Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
TINJAUAN PUSTAKA
2
3
konjungtiva palpebra dan bulbi. Ketebalan epitel bervariasi dari 2-3 lapis pada
tarsus dan forniks serta 6-9 lapis pada konjungtiva bulbi. Epitel terdiri atas 10% sel goblet
yang memproduksi musin serta kaya karbohidrat. Sel goblet terbanyak pada daerah
inferonasal konjungtiva bulbi dan tarsus konjungtiva. Substansia propia yaitu jaringan
fibrovaskuler terikat longgar di bawah epitel dan membran dasar pada konjungtiva.
(Budiono, 2013)
Arteri-arteri konjungtiva berasal dari arteria ciliaris anterior dan arteria palpebralis.
Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan membentuk jaring-jaring vaskular
konjungtiva yang sangat banyak. Pembuluh limfe konjungtiva tersusun di dalam lapisan
superfisial dan profundus dan bergabung dengan pembuluh limfe palpebra membentuk
pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan oftalmik pertama
nervus V. Saraf ini memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit. (Vaughan, 2009)
2. Memiliki berbagai tipe sel yang berperan dalam reaksi pertahanan terhadap keradangan
2.3 Pterigium
2.3.1 Definisi
Pterigium adalah pertumbuhan jaringan konjungtiva dan fibrovaskuler berbentuk
segitiga yang menginvasi kornea (Budiono, 2013). Pterigium adalah proliferasi jaringan
fibrovaskular yang menyerang permukaan mata, dapat menyebabkan iritasi mata,
gangguan penglihatan dan sebagainya (Li M, 2012). Pterigium (jamak: pterigia) adalah
pertumbuhan degeneratif jaringan subepitel fibrovaskular berbentuk segitiga dari jaringan
konjungtiva bulbi di limbus hingga ke kornea (Kanski, 2011).
Histologi pterigium hampir sama dengan pinguekula dan menunjukkan perubahan
degeneratif pada vaskularisasi subepitel kolagen stroma. Perbedaannya, pterigia
melampaui kornea dan menginvasi lapisan Bowman. Pseudopterigium mempunyai klinis
yang sama.
2.3.2 Epidemiologi
Distribusi pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering yang merupakan karakteristik dari daerah periequator. Sabuk
pterigium merupakan daerah dengan prevalensi pterigium yang tinggi, terletak pada
daerah lintang 370 utara dan selatan equator (Saerang, 2013).
Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko
timbulnya pterigium 44x lebih tinggi dibandingkan daerah non tropis. Secara geografis
memperlihatkan angka kejadian pterigium yang meningkat bila mendekati khatulistiwa
(370 LU dan 370 LS) (Shintya, Djajakusli et al, 2010)
Insidensi tinggi pada umur antara 20 dan 49 tahun. Rekurensi lebih sering pada
umur muda dari pada umur tua. Laki-laki 4 kali lebih beresiko dari
perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah dan riwayat
exposure lingkungan (T H Tan Donald et al, 2005).
2.3.3 Etiologi
Etiologi dan patogenesis pterigium masih belum jelas. Berbagai faktor risiko yang
berhubungan dengan terjadinya pterigium yaitu: (Peng Lu, 2009)
1. Paparan sinar matahari dan ultraviolet.
Adanya paparan ini menyebabkan kerusakan dan proses degeneratif dari jaringan ikat
subepitel. Penelitian menunjukkan bahwa menghabiskan waktu di luar akan menyebakan
peningkatan risiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet B merupakan faktor lingkungan
yang sangat signifikan dalam proses patogenesis pterigium.
2. Usia
Studi menunjukkan populasi dewasa memiliki prevalensi yang tinggi sejalan dengan
bertambahnya umur.
3. Jenis Kelamin
6
Kejadian pterigium pada laki-laki dan perempuan masih diperdebatkan. Terdapat laporan
statistik bahwa perempuan lebih banyak yang terkena dari pada laki-laki atau sebaliknya
dan ada pula yang melaporkan pterigium pada laki-laki dan perempuan sama,
4. Tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi
Tingkat pendidikan berhubungan dengan status ekonomi. Rendahnya tingkat pendidikan
menghasilkan status sosial ekonomi yang rendah dan memiliki efek timbulnya pterigium.
5. Mata kering
Faktor lingkungan berhubungan dengan mata kering seperti sinar ultraviolet dan polusi
debu lingkungan yang berimplikasi terbentuknya pterigium.
6. Lain-lain
P 53 dan Human Papilloma Virus juga dapat masuk dalam patogenesis pterigium. Radiasi
sinar ultraviolet menyebabkan mutasi gen P53 tumor gen supresor menghasilkan
bentukan abnormal pada epitel.
2.3.4 Patofisiologi
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan ultra
violet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan pertumbuhan
konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.
Pterigium biasanya bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang
sama untuk kontak dengan sinar ultra violet, debu, dan kekeringan. Semua kotoran pada
konjungtiva akan ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke
meatus nasi inferior.
Daerah nasal konjungtiva juga relatif mendapat sinar ultra violet yag lebih banyak
dibandingkan dengan bagian konjungtiva yang lain, karena disamping kontak langsung,
bagian nasal konjungtiva juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat
pantulan dari hidung, karena itu bagian nasal konjungtiva lebih sering didapatkan
pterigium dibandingkan dengan bagian temporal ( Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2006).
2. Pasien yang menggunakan kontak lensa menunjukkan gejala iritasi pada stadium awal
karena dapat mengangkat tepian lensa kontak.
