Вы находитесь на странице: 1из 36

BAB III

PEMBAHASAN

III.1 KASUS
Seorang laki-laki 22 tahun datang ke IGD RS.Siti Rahma dengan cedera kepala
GCS15,dengan trauma maksilafasial,pasian sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas
sejak 3 jam masuk rumah sakit.Pasien sadar setelah kejadian,trauma tempat lain tidak
ada.Tempat kondisi pasien seperti pada gambar,sampai di IGD dilakukan penanganan
Pertama Primery survey.Terdapat pendarahan aktif dari intra oral,setelah primery survey
clear dan pendarahan di beri tampon,dilanjutkan inspeksi,palpasi dsecara sistemik mulai
dari tulang bagian frontal,periorbital,zhigomaticum,maksilaris,dan mandibula,dan
pemeriksaan diplopia curiga blowout fracture pemeriksaan intra nasal dilakukan untuk
melihat adanya hematoma atau obstruksi serta adanya rhinore,pemerksaan intra oral
untuk palpasi region maksila dan mandibular dan pemeriksaan oklusi.CT scan dilakukan
dan di dapatkan le fort fracture type II.

III.2 Skema Kasus

III.3Terminologi

III.3.I Definisi GCS


Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala neurologis yang digunakan untuk
mendapatkan cara yang dapat diandalkan dalam mengukur keadaan kesadaran
seseorang untuk perawatan berkelanjutan.Respon pasien yang perlu
diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan
motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan
rentang angka 1 6 tergantung responnya.
Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan
kuku jari)
(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :


(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering bertanya berulang-ulang )
disorientasi tempat dan waktu.
(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas,
namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya aduh, bapak)
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon

Motor (respon motorik) :


(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi
stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada
& kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh,
dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam


simbol EVM
Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil :

GCS : 14 15 = CKR (cidera kepala ringan)

GCS : 9 13 = CKS (cidera kepala sedang)

GCS : 3 8 = CKB (cidera kepala berat)

III.3.2.Definisi Primery Survey

Pengertian : Deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi yang mengancam

Tujuan : Untuk mengetahui kondisi pasien yang mengancam jiwa dan kemudian
dilakukan tindakan life saving.

Cara pelaksanaan (harus berurutan dan simultan)

Jalan nafas (airway)

Lihat, dengar, raba (Look, Listen, Feel)

Buka jalan nafas, yakinkan adekuat


Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan menggunakan
teknik Head Tilt/Chin Lift/Jaw Trust, hati-hati pada korban trauma
Cross finger untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut
Finger sweep untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut
Suctioning bila perlu
Pernafasan (breathing)

Lihat, dengar, rasakan udara yang keluar dari hidung/mulut, apakah ada
pertukaran hawa panas yang adekuat, frekuensi nafas, kualitas nafas,
keteraturan nafas atau tidak

Perdarahan (circulation)

Lihat adanya perdarahan eksterna/interna


Hentikan perdarahan eksterna dengan Rest, Ice, Compress, Elevation
(istirahatkan lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)
Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time,
nadi, sianosis, pulsus arteri distal

Susunan Saraf Pusat (disability)

cek kesadaran

Adakah cedera kepala?


Adakah cedera leher?
perhatikan cedera pada tulang belakang

Kontrol Lingkungan (Exposure/ environmental )

Buka baju penderita lihat kemungkinan cedera yang timbul tetapi cegah
hipotermi/kedinginan

III.3.3 Definisi Diplopia

Pengertian Kesehatan adalah kondisi dimana seseorang jiwa dan raganya


dalam keadaan yang stabil sehingga memungkinkan untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomi. Sedangkan definisi kesehatan dalam kehidupan
sehari-hari yang berarti sesuatu yang dapat bekerja secara normal.
Berkaitan dengan itu kita sering mendengar istilah kesehatan jasmani
yang artinya dimana koordinasi organ-organ tubuh manusia atau makhluk
hidup lainnya dalam keadaan yang stabil atau normal. Adapun arti
kesehatan lainnya, yaitu kesehatan rohani adalah merupakan kesehatan
jiwa manusia atau bisa dikatakan sebagai makhluk hidup yang memiliki
jiwa dan pikiran.

III.3.5 definisi Blowot orbital

Fraktur dinding orbital adalah terputusnya kontinuitas antara jaringan-


jaringan pada dinding orbital dengan atau tanpa penglibatan tulang-
tulang di daerah sekitarnya

III.3.6 definisi Oklusi


Oklusi adalah perubahan hubungan permukaan gigi geligi pada Maksila dan mandibula,
yang terjadi selama pergerakan Mandibula dan berakhir dengan kontak penuh dari gigi
geligi pada kedua rahang. Oklusi terjadi karena adanya interaksi antara Dental system,

Secara teoritis, oklusi didefinisikan sebagai kontak antara gigi-geligi yang saling
berhadapan secara langsung (tanpa perantara) dalam suatu hubungan biologis yang
dinamis antara semua komponen sistem stomato-gnatik terhadap permukaan gigi-geligi
yang berkontak dalam keadaan berfungsi berkontak dalam keadaan berfungsi

III.3.7 Definisi LeaFort

Terdapat beberapa pengertian mengenai fraktur, sebagaimana yang dikemukakan para


ahli melalui berbagai literature. Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan
terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan
Geissler, AC (2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Back dan Marassarin
(1993) berpendapat bahwa fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang normal yang
terjadi karena tekanan pada tulang yang berlebihan.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa fraktur merupakan suatu gangguan
integritas tulang yang ditandai dengan rusaknya atau terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dikarenakan tekanan.

