Perkembangan secara keseluruhan di wilayah Asia Tenggara banyak didominasi oleh
pengaruh kedatangan negara-negara Eropa ke Asia Tenggara sejak abad ke-19. Kedatangan negara-negara Eropa dilatarbelakangi oleh kepentingan ekspansi kekuasaan dan peluang perekonomian yang sangat baik di Asia Tenggara. Pengaruh kedatangan negara-negara Eropa terinduksi dalam kehidupan sosial, penggambaran ulang batas-batas politik di Asia Tenggara. Tarling (1999) dalam tulisannya The Cambridge History of Southeast Asia, Ada beberapa faktor yang mempercepat penyebaran pengaruh Eropa ke Asia Tenggara, yaitu: pertama, meningkatnya industrialisasi yang berdampak pada meningkatnya pula kekuatan ekonomi dan politik yang menyebar keluar Eropa. Kedua, kemajuan di bidang komunikasi yang semakin terbuka, sehingga akses keluar Eropa semakin terbuka. Ketiga, integrasi negara Eropa yang mampu memimpin dan mengontrol sumber daya yang dimilikinya. Keempat, persaingan antar negara-negara Eropa yang menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu sasaran ekspansi kekuasaan. Menurut penulis sendiri, faktor keempat ini merupakan faktor yang membawa pengaruh yang paling dominan di Asia Tenggara. Di mana, persaingan di antara negara-negara Eropa inilah yang kemudian menimbulkan kolonialisme di negara-negara Asia Tenggara. Tindakan kolonialisme negara Eropa tergambar dari pengambilalihan kekuasaan di negara yang dijajah yang kemudian berpengaruh pada kehidupan masyarakat Asia Tenggara. Kekuatan kolonial kemudian menerapkan konsep yang jauh berbeda dari konsep Asia Tenggara sebelumnya, yang pada umumnya berbentuk kerajaan. Terdapat perubahan dalam hal batas-batas politik yang tidak lagi didasarkan pada hubungan ekonomi, sosial, budaya, etnis atau kemiripan geografis (Tarling, 1999). Melainkan, batas wilayah didasarkan pada batas kekuasaan negara-negara Eropa di Asia Tenggara untuk meminimalisir terjadinya konflik perebutan wilayah. Terdapat enam negara yang menerapkan kolonialisme di Asia Tenggara, diantaranya: Portugis, Inggris, Spanyol, Belanda, Perancis dan Amerika Serikat. Kedatangan keenam negara tersebut tidak terjadi secara bersamaan, tetapi diawali oleh kedatangan bangsa Portugis yang pertama kali mendarat di Malaka pada tahun 1511. Sehingga Portugislah yang pertama kali membuka jalur masuk ke Asia Tenggara terutama dalam hal perdagangan. Namun, pada akhirnya daerah kekuasaan Portugis hanya sebagian kecil dari wilayah di Asia Tenggara yaitu di pulau Timor. Selanjutnya, disusul oleh kedatangan bangsa Spanyol dan Belanda. Spanyol menduduki Philipina setelah berhasil menaklukkan Cebu (1565) dan Manila (1571), hingga kemudian daerah kekuasaan tersebut direbut oleh Amerika dalam Spanish-American war tahun 1898. Hal ini sebagai bentuk kegagalan Spanyol dalam melawan intervensi atas Philipina terkait sejumlah perebutan wilayah, termasuk di dalamnya penguasaan atas Sulu. Sedangkan kolonialisme Belanda terbagi ke dalam dua periode, yaitu periode pertama disebut masa kekuasaan VOC, Dutch East India Company (1605-1799). Di mana, masa kekuasaan ini difokuskan oleh bangsa Belanda dalam mengejar keuntungan maksimal melalui perdagangan monopoli. Belanda menetapkan Batavia (Jakarta) sebagai pusat jalur perdagangannya (Tarling, 1999). Selanjutnya, periode kedua ketika pemerintah Belanda mengambil alih aset yang dimilikinya (1825) dan setelah Napoleonic wars, ekspansi wilayah kekuasaan meluas ke seluruh wilayah Indonesia (Wilson dalam www. seasite.niu.edu). Namun, perlawanan bangsa Indonesia yang didasarkan pada nasionalisme hingga tahun 1949, Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya, ekspansi yang dilakukan oleh Inggris yang kemudian mendominasi wilayah Asia Tenggara setelah menaklukan wilayah Malaka dari Portugis (1641). Dilatarbelakangi oleh kepentingan perekonomian potensial yang ada di China dan India mendorong Inggris untuk menguasai Burma. Perjuangan ekspansi ke Burma membuat Inggris harus melewati Anglo-Burmese wars (1824-1826, 1852, 1885-1886). Persaingan ekspansi sedikit mereda setelah penandatanganan traktat anglo-dutch tentang batas-batas kekuasan di asia tenggara tahun 1824. Burma sendiri berada di bawah kekuasaan dua aturan yaitu dari Inggris dan India. Pada tahun 1953, Burma terpisah dari India dan berhasil menegosiasikan kemerdekaannya kepada Inggris pada tahun 1948. Ekspansi wilayah lainnya oleh Inggris juga meluas ke Penang (1786), Singapura sebagai pusat perdagangan Inggris, dan Malaka sebagai dasar ekspansi ke Malaysia Peninsula (1874-1914) (Wilson dalam www. seasite.niu.edu). Kemudian, ekspansi oleh Perancis atas Vietnam (1858), menjadikan Cochin China sebagai dasar ekspansi Perancis atas Indochina (Cochin China, Annam, Tongking, Laos, dan Kamboja) tahun 1907. Tetapi, setelah Perang Dunia II, Vietnam menolak intervensi Perancis dan berhasil menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1946. Selain, negara-negara