Вы находитесь на странице: 1из 23

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Anatomi Otot Ekstraokuler
Otot ekstraokuler terdiri atas empat otot rektus, dua otot oblikus, dan
otot levator palpebral superior (Gambar 2.1). Nervus kranialis VI (abdusen)
menginervasi otot rektus lateralis, nervus kranialis IV (trokhlearis)
menginervasi otot oblikus superior, sedangkan nervus kranialis III
(okulomotorius) memberikan persarafan pada otot levator palpebra superior,
rektus superior, rektus medialis, rektus inferior, dan otot oblikus inferior
(Budiono et all, 2012).

Gambar 2.1 Otot ekstraokuler (Sumber: Putz & Pabst, 2006)

Otot rektus horisontalis terdiri atas otot rektus medialis dan rektus
lateralis, yang keduanya berasal dari annulus Zinnii. Otot rektus medialis
diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus inferior dan divaskularisasi oleh
arteri-arteri oftalmika cabang muskularis medialis. Aksi otot rektus medialis
pada posisi primer adalah adduksi, yaitu gerakan bola mata ke arah nasal
atau rotasi ke dalam. Sedangkan otot rektus lateralis diinervasi oleh nervus
abdusen serta divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis
lateralis dan arteri lakrimalis. Aksi otot rektus lateralis pada posisi primer
adalah abduksi, yaitu gerakan bola mata ke arah temporal atau rotasi ke luar
(Budiono et all, 2013).
Otot rektus vertikalis terdiri dari otot rektus superior dan rektus inferior.
Otot rektus superior diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus superior dan
divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis. Pada posisi
primer, otot rektus superior membentuk sudut 23 ke arah lateral sumbu
penglihatan serta memiliki aksi primer elevasi, aksi sekunder intorsi atau
insikloduksi, dan aksi tersier adduksi. Otot rektus inferior diinervasi oleh
nervus okulomotorius ramus inferior dan di divaskularisasi oleh arteri
oftalmika cabang muskularis medialis dan arteri infraorbitalis. Pada posisi
primer, otot rektus inferior membentuk sudut 23 ke arah lateral dari sumbu
penglihatan, serta memiliki aksi primer depresi, aksi sekunder ekstorsi atau
eksikloduksi dan aksi tersier adduksi (Budiono et all, 2013).
Otot oblikus superior diinervasi oleh nervus trochlearis dan
divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis. Pada posisi
primer, otot oblikus superior membentuk sudut 51-54 dari sumbu
penglihatan, serta memiliki aksi primer intorsi atau insikloduksi, aksi
sekunder depresi, dan aksi tersier abduksi (Budiono et all, 2013).
Otot oblikus inferior diinervasi oleh nervus okulomotorius ramus inferior
serta divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis medialis dan
arteri infraorbitalis. Pada posisi primer, otot oblikus inferior membentuk
sudut 51 dari sumbu penglihatan, serta memiliki aksi primer ekstorsi atau
eksikloduksi, aksi sekunder elevasi, dan aksi tersier abduksi (Budiono et all,
2013).
Gambar 2.2 Otot ekstraokuler dilihat dari anterior dan posterior
(Sumber: Putz & Pabst, 2006)

2.1.2 Jaras Saraf Untuk Pengaturan Gerakan Mata


Seperti yang tampak dalam Gambar 2.3, nukleus saraf kranial III
(okulomotorius), IV (throklear), dan VI (abdusen) di batang otak dan
hubungan ketiga saraf dengan saraf perifer yang menuju ke otot-otot mata.
Dalam gambar tersebut juga tampak hubungan antara ketiga nukleus ini
yang melewati jaras persarafan disebut fasikulus longitudinalis medial.
Masing-masing dari ketiga susunan otot untuk tiap mata diinervasi secara
timbal balik sehingga otot agonis akan berkontraksi, sedangkan otot
antagonis akan berileksasi (Guyton & Hall, 2008).

Gambar 2.3 Otot-otot ekstraokuler mata dan persarafannya.


Sumber: Guyton & Hall, 2008
Gambar 2.4 memperlihatkan pengaturan kortikal terhadap apparatus
okulomotorius, menunjukkan penyebaran sinyal yang berasal dari area
penglihatan di korteks oksipitalis melewati traktus oksipitotektal dan traktus
oksipitokolikular menuju area pretektal dan area kolikulus superior pada
batang otak. Dari area pretektal area kolikulus superior, sinyal pengaturan
okulomotor selanjutnya akan menuju ke nukleus nukleus saraf okulomotor di
batang otak. Juga ada sinyal kuat yang dijalarkan dari pusat pengatur
keseimbangan tubuh di batang otak ke sistem okulomor (yang asalnya dari
nukleus vestibularis melewati fasikulus longitudinal medial) (Guyton & Hall,
2008).

Gambar 2.4 Jaras saraf untuk pengaturan gerakan konjugat mata


Sumber: Guyton & Hall, 2008

2.2 Fisiologi Pembentukan Pergerakan Bola Mata


2.2.1 Posisi Gaze
Terdapat berbagai terminologi yang berkaitan dengan posisi gaze. Posisi
primer adalah posisi bola mata saat terfiksasi lurus ke depan dengan posisi
kepala tegak. Posisi sekunder ialah posisi bola mata ketika melihat lurus ke
atas, bawah, kanan, ataupun kiri. Posisi tersier merupakan empat posisi oblik
bola mata ke arah kanan atas, kiri atas, kanan bawah, dan kiri bawah. Posisi
cardinal ada enam arah, yaitu kanan atas, kiri atas, kanan, kiri, kanan
bawah, dan kiri bawah. Posisi garis tengah adalah posisi bola mata ketika
lurus ke atas dan ke bawah. Posisi diagnostik adalah seluruh sembilan posisi
gaze, yaitu enam posisi cardinal, dua posisi tengah, dan posisi primer
(Budiono et all, 2012).
Aksi otot ekstraokuler pada posisi primer dapat disimpulkan sebagai
berikut: semua otot rektus adalah abductor kecuali rektus lateralis, semua
otot oblikus adalah abductor, semua otot superior adalah intortor, dan
semua otot inferior adalah ekstortor (Budiono et all, 2012).

