Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PEMBAHASAN
III.1 KASUS
Seorang laki-laki 22 tahun datang ke IGD RS.Siti Rahma dengan cedera kepala
GCS15,dengan trauma maksilafasial,pasian sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas
sejak 3 jam masuk rumah sakit.Pasien sadar setelah kejadian,trauma tempat lain tidak
ada.Tempat kondisi pasien seperti pada gambar,sampai di IGD dilakukan penanganan
Pertama Primery survey.Terdapat pendarahan aktif dari intra oral,setelah primery survey
clear dan pendarahan di beri tampon,dilanjutkan inspeksi,palpasi dsecara sistemik mulai
dari tulang bagian frontal,periorbital,zhigomaticum,maksilaris,dan mandibula,dan
pemeriksaan diplopia curiga blowout fracture pemeriksaan intra nasal dilakukan untuk
melihat adanya hematoma atau obstruksi serta adanya rhinore,pemerksaan intra oral
untuk palpasi region maksila dan mandibular dan pemeriksaan oklusi.CT scan dilakukan
dan di dapatkan le fort fracture type II.
III.3Terminologi
Pengertian : Deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi yang mengancam
Tujuan : Untuk mengetahui kondisi pasien yang mengancam jiwa dan kemudian
dilakukan tindakan life saving.
Lihat, dengar, rasakan udara yang keluar dari hidung/mulut, apakah ada
pertukaran hawa panas yang adekuat, frekuensi nafas, kualitas nafas,
keteraturan nafas atau tidak
Perdarahan (circulation)
cek kesadaran
Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah
hipotermi/kedinginan
Secara teoritis, oklusi didefinisikan sebagai kontak antara gigi-geligi yang saling
berhadapan secara langsung (tanpa perantara) dalam suatu hubungan biologis yang
dinamis antara semua komponen sistem stomato-gnatik terhadap permukaan gigi-geligi
yang berkontak dalam keadaan berfungsi berkontak dalam keadaan berfungsi
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fraktur merupakan suatu gangguan
integritas tulang yang ditandai dengan rusaknya atau terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dikarenakan tekanan.
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya.2 Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah
adalah tulang kepala yang terdiri dari :
1. Tulang hidung
2. Tulang arkus zigomatikus
3. Tulang mandibula
4. Tulang maksila
5. Tulang rongga mata
6. Gigi
7. Tulang alveolus
Tabel 1. Etiologi trauma maksilofasial (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah
mulut. Alih bahasa, Purwanto, Basoeseno, Jakarta: 1987 : 222)
Kecelakaan
Kecelakaanlalulalu
lintas
lintas Anak-anak 10-15
40-45
Penganiyayan / berkelahi 10-15
Penganiayaan / berkelahi
Olahraga 5-10
5-10
Jatuh
Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-655
Lain lain 5-10
Jatuh 5-10
Gambar 3. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le
Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital) (London PS. The anatomy of
injury and its surgical implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5).
III.8.Jenis Fraktur Maksilafasialis Menurut Leafort 1,2,3
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :
1. Fraktur Le Fort tipe I (Guerins)
Fraktur Le Fort I (gambar 2.4) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi,
dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini
menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia
nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.
2. Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II (gambar 2.5) biasa juga disebut dengan fraktur piramidal.
Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan
ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di
nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju
perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan
dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi
di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis
juga dapat ditemukan pada kasus ini.
III.9Pemeriksaan sistematis
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial yaitu meliputi :
1. Periksa kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.
b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.
c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah
Apakah sejajar atau bergeser
Apakah pasien bisa melihat
Apakah dijumpai diplopia
f. Cedera gigi
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya.
B. Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi
avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah
pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan
zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal,
temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos,
menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan
okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi
terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia,
ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan,
seperti hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal
terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus
medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal
yang retak.
10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik
terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa
dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau
dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan,
laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea
cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan
serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi,
atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak.
Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau
mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang
lainnya di sisi tengah hidung.
16. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung
menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
17. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit,
gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
18. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada
pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan
mengalami rasa sakit.
19. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk
memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.
20. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran
telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit
atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
21. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.3
III.10 Perawatan Awal Primery Survey
Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui
ABCDE yaitu:
a. Airway
1. Head tilt
2. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara
hati hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang
sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan
hati hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan
kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal
menjadi patah tulang dengan cedera spinal.
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula,
jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah
dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan
kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran
pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara
menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut
bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke
atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa
mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa
dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil
mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa
berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan
pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien
(Arifin, 2012).
Gambar 2.3. Oropharingeal Airway (sumber : The McGraw-Hill
Companies 2006)
5. Nasopharingeal Airway
Companies 2006).
6. Airway definitif
Gambar 2.6 Pemasangan face mask (sumber : The McGraw-Hill Companies 2006)
Buka leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala
Auskultas toraks
bilateral
linea midclavicularis
c. Circulation
c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.
Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren,1992):
1. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol
2. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol.
3. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol
4. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan
dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan
menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang
sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan
Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (ATLS, 2004).
d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004). Cara cepat
dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan
GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi
status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder (Jumaan, 2008).
AVPU,yaitu
A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon
GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai eye opening penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari
tangan)
d. Tidak memberikan respon
2. Menilai best verbal response penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
b. Disorientasi atau bingung
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e. Tidak memberikan respon
3. Menilai best motor respon penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah
b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
d. Fleksi abnormal (decorticated)
e. Ektensi abnormal (decerebrate)
f. Tidak memberikan respon
Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek
kesadaran)
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan
penyebab (Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) :
1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak\
2. Trauma pada sentral nervus sistem
3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
4. Gangguan atau kelainan metabolic
e. Exposure
Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan
selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-
vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
III.11 Pemeriksaan penunjang Trauma Maksilofasialis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk
memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan
radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.
Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografis
panoramic view, open-mouth Townes view, postero-anterior view, lateral oblique view.
Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga
digunakan foto oklusal dan periapikal.
Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma
yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis
biasa. Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan
untuk menilai gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai
tambahan penilaian radiografi.Berikut adalah Klasifikasi CT.scan sebagai pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan Penunjang Trauma Maksilofacial
1. Wajah Bagian Atas :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT-scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala
2. Wajah Bagian Tengah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior
(Caldwells), Submentovertek (Jughandles).
3. Wajah Bagian Bawah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
Panoramic X-ray.
Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :
- Posteroanterior (Caldwells).
- Posisi lateral (Schedell).
- Posisi towne.
III.12 Penatalaksanaan Pasien Fraktur Maksilofasial (Fonseca, 2005; Hupp et al.,
2008)
III.12.1 Kontak Awal Pasien
Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan
pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka. Advance
Trauma Life Support (ATLS) yang dianjurkan oleh American College of Surgeon ialah
perawatan trauma ABCDE.
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
1. Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
2. Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah untuk
membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
3. Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua
kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.
B: Breathing and adequate ventilation
1. Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur
kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien
yang sadar.
C: Circulation with control of hemorrhage
1. Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan nafas
dan mengontrol perdarahan.
2. Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala.
3. Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang
meluas dan perdarahan kepala.
D: Disability: neurologic examination
1. Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi.
2. Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung maupun
tdak langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan respon yang dapat
mengaburkan pemeriksaan neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang
utuh.
3. Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris (alkohol
atauobat) yang tidak berhubungan dengan trauma intrakranial.
E: Exposure/ enviromental control
1. Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.
2. Menghilangkan lensa kontak.
( abnormal
Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5), dan respon
membuka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya, cedera kepala
dikelompokkan menjadi :
(1) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
(2) Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13
(3) Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
Glasgow Coma Scale ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan sebagian
tergantung pada respon verbal sehingga kurang sesuai bila diterapkan pada bayi baru
lahir, bayi, dan anak kecil. Oleh karena itu, diajukan beberapa modifikasi untuk anak.
