Вы находитесь на странице: 1из 31

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kanker


2.1.1 Epidemologi Kanker
Penyakit kanker dapat menjadi menjadi penyakit utama yang mematikan
dalam beberapa tahun kedepan, terutama bagi negara berkembang seperti
Indonesia. Penyakit kanker juga termasuk penyakit paling mahal dalam
penanganannya dan menjadi masalah paling berat yang dihadapi tenaga
kesehatan dalam menghadapi tantangan kesehatan secara global (Albreht T
et al ,2008)

Data WHO (World Health Organization), organisasi kesehatan dunia,


menunjukan bahwa penyakit kanker tahun 2013, telah mencapai angka 14
juta kasus baru dan 8,2 juta diantaranya meninggal dunia akibat penyakit
mematikan ini. Angka kematian dari kanker tersebut membuat penyakit
kronis ini menjadi penyebab kematian nomer 2 di dunia, sebesar 13 persen
setelah penyakit kardiovaskuler. Diperkirakan pada tahun 2030, insiden
kanker dapat mencapai 26 juta orang dan kematian akibat penyakit ini
meningkat sampai 17 juta jiwa. Kejadiannya akan menjadi lebih cepat pada
negara miskin dan berkembang. Asia Tenggara contohnya, penyakit kanker
telah bertanggung jawab atas kematian penduduknya sebesar 60 persen
(Dans et al, 2011)

Di Indonesia, negara kepulauan dari 17.508 pulau, kanker merupakan salah


satu masalah kesehatan masyarakat yang utama. Prevalensi kanker di
indonesia adalah 4,3 per 1.000 penduduk. Berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar 2007, kanker merupakan penyakit nomer 7 yang dapat menyebabkan
kematian. Kanker serviks, kanker payudara, kanker getah bening, kanker
kulit, dan kanker usus dubur merupakan jenis utama kanker penyebab angka
kematian yang tinggi di negara ini. Data yang akurat tentang kejadian
kanker masih tak terjangkau karena administrasi, keuangan dan kondisi

8
9

geografis di Indonesia. (Gondhowiardjo S, Prajogi G, Sekarutami S, 2008;


RISKEDAS, 2013)

2.1.2 Definisi Kanker


Penyakit kanker merupakan suatu penyakit akibat pembelahan sel jaringan
tubuh yang tidak terkendali. Kemampuan sel dalam membelah dan
mengendalikan pertumbuhan sel terganggu akibat adanya sel-sel jaringan
tubuh tidak normal. Sel-sel kanker bersifat menyusup ke jaringan sekitarnya
(invasive) seperti pada jaringan ikat, darah serta organ-organ penting
lainnya. (Black and Hawks, 2009).

Sel normal umumnya hanya akan melakukan pembelahan diri untuk


memperbaiki sel-sel tubuh yang telah rusak dan mati. Ketika sel kanker
timbul, fungsi pembelahan diri kanker berubah dari keadaan sel normal.
Pada pembelahan sel kanker terjadi secara terus menerus sehinga akan
terjadi penumpukan sel baru. Perubahan kondisi pembelahan sel patologis
kanker yang dialami sel normal bisa disebabkan oleh hiperplasia, displasia
dan neoplasia. Hiperplasia adalah ketidaknormalan perkembangan sel yang
cenderung berlebihan. Displasia dapat diketahui ketika melihat perubahan
pada nukleus, aktivitas mitosis sel yang meningkat dan tidak ada ciri khas
sitosplasma yang mengalami diferensiasi. Sedangkan neoplasia merupakan
istilah sel yang melakukan pembelahan diri secara tidak normal dan
menyusup ke jaringan sekitarnya (invasive) (Weinberg, 2007).

2.1.3 Masalah yang Dialami oleh Pasien Kanker Stadium Terminal


Banyak pasien kanker stadium terminal mengeluh tentang masalah yang
dideritanya, mulai dari masalah fisik, psikososial spiritual dan masalah
lainnya. Ada 5 masalah yang pada umumnya dikeluhkan oleh pasien kanker
adalah nyeri, fatique, cachexia, anemia dan infeksi. Nyeri diakibatkan
adanya penekanan baik secara langsung atau tidak langsung pada syaraf
nyeri. Sedangkan cachexia mempunyai tanda yaitu adanya penurunan nafsu
makan dan berat badan serta pada fatique memberikan indikasi apabila
9

pasien mendapati dirinya kelelahan sampai terasa ingin pingsan. Anemia


pada kanker akibat terjadi perdarahan kronik atau defisiensi zat besi. Infeksi
karena terjadinya perubahan dan penurunan sistem imun. Pasien kanker
stadium terminal sering mendapat masalah infeksi nosokomial ketika di
rumah sakit. Pasien kanker merupakan kelompok yang rentan mengalami
neutropenia (neutrophil<500/mcl) akibat proses penyakit, penggunaan
kemoterapi dan kortikosteroid. Kondisi tersebut membuat kekebalan tubuh
pasien kanker menjadi menurun. Kekebalan tubuh pasien kanker yang
menurun dapat menyebabkan penularan infeksi oleh S. aureus, S.
pneumonia, H. influenza dan E. cloacae. Bakteri-bakteri tersebut sering
dilaporkan sebagai penyebab tertingi dari infeksi nosokomial pasien kanker
di rumah sakit. Adanya infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien kanker,
merupakan faktor penyebab yang mempercepat kematian pasien kanker di
rumah sakit.(Sarihan, 2005; Brown, D and Edward, H, 2005).

Pengobatan pasien untuk penyembuhan pasien pada pasien kanker sudah


tidak mungkin diberikan. Penting sekali perawat berfokus untuk menjaga
dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Perawat harus dapat melihat
masalah pasien secara multidimensi yaitu fokus pada masalah pribadi
pasien, penyakitnya, lingkungan sosialnya, harapan dan kebutuhan mereka
sekarang dan yang akan datang ketika mendekati kematian (Alvarez A,
Walsh D, 2011). Adanya kanker di dalam tubuh pasien dan efek terapi
pengobatannya memberikan pengaruh yang nyata pada penurunan kualitas
hidup pasien (Chan JKC, Bray F, Mc Carron P, 2005). Penelitian dari Ronis
(2008) menjelaskan bahwa kanker sangat mempengaruhi kualitas hidup
pasien kanker kepala. Pasien kanker kepala sering mengeluh nyeri pada
daerah kepala dan kepala, penurunanan indra penglihatan, pengecapan dan
penciuman, rambut rontok, mulut pahit, tidak nafsu makan, dan sulit
menelan. Selain masalah fisik, pasien kanker juga mengalami masalah
psikologis yang perlu diperhatikan oleh perawat. Pasien kanker sering
mengalami kesendirian dan depresi. Pada penelitian Wolf (2008) keluarga
pasien kanker menyatakan bahwa saat bulan terakhir kehidupan pasien
9

kanker stadium terminal akan tampak keluhan pasien kanker sering


mengalami gangguan psikologis seperti sedih, cemas, takut dan insomnia.

