Вы находитесь на странице: 1из 19

REVIEW JURNAL

Identifikasi Dan Uji Aktivitas Senyawa Flavonoid Dari Ekstrak Daun Trembesi
(Samanea Saman (Jacq.) Merr) Sebagai Pengendali Jamur Fusarium Sp. Pada Tanaman
Buah Naga

Lucyta Sari
(11140960000068)
Dosen Pengampu:
Dr. Hendrawati, M.Si
Mata Kuliah:
Cara-Cara Pemisahan

PROGRAM STUDI KIMIA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Di Indonesia buah naga kini telah banyak dibudidayakan oleh para petani karena
memiliki banyak manfaat khususnya di bidang kesehatan. Buah naga merupakan jenis
tanaman yang termasuk ke dalam family Cactaceae, subfamily Hylocereanea dan genus
Hylocereus (Jatnika, 2010). Buah naga dibagi menjadi empat jenis, yaitu Hylocereus polyrhizus
(kulit buah merah muda, berdaging merah), Hylocereus undatus (kulit buah berwarna merah,
berdaging putih), Selenicereus megalanthus (kulit buah kuning, berdaging buah putih), dan
Hylocereus costaricensis (kulit buah berwarna merah, daging super merah). Dalam
pemeliharaannya, tanaman buah naga selalu mengalami gangguan seperti serangan hama dan
penyakit sehingga menghasilkan kualitas buah yang tidak maksimal. Bagian tanaman buah naga
yang sering terserang hama dan penyakit adalah bagian batang yang menyebabkan bagian
batang membusuk. Penyakit ini disebabkan oleh Fusarium sp. Jamur ini menyerang pada bagian
batang pada buah naga, sehingga dapat menyebabkan batang tanaman tampak layu dan busuk
berwarna coklat. Fusarium sp. mengalami fase patogenesa dan saprogenesa dalam siklus
hidupnya atau merupakan saprofit tanah tetapi dapat bersifat patogen bagi banyak
tumbuhan.Fungi ini hidup sebagai parasit pada tanaman inang yang masuk melalui luka akar,
kemudian patogen berkembang dalam jaringan tanaman (Gandjar dkk.1999).
Pertumbuhan jamur patogen pada buah naga biasanya dihambat dengan menggunakan
fungisida sintetis, namun cara ini kurang efektif karena dapat menimbulkan dampak negatif
terhadap manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, seperti yang disampaikan oleh Wiratno
(2010), diperlukan cara lain yaitu dengan menggunakan bahan alami yang tidak berpengaruh
negatif terhadap manusia dan lingkungan. Salah satu cara adalah dengan menggunakan fungisida
nabati. Ardiansyah (2005) melaporkan bahwa fungisida nabati dapat diperoleh dari ekstrak
tanaman yang mengandung metabolit sekunder yang aktif sebagai antijamur. Bahan alami
yang mengandung metabolit sekunder yang aktif sebagai antijamur adalah daun trembesi.
Analisis fitokimia pada ekstrak daun trembesi positif mengandung tanin, flavonoid,
saponin, steroid, cardiac glycosides, memiliki kandungan antimikrobia terhadap Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Candida albican, dan Xanthomonas (Nuroniah dan Kosasih, 2010).
Penelitian senyawa flavonoid sebagai antijamur pada ekstrak tanaman telah banyak
dilakukan, namun sejauh ini belum ada yang melakukan penelitian terhadap flavonoid dalam
ekstrak daun trembesi untuk mengendalikan pertumbuhan jamur pada buah naga. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui aktivitas senyawa flavonoid dari ekstrak daun trembesi (Samanea
saman (Jacq.) Merr) dalam mengendalikan pertumbuhan jamur patogen Fusarium sp.pada
tanaman buah naga.

1.1. Tujuan penelitian


a. Mengidentifikasi kandungan senyawa flavonoid dari ekstrak daun trembesi
b. Mengetahui besarnya konsentrasi senyawa flavonoid dari ekstrak daun trembesi
c. Menguji aktivitas senyawa flavonoid dari ekstrak daun trembesi (Samanea saman (Jacq.)
Merr) dalam menghambat pertumbuhan Fusarium sp. jamur patogen pada tanaman buah
naga.