Anak dengan kesadaran normal mempunyai nilai 15 pada GCS, nilai 12-14 menunjukkan
gangguan kesadaran ringan, nilai 9-11 berkorelasi dengan koma moderat sedangkan nilai
dibawah 8 menunjukkan koma berat. (The Paediatric Accident and Emergency Research
Group, 2008)
Tabel 2.4 Glasgow Coma Scale Modifikasi Untuk Bayi dan Anak
Glasgow Coma Scale Nilai
Berceloteh, bersuara, 5
berkata-kata seperti
biasanya
Rewel, Bingung 4
Menangis bila ada 3
rangsangan nyeri, berkata-
kata tidak jelas
Respon Verbal
(V) Merintih bila ada rangsang 2
nyeri, bersuara tidak jelas
III.12.3 Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis (Fonseca, 2005;
Hupp et al., 2008)
Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien
penderita fraktur maksilofasial ialah:
1. Bagaimana kejadiannya?
2. Kapan kejadiannya?
3. Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang
kemungkinan dapat menyebabkannya?
4. Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
5. Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi,
perubahan penglihatan, dan maloklusi?
Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi
tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan.
Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan sakit
kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.
Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman
penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan
infraorbital, dan obstruksi jalan nafas.
Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada
rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus.
Gambar 2.8 Perubahan Oklusi dan Laserasi Gingiva Serta Mukosa Pada Insisif Sentral
Pasien Instalasi Gawat Darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial
RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung Menandakan Adanya Fraktur
Mandibula.
Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik
termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi
terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.
Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma seperti
laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama
dengan adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya
fraktur zigomatikus kompleks dan fraktur rima orbita.
Gambar 2.9 Hematoma Pada Orbita Sinistra Pasien Fraktur Maksilofasial di Instalasi
Gawat darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.
Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adany
kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan
dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang
mungkin sulit diprediksi ketika adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya
fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian
palpasi dan tekan kearah superior lateral.
III.13 .Bahaya Trauma Maksilofasial
Trauma mulut dan maksilofasial adalah hal yang biasa terjadi (Booth, dkk.,
2007).
Dokter gigi umum biasanya merupakan tenaga medis yang dihubungi pasien
pertama kali apabila terjadi cedera rongga mulut. Peranan dokter gigi adalah
sebagai pendiagnosis dan melakukan perawatan yang sangat sederhana untuk trauma
dentoalveolar atau merujuk pasien kepada spesialis bedah mulut dan maksilofasial
apabila diperlukan perawatan yang lebih sulit dan komplek (Pedersen, 1996).
Sekarang ini perawatan trauma mulut dan maksilofasial melibatkan pendekatan
multiprofesional untuk mendapatkan hasil yang terbaik (Booth, dkk.,2007).
Trauma pada daerah wajah seringkali menyebabkan cedera pada jaringan lunak,
gigi dan tulang maksila, zygoma, nasoorbital-ethmoid (NOE) komplek, dan
struktur-struktur supra orbital. Cedera ini juga kadang-kadang terjadi bersamaan
dengan cedera pada bagian tubuh yang lain (Petersen, 2003). Prinsip umum pada
perawatan fraktur tulang tidak pernah berubah sejak pertama kali didefinisikan oleh
Hippocrates sejak lebih dari dua puluh lima abad yang lampau. Prinsip ini adalah
reduksi dari segmen fraktur dan imobilisasi selama periode penyembuhan tulang
(Dingman dan Natvig, 1965).
III.14.Perawatan Akhir Kasus
Jadi secara umum dapat disimpulkan, perawatan penderita trauma
maksilofasial dapat dilakukan dari pembagian traumanya dalam 2 kelompok
:
1. Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil,
misalnya dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau
area terapi biasa pada ruang gawat darurat.
2. Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul
berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan
lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat
perawatan kritis pada instalasi gawat darurat :
1.Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau
kritis area diikuti dengan teknik ATLS
2.Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang
leher.
a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika
penderita perlu melakukannya.
b. Jaw trush dan chin lift.
c. Traksi lidah : Dengan jari, O-slik suture atau dengan handuk
3. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau
krikotiroidotomi
4. Berikan oksigenasi yang adekuat .
5.Monitor tanda vital setiap 5 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.
6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian
cairan.
7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum /elektrolit /
kreatinin.
8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.
a. Penekanan langsung. Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.
b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV
bolus pelan selama 5 10 menit.3,11
IV.2 Saran