2.1.4 Stadium Kanker


Pemutusan terhadap diagnosis dan stadium kanker membutuhkan tim yang
multidisiplin termasuk dokter, radiologi, ahli bedah, onkologi, patologis dan
perawat. Keputusan terhadap tindakan didasarkan atas stadium dari tumor
dan pengkajian perjalanan penyakit. Pemeriksaan histopatologi menentukan
ada atau tidaknya keganasan, jenis keganasan, sifat dan tingkat keganasan.
Pada Proses keganasan terdapat penyusupan sel ke jaringan sehat
sekitarnya. Hal ini ditandai dengan adanya batas tegas antara tumor dan
jaringan normal. Selanjutnya ditentukanlah jenis keganasan untuk
meramalkan prognosis. Prognosis ditentukan berdasarkan tingkat
diferensiasi jaringan. Semakin kacaunya susunan histologik atau semakin
besarnya perbedaan sel satu dengan yang lain, maka semakin ganas dan
semakin agresif suatu kanker tersebut yang otomatis membuat prognosis
penyakitnya semakin memburuk (Sjamsuhidayat and De Jong, 2004; otto
2001). Adapun tingkat derajat diferensiasi sel dapat dilihat di tabel 2.1
Tabel 2.1 Tingkatan dan differensiasi sel
Tingkat Differensiasi Pengertian
X Tidak dapat dikaji
I Diferensi baik Sel matur, bervariasi dari jaringan normal
II Diferensiasi sedang Beberapa sel belum matur, bervariasi dari
jaringan normal
III Diferensiasi buruk Sel belum matur, tidak seperti sel normal
IV Tanpa diferensiasi Sel sangat tidak matur, tidak ada persamaan
(anaplastic) sama sekali dengan jaringan normal, bahkan
sulit untuk menentukan jenis jaringan
normalnya.
Sumber otto, E.S., 2001. Oncology Nursing. 4th Ed. Mosby.Inc.St.Louis.Missouri

Stadium atau penentuan luas penyebaran dilakukan dengan tujuan untuk


menentukan stadium dan memilih intervensi yang paling baik bagi pasien.
Selain itu, stadium juga diperlukan untuk melihat hasil pengobatan dan
9

membandingkan efektivitas berbagai macam pengobatan yang diterima


oleh pasien (Sjamsuhidayat and De Jong, 2004). Untuk menentukan stadium
pada pasien dengan kanker dipakailah sistem TNM (Tumor, Nodus dan
Metastasis). Sistem TNM ini dapat dilihat pada tabel 2.2
Tumor
T Tumor primer
Tx Tumor primer tidak dapat di prediksi
To Tidak ada yang menandakan adanya tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1, T2, T3 Menunjukkan tumor primer bertambah makin besar dan menginvasi
sel dan jaringan disekitarnya
Nodus
N Kelenjar limfe
Nx Kelenjar linfe tak dapat diprediksi

No Tidak ada yang menandakan penyebaran sel kanker pada kelenjar


limfe
N1, N2, Dari N1 sampai N4 menunjukkan banyaknya kelenjar yang di invasi
N3, N4 oleh sel kanker
Metastasis
M Metastasis menjadi jauh
Mx Tidak dapat diperiksa adanya metastasis
Mo Tidak ada yang menandakan metastasis jauh
M1 Metastasis telah jauh
Sumber otto, E.S., 2001. Oncology Nursing. 4th Ed. Mosby.Inc.St.Louis.Missouri

Informasi yang didapat dari klasifikasi sistem TNM ini selanjutnya dapat
digunakan untuk mendefinisikan stadium kanker
Potts and Mandleco (2007) telah membagi stadium kanker dapat dilihat
pada tabel 2.3:
Stadium Tumor Nodus Metastasis
1 Ukuran kurang Nodus limfe tidak Lokasi hanya
dari 2 cm terkena oleh sel-sel di satu tempat
kanker dan tidak
menyebar ke
area tubuh
lainnya.
9

2 UUkuran tumor biasanya Nodus limfe biasanya Kanker masih


2-5 cm terkena sel-sel kanker dilokalisir,
belum
menyebar.
3 Tumor tampak Nodus limfe tampak Perubahan
membesar dengan terkena sel-sel kanker antara
jelas, umumnya stadium II dan
lebih dari 5 cm III agak sulit
tergantung
pada tipe
kanker
4 Tumor menjadi Nodus limfe sudah Penyebaran
beberapa ukuran terkena sel-sel kanker kanker sudah
dan umumnya terjadi ke
lebih dari 5 cm organ lain

Stadium kanker juga membantu menentukan harapan hidup pasien dan


mengatur penanganannya. Khususnya pada stadium terminal harapan hidup
pasien diperkirakan kurang dari 6 bulan. Akibat penanganan penyakit
kanker di Indonesia yang menghadapi berbagai kendala, menyebabkan 70
persen penderita kanker ditemukan dalam keadaan stadium terminal.
Kondisi stadium terminal merupakan periode dari saat pasien bersiap untuk
kematian. Stadium terminal pada kanker lebih sering digunakan
menggambarkan pada semua pasien dengan kondisi hidupnya terbatas
sehingga diberikan tindakan seumur hidup saat kematian tidak dapat
dihindari. Ketika tindakan penyembuhan tidak memungkinkan maka pasien
kanker dapat diberikan perawatan paliatif agar memperoleh kenyamanan
dan mengatasi keluhan. (Potts and Mandleco, 2007; Mediakom, 2015; Tilly
and Wienier; Craig, 2007).

2.1.5 Jenis Terapi pada Pasien Kanker


Keberhasilan terapi pada pasien dengan kanker tergantung kepada stadium
kanker. Terapi mutakhir saat ini pada kanker mencakup radioterapi dan
pembedahan. Sebelum memulai terapi, daftar riwayat penyakit haruslah
dilengkapi serta catatan mengenai tampilan klinis (performance scale)
9

sudah dikaji dengan benar. Skala kemampuan dari WHO dapat digunakan
untuk melihat penampilan klinis pasien dalam praktek sehari-hari
Tampilan Angka Keterangan
Baik 0 Aktivitas Jasmani biasa . dapat bekerja
Cukup 1 Dapat kerja ringan , tidak tinggal di tempat tidur
Lemah 2 Lebih dari 50 persen waktu bangun, jalan dan merawat diri
Jelek Lebih dari 50 persen waktu untuk tiduran, tidak dapat
berjalan tetapi dapat merawat diri
Sangat Tidak dapat bangun atau merawat diri, penderita tetap
Jelek tinggal di tempat tidur atau di kursi
Sumber Sjamsuhidayat, H.R., and De Jong, W., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jilid 2.
Jakarta EGC

Untuk mengatasi penyakit kanker, terdapat beberapa terapi dengan tujuan


sebenarnya adalah untuk paliatif paliatif pada pasien kanker (Otto, 2001;
Smeltzer and Bare, 2002; Syamsuhidayat 2005)
1. Pembedahan
Pembedahan memberikan kemungkinan terbaik bagi penyembuhan
tumor atau meringankan penderitaan pasien. Pengangkatan tumor
seluruhnya dapat diakukan apabila yang dihadapi adalah tumor
stadium awal yang berbatas tegas. Namun ketika tumor telah
bermetastasis atau tumor ganas, maka dapat dilakukan terapi dengan
pembedahan yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri pasien
akibat tumor yang telah bermetastase telah menekan saraf
disekitarnya
2. Terapi radiasi
Terapi radiasi berfungsi menghancurkan sel-sel tumor
menggunakan radiasi ionisasi. Radiasi biasanya digunakan sebagai
tindakan tambahan pada pembedahan, untuk memperkecil ukuran
tumor atau tujuan-tujuan paliatif. Namun efek sampingnya adalah
dapat membuat sel normal dapat terbunuh akibat terapi radiasi.
Selain itu dapat terjadi pembentukan jaringan parut pada jaringan
normal, timbul fibrosis dan penurunan fungsi organ. Sekitar 60
persen pasien kanker biasanya akan di rawat dengan terapi radiasi.
9

3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah proses pemberian obat-obat anti kanker dalam
bentuk kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel
kanker. Kemoterapi berdampak membunuh sel kanker dan dapat
menurunkan metastase. Kemoterapi sering digunakan sebagai
tambahan pembedahan, dan juga digunakan untuk tujuan-tujuan
paliatif. Terapi ini menyebabkan penekanan sumsum tulang, yang
menyebabkan kelelahan, anemia, kecenderungan perdarahan dan
peningkatan risiko infeksi.
4. Imunoterapi
Imunoterapi adalah bentuk terapi kanker yang digunakan untuk
mengidentifikasi tumor dan memungkinkan pedeteksian semua
tempat metastasis yang bersembunyi. Imunoterapi dapat
merangsang sistem kekebalan tubuh agar berespon secara lebih
agresif terhadap tumor yang dapat diserang oleh antibodi.

