Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Angie 102012267
Yuvina 102013450
Seorang pasien bayi dibawa orangtuanya datang ke tempat praktek dokter A, seorang
dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter obsgyn B sewaktu
melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter B maupun C tidak pernah
mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana.
Sepuluh hari pasca lahir orangtua bayi menemukan benjolan di pundak kanan bayi.
Pendahuluan
Pada kasus tersebut, permasalahan utamanya ialah seorang ibu yang membawa bayi
ke dokter A yang diduga menderita fraktur klavikula kanan akibat kelalaian dr B dan C. Yang
akan dibahas di makalah ini berkaitan dengan kasus dia atas adalah etika profesi
kedokteran,hubungan dokter pasien, hubungan kesejawatan, dampak hukum yang timbul
akibat keputusan pasien, dan jalan keluar yang terbaik.
Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran
sebagai konsekuensi dan kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan hubungan
tersebut. Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontralektual namun mengingati sifat
praktek kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukan lah
hasil yang akan dicapai melainkan upaya yang sungguh-sungguh.1
Etika kedokteran juga sangat berhubungan dengan hukum. Hampir di semua negara
ada hukum yang secara khusus mengatur bagaimana dokter harus bertindak berhubungan
dengan masalah etika dalam perawatan pasien dan penelitian. Badan yang mengatur dan
memberikan ijin praktek medis di setiap negara bisa dan memang menghukum dokter yang
melanggar etika. Namun etika dan hukum tidaklah sama. Sangat sering, bahkan etika
membuat standar perilaku yang lebih tinggi dibanding hukum, dan kadang etika
memungkinkan dokter perlu untuk melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan
yang tidak etis. Hukum juga berbeda untuk tiap-tiap negara sedangkan etika dapat diterapkan
tanpa melihat batas negara.2
Pada dasarnya manusia memiliki 4 kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan fisiologis yang
dipenuhi dengan makanan dan minuman, kebutuhan psikologis yang dipeuhi dengan rasa
kepuasan, istirahat dan santai, kebutuhan social yang dipenuhi dengan keluarga, teman dan
komuniti dan kebutuhan kreatif dan spiritual yang dipenuhi dengan melalui pengetahuan
kebenaran cinta. 2 Di dalam menentukan tindakan di bidang kesehatan atau kedokteran selain
mempertimbangkan keempat kebutuhan di atas, keputusan hendaknya juga
mempertimbangkan hak-hak pasien. Pelanggaran atas hak pasien akan mengakibatkan juga
pelanggaran atas kebutuhan dasar di atas terutama kebutuhan kreatif dan spiritual pasien.
Prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama otonomi pasien. Prinsip moral
inilah yang kemudia melahirkan dokrin informes-consent.
Kata Autonomy, berasal dari bahasa Yunani, autos (self ) dan nomos (memerintah,
atau hukum). Pada awalnya, autonomy diartikan sebagai pemerintahan sendiri untuk kota
bagian Hellenic. Sejak saat itu, autonomy dikembangkan untuk ditujukan pada individual dan
memberi arti sebagai hak kebebasan, pilihan sendiri, menyebabkan satu perilaku, dan menjadi
diri sendiri.
b) Prinsip Beneficience.
Prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan kebaikan pasien . dalam
beneficience tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan
yang sisi baiknya lebih besar daripada sisi buruknya.
Beneficence lebih diartikan sebagai melakukan tindakan untuk kebaikan pasien. Lebih
mengutamakan altruisme atau pertolongan tanpa pamrih dan rela berkorban demi
kepentingan orang lain. Atau bisa kita persingkat yaitu altruisme dalam berpraktek.Kewajiban
berbuat baik menuntut bahwa kita harus membantu orang lain dalam memajukan kepentingan
mereka, jika kita dapat melakukannya tanpa risiko bagi diri kita sendiri.
General Beneficence:
o Melindungi dan mempertahankan hak yang lain
o Mencegah terjadi kecurigaan pada orang lain
o Menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain
Specific beneficence :
o Menolong orang cacat
o Menyelamatkan orang dari bahaya
Mengutamakan kepentingan pasien
Memandang pasien/keluarga/sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan
dokter/rumah sakit/pihak lain
Maksimalisasi akibat baik (termasuk jumlah > akibat buruk)
Menjamin nilai pokok : apa saja yang ada, pantas (elok) kita bersikap baik terhadapnya
(apalagi ada yang hidup).