III.4 Defenisi Trauma Maksilofasial

Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya.2 Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah
adalah tulang kepala yang terdiri dari :
1. Tulang hidung
2. Tulang arkus zigomatikus
3. Tulang mandibula
4. Tulang maksila
5. Tulang rongga mata
6. Gigi
7. Tulang alveolus

III.5 Etiologi Maksilofasial


Penyebab trauma maksilofasial bervariasi, mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan
fisik, terjatuh, olah raga dan trauma akibat senjata api. Kecelakaan lalu lintas adalah
penyebab utama trauma maksilobasial yang dapat membawa kematian dan kecacatan
pada orang dewasa secara umum dibawah usia 50 tahun dan angka terbesar biasanya
terjadi pada pria dengan batas usia 21-30 tahun.
Bagi pasien dengan kecelakaan lalu lintas yang fatal menjadi masalah karena
harus rawat inap di rumah sakit dengan cacat permanen yang dapat mengenai ribuan
orang per tahunnya. Berdasarkan studi yang dilakukan, 72%kematian oleh trauma
maksilofasial paling banyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas (automobile). Berikut
ini tabel etiologi trauma maksilofasial.

Tabel 1. Etiologi trauma maksilofasial (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah
mulut. Alih bahasa, Purwanto, Basoeseno, Jakarta: 1987 : 222)

Kecelakaan
Kecelakaanlalulalu
lintas
lintas Anak-anak 10-15
40-45
Penganiyayan / berkelahi 10-15
Penganiayaan / berkelahi
Olahraga 5-10
5-10
Jatuh
Olahraga (termasuk naik sepeda) 50-655
Lain lain 5-10
Jatuh 5-10

III.6Tanda -tanda dan Gejala Trauma Maksilofasial


Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :
-Dislokasi, berupa perubahan posisi yg menyebabkan maloklusi terutama pada fraktur
mandibula.
-Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.

Penyebab Persentase (%)


Dewasa
-Rasa nyeri pada sisi fraktur.
-Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.
-Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi
daerah fraktur
-Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran.
-Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.
-Diskolorisasi perubahan warna pada daerah fraktur akibat pembengkakan.
Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi dibawah
nervus alveolari
-Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan
pergerakan bola mata dan penurunan visus
III.7.Klasifikasi Trauma Maksilofasial
Klasifikasi Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian,
yaitu trauma jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan
lunak biasanya disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada
kecelakaan lalu lintas atau pisau dan golok pada perkelahian.

III.7.1 Trauma jaringan lunak wajah


Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma
dari luar.
Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan: 3,10,11
1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab
a. Ekskoriasi
b. Luka sayat, luka robek , luka bacok.
c. Luka bakar
d. Luka tembak
2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan
3. Dikaitkan dengan unit estetik
Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.
(Gambar1)
Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer tidak menguntungkan
mengakibatkan penyembuhan yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan
sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut (Oral surgery).
Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987:226).

III.7.2 Trauma jaringan keras wajah


Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi
dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat
dari terminologinya ( pengistilahan ) :
I. Tipe fraktur
1. Fraktur simpel
Merupakan fraktur sederhana, liniear yang tertutup misalnya pada kondilus,
koronoideus, korpus dan mandibula yang tidak bergigi.
Fraktur tidak mencapai bagian luar tulang atau rongga mulut. Termasuk greenstik
fraktur yaitu keadaan retak tulang, terutama pada anak dan jarang terjadi.
2. Fraktur kompoun
Fraktur lebih luas dan terbuka atau berhubungan dengan jaringan lunak
Biasanya pada fraktur korpus mandibula yang mendukung gigi, dan hampir selalu tipe
fraktur kompoun meluas dari membran periodontal ke rongga mulut, bahkan beberapa
luka yang parah dapat meluas dengan sobekan pada kulit.
3. Fraktur komunisi
Benturan langsung terhadap mandibula dengan objek yang tajam seperti
peluru yang mengakibatkan tulang menjadi bagian bagian yang kecil atau remuk.
Bisa terbatas atau meluas, jadi sifatnya juga seperti fraktur kompoun dengan
kerusakan tulang dan jaringan lunak.
4. Fraktur patologis
keadaan tulang yang lemah oleh karena adanya penyakit penyakit tulang, seperti
Osteomyelitis, tumor ganas, kista yang besar dan penyakit tulang sistemis
sehingga dapat menyebabkan fraktur spontan.
II. Perluasan tulang yang terlibat
1. Komplit, fraktur mencakup seluruh tulang.
2. Tidak komplit, seperti pada greenstik, hair line, dan kropresi ( lekuk )

III. Konfigurasi ( garis fraktur )


1. Tranversal, bisa horizontal atau vertikal.
2. Oblique ( miring )
3. Spiral (berputar)
4. Komunisi (remuk)

IV. Hubungan antar Fragmen


1. Displacement, disini fragmen fraktur terjadi perpindahan tempat
2. Undisplacement, bisa terjadi berupa
a) Angulasi / bersudut
b) Distraksi
c) Kontraksi
d) Rotasi / berputar
e) Impaksi / tertanam
Pada mandibula, berdasarkan lokasi anatomi fraktur dapat mengenai daerah :
a) Dento alveolar
b) Prosesus kondiloideus
c) Prosesus koronoideus
d) Angulus mandibula
e) Ramus mandibula
f) Korpus mandibula
g) Midline / simfisis menti
h) Lateral ke midline dalam regio insisivus
Gambar 2.Fraktur pada daerah mandibula A. Dento-alveolar B. Kondilar C.
Koronoid D. Ramus E. Angulus F. Corpus G. Simfisis H. Parasimfisis (Banks P.
Fraktur mandibula (Killeys Fractures of the mandible). Alih bahasa, Lilian
Yuwono, Jakarta: Hipokrates, 1990:2).