Pemilihan terapi yang tepat pada penderita kanker merupakan masalah yang
tidak mudah untuk ditanggulangi. Terapi kanker yang dipilih harus sesuai
prinsip paliatif yaitu sesuai dengan kebutuhan pasien dan dapat
memperbesar angka harapan hidup (life expectancy), mengatasi gejala dan
keluhan pasien serta meningkatkan kualitas hidup pasien (quality of life).
Ketika tindakan penyembuhan tidak memungkinkan lagi akibat stadium
kanker pasien sudah mencapai tahap terminal, maka pasien kanker dapat
diberikan perawatan paliatif dengan porsi yang lebih besar agar pasien
memperoleh kenyamanan dan mengatasi keluhan (Potts and Mandleco,
2007).

Ketika keadaan umum pasien memburuk dan keluhan tampak sering terjadi,
maka perlu dipersiapkan kebutuhan perawatan khusus untuk pasien kanker
dengan kondisi terminal. Kebutuhan-kebutuhan khusus meliputi tindakan
untuk mengatasi keluhan fisik psikososial, spiritual dan berkomunikasi
yang efektif dengan anak dan keluarga untuk menjelaskan tentang kondisi
9

penyakitnya (Chiu TY et al, 2009). Menurut Aslakson et all (2012)


kebutuhan pasien kanker stadium terminal meliputi pencegahan dan
mengatasi nyeri serta keluhan lain, mendukung keluarga dan caregiver
untuk melakukan perawatan paliatif di rumah, memberikan informasi
tentang perawatan paliatif hospis atau home care, menjaga emosi dengan
baik, mempertahankan fungsi dan kelangsungan hidup lebih lama.

Tujuan perawatan kanker stadium terminal adalah meningkatkan kualitas


hidup pasien di akhir kehidupannya, maka untuk mengatasi dan memenuhi
kebutuhan tersebut, sebaiknya pasien dipersiapkan untuk menerima
perawatan paliatif. Perawatan paliatif diberikan pada semua pasien yang
didiagnosa kanker dengan tujuan untuk membantu mengatasi keluhan, dan
disaat penyakitnya mengalami keganasan sehingga tidak bisa disembuhkan,
serta diberikan saat didiagnosa ataupun selama mengalami kekambuhan
(Craig , et all. 2007)

2.2 Kualitas Hidup Pasien Kanker


2.2.1 Definisi Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan istilah yang sering kali digunakan untuk
menyatakan status kesehatan seseorang, status fungsional fisik, kemampuan
menyeseuaikan diri terhadap kondisi psikososial dan gejala yang muncul,
kondisi sehat sejahtera, kenyamanan dalam hidup atau kebahagiaan
(Barofsky, 2012). World Health Organization (WHO, 2014) menyatakan
kualitas hidup merupakan persepsi dari individu yang menunjukkan
kemampuan seseorang untuk melakukan bermacam-macam peran kepuasan
dalam melakukan sesuatu sesuai konteks budaya.

2.2.2 Ruang Lingkup Kualitas Hidup


Secara tradisional keberhasilan suatu tindakan dilakukan dengan mengukur
angka morbiditas dan mortalitas. Pengukuran ini sebenarnya hanya secara
kasar atau secara garis besar karena di sini keberhasilan diukur secara
obyektif tanpa memperhatikan rasa atau subyektifitas dari penderita yang
9

menjalani tindakan terapi, maka dibuatlah suatu cara pengukuran dengan


kualitas hidup. Di dalam kualitas hidup menyangkut indicator subjektif dan
indikator sosiomedis. Ruang lingkup kualitas hidup menyangkut indicator
subyektif dan indicator sosiomedis. Ruang lingkup kualitas hidup juga
meliputi fisik, fungsi social, emosi atau status mental, beban keluhan dan
penerimaan rasa nyaman/sehat (kimlin, 2010)

2.2.3 Gambaran Kualitas Hidup pasien Kanker


Kanker, penyakit kronik jenis yang dialami individu akan mampu
mempengaruhi kehidupan orang lain, diantaranya bagi pasien dan keluarga
penderita itu sendiri. Kualitas hidup penderita kanker juga terpengaruh oleh
adanya penyakit tersebut. Misalnya saja selama dalam pengobatan.
Pengobatan kanker berpotensial mempengaruhi seluruh aspek kualitas
hidup. Selama pengobatan, sebagian besar individu merasakan keterbatasan
fisik, merasa lelah dan kekurangan energi. Selain itu juga merasakan gejala
dan efek samping yang tidak menyenangkan, termasuk nausea, luka di
mulut, alopesia (kehilangan rambut seluruh badan) dan gangguan kulit.
Individu juga mengalami perubahan dalam nafsu makan, gangguan dalam
pemilihan rasa, dan kombinasi luka di mulut . Kemoterapi dapat mempunyai
efek yang signifikan terehadap suasana hati. Keluarga pasien kanker
melaporkan anggota keluarganya mengalami gangguan tidur dan lesu (Koot
and Wallender, 2001)

Larasati (2009) menyatakan pasien kanker dengan kualitas hidup positif


terlihat dari gambaran fisik pasien kanker yang selalu menjaga kesehatanya.
Dalam aspek psikologis pasien berusaha meredam emosi agar tidak mudah
marah, hubungan sosial pasien baik dengan banyaknya teman yang
dimilikinya, lingkungan mendukung dan memberi rasa aman kepada pasien.
Pasien dapat mengenali diri sendiri, pasien mampu beradaptasi dengan
kondisi yang dialami saat ini, pasien mempunyai perasaan kasih kepada
orang lain .
9

2.3 Konsep Perawatan Paliatif


2.3.1 Definisi Perawatan Paliatif
Kata paliatif berasal dari Bahasa latin pallum yang berarti mantel.
Sedangkan dalam Bahasa Inggristo palliate berarti mengurangi
penderitaan atau memberikan kenyamanan (Depkes, 2006). World Health
Organization mendefinisikan paliatif adalah pendekatan sistem perawatan
terpadu untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga mereka
ketika menghadapi penyakit terminal yang membahayakan jiwa dengan
memberikan dukungan spiritual dan psikososial mulai saat diagnosis
ditegakkan sampai pada akhir hidup pasien kanker (Woodruff, 1999).
Tujuan utama dari perawatan paliatif adalah memberikan pasien
kesempatan untuk tinggal di rumah pasien selama yang pasien inginkan dan
tetap menjaga biaya kesehatan yang dikeluarkan pasien serendah mungkin.
(Djauzi ,2003; Ahlner-Elmqvist et al, 2004)

2.3.2 Tim Keperawatan Paliatif


Perawatan paliatif pendekatanya meliabatkan berbagai disiplin yang
meliputi pekerja social, ahli agama, perawat, dokter (dokter ahli atau dokter
umum) dalam merawat pasien kondisi terminal dengan membantu keluarga
yang berfokus pada perawatan yang komplek meliputi fisik, emosional,
sosial dan spiritual (Hockenberry and Wilson, 2005). Anggota tim yang lain
adalah Perawatan paliatif di lapangan, dilakukan dengan pendekatan tim
yang terdiri berbagai disiplin profesi. Anggota tim perawatan paliatif terdiri
dari profesi keperawatan dan berbagai macam spesialis, terapis, okupasi,
psikologi, gizi, ahli agama dan care giver. Masing masing profesi terlibat
sesuai dengan masalah yang dihadapi penderita, dan penyusunan tim
perawatan paliatif disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan tempat
perawatannya. Anggota tim perawatan paliatif dapat memberikan kontribusi
sesuai dengan keahliannya (Djauzi. Et al, 2003).
Menurut Craig (2007) seluruh anggota tim perawatan paliatif harus
memenuhi kriteria dan kesadaran akan tugas dan tanggungjawabnya yaitu
akan memberikan perawatan secara individu pada pasien kanker stadium
9

terminal dan keluarga dengan mendukung nilai, harapan dan kepercayaan,


jika tidak dijelaskan makan akan menyinggung pasien dan keluarga.

