Вы находитесь на странице: 1из 14

Home Ma'rifatullah Bagian II Mengapa Kita Harus Taat Kepada Allah?

Mengapa Kita Harus Taat Kepada Allah?


Arti atau pengertian taat secara harfiah adalah mau menerima, mau mengikuti dan mau melaksanakan.
Pengertian taat secara istilah berarti menerima dan melaksanakan semua yang diperintahkan Allah SWT.
dan meninggalkan semua yang dilarang-Nya. Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling
sempurna. Manusia diberi akal budi untukberpikir dan menggali ilmu pengetahuan, disamping
diberi hawa nafsu agar memiliki keinginan untuk maju dan berkembang.
Allah SWT. akan menurunkan azab-Nya kepada kita umat manusia, jika kita para manusia hamba Allah
tidak mau taat kepada-Nya. Allah akan memberikan siksa yang amat pedih bagi mereka yang berbuat
dosa, maksiat, dan mungkar. Oleh sebab itu, betapa pentingnya sikap perilaku taat kepada Allah SWT.
Segala perintahnya harus kita laksanakan, dan segala larangannya harus ditinggalkan, agar kita selamat
dan terhindar dari malapetaka dan bencana, baik di dunia maupun di akhirat.

Pentingnya sikap dan perilaku taqwa atau taat kepada Allah SWT., antara lain
disebabkan agar kita:

Terhindar dari murka Allah SWT. yang mengakibatkan turunnya azab dan malapetaka;

Tidak lupa akan nikmat Allah SWT. yang harus disyukuri, sehingga nikmat tersebut
semakin bertambah dan tidak mendatangkan bencana;
Tercapai hidup bahagia di dunia dan di akhirat, sebagaimana yang diharapkan oleh
semua orang

Apa saja bentuk dan contoh sikap serta perilaku taat kepada Allah?

Mengapa kita harus taat kepada Allah SWT.? Jawabannya, karena kita adalah makhluk ciptaan-Nya yang
paling sempurna. Manusia selalu menginginkan hidupnya bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun pemilik kebahagiaan yang sejati ialah Allah SWT. Dia akan memberikan kebahagiaan kepada
makhluk yang dikehendaki-Nya.

Oleh sebab itu, hendaknya kita memiliki sikap taat kepada Allah dalam kehidupan sehari-hari. Memiliki
sikap taat kepada Allah SWT., selain mendapatberbagai keuntungan dan manfaat sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, juga akan mendatangkan kebaikan dan kebahagiaan bagi pelakunya.

Pembagian taat terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu taat kepada Allah dan taat kepada sesama manusia.

Taat kepada Allah, yaitu patuh melaksanakan segala perintah Allah dan menghindari larangan-Nya.
Contohnya; rajin dan patuh melaksanakan shalat lima waktu, rajin berzakat, rajin belajar dan
menuntut ilmu, tidak melakukan perbuatan maksiat seperti berjudi, minuman keras yang
haram, dosa berzina, seks bebas, narkoba, dan sebagainya.

Taat kepada sesama manusia, yaitu melaksanakan perintah atau kehendak manusia yang tidak
bertentangan dengan hukum Allah dan Rasul-Nya. Contohnya; melaksanakan perintah orang
tua, guru, suami, dan sebagainya, sepanjang perintah mereka tidak bertentangan dengan perintah Allah
dan larangan Allah SWT.

Nilai positif dari perilaku Taat

Selain memiliki nilai-nilai penting dan mendatangkan kebaikan bagi pelaku sikap taat, perilaku taat juga
mengandung nilai-nilai luhur dan mulia. Di antara nilai-nilai luhur dan mulia dari taat ialah sebagai berikut :

Membimbing pelakunya senantiasa memegang teguh keimanan kepada Allah SWT.


dan Rasul-Nya, yaitu dengan selalu menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangannya.
Menjaga segala ucapan dan perbuatan pelakunya agar sesuai dengan apa yang
diperintahkan Allah SWT. dan Rasul-Nya.
Menumbuhkan sikap mawas diri dan berhati-hati, sehingga segala ucapan dan
perbuatannya terpelihara dari perilaku keji dan mungkar.

Cara membiasakan diri berperilaku taat kepada Allah

Membiasakan diri bersikap taat kepada Allah harus dimulai sejak sekarang, saat ini, hingga masa yang
akan datang. Ketika kita masih kecil, masih banyak kesempatan untuk berlatih membiasakan diri taat
kepada Allah SWT., dengan menjalankan segala perintah dan menghindari segala larangan-Nya.