1.2. Manfaat penelitian


a. Mengoptimalkan bagian dari tanaman trembesi, terutama bagian daun sebagai anti jamur
b. Mengetahui manfaat lain dari tanaman trembesi, selain sebagai pohon peneduh dan
penangkal polusi
c. Mengajak dan memberikan wawasan kepada masyarakat akan besarnya manfaat daun
trembesi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Buah Naga
Buah naga (Hylocereus sp. (Haw.) Britton & Rose) merupakan salah satu
tanaman buah yang kini mulai banyak dibudidayakan di Indonesia setelah diin troduksi
pertama kali awal tahun 2000-an. Tanaman ini masuk ke Indonesia pertama dalam
bentuk stek batang yang berasal dari Thailand (Jaya 2010). Untuk keperluan konsumsi,
Indonesia masih mengimpor buah naga sekitar 200-400 ton per tahun (Jaya 2010).
Nama umum buah ini adalah pitaya (Merten 2003), kemudian di Asia disebut
dragon fruit karena buah ini memiliki warna merah menyala serta kulit dengan sisik
hijau mirip sosok naga dalam imajinasi masyarakat Cina (Masyahit et al. 2009 ).
Khasiat buah naga antara lain untuk mengobati diabetes dan tekanan darah tinggi, serta
mengandung serat, antioksidan, vitamin C, dan mineral tinggi (Bellec et al. 2006).
Terdapat empat jenis buah naga yaitu buah naga putih (white pitaya), buah naga merah
(red pitaya), buah naga super merah (super red pitaya) dan buah naga kuning (yellow
pitaya) (Renasari 2010). Keempat jenis buah tersebut mempunyai keunggulan masing-
masing dan memiliki ciri yang berbeda. Jenis buah naga yang sudah banyak
dibudidayakan adalah buah naga merah dan buah naga putih.
Buah naga merupakan kaktus liar yang berasal dari wilayah di Amerika Tengah.
Sebagian besar spesies Hylocereus berasal dari Amerika Latin (Meksiko dan
Kolombia). Saat ini, spesies ini telah menyebar ke seluruh dunia terutama daerah tropis
dan subtropis. Tanaman ini bersifat epifit, yaitu tumbuh dan bercabang pada kayu atau
tanaman mati (Crane dan Balerdi 2005). Setelah diketahui memiliki banyak manfaat,
tanaman ini dibudidayakan dan dikembangkan. Sebagian H. undatus merupakan spesies
kosmopolitan (Bellec et al. 2006). Buah ini dikembangkan secara komersial di Amerika
Tengah, tepatnya di negara Meksiko dan Amerika Serikat (negara bagian Texas),
kemudian berkembang pesat di Peru dan Argentina. Sekitar 100 tahun lalu, buah ini
diintroduksikan ke Perancis kemudian menyebar ke Asia dan Australia. Kini Israel dan
Vietnam menjadi produsen buah naga komersial terbesar di Asia (McMahon 2003).
Buah naga termasuk dalam kelompok tanaman kaktus atau Famili Cactaceae.
Menurut Bellec et al. (2006) secara umum buah naga dikelompokkan ke dalam genus
utama yaitu Stenocereus (Britton & Rose), Cereus (Mill), Selenicereus (A. Berger
Riccob) and Hylocereus (Britton & Rose). Genus buah naga yang banyak
dibudidayakan adalah Hylocereus, sedangkan untuk tiga genus lainnya dapat
dikonsumsi namun belum banyak dikembangkan secara budiddaya. Adapun klasifikasi
buah naga secara lengkap menurut Britton dan Rose (1963); ISB (2002); NPDC (2002)
dalam Gunasena et al. (2007) adalah :
Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta (tanaman vaskular)
Super divisi : Spermathophyta (tumbuhan berbiji)
Divisi : Magnoliophyta ( tanaman berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (tanaman dikotil atau berkeping dua)
Ordo : Caryophyllales
Famili : Cactaceae (kaktus)
Subfamili : Cactoideae
Suku (tribe) : Hylocereae
Genus : Hylocereus (Berger) Britt & Rose
Spesies : - Hylocereus undatus (Haw.) Britt & Rose
- Selenecereus sp.
Buah naga memiliki banyak kandungan gizi yang berkhasiat untuk kesehatan
manusia. Setiap jenis buah naga memiliki kandungan gizi yang berbeda-beda. Menurut
Gunasena et al. (2007), buah naga merah mengandung antioksidan yang tinggi. Buah
naga juga berkhasiat untuk mencegah kanker dan diabetes, menetralisir racun,
mengurangi kolesterol, dan menurunkan tekanan darah tinggi. Kandungan vitamin C,
fosfor, dan kalsium juga dapat membantu penguatan tulang, gigi, dan baik untuk
kesehatan kulit.
Menurut Jaya (2010), selama musim hujan penyakit lebih menjadi masalah
dibandingkan hama. Sebagian besar patogen yang menyerang buah naga berasal dari
golongan bakteri dan cendawan. Bakteri patogen yang menyerang sulur yaitu Erwinia
spp (Eng 2012) dan Xanthomonas campestris yang menyebabkan busuk lunak batang
(Freitas et al. 2011). Kedua bakteri ini merupakan penyakit utama yang menyerang
buah naga (Bellec et al. 2006).
Kejadian penyakit tanaman buah naga dengan berbagai jenis patogen penyebab
diketahui terjadi di beberapa negara. Menurut Jaya (2010), virus menyerang tanaman
buah naga dan menurut Bellec et al. (2006) disebabkan oleh Cactus Virus X. Virus ini
diketahui menyerang pertanaman buah naga di Taiwan dan Jepang (Masyahit et al.
2009 ). Selain itu Pushpakumara et al. (2005) menyebutkan bahwa nematoda juga
menyerang pertanaman buah naga. Penyakit yang ditemukan di Jepang dan USA yaitu
bercak batang terjadi di Meksiko dan antraknosa, sedangkan di Malaysia terjadi
serangan patogen Fusarium sp. pada buah naga merah spesies H. polyrhizus (Masyahit
et al. 2009).
Tidak hanya di pertanaman, penyakit pascapanen juga ditemui di buah naga.
Penyakit di buah pascapanen disebabkan oleh Fusarium, Colletotrichum, Curvularia,
Helminthosporium spp., Curvularia spp., dan Gilbertella persicaria (Eng 2012).
Cendawan penyakit pascapanen juga ada yang dapat mengkontaminasi tanah yaitu
cendawan Gilbertella persicaria (Eng 2012).
Terdapat dua penyakit yang paling sering dijumpai hampir di setiap pertanaman
buah naga yaitu busuk lunak batang dan antraknosa. Menurut McMahon (2012),
penyakit busuk lunak batang menyerang apabila kondisi terlalu basah . Penyakit ini
disebabkan oleh Xanthomonas campestris, Fusarium oxysporum , dan Pantoea spp.
(SFNS 2012). Jaya (2010) juga menyebutkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh
Fusarium, Phytium, Acremonium, dan Pytophthora (Jaya 2010). Di Malaysia,
dilaporkan bahwa Erwinia caratovora sebagai penyebab busuk lunak batang.
Infeksi dimulai dari area luka khususnya jaringan batang yang disebabkan oleh
gigitan serangga atau infeksi sebelumnya dari antraknosa. Gejala awal yang terjadi
adalah jaringan menjadi menguning diikuti dengan pelunakan dan pembusukan yang
berbau dari jaringan tersebut. Infeksi lan jut menyebabkan pembusukan keseluruhan
dari bagian batang yang berdaging dan sukulen pada cabang utama (SFNS 2012).
Luders dan McMahon (2006) menyebutkan bahwa busuk lunak berair dapat terjadi dari
luka pada kondisi paparan sinar matahari berlebihan atau kondisi basah.

2.2. Jamur Fusarium sp.


Jamur Fusarium oxysporum termasuk kelas Ascomycetes, semula
dimasukkan ke dalam kelas Deuteromycetes karena hanya melakukan
reproduksi secara aseksual dengan alat reproduksi yang disebut konidia,
namun saat ini telah ditemukan fase seksualnya dalam bentuk teleomorph
(Leli and Summerell, 2006). Menurut Schlecht, Emend, Snyder dan Hansen
pengkelasan Fusarium oxysporum sebagai berikut:
Kingdom : Jamur
Divisi : Ascomycota
Kelas : Sordariomycetes
Ordo : Hypocreales
Famili : Nectriaceae
Genus : Fusarium
Spesies : Fusarium oxysporum
Gambar 1. Morfologi Fusarium oxysporum secara mikroskopis (a. chlamidospora, b. microspora, c.
macrospora)
(Sumber: Toussoun, T.A., and Nelson, P.E, 1976)

Jamur ini menyebabkan banyak penyakit, salah satunya busuk ada batang.
Penyakit ini terutama menular karena perakaran tanaman sehat berhubungan dengan
spora yang dilepaskan oleh tanaman sakit di dekatnya (Semangun 1994). Selain itu
penularan dapat juga terjadi melalui bibit, tanah yang terinfeksi, tanah yang melekat
pada alat-alat pertanian, perendaman tanah, aliran air pada permukaan tanah serta sisa-
sisa tanaman sakit (Sulyo dan Muharam et al. 1992). Di dalam tanah yang terinfeksi,
jamur bertahan dalam bentuk miselium atau dalam semua bentuk konidiumnya
(Sastrahidayat, 1990). Penyakit menyebar cepat pada tanah-tanah bertekstur ringan atau
berpasir yang memiliki drainase jelek dan masam (Muharam et al. 1992). F. oxysporum
termasuk cendawan yang bersifat soil-borne yang dapat bertahan hidup lebih lama di
dalam tanah dalam bentuk klamidiospora sampai adanya rangsangan untuk
berkecambah yang berasal dari jaringan tanaman segar yang belum terkolonisasi
cendawan patogen atau ekskresi akar (Semangun 1994). Cendawan penyebab penyakit
ini masuk ke dalam akar melalui lubang-lubang alami atau luka, lambat laun masuk ke
bonggol. Patogen berkembang sangat cepat menuju batang sampai ke jaringan
pembuluh sebelum masuk ke batang semu atau palsu. Pada tingkat infeksi lanjut
miselium akan meluas dari jaringan pembuluh ke parenkim, selanjutnya patogen
membentuk konidia dalam jaringan tanaman dan mikrokonidia dapat terangkut melalui
xilem dalam arus transpirasi (Sulyo 1992).
Di dalam pembuluh xylem tersebut jamur membebaskan polyphenol. Polyphenol
ini dioksidasi oleh enzim polyphenoloxydase menjadi quinon yang segera mengadakan
polimerasi menjadi melanin yang berwarna sawo matang. Dan inilah yang
menyebabkan perubahan warna di dalam pembuluh-pembuluh xylem dari tanaman yang
terinfeksi. Kegiatan aktivitas polyphenoloxydase tergantung pada jumlah miselium di
dalam pembuluh xylem dari batang yang terinfeksi. Bila tanaman mati, maka pathogen
akan mengadakan sporulasi secara luas pada jaringan yang mati tersebut dan ini
merupakan sumber inokulum kedua (Sastrahidayat, 1990).

2.3. Tanaman Trembesi


Tanaman trembesi dikenal dengan beberapa nama dalam bahasa Inggris seperti,
Rain Tree, Monkey Pod, East Indian Walnut, Saman Tree, dan False Powder Puff. Di
Negara sub tropis tanaman trembesi dikenal dengan nama Bhagaya Mara (Kanada),
Algarrobo (Kuba), Campano (Kolombia), Regenbaum (Jerman), Chorona (Portugis),
sedangkan di beberapa Negara Asia pohon ini disebut Pukul Lima (Malaysia),
Jamjuree (Thailand), Cay Mura (Vietnam), Vilaiti Siris (India).
Trembesi digunakan terutama sebagai pohon peneduh dan hiasan. Perum
Perhutani menggunakan trembesi sebagai peneduh di tempat pengumpulan kayu.
Dalam upaya pengurangan emisi karbon, pemerintah melalui program one man one
tree menggalakkan penanaman tembesi karena trembesi diyakini sebagai penyerap
karbon yang tinggi (Staples dan Elevitch (2006). Menurut Prasad et al. (2008)
melaporkan, bahwa daun trembesi mengandung senyawa metabolit sekunder yaitu
tanin, selain tanin daun trembesi juga mengandung flavonoid, saponin, steroid,
terpenoid, dan glikosida kardiak. Sementara itu, hasil penelitian dari Raghavendra et
al. (2008) diperoleh bahwa daun trembesi juga mengandung senyawa metabolit
sekunder alkaloid. Selain itu, menurut Nuroniah dan Kokasih (2010) ekstrak dari daun
trembesi dapat digunakan sebagai antimikroba terhadap Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Candida albican, dan Xanthomonas.
Tanaman ini merupakan jenis tanaman yang berasal dari Amerika tengah dan
Amerika selatan sebelah utara (Staples dan Elevitch, 2006). Tanaman trembesi mudah
dikenali dari kanopinya yang indah dan luas, sehingga tanaman ini sering digunakan
sebagai tanaman hias dan peneduh sekaligus mampu sebagai penyerap polutan dan
karbon (Nuroniah dan Kokasih, 2010).

Gambar 2. Pohon trembesi (Albizia saman (jacq.) Merr) (Dahlan, 2010).

Klasifikasi tanaman trembesi adalah sebagai berikut (USDA, 2011) :


Kingdom : Plantae
SubKingdom : Tracheobiota
Superdivisi : Spermatophyte
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
SubKelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Genus : Albizia Merr.
Spesies : Albizia saman (Jacq.) Merr.

Berdasarkan uji fitokimia, dapat diketahui bahwa trembesi mengandung tanin,


flavonoid, saponin, steroid, glikosida kardiak, dan terpenoid. Imam et al. (2010) telah
melakukan penelitian terhadap potensi fraksi n- heksana, karbon tetraklorida, dan
kloroform dari ekstrak kasar metanol kulit batang trembesi sebagai antioksidan dan
antimikroba. Ferdous et al. (2010)

2.4. Flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di
alam (Kristanti, 2008). Flavonoid merupakan salah satu jenis komponen yang
terkandung dalam tanaman, dan dapat ditemukan pada semua tanaman vaskuler.
Flavonoid merupakan suatu senyawa terbesar di alam dan merupakan kelompok
senyawa fenol. Senyawa ini memiliki kerangka dasar berupa karbon yang terdiri dari 15
atom karbon, yang mana dua cincin benzena (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3)
dan membentuk suatu susunan berupa C6-C3-C6. Flavonoid yang terdapat di alam
sebagian besar ditemukan dalam bentuk glikosida, yaitu unit flavonoid terikat pada
suatu gula. Ikatan glikosida dapat terbentuk apabila gugus hidroksil dari alkohol
beradisi kepada gugus karbonil dari gula. Flavonoid dapat ditemukan sebagai mono-,
di- atau triglikosida yang mana satu, dua, atau tiga gugus hidroksilnya terikat oleh gula
(Lenny, 2006). Kerangka dasar dari flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Dalam tumbuhan flavonoid pada umumnya merupakan pigmen-pigmen yang
tersebar luas dalam bentuk senyawa glikon dan aglikon. Flavonoid-flavonoid yang
terdapat di alam antara lain adalah flavon, isoflavon, antosianin, leuko-antosianin,dan
kalkon (Rusdi, 1988). Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, dan
biru, serta sebagian zat warna kuning yang terdapat dalam tanaman. Sebagai pigmen
bunga, flavonoid jelas berperan dalam menarik serangga untuk membantu proses
penyerbukan. Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi tumbuhan adalah
sebagai zat pengatur tumbuh, pengatur proses fotosintesis, sebagai zat antimikroba,
antivirus, dan antiinsektisida. Beberapa flavonoid sengaja dihasilkan jaringan tumbuhan
sebagai respon terhadap infeksi atau luka yang kemudian berfungsi menghambat fungi
penyerangnya. Telah banyak flavonoid yang diketahui memberikan efek fisiologi
tertentu. Oleh karena itu, tumbuhan yang mengandung flavonoid banyak dipakai dalam
pengobatan tradisional (Kristanti, 2008).
Sifat fisika dan kimia senyawa flavonoid antara lain adalah larut dalam air,
sedangkan dalam bentuk glisida yang termetilasi larut dalam eter. Sebagai glikosida
maupun aglikon, senyawa flavonoid tidak dapat larut dalam petroleum eter. Dari
tumbuhan, glikosida dapat ditarik dengan pelarut organik yang bersifat polar (Rusdi,
1988)
Contoh senyawa flavonoid yang mempunyai aktivitas antijamur antara lain
xanthon dan euxanthon yang diisolasi dari kulit buah Garcinia manganostana terhadap
jamur Fusarium oxysporum vasinfectum, Altenaria tenuis, dan Dreschiera oryzae.
Xanthon alami mempunyai aktivitas penghambatan yang baik terhadap ketiga jamur
tersebut (Gopalakrishnan, Banumathi, and Suresh, 1997). Contoh struktur golongan
senyawa flavonoid dapat dilihat pada Gambar 2.
Banyak tanaman obat yang mengandung komponen flavonoid yang digunakan
untuk terapi penyakit sirkulasi, mengurangi tekanan darah, dan anti alergik. Efek
farmakologi dari flavonoid yang berhubungan dengan kemampuan flavonoid untuk
bekerja sebagai anti oksidan yang kuat penangkap radikal bebas, membentuk khelat
dengan logam dan berinteraksi dengan enzim (Bylka et.al 2004). Flavonoid disintesis
oleh tanaman sebagai respon terhadap infeksi mikroba, jadi secara in vitro flavonoid
efektif sebagai substansi antijamur antimikroba yang membunuh banyak
mikroorganisme. Kemungkinan aktivitasnya dikarenakan kemampuan flavonoid
membentuk ikatan dengan protein terlarut dan dinding sel bakteri, semakin lipofilik
suatu flavonoid semakin merusak membran mikroba (Cowan, 1999).

Gambar 3. Senyawa-senyawa golongan flavonoid (Achmad, 1986)

2.5. Aktivitas Antijamur


Antijamur merupakan zat berkhasiat yang digunakan untuk penanganan penyakit
jamur. Umumnya suatu senyawa dikatakan sebagai zat antijamur apabila senyawa
tersebut mampu menghambat pertumbuhan jamur (Siswandono, 1995).
Zat antijamur bekerja menurut salah satu dari berbagai cara, antara lain
menyebabkan kerusakan dinding sel, perubahan permeabilitas sel, perubahan molekul
protein dan asam nukleat, penghambatan kerja enzim, atau penghambatan sintesis asam
nukleat dan protein. Kerusakan pada salah satu situs ini dapat mengawali terjadinya
perubahan-perubahan yang menuju pada matinya sel tersebut (Pelezar dan Chan, 1988).
a. Kerusakan pada dinding sel
Dinding sel merupakan penutup lindung bagi sel lin juga berpartisipasi di dalam
proses-proses fisiologi tertentu. Strukturnya dapat dirusak dengan cara menghambat
pembentukannya atau mengubah setelah selesai terbentuk (Pelezar dan Chan, 1988).

b. Perubahan permeabilitas sel


Membran sitoplasma mempertahankan bahan-bahan tertentu di dalam sel serta
secara selektif mengatur aliran keluar-masuknya zat antara sel dengan lingkungan
luarnya. Membran memelihara integritas komponen-komponen seluler. Membran ini
juga merupakan situs beberapa reaksi enzim. Kerusakan pada membran ini akan
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel (Pelezar dan Chan,
1988).
c. Perubahan molekul protein dan asam nukleat
Hidupnya suatu sel bergantung pada terpeliharanya molekulmolekul protein dan
asam nukleat pada membran alamiahnya. Suatu kondisi atau substansi yang mengubah
keadaan ini, yaitu mendenaturasikan protein dan asam-asam nukleat dapat merusak sel
tanpa dapat diperbaiki kembali. Suhu tinggi dan konsentrasi pekat beberapa zat kimia
dapat mengakibatkan koagulasi (denaturasi) ireversibel (tak dapat balik) komponen-
komponen seluler yang vital ini (Pelezar dan Chan, 1988).

d. Penghambatan kerja enzim


Setiap enzim dari beratus-ratus enzim berbeda-beda yang ada di dalam sel
merupakan sasaran potensial bagi bekerjanya suatu penghambat. Banyaknya zat kimia
telah diketahui dapat mengganggu reaksi biokimiawi. Penghambatan ini dapat
mengakibatkan terganggunya metabolisme atau matinya sel (Pelezar dan Chan, 1988).

e. Panghambatan sintesis asam nukleat dan protein


DNA, RNA, dan protein memegang peranan sangat penting di dalam proses
kehidupan normal sel. Hal ini berarti bahwa gangguan apapun yang terjadi pada
pembentukan atau pada fungsi zat-zat tersebut dapat mengakibatkan kerusakan total
pada sel (Pelezar dan Chan, 1988).

2.6. Kromatografi Lapis Tipis


Kromatografi lapis tipis adalah salah satu contoh kromatografi planar. Fase diamnya
(Stationary Phase) berbentuk lapisan tipis yang melekat pada gelas/kaca, plastik, aluminium.
Sedangkan fase geraknya (Mobile Phase) berupa cairan atau campuran cairan, biasanya pelarut
organi dan kadangkadang juga air. Fase diam yang berupa lapisan tipis ini dapat dibuat dengan
membentangkan /meratakan fase diam (adsorbent=penjerap=sorbent) diatas plat/lempeng kaca
plastik ataupun aluminium.
Fase diam
Sifat fase diam yang satu dengan fase diam yang lain berbeda karena strukturnya,
ukurannya, kemurniannya, zat tambahan sebagai pengikat dll. Fasa diam yang digunakan TLC
tidak sama dengan yang digunakan untuk kromatografi kolom, terutama karena ukuran dan zat
yang ditambahkan. Fase diam dijual dengan spesifikasi tertentu, iaitu ukuran (diameter) dalam
mesh atau j^m dan untuk kegunaannya (mis: untuk TLC atau kromatografi kolom). Beberapa
fase diam yang banyak dijual dipasaran:

Silika gel
Silika gel merupakan fase diam yang sering digunakan pada TLC. Dalam perdagangan
dijual dengan variasi ukuran (diameter) 10-40m. Makin kecil diameter akan makin lambat
kecepatan alir fase geraknya dengan demikian mempengaruhi kualitas pemisahan. Luas
permukaan silica gel bervariasi dari 300-1000 m 2/g. Bersifat higroskopis, pada kelembaban
relatif 45-75% dapat mengikat air 7-20%. Macam-macam silka gel yang dijual dipasaran: Silika
gel dengan pengikat. Pada umumnya digunakan pengikat gypsum, (CaSO 4 5-15%). Jenis ini
diberi nama Silika gel G. Ada juga menggunakan pengikat pati (starch) dan dikenal Silika gel
S, penggunaan pati sebagai pengikat mengganggu penggunaan asam sulfat sebagai pereaksi
penentuan bercak.
Silika gel dengan pengikat dan indicator flouresensi. Jenis silica gel ini sama seperti
silika gel diatas dengan tambahan zat berfluoresensi bila diperiksa dibawah lampu UV A,
panjang atau pendek. Sebagai indicator digunakan timahkadmium sulfida atau mangan-timah
silikat. Jenis ini disebut Silika gel GF atau (berflouresensi pada 254 ,nm). Silika gel tanpa
pengikat, dikenal dengan nama Silika gel H atau Silika gel Silika gel GF254 N. Silika gel tanpa
pengikat tetapi dengan indicator flouresensi. Silika gel untuk keperluan pemisahan preparative

Alumina
Banyak digunakan setelah silika gel, alumina termasuk kelompok fase
diam yang beraktifitas tinggi. Alumina yang digunakan TLC bersifat sedikit
basa (pH 9), ada juga yang bersifat netral (pH 7) dan alumina yang bersifat
asam (pH 4). Juga digunakan CaSO4 sebagai pengikat yang dapat
menurunkan bebasaan pada tingkat tertentu. Seperti halnya Silica gel,
alumina dikenal dengan atau tanpa pengikat dan bahan indicator.
Pemberian namapun identik dengan silika gel dengan code G.H.P.F.

Selulosa
Menggunakan selulosa sebagai fase diam maka mekanisme
pemisahannya sama seperti mekanisme pemisahan pada kromatografi
kertas. Perbedaannya hanya serat selulosenya pada TLC/KLT lebih pendek
dari pada serat selulosa kromatografi kertas. Panjang serat bervariasi 2-20
. Serat lebih pendek menyebabkan difusi rendah selama elusi dan
menghasilkan bercak yang sempit (lebih kecil). Selulosa untuk TLC terdapat
dim bentuk selulosa serat asli (contohnya MN 300) dan selulosa mikrokristal
(contohnya Avicel). Fase diam selulosa biasanya digunakan senyawa yang
bersifat polar.

Fase gerak
Yang digunakan sebagai fase gerak biasanya adalah pelarut organik. Dapat digunakan
satu macam pelarut organic saja ataupun campuran. Bilamana fase gerak merupakan campuran
pelarut organik dengan air maka mekanisme pemisahan adalah partisi. Pemilihan pelarut
organic ini sangat penting karena akan menentukan keberhasilan pemisahan. Pendekatan
polaritas adalah yang paling sesuai untuk pemilihan pelarut. Senyawa polar akan lebih mudah
terelusi oleh fase gerak yang bersifat polar dari pada fase gerak yang non polar. Sebaliknya,
senyawa non polar lebih mudah terelusi oleh fase gerak non polar dari pada fase gerak yang
polar.

Gambar 4. Plat Kromatografi Lapis Tipis


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Alat dan bahan
Alat
Alat penelitian yang digunakan pada penelitian ini meliputi seperangkat alat
gelas, neraca, blender, pisau, kain kasa, kertas saring Whatman No. 1, penguap putar
vakum (rotary vacuum evaporator), vortex, autoklaf, panci, kompor, aluminium foil,
cling wrap, cawan porselin, lemari pendingin, batang pengaduk, cork borer berukuran 5
mm, mistar, oven, botol vial, seperangkat alat kromatografi lapis tipis dan kromatografi
kolom, lampu UV, seperangkat alat spektrofotometer ultraviolet-visibel (UV-Vis) merk
Shimadzu/UV-1800, dan inframerah merk Shimadzu/IR Prestige-21.
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun trembesi yang diperoleh di
Jalan Kapten Tantular, Renon, Denpasar, Bali. Jamur uji yang digunakan adalah jamur
patogen Fusarium sp. yang diisolasi dari batang tanaman buah naga. Bahan kimia yang
digunakan dalam penelitian ini adalah etanol (teknis), n-heksana (teknis dan pa),
kloroform (teknis dan pa), akuades, metanol (pa), etilasetat (teknis dan pa), asam asetat
asam asetat 10% (NaOAc) (teknis dan pa), n-butanol (teknis dan pa), alkohol 70%,
kontrol positif (antrasol), silika gel, aluminium klorida (AlCl 3), asam klorida (HCl)
pekat, logam Mg, asam borat (H3BO3), natrium hidroksida (NaOH), kalium bromida
(KBr), serbuk agar, dextrose, dan kentan.