Tim keperawatan paliatif tersebut harus mempunyai pengalaman dan


mendapat pelatihan tentang keperawatan paliatif. Tugas dari tim
keperawatan paliatif adalah melakukan pengkajian dan perencanaan yang
tepat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien di rumah. Tim keperawatan
paliatif juga menyediakan konseling pasien dan keluarga, dukungan
emosional, sosial dan spiritual ( Ahlner-Elmqvist et al, 2004). Keterampilan
dalam memberikan pelayanan yang harus meliputi pemeriksaan fisik, maka
dokter dan perawat harus mendukung dan selalu siap untuk pasien dan
keluarga selama 24 jam sehari serta 365 sehari dalam setahun, menjamin
perawatan berdasarkan pedoman yang berkelanjutan untuk perawatan di
rumah, rumah sakit dan hospice serta merencanakan strategi secara objektif,
serta memberikan dukungan dan pengawasan langsung pada caregiver.

2.3.3 Tempat Perawatan Paliatif


Menurut Muckaden (2011) dalam memberikan perawatan paliatif harus
dimulai saat didiagnosa dan diberikan selama mengalami sakit dan
dukungan untuk berduka. Penatalaksanaan awal secara awal oleh tim
paliatif akan memfasilitasi ke perawatan yang terbaik. Tempat perawatan
paliatif dapat dilaksanakan rumah sakit, hospice, atau di rumah pasien.
Keluarga dan pasien dihargai dalam memilih tempat yang disukainya untuk
mendapat perawatan yang memungkinkan. Tempat perawatan dibutuhkan
pada pelayanan yang tepat dengan fasilitas kesehatan, home care atau sarana
ke hospice terdekat. Tempat perawatan paliatif dapat dilaksanakan di
a) Perawatan paliatif di rumah sakit (Hospice Hospital Care)
Unit ini berada di dalam rumah sakit dan merupakan suatu unit
tersendiri dalam stuktur organsasi rumah sakit. Keuntungan model
ini adalah dapat dengan mudah mempergunakan fasilitas rumah
sakit dalam mengatasi masalah-masalah yang sulit di lapangan, baik
untuk tindakan medis, tindakan keperawatan, maupun tindakan
9

penunjang lainnya. Perawatan di rumah sakit diperlukan jika pasien


harus mendapat perawatan yang memerlukan pengawasan ketat,
tindakan khusus atau peralatan khusus. Pemberian perawatan
paliatif harus memperhatikan kepentingan pasien dan melaksanakan
tindakan yang diperlukan meskipun prognosis pasien memburuk
serta harus mempertimbangkan manfaat dan resikonya sehingga
perlu meminta dan melibatkan keluarga. Lokasi perawatan pasien
paliatif di rumah sakit ada di ruangan tersendiri, khusus ruangan
perawatan paliatif di rumah sakit ada di ruangan khusus perawatan
paliatif tersendiri atau digabungkan dengan pasien biasa yang masih
dalam tahap pengobatan kuratif. (Djauzi, 2003 ; Muckaden, 2011)
b) Di hospice
Ada kalanya pasien dalam keadaan tidak memerlukan pengawasan
ketat atau tindakan khusus serta belum dapat dirawat di rumah
karena memerlukan pengawasan tenaga kesehatan. Pasien kanker
kemudian dirawat di suatu tempat khusus (hospis) yang berada di
luar lingkungan rumah sakit. Unit perawatan ini bisa berada di dalam
atau di luar lingkungan rumah sakit yang pengelolaanya di luar
stuktur rumah sakit. Bentuk layanan hospis ini belum ada di
Indonesia. (Djauzi, 2003)
c) Pelayanan perawatan paliatif di rumah (Hospice Home Care)
Perawatan di rumah merupakan kelanjutan perawatan di rumah
sakit. Pada perawatan di rumah, maka peran keluarga lebih menonjol
karena sebagian perawatan dilakukan oleh keluarga, dan keluarga
atau orang tua sebagai care giver diberikan latihan pendidikan
keperawatan dasar. Perawatan di rumah hanya mungkin dilakukan
bila pasien tidak memerlukan alat khusus atau keterampilan
perawatan yang tidak mungkin dilakukan oleh keluarga. Sebelum
pasien dibawa pulang, perlu dipertimbangkan tentang kelayakan
dirawat di rumah dan kesiapan keluarga dalam melakukan
perawatan (Muckaden, 2011).
9

Apabila keluarga belum mampu merawat pasien, keluarga yang


merawat pasien perlu mendapat pelatihan dari perawat untuk
melaksanakan perawatan di rumah. Tim paliatif akan mengunjungi
pasien disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan adat istiadat serta
kondisi setempat. Konsultasi juga dapat dilakukan melalui telepon,
atau sarana komunikasi lain setiap saat. (Djauzi, 2003)

2.3.4 Dasar Perawatan Paliatif


Hal-hal yang penting yang menjadi dasar perawatan paliatif adalah sebagai
berikut (Djauzi, 2003 ; Weiinoiseen, 2000 dan Woodruff, 1999)
1. Caring attitude (Sikap merawat), melibatkan sensitivitas, simpati dan turut
merasakan penderitaan, dan ini didemonstrasikan kepada penderita kanker
yang sudah mencapai stadium terminal. Sikap merawat sulit diajarkan, dan
ini adalah tanggung jawab kepada mereka yang berpengalaman dilapangan
menjadi contoh. Kompetensi yang dicapai adalah mengetahui mengenai
rencana pasien dan memberikan pasien perawatan
2. Commitment (komitmen), kebutuhan akan komitmen yang kuat dari
anggota tim paliatif menentukan keberhasilan perawatan. Berhadapan terus
menerus dengan pasien kanker stadium paliatif menyebabkan stress, dan
dedikasi yang kuat dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan dan masalah yang
kompleks dimana beberapa mungkin tidak dapat diatasi.
3. Consideration of individuality (pertimbangan individualitas). Setiap pasien
adalah unik secara individu. Praktik pengelompokan pasien berdasarkan
penyakit mereka, berdasarkan kesamaan masalah medis yang dihadapi,
untuk mengenal gambaran psikososial individu dan masalahnya yang
membuat pasien berbeda.
4. Cultural consideration (pertimbangan kebudayaan). Etnis, ras, agama dan
faktor budaya lain membawa pengaruh pada penderitaan pasien. Perbedaan
kebudayaan harus dihargai dan perawatan direncanakan dengan
mempertimbangkan sensitivitas secara kebudayaan.
5. Consent (ijin). Ijin dari pasien atau seseorang yang dilimpahkan tanggung
jawab, adalah penting sebelum suatu pengobatan diberikan atau dihentikan.
9

Terdapat suatu aturan moral untuk mengkaji penginformasian keputusan,


yang dibuat oleh pasien atau wakil mereka sehubungan dengan terapi yang
dipilih. Kata kuncinya adalah terinformasikan (informed)
6. Choice of site of care (pilihan tempat perawatan) .Pasien dan keluarganya
perlu dilibatkan dalam diskusi tentang dimana pasien akan dirawat. Perawat
memberikan respon tentang keinginan pasien serta keinginan para keluarga.
Keluarga akan ditawarkan agar pasien kanker stadiu terminal dapat
dilakukan perawatan di rumah dengan dukungan kunjungan tim perawatan
paliatif.

2.3.3 Peran Perawat di Perawatan Paliatif


Dalam penelitian Xara et al (2011) menyatakan peran perawat adalah
melakukan pengkajian kualitas hidup yang sistematis yang dapat
membantu melindungi pasien dari efek samping dosis pengobatan yang
tidak diperlukan tubuh pasien. Perawat mengkaji kualitas hidup pasien
sehingga menggambarkan perkiraan hidup yang lebih baik dari pada
menggunakan pengukuran tumor sebagai patokan. Setelah melakukan
pengkajian secara komprehensif kepada pasien, perawat dituntut untuk
menentukan intervensi yang mendukung kebutuhan pasien. Contohnya
seperti yang dilakukan oleh Saatci el all (2007) dalam mengurangi efek
samping kemoterapi. Penelitian Saatci et all menunjukkan bahwa
penggunaan sarung tangan yang dingin selama kemoterapi mampu
meminimalisir efek samping dari kemoterapi pada masalah tangan dan
kuku pasien kanker.