Prinsip moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini
dikenal sebagai primum non nocere atau above all da no harm . Prinsip non-
maleficence menekankan kepada pentingnya kewajiban untuk tidak menyakiti secara sengaja.
Hal ini berkaitan di dunia etika kedokteran dengan perkataan Primum non nocere: Above all
do no harm. Hal ini disebabkan kondisi pasien yang sangat bergantung pada dokter,
sehingga dokter dilarang untuk memperlakukan pasien sesuka mereka.
Ciri-ciri Non-Maleficence:
d) Prinsip justice
Prinsip moral yang mementingkan keadilan dalam bersikap mendistribusikan daya. Kata
keadilan bergantung pada konteksnya. Dalam bidang kesehatan keadilan dimaknai tentang
apa yang menjadi hak atau yang berhak didapatkan dari layanan kesehatan, akses terhadap
layanan kesehatan, dan promosi kesehatan yang tersedia atau disediakan oleh negara kepada
warganya.
Dalam bioetika, prinsip justice mengutamakan prinsip keadilan bagi pasien. Tidak peduli
pasien berada dari status sosial apa maupun suku mana, dokter harus memberikan pelayanan
pada pasien sesuai dengan hak pasien.
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian
baik buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang
cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang paling banyak dianut oleh orang yaitu
teori deontology dan teologi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa deontology mengajarkan
bahwa baik-buruknya suatu perbuatan harus dilihat dari perbuatan itu sendiri, sedangkan
teologi mengajarkan untuk melihat baik-buruknya sesuatu dengan melihat hasil atau
akibatnya. Deontologi lebih mendasar kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkn
teologi lebih berdasar pada arah penalaran dan pembenaran kepada azas manfaat. 1,3
1. Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi adalah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien, terutama
hak otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin informed
consent.
2. Prinsip Beneficence
Prinsip Beneficence adalah prinsip moral yng mengutamakan tindakan yang ditujukan
demi kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk
kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar dari
sisi buruknya.
3. Prinsip Non-malificence
Prinsip Non-malificence adalah prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini juga dikenal dengan primum non nocere
atau above all, do no harm.
4. Prinsip Justice
Prinsip Justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
Sedangkan aturan turunannya adalah veracity (berbicara jujur, benar dan terbuka), privacy
(menghormat hak pribadi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian pasien) dan fidelity
(loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas, yang harus dijadikan pedoman dalam
mengambil keputusan klinis, profesionalitas kedokteran juga mengenal etika profesi sebagai
panduan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai dalam etika profesi tercermin dalam
sumpah dokter dank ode etik kedokteran. Sumpah berisi kontrak moral antara dokter
dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik kedokteran berisikan kontrak
kewajiban moral antara dokter dengan peer-groupnya yaitu masyarakat profesinya.Baik
sumpah dokter maupun kode etik kedokteran berisikan sejumlah kewajiban moral yang
melekat pada para dokter. Meskipun kewajiban tersebut bukanlah kewajiban hukum sehingga
tidak dapat dipaksakan secara hukum, namun kewajiban moral tersebut haruslah menjadi
pemimpin dari kewajiban dalam hokum kedokteran. Hukum kedokteran yang baik haruslah
hukum yang etis.1
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan
pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler dan
Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang essential dalam
pelayanan klinik, yaitu:
1. Medical indication
Kedalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic dan terapi
yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek
indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya, terutama menggunakan kaidah
beneficence dan non-malificence. Pertanyaan etika pada topic ini adalah serupa
dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin
informed consent.
2. Patient preferences
Pada topic ini, kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat dan
beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy. Pertanyaan
etika meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat volunteer sikap dan
keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat keputusan bila pasien dalam
keadaan tidak sadar dan kompeten serta nilai dan keyakinan yang dianut oleh pasien.
3. Quality of life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa dan
bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar
prognosis yang berkaitan dengan beneficence, non-malificence dan autonomy.
4. Contextual features
Dalam topic ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mendahului
keputusan seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi
sumber daya dan factor hukum.
