Вы находитесь на странице: 1из 3

Dokter tuh kaya ya. Banyak duitnya.

Yang ngomong ginian pasti salah satu kegemarannya


nonton sinetron. Mungkin dia belum pernah lihat dokter yang kere. Berpanas-panas dan
berhujan-hujan ria mengendarai motor butut menuju IGD (Instalasi Gawat Darurat) memenuhi
panggilan tugas jaga (saya kenal yang model ginian). Di sana telah menunggu pasien perlente
dengan ekspresi kesakitan memegangi perut yang ternyata dismenorhae alias nyeri haid. Ujung-
ujungnya mau minta surat sakti yaitu surat keterangan sakit untuk dibawa ke kantor tempat dia
bekerja. Oh, enggak, sama sekali nggak nyalahin pasien wong dia tidak bersalah. Dia berhak kok
mendapatkannya.
Jadi Dokter Demi Duit? Sekolah di kedokteran itu mahal katanya. Bener sih. Lalu mengapa
banyak orang termotivasi untuk sekolah dokter ataupun mendoktrin anak-anaknya untuk
menempuh pendidikan dokter dan lanjut menjadi dokter spesialis? Tak dipungkiri sebagian besar
masih dengan alasan finansial. Meski mahal nanti juga balik modal. Begitu? Upah profesi dokter
dianggap di level atas, meski banyak fakta mengatakan profesi lain memiliki penghasilan yang
jauh lebih besar dari seorang dokter terlepas seberapa lama dan besar pengorbanannya dalam
menempuh pendidikan. Oh oke, ada yang menjawab menjadi dokter sebagai panggilan hati
nurani, mengejawantahkan passion untuk melayani dan mengobati, sehingga menjalankannnya
dengan passionate dan full of dedication. Tetapi kebutuhan hidup tetap harus terpenuhi bukan.
Sudah sangat gamblang bagaimana para dokter melawan ketaknyamanan yang terus terjadi
karena tidak menerima imbalan semestinya bahkan sampai berbulan-bulan dan bertahun-tahun
oleh pemerintah daerah dimana dia bertugas. Ada sekelebatan judul artikel seorang pejabat yang
mantan artis, menggampangkan profesi ini, kata beliau, dokter itu kerjanya mengabdi. Wow,
nggak setuju! Bagi saya, mengabdi itu melekat pada keprofesian dokter, bukan diartikan sebagai
definisi pekerjaan dokter. Ketika melayani pasien, dokter mengabdikan seutuhnya berdasarkan
apa yang dia mampu dari ilmu yang dimiliki, sepenuh hati. Tentang imbalan, itu cerita lain,
imbalan adalah hak dokter yang wajib diberikan oleh yang berwewenang memberikan. Kenapa
dipermasalahkan lagi. Berikan saja seproporsional mungkin sesuai dengan beban kerjanya.
Tentang dokter kan sudah kaya, dokter kan bisa kerja di tempat swasta, dokter kan gampang cari
duit bisa praktek dimana-mana, itu kaaaaan.....lain lagi temanya. Ini pasti alasan saja untuk
ngeles, menghindari kewajiban memberikan imbalan untuk dokter. Ya kan?kan?kan?
Debat panjang tak akan berkesudahan jika ngomongin gaji atau reward yang selayaknya diterima
dokter. Pusyiiing pala berbih J Dokter ahli atau spesialis memiliki status finansial seribu rupa.
Men-generalisasi seluruh dokter ahli dalam satu rupa tajir adalah hal yang tidak tepat.
Sejatinya income dokter ahli beragam dengan interval yang sangat lebar. Kesenjangan imbalan di
antara dokter ahli adalah fakta, akan tetapi fakta itu bukan untuk dipermasalahkan.
Setiap ahli memiliki beban dan detil kerja masing-masing. Saya kasi contoh dokter ahli yang
citranya di Indonesia cukup bonafit karena salary-nya cukup tinggi, obgyn. Mau ngiri dengan
dokter Obgyn (ahli kandungan) yang gajinya sebulan ratusan jeti? Tanyakan dulu pada diri
sendiri, sanggupkah sehari 24 jam diganggu dering telepon untuk kasus-kasus emergency
obstetri yang membutuhkan tindakan bedah yang tak mungkin tergantikan oleh dokter jaga
(dokter umum). Sanggupkah melalui proses pendidikan yang ekstrim dari segi fisik, pikiran,
waktu dan duit. Di sisi lain seorang dokter juga mendambakan waktu luang yang lebih banyak
ketimbang mengejar duit dan gaji yang layak. Besaran waktu yang diperoleh untuk bersama
keluarga adalah nilai selisih dari nominal gaji dokter A (yang sibuk tapi banyak duit) dengan
nominal gaji dokter B (yang duitnya sedikit tapi waktunya tak banyak terganggu). Bahkan tak
terbandingkan. Kebersamaan dengan keluarga tak setara nilainya dengan selisih duit tersebut.