Hasil penelitian kualitatif dari Aslakson et al (2012) mengungkapkan hal


yang menarik yang didapatkan dari wawancara partisipan perawat icu.
Partisipan perawat icu menjawab bahwa peran yang sangat penting dari
perawatan paliatif adalah perawat bekerja, bersikap dan bertutur kata harus
memunculkan caring attitude dari Woodruff (1999). Caring attitude
sangat memegang peranan penting dalam merawat pasien kanker. Sikap
9

dari perawat membuat pasien kanker merasa dihargai dan diperhatikan


kebutuhannya.

Peran perawat yang lain diungkap dalam penelitian kualitatif dari Calvin
et al (2009) adalah sebagai fasilitator. Fasilitator maksudnya adalah
perawat memberikan waktu kunjungan yang lebih lama bagi keluarga
pasien kanker yang menjelang ajal sehingga pasien dan keluarganya
memilki banyak waktu kebersamaan. Perawat berusaha menghadirkan
keluarga untuk mempersiapkan keluarga menerima kematian pasien
karena sulit bagi keluarga menerima kematian kondisi pasien. Penelitian
lain juga dari Oflaz F, Vural H (2010) menyebutkan perawat juga berperan
dalam memberikan dukungan kepada keluarga pasien kanker stadium
terminal. Perawat paliatif akan mendapat kepuasan saat melakukan
perawatan paliatif fase terminal dengan hadir mendampingi keluarga dan
memberikan dukungan melewati fase itu.

2.4 Konsep Keluarga


2.4.1 Definisi Keluarga
Friedman (2013) menyatakan pengertian keluarga adalah dua orang atau
lebih yang disatukan oleh kebersamaan dan keterikatan emosional serta satu
sama lain dan saling menyatakan dirinya sebagai bagian dari keluarga.
Pengertian dari friedman mempunyai arti yang sangat luas. Keluarga yang
tidak dibatasi oleh darah, pernikahan dan adopsi saja, Definisi keluarga juga
dijelaskan oleh Mashudi. Menurut Mashudi (2012) Keluarga merupakan
sistem yang mempunyai anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu , anak
atau semua individu yang tinggal dalam satu rumah tangga. Anggota
keluarga berkumpul saling berhubungan untuk mencapai tujuan bersama.

2.4.2 Stuktur Keluarga

Keluarga dapat diibaratkan sebagai suatu organisasi dimana setiap anggota


keluarga memiliki peran dan fungsinya masing-masing sehingga tujuan dari
9

keluarga dapat tercapai. Stuktur keluarga terdiri dari (Friedman, 2013; Stuart,
2001)
1. Pola dan proses komunikasi, dapat dikatakan berfungsi apabila jujur,
terbuka, melibatkan emosi, dapat menyelesaikan konflik keluarga. Pola
komunikasi yang benar dalam keluarga, apabila pengirim pesan (sender)
yakin terhadap pesannya, jelas, dapat menerima umpan balik,dan tidak
bersifat asumsi. Penerima pesan yang baik adalah jika dia mampu
menjadi pendengar yang baik, memberi umpan balik dan dapat
memvalidasi pesan yang diterima.
2. Stuktur kekuatan adalah kemampuan individu untuk mengontrol dan
mempengaruhi atau merubah perilaku anggota keluarga lain dalam
pengambilan keputusan yang terdiri dari legitimate power (hak), referen
power (ditiru), expert power (keahlian), reward power (hadiah),
coercive power (paksaan) dan affektif power. Dari Stuktur kekuatan
dijelaskan oleh stuart (2001), tentang dominasi jalur hubungan darah
sesuai kebudayaan mempengaruhi pihak keluarga yang mengambil
keputusan terdiri dari patriakal dan matriakal. Patrilakal adalah
dominasi pengambilan keputusan berada di pihak suami. Sebagian besar
budaya di Indonesia menggunakan patriakal. Sedangkan matriakal,
pengambilan keputusan berada di pihak istri.
3. Nilai keluarga dan norma adalah sistem ide-ide, sikap dan keyakinan
yang mempengaruhi anggota keluarga yang dapat di terima oleh budaya
masyarakat

2.4.3 Tipe Keluarga


Tipe keluarga mengambarkan perbedaan sosial, tingkah laku dan kultur serta
gaya hidup. Sussman et al (2004) menguraikan keluarga menjadi 7 bentuk.
1. The nuclear family (keluarga inti), keluarga yang memiliki suami
(pencari nafkah), istri (ibu rumah tangga) dan anak anak. Pada jaman
sekarang keluarga inti tradisional bergeser menjadi keluarga
nontradisional. Kecenderungan ini disebabkan beberapa hal antara
9

lain akibat suami dan istri yang sedang sama-sama bekerja di luar
rumah.
2. Keluarga besar (extended family) tradisional. Keluarga besar adalah
bentuk keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri dengan orang
tua, sanak saudara, dan kerabat lain dalam satu keluarga bekerja
sama dalam melakukan pengaturan rumah tangga. Indonesia adalah
negara dengan struktur keluarga sebagian besar merupakan
extended family (keluarga besar) dan mempunyai ikatan keluarga
yang sangat kuat. (Anggraeni MD, Ekowati W ,2011).
3. Keluarga dengan orang tua tunggal. Keluarga ini hanya memiliki
satu kepala rumah tangga, ayah atau ibu (duda/janda/belum
menikah). Jumlah ibu remaja yang tidak menikah semakin
meningkat karena berbagai alasan antara lain kemiskinan dan
pergaulan bebas. Friedman (2013) menjelaskan orang tua tunggal
merupakan satu-satunya orang yang terlibat dalam kehidupan dan
perawatan. Dalam beberapa hal orang tua tersebut memerankan
sebagai ayah atau ibu. Perannya yang begitu banyak membuat ia
mudah menjadi stress dan lelah. Apabila pengasuh anaknya bukan
dari orang tua kandung maka dikategorikan sebagai Foster Family.
4. Keluarga dengan orang tua tiri
a. Menurut Orang tua akan menghadapi 3 tantangan yang
paling menonjol yaitu mendisiplinkan anak, penyesuaian diri
dengan kepribadian anak dan kebiasaan serta penerimaan
anak. Masalah lain dari pada orang tua tiri adanya harapan
keluarga yang tidak realistis, kurangnya waktu orang tua tiri
dan anak tiri mempelajari peran satu sama lain, konflik
tentang finansial dan pengasuhan anak. Individu dewasa
yang hidup sendiri. Bentuk ini banyak terdapat di
masyarakat. Mereka hidup berkelompok seperti di panti
werdha, tetapi ada juga yang menyendiri. Mereka ini
membutuhkan layanan kesehatan dan psikososial karena ini
tidak mempunyai sistem pendukung
9

5. Bentuk variasi keluarga nontradisional


Bentuk variasi keluarga nontradisional meliputi bentuk keluarga
yang sangat berbeda satu sama lain, baik dalam stuktur maupun
dinamikanya. Meskipun demikian, memiliki persamaan dalam hal
tujuan dan nilai dengan keluarga inti tradisional. Tipe keluarga ini
menurut Friedman (2013) adalah perkawinan komunal, pasangan
kumpul kebo, perkawinan kelompok, keluarga lesbian dan gay.
Group network family, keluarga inti yang dibatasi oleh aturan atau
nilai hidup bersama dan tinggal satu rumah, termasuk membesarkan
anak.

Penyesuaian mental penderita kanker berkolerasi dengan kualitas hidupnya.


Salah satu hal yang paling adaptif dari penyesuaian mental adalah
semangat juang sedangkan salah satu yang maladaptif adalah
ketidakberdayaan/putus asa. Jumlah anggota keluarga yang banyak dan
ikatan keluarga yang kuat merupakan semangat juang pada pasien kanker,
sedangkan usia yang tua, pendidikan dan status keluarga yang rendah
merupakan prediksi ketidakberdayaan atau putus asa. Dalam situasi
perawatan paliatif di rumah, pasien akan membutuhkan dukungan keluarga
lain dimana terdapat anggota keluarga yang memiliki hubungan dalam arti
peran keluarga dalam merawat pasien. Peran keluarga tersebut tidak dibatasi
oleh keluarga inti saja tetapi oleh tipe keluarga lain. (Schulz and Quitner,
1998).