Tabel 2.1 Aksi Otot Ekstraokuler pada Posisi Primer


Muscle Primary Secondary Tertiary
Medial rectus Adduction - -
Lateral rectus Abduction - -
Inferior rectus Depression Ektorsion Adduction
Superior Elevation Intorsion Adduction
rectus
Inferior Extorsion Elevation Abduction
oblique
Superior Intortion Depression Abduction
oblique
Sumber : Budiono, 2013

Field of action sebuah otot adalah posisi gaze saat otot tersebut menjadi
penggerak utama bola mata. Seluruh pergerakan bola mata merupakan hasil
kombinasi kontraksi dan relaksasi beberapa otot, namun terdapat delapan
posisi gaze dengan sebuah otot memberikan kekuatan dominan (Budiono et
all, 2012).
Duksi adalah pergerakan monokuler bola mata mengitari axes of Fick,
terdiri atas adduksi, abduksi, elevasi, atau supraduksi, depresi atau
infraduksi, intorsi atau insikloduksi, dan ekstorsi atau eksikloduksi. Gerakan
duksi dapat dievaluasi klinis dengan menutup mata jiran, lalu penderita
diperintahkan mengikuti target pada setiap arah gaze (Budiono et all, 2013).
Pasangan agonis-antagonis adalah pasangan otot di satu mata yang
menggerakkan bola mata tersebut pada arah yang berlawanan. Pasangan
agonis-antagonis tersebut antara lain: otot rektus medialis dan rektus
lateralis, rektus superior dan rektus inferior, serta oblikus superior dan
oblikus inferior. Sinergis ialah otot di mata yang sama dengan agonis, dan
menggerakkan bola mata tersebut pada arah yang sama, misanya: otot
oblikus inferior bertidak sinergis bersama otot rektus superior pada gerakan
elevasi bola mata.
Pergerakan mata binokuler terdiri atas versi dan vergen. Versi adalah
pergerkan konjugasi kedua mata secara simultan pada arah yang sama,
antara lain: dekstroversi, levoversi, elevasi, depresi, dekstrosikloversi, dan
levosikloversi.
Yoke muscles atau sinergis kontralateral digunakan untuk
menggambarkan dua otot pada dua mata berbeda yang berpasangan dan
menjadi penggerak utama setiap bola mata pada posisi cardinal. Setiap otot
ekstraokuler memiliki yoke muscle pada mata jirannya. Hukum hering
menyatakan bahwa inervasi sepadan dan simultan akan mengalir ke yoke
muscles pada arah gaze yang diinginkan.
Vergen adalah gerakan kedua bola mata secara simultan pada arah
yang berlawanan. Konvergen ialah gerakan adduksi secara simultan, dapat
terjadi secara volunteer ataupun merupakan reflex. Divergen gerakan bola
mata ke arah luar dari posisi konvergen (Budiono et all, 2013).