V. Khusus pada maksila fraktur dapat dibedakan :

a) Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita)


b) Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III
c) Fraktur segmental mandibula

Gambar 3. (A). I Le Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan anterior) (B). I Le
Fort I, II Le Fort II, III Le Fort III (pandangan sagital) (London PS. The anatomy of
injury and its surgical implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5).
III.8.Jenis Fraktur Maksilafasialis Menurut Leafort 1,2,3
Fraktur tulang sepertiga tengah wajah berdasarkan klasifikasi Le Fort :
1. Fraktur Le Fort tipe I (Guerins)
Fraktur Le Fort I (gambar 2.4) merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi,
dan menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini
menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw. Hipoestesia
nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.
2. Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II (gambar 2.5) biasa juga disebut dengan fraktur piramidal.
Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan
ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia di
nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena laju
perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang berhubungan
dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas pada saat palpasi
di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan cerebrospinal dan epistaksis
juga dapat ditemukan pada kasus ini.

Gambar 2.5 Fraktur Le Fort II (Fonseca, 2005)

3. Fraktur Le Fort III


Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6)
menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus fraktur ini
ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila kompleks,
disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan ekimosis periorbital.

Gambar 2.6 Fraktur Le Fort III (Fonseca, 2005)

III.9Pemeriksaan sistematis
Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma maksilofasial yaitu meliputi :
1. Periksa kesadaran pasien.
2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :
Apakah asimetris atau tidak.
Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.

3. Apakah ada hematoma :


a. Fraktur zigomatikus
Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat sebagai permukaan
yang bersambungan secara seragam.
Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada hematoma, nyeri
tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.

b. Fraktur nasal
Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.

c. Fraktur Orbita
Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah
Apakah sejajar atau bergeser
Apakah pasien bisa melihat
Apakah dijumpai diplopia

Hal ini karena :


o Pergeseran orbita
o Pergeseran bola mata
o Paralisis saraf ke VI
o Edema
d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.
Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan, deformitas, iregularitas,
dan krepitasi.
Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada fraktur Le Fort tipe II
atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika
rahang tidak menutup secara sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.
e. Cedera saraf
Uji anestesi pada wajah (saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi atas).

f. Cedera gigi
Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan juga disekitarnya.

Pemeriksaan Fisik 1,3


A. Inspeksi
Secara sistematis bergerak dari atas ke bawah :
Deformitas, memar, abrasi, laserasi, edema.
Luka tembus.
Asimetris atau tidak.
Adanya Maloklusi / trismus, pertumbuhan gigi yang abnormal.
Otorrhea / Rhinorrheaf. Telecanthus, Battle's sign, Raccoon's sign.
Cedera kelopak mata.
Ecchymosis, epistaksisi.
Defisit pendengaran.
Perhatikan ekspresi wajah untuk rasa nyeri, serta rasa cemas

B. Palpasi
1. Periksa kepala dan wajah untuk melihat adanya lecet, bengkak,
ecchymosis, jaringan hilang, luka, dan perdarahan, Periksa luka
terbukauntuk memastikan adanya benda asing seperti pasir, batu
kerikil.
2. Periksa gigi untuk mobilitas, fraktur, atau maloklusi. Jika gigi
avulsi, mengesampingkan adanya aspirasi.
3. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di daerah
pinggiran supraorbital dan infraorbital, tulang frontal, lengkungan
zygomatic, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal,
temporal, dan rahang atas.
4. Periksa mata untuk memastikan adanya exophthalmos atau enophthalmos,
menonjol lemak dari kelopak mata, ketajaman visual, kelainan gerakan
okular, jarak interpupillary, dan ukuran pupil, bentuk,dan reaksi
terhadap cahaya, baik langsung dan konsensual.
5. Perhatikan sindrom fisura orbital superior, ophthalmoplegia,
ptosis dan proptosis.
6. Balikkan kelopak mata dan periksa benda asing atau adanya laserasi.
7. Memeriksa ruang anterior untuk mendeteksi adanya perdarahan,
seperti hyphema.
8. Palpasi daerah orbital medial. Kelembutan mungkin menandakan
kerusakan pada kompleks nasoethmoidal.
9. Lakukan tes palpasi bimanual hidung, bius dan tekan intranasal
terhadap lengkung orbital medial. Secara bersamaan tekan canthus
medial. Jika tulang bergerak, berarti adanya kompleks nasoethmoidal
yang retak.
10. Lakukan tes traksi. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik
terhadap bagian medialnya. Jika "tarikan" tendon terjadi, bisa
dicurigai gangguan dari canthus medial.
11. Periksa hidung untuk telecanthus (pelebaran sisi tengah hidung) atau
dislokasi. Palpasi untuk kelembutan dan krepitasi.
12. Periksa septum hidung untuk hematoma, massa menonjol kebiruan,
laserasi pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rhinorrhea
cairan cerebrospinal.
13. Periksa untuk laserasi liang telinga, kebocoran cairan
serebrospinal, integritas membran timpani, hemotympanum, perforasi,
atauecchymosis daerah mastoid (Battle sign).
14. Periksa lidah dan mencari luka intraoral, ecchymosis, atau bengkak.
Secara Bimanual meraba mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau
mobilitas.
15. Tempatkan satu tangan pada gigi anterior rahang atas dan yang
lainnya di sisi tengah hidung.
16. Gerakan hanya gigi menunjukkan fraktur le fort I. Gerakan di sisi hidung
menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.
17. Memanipulasi setiap gigi individu untuk bergerak, rasa sakit,
gingival dan pendarahan intraoral, air mata, atau adanya krepitasi.
18. Lakukan tes gigit pisau. Minta pasien untuk menggigit keras pada
pisau. Jika rahang retak, pasien tidak dapat melakukan ini dan akan
mengalami rasa sakit.
19. Meraba seluruh bahagian mandibula dan sendi temporomandibular untuk
memeriksa nyeri, kelainan bentuk, atau ecchymosis.
20. Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan satu jari di saluran
telinga eksternal, sementara pasien membuka dan menutup mulut. Rasa sakit
atau kurang gerak kondilus menunjukkan fraktur.
21. Periksa paresthesia atau anestesi saraf.3
III.10 Perawatan Awal Primery Survey
Penatalaksanaan awal pada primary survey dilakukan pendekatan melalui
ABCDE yaitu:

A:Airway, menjaga airway dengan kontrol servikal (cervical spinecontrol)


B: Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan (hemorrage control)
D: Disability, status neurologis
E: Exposure/environmental control, membuka baju penderita, tetapi cegah hipotermia

a. Airway

Airway manajemen merupakan hal yang terpenting dalam resusitasi dan


membutuhkan keterampilan yang khusus dalam penatalaksanaan keadaan gawat darurat,
oleh karena itu hal pertama yang harus dinilai adalah kelancaran jalan nafas, yang
meliputi pemeriksaan jalan nafas yang dapat disebabkan oleh benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur manibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Gangguan airway
dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan lahan dan sebagian, dan
progresif dan/atau berulang.
Menurut ATLS 2004, Kematian-kematian dini karena masalah airway
seringkali masih dapat dicegah, dan dapat disebabkan oleh :

1. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan airway

2. Ketidakmampuan untuk membuka airway

3. Kegagalan mengetahui adanya airway yang dipasang secara keliru

4. Perubahan letak airway yang sebelumnya telah dipasang

5. Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan ventilasi

6. Aspirasi isi lambung


Bebasnya jalan nafas sangat penting bagi kecukupan ventilasi dan oksigenasi. Jika
pasien tidak mampu dalam mempertahankan jalan nafasnya, patensi jalan nafas harus
dipertahankan dengan cara buatan seperti : reposisi, chin lift, jaw thrust, atau melakukan
penyisipan airway orofaringeal serta nasofaringeal (Walls, 2010). Usaha untuk
membebaskan jalan nafas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini dapat
dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada penderita yang dapat
berbicara, dapat dianggap bahwa jalan nafas bersih, walaupun demikian penilaian
terhadap airway harus tetap dilakukan. Penderita dengan gangguan kesadaran atau
Glasgow Coma Scale sama atau kurang dari 8 biasanya memerlukan pemasangan
airway definitif. Adanya gerakan motorik yang tak bertujuan, mengindikasikan
perlunya airway definitif.
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan
dengan cepat dan tepat. Bila penderita mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka
lidah mungkin jatuh ke belakang, dan menyumbat hipofaring. Bentuk sumbatan seperti
ini dapat dengan segera diperbaiki dengan cara mengangkat dagu (chin lift
maneuver), atau dengan mendorong rahang bawah ke arah depan (jaw thrust maneuver).
Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway orofaringeal (oropharyngeal
airway) atau nasofaringeal (nasopharingeal airway). Tindakan-tindakan yang digunakan
untuk membuka airway dapat menyebabkan atau memperburuk cedera spinal. Oleh
karena itu, selama melakukan prosedur- prosedur ini harus dilakukan imobilisasi
segaris (in-line immobilization) (ATLS,2004)
Teknik-teknik mempertahankan airway :

1. Head tilt

Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan


horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien harus
direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir, cairan
muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan satu tangan
di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas. Tangan lain diletakkan
pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke belakang. Posisi ini
dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi bertekanan positif secara
intermittena (Alkatri, 2007).

2. Chin lift

Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian secara
hati hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari tangan yang
sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut, ibu jari dapat juga
diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara bersamaan, dagu dengan
hati hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh menyebabkan hiperekstensi leher.
Manuver ini berguna pada korban trauma karena tidak membahayakan penderita dengan
kemungkinan patah ruas rulang leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal
menjadi patah tulang dengan cedera spinal.

Gambar 2.1. Head-tilt, chin-lift maneuver (sumber : European


Resusciation Council Guidelines for Resusciation 2010).
3. Jaw thrust

Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada mandibula,
jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus mandibula, jari tengah
dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula sedangkan ibu jari kanan dan
kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian mandibula diangkat ke atas melewati
molar pada maxila (Arifin, 2012).

Gambar 2.2. Jaw-thrust maneuver (sumber : European Resusciation

Council Guidelines for Resusciation 2010).

4. Oropharingeal Airway (OPA)

Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada


pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene,davis,2007).

Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran
pipa orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara
menyesuaikan ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut
bibir. Masukkan pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke
atas (arah terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa
mengenai palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa
dengan cara melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil
mendorong pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa
berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring. Periksa dan
pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-faring dengan cara
memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan plester sampai ke pipi pasien
(Arifin, 2012).
Gambar 2.3. Oropharingeal Airway (sumber : The McGraw-Hill

Companies 2006)
5. Nasopharingeal Airway

Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal


lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih
kecil kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa
naso-faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso- faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY jelly
(gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring dengan cara
memegang pangkal pipa naso- faring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap
ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga hidung dengan perlahan sampai
batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).

Gambar 2.4. Nasopharingeal Airway (sumber : The McGraw-Hill

Companies 2006).
6. Airway definitif

Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa


nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan
pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara
lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara cara yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway
5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)
6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian
oksigen tambahan lewat masker wajah.

Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering


digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang harus
diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang paling
menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah pengalaman
dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan dengan tepat.
Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk
melakukan airway surgical.
Apabila pernafasan membaik, jaga agar jalan nafas tetap terbuka dan periksa
dengan cara (Haffen, Karren, 1992) :
1. Lihat (look), melihat naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding
dada yang adekuat.
2. Dengar (listen), mendengar adanya suara pernafasan pada kedua sisi dada.
3. Rasa (feel), merasa adanya hembusan nafas.
Gambar 2.4. Look, listen, and feel (sumber : European Resusciation

Council Guidelines for Resusciation 2010).


b. Breathing

Oksigen sangat penting bagi kehidupan. Sel-sel tubuh memerlukan pasokan


konstan O2 yang digunakan untuk menunjang reaksi kimiawi penghasil energi, yang
menghasilkan CO2 yang harus dikeluarkan secara terus-menerus (Sherwood, 2001).
Kegagalan dalam oksigenasi akan menyebabkan hipoksia yang diikuti oleh kerusakan
otak, disfungsi jantung, dan akhirnya kematian (Hagberg,2005). Pada keadaan normal,
oksigen diperoleh dengan bernafas dan diedarkan dalam aliran darah ke seluruh tubuh
(Smith, 2007). Airway yang baik tidak dapat menjamin pasien dapat bernafas dengan
baik pula (Dolan, Holt, 2008). Menjamin terbukanya airway merupakan langkah awal
yang penting untuk pemberian oksigen. Oksigenasi yang memadai menunjukkan
pengiriman oksigen yang sesuai ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolik,
efektivitas ventilasi dapat dinilai secara klinis (Buono, Davis, Barth, 2007).
Apabila pernafasan tidak adekuat, ventilasi dengan menggunakan teknik bag-
valve-face-mask merupakan cara yang efektif, teknik ini lebih efektif apabila dilakukan
oleh dua orang dimana kedua tangan dari salah satu petugas dapat digunakan untuk
menjamin kerapatan yang baik (ATLS, 2004). Cara melakukan pemasangan face-mask
(Arifin, 2012):
1. Posisikan kepala lurus dengan tubuh
2. Pilihlah ukuran sungkup muka yang sesuai (ukuran yang sesuai bila sungkup
muka dapat menutupi hidung dan mulut pasien, tidak ada kebocoran)
3. Letakkan sungkup muka (bagian yang lebar dibagian mulut)
4. Jari kelingking tangan kiri penolong diposisikan pada angulus mandibula, jari manis
dan tengah memegang ramus mandibula, ibu jari dan telunjuk memegang dan
memfiksasi sungkup muka
5. Gerakan tangan kiri penolong untuk mengekstensikan sedikit kepala pasien
6. Pastikan tidak ada kebocoran dari sungkup muka yang sudah dipasangkan
7. Bila kesulitan, gunakan dengan kedua tangan bersama-sama (tangan kanan dan kiri
memegang mandibula dan sungkup muka bersama-sama)
8. Pastikan jalan nafas bebas (lihat, dengar, rasa)
9. Bila yang digunakan AMBU-BAG, maka tangan kiri memfiksasi sungkup muka,
sementara tanaga kanan digunakan untuk memegang bag (kantong) reservoir sekaligus
pompa nafas bantu (squeeze-bag)

Gambar 2.6 Pemasangan face mask (sumber : The McGraw-Hill Companies 2006)

Sedangkan apabila pernafasan tidak membaik dengan terbukanya airway,


penyebab lain harus dicari. Penilaian harus dilakukan dengan melakukan inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi pada toraks.

Buka leher dan dada sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala

Tentukan laju dan dalamnya pernafasan


Inspeksi dan palpasi leher serta toraks, cari :
deviasi trakea, distensi vena leher, ekspansi toraks
simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan,
dan tanda-tanda cedera

Perkusi toraks untuk menentukan redup atau


hipersonor

Auskultas toraks
bilateral

Gambar 2.7. Penilaian pada toraks

Penilaian awal tersebut dilakukan untuk menilai apakah terdapat keadaan-


keadaan seperti tension pneumotoraks, massive haemotoraks, open pneumotoraks
dimana keadaan-keadaan tersebut harus dapat dikenali pada saat dilakukan primary
survey. Bila ditemukannya keadaan-keadaan tersebut maka resusitasi yang dilakukan
adalah ( Sitohang, 2012):
a. Memberikan oksigen dengan kecepatan 10 12 L/menit

b. Tension pneumotoraks : Needle insertion (IV Cath No. 14) di ICR II

linea midclavicularis

c. Massive haemotoraks : Pemasangan Chest Tube


d. Open pneumotoraks : Luka diututp dengan kain kasa yang diplester pada tiga sisi
(flutter-type valveefect)

Pulse oxymeter dapat digunakan untuk memberikan informasi tentang saturasi


oksigen dan perfusi perifer penderita. Pulse oxymeter adalah metoda yang noninvansif
untuk mengukur saturasi oksigen darah aterial secara terus menerus (ATLS, 2004).

c. Circulation

Perdarahan merupakan penyebab kematian setelah trauma (Dolan, Holt,2008).


Oleh karena itu penting melakukan penilaian dengan cepat status hemodinamik dari
pasien, yakni dengan menilai tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi (ATLS,2004).
a. Tingkat kesadaran
Bila volume darah menurun perfusi otak juga berkurang yang
menyebabkan penurunan tingkat kesadaran.
b. Warna kulit
Wajah yang keabu-abuan dan kulit ektremitas yang pucat merupakan tanda
hipovolemia.

c. Nadi
Pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi yang besar seperti a. femoralis dan a.
karotis (kanan kiri), untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama.

Dalam keadaan darurat yang tidak tersedia alat-alat, maka secara cepat kita dapat
memperkirakan tekanan darah dengan meraba pulsasi (Haffen, Karren,1992):

1. Jika teraba pulsasi pada arteri radial, maka tekanan darah minimal 80 mmHg sistol
2. Jika teraba pulsasi pada arteri brachial, maka tekanan darah minimal 70 mmHg
sistol.
3. Jika teraba pulsasi pada arteri femoral, maka tekanan darah minimal 70 mmHg sistol
4. Jika teraba pulsasi pada arteri carotid, maka tekanan darah minimal 60 mmHg sistol
Perdarahan eksternal harus cepat dinilai, dan segera dihentikan bila ditemukan
dengan cara menekan pada sumber perdarahan baik secara manual maupun dengan
menggunakan perban elastis. Bila terdapat gangguan sirkulasi harus dipasang
sedikitnya dua IV line, yang berukuran besar. Kemudian lakukan pemberian larutan
Ringer laktat sebanyak 2 L sesegera mungkin (ATLS, 2004).

d. Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis
secara cepat. Hal yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil.
Tanda-tanda lateralisasi dan tingkat (level) cedera spinal (ATLS, 2004). Cara cepat
dalam mengevaluasi status neurologis yaitu dengan menggunakan AVPU, sedangkan
GSC (Glasgow Coma Scale) merupakan metode yang lebih rinci dalam mengevaluasi
status neurologis, dan dapat dilakukan pada saat survey sekunder (Jumaan, 2008).
AVPU,yaitu

A : Alert
V : Respon to verbal
P : Respon to pain
U : Unrespon

GSC (Glasgow Coma Scale) adalah sistem skoring yang sederhana untuk
menilai tingkat kesadaran pasien.
1. Menilai eye opening penderita (skor 4-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Membuka mata spontan
b. Membuka mata jika dipanggil, diperintah atau dibangunkan
c. Membuka mata jika diberi rangsangan nyeri (dengan menekan ujung kuku jari
tangan)
d. Tidak memberikan respon
2. Menilai best verbal response penderita (skor 5-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Orientasi baik dan mampu berkomunikasi
b. Disorientasi atau bingung
c. Mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat
d. Mengerang (mengucapkan kata -kata yang tidak jelas artinya)
e. Tidak memberikan respon
3. Menilai best motor respon penderita (skor 6-1)
Perhatikan apakah penderita :
a. Melakukan gerakan sesuai perintah
b. Dapat melokalisasi rangsangan nyeri
c. Menghindar terhadap rangsangan nyeri
d. Fleksi abnormal (decorticated)
e. Ektensi abnormal (decerebrate)
f. Tidak memberikan respon

Range skor : 3-15 (semakin rendah skor yang diperoleh, semakin jelek
kesadaran)
Penurunan tingkat kesadaran perlu diperhatikan pada empat kemungkinan
penyebab (Pre-Hospital Trauma Life Support Commitee 2002) :
1. Penurunan oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak\
2. Trauma pada sentral nervus sistem
3. Pengaruh obat-obatan dan alkohol
4. Gangguan atau kelainan metabolic

e. Exposure

Merupakan bagian akhir dari primary survey, penderita harus dibuka keseluruhan
pakaiannya, kemudian nilai pada keseluruhan bagian tubuh. Periksa punggung dengan
memiringkan pasien dengan cara log roll. Selanjutnya selimuti penderita dengan
selimut kering dan hangat, ruangan yang cukup hangat dan diberikan cairan intra-
vena yang sudah dihangatkan untuk mencegah agar pasien tidak hipotermi.
III.11 Pemeriksaan penunjang Trauma Maksilofasialis
Pada pasien dengan trauma wajah, pemeriksaan radiografis diperlukan untuk
memperjelas suatu diagnosa klinis serta untuk mengetahui letak fraktur. Pemeriksaan
radiografis juga dapat memperlihatkan fraktur dari sudut dan perspektif yang berbeda.
Pemeriksaan radiografis pada mandibula biasanya memerlukan foto radiografis
panoramic view, open-mouth Townes view, postero-anterior view, lateral oblique view.
Biasanya bila foto-foto diatas kurang memberikan informasi yang cukup, dapat juga
digunakan foto oklusal dan periapikal.
Computed Tomography (CT) scans dapat juga memberi informasi bila terjadi trauma
yang dapat menyebabkan tidak memungkinkannya dilakukan teknik foto radiografis
biasa. Banyak pasien dengan trauma wajah sering menerima atau mendapatkan CT-scan
untuk menilai gangguan neurologi, selain itu CT-scan dapat juga digunakan sebagai
tambahan penilaian radiografi.Berikut adalah Klasifikasi CT.scan sebagai pemeriksaan
penunjang
Pemeriksaan Penunjang Trauma Maksilofacial
1. Wajah Bagian Atas :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT-scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya termasuk CT Scan kepaladan X-ray kepala
2. Wajah Bagian Tengah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D (Cone Beam CT-scan 3D).
CT scan aksial koronal.
Imaging Alternatif diantaranya termasuk radiografi posisi waters dan posteroanterior
(Caldwells), Submentovertek (Jughandles).
3. Wajah Bagian Bawah :
CT-scan 3D dan CBCT-scan 3D.
Panoramic X-ray.
Imaging Alternatif diagnostik mencakup posisi :
- Posteroanterior (Caldwells).
- Posisi lateral (Schedell).
- Posisi towne.
III.12 Penatalaksanaan Pasien Fraktur Maksilofasial (Fonseca, 2005; Hupp et al.,
2008)
III.12.1 Kontak Awal Pasien
Survey awal digunakan untuk melihat kondisi sistemik pasien dan prioritas perawatan
pasien berdasarkan luka, tanda-tanda vital, dan mekanisme terjadinya luka. Advance
Trauma Life Support (ATLS) yang dianjurkan oleh American College of Surgeon ialah
perawatan trauma ABCDE.
A: Airway maintenance with cervical spine control/ protection
1. Menghilangkan fragmen-fragmen gigi dan tulang yang fraktur.
2. Memudahkan intubasi endotrakeal dengan mereposisi segmen fraktur wajah untuk
membuka jalan nafas oral dan nasofaringeal.
3. Stabilisasi sementara posisi rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur kedua
kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas atas.
B: Breathing and adequate ventilation
1. Stabilisasi sementara posisi fraktur rahang bawah ke arah posterior dengan fraktur
kedua kondilus dan simfisis yang menyebabkan obstruksi jalan nafas pada pasien
yang sadar.
C: Circulation with control of hemorrhage
1. Kontrol perdarahan dari hidung atau luka intraoral untuk meningkatkan jalan nafas
dan mengontrol perdarahan.
2. Menekan dan mengikat perdarahan pembuluh wajah dan perdarahan di kepala.
3. Menempatkan pembalut untuk mengontrol perdarahan dari laserasi wajah yang
meluas dan perdarahan kepala.
D: Disability: neurologic examination
1. Status neurologis ditentukan oleh tingkat kesadaran, ukuran pupil, dan reaksi.
2. Trauma periorbital dapat menyebabkan luka pada okular secara langsung maupun
tdak langsung yang dapat dilihat dari ukuran pupil, kontur, dan respon yang dapat
mengaburkan pemeriksaan neurologis pada pasien dengan sistem saraf pusat yang
utuh.
3. Menentukan perubahan pupil pada pasien dengan perubahan sensoris (alkohol
atauobat) yang tidak berhubungan dengan trauma intrakranial.
E: Exposure/ enviromental control
1. Menghilangkan gigi tiruan, tindikan wajah dan lidah.
2. Menghilangkan lensa kontak.