Di indonesia, masalah yang terkait dengan isu-isu otonomi pasien dalam


mengambil keputusan perawatan paliatif kurang diperhatikan. Hal tersebut
berkaitan dengan budaya keluarga yang ada di Indonesia. Indonesia adalah
negara dengan struktur keluarga sebagian besar merupakan extended family
(keluarga besar) dan mempunyai ikatan keluarga yang sangat kuat.
9

Pengambilan keputusan perawatan paliatif yang sangat tergantung pada


keluarga. (Anggraeni MD, Ekowati W ,2011).

2.4.4 Fungsi Keluarga dalam Perawatan Paliatif di Rumah


1. Pengambil Keputusan Perawatan Paliatif di Rumah
Keluarga mempunyai peranan penting dalam pengambil keputusan di
rumah. Keluarga sering diajak dokter dan perawat untuk menentukan
tindakan-tindakan yang akan diambil. Oleh karena itu sudah seharusnya
setiap pengambilan keputusan perawatan paliatif juga selalu melibatkan
keluarga. Dalam fase terminal atau kanker stadium lanjut, keluarga juga
yang sering diberitahu dokter akan ketidakberhasilan pengobatan dan atau
ketidakmungkinan dilanjutkan pengobatannya lagi. Hal itu akibat
penurunan kapasitas pasien kanker stadium paliatif dalam pengambilan
keputusan, seperti gangguan kesadaran dan kognitif yang diderita. Mereka
sangat sulit berbicara, apalagi ketika diminta untuk mengambil keputusan
sendiri. (Nolan et al, 2008)

Keluarga di Indonesia mempunyai sifat satu kesatuan yang utuh yang


dijiwai oleh nilai budaya ketimuran yang kental dan mempunyai tanggung
jawab yang besar ketika ada anggota keluarga yang mengalami gangguan
kesehatan. Dalam mengambil keputusan tentang kesehatan anggota
keluarga dalam keluarga di Indonesia umumnya dipimpin oleh suami
sebagai kepala rumah tangga. (Suprajitno, 2004).
2 Merawat Pasien Kanker Stadium Terminal di Rumah
Pada saat pasien mendapat perawatan paliatif di rumah. Tugas dan fungsi
keluarga adalah merawat pasien kanker stadium terminal. Keluarga di
Indonesia mempunyai karakteristik yaitu mempunyai ikatan keluarga yang
sangat erat yang dilandasi oleh semangat kebersaman yang tinggi. Pasien
kanker stadium terminal akan merasa lebih nyaman dan puas jika dirawat
oleh keluarganya sendiri di rumah dibandingkan menerima perawatan
konvesional di rumah sakit (Holms et al ,2015). Keluarga merupakan salah
satu pendukung yang dapat membantu pasien meringankan gejala emosi
9

yang timbul akibat gejala kanker. Pentingnya kedekatan keluarga dengan


pasien merupakan salah satu pendukung yang dapat membantu pasien
meringankan gejala emosi yang timbul akibat penyakit tersebut. Merawat
pasien di rumah sampai pasien meninggal dengan damai merupakan suatu
bentuk kasih sayang dari kedekatan keluarga dengan pasien. Keluarga
mendedikasikan diri dan waktunya dalam merawat dan memberikan
kebutuhan pasien kanker (Bruera E, Hui D, 2010).
3 Dukungan Sosial bagi Pasien Kanker Stadium Terminal
Fungsi keluarga adalah sebagai sumber dukungan sosial. Dukungan sosial
dari keluarga dapat menjadi faktor kunci dalam penyembuhan pasien kanker
(Videbeck, 2001). Pada dasarnya keluarga dan jaringan sosial merupakan
hal yang paling berpengaruh kuat dalam konteks dimana individu berada.
Keluarga adalah kekuatan yang kuat, motivator dan sumber dimana individu
belajar. Konteks keluarga tidak terbatas pada hubungan darah, melainkan
secara luas di definisikan sebagai jaringan orang-orang yang penting dalam
kehidupan inividu (Mullins and Tonner, 2008)

2.5 Konsep Teori peacefull end of life theory Ruland dan Moore (1998)
Ketika pasien kanker mendapat perawatan paliatif biasanya sudah dalam
kondisi terminal atau end of life. Pasien membutuhkan tindakan pengobatan
untuk mengatasi keluhan serta memerlukan perawatan khusus sesuai
kondisinya. Kondisi terminal terjadi dimana pasien kanker sudah dalam
keadaan tidak dapat disembuhkan. Pengobatan yang diberikan bersifat
suportif dan mempertahankan fungsi tubuh. Tujuan keperawatan pada
kondisi terminal adalah meningkatkan kualitas hidup dan menghantarkan
pasien pada kondisi end of life dengan tenang.Teori Ruland and Moore yang
mengembangkan Peaceful End of Life (EOL), teori dan konsep utamanya
telah sesuai dengan tujuan dan prinsip perawatan paliatif yang meliputi

2.5.1 Konsep utama


a) Not Being in Pain (menghilangkan rasa nyeri)
9

Bebas dari penderitaan atau gejala distress adalah bagian pusat dari
pengalaman akhir kehidupan pasien. Nyeri dianggap sebagai sensori
yang tidak menyenangkan atau pengalaman emosional yang
dihubungkan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. (Lenz, et
al dalam tomey and Alligood, 2014)
b) Experience of Comfort
Nyaman didefinisikan secara inklusif, menggunakan kerja Kolcaba and
Kolcaba (1991) sebagai bebas dari ketidaknyamanan, keadaan tenang
dan kepuasan yang damai,dan apapun yang membuat kehidupan
menjadi mudah dan menyenangkan.
c) Experience of Dignity and Respect
Setiap pasien dengan penyakit terminal adalah dihargai dan dinilai
sebagai manusia. Konsep ini menyatu dengan ide dan nilai personal,
yang diekspresikan melalui prinsip etika otonomi atau menghargai
pasien dan keluarga yang diperlakukan sebagai agen otonomi.
d) Being at Peace
Damai adalah merasa tenang, harmony dan contentment, (bebas dari)
kecemasan, kegelisahan, dan takut. Keadaan damai termasuk dimensi
fisik, psikologis dan spiritual.
e) Closeness to Significant Others
Kedekatan adalah perasaan berhubungan dengan orang lain yang
peduli, termasuk kedekatan secara fisik atau emosional yang
diekspresikan melalui kehangatan, hubungan yang baik sekali.

2.5.2 Asumsi Utama Teori Peaceful End of Life


Keperawatan, Manusia, Kesehatan, Lingkungan. Sebagaimana teori middle
range lainnya, fokus teori peacefull end of life tidak ditujukan pada konsep
metaparadigma. Teori diturunkan dari standar perawatan yang ditulis oleh
tim perawat ahli yang ditujukan pada masalah praktik, oleh karena itu
konsep metaparadigma secara eksplisit ditujukan kepada manusia dan
keperawatan. Teori ditujukan pada fenomena perawatan yang kompleks dan
holistik untuk mendukung akhir kehidupan yang damai dari seseorang.
9

Dua asumsi dari Ruland dan Moore (1998) diidentifikasi sebagai berikut;
1. Kejadian dan perasaan pada akhir kehidupan bersifat personal dan
individual.
2. Keperawatan penting untuk menciptakan pengalaman akhir kehidupan
yang damai. Perawat mengkaji dan menginterpretasikan isyarat yang
mencerminkan pengalaman akhir kehidupan seseorang dan menangani
dengan tepat untuk memelihara pengalaman yang damai, bahkan ketika
seseorang yang akan menemui ajal tidak dapat berkomunikasi secara
verbal.
Dua asumsi tambahan yang implisit:
1. Keluarga, merupakan suatu hubungan yang termasuk dalam semua
orang yang penting/ berarti, merupakan bagian penting dari end of life.
Keluarga harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan paliatif
2. Tujuan perawatan end of life bukan untuk mengoptimalkan perawatan,
namun lebih dari itu, most technologically advanced treatment, tipe
perawatan yang biasanya menghasilkan perawatan yang lebih. Tujuan
dari perawatan akhir kehidupan adalah untuk memaksimalkan
perawatan, perawatan yang paling baik yang memungkinkan dan
disediakan dengan lebih adil menggunakan ukuran teknologi dan
kenyamanan, untuk mencapai kualitas kehidupan dan kematian yang
damai.
9