Kelalaian Medik
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian
terjadi bila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang mempunyanyai
kualifikasi yang sama pada keadaan yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian yang dilakukan orang- orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dihukum
kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat profesinya)
bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang lain. 1,4
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut
World Medical Association (1992), yaitu: medical malpractice involves the physicians
failure to conform to the standard of care for treatment of the patients condition, or lack of
skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to
the patient. WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat
malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya
(unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi
mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. An
injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not
the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward
result, for which the physician should not bear any liability.7
Sebagaimana diuraikan di atas, di dalam suatu layanan medik dikenal gugatan ganti
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian medik. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut
sebagai kelalaian apabila memenuhi empat unsur di bawah ini:6
1. Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis atau
untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi
dan kondisi yang tertentu. Dasar dari adanya kewajiban ini adalah adanya hubungan
kontraktual-profesional antara tenaga medis dengan pasiennya, yang menimbulkan
kewajiban umum sebagai akibat dari hubungan tersebut dan kewajiban profesional
bagi tenaga medis tersebut. Kewajiban profesional diuraikan di dalam sumpah profesi,
etik profesi, berbagai standar pelayanan, dan berbagai prosedur operasional.
Kewajiban-kewajiban tersebut dilihat dari segi hukum merupakan rambu-rambu yang
harus diikuti untuk mencapai perlindungan, baik bagi pemberi layanan maupun bagi
penerima layanan; atau dengan demikian untuk mencapai safety yang optimum.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut. Dengan melihat uraian
tentang kewajiban di atas, maka mudah buat kita untuk memahami apakah arti
penyimpangan kewajiban. Dalam menilai kewajiban dalam bentuk suatu standar
pelayanan tertentu, haruslah kita tentukan terlebih dahulu tentang kualifikasi si
pemberi layanan (orang dan institusi), pada situasi seperti apa dan pada kondisi
bagaimana. Suatu standar pelayanan umumnya dibuat berdasarkan syarat minimal
yang harus diberikan atau disediakan (das sein), namun kadang-kadang suatu standar
juga melukiskan apa yang sebaiknya dilakukan atau disediakan (das sollen). Kedua
uraian standar tersebut harus hati-hati diinterpretasikan. Demikian pula suatu standar
umumnya berbicara tentang suatu situasi dan keadaan yang normal sehingga harus
dikoreksi terlebih dahulu untuk dapat diterapkan pada situasi dan kondisi yang
tertentu. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya Golden Rule yang menyatakan
What is right (or wrong) for one person in a given situation is similarly right (or
wrong) for any other in an identical situation.
3. Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala sesuatu yang
dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan / kedokteran
yang diberikan oleh pemberi layanan. Jadi, unsur kerugian ini sangat berhubungan
erat dengan unsur hubungan sebab-akibatnya. Kerugian dapat berupa kerugian
materiel dan kerugian immateriel. Kerugian yang materiel sifatnya dapat berupa
kerugian yang nyata dan kerugian sebagai akibat kehilangan kesempatan. Kerugian
yang nyata adalah real cost atau biaya yang dikeluarkan untuk perawatan /
pengobatan penyakit atau cedera yang diakibatkan, baik yang telah dikeluarkan
sampai saat gugatan diajukan maupun biaya yang masih akan dikeluarkan untuk
perawatan / pemulihan. Kerugian juga dapat berupa kerugian akibat hilangnya
kesempatan untuk memperoleh penghasilan (loss of opportunity). Kerugian lain yang
lebih sulit dihitung adalah kerugian immateriel sebagai akibat dari sakit atau cacat
atau kematian seseorang.
4. Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian
yang setidaknya merupakan proximate cause.
5. Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-empat
unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat dibuktikan maka
gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.