Siapa yang tak ingin hidup berkecukupan?pasti semua ingin. Kalau bagi saya nggak harus
berlebihan. Secukupnya saja. Ketika harus melakukan perjalanan cukup punya mobil yang
memadai, nggak perlu pamer merk. Ketika butuh berteduh dari panas dan hujan cukup punya
rumah yang layak, nggak perlu mewah. Ketika anak-anak harus sekolah, ada persediaan dana
yang cukup untuk mendaftar di sekolah yang sesuai dengan kemampuannya. Cukupkan dirimu
dengan apa yang ada. Itu salah satu quote favorit saya. Tidak perlu mengada-ada atau sebaliknya
meniadakan yang ada. Tetapi tak saya sangkal, bahwa untuk mengadakan sesuatu itu
membutuhkan kemampuan dan ketrampilan. Demikian juga, dokter, merupakan salah satu jalan
bagi seseorang untuk memperoleh keberadaan yang dibutuhkan. Aduuh makin mumet. Dokter
tidak dapat hidup hanya dengan memakan pujian. Sebutan profesi mulia penuh pengabdian tidak
bisa menghidupi seorang dokter, apalagi dengan istri/suami dan anak-anaknya yang pastinya
harus dihidupi. Dokter juga butuh duit untuk memenuhi pangan,sandang, papan, pendidikan.
Mendapat imbalan yang proporsional saja saya yakin sudah membuat dokter puas. Sepenting
Apakah Diagnosis? Memilih spesialisasi tertentu mungkin didasari pertimbangan khusus yang
tak terpikirkan orang lain ataupun karena perspektif khusus yang tak bisa dilihat orang lain.
Mengapa memilih radiologi, misalnya, mengingat income-nya tak se-super dokter ahli urologi
ataupun dokter orthopedi. Alasan logis yang mungkin terus terang dipendam oleh peserta didik
program spesialis radiologi adalah ritme kerjanya yang tak semenguras adrenalin seperti halnya
program Obgyn.
Meski proses pendidikan yang dilalui tak kalah berat. Alasan yang berbau idealis adalah
radiologi itu menunjang penegakan diagnosis yang cermat, cepat dan tepat. Mempelajari seluk-
beluk radiologi ibarat menjadi detektif, mengumpulkan data-data yang mencurigakan terhadap
suatu kelainan (pada tubuh manusia) untuk disimpul menjadi analisis yang dapat mendekati
dugaan diagnosis dari ahli yang mengirim pasien tersebut, namun bisa juga menjumpai temuan
yang berbeda, atau bahkan justru menemukan fakta-fakta yag mengejutkan. Dinamika yang
mengasyikkan. Memang garis besar yang diinginkan konsumen, dalam hal ini pasien,
mengunjungi dokter adalah mendapatkan kesembuhan melalui terapi. Sungguh tak akan menjadi
harapan jika ada penyakit berat yang bercokol di dalam tubuhnya. Mengetahui diagnosis suatu
penyakit yang berat bak didera palu vonis. Dan tugas dokter untuk mengobati sampai sembuh.
Betul. Namun pilar utama yang harus ditegakkan sebelum memasuki tahap pengobatan adalah
diagnosis. Ini mungkin tidak menjadi perhatian yang intens bagi pasien.
Tahapan pengobatan yang harus dijalani beserta dana yang diperlukan untuk memperoleh
kesembuhan mungkin lebih merebut perhatian. Tetapi tak jarang pasien bertanya tentang nama
penyakit yang dideritanya, Jadi saya sakit apa, Dok? Jangan terlalu berharap setiap dokter
akan menjawab dengan lugas nama penyakit atau diagnosis pasti dari pasien tersebut. Terkadang
diagnosis tidak keluar di saat yang sama ketika pasien melangkahkan kaki keluar dari ruang
praktek dokter. Ada kalanya pasien melangkah keluar bukan untuk pulang ke rumahnya tetapi
menuju ruangan lain untuk menjalani pemeriksaan tambahan atau penunjang, seperti ke ruangan
radiologi misalnya, dia harus menjalani pemeriksaan foto rontgen, CT scan, Fluoroscopy, USG,
arteriografi, mamografi, ataupun MRI (Magnetic Resonance Imaging). Hal-hal yang saya
sebutkan tersebut adalah jenis-jenis modalitas pemeriksaan yang menjadi ranah radiologi.
