Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENINGGALAN MASA
PURBA DAN
FUNGSINYA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH:
NAMA : IKA
MAWARNI
KELAS: x IPS
SMA NEGERI 2 GUNUNG
MERIAH
ACEH SINGKIL
TAHUN 2015
MENHIR
Menhir adalah batu tunggal (monolith) yang berasal dari periode Neolitikum (6000/4000
SM-2000 SM) yang berdiri tegak di atas tanah. Istilah menhir diambil dari bahasa Keltik
dari kata men (batu) dan hir (panjang). Menhir biasanya didirikan secara tunggal atau
berkelompok sejajar di atas tanah. Diperkirakan benda prasejarah ini didirikan oleh
manusia prasejarah untuk melambangkan phallus, yakni simbol kesuburan untuk bumi.
Menhir adalah batu yang serupa dengan dolmen dan cromlech, merupakan batuan dari
periode Neolitikum yang umum ditemukan di Perancis, Inggris, Irlandia, Spanyol dan
Italia. Batu-batu ini dinamakan juga megalith (batu besar) dikarenakan ukurannya.
Mega dalam bahasa Yunani artinya besar dan lith berarti batu. Para arkeolog
mempercayai bahwa situs ini digunakan untuk tujuan religius dan memiliki makna
Dolmen adalah meja batu tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan kepada roh
nenek moyang. Di bawah dolmen biasanya sering ditemukan kubur batu. Dolmen yang
Lampung Barat. Dolmen yang mempunyai panjang 325 cm, lebar 145 cm, tinggi 115
cm ini disangga oleh beberapa batu besar dan kecil. Hasil penggalian tidak
ditemukan di Jawa Timur dan Sumatera Selatan Dolmen merupakan hasil kebudayaan
kepercayaan akan adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati terhadap
Sarkofagus sering disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus seringkali diukir,
dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri, sebagai
bagian dari sebuah makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain
dimaksudkan untuk disimpan di ruang bawah tanah. Di Mesir kuno, sarkofagus
merupakan lapisan perlindungan bagi mumi keluarga kerajaan dan kadang-kadang
dipahat dengan alabaster
Sarkofagus - kadang-kadang dari logam atau batu kapur juga digunakan oleh orang
Romawi kuno sampai datangnya agama Kristen yang mengharuskan mayat untuk
dikubur di dalam tanah.[1]
Di Indonesia, tradisi membuat sarkofagus dari batu dikenal dalam tradisi megalitik
pernah atau masih hidup, seperti di Tapanuli, Sumba, Minahasa (dikenal sebagai
waruga), serta di Jawa.
WARUGA
Mula-mula Suku Minahasa jika mengubur orang meninggal sebelum ditanam terlebih
dulu dibungkus dengan daun woka (sejenis janur). Lambat laun, terjadi perubahan
dalam kebiasaan menggunakan daun woka. Kebiasaan dibungkus daun ini berubah
dengan mengganti wadah rongga pohon kayu atau nibung kemudian orang meninggal
dimasukkan ke dalam rongga pohon lalu ditanam dalam tanah. Baru sekitar abad IX
Suku Minahasa mulai menggunakan waruga. Orang yang telah meninggal diletakkan
pada posisi menghadap ke utara dan didudukkan dengan tumit kaki menempel pada
pantat dan kepala mencium lutut. Tujuan dihadapkan ke bagian Utara yang
menandakan bahwa nenek moyang Suku Minahasa berasal dari bagian Utara. Sekitar
tahun 1860 mulai ada larangan dari Pemerintah Belanda menguburkan orang
meninggal dalam waruga.
Kemudian pada tahun 1870, Suku Minahasa mulai membuat peti mati sebagai
pengganti waruga, karena waktu itu mulai berjangkit berbagai penyakit, di antaranya
penyakit tipus dan kolera. Dikhawatirkan, si meninggal menularkan bibit penyakit tipus
dan kolera melalui celah yang terdapat di antara badan waruga dan cungkup waruga.
Bersamaan dengan itu pula, agama Kristen mengharuskan mayat dikubur di dalam
tanah mulai menyebar di Minahasa. Waruga yang memiliki ukiran dan relief umumnya
terdapat di Tonsea. Ukiran dan relief tersebut menggambarkan berapa jasad yang
tersimpan di waruga yang bersangkutan sekaligus menggambarkan mata pencarian
atau pekerjaan orang tersebut semasa hidup.
Di Minahasa bagian utara, pada awalnya waruga-waruga yang ada sekitar 370 buah
tersebut, tersebar pada hampir semua desa di Minahasa Utara yang akhirnya
dikumpulkan ke beberapa tempat seperti kelurahan Rap-Rap sekitar 15 buah,
kelurahan Airmadidi Bawah 211 buah dan desa Sawangan 144 buah. Kini lokasi
waruga-waruga di tempat-tempat tersebut menjadi salah satu tujuan wisata sejarah di
Sulawesi Utara.
Tempat ini pun telah dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia
UNESCO sejak tahun 1995.
FLAKES
Flakes adalah peralatan yang berukuran kecil dan terbuat dari batu Chalcedon. Alat ini
merupakan hasil dari kebudayaan Ngandong, kebudayaan yang alat alatnya terbuat
dari tulang hewan. Flakes digunakan untuk mengupas makanan. Selain itu, alat ini juga
dimanfaatkan sebagai alat untuk berburu binatang, menangkap ikan, dan
mengumpulkan ubi dan buah-buahan.
KAPAK GENGGAM
Kapak genggam banyak ditemukan di daerah Pacitan. Alat ini biasanya disebut
"chopper" (alat penetak/pemotong)
Alat ini dinamakan kapak genggam karena alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi
tidak bertangkai dan cara mempergunakannya dengancara menggenggam. Pembuatan
kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai
menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanyasebagai tempat menggenggam. Kapak
genggam berfungsi menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang.
KAPAK PERIMBAS
Kapak perimbas berpungsi untuk merimbas kayu, memahat tulang dan sebagai
senjata.Manusia kebudayan Pacitan adalah jenis Pithecanthropus.Alat ini juga
ditemukan di Gombong (Jawa Tengah), Sukabumi (Jawa Barat), lahat, (Sumatra
selatan), dan Goa Choukoutieen (Beijing).Alat ini paling banyak ditemukan di daerah
Pacitan, Jawa Tengah sehingga oleh Ralp Von Koenigswald disebut kebudayan
pacitan.
PIPISAN
Selain kapak-kapak yang ditemukan dalam bukit kerang, juga ditemukan pipisan (batu-
batu penggiling beserta landasannya).Batu pipisan selain dipergunakan untuk
menggiling makanan juga dipergunakan untuk menghaluskan cat merah.Bahan cat
merah berasal dari tanah merah.Cat merah diperkirakan digunakan untuk keperluan
religius dan untuk ilmu sihir.