Peaceful End of Life

Not being in pain Experience of Experience of Being at peace Closeness to significant


comfort dignity/respect others/persons who care

Monitoring and Preventing, Including patient Providing Facilitating participation


administering monitoring, and and significant emotional support of significant others
pain relief relieving others in in patient care
physical decision making
Monitoring and
discomfort
Applying Facilitating meeting patients Attending to significant
pharmacological rest, relaxation, Treating patient needs for others grief, worries
and nonpharma- and with dignity, antianxiety and, questions
cological contentment empathy, and medications
interventions respect
Preventing Facilitating
complications Inspiring trust opportunities for
Being attentive family closeness
to patients Providing patient/
expressed needs, significant others
wishes, and with guidance
preferences in practical issues

Providing physical
assistance of
anotther caring
person, if desired

Gambar 2.5 Hubungan antara Konsep Teori Peaceful End of Life Ruland dan Moore (1998).
Theory consruction based on standard of care: A proposed theory of the peaceful end of life.
Nursing Outlook.

Pendekatan teori peaceful end of life sangat tepat dalam penelitian


pengalaman keluarga pasien dalam pengambilan keputusan perawatan
perawatan paliatif di rumah. Teori ini memberikan konstribusi dalam
informasi dasar pentingnya dukungan kepada keluaga pasien kanker stadium
terminal dalam pengambilan keputusan perawatan. Hal tersebut Nampak jelas
dalam asumsi utamanya adalah Experience of dignity/respect yang berarti
untuk menciptakan akhir hidup yang damai dapat dicapai apabila pasien dan
significant other atau keluarga dilibatkan dalam pengambilan keputusan
perawatan paliatif dan melayani pasien dengan hormat, empati sesuai
kebutuhan pasien dan keluarga. Keterbukaan untuk melihat kenyataan
9

melalui diskusi yang positif antara keluarga dan perawat akan memberikan
kesadaran untuk memutuskan secara rasional terhadap perawatan paliatif di
rumah pasien kanker stadium terminal. Teori Peaceful End of Life (EOL) juga
membawa pemahaman pentingnya perawatan paliatif di rumah berupa asumsi
utamanya yang lain yaitu Being at peace yang dapat dicapai apabila pasien
diberikan dukungan emosi dan sosial oleh significat other atau keluarga yang
senantiasi menemani dan ikut terlibat dalam perawatan paliatif pasien kanker
stadium terminal. Perawatan paliatif di rumah juga memberikan kesempatan
pada pasien untuk lebih dekat dengan keluarga sesuai asumsi utama teori end
of life yaitu Closeness to significant others/persons who care. Perawatan
paliatif yang dilakukan di rumah sakit pada banyak pasien terminal dirasa
kurang efektif. Hal itu karena kenyamanan pasien bersama dengan keluarga
berkurang, akibat dari ketatnya peraturan di rumah sakit. Situasi tersebut
dapat menyebabkan kondisi psikologi pasien kanker stadium terminal
menjadi tidak nyaman, kesepian dan depresi, bahkan 25 persen diantaranya
mengalami kecemasan berat sebelum kematian. Kondisi ketidaknyamanan
dan depresi tidak hanya dirasakan pasien saja, tetapi juga dirasakan oleh
keluarga pasien. 47 persen dari keluarga yang anggota keluarganya
meninggal di rumah sakit menyatakan mengalami tingkat ketidaknyamanan
yang tinggi dalam proses kematian pasien ( Ruland & Moore, 1998 ; Doyle
2003; Zebrack, 2009; Lynn et al, 1997). Teori Peaceful End of Life (EOL)
dari Ruland & Moore lebih memfokuskan pada dasar pengambilan keputusan
perawatan paliatif di rumah. Sementara theory planned behavior fokus pada
variable yang mempengaruhi pengambilan keputusan perawatan paliatif di
rumah.

2.6 Theory of Planned Behavior

Selama diskusi tentang perawatan paliatif atau end of life, opini dari keluarga
dalam pengambilan keputusan perawatan paliatif di rumah tidak boleh
diabaikan oleh perawat dan tenaga kesehatan lainya. Peran dan fungsi
pengambilan keputusan oleh keluarga pasien kanker stadium terminal
9

dihadapkan beberapa pertimbangan multidimensi seperti finansial,


pengobatan, legalitas, social masyarakat dan kebutuhan spiritual pasien.
Keluarga sering dihadapkan dilemma terhadap pengambilan keputusan
tempat perawatan paliatif di rumah. Hal ini memerlukan pemahaman dari
tenaga kesehatan khususnya perawat terhadap hal-hal yang mempengaruhi
keputusan keluarga pasien dalam perawatan paliatif di rumah. (Morita T et
al, 2004; Chiu TY, 2009)

Theory planned Behaviour (TPB) merupakan teori yang paling tepat dan
banyak digunakan dalam menjelaskan intention (pemilihan suatu keputusan)
perilaku kesehatan. Contoh penelitian yang merujuk pada TPB dalam bidang
kesehatan adalah pemilihan keputusan dalam oral hygiene, pemeriksaan HIV
(Human Imunodefiensi Virus) dan ARV (Anti Retrroviral) (Hoffmann, et al
2013). Penelitian terbaru yang menjelaskan penggunaan TPB dalam dunia
keperawatan adalah dari penelitian oleh Lapkin, S (2015). TPB digunakan
untuk menilai dan menganalisi pemilihan mahasiswa keperawatan dalam
melakukan tindakan keperawatan yang aman dan berkolaborasi dengan
tenaga kesehatan lainnya.

Gambar 2.1 Model The Theory of Planned Behavior (TPB) Sumber: Ajzen (1991)
9

Theory of Planned Behavior (TPB) barangkali adalah model psikologi yang


paling populer untuk menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia dalam
konteks yang spesifik (Ajzen, 1991). TPB adalah kelanjutan dari Theory of
Reasoned Action (TRA) yang juga menjelaskan determinan-determinan dari
intensi sebagai prediktor utama perilaku (Ajzen and Fishbein, 1980).
Bedanya, di dalam TPB diperkenalkan determinan baru dari intensi, yaitu
perceived behavioral control. Determinan baru ini muncul setelah
ditemukan bahwa perilaku manusia ternyata tidak 100% di bawah kendali
pelakunya. Menurut TPB, determinan utama dari perilaku seseorang adalah
intention (I) dan perceived behavioral control (PBC). Intention adalah
indikasi dari kesiapan seseorang untuk melakukan suatu perilaku. Intention
sendiri dipengaruhi oleh 3 hal; attitude terhadap perilaku (A), subjective
norm (SN) dan perceived behavioral control (PBC).

2.6.1 Attitude terhadap perilaku

Attitude terhadap perilaku (A) adalah evaluasi seseorang terhadap suatu


perilaku. Attitude dibentuk dari dua komponen yang saling berinteraksi.
Komponen-komponen tersebut adalah belief tentang konsekuensi-
konsekuensi dari suatu perilaku (behavioral beliefs) serta evaluasi atas
konsekuensi tersebut, apakah dianggap sebagai hal positif ataukah negatif
(outcome evaluations). Belief bahwa perawatan paliatif di rumah adalah
penelantaran dari rumah sakit terhadap pasien kanker stadium terminal
adalah contoh belief negative yang dipikirkan atau dirasakan keluarga yang
akan mengarah pada sikap yang negative terhadap perawatan paliatif di
rumah, demikain juga sebaliknya jika keuarga memiliki belief yang positif.

2.6.2 Subjective Norms

Subjective norms adalah perkiraan seseorang terhadap adanya tekanan sosial


untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Subjective norms terdiri
dari dua komponen yang saling berinteraksi. Kedua komponen tersebut
adalah belief tentang keinginan atau pendapat dari grup yang menjadi
referensi (normative beliefs) serta besarnya dorongan untuk menyesuaikan
9

diri dengan keinginan atau pendapat tersebut (motivation to comply).


Contohnya adalah studi yang dilakukan tolma et al (2006) tentang
pengambilan keputusan melakukan mammografi. Dalam studinya
ditemukan bahwa peran norma subyektif di dalam memprediksi intensi.
Hasil pengukuran norma subyektif didapatkan bahwa rekomendasi dari
tenaga kesehatan (perawat dan dokter) di rumah sakit merupakan sumber
motovasi yang signifikan dalam pengambilan keputusan melakukan
mammografi.

2.6.3 Perceived Behavioral Control

Perceived behavioral control adalah sejauh mana seseorang merasa


memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu. Ada dua komponen di
dalamnya, yaitu belief tentang ada atau tidaknya faktor-faktor yang bisa
memfasilitasi atau menghalangi suatu perilaku (control beliefs) serta
persepsi tentang kekuatan dari masing-masing faktor tersebut (power of
control factors). Dalam penelitian ini, keluarga bisa saja memiliki sikap
yang positif dan orang lain lain akan sangat mendukung keputusanya
tersebut. Namun, akhirnya tetap tidak mau untuk mengambil keputusan
perawatan di rumah akibat terhambat oleh faktor perasaan takut dan tidak
mampu melakukan perawatan pasien kanker stadium di rumah.

2.7 Teori Health Belief Model

Teori Health Belief Model (HBM) ini dapat digunakan untuk menjelaskan
alasan pemilihan keputusan suatu perilaku kesehatan. TPB dan teori HBM
adalah teori yang sama-sama fokus pada persepsi dan belief dari keluarga yang
mempengaruhi pengambilan keputusan mereka dalam perilaku kesehatan.
Teori HBM adalah teori perilaku individu pertama dan secara luas digunakan
di dunia kesehatan. Teori HBM pada awal kemunculannya digunakan oleh U.S
Public Health Service (USHPS) untuk meneliti penyebab keengganan dari
masyarakat pemukiman Negara Amerika untuk melakukan Screening
Tuberculosis gratis menggunakan sinar X yang disponsori oleh USHPS.
9

Screening Tuberculosis ditawarkan secara gratis dan menggunakan mobil


layanan sebagai sarana telah menjadi akses yang sangat mudah dijangkau oleh
masyarakat. Tapi pada kenyataanya hanya sedikit saja yang mendatangi
layanan gratis tersebut. Pada tahun 1950 Hochbaum melakukan penelitian
untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi kegagalan program tersebut.
Kesimpulan yang didapat adalah kebanyakan masyarakat cenderung
mengambil keputusan terhadap program kesehatan apabila mereka merasa
memerlukan dan percaya manfaat dari program kesehatan tersebut (Edberg,
2010)

Teori HBM menjelaskan ada 2 komponen yang mempengatuhi dari suatu


pengambilan keputusan perawatan paliatif di rumah, yaitu berorientasi pada
personal belief atau keyakinan terhadap kondisi anggota keluargayang
mengaami penyakit kanker yng sudah mencapai stadium terminal dan
perawatan paliatif di rumah yang disarankan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien. Proses kognitif dari HBM tergantung informasi terdahulu yang
datang . Keluarga akan memilih tempat perawatan paliatif yang sesuai dengan
keyakinan atau penilaian kesehatan yang dirasakan keluarga dan
mempertimbangkan antara keuntungan dan kerugian yang didapat dalam
perawatan paliatif di rumah (M.H Becker, 1974). Komponen dari Health Belief
Model adalah (Edberg, 2010):
1) Perceived Suscetability
Perceived Suscetability atau kesadaran akan rentannya suatu penyakit dapat
menyerang pasien akan menimbulkan motivasi untuk mengambil keputusan
mengobati atau mengambil suatu program kesehatan. Ketika keluarga
mempercayai dampak negatif yang terjadi apabila memutuskan
meneruskan perawatan paliatif di rumah sakit seperti risiko pasien dan
keluarga akan terkena infeksi nosokomial semakin besar dan meningkatnya
perasaan depresi akibat kesepian dari pasien maka akan lebih
memungkinkan keluarga akan mengambil keputusan perawatan paliatif di
rumah (Chan, 2005)
9

2) Perceived Seriousness
Persepsi keluarga pasien pasien kanker stadium terminal tentang keseriusan
dari dampak komplikasi yang muncul ketika meneruskan perawatan di
rumah sakit akan mengarah pada upaya memilih perawatan paliatif di rumah
demi mencegah atau mengurangi gejala yang dapat dirasakan pasien.
Semakin serius risiko dampak yang diperoleh pasien dan keluarga apabila
meneruskan perawatan di rumah sakit, maka semakin besar motivasi
keluarga untuk mengambil keputusan perawatan di rumah. Pada saat
Perceived Seriousness berasal dari informasi olehh tenaga kesehatan seperti
perawat atau dokter, hal itu akan menjadi keyakinan yang kuat bagi keluarga
pasien. Gabungan antara perceived susceptibility dan perceived seriousness
disebut sebagai persepsi ancaman (M.H Becker, 1974). Keluarga akan
mengambil keputusan berdasarkan persepsi ancaman apabila menolak
mengambil keputusan perawatan paliatif di rumah.
3) Perceived Benefit
Keluarga dalam mempertimbangkan keputusan perawatan paliatif di rumah
akan melihat dari manfaat yang akan dirasakan nantinya. Persepsi yang baik
terhadap perawatan paliatif di rumah oleh keluarga akan berperan signifikan
dalam penentuan keputusan mereka. Semakin besar manfaat yang diketahui
keluarga melalui perawatan paliatif di rumah , maka akan semakin besar
peluang keluarga akan mengikuti program perawatan paliatif di rumah.
4) Perceived Barrier
Adanya masalah yang menghalangi dalam perawatan paliatif di rumah,
mempengaruhi pengambilan keputusan dari keluarga. Semakin kecil
masalah yang menghalangi keluarga melakukan perawatan paliatif di rumah
,semakin besar peluang keluarga akan mengikuti program perawatan paliatif
di rumah.
5) Self Efficacy
Kepercayaan diri keluarga untuk mampu dalam merawat anggota keluarga
kanker stadium terminal akan mempengaruhi pengambilan keputusan
perawatan paliatif di rumah oleh keluarga.
9

6) Cues to Action
Nasehat dari anggota keluarga lain atau orang terdekat akan mempengaruhi
peneriman perawatan paliatif di rumah oleh keluarga.

Teori HBM mempunyai asumsi bahwa individu akan mengambil keputusan


terhadap suatu program perilaku sehat bila program kesehatan tersebut dapat
memberikan hasil yang diharapkan olehnya (Edberg, 2010). Contoh
penelitian terdahulu dalam konteks pemakaian teori HBM adalah studi
tentang hubungan antara kepatuhan wanita kulit hitam Amerika untuk
skrining mamografi tahunan dengan dukungan sosial, pengetahuan tentang
skrining kanker payudara, persepsi kesehatan untuk memahami faktor yang
mempengaruhi keputusannya (Deborah et al, 2007). Tidak hannya tentang
pemeriksaaan kanker payudatan teori HBM pernah digunakan. Teori ini
pernah dipakai dalam pengambilan keputusan skrining kanker kolorektal
(CRC). Para responden masih memiliki pemahaman bahwa mereka akan
mengambil skrining CRC apabila sudah dapat rekomendasi dari dokter dan
mereka menganggap manfaat skrining CRC masih sangat sedikit.
Pengambilan keputusan untuk skrining CRC juga diketahui dipengaruhi sikap
negatif dan keyakinan yang salah terhadap skrining CRC (Khawaldeh, 2008).

Вам также может понравиться