3.2. Cara Kerja


Ekstraksi dan fraksinasi senyawa flavonoid dalam daun trembesi
Serbuk kering daun trembesi sebanyak 1 kg dimaserasi dengan etanol sampai semua
serbuk terendam dalam pelarut selama 24 jam. Selanjutnya filtrat disaring dengan
menggunakan kain kasa dan kertas saring Whatman, sedangkan ampasnya dimaserasi
kembali dengan etanol. Filtrat yang diperoleh dikumpulkan dan diuapkan pada tekanan
rendah dan suhu 40C dengan penguap putar vakum (rotary vacuum evaporator) hingga
diperoleh ekstrak pekat etanol (ekstrak kasar). Ekstrak pekat etanol (ekstrak kasar)
dilarutkan dengan etanol : air (3:7) dan diuapkan untuk menghilangkan etanolnya.
Ekstrak air tersebut dipartisi dengan n-heksana, kloroform, dan etilasetat. Ekstrak n-
heksana, kloroform, dan etilasetat selanjutnya dilakukan uji flavonoid. Ekstrak yang
menunjukkan positif flavonoid dilanjutkan dengan uji aktivitas antijamur.

Analisis fitokimia pada flavonoid


Uji fitokimia pada flavonoid dilakukan dengan test Wilstatter dan NaOH 10%. Test
Wilstatter dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: sampel dalam alkohol ditambah
HCl pekat dan 2-3 potong kecil logam Mg, apabila memberikan warna orange-merah
maka reaksi positif. Test NaOH dilakukan dengan cara sebagai berikut: sampel dalam
alkohol ditambah dengan 2 - 4 NaOH 10%, apabila memberikan warna kuning maka
reaksi positif, sesuai dengan yang telah dilakukan Setiawan (2008).
Pengujian Aktivitas Antijamur
Uji aktivitas antijamur ekstrak yang positif mengandung flavonoid dari daun trembesi
dan isolat hasil pemisahan terhadap jamur patogen utama pada buah naga dilakukan
dengan menggunakan metode sumur difusi. Cawan petri disiapkan masing-masing dua
buah, dalam satu cawan petri diisi dua lubang sumur uji. Cawan petri yang telah berisi 10
mL media PDA dan 200 L suspensi jamur didiamkan hingga memadat. Setelah padat,
dibuat sumur difusi sebanyak 2 buah dengan diameter 5 mm pada setiap cawan petri
menggunakan cork borer, sebanyak 20 L ekstrak yang positif mengandung flavonoid
dari daun trembesi, kontrol positif (antrasol), kontrol negatif (etilasetat), dan isolat hasil
pemurnian KLTP yang positif mengandung flavonoid dimasukkan ke dalam setiap sumur
difusi dengan konsentrasi 10%. Ardiansyah (2005) menyatakan bahwa apabila zona
hambat 20 mm maka daya hambatnya sangat kuat; 10-20 mm maka daya hambatnya
kuat; 5-10 mm maka daya hambatnya sedang; dan <5 mm maka daya hambatnya lemah.

Pemisahan Senyawa Flavonoid


Pemisahan diawali dengan KLT analitik bertujuan untuk menentukan fase gerak terbaik
yang akan digunakan pada kromatografi lapis tipis preparatif. Fase gerak yang
menghasilkan noda terbanyak dan terpisah dengan baik, merupakan fase gerak yang
terbaik yang digunakan pada pemisahan dengan KLT preparatif. Fraksi yang positif
mengandung flavonoid dilakukan pemisahan dengan menggunakan KLT preparatif.
Noda yang terbentuk dari hasil pemisahan dengan KLTP dikerok dan dilakukan uji
flavonoid. Isolat yang positif mengandung flavonoid selanjutnya dilakukan uji
kemurnian. Uji kemurnian dilakukan dengan menggunakan campuran pelarut yang
berbeda. Apabila didapatkan satu noda, maka dapat dikatakan bahwa isolat yang
diperoleh relatif murni secara KLT. Isolat yang relatif murni selanjutnya dilakukan
identifikasi dengan spektrofotometer UV-Vis dan FTIR.

Identifikasi Senyawa Flavonoid


Identifikasi dilakukan dengan spektrofotometer UV-vis dan FTIR. Pengukuran spektrum
UV-vis dilakukan pada panjang gelombang 250-500 nm. Masing-masing 2 mL isolat
hasil pemurnian KLT preparatif diukur panjang gelombangnya. Identifikasi dilanjutkan
dengan penambahan pereaksi geser NaOH 2M, AlCl 3 5%, AlCl3 5%, +HCl, NaOAc,
NaOAc + H3BO3, sesuai dengan yang telah dilakukan Dewi (2013). Isolat yang positif
mengandung senyawa flavonoid juga diidentifikasi dengan spektrofotometer FTIR. KBr
ditambah dengan isolat yang diduga mengandung senyawa flavonoid, kemudian
dianalisis dengan spektrofotometer FTIR pada rentang bilangan gelombang 4000-400
cm-1.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ekstraksi dan Fraksinasi Senyawa Flavonoid dalam Daun Trembesi
Serbuk kering daun trembesi yang dimaserasi menghasilkan 36,80 g ekstrak kental etanol
yang berwarna hijau pekat. Ekstrak n- heksana, kloroform dan etilasetat yang diperoleh dari proses
partisi selanjutnya dilakukan uji flavonoid.

Uji Fitokimia
Hasil uji flavonoid dari ekstrak n-heksana, kloroform, dan etilasetat dapat dilihat pada Tabel 1.
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak etilasetat yang paling positif mengandung flavonoid
karena saat penambahan pereaksi warna menunjukkan adanya perubahan warna yang khas untuk
senyawa flavonoid, maka ekstrak etilasetat dilanjutkan uji aktivitas antijamur Fusarium sp.

Uji Aktivitas Antijamur Fusarium sp. Pada Ekstrak Etilasetat


Hasil uji aktivitas antijamur Fusarium sp. pada ekstrak etilasetat dengan konsentrasi 10%
menunjukkan zona hambat secara berturut-turut sebesar 8 mm; 10 mm; 5 mm; 4 mm, dengan rata-rata
zona hambat sebesar 6,75 mm. Zona hambat sebesar 5-10 mm tergolong sedang (Ardiansyah, 2005),
sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas ekstrak etilasetat memiliki aktivitas yang tergolong sedang
untuk menghambat pertumbuhan jamur Fusarium sp. Pemisahan dilanjutkan pada ekstrak etilasetat
daun trembesi dengan menggunakan kromatografi lapis tipis dan kromatografi lapis tipis preparatif.

Pemisahan Senyawa Flavonoid


Fase diam yang digunakan pada pemisahan dengan KLT analitik adalah silika Gel GF 254. Fase
gerak yang digunakan adalah etilasetat: kloroform: asam asetat 10% (7:2:1) dan menghasilkan tujuh
fraksi yaitu Fraksi B1, B2, B3, B4, B5, B6, dan fraksi B7. Hasil uji flavonoid didapatkan bahwa fraksi B 4,
B5, dan B6 yang menunjukkan perubahahan warna yang jelas setelah penambahan pereaksi flavonoid.
Fraksi B4, B5, dan B6 dilanjutkan untuk uji kemurnian dengan kromatografi lapis tipis dengan
menggunakan berbagai macam campuran pelarut. Hasil uji kemurnian menunjukkan kromatogram
menghasilkan noda tunggal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa isolat B 4, B5, dan B6 dikatakan relatif
murni secara KLT dan isolat tersebut selanjutnya dilakukan uji aktivitas antijamur.

Uji Aktivitas Antijamur Isolat B4, B5, dan B6


Uji aktvitas terhadap ketiga isolat yang positif mengandung senyawa flavonoid tidak memiliki
aktivitas dalam menghambat pertumbuhan jamur Fusarium sp. dalam konsentrasi 10%, sehingga
perlu dilakukan uji aktivitas antijamur Fusarium sp. dengan konsentrasi isolat lebih dari 10%.

Identifikasi Isolat B4, B5, dan B6


Identifikasi dengan spektrofotometer inframerah (Gambar 5) menunjukkan serapan yang
melebar dan intensitasnya kuat pada isolat B 4 yaitu daerah bilangan gelombang 3369,64 cm-1, isolat B5
pada bilangan gelombang 3369,64 cm-1, dan isolat B6 pada daerah bilangan gelombang 3361,93 cm-1
yang menunjukkan adanya gugus OH terikat pada gugus alifatik dan aromatik yang disebabkan
adanya vibrasi ikatan hidrogen intramolekul. Dugaan ini diperkuat dengan adanya serapan tajam dan
intensitasnya lemah pada daerah bilangan gelombang 1460,11 cm -1 untuk isolat B4, pada daerah
bilangan gelombang 1462,04 cm-1 untuk isolat B5, dan pada daerah bilangan gelombang 1423,47 cm -1
untuk isolat B6 yang menunjukkan adanya gugus C-OH.
Gambar 5. Spektrum inframerah hasil identifikasi (a) isolat B 4 (b) isolat B5, (c) isolat B6

Hasil spektrum kemungkinan juga terdapat CH alifatik yang muncul pada bilangan
gelombang 2962,66 cm-1 untuk isolat B4, daerah bilangan gelombang 2960,73 cm-1 untuk isolat B5,
dan daerah bilangan gelombang 2972,31 cm-1 untuk isolat B6 dengan bentuk pita serapan tajam dan
intensitasnya lemah. Serapan yang tajam juga terdapat pada daerah bilangan gelombang 1647,2 cm -1
untuk isolat B4, daerah bilangan gelombang 1645,28 cm-1 untuk isolat B5, dan daerah bilangan
gelombang 1635,64 cm-1 untuk isolat B6 dengan intensitas lemah yang menunjukkan bahwa terdapat
gugus C=O keton. Adanya gugus C=O merupakan ciri suatu senyawa flavonoid. Adanya serapan yang
tajam dan intensitas lemah untuk isolat B4, B5 dan B6 pada bilangan gelombang 1516,05 cm-1 yang
menunjukkan serapan C=C aromatik. Pita serapan pada bilangan gelombang 1039,64 cm -1 dan
1022,27 cm-1 untuk isolat B4, daerah bilangan gelombang 1261,45 cm-1 dan 1095,57 cm-1 untuk isolat
B5 dan daerah bilangan gelombang 1263,37 cm -1 dan 1097,50 cm-1 untuk isolat B6 dengan bentuk pita
yang tajam dan intensitasnya kuat menunjukkan adanya gugus C-O-C eter. Bentuk pita yang tajam
dan intensitasnya kuat pada bilangan gelombang 802,39 cm -1 untuk isolat B4 dan B5, pada daerah
bilangan gelombang 675,09 cm-1 menunjukkan adanya tekukan ke luar bidang ikatan CH aromatik.
Serapan pada daerah bilangan gelombang 2380,87 cm -1 diduga masih adanya gugus nitril. Hasil
analisis spektrum inframerah, isolat B 4, B5, dan B6 diduga mengandung gugus-gugus fungsi yang
sama antara lain OH, C-OH, CH alifatik, C=O keton, dan C=C aromatik, C O-C eter, dan CH
aromatik.
Identifikasi dilanjutkan dengan spektrofotometer UV-Vis, yang menunjukkan hasil bahwa
isolat B4 memberikan dua pita serapan yaitu pada daerah panjang gelombang 336,00 nm (pita I) dan
daerah panjang gelombang 268,40 nm (pita II). Serapan pada panjang gelombang 330-350 nm pada
pita I, serapan pada panjang gelombang 250-280 nm pada pita II dan bentuk spektrum dari isolat B 4
tersebut diduga menunjukkan rentang serapan senyawa flavonoid golongan flavonol. Isolat B 5
memberikan dua pita serapan yaitu pada daerah panjang gelombang 269,20 nm (pita II) dan daerah
panjang gelombang 325,40 nm (pita I). Serapan pada panjang gelombang 310-350 nm pada pita I,
serapan 250-280 nm pada pita II dan bentuk spektrum dari isolat B5 tersebut diduga menunjukkan
rentang serapan senyawa flavonoid golongan flavon. Isolat B 6 memberikan dua pita serapan yaitu
pada daerah panjang gelombang 475,40 nm (pita I) dan daerah panjang gelombang 282,40 nm (pita
II). Serapan pada panjang gelombang dan bentuk spektrum dari isolat B 6 tersebut diduga
menunjukkan rentang serapan senyawa flavonoid golongan antosianin. Rentang serapan 300-550 nm
yang terjadi pada pita I diperkirakan transisi n * seperti auksokrom O- H dan serapan 210-285 nm
yang terjadi pada pita II adalah transisi * berupa kromofor C=O.

Kedudukan gugus hidroksi pada inti flavonoid ditentukan dengan penambahan pereaksi geser.
Serapan pita II berpengaruh pada hidroksilasi cincin A, sedangkan serapan pita I mempengaruhi
hidroksilasi pada cincin B dan C. Hidroksilasi dipengaruhi oleh pergeseran batokromik sedangkan
metilasi dan glikosilasi akan menyebabkan pergeseran pita ke panjang gelombang yang lebih rendah
(hipsokromik).

Berdasarkan hasil uji fitokimia serta karakterisasi isolat dengan spektrofotometer inframerah
dan UV-Vis dapat disimpulkan suatu dugaan bahwa isolat B 4 diduga mengandung senyawa 3,7,8,4,5
pentahidroksi flavonol. Isolat B5 diduga mengandung senyawa 3,5,4 trihidroksi flavon, sedangkan
isolat B6 diduga mengandung senyawa 3,5,7,8,3,4 heksahidroksi antosianin.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
a. Ekstrak etilasetat positif mengandung senyawa flavonoid dan memiliki aktivitas antijamur
Fusarium sp. dalam kategori sedang pada konsentrasi 10%.
b. Senyawa flavonoid yang terkandung dalam ekstrak etilasetat daun trembesi tidak
memiliki aktivitas antijamur Fusarium sp. pada konsentrasi 10%.
c. Ekstrak etilasetat daun trembesi mengandung tiga jenis senyawa flavonoid yaitu, isolat B 4
diduga mengandung senyawa 3,7,8,4,5 pentahidroksi flavonol. Isolat B5 diduga mengandung
senyawa 3,5,4 trihidroksi flavon, sedangkan isolat B6 diduga mengandung senyawa
3,5,7,8,3,4 heksahidroksi antosianin.

5.2. Saran
a. Perlu dilakukan penelitian uji aktivitas antijamur Fusarium sp. Dengan konsentrasi lebih dari
10%.
b. Perlu dilakukan penelitian dan identifikasi lebih lanjut menggunakan teknik spektroskopi
lainnya seperti NMR untuk memastikan struktur senyawa flavonoid yang terdapat pada daun
trembesi dari ekstrak etilasetat.
DAFTAR PUSTAKA
Agustining, Dhita. 2012. Daya Hambat Saccharomyces Cerevisiae Terhadap Pertumbuhan Jamur
Fusarium Oxysporum http://repository.unej.ac.id/, diakses 27 Maret 2016
Cowan, 1999, Plant Product as Antimicrobial Agents, Clinical Microbiology Reviews, October, p.
564-582, Vol. 12, No. 4
Direktorat Jenderal Holtikultura. 2011. Sentra Produksi Buah Naga. Jakarta
Jatnika, A., 2010, Menguak Manfaat Buah Naga, Widyaiswara BBPP Lembang, Available from:
http://www2.bbpplembang.info/index.php?
option=com_content&view=article&id=529:menguak-manfaat-buah-
naga&catid=109&Itemid=304, Diakses 26 Maret 2016
Jaya, I K. D., 2009. Studi pendahuluan tentang praktek budidaya dan potensi pengembangan
tanaman buah naga (Hylocereus spp.) di Kabupaten Lombok Utara. Seminar Nasional
Kebijakan dan Penelitian di Bidang Pertanian untuk Pencapaian Kebutuhan Pangan dan
Agroindustri. Fakultas Pertanian UNRAM, 14 Maret 2009. 11 p.
Jork, H., Funk, W. and Fisher, W., 1990, Thin-Layer Cromathography: Reagen And Detection,
Verlagsgese llschaft mbH, Weinhein.
Nuroniah, H. S. and Kokasih, A. S., 2010, Mengenal Jenis Trembesi (Samanea saman (Jacquin)
Merrill) sebagai Pohon Peneduh, http://forplan.or.id/images/File/Mitra/mitra
%20Vol5No12010.pdf, diakses 25 Maret 2016
Octaviani, Riska Dwi. 2012. Hama dan Penyakit Tanaman Buah Naga (Hylocereus
Sp.) Serta Budidayanya Di Yogyakarta. IPB.

Вам также может понравиться

  • Pembahasan Alb
    Pembahasan Alb
    Документ4 страницы
    Pembahasan Alb
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • RANIDITIN Kel10s
    RANIDITIN Kel10s
    Документ11 страниц
    RANIDITIN Kel10s
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • Pembahasan Yogurt
    Pembahasan Yogurt
    Документ13 страниц
    Pembahasan Yogurt
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • Laporan Praktikum Pangan
    Laporan Praktikum Pangan
    Документ7 страниц
    Laporan Praktikum Pangan
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • Kimia Pangan
    Kimia Pangan
    Документ24 страницы
    Kimia Pangan
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • Mekanisme Enzim
    Mekanisme Enzim
    Документ14 страниц
    Mekanisme Enzim
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • BORAKS
    BORAKS
    Документ5 страниц
    BORAKS
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • MAKALAH
    MAKALAH
    Документ83 страницы
    MAKALAH
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • Laporan Praktikum Enzim Diastase
    Laporan Praktikum Enzim Diastase
    Документ17 страниц
    Laporan Praktikum Enzim Diastase
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • Kromatografi
    Kromatografi
    Документ40 страниц
    Kromatografi
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • MAKALAH
    MAKALAH
    Документ83 страницы
    MAKALAH
    lucy7696
    Оценок пока нет
  • Kimia Pangan
    Kimia Pangan
    Документ15 страниц
    Kimia Pangan
    lucy7696
    Оценок пока нет