Eropa, Amerika Serikat juga terlibat dalam ekspansi wilayah di Philipina menaklukkan Spanyol (1898). Berdasarkan bentuk kolonialisme yang diterapkan oleh negara-negara Eropa di Asia Tenggara, Wilson dalam tulisannya menguraikan terdapat dua bentuk kolonialisme, yaitu:liberal colonialism (Inggris dan Amerika Serikat) dan repressive colonialism (Spanyol, Belanda, Perancis). Pada liberal colonialism, negara penguasa masih menghargai aturan hukum, kebebasan rakyat, partisipasi politik, edukasi terbuka, dan peluang melakukan kegiatan ekonomi. Selain itu, terdapat peluang untuk menyatakan kemerdekaan. Sedangkan pada repressive colonialism, semua hal dilakukan secara tertutup dan terbatas baik dalam partisipasi politik maupun kebebasan masyarakat. Sehingga, tercipta keterlambatan dalam perkembangan kegiatan ekonomi. Kolonialisme di Asia Tenggara akhirnya berakhir melalui revolusi yang dlakukan oleh negara-negara di Asia Tenggara. Pada saat itu, konsep dominan yang diterapkan untuk mengalahkan kolonialisme adalah gejolak pergerakan nasionalisme dari negara-negara yang terjajah. Nasionalisme ini dimaksudkan sebagai wujud rasa yang menginginkan restorasi atas kemerdekaan negara mereka. Lebih lanjut, Wilson menguraikan terdapat tiga sumber yang membuat perkembangan nasionalisme di Asia Tenggara, yaitu: pertama, kepercayaan setempat, di mana pergerakan nasionalis pertama di Burma dipimpin oleh penganut Budha (1906), demikian halnya nasionalis dari Indonesia yang dipimpin oleh Sarekat Islam (1902); kedua, pendidikan Barat, di mana para pelajar kemudian semakin memahami nasionalisme; ketiga, gerakan sosial radikal yang dilatarbelakangi oleh sosialisasi dengan paham komunis, seperti PKI di Indonesia. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kolonialisme di Asia Tenggara sebagai wujud ekspansi yang mendatangkan keuntungan yang sangat besar bagi bangsa Eropa. Di mana Asia Tenggara merupakan wilayah yang sangat berpotensi untuk mendapatkan keuntungan maksimal dalam hal perdagangan. Sedangkan negara-negara di Asia Tenggara sendiri khususnya yang berada dalam repressive colonialism mengalami kerugian yang sangat besar. Namun, seiring dengan perkembangan, negara-negara di Asia Tenggara berhasil melakukan revolusi melalui konsep nasionalisme yang membawa negara- negara Asia Tenggara pada keluar dari kolonialisme dan menyatakan kemerdekaannya. Menurut penulis sendiri, kolonialisme di Asia Tenggara merupakan salah satu langkah negara-negara Eropa yang bersaing untuk menguasai dunia. Hal ini terlihat di mana Asia Tenggara merupakan wilayah potensial yang berpengaruh khususnya dalam perdagangan dan pertanian. Sehingga mengekpansi wilayah di Asia Tenggara memberi jalan untuk melakukan ekspansi wilayah di luar Asia Tenggara. Selayaknyalah kemudian kolonialisme di Asia Tenggara juga perlu dianalisis dari segi dampaknya ke wilayah tetangga Asia Tenggara. Namun, Tarling dalam tulisannya hanya terfokus pada kronologis kolonialisme dan dampak- dampak internal di Asia Tenggara. Kolonialisme adalah suatu bentuk penguasaan atau penjajahan yang dilakukan oleh suatu negara (kolonialis) terhadap suatu daerah atau bangsa lain dalam rangka memperluas wilayah kekuasaannya. Kolonialisme ditandai dengan adanya penguasaan suatu daerah, kemudian disusul dengan pemindahan penduduk dari negara kolonial ke wilayah yang telah dikuasainya tersebut. Sejak abad ke-15, proses kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa- bangsa Eropa dipusatkan ke suatu kawasan yang disebut Dunia Timur. Pelayaran Samudera yang dilakukan oleh Bangsa Barat (Portugis) menuju India dan Indonesia (Nusantara) (Sumber: Muhammad Yamin, Lukisan Sejarah, halaman 114) Proses kolonialisme yang dipusatkan pada Dunia Timur, khususnya Kepulauan Indonesia pada dasarnya tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi, sosial, dan politik yang terjadi di Dunia Barat saat itu. Kebutuhan akan rempah-rempah yang mendorong pencarian daerah-daerah utama penghasil rempah-rempah serta semangat untuk menyebarkan agama Nasrani menjadi pendorong kuat pencarian dan penaklukan daerah-daerah baru (Reconquista). Di sisi lain, terdapat pula hal yang tak bisa diabaikan keberadaannya bagi perkembangan kolonialisme Eropa, yaitu jatuhnya Konstantinopel sebagai Ibu Kota Romawi Timur ke tangan penguasa Kerajaan Turki Usmani pada tahun 1453. Dengan jatuhnya Konstantinopel sebagai satu-satunya jalur perdagangan ke Dunia Timur, maka pengaruh perdagangan di sekitar Laut Tengah dan Asia Barat dikuasai oleh bangsa Turki. Pada saat itu, banyak para pedagang Eropa yang merasa dirugikan oleh peraturan-peraturan dagang yang diberlakukan oleh Turki. Kondisi demikian, akhirnya mendorong pedagang-pedagang Eropa untuk mencari sendiri jalan ke Dunia Timur dalam rangka untuk mendapatkan barang-barang dagangan, termasuk rempah-rempah yang laku dan sangat dibutuhkan di pasaran Eropa.