Hubungan Dokter-Pasien
Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya berlangsung
sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut rupanya hanya terlihat
superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu biomedis, hanya ada kegiatan pihak
dokter sedangkan pasien tetap pasif. Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena
merupakan suatu pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Oleh karena
hubungan dokter-pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih dikehendaki hubungan
yang mendekati persamaan hak antar manusia. Jadi hubungan dokter yang semula bersifat
patenalistik akan bergeser menjadi hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan
saling ketergantungan antara kedua belah pihak yang di tandai dengan suatu kegiatan aktif
yang saling mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai
partner. Sebenamya pola dasar hubungan dokter dan pasien, terutama berdasarkan keadaan
sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan dalam tiga pola hubungan, yaitu activity
passivity, guidance cooperation, dan mutual participation.2
Activity passivity, pola hubungan orangtua-anak seperti ini merupakan pola klasik sejak
profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. Di sini dokter seolah-olah
dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur tangan pasien. Biasanya hubungan
ini berlaku pada pasien yang keselamatan jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar, atau
menderita gangguan mental berat.6
Guidance cooperation, hubungan membimbing-kerjasama, seperti halnya orangtua dengan
remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat misalnya penyakit infeksi
baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien tetap sadar dan memiliki perasaan
serta kemauan sendiri. la berusaha mencari pertolongan pengobatan dan bersedia
bekerjasama. Walau pun dokter rnengetahui lebih banyak, ia tidak semata-mata menjalankan
kekuasaan, namun mengharapkan kerjasama pasien yang diwujudkan dengan menuruti
nasihat atau anjuran dokter.6
Mutual participation, filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap manusia memiliki
martabat dan hak yang sama. Pola ini terjadi pada mereka yang ingin memelihara
kesehatannya seperti medical check up atau pada pasien penyakit kronis. Pasien secara sadar
dan aktif berperan dalam pengobatan terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada
pasien dengan latar belakang pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien
dengan gangguan mental tertentu.6
Malpraktik Medik
Saat ini di Indonesia banyak terdapat pengertian malapraktik medik sebagai akibat
belum adanya Peraturan Pemerintah tentang Standar Profesi. Namun demikian, untuk
mengetahui seorang dokter melakukan malpraktik/ tidak, maka kita dapat melihat unsur
standar profesi kedokteran sebagaimana dirumuskan oleh Leenen, yaitu: berbuat secara teliti/
seksama dikaitkan dengan kelalaian, sesuai ukuran ilmu medik, kemampuan rata-rata
dibanding kategori keahlian medik yang sama, situasi dan kondisi yang sama, sarana upaya
yang sebanding/ proporsional (asas proporsionalitas) dengan tujuan konkret tindakan/
perbuatan medik tersebut. Menurut Leenen, dokter yang tidak memenuhi unsur standar
profesi kedokteran berarti melakukan suatu kesalahan profesi (malpraktik). Selain itu, untuk
mengetahui adanya unsur perbuatan malapraktik juga dapat dilihat pada 4D of Negligence,
yaitu: Duty, Dereliction of that duty, Direct caution, dan Damage. Namun jika terdapat
kecacatan atau bukti konkret (seperti ada alat bedah yang tertinggal di dalam tubuh pasien)
maka empat D tersebut tidak perlu dicari lagi.
Pengaduan
Penetapan
tertulis Majelis Pemeriksaan Awal Pemeriksaan Awal
etiap orang atau kepentingan yang dirugikan
Oleh
Ketua MKDKI Investigasi
Bebas/tidak bersalah verifikasi Rekomendasi pencabutanMengikuti Keputusan MPA
SIP/STR pendidikan/pelatihan
Peringatan Tertulis
PenetapanMajelisPemeriksaAwal
OlehKetuaMKDKI
Ditolak Diluar Disiplin
Pelanggaran Etik Pelanggaran Disiplin
PELAKSANAAN KEPUTUSAN
Organisasi Profesi
Dinkes Kabupaten Kota
KKI SIP
STR
Tahap Pemeriksaan Disiplin
Dokter/dokter gigi
Kolegeum
Sumber: http://inamc.or.id/?open=mkdki
Dampak Hukum
Di dalam praktek kedokteran terdapat aspek etik profesi, disiplin profesi dan aspek
hukum yang sangat luas, yang sering tumpang-tindih pada suatu issue tertentu, seperti pada
informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dll. Sebenarnya banyak
kasus penuntutan hukum kepada dokter yang diduga melakukan kelalaian medic. Apabila
penuntutan dilakukan sesuai dengan proporsinya dapat diharapkan berperan dalam upaya
menjaga mutu pelayanan kedokteran kepada masyarakat. Namun disisi lain, penuntutan
sendiri dapat menyebabkan banyak dampak negative juga.1,7
Norma etik profesi disiplin profesi dan hukum pidana memang berada dalam satu
garis, dengan etik profesi di satu ujung dan hukum pidana di ujung lainnya. Disiplin profesi
terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung. Bahkan di dalam praktek
kedokteran, aspek etik profesi dan/atau disiplin profesi seringkali tidak dapat dipisahkan dari
aspek hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik profesi yang telah diangkat menjadi
norma hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai nilai etika. Aspek etik
profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi mengakibatkan
penilaian perilaku etik profesi seseorang dokter yang diadukan tidak dapat dipisahkan dengan
penilaian perilaku diiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki sanksi moral dipaksa
berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar
prosedur dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini
profesi menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
professional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran
etik profesi, disiplin profesi dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Dalam hal seorang dokter diduga melakukan pelanggaran etika kedokteran (tanpa
melanggar norma hukum), maka ia akan dipanggil dan disidang oleh Majelis Kehormatan
Etik Kedokteran (MKEK) IDI untuk dimintai pertanggungjawaban (etik dan disiplin
profesinya). Persidangan MKEK bertujuan untuk mempertahankan akuntabilitas,
profesionalisme dan keluhuran profesi. Saat ini MKEK menjadi satu-satunya majelis profesi
yang menyidangkan kasus dugaan pelanggaran etik dan/atau disiplin profesi di kalangan
kedokteran. MKEK dalam perjalanannya telah diperkuat dengan landasan hukum yang diatur
dalam UU No.18 tahun 2002 tentang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Persidangan MKEK bersifat inkuisitorial khas profesi, yaitu Majelis (ketua dan
anggota) bersikap aktif melakukan pemeriksaan, tanpa adanya badan atau perorangan sebagai
penuntut. Persidangan MKEK secara formiel tidak menggunakan sistem pembuktian
sebagaimana lazimnya di dalam hukum acara pidana ataupun perdata, namun demikian tetap
berupaya melakukan pembuktian mendekati ketentuan-ketentuan pembuktian yang lazim.
Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidativ), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan.
Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah / brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin
Praktek Tenaga Medis, Perijinan Rumah Sakit tempat kejadian, bukti hubungan
dokter dengan Rumah Sakit, hospital by laws SOP dan SPM setempat, rekam medis,
dan surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.
Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bars Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya,
membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa
lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya.7
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak
dapat dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam
bentuk permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan
kesaksian ahli di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan
tentang jalannya persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat
untuk sepaham dengan putusan MKEK. Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh
Pengurus IDI Wilayah dan/atau Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan.
Khusus untuk SIP, eksekusinya diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila
eksekusi telah dijalankan maka dokter teradu menerima keterangan telah menjalankan
putusan.
Rekam Medis
Terdapat 2 jenis Rekam Medis di Rumah sakit yaitu Rekam medis untuk pasien rawat
jalan dan rekam medis untuk pasien rawat inap. Untuk pasien rawat jalan, termasuk pasien
Gawat darurat, Rekam medis memiliki informasi pasien sebagai berikut:
Untuk rawat inap memuat informasi yang sama dengan yang terdapat dalam rawat jalan
tetapi dengan beberapa tambahan yaitu:
Bila ditelusuri lebih jauh, rekam medis mempunyai aspek hukum kedisiplinan dan
etik petugas kesehatan, kerahasiaan, keuangan, mutu serta manajemen Rumah Sakit dan audit
medic. Secara umum, kegunaan dari rekam medic adalah:8
1. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang ikut ambil
bagian dalam member pelayanan, pengobatan dan perawatan pasien
2. Sebagai dasar untuk perencanaan pengobatan atau perawatan yang harus diberikan
pada pasien
3. Sebagai bukti tertulis atas segala pelayanan, perkembangan penyakit dan pengobatan
selama pasien berkunjung atau dirawat di Rumah sakit
4. Sebagai dasar analisis, studi dan evaluasi terhadap mutu pelayanan yang diberikan
kepada pasien
5. Melindungi kepentingan hokum bagi pasien, Rumah sakit maupun dokter dan tenaga
kesehatan lainnya
6. Menyediakan data-data khusus yang sangat berguna untuk keperluan penelitian dan
pendidikan
7. Sebagai dasar dari perhitungan biaya pembayaran pelayanan medic pasien
8. Menjadi sumber ingatan yang perlu didokumentasikan serta sebagai bahan
pertanggungjawaban dan laporan
Seorang dokter mungkin saja telah bersikap dan berkomunikasi dengan baik,
membuat keputusan medik dengan cemerlang dan/atau telah melakukan tindakan diagnostik
dan terapi yang sesuai standar; namun kesemuanya tidak akan memiliki arti dalam
pembelaannya apabila tidak ada rekam medis yang baik. Rekam medis yang baik adalah
rekam medis yang memuat semua informasi yang dibutuhkan, baik yang diperoleh dari
pasien, pemikiran dokter, pemeriksaan dan tindakan dokter, komunikasi antar tenaga medis /
kesehatan, informed consent, dll informasi lain yang dapat menjadi bukti di kemudian hari
yang disusun secara berurutan kronologis. Sebuah adagium mengatakan good record good
defence, bad record bad defence, and no record no defence. 1,4
Biasanya kata kunci yang sering digunakan oleh para hakim adalah (1) bahwa
kewajiban profesi dokter adalah memberikan layanan dengan tingkat pengetahuan dan
ketrampilan yang normalnya diharapkan akan dimiliki oleh rata-rata dokter pada situasi-
kondisi yang sama, (2) bahwa tindakan dokter adalah masih reasonable, dan didukung
oleh alasan penalaran yang benar, (3) bahwa dokter harus memperoleh informed consent
untuk tindakan diagnostik / terapi yang ia lakukan, dan (4) bahwa dokter harus membuat
rekam medis yang baik.
Rekam medis dapat digunakan sebagai alat pembuktian adanya kelalaian medis,
namun juga dapat digunakan untuk membuktikan bahwa seluruh proses penanganan dan
tindakan medis yang dilakukan dokter dan tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional atau berarti bahwa kelalaian medis
tersebut tidak terjadi.
Solusi
Dalam kasus ini, langkah yang harus ditempuh oleh dokter A adalah harus sesuai dan
berdasar pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dimana selain menghargai dan
melayani pasien dengan sebaiknya, juga menjaga hubungan yang baik dengan rekan
sejawatnya. Dokter A dalam menghadapi pasien dan sejawatnya dilandaskan pada etika
kedokteran sbb:
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Setiap dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya disertai rasa kasih
sayang dan penghormatan atas martabat manusia
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga
kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Jadi berdasarkan poin-poin etika kedokteran diatas, dokter diharapkan dapat tetap
melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya dalam memenuhi hak pasien tanpa melanggar
kode etik dan hubungan dengan sejawatnya.
Kesimpulan
Dalam menjalankan tugas profesi kedokteran, seorang dokter itu harus mengamalkan
etika kedokteran dan prinsip-prinsip etika kedokteran tersebut. Menjaga rahasia pasien itu
sangatlah penting dalam profesi kedokteran karena melibatkan kepercayaan yang diberi
kepada dokter oleh pasien. Dokter dapat memberitahu apabila ada izin dari pasien, dalam
keadaan pemaksaan, dan untuk peradilan penegakan hukum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetik dan hukum kedokteran. Cetakan ke-2.
Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik FKUI; 2007.hal.30-1, 79-83, 138-9.
2. Hanafiah J, Mair A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Jakarta: EGC;
2007.hal.83-90.
3. Hendrik. Etika dan hukum kesehatan. Edisi 2. Jakarta: EGC; 2012.hal.51-5.
4. Daliyono. Bagaimana dokter berpikir dan bekerja. Penerbit: PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta. 2006.
5. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran.
Edisi ke-2. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1994.h.17-8, 20-3.
6. Guwandi J. Hukum medik. Cetakan ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.hal.236-42.
7. Budi Sampurna. 2007. Kelalaian medik. Diunduh dari:
http://www.freewebs.com/kelalaianmedik. Pada 12 januari 20116
8. Hubungan dokter dan pasien. Diunduh dari :
http://prematuredoctor.blogspot.com/2010/06/hubungan-dokter-pasien.html. 12 Januari
2017.