2.2.2 Gerakan Fiksasi Mata


Mungkin gerakan mata yang paling penting adalah gerakan mata yang
menyebabkan mata itu terfiksasi pada bagian yang paling luas dari lapangan
pandang. Gerakan fiksasi ini diatur oleh dua mekanisme saraf. Yang pertama
adalah pengaturan yang menyebabkan orang dapat menggerakkan mata
secara volunter untuk menemukan objek dalam penglihatannya yang
kemudian akan difiksasinya, gerakan ini disebut sebagai mekanisme fiksasi
vountar (Guyton & Hall, 2008).
Seperti yang terlihat dalam Gambar 2.4, gerakan fiksasi volunter diatur
oleh bagian kortikal yang terletak bilateral di regio premotor kortikal lobus
frontalis. Disfungsi bilateral atau kerusakan pada daerah ini orang tersebut
sukar atau tidak dapat memindahkan matanya dari titik fiksasi dan
selanjutnya menggerakkan mata ke sisi yang lain. Biasanya orang tersebut
perlu mengedipkan mata atau mentup mata dengan tangan dalam waktu
yang singkat, setelah itu baru dapat mengerakkan mata (Guyton & Hall,
2008).
Sebaliknya, mekanisme fiksasi yang menyebabkan mata dapat terpaku
pada suatu objek yang menjadi perhatiannya ketika objek itu ditemukan,
diatur oleh area penglihatan sekunder di korteks oksipitalis, yang terutama
terletak di sebelah anterior korteks penglihatan primer. Bila area fiksasi ini
mengalami kerusakan bilateral pada binatang coba, binatang tersebut akan
mengalami kesulitan untuk memfiksasi matanya ke titik fiksasi atau dapat
menjadi benar-benar tidak mampu melakukan gerakan tersebut (Guyton &
Hall, 2008).
Ringkasnya, lapangan mata involuntar di korteks oksipitalis sebelah
posterior secara otomatis akan memaku mata pada suatu titik pada
lapangan pandang yang diinginkan sehingga dapat mencegah terjadinya
gerakan bayangan menyilang retina. Untuk melepaskan diri dari fiksasi
penglihatan ini, sinyal voluntar harus dijalarkan dari lapangan mata voluntar
kortikal yang terletak di korteks frontal (Guyton & Hall, 2008).
Jenis fiksasi involunter yang telah dibahas pada bagian sebelumnya
berasal dari mekanisme umpan balik negatif yang mencegah objek perhatian
agar tidak sampai meninggalkan fovea retina. Secara normal, mata memiliki
tiga macam gerakan yang berjalan secara kontinu namun tidak terasa yaitu
tremor yang terus menerus dengan kecepatan 30-80 siklus per detik yang
disebabkan oleh kontraksi yang beruntun dari unit motor pada otot-otot
mata, penyimpangan yang lambat dari bola mata ke satu jurusan atau ke
jurusan lainnya, dan gerakan ceklikan tiba-tiba yang diatur oleh mekanisme
fiksasi involuntar.
Bila sebuah titik cahaya sudah difiksasi pada regio fovea retina, adanya
gerakan tremor akan menyebabkan titik cahaya itu bergerak maju-mundur
dengan cepat menyilang konus, dan gerakan penyimpangan akan
menyebabkan titik tersebut menyimpang konus secara perlahan. Setiap kali
titik cahaya menyimpang sampai pada tepi fovea, timbul suatu reaksi reflex
yang mendadak, sehinggan menyebabkan gerakan ceklikan yang nantinya
akan memindahkan titik itu menjauhi tepi dan kembali ke bagian tengah
fovea lagi. Jadi respon otomatis memindahkan bayangan kembali ke bagian
tengah fovea. Kemampuan fiksasi involuntar ini sebagian besar akan hilang
ketika kolikulus superior dirusak (Guyton & Hall, 2008).
Bila bayangan penglihatan bergrak secara terus-menerus di depan
mata, misalnya sewaktu seseorang sedang mengendarai mobil, mata akan
terfiksasi pada satu sorotan cahaya ke satu sorotan cahaya lain dalam
lapang pandang, melompat-lompat dari satu tempat ke tempat lain dengan
kecepatan dua sampai tiga lompatan per detik. Lompatan ini disebut sakade
dan gerakannya disebut optokinetik. Gerakan sakadik ini begitu cepatnya
sehingga waktu yang dibutuhkan untuk menggerakkan mata tersebut tidak
lebih dari 10 persen waktu total, sedangkan 90 persennya dipakai untuk
fiksasi. Juga, selama timbul gerakan sakadik ini, otak akan menekan
bayangan penglihatan sehingga orang itu tidak merasakan adanya gerakan
perpindahan dari satu titik ke titik lain. Gerakan sakadik ini juga terjadi pada
saat membaca atau memperhatikan suatu lukisan. (Guyton & Hall, 2008).
Mata juga dapat tetap difiksasi pada objek yang bergerak, yang disebut
dengan gerakan mengejar. Mekanisme kortikal yang sangat berkembang
secara otomatis dapat mendeteksi rangkaian gerakan suatu objek dan
selanjutnya secara cepat membuat serangkaian pergerakan yang sama pada
mata. Contohnya, bila ada objek yang bergerak ke atas dan ke bawah seperti
bentuk gelombang dengan kecepatan beberapa kali per detik, mula-mula
mata tidak mampu berfiksasi pada objek tersebut. Namun setelah satu detik
atau lebih, mata akan mulai melompat dengan memakai gerakan sakadik
menurut suatu pola yang mirip dengan pergerakn objek tersebut, lalu
setelah beberapa detik kemudian, secara progresif, mata akan mulai
semakin lancar dan semakin halus bergerak dan akhirnya mengikuti
pergerakan gelombang tersebut dengan kecepatan yang hampir sama.
Keadaan ini menunjukkan adanya kemampuan secara otomatis dan tidak
disadari serta penuh perhitungan yang dilakukan oleh sistem pengejaran
untuk mengendalikan pergerakan mata (Guyton & Hall, 2008).

2.2.3 Fusi Bayangan Penglihatan dari Kedua Mata


Untuk memberikan persepsi penglihatan yang lebih berarti, bayangan
penglihatan pada kedua mata normal berfusi satu sama lain pada titik
korespondensi di kedua retina. Korteks penglihatan berperan penting dalam
fusi. Titik korespondensi kedua retina menjalarkan sinyal penglihatan ke
berbagai lapisan sel saraf di korpus genikulatum lateralis, dan sinyal ini
kemudian dihantarkan ke sel saraf yang sejajar dalam korteks penglihatan.
Terjadi interaksi di antara sel-sel saraf korteks ini yang menyebabkan eksitasi
gangguan dalam sel saraf yang spesifik bila kedua gambaran penglihatan
tidak tercatat, yakni tidak terjadi fusi secara cepat. Rangsangan ini mungkin
memberikan sinyal yang dijalarkan ke apparatus okulomotor yang
menyebabkan gerakan mata konvergen, divergen, atau rotasi supaya fusi
dapat dibentuk kembali. Sekali titik korespondensi kedua retina dicatat,
eksitasi gangguan dalam sel spesifik di korteks penglihatan akan menghilang
(Guyton & Hall, 2008).

2.3 Ophthalmoplegia
2.3.1 Batasan
Ophthalmoplegia adalah kelumpuhan atau kelemahan dari satu atau
lebih dari otot-otot yang mengontrol pergerakan bola mata. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-otot yang mengendalikan
pergerakan bola mata atau terjadi gangguan pada jalur saraf yang
mengendalikan pergerakan otot-otot mata. Penyakit ini biasanya berkaitan
dengan saraf kranial ketiga (oculomotorius), keempat (trochlear), dan
keenam (abducens).