III.12.2 Penilaian Glasgow Coma Scale (Hupp et al., 2008)


Pada umumnya, Glasgow coma scale (GCS) digunakan untuk memeriksa kesadaran yang
dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya gangguan neurologis pada saat pertama kali
terjadi trauma maksilofasial. Ada tiga variabel yang digunakan pada skala ini, yaitu
respon membuka mata, respon verbal, dan respon motorik. Nilai GCS ditentukan
berdasarkan skor yang diperoleh berdasarkan tabel berikut.
Tabel 2.3 Glasgow Coma Scale (GCS)
Glasgow Coma Scale Nilai

Buka mata spontan 4


Buka mata bila dipanggil / 3
ada rangsangan suara
Respon Membuka Mata Buka mata bila ada 2

(E) rangsang nyeri


Tidak ada reaksi dengan 1
rangsangan apapun
Komunikasi verbal baik, 5
jawaban tepat
Bingung, disorientasi 4

Respon Verbal waktu, tempat, dan orang


Kata-kata tidak teratur 3
(V)
Suara tidak jelas 2
Tidak ada reaksi dengan 1
rangsangan apapun
Mengikuti Perintah 6
Dengan rangsangan nyeri, 5
dapat mengetahui tempat
rangsangan
Dengan rangsangan nyeri, 4
menarik anggota badan
Dengan rangsangan nyeri, 3

Respon Motorik timbul reaksi fleksi

( abnormal

Dengan rangsangan nyeri, 2


timbul reaksi ekstensi
abnormal
Dengan rangsangan nyeri, 1
tidak ada reaksi

Penilaian ini dilakukan terhadap respon motorik (1-6), respon verbal (1-5), dan respon
membuka mata (1-4), dengan interval GCS 3-15. Berdasarkan beratnya, cedera kepala
dikelompokkan menjadi :
(1) Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15
(2) Cedera kepala sedang dengan nilai GCS 9-13
(3) Cedera kepala berat dengan nilai GCS sama atau kurang dari 8
Glasgow Coma Scale ditujukan untuk menilai koma pada trauma kepala dan sebagian
tergantung pada respon verbal sehingga kurang sesuai bila diterapkan pada bayi baru
lahir, bayi, dan anak kecil. Oleh karena itu, diajukan beberapa modifikasi untuk anak.
Anak dengan kesadaran normal mempunyai nilai 15 pada GCS, nilai 12-14 menunjukkan
gangguan kesadaran ringan, nilai 9-11 berkorelasi dengan koma moderat sedangkan nilai
dibawah 8 menunjukkan koma berat. (The Paediatric Accident and Emergency Research
Group, 2008)

Tabel 2.4 Glasgow Coma Scale Modifikasi Untuk Bayi dan Anak
Glasgow Coma Scale Nilai
Berceloteh, bersuara, 5
berkata-kata seperti
biasanya

Rewel, Bingung 4
Menangis bila ada 3
rangsangan nyeri, berkata-
kata tidak jelas
Respon Verbal
(V) Merintih bila ada rangsang 2
nyeri, bersuara tidak jelas

Tidak ada reaksi dengan 1


rangsangan apapun

III.12.3 Riwayat penyakit, Keluhan Utama dan Pemeriksaan Klinis (Fonseca, 2005;
Hupp et al., 2008)
Lima pertanyaan yang harus diketahui untuk mengetahui riwayat penyakit pasien
penderita fraktur maksilofasial ialah:
1. Bagaimana kejadiannya?
2. Kapan kejadiannya?
3. Spesifikasi luka, termasuk tipe objek yang terkena, arah terkena, dan alat yang
kemungkinan dapat menyebabkannya?
4. Apakah pasien mengalami hilangnya kesadaran?
5. Gejala apa yang sekarang diperlihatkan oleh pasien, termasuk nyeri, sensasi,
perubahan penglihatan, dan maloklusi?
Evaluasi menyeluruh pada sistem, termasuk informasi alergi, obat-obatan, imunisasi
tetanus terdahulu, kondisi medis, dan pembedahan terdahulu yang pernah dilakukan.
Jejas pada sepertiga wajah bagian atas dan kepala biasanya menimbulkan keluhan sakit
kepala, kaku di daerah nasal, hilangnya kesadaran, dan mati rasa di daerah kening.
Jejas pada sepertiga tengah wajah menimbulkan keluhan perubahan ketajaman
penglihatan, diplopia, perubahan oklusi, trismus, mati rasa di daerah paranasal dan
infraorbital, dan obstruksi jalan nafas.
Jejas pada sepertiga bawah wajah menimbulkan keluhan perubahan oklusi, nyeri pada
rahang, kaku di daerah telinga, dan trismus.

Gambar 2.8 Perubahan Oklusi dan Laserasi Gingiva Serta Mukosa Pada Insisif Sentral
Pasien Instalasi Gawat Darurat Bagian Bedah Mulut dan Maksilofasial
RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung Menandakan Adanya Fraktur
Mandibula.