Jika seseorang dari masa kecil telah dapat membiasakan diri bersikap taat kepada Allah, niscaya kelak
setelah dewasa akan menjadi orang yang beriman dan bertakwa. Sehingga hidupnya kelak
akan mendapatkebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Untuk dapat membiasakan diri bersikap perilaku taat kepada Allah SWT., hendaknya mari kita perhatikan
beberapa hal sebagai berikut :

Biasakan bergaul dengan orang-orang yang memiliki sifat taat kepada Allah SWT.
Sebaliknya, hindari pergaulan dengan mereka yang banyak durhaka kepada Allah.
Biasakan menghindari sikap perilaku maksiat, keji, dan mungkar. Sebab perbuatan
tersebut merupakan perbuatan dosa yang dimurkai oleh Allah SWT.
Melaksanakan segala perintah Allah, dan jangan sekali-kali melanggar larangan-Nya.

Berdoa kepada Allah agar kita diberi kekuatan untuk selalu taat kepada- Nya.

Memulai membiasakan diri taat kepada Allah SWT. sekarang juga.

Yang terakhir adalah ada janji Allah yang paling tinggi yaitu orang yang mendapat kemuliaan di dunia
dan di akhirat adalah orang yang paling bertaqwa atau taat kepada Allah SWT.

7 Tanda Takut (Khauf) Kepada Allah

Salah satu sikap yang harus kita miliki sebagai muslim adalah rasa takut kepada Allah Swt. Takut
kepada Allah disini adalah adalah takut kepada murka, siksa dan azab-Nya. Ada banyak ayat
yang memerintahkan kita untuk memiliki rasa takut kepada Allah, antara lain firman Allah Swt :
yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-Nya dan
mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah
sebagai Pembuat Perhitungan(QS. 33:39). Ini berarti takut kepada selain Allah tidaklah bisa
dibenarkan. Dengan memiliki rasa takut kepada Allah, kita akan memperoleh keberuntungan
yang besar, diantara dalilnya adalah firman Allah Swt: Dan barang siapa yang taat kepada Allah
dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-
orang yang mendapat kemenangan> (QS. 24:52). Adanya rasa takut kepada Allah Swt,
membuat kita tidak berani melanggar segala ketentuan-Nya. Yang diperintah kita kerjakan dan
yang dilarang kita tinggalkan. Takut kepada Allah akan membuat seseorang memperbanyak
amal salehnya selama hidup di dunia ini, Allah Swt berfirman : Dan mereka memberikan
makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.
Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan
Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang
bermuka masam penuh kesulitan. (QS. 76:8-10). Menurut Imam Al Ghazali dalam Ihya
Ulumuddin :Khauf adalah suatu perasaan takut yang mencegah anggota badan dari perbuatan
maksiat dan diikat dengan ketaatan. Orang mukmin adalah orang yang takut kepada Allah
beserta seluruh anggota badannya. Menurut Abu Laits as-Samarqandi, seorang ahli fiqh
(fuqaha) dan ahli tafsir (mufasir) yang termasyur, "Tanda-tanda takut kepada Allah itu kelihatan
dalam 7 perkara."

1. Pada lisannya. Yaitu orang yang menghindarkan dirinya dari dusta, ghibah, menyebar fitnah
dan banyak bicara. Sebaliknya ia malah menyibukkan diri dengan memperbanyak zikir,
membaca Al-Qur'an & mencari serta berbagi ilmu.

2. Pada hatinya. Yaitu orang yang membuang rasa permusuhan, kebodohan & kedengkian
terhadap sahabatnya. Lantaran kedengkian dapat menghapuskan kebaikan. Sebagaimana
Rasulullah SAW telah bersabda; "Hasad itu dapat memakan kebaikan sebagaimana api
membakar kayu.'" Ketahuilah bahawa hasad itu penyakit hati yang amat berbahaya. Tidak ada
obat untuk penyakit hati selain dari ilmu & amal.

3. Pada pandangannya. Yaitu orang yang tidak suka memandang pada makanan, minuman,
pakaian dan hal-hal lain yang haram. Tidak pula terpikat pada dunia. Tetapi ia memandangnya
dgn mengambil iktibar. Rasulullah Saw telah bersabda; " Barangsiapa memenuhi matanya
dengan perkara haram, maka Allah akan memenuhinya daripada api pada hari Kiamat."

4. Pada perutnya. Yaitu orang yang perutnya tidak diisi barang yang haram. Itu dosa besar.
Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda; " Ketika sesuap daripada barang haram masuk ke perut
seseorang, maka seluruh Malaikat di langit & di bumi melaknatinya selama sesuai dan seteguk
barang itu berada di dalam perutnya. Jika dia mati dalam keadaan demikian, maka tempatnya di
Neraka."

5. Pada kedua tangannya. Yaitu orang yang tidak menggunakan untuk perkara yang haram.
Tetapi hanya menggunakannya untuk taat kepada Allah Swt. Rasul Saw bersabda;
"Sesungguhnya Allah Swt telah menciptakan bangunan yang di dalamnya terdapat 72 ribu aula.
Setiap aula terdapat 70 ribu pondok. Tidak ada yang boleh masuk ke situ, selain orang yang
ditawarkan barang haram, namun dia menolaknya krn takut kepada Allah."
6. Pada langkah (kakinya). Yaitu orang yang tidak berjalan untuk bermaksiat, tetapi hanya
melangkah untuk taat kepada Allah, mencari keridhaanNya serta untuk bergaul dengan para
ulama, orang-orang saleh.