2.3.2 Patofisiologi
Ophthalmoplegia dapat disebabkan oleh gangguan langsung pada otot-
otot yang mengendalikan pergerakan bola mata atau terjadi gagguan pada
jalur saraf yang mengendalikan pergerakan otot-otot mata.
Ophthalmoplegia internuklear merupakan gangguan pergerakan
pandangan atau gaze horizontal yaitu berupa kelemahan adduksi pada mata
yang terkena dan nistagmus abduksi pada mata kontralateral. Penyakit ini
biasanya merupakan kelainan yang terdapat pada brainstem atau batang
otak, terutama lesi pada fasikulus longitudinalis medialis pada dorsomedial
tegmentum batang otak yaitu pada pons dan/atau midbrain.
Fasikulus longitudinalis medialis adalah suatu traktus serat saraf penting
yang berjalan dari otak tengah bagian rostral ke korda spinalis. Traktus ini
mengandung banyak jaras yang menghubungkan nukleus-nukleus di dalam
batang otak, terutama yang berperan dalam gerak ekstraokular. Manifestasi
paling sering dari kerusakan fasikulus lingitudinalis medialis adalah
oftalmoplegia internuklear, dengan gerakan-gerakan mata horizontal
konjugat terganggu akibat kegagalan koordinasi antara nucleus nervus
abducens di pons dan nucleus nervus oculomotoris di otak tengah. Lesi di
batang otak terletak ipsilateral terhadap mata aduksi atau kontralateral
terhadap arah pandangan horizontal yang abnormal. Pada bentuk
oftalmoplegia internuklear yang paling ringan, kelainan klinis terbatas pada
perlambatan gerakan sakadik saat mata aduksi. Pada bentuk yang paling
parah, kemampuan aduksi dalam pandangan horizontal hilang sama sekali,
menimbulkan diploplia terus-menerus dalam pandangan lateral. Konvergensi
biasanya tidak terganggu pada oftalmoplegia internuklear, kecuali bila
lesinya terletak di otak tengah mekanisme konvergensi juga dapat terkena.
Gambaran lain oftalmoplegia internuklear adalah nistagmus pada mata yang
aduksi sewaktu berusaha memandang horizontal, yang sedikitnya
merupakan bagian dari hasil kompensasi terhadap kegagalan aduksi mata
yang satunya. Pada oftalmoplegia internuklear bilateral, dapat juga terjadi
nistagmus upbet sewaktu menatap ke atas akibat kegagalan kontrol
menahun tatapan ke arah atas, dan matanya mungkin divergen; hal ini
dikenal sebagai sindrom WEBINO (wall-eyed bilateral internuclear
opthalmoplegia) (Vaughan & Asbury, 2012).
Ophthalmoplegia internuklear mungkin disebabkan oleh sclerosis
multipel (terutama dewasa muda), infark batang otak (terutama pada pasien
tua), tumor, malformasi arteriovena, ensefalopati Wernicke, dan ensefalitis.
Oftalmoplegia internuklear bilateral paling sering disebabkan oleh sclerosis
multipel.