Pemeriksaan klinis pada struktur wajah terpenuhi setelah seluruh pemeriksaan fisik
termasuk pemeriksaan jantung dan paru, fungsi neurologis, dan area lain yang berpotensi
terkena trauma, termasuk dada, abdomen, dan area pelvis.
Evaluasi pada wajah dan kranium secara hati-hati untuk melihat adanya trauma seperti
laserasi, abrasi, kontusio, edema atau hematoma. Ekimosis di periorbital, terutama
dengan adanya perdarahan subkonjungtiva, merupakan sebagai indikas dari adanya
fraktur zigomatikus kompleks dan fraktur rima orbita.
Gambar 2.9 Hematoma Pada Orbita Sinistra Pasien Fraktur Maksilofasial di Instalasi
Gawat darurat RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Gambar 2.10 Ekimosis di Periorbital (Hupp et al., 2008)

Pemeriksaan neurologis pada wajah dievaluasi secara hati-hati dengan memeriksa


penglihatan, pergerakan ekstraokular, dan reaksi pupil terhadap cahaya.
Pemeriksaan mandibula dengan cara palpasi ekstraoral semua area inferior dan lateral
mandibula serta sendi temporomandibular. Pemeriksaan oklusi untuk melihat adanya
laserasi pada area gingiva dan kelainan pada bidang oklusi. Untuk menilai mobilisasi
maksila, stabilisasi kepala pasien diperlukan dengan menahan kening pasien
menggunakan salah satu tangan. Kemudian ibu jari dan telunjuk menarik maksila secara
hati-hati untuk melihat mobilisasi maksila.

Gambar 2.11 Pemeriksaan Mobilisasi Maksila (Hupp et al., 2008)

Pemeriksaan regio atas dan tengah wajah dipalpasi untuk melihat adany
kerusakan di daerah sekitar kening, rima orbita, area nasal atau zigoma. Penekanan
dilakukan pada area tersebut secara hati-hati untuk mengetahui kontur tulang yang
mungkin sulit diprediksi ketika adanya edema di area tersebut. Untuk melihat adanya
fraktur zigomatikus kompleks, jari telunjuk dimasukan ke vestibula maksila kemudian
palpasi dan tekan kearah superior lateral.
III.13 .Bahaya Trauma Maksilofasial
Trauma mulut dan maksilofasial adalah hal yang biasa terjadi (Booth, dkk.,
2007).
Dokter gigi umum biasanya merupakan tenaga medis yang dihubungi pasien
pertama kali apabila terjadi cedera rongga mulut. Peranan dokter gigi adalah
sebagai pendiagnosis dan melakukan perawatan yang sangat sederhana untuk trauma
dentoalveolar atau merujuk pasien kepada spesialis bedah mulut dan maksilofasial
apabila diperlukan perawatan yang lebih sulit dan komplek (Pedersen, 1996).
Sekarang ini perawatan trauma mulut dan maksilofasial melibatkan pendekatan
multiprofesional untuk mendapatkan hasil yang terbaik (Booth, dkk.,2007).
Trauma pada daerah wajah seringkali menyebabkan cedera pada jaringan lunak,
gigi dan tulang maksila, zygoma, nasoorbital-ethmoid (NOE) komplek, dan
struktur-struktur supra orbital. Cedera ini juga kadang-kadang terjadi bersamaan
dengan cedera pada bagian tubuh yang lain (Petersen, 2003). Prinsip umum pada
perawatan fraktur tulang tidak pernah berubah sejak pertama kali didefinisikan oleh
Hippocrates sejak lebih dari dua puluh lima abad yang lampau. Prinsip ini adalah
reduksi dari segmen fraktur dan imobilisasi selama periode penyembuhan tulang
(Dingman dan Natvig, 1965).
III.14.Perawatan Akhir Kasus
Jadi secara umum dapat disimpulkan, perawatan penderita trauma
maksilofasial dapat dilakukan dari pembagian traumanya dalam 2 kelompok
:
1. Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil,
misalnya dipukul atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau
area terapi biasa pada ruang gawat darurat.
2. Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul
berat, misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan
lalulintas atau jatuh dari ketinggian, harus diterapi di tempat
perawatan kritis pada instalasi gawat darurat :
1.Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau
kritis area diikuti dengan teknik ATLS
2.Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang
leher.
a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika
penderita perlu melakukannya.
b. Jaw trush dan chin lift.
c. Traksi lidah : Dengan jari, O-slik suture atau dengan handuk
3. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau
krikotiroidotomi
4. Berikan oksigenasi yang adekuat .
5.Monitor tanda vital setiap 5 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.
6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian
cairan.
7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum /elektrolit /
kreatinin.
8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.
a. Penekanan langsung. Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.
b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron). Dosis : 25mg/kg BB IV
bolus pelan selama 5 10 menit.3,11

Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam


menangani trauma dan luka pada wajah :
1. Asepsis.
2. Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.
3. Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa
sesudah dijahit.
4. Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari
pinggir luka.
5. Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.
6. Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat
dan teliti.
7. Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah
dijahit. Benang hanya berfungsi sebagai pemegang
8. Eksposure, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena
penyembuhan dan perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada
perdarahan di bawah luka yang harus ditekan (pressure)3.
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Trauma maksilofasial adalah suatu ruda paksa yang mengenai wajah dan jaringan
sekitarnya.2 Trauma pada jaringan maksilofasial dapat mencakup jaringan lunak dan
jaringan keras. Yang dimaksud dengan jaringan lunak wajah adalah jaringan lunak yang
menutupi jaringan keras wajah. Sedangkan yang dimaksud dengan jaringan keras wajah
adalah tulang kepala yang terdiri dari :Tulang hidung ,Tulang arkus zigomatikus ,Tulang
mandibula, Tulang maksila, Tulang rongga mata ,Gigi, Tulang alveolus

IV.2 Saran

IV.3 Daftar Pustaka

Вам также может понравиться