3. Adanya pterigium dapat mengganggu penglihatan karena pterigium dapat menutupi
axis visual atau dapat menginduksi terjadinya astigmatisme.
4. Pterigium menyebabkan masalah kosmetik
5. Lesi yang luas dapat berkaitan dengan subkonjungtiva fibrosis yang meluas ke forniks
dapat menyebabkan restriksi okular.
Biasanya penderita mengeluh mata merah dan timbulnya bentukan seperti daging
yang menjalar ke kornea. Pterigium ada dua macam, yaitu yang tebal dan mengandung
banyak pembuluh darah atau yang tipis dan tidak mengandung pembuluh darah. Di
bagian depan dari apek pterigium terdapat infiltrat kecil-kecil yang disebut islet of
Fuch. Pterigium yang mengalami iritasi dapat menjadi merah dan menebal yang kadang-
kadang dikeluhkan kemeng oleh penderita (Pedoman Diagnosis dan Terapi, 2006).
Tanda klinis yang muncul yaitu : (Kanski,2011; Pedoman Diagnosis dan Terapi,
2006; Aminlari, 2010)
1. Pterigium terdiri dari tiga bagian, yaitu : (1)cap zona datar bagian depan pada kornea
yang terdiri dari fibroblas yang menginvasi dan merusak membran Bowman. (2)
Kepala adalah area vaskular di belakang cap dan melekat erat di kornea. (3) Badan
adalah bagian yang dapat bergerak di daerah konjungtiva bulbi yang mudah untuk
diseksi dari jaringan di bawahnya.
3. Stockers line yaitu deposisi besi di lapisan basal epitel kornea anterior, menunjukkan
pterigium kronis
tergantung dari lokasi apeks pterigium melampaui kornea sebagai berikut: ( Zhong, et al,
2012)
Grade 0 : tidak ada pterigium
Grade 1 : apeks pterigium di limbus
Grade 2 : apeks pterigium antara limbus dan pupil margin
Grade 3 : apeks pterigium di pupil margin
Grade 4 : apeks pterigium melewati pupil
b. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada permukaan
konjungtiva dan kornea. Pterigium paling sering ditemukan pada konjungtiva nasal dan
berekstensi ke kornea nasal, tetapi dapat pula ditemukan pterigium pada daerah temporal.
Pterigium dapat memberikan 2 gambaran, antara lain:
Pterigium dengan proliferasi minimal, berbentuk datar, dan pertumbuhannya
lambat. Gambaran ini mempunyai insiden berulang yang rendah.
Pterigium dengan pertumbuhan yang cepat dan mempunyai komponen
fibrovaskular yang meninggi (tebal). Gambaran ini mempunyai insiden berulang
yang tinggi. (Fisher, 2015)
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Slitlamp
Gambar 5: Slitlamp
Pemeriksaan fisik pada pasien pterigium akan didapatkan adanya suatu
lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh dari kelopak baik bagian nasal maupun
temporal yang menjalar ke kornea, umumnya berwarna putih, namun apabila
terkena suatu iritasi maka bagian pterigium ini akan berwarna merah.
Pterigium dibagi menjadi 3 bagian yaitu: tudung kepala (cap), kepala, dan
badan/ekor. Bagian tudung kepala (cap) adalah bagian datar pada kornea yang
10
b. Pseudopterigium: suatu reaksi dari konjungtiva oleh karena ulkus kornea. Pada pengecekan
dengan sonde, sonde dapat masuk di antara konjungtiva dan kornea.
11
2.3.9 Penatalaksanaan
Pterigium ringan tidak perlu diobati. Pterigium yang mengalami iritasi dapat diberikan
anti inflamasi tetes mata (golongan steroid, non steroid seperti indomethasin 0,1% dan sodium
diclofenac 0,1%) dan vasokonstriktor tetes mata.
a. Surgical Techniques
Indikasi operasi:
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus dapat mengakibatkan
astigmatisme.
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil
3. Pterigium yang sering memberi keluhan mata merah, berair, dan silau karena astigmatisme.
4. Kosmetik terutama untuk penderita wanita
(Pedoman Diagnosis Terapi, 2006).
12
2. Simple closure
Tepi konjungtiva superior dan inferior yang bebas dijahit bersama (efektif jika
hanya defek konjungtiva sangat kecil). Jika defek conjunctiva berasal dari pterigium
berukuran besar, kemungkinan bagian badan dari pterigium harus disisakan. Hal ini
meningkatkan kemungkinan inflamasi post operasi, timbulnya skar, formasi granuloma,
dan angka kekambuhan pterigium yang dilaporkan berkisar antara 2-88% (Brightbill,
2009).
3. Sliding flaps
13
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser untuk
menutupi defek.
4. Rotational flaps
Insisi bentuk U dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang
dirotasi pada tempatnya.
2.3.10 Komplikasi
2.3.11 Prognosis
16
2.3.12 Edukasi
Bila tidak menimbulkan keluhan atau gangguan penglihatan tidak harus dilakukan
operasi, karena bersifat rekuren (Pedoman Diagnosis Terapi, 2006). Namun jika sudah dilakukan
operasi, pasien sebaiknya menghindari paparan sinar ultraviolet untuk mencegah rekurensi.
Penggunaan topi atau penutup kepala lainnya, dan kacamata anti radiasi ultraviolet juga
dianjurkan terutama pada pasien yang hidup di daerah tropis atau subtropis yang banyak
melakukan aktivitas di luar ruangan dengan risiko paparan sinar ultraviolet yang tinggi (Fisher,
2015).