Gambar 2.5 Ophthalmoplegia bilateral akibat multipel sclerosis


Sumber: Vaughan & Asbury, 2013

Kelumpuhan menatap horizontal bersama oftalmoplegia internuklear,


akibat suatu lesi di nucleus abdusens atau formation reticularis pontis
paramedian yang meluas ke dalam fasikulus longitudinalis medialis
ipsilateral, mempengaruhi semua gerak mata horizontal di mata ipsilateral
dan aduksi di mata kontralateral. Hal ini dikenal sebagai sindrom satu
setengah (one and a half syndrome), atau eksotropia pontin paralitik.
Kelumpuhan saraf motorik mata berakibat pada gangguan pergerakan
mata; kesejajaran mata-pada stadium akut, sedikitnya memiliki tingkat
keparahan yang bervarasi dalam berbagai posisi tatapan tergantung otot
mana yang lumpuh; dan ptosis bila terdapat kelumpuhan otot levator
palpebra superioris. Ketidaksejajaran sumbu penglihatan berakibat diploplia,
kecuali bila ada supresi, yang lebih sering timbul pada anak-anak daripada
orang dewasa. Dapat diserai pusing dan rasa tidak seimbang, tetapi
keluhanan ini menghilang dengan penutupan satu mata. Dapat timbul
kelainan posisi kepala. Pada kelumpuhan nervus keenam, kepala menoleh ke
sisi yang lumpuh, dan pada kelumpuhan nervus keempat, posisi kepala
miring ke sisi kontralateral. Kelumpuhan suatu otot ekstraokular dapat
dirangsang dengan melakukan restriksi kerja otot pasangannya, misalnya
keterbatasan abduksi dapat terjadi akibat restriksi rektus medialis bukan
akibat kelumpuhan rektus lateralis. Pemeriksaan laju sakadik mungkin
berguna, tetapi perlu diakukan uji duksi paksa (forced duction test).
Pemeriksaan laju sakadik juga dapat mengidentifikasi otot yang lumpuh,
contohnya untuk membedakan kelumpuhn otot obliqus superior dari rektus
inferior.
Etiologi dan lokasi gangguan pada kelumpuhan saraf motorik mata
sangat bervariasi. Lesi-lesi di nukleus mempunyai ciri-ciri yang spesifik untuk
melakukan lokalisasi. Lesi fasikulus di dalam batang otak menyerupai lesi
saraf perifer, tetapi biasanya dapat dibedakan dengan adanya tanda-tanda
batang otak lainnya. Setiap kelumpuhan otot ekstraokular yang terjadi
setelah trauma kepala ringan (cedera subkonkusif) harus diperiksakan
adanya tumor di dasar tengkorak. Pada kelumpuhan akibat iskemia
(ischemic/microvascular palsy), pemulihan umumnya terjadi dalam 4 bulan.
Kelumpuhan yang belum mulai pulih dalam 4 bulan-terutama yang
melibatkan nervus keenam harus dicari adanya penyebab lain, khususnya
suatu lesi structural. Harus dilakukan pemeriksaan segera bila terdapat
petunjuk adanya disfungsi nervus kranialis multipel atau adanya kelumpuhan
otot ekstraokular pada seorang dewasa muda. Penilaian kelumpuhan saraf
motorik mata apapun harus melibatkan penilaian fungsi nervus kranialis
kedua, kelima, dan ketujuh.
Serat-serat motorik saraf oculomotorius berasal dari sekelompok inti di substansia gria
sentralis vetral terhadap aquaductus cerebri setinggi colliculus superior. Nukleus kudalis sentral
di garis tegah mempersarafi kedua otot levator palpebrae superior. Subnukleus resktus superior
yang berpasangan mempersarafi rektus superior kontralateral. Serat-serat eferen segera
berdekusasi dan berjalan melalui subnukleus rektus superior yang berlawanan. Subnukleus untuk
otot rektus medialis, rektus inferior, dan obliqus inferior juga mempersarafi otot-otot ipsilateral.
Fasikulus nervus oculomotorius berjalan melalui nukleus rubra dan sisi medial pedunculus
cerebrum. Saraf berjalan di sepanjang sisi sela tursika, di dinding luar sinus cavernonus, dan
melalui fisura orbitalis superior masuk ke dalam orbita. Sesaat sebelum memasuki orbita, saraf
tersebut terbagi dua menjadi cabang superior palpabrae dan rektus superior, sedangkan cabang
inferior mempersarafi otot-otot lain dan sfingter.
Parasimpatis berasal dari nukleus Edinger Westphal tepat rostral dari nukleus motorik
nervus ketiga dan berjalan melalui divisi inferior nervus ketiga ke ganglion ciliare. Dari sini
nervus ciliaris brevis meyebar ke otot sfingter iris dan ke otot siliaris.

Lesi di nukleus nervus ketiga mempengaruhi otot rektus medialis dan inferior serta obliqus
inferior ipsilteral, kedua otot levator, dan kedua otot rektus superior. Akan dijumpai ptosis
bilateral dan pembatasan elevasi bilateral serta pembatasan aduksi dan depresi ipsilateral.
Mulai dari fasikulus saraf di otak tengah hingga ke terminalnya di orbital, kelumpuhan
nervus ketiga menimbulkan disfungsi ipsilateral semata. Pola persisnya tergantung pada tingkat
kelumpuhannya, tetapi umumnya mata ipsilateral terarah keluar oleh otot rektus lateralis yang
intak atau tidak lumpuh dan sedikit kebawah oleh otot obliqus superior yang intak. Mata
mungkin hanya dapat digerakkan ke lateral. (Insiklotorsi akibat kerja otot obliqus superior yang
intak dapat diamati dengan melihat pembuluh darah halus di konjungtiva medialis sewaktu
dilakukan depresi mata). Mungkin dijumpai dilatasi pupil, hilangnya akomodasi, dan ptosis
palpebra superior, yang sering kali cukup berat hingga menutupi pupil. Pola kelainan pupil
mungkin dipengaruhi oleh Sindrom Horner penyerta (kelumpuhan simpatis), yang menimbulkan
pupil tanpa reaksi dan relatif kecil atau regenerasi aberan (Vaughan & Asbury, 2013).
Iskemia, aneurisma, trauma kepala, dan tumor intrakranial adalah penyebab kelumpuhan
nervus ketiga tersering pada orang dewasa. Penyebab kelumpuhan iskemik (mikrovaskular)
diantaranya adalah diabetes melitus, hipertensi, dan vaskulitis sistemik. Aneurisma biasanya
berasal dari taut arteri karotis interna dan arteri komunikans posterior. Tumor intrakranial dapat
menyebabkan kelumpuhan okulomotorius akibat kerusakan langsung pada sarafnya atau akibat
efek massa. Dilatasi pupil, awalnya unilateral kemudian bilateral, merupakan suatu tanda penting
adanya herniasi lobus temporalis medialis melalui hiatus tentorium (herniasi tentorial) akibat
pembesaran masa supratentorium yang cepat. Kelumpuhan nervus ketiga perifer bilateral dapat
terjadi sekunder akibat lesi interpeduncular lainnya, seperti aneurisma arteria basilaris
(Vaughan & Asbury, 2013).
Panduan klinis yang berguna adalah respon pupil yang tidak terganggu pada lesi iskemik,
sementara lesi kompresif termasuk aneurisma akan melibatkan pupil, awalnya berupa hilangnya
reaksi dan kemudian juga dilatasi. Kurang dari 5% kelumpuhan nervus ketiga akibat lesi
vaskular berkaitan dengan kelumpuhan pupil total, dan hanya 15% yang mengalami kelumpuhan
pupil parsial. Kelumpuhan nervus ketiga terisolasi yang nyeri dan disertai keterlibatan pupil
memerlukan penyelidikan darurat adanya aneurisma arteria komunikans posterior ipsilateral.
Pemeriksaan semacam ini juga diindikasikan pada kelumpuhan nervus ketiga terisolasi yang
nyeri dan tidak disertai keterlibatan pupil, dan pada pasien-pasien muda dengan kelumpuhan
nervus ketiga terisolasi tanpa nyeri yang disertai dengan keterlibatan pupil (Vaughan &
Asbury, 2013).
Paralisis elevator monokular, ketidakmampuan mengangkat sebelah mata pada abduksi
(rektus superior) maupun aduksi (obliqus inferior) dapat terjadi akibat paresis divisi superior
nervus ketiga (tumor, sinusistis pasca virus), tetapi dapat juga suatu kelianan kongenital atau
pada ophthalmopati tiroid, miositus orbita, fraktur dasar orbita, miastenia gravis, atau stroke di
otak tengah (Vaughan & Asbury, 2013).
Gambar 2.6 Ophthalmoplegia (Sumber: Vaughan & Asbury, 2013)