Sebagai profesi yang bersandar pada pilar penunjang diagnosis, Radiologi sangat diharapkan
dapat mengerucutkan kemungkinan-kemungkinan diagnosis yang dibuat oleh dokter ahli yang
lain. Tegaknya diagnosis sangat mempengaruhi seluruh aspek yang terlibat dalam perjalanan
klinis pasien nantinya. Mempengaruhi jenis manajemen terapi yang akan dilakukan,
mempengaruhi besar dana yang diperlukan untuk pengobatan, mempengaruhi kredibilitas dokter,
dan tak ketinggalan mempengaruhi psikologi pasien yang menerima diagnosis. Bukan vonis ya.
Dokter tak bertugas mengetok palu menjatuhkan vonis terhadap kondisi pasien. Pasien dengan
segala kondisinya bukan lah Sang Terhukum. Dia tidak sedang dihukum dengan penyakitnya.
Begitu vitalnya diagnosis, tanpa diagnosis, dokter tak akan bisa mengambil langkah untuk
mencapai kesembuhan pasien. Dalam praktiknya, memunculkan diagnosis cukup rumit dan
memakan waktu yang tidak sebentar. Pada beberapa kasus sulit, diagnosis bisa saja baru dapat
ditegakkan setelah pasien dipulangkan baik dalam keadaan sembuh maupun meninggal. Banyak
faktor mempengaruhi kemunculannya, faktor biaya, faktor waktu, faktor jarak tempuh terhadap
sarana penyedia fasilitas kesehatan, faktor teknologi dan sumber daya manusia. Tidak
sesederhana seperti yang terlihat di layar sinetron, tanya-tanya sedikit, pegang-pegang sebentar,
langsung si dokter berujar, O anak ibu sakit usus buntu, padahal kita tahu untuk menegakkan
diagnosis penyakit ini memerlukan pemeriksaan penunjaqng diagnosis seperti pencitraan
diagnostik appendicogram ataupun USG, juga pemeriksaan laboratorium (masih lumayan
dokternya ga bilang, anak ibu ususnya buntu).
Diagnosis tak hanya menjadi awal dari suatu tindakan kuratif/pengobatan, melainkan juga
berperan sebagai alarm untuk melakukan tindakan preventif sekunder yakni pencegahan terhadap
berkembangnya penyakit ke stadium lebih lanjut, ataupun mengantisipasi terjadinya cacat
permanen atau disabilitas. Diagnosis adalah barang vital. Jadi, tidak semestinya keyword
diagnosis di-cuma-kan. Perspective ini mestinya akan mengubah pandangan yang lebih baik
terhadap pilar penunjang diagnostik, salah satunya radiologi. Salutnya value of diagnosis ini
mendapatkan porsi perhatian yang cukup besar
Pemeriksaan pencitraan diagnostik pun memiliki prospek yang gemilang. Mungkin karena
payung hukum di sana cukup positif untuk menjamin safety baik bagi pasien maupun dokter,
sehingga kolaborasi dengan teknologi cukup pesat membantu penegakan diagnosis. Bagaimana
dengan di Indonesia? Tak ingin banyak mengeluh sih, perhatian terhadap pencitraan diagnostik
tak sebagus negara adidaya. Mau tak mau ini tentu berimbas terhadap seberapa besar imbalan
yang didapat dokter Radiologi. Ada beberapa faktor yang lebih primer yang lebih dahulu
mendapat perhatian daripada teknologi penunjang diagnosis yang membutuhkan dana yang
banyak. Namun tidak sekedar cukup dimaklumi, semestinya segala usaha selalu dikerahkan
untuk menjadi lebih baik. Tujuan umumnya sudah tentu untuk kesembuhan pasien. Untuk
mencapai kesembuhan diperlukan terapi yang tepat. Tepat-tidaknya mengambil langkah-langkah
terapi sangat bergantung kepada tegaknya diagnosis yang cepat dan cermat. Jadi, bagaimana
pemerintah kita atau produsen jasa kesehatan Indonesia memandang harga suatu diagnosis?
jawabannya bisa saja tercermin dari sudah seberapa penggunaan teknologi penunjang diagnosis
dimanfaatkan sebaik-baiknya

Вам также может понравиться