7. Terlihat pada ketaatannya. Yaitu orang yang menjadikan ketaatannya semata-mata untuk
mencari keridhaan Allah Swt, dan ia takut pada riya dan munafik. Barangsiapa melakukan 7
perkara tersebut, maka dia termasuk dalam katogeri orang-orang yang dikatakan oleh Allah Swt;
"Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam surga (taman-taman) dan (di
dekat) mata air-mata air (yang mengalir). "(Q.S. Al-Hijr:45)

Semoga kita dan anak2 keturunan kita menjadi orang-orang yang bertakwa dan senantiasa
dijaga oleh Allah Swt dan dijauhkan dari apa2 yang diharamkan Allah Swt. Aamiin

Ukhti, Hindarkan Diri Anda dari Murka Allah

Al-Ustadz Abu Bakar Abdurrahman





Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shalallahu alaihi wassalam,
beliau bersabda, Apabila seorang pria mengajak istrinya ke tempat tidurnya
lalu sang istri tidak mau mendatanginya, malaikat melaknat sang istri sampai
datang waktu subuh. (HR. al-Bukhari no. 5193)
Makna Hadits
Yang dimaksud dengan ( tempat tidur) adalah jima. Apabila suami
mengajak istrinya bersenggama, tetapi istri menolak tanpa alasan syari dan
sang suami tidak ridha terhadap penolakan tersebut, malaikat melaknat sang
istri sampai subuh.
Kedudukan Suami di Sisi Istri
Ketahuilah, Saudariku, Allah subhanahu wa taala menjadikan pria sebagai
pemimpin kaum wanita. Allah berfirman,







Kaum pria adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka
(pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka . (an-Nisa: 34)
Al-Imam as-Sadi rahimahullah berkata, Kaum pria adalah pemimpin bagi
kaum wanita karena kaum pria mempunyai wewenang untuk mengharuskan
kaum wanita menunaikan hak-hak Allah, menjaga kewajiban-kewajiban yang
telah ditetapkan oleh Allah atas mereka, dan mencegah mereka dari
perbuatan-perbuatan yang haram. Kaum pria juga menjadi pemimpin yang
bertanggung jawab atas nafkah, sandang, dan papan (tempat tinggal) untuk
istrinya. (lihatTafsir as-Sadi)
Jadi, pantaslah jika Allah mewajibkan seorang istri untuk taat kepada suami
dalam urusan yang tidak melanggar hukum syari. Tidak mungkin tercapai
kebahagiaan apabila pemimpin tidak ditaati, baik dalam ruang lingkup yang
kecil maupun yang besar. Apabila suami tidak ditaati, tidak dihormati, dan
tidak berwibawa di hadapan istri, yang akan terjadi adalah kehancuran dan
kenistaan.

Karena tingginya kedudukan suami di hadapan istrinya, sampai-sampai


Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda,









Seandainya aku boleh memerintah seseorang untuk sujud kepada orang
lain, sungguh, akan kuperintah seorang wanitauntuk sujud kepada
suaminya. (HR. at-Tirmidzi no. 1159, dinyatakan hasan oleh al-
Albani rahimahullah)
Berdasarkan penjelasan di atas, seorang wanita wajib mengetahui kedudukan
suami dan memosisikannya sesuai dengan ketetapan syariat.
Hal-hal yang Tidak Boleh Dilakukan Istri ketika Suami Ada
Bersamanya
Ada beberapa hal yang tidak boleh dilakukan istri ketika suami ada
bersamanya, di antaranya:

1. Puasa sunnah, kecuali atas izin suami. Dalam hal ini Rasulullah telah
bersabda,




Janganlah seorang wanita berpuasa dalam keadaan suaminya ada
bersamanya, kecuali dengan izin suami. (HR. al-Bukhari no. 5192)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, Hadits ini menunjukkan bahwa
menunaikan hak suami lebih ditekankan atas istri daripada melakukan
amalan kebaikan yang hukumnya sunnah. Sebab, hak suami wajib dipenuhi,
dan pelaksanaan kewajiban diutamakan daripada pelaksanaan amalan
sunnah. (Fathul Bari pada syarah hadits no. 5195)
Bagaimana apabila wanita tersebut tetap berpuasa sunnah tanpa izin suami?
Terjadi perbedaan pendapat di antara ulama; ada yang berpendapat haram,
dan ada yang berpendapat makruh. Yang benar adalah hukumnya haram
sebagaimana yang dipilih (dirajihkan/dikuatkan) oleh al-Imam an-Nawawi t.
Al-Imam an-Nawawi menjelaskan, Sebab diharamkannya puasa sunnah bagi
wanita (ketika suaminya ada) adalah bahwa suami mempunyai hak atas istri
untuk bersenang-senang (berjima) dengannya setiap saat. Hak suami ini
wajib segera dipenuhi oleh istri, tidak boleh ditunda hanya karena amalan
sunnah, bahkan karena amalan wajib yang tidak harus segera dilakukan.
(Fathul Bari pada syarah hadits no. 1595)
Ukhti, lihatlah betapa tingginya kedudukan suami Anda di sisi Anda!
Dipahami dari hadits ini bolehnya istri berpuasa sunnah tanpa izin suami
ketika suaminya bepergian (safar). Namun, apabila di tengah-tengah
puasanya sang suami datang, istri wajib meminta izin untuk meneruskan
puasanya. Apabila suami tidak mengizinkan, istri wajib menaatinya. Suami
pun berhak memaksa istri untuk membatalkan puasa sunnahnya apabila dia
menginginkannya. (Dinukil dari ucapan al-Imam an-Nawawi dari Fathul Bari)
Bolehkah seorang istri melakukan puasa sunnah tanpa izin suami, padahal
suami ada bersamanya, tetapi sedang sakit parah dan tidak mampu
melakukan jima? Al-Imam an-Nawawi membolehkan hal itu. Sebab, suami
yang sedang sakit parah sehingga tidak mampu melakukan jima ini semakna
dengan suami yang sedang bepergian, yaitu sama-sama tidak ada hal yang
mengharuskan dibatalkannya puasa tersebut, yaitu jima. (Lihat Fathul
Bari pada syarah hadits no. 5195)
Ketahuilah, Ukhti, Rasulullah telah memberikan solusi terbaik bagi seorang
pria apabila dia secara tidak sengaja melihat wanita yang menakjubkannya.
Solusi tersebut adalah bersegera mendatangi istrinya. Hal itu bertujuan
agar suami tidak terjatuh dalam zina atau dalam kemaksiatan yang akan
mengantarkannya kepada zina.
Simaklah hadits shahih berikut.







Apabila salah seorang di antara kalian dibuat kagum oleh seorang wanita
sehingga hatinya terkesan, hendaklah dia mendatangi istrinya
dan menjimainya, karena hal itu akan menepis apa yang ada di dalam
hatinya. (HR. Muslim no. 1403)
Al-Imam an-Nawawi berkata menjelaskan hadits ini, Ketika seorang pria
melihat seorang wanita lalu tergerak syahwatnya, disunnahkan baginya
mendatangi istrinya atau budaknyajika dia memiliki budak wanita, lalu
hendaklah dia menjimainya agar tertepis syahwatnya, tenang hatinya, dan
kuat hatinya menghadapi apa yang sedang dia hadapi.
Oleh karena itu, penuhilah keinginan suami kapan pun dia mengajak Anda
untuk itu. Sebab, di situ ada pahala yang sangat besar bagi diri Anda, dan
pada hakikatnya Anda sedang memenuhi perintah Rabb Anda.

2. Mempersilakan tamu masuk ke rumah suami, kecuali dengan izin


suami. Hal ini berdasarkan hadits,



Janganlah seorang istri mengizinkan orang lain masuk ke rumah suami
kecuali dengan izin suami. (HR. al-Bukhari no. 5195)
Sebuah fenomena pahit kita dapati dalam kehidupan sehari-hari di tengah-
tengah kaum muslimin, yakni tidak sedikit istri yang mengizinkan dan
mempersilakan siapa pun yang hendak masuk ke rumah suami. Sejatinya,
syariat secara tegas melarang hal itu. Jika kita amati, di antara sebab
ketidakharmonisan dan kehancuran rumah tangga seseorang adalah
ketidaktahuan istri akan hak-hak suami.

Oleh karena itu, istri wajib mempelajari ilmu agama yang terkait dengan
urusan rumah tangganya dan kewajiban-kewajibannya terhadap suami.

Tidak Mengapa Apabila Suami Merelakan Haknya


Apabila suami memaafkan istrinya dan merelakan hak dirinya, istri tidak akan
mendapatkan laknat dari malaikat tatkala dia menolak ajakan suami untuk
bersenggama. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dan
berdasarkan riwayat lain dalam Shahih al-Bukhari, yaitu

(kemudian sang suami bermalam dalam keadaan marah terhadap
istrinya [yang menolak ajakan suami]).
Ajakan Bersenggama pada Siang Hari
Apabila suami mengajak istri bersenggama pada siang hari lalu istri
menolaknya tanpa alasan yang syari sehingga suami marah, apakah sang
istri juga terkena laknat? Ataukah laknat itu terjadi jika penolakan ini hanya
pada malam hari?

Telah dijelaskan oleh Ibnu Hajar bahwa laknat akan menimpa istri yang
menolak ajakan suaminya, kapan pun waktunya. Adapun disebutkannya
malam hari/sampai subuh dalam riwayat ini ialah karena biasanya manusia
melakukan jimapada malam hari. Hal ini tidak berarti bahwa istri boleh
menolak ajakan suami pada siang hari. Sebab, telah datang hadits yang
menegaskan hal itu, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu alaihi
wassalam,

















Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidaklah
seorang suami mengajak istrinya (berjima) lalu sang istri menolak, kecuali
seluruh yang ada di langit marah kepada istri sampai sang suami
ridha. (HR. Muslim no. 1436)
Ukhti, lihatlah! Yang marah kepada istri bukan malaikat saja, melainkan
semua yang ada di langit. Tidaklah Anda takut?
Ibnu Hajar membawakan riwayat-riwayat lain yang menunjukkan bahwa
haramnya menolak ajakan suami ini bersifat umum, kapan pun waktunya.
(Lihat Fathul Bari pada syarah hadits no. 5194)
Alasan yang Dibolehkan untuk Menolak Ajakan Suami
Agama Islam adalah agama yang adil, tidak mungkin akan merugikan salah
satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Oleh karena itu, agama
Islam memberikan uzur (maaf) kepada istri yang menolak ajakan suami
karena alasan yang dibenarkan oleh syariat. Di antara alasan yang
dibenarkan adalah, pertama, mengqadha puasa (membayar utang puasa
Ramadhan). Hal ini sangat jelas karena puasa Ramadhan adalah wajib dan
mengqadhanya juga wajib. Kedua, istri sedang sakit, sedangkan jima akan
menyakitkannya atau akan menambah parah penyakitnya. Ketiga, istri dalam
keadaan yang buruk sekali, yang tidak memungkinkannya untuk dijimai oleh
suaminya. Dalam keadaan seperti ini hendaklah sang istri menjelaskan
alasannya dengan cara yang baik dan betul-betul dipahami oleh suami agar
suami tidak berprasangka buruk terhadap dirinya.
Hendaklah Suami Memenuhi Ajakan Istri
Suami mempunyai kebutuhan biologis, istri pun demikian. Suami bisa
terjerumus ke dalam perzinaan apabila syahwatnya tidak disalurkan dengan
cara yang disyariatkan, istri pun demikian. Maka dari itu, suami wajib
memenuhi hak istri dan melindunginya dari perbuatan yang haram.

Ancaman dan Laknat Hanya Tertuju kepada Istri?


Mengapa dalam hadits disebutkan bahwa ancaman dan laknat hanya tertuju
kepada istri? Karena biasanya, suamilah yang mengajak dan istri yang diajak.
Oleh karena itu, ancaman tersebut tertuju kepada pihak yang tidak mau
memenuhi ajakan, yaitu istri. Sedikit istri yang mengajak suami, sedikit pula
suami yang menolak ajakan istri. Selain itu, pria kurang bersabar dalam
menahan syahwatnya daripada wanita.

Maka dari itu, jangan ada prasangka yang tidak baik terhadap syariat Islam
yang seakan-akan memojokkan wanita. Ketahuilah, Ukhti, perintah untuk
memenuhi ajakan suami mengandung faedah yang kembali kepada Anda.
Setiap kali istri memenuhi ajakan suami, akan tumbuh kecintaan yang besar
kepada istri sehingga tercapailah keharmonisan rumah tangga. Sebaliknya,
jika istri menolak dan selalu berusaha menolak, suami akan berpikir kepada
wanita lain, dan hal ini membahayakan dirinya, istri, dan keluarganya.
Relakah Anda apabila suami Anda berselingkuh? Relakah diri Anda apabila
suami Anda terjerumus dalam kenistaan? Relakah diri Anda apabila suami
Anda dicela oleh banyak orang karena berzina? Naudzubillah, kita berlindung
kepada Allah dari semua itu.
Suami Memaksa Istri
Hadits yang menerangkan ancaman bagi wanita yang menolak ajakan suami
tidak boleh dipahami bahwa suami berhak memaksa istri dengan sewenang-
wenang, padahal istri sedang sakit atau ada alasan lain yang dibenarkan
syariat. Allah telah mengharamkan kezaliman atas siapa pun, sebagaimana
firman-Nya dalam hadits qudsi,

Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan


kezaliman atas diri-Ku, dan Aku jadikan dia haram di antara kalian. Maka dari
itu, janganlah kalian saling menzalimi. (HR. Muslim)
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.

Wallahu alam bish shawab.


Allah SWT Tidak Membebani Seseorang Diluar
Kemampuannya
dakwatuna.com Allah Yang Mahaagung menghendaki agar dakwah dilakukan dengan seluruh
sarana kemanusiaan. Seorang dai wajib mencari berbagai cara yang manusiawi untuk mensukseskan
dakwahnya. Karena itu Rasulullah saw. tidak selalu berkata, Hal ini telah diwahyukan kepadaku.
Tapi beliau lebih sering berkata, Aku punya cara dan ide lain. Bahkan di Perang Uhud sebagian
sahabat berbeda pendapat dengan Nabi dalam hal taktis dan strategi perang, padahal Nabi berada di
tengah-tengah mereka dan wahyu turun kepada beliau.
Firman Allah , bahwa Allah tidak membebani seseorang diluar kemampuannya
(Al-Baqarah: 286) adalah penjelasan yang menguatkan prinsip tersebut. Pembebanan adalah perkara
yang menyulitkan. Karena itu harus berbanding lurus dengan kemampuan. Imam Qurtuby berkata,
Allah menggariskan bahwa Dia tidak akan membebani hambanya sejak ayat ini diturunkan dengan
amalan-amalan hati atau anggota badan, sesuai dengan kemampuan orang tersebut. Dengan
demikian umat Islam terangkat kesulitannya. Artinya, Allah tidak membebani apa-apa yang terlintas
dalam perasaan dan tercetus dalam hati.
Banyak orang memahami ayat ini dengan mengatakan, kemampuan yang dimaksud dalam ayat ini
adalah batasan minimal kemampuan seseorang. Oleh karena itu, kemampuan dapat berubah-ubah
tergantung dengan motivasi. Ada orang yang tidak mampu, ada orang yang mampu. Tentu saja
pendapat ini keliru. Sebab, para sahabat mencontohkan secara nyata kepada kita bahwa mereka
berkomitmen dengan seluruh kapasitas kemampuan mereka.
Jika kita buka lembaran sirah sahabat, kita dapati kebanyakan mereka wafat di luar negeri. Abu Ayub
Al-Anshari misalnya. Beliau wafat di Benteng Konstantinopel. Ummu Haram binti Milhan berakhir
hidupnya di Pulau Qobros, Yunani. Uqbah bin Amir meninggal di Mesir. Bilal dimakamkan di Syria.
Demikianlah mereka mengembara ke segala penjuru dunia untuk berdakwah. Mereka mengerahkan
semua yang berharga dalam hidupnya untuk meninggikan panji Islam. Begitulah semestinya
memahami ayat .
Pada Perang Uhud para sahabat tetap memenuhi seruan Allah untuk mengejar orang-orang musyrik.
Usaid bin Hudhair r.a. berkata, . Ia langsung menyiapkan senjatanya, padahal ia
baru saja mengobati tujuh buah luka yang bersarang di tubuhnya. Bahkan dalam peperangan Hamra
Al-Asad, empat puluh orang sahabat masih tetap keluar ikut berperang meski mereka masih dalam
keadaan terluka. Di antara mereka adalah Thufail bin Numan dengan 13 luka di tubuhnya dan
Kharrasy bin As-Simmah dengan 10 luka di tubuhnya. Semua menunjukan bahwa:
.. .
Kemauan yang kuat akan mengerahkan seluruh kesungguhan, walau menghadapi banyak kesulitan
penderitaan. Sebaliknya, kemauan yang lemah menjadi tak berdaya meskipun sarana dan waktu
tersedia.
Karena itulah Allah swt. menyebutkan sikap mereka dalam Al-Quran:


(Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka
(dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang
bertakwa, ada pahala yang besar. (Ali Imran: 172)
Kemampuan dan Keinginan
Kemampuan untuk berdakwah adalah dorongan kehendak jiwa dan melaksanakannya atas izin Allah.
Bila dorongan itu tidak ada pada diri seseorang, maka ia menjadi tak berdaya. Karena itu Nabi saw.
mengajarkan kita untuk berdoa:

Ya Allah, aku berlindungan kepadaMu dari rasa sesak dada dan gelisah, dan aku berlindung
kepadaMu dari kelemahan dan kemalasan, aku berlindung kepadaMu dari sifat pengecut dan kikir,
dan aku berlindung kepadaMu dari dilingkupi utang dan dominasi manusia.
Rasulullah saw. juga bersabda:


Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah. Segala
sesuatunya lebih baik. Tampakanlah terhadap hal-hal yang bermanfaat bagimu dan minta tolonglah
kepada Allah dan janganlah engkau menjadi tak berdaya. (Muslim)
Sesungguhnya perasaan tak berdaya dan tidak punya kemampuan yang selalu diucapkan berulang
kali oleh para dai hanya akan meredupkan kekuatan Islam dan lambatnya laju kendaraan dakwah.
Bila seorang dai tidak berani membangun dakwahnya tanpa ada perasaan takut, hal itu akan
menghancurkan dakwahnya. Bila seorang dai tidak tahan menghadap kritikan, ia tidak akan pernah
maju. Ia tidak akan sampai pada kemampuan memberikan arahan (taujih) dan perubahan (taghyir).
Batas Kemampuan Kapasitas Dai
Apakah batasan kemampuan seorang dai dalam berdakwah? Jawabnya ada di firman Allah berikut
ini:

Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang
memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah
orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka memperoleh ampunan dan rezki (nikmat) yang
mulia. (Al-Anfal: 74)

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri
mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat
kemenangan. (At-Taubah: 20)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka
pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. (Al-Hujurat: 15)
( 10)
(11)
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat
menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahuinya. (Ash-Shaff: 11)

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah
dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (At-Taubah: 41)
Maksud dari firman Allah swt.: , sama saja apakah kalian dalam keadaaan ringan untuk
pergi berjihad atau dalam keadaan berat. Keadaan ini mengandung beberapa pengertian. Pertama,
ringan, karena bersemangat untuk keluar berjihad; berat, karena merasa sulit untuk berangkat.
Kedua, ringan, karena sedikit keluarga yang ditinggalkan; berat, karena banyaknya keluarga yang
ditinggalkan. Ketiga, ringan, ringan persenjataan yang dibawa; sebaliknya berat, karena beratnya
persenjataan yang dibawa. Keempat, ringan, karena berkendaraan; berat, karena berjalan kaki.
Kelima, ringan, karena masih muda; berat, karena telah uzur usia. Keenam, ringan, karena bobot
badan yang kurus; berat, karena kelebihan bobot berat badan. Ketujuh, ringan, karena sehat dan fit;
berat, karena sakit atau kurang enak badan. Jadi, mencakup seluruh aspek.
Kebanyakan para sahabat dan tabiin memahami ayat itu dengan pengertian yang mutlak. Mujahid
berkata, Sesungguhnya Abu Ayub turut menyaksikan Peperangan Badar bersama Rasulullah saw.,
dan ia belum pernah absen dari peperangan. Ia berkata, Allah telah berfirman: , maka
itu artinya aku dapati diriku dalam keadaan ringan atau berat. Dari Shofwan bin Amr, ia berkata,
Ketika aku menjadi Gubernur Hums (Syria), aku menjumpai seorang bapak tua warga Syria yang
telah turun kedua alisnya. Ia berada di atas kendaraannya bersiap-siap hendak ikut berperang. Lalu
aku berkata kepadanya, Wahai Paman, engkau dimaklumi oleh Allah untuk tidak ikut berperang.
Seraya mengangkat kedua alisnya, bapak tua itu berkata, Hai Nak, Allah telah menyuruh kita keluar
baik dalam keadaan ringan maupun berat. Ketahuilah, sesungguhnya Allah selalu menguji orang
yang dicintainya.'
Diriwayatkan oleh Imam Az-Zuhry, suatu ketika Said bin Al-Musayyib r.a. keluar untuk berperang,
sedangkan salah satu matanya tidak dapat melihat. Lalu ia berkata, Allah meminta kita untuk keluar
berperang, baik terasa ringan atau berat. Jika aku tak berdaya untuk berjihad, maka berarti aku telah
memperbanyak pasukan musuh dan aku hanya menjaga harta bendaku. Juga ketika Al-Miqdad bin
Al-Aswad dikatakan kepadanya pada saat beliau hendak berperang, Engkau dimaklumi. Lalu ia
berkata, Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepada kita surah Al-Baraah: pergilah dalam
keadaan ringan ataupun berat.
Dakwah Adalah Manuver Di Jalan Allah
Manuver di jalan Allah, tidak hanya berperang. Tapi punya pengertian yang luas. Dakwah dengan
segala bentuknya adalah bentuk manuver di jalan Allah. Karena itu dalam surat At-Taubah Allah swt.
menyebutkan:

Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah: 122)
Imam Ar-Razy berkata, Kewajiban berdakwah bagi para sahabat terbagi menjadi dua golongan, satu
golongan keluar untuk berperang, golongan lainnya tetap tinggal bersama Rasulullah saw. Golongan
yang berperang mewakili golongan yang tidak ikut serta. Yang tidak ikut berperang mewakili yang
berperang dalam hal mendalami ilmu pengetahuan. Dengan cara inilah urusan agama dapat
terselesaikan secara sempurna.
Bila kita analisis ada dua keterkaitan yang erat pada ayat tersebut, keterkaitan antara manuver
tafaqquh (dirasah) dan manuver indzar (dakwah). Karena itu, seorang Muslim dituntut untuk
memaksimalkan kesungguhannya dan ditanya tentang beban kemampuan dirinya untuk membela
agama Islam dengan bentuk jihad yang beraneka macam. Diawali dengan dakwah penuh hikmah dan
nasihat yang baik hingga jihad dengan mengorbankan jiwa-raga.
Seorang mukmin sadar betul bahwa setiap kesungguhan yang dikerahkannya dalam ketakwaan
adalah kesungguhan yang disesuaikan dengan kemungkinan-kemungkinan manusiawi dirinya yang
lemah dan tidak akan sampai pada derajat yang sesuai dengan keagungan Allah swt. Karena itu para
mufassirin berpendapat bahwa firman Allah: bertakwalah engkau kepada Allah dengan
sebenar-benarnya takwa (Ali Imran: 102), di-mansukh dengan ayat , bertakwalah
kepada Allah semampu kalian. Hal ini didasari oleh keterangan dalam asbabunnuzul bahwasanya
tatkala ayat pertama turun kaum muslimin merasa keberatan karena sebenar-benarnya takwa berarti
tidak boleh bermaksiat sekejap mata pun, harus selalu bersyukur, tidak boleh kufur, harus selalu
diingat, tidak boleh lupa. Tiada seorang hamba pun mampu melakukannya.
Bila tidak sependapat bahwa ayat tersebut mansukh, maka harus dikatakan wallahu alamada dua
kapasitas ketakwaan: kapasitas yang hanya pantas untuk Allah swt. dan kapasitas ketakwaan yang
sesuai dengan kemampuan seorang hamba. Kapasitas yang sesuai dengan kemampuan seseorang
adalah kapasitas individu yang berbeda dengan individu lainnya, dan berbeda pada satu kondisi
dengan kondisi lainnya. Seyogyanya seorang mukmin harus senantiasa berada di antara dua
kapasitas tersebut. Berusaha mengarah kepada keagungan Allah swt., karena bagi seorang Mukmin
esok harus lebih baik dari hari ini dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Juga hendaknya
seorang Mukmin harus meningkatkan level ketakwaannya bersamaan dengan bertambahnya
pengetahuan, bertambahnya kenikmatan yang diperolehnya, dan bertambahnya usia.
Bila seorang memahami dengan baik hal tersebut di atas, pasti dirinya akan merasa takut jika belum
mengerahkan kemampuan sesuai yang dituntut kepadanya dan semakin berhati-hati dalam
melaksanakannya. Seorang Mukmin yang paham akan hal ini selalu tidak puas dengan amalnya,
tidak puas dengan kesungguhan yang telah dikerahkannya. Ia selalu khawatir telah mengabaikan
tuntutan yang diminta Allah swt. dari seorang Mukmin. Itulah keadaan orang-orang yang beriman,
sebagimana yang disebutkan oleh Allah swt. dalam firman-Nya:
( 59)( 58)( 57)
( 61)( 60)
(62)
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (azab) Tuhan mereka, (57) Dan
orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, (58) Dan orang-orang yang tidak
mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun), (59) Dan orang-orang yang memberikan
apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya
mereka akan kembali kepada Tuhan mereka, (60) mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-
kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (61) Kami tiada membebani
seseorang melainkan menurut kesanggupannya, dan pada sisi Kami ada suatu Kitab yang
membicarakan kebenaran, dan mereka tidak dianiaya. (62). (Al-Muminun: 57- 62)
Kehati-hatian dan Rasa Takut
Salah satu sifat orang-orang Mukmin yang disebutkan ayat tersebut di atas adalah kehati-hatian dan
rasa takut. Kehati-hatian mencakup kekhawatiran bersamaan dengan semakin lemah dan tak
berdaya. Imam Ar-Razy berkata, Di antara mereka ada yang cenderung mengartikan isyfaq dari
presfektif pengaruhnya, yaitu ., ketaatan yang kontinu, dan makna ayat tersebut
menjadi , orang-orang yang taat secara kontinu karena takut kepada
Tuhan mereka, dan berobsesi mencapai keridhaannya. Jelasnya, bila seseorang sampai pada
perasaan takut yang membawanya pada sikap kehati-hatian. Kesempurnaan rasa takut adalah
puncak ketakutan akan murka Allah dan adzab akhirat, sehingga ia selalu menghindari maksiat.
Maka, barangsiapa yang memiliki kesempurnaan rasa takut kepada Allah, ia akan memenuhi perintah
Allah unuk berdakwah, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Sedangkan keadaan
mereka yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut, maksudnya adalah
komitmen menyampaikan setiap kebenaran. Oleh karena itu, barangsiapa yang beribadah dan ia
marasa takut dari sikap lalai dan salah, disebabkan oleh kekurangan atau yang lainnya, maka demi
rasa takut tersebut, ia akan bersungguh-sungguh menunaikan ibadahnya.
Rasa takut terhadap kekurangan yang menyebabkan seseorang mengerahkan kesungguhannya
dalam bertakwa adalah level para shiddiqin (orang yang konsisten). Sesungguhnya Allah telah
menjelaskan bahwa sebab rasa takut itu muncul karena mereka akan kembali kepada Allah swt.
Beruntunglah orang yang memiliki sifat luhur sperti itu, dan menjadikan jiwa mereka bersih dari riya
dan sumah (ingin dilihat dan didengar orang) serta mengarahkan keinginan-keinginan kepada
optimalisasi amal.
Setelah arahan tersebut di atas, ayat-ayat di surah Al-Muminun itu mendorong peningkatan kapasitas
dan kapabilitas seseorang. Ia dapat berhujjah . Tampaklah keterpaduan antara
seseorang yang memberikan tanggung jawab sesuai dengan kemampuan dan Allah yang senantiasa
mengetahui hakekat kemampuan yang diawasi dan dihisabnya. Sampainya seorang dai ke tingkat
rasa takut dan hati-hati akan sampai pada kebenaran dan ketepatan dalam menentukan batas
kemampuan.

Вам также может понравиться