Kelumpuhan saraf ketiga pada anak-anak dapat bersifat kongenital atau mungkin
disebabkan oleh migraine ophthalmoplegi, meningitis, atau pasca virus.
Kelumpuhan saraf trochelaris kongenital dapat terjadi, tetapi tidak biasanya memiliki asal
usul neurogenik, biasanya kelumpuhan ini berasal dari kelainan perkembangan di orbita.
Kelumpuhan trochlearis kongenital dapat terjadi pada anak-anak dengan postur kepala yang
abnormal atau pada anak-anak atau dewasa dengan tegangan mata atau diploplia akibat
menurunnya kemampuan untuk mengatasi deviasi okular vertikal (dekompensasi). Kelumpuhan
trochlearis didapat biasanya bersifat traumatik. Saraf ini rentan mengalami cedera pada tempat
keluarnya di permukaan dorsal batang otak. Kedua saraf dapat rusak akibat trauma berat sewaktu
berdekusasi di velum medularis anterior sehingga terjadi kelumpuhan otot obliqus superior
bilateral. Kelumpuhan trochlearis didapat bisa juga bersifat iskemik (mikrovaskular) atau
sekunder akibat tindakan bedah di fossa posterior (Vaughan & Asbury, 2013).
Kelumpuhan otot obliqus superior menyebabkan deviasi mata ke atas atau hipertropia yang
meningkat sewaktu pasien melihat ke bawah dan ke sisi yang berlawanan. Selain itu, pada
kelumpuhan didapat, terjadi eksiklotropia dengan demikian salah satu bayangan diploplia akan
dimiringkan sesuai bayangan yang lain. Oleh karena itu, diplopia torsional mengisyaratkan
kelumpuhan yang didapat, demikian juga tidak adanya gejala-gejala torsional mengisyaratkan
suatu kelumpuhan kongenital. Memiringkan kepala ke sisi yang terkena akan meningkatkan
deviasi vertikal mata. Kepala yang dimiringkan menjauhi sisi mata yang terkena dapat
menghilangkan diplopia, dan pasien sering melakukan pemiringan kepala yang demikian.
Riwayat postur kepala yang abnormal pada masa kanak-kanak, yang dapat dikonfirmasi dengan
melihat foto-foto keluarga dan dengan kisaran fusi prisma vertikal yang besar, merupakan
petunjuk kuat bahwa kelumpuhan trochlear ini bersifat kongenital. Pada kelumpuhan traumatik
bilateral, biasanya terdapat postur kepala dengan dagu turun. Pembedahan strabismus efektif
pada kelumpuhan kongenital yang tidak terkompensasi dan tidak bisa dikoreksi dengan prisma,
dan untuk kelumpuhan didapat yang tidak teratasi (Vaughan & Asbury, 2013).
Serabut-serabut motorik nervus abducens berasal dari nukleus di dasar ventrikel keempat
di bagian bawah pons dekat genu interna nervus facialis. Setelah menembus pons, serabut-
serabut tersebut keluar di sebelah anterior dan berjalan melewati ujung pars petrosus osis
temporalis kedalam sinus cavernosus. Saraf ini kemudian masuk ke orbita bersama nervus ketiga
dan keempat untuk mempersarafi otot rektus lateralis (Vaughan & Asbury, 2013).
Nukleus abducens mengandung neuron-neuron motorik yang menuju otot rektus lateralis
ipsilateral dan badan sel antar neuron yang mempersarafi neuron-neuron motorik otot rektus
medialis kontralateral. Nukelus ini merupakan titik pemancar akhir bagi semua gerak mata
horizontal konjugat, dan lesi di dalam nukleus akan menimbulkan kelumpuhan menatap
horizontal ipsilateral yang mengenai semua jenis gerak mata yang termasuk gerak vestibular. Hal
ini berbeda dengan lesi di formatio reticularis pontis paramedian, yang gerak vestibularnya tidak
terganggu (Vaughan & Asbury, 2013).
Kelumpuhan nervus abducens merupakan kelumpuhan otot ekstraokular tunggal yang
paling sering terjadi. Abduksi mata berkurang atau tidak ada, terdapat esotropia pada posisi
primer yang meningkat sewaktu mata melakukan fiksasi jauh dan menatap kesisi yang terkena.
Iskemia (arteriosklerosis, diabetes, migraine, dan hipertensi) adalah penyebab yang sering
dijumpai. Akan tetapi, peningkatan tekanan intrakanial dengan kelumpuhan nervus abducens
sebagai tanda lokalisasi semu, tumor intrakranial khususnya yang di dasar tengkorak, trauma,
meningitis, dimielinasi, fistula arterio venosa, dan pungsi lumbal merupakan penyebab-penyebab
umum lainnya. Infeksi dapat menimbulkan kelumpuhan nervus keenam akibat keterlibatan
langsung, seperti pada infeksi telinga tengah, iskemia, atau meningitis. Malformasi Arnold Chiari
(pergeseran tonsil serebelum kongenital kebawah) dapat menimbulkan kelumpuhan nervus
keenam akibat traksi, tetapi dapat pula menimbulkan esotropia saat memandang jauh tanpa
disertai keterbatasan abduksi akibat disfungsi serebelum. Seorang anak dengan kelumpuhan
nervus keenam harus dievaluasi untuk mencari adanya peradangan atau tumor batang otak atau
glioma bila tidak ada trauma atau traumanya minimal. Sindrom Mobius (diplegia fasial
kongenital) dapat disertai dengan kelumpuhan nervus keenam atau kelumpuhan tatapan
konjugat. Pseudo kelumpuhan nervus keenam dapat terjadi pada sindrom duane, spasme refleks
dekat, penyakit mata tiroid, miastenia, atau strabismus jangka panjang dan pada penjepitan
rektus medialis oleh suatu fraktur etmoid (Vaughan & Asbury, 2013).

Beberapa sindrom dapat mengenai saraf kranialis III, IV, dan VI secara bersamaan. Pada
Sindrom Fisura Orbitalis Superior semua saraf motorik dapat terkena. Sindrom ini biasanya
disebabkan oleh trauma pada fisura orbitalis superior atau tumor yang melewati fisura tersebut
(Vaughan & Asbury, 2013).
Sindrom Apeks Orbia merupakan sindrom yang serupa dengan sindrom fisura orbitalis
superior yang disertai tanda-tanda nervus optikus dan biasanya proptosi yang lebih berat.
Sindrom ini disebabkan oleh tumor, peradangan, atau trauma.
Ophthalmoplegia total yang awitannya mendadak dapat disebabkan oleh penyakit vaskular
batang otak yang luas, ensefalopati Wernicke, sindro Fisher, poliomielitis bulbaris, apopleksia
hipofisis, aneurisma basilaris, meningits difteria botulisme, atau krisis miastenia (Vaughan &
Asbury, 2013).
Penyebab ophthalmoplegia yang lain yaitu multipel sklerosis. Penyakit ini merupakan
demielinasi pada sistem saraf pusat yang sering kambuh dan remisi. Penyebabnya tidak
diketahui. Beberapa pasien dapat mengalami bentuk penyakit yang progresif kronik yang terjadi
setelah periode kambuh dan remisi atau progresif sekunder atau yang lebih jarang terjadi sejak
awal serangan (progresif primer). Yang khas pada penyakit ini adalah lesinya terjadi pada waktu
yang berlainan dan di lokasi-lokasi yang tidak berbatasan pada sistem saraf yakni lesi-lesi
tersebar dalam ruang dan waktu. Terdapat kecenderungan untuk melibatkan nervus optikus dan
chiasma opticum, batang otak, pedunculus serebellum, dan medulla spinalis. Walaupun tidak ada
satu pun bagian sistem saraf pusat yang bisa lolos dari penyakit ini. Sistem saraf perifer jarang
terkena.
Ophthalmoplegia eksternal biasanya disebabkan oleh penyakit
gangguan pada sistem neuromuscular. Gangguan tersebut dapat terjadi
pada neuropati perifer seperti sindrom Guillain-Barre dan sindrom Miller
Fisher. Penyebab ophthalmoplegia juga dapat terjadi pada penyakit yang
menyebabkan gangguan pada neuromuscular junction seperti toksin
botulism, miastenia gravis, kongenital miastenia, dan sindrom Lambert-
eaton. Selain itu, ophthalmoplegia juga dapat terjadi pada miopati seperti
gangguan pada mitokondria (Kearns-Sayre syndrome, dan progressive
external ophthalmoplegia) atau pada penyakit akibat hipertiroid (Graves
disease) (Fauci et all, 2008).
Ophthalmoplegia eksternal progresif kronik merupakan penyakit yang
agak jarang dan ditandai oleh ketidakmampuan menggerakkan mata yang
progresif lambat dan sering berkaitan dengan ptosis dini yang parah tetapi
reaksi pupilnya normal. Kelainan ini dapat muncul di semua usia dan
berkembang selama periode 5-51 tahun menjadi ophthalmoplegia eksternal
total. Penyakit ini merupakan suatu bentuk miopati mitokondria dan mungkin
berhubungan dengan manifestasi penyakit mitokondria lain, seperti
degenerasi pigmentasi retina, tuli, kelainan serebelum vestibular, kejang,
defek hantaran jantung, dan neuropati sensori motorik perifer. Pada keadaan
ini dapat digunakan istilah Ophthalmoplegia plus. Awitan ophthalmoplegia
eksternal progresif kronik, blok jantung, dan retinitis pigmentosa sebelum
berusia 15 tahun dikenal sebagai sindrom Kearns Sayre. Ophthalmoplegia
ekstrenal progresif kronik berhubungan dengan delesi DNA mitokondria,
yang lebih sering dan lebih luas pada kasus-kasus dengan manifestasi non
okular (Vaughan & Asbury, 2013).
Penyebab dari ophthalmoplegia yang lain adalah miastenia gravis yang
ditandai oleh kelemahan abnormal otot-otot serat lintang setelah kontraksi
berulang dan membaik setelah beristirahat. Pada penemuan petama kali
sering ditemukan sebagai kelemahan otot-otot ekstraokuler. Ptosis unilateral
karena kelelahan otot sering merupakan tanda awal yang diikuti oleh
keterlibatan otot-otot ekstraokular bilateral sehingga gejala awalnya sering
berupa diplopia. Pada kasus yang tidak diobati, dapat segara timbul
kelemahan umum lengan dan tungkai, kesulitan menelan, kelemahan otot-
otot rahang, dan kesulitan bernapas. Kelemahan ini memperlihatkan variasi
diurnal dan sering memburuk seiring dengan berlalunya hari tetapi dapat
membaik setelah tidur siang. Pada penyakit ini tidak didapatkan gangguan
sensorik (Vaughan & Asbury, 2013).
Penyakit ini berasal dari taut neuromuskular khususnya di daerah pasca
sinaps, terutama akibat antibodi terhadap daerah pasca dan pra sinaps.
Adanya antibodi reseptor anti asetil kolin bersifat diagnostik. Antibodi ini
terdapat pada 80-90% pasien miastenia sistemik dan 40-60% dengan
miastenia okular murni. Kolinesterasi merusak asetil kolin di taut
neuromuskular, dan obat-obat penghambat kolinesterase dapat
memperbaiki keadaan dengan meningkatkan jumlah asetilkolin yang
tersedia untuk tempat pasca sinaps yang rusak. Adanya riwayat perbaikan
ptosis setelah beristirahat atau pemberian es dapat membantu diagnosis.
Miastenia biasanya merupakan penyakit kronik dengan kecenderungan
remisi dan kambuh. Prognosis tergantung pada luas penyakit, respon
terhadap pengobatan, dan timektomi, serta penatalaksanaan yang tepat
selama eksaserbasi berat (Vaughan & Asbury, 2013).
Kearns-Sayre Syndrome (KSS) merupakan gangguan pada sistem multi
organ yang terjadi secara luas dan memiliki trias pada penemuan klinisnya.
Trias tersebut adalah onset terjadinya sebelum usia 20 tahun, merupakan
ophthalmoplegia ekternal progresif kronik, dan retinopati pigmentosa. Selain
itu terdapat beberapa gejala seperti blok jantung komplit, kadar protein
cairan serebospinal lebih dari 1 gr/liter atau terjadi serebelar ataksia.
KSS merupakan penyakit yang bersifat sporadis, yang ditandai dengan
miopathy mitokondria. Berbagai derajat ptosis dan kelemahan otot
ekstraokuler dapat ditemukan, biasanya tanpa disertai diplopia. Penyakit ini
harus dibedakan dengan miastenia gravis, yaitu pada penyakit ini tidak
didapatkan pola remisi dan kambuh secara berulang. Penyakit ini disebabkan
oleh delesi pada mtDNA yang diduga terjadi secara spontan pada ovum atau
zigot. Delesi yang sering terjadi (sekitar 1/3 pasien), terjadi pada mtDNA
4977 bp.

2.3.3 Gejala Klinis


Pada ophtalmoplegia, mata tidak bergerak bersamaan sehingga pasien
mengeluh penglihatan ganda (diplopia). Selain itu juga terdapat keluhan
berupa mata buram. Beberapa penderita juga mengeluh kesulitan
menggerakkan bola matanya ke arah tertentu atau terdapat kelumpuhan
pada palpebra superior. Gejala lainnya dapat berupa kesulitan menelan dan
kelemahan pada otot-otot tubuh secara general.

Kelumpuhan saraf motorik mata berakibat pada gangguan pergerakan


mata; kesejajaran mata-pada stadium akut, sedikitnya memiliki tingkat
keparahan yang bervarasi dalam berbagai posisi tatapan tergantung otot
mana yang lumpuh; dan ptosis bila terdapat kelumpuhan otot levator
palpebra superioris. Ketidaksejajaran sumbu penglihatan berakibat diploplia,
kecuali bila ada supresi, yang lebih sering timbul pada anak-anak daripada
orang dewasa. Dapat disertai pusing dan rasa tidak seimbang, tetapi
keluhanan ini menghilang dengan penutupan satu mata. Dapat timbul
kelainan posisi kepala. Pada kelumpuhan nervus keenam, kepala menoleh ke
sisi yang lumpuh, dan pada kelumpuhan nervus keempat, posisi kepala
miring ke sisi kontralateral. Kelumpuhan suatu otot ekstraokular dapat
dirangsang dengan melakukan restriksi kerja otot pasangannya, misalnya
keterbatasan abduksi dapat terjadi akibat restriksi rektus medialis bukan
akibat kelumpuhan rektus lateralis.
Pada sklerosis multipel neuritis optik mungkin merupakan manifestasi
yang pertama. Dapat timbul serangan berulang, dan mata sebelahnya
biasanya juga terkena. Secara keseluruhan insiden neuritis optik pada
sklerosis multipel adalah 90% dan adanya keterlibatan nervus optikus yang
simptomatik atau sub klinis merupakan petunjuk diagnostik yang penting.
Diplopia adalah gejala awal yang umum ditemukan, paling sering terjadi
akibat ophthalmoplegia internuklear yang sering mengenai kedua mata.
Penyebab yang kurang umum, yaitu lesi pada nervus kranialis ketiga atau
keenam dalam batang otak. Nistagmus adalah tanda awal yang umum
terjadi, dan tidak seperti kebanyakan manifestasi penyakit ini (yang
cenderung mengalami remisi) nistagmus sering menetap.
Sklerosis multipel menimbulkan peradangan intraokular, terutama
pembentukan selubung (sheating) vena retina perifer, yang dