klien
adanya cedera fisik f. Observasi respon klien d. Mencegah cedera yang terjadi dari
b) Klien tampk tidak lingkungan
mengalami cedera e. Membatasi gerak klien
c) Tidak terdapat luka f. Mengetahui respon dari pasien
DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeon Committe on Trauma. 2004. Cedera Kepala.


Dalam: Advanced Trauma Life Support for Doctors. Edisi 7. Komisi
Trauma IKABI.

Anderson, P. A. dan Montesano, P. X. 2005. Morphology and Treatment of


Occipital Condyle Fractures. Spine (Phila Pa 1976). [diakses 13 Juni 2016].

Bulechek, G. M., dkk. 2013. Nursing Intervention Classification (NIC). Sixth


Edition. United States of America: Elsevier Mosby.

Haryono, Y. 2006. Rinorea Cairan Serebrospinal. USU: Departemen THT-KL


FK USU.

Herdman, T. H. 2014. Nanda International Nursing Diagnoses: Definition &


Classification, 2015-2017. Oxford: Wiley-Blackwell.

Ishman, S. L. dan Friedland, D. R. 2004. Temporal Bone Fractures: Traditional


Classification and Clinical Relevance. Laryngoscope. [diakses 13 Juni
2016].

Legros, B., et al. 2007. Basal Fracture of The Skull and Lower (IX, X, XI, XII)
Cranial Nerves Palsy: Four Case Reports Including Two Fractures of The
Occipital Condyle. J Trauma. [diakses 13 Juni 2016].

Listiono, L. D. 2005. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi III. Jakarta: PT


Gramedia Pustaka Utama.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan


Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.

Moorhead, S., dkk. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Fourth


Edition. United States of America: Mosby Elsevier.

Netter, F. H. dan Machado, C. A. 2003. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon


Learning System LLC. [diakses 13 Juni 2016].

Pillai, P.,et al. 2010. Traumatic Tension Pneumocephalus: Two Cases and
Comprehensive Review of Literature. OPUS 12 Scientist. [diakses 13 Juni
2016].

Qureshi, N. H.,et al. 2009. Skull Fracture. On Emedicine Health. Serial


online.http://emedicine.medscape.com/article/248108clinicalmanifestations.
[diakses 13 Juni 2016].
Sugiharto, L., dkk. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6.
Jakarta: EGC.

Thai, T. 2007. Helmet Protection Against Basilar Skull Fracture. Biomechanical


of Basilar Skull Fracture. ATSB Research and Analysis Report Road Safety
Research Grant Report. Australia. [diakses 13 Juni 2016].

Tuli, S.,et al. 2008. Occipital Condyle Fractures. Neurosurgery. [diakses 20


November2015].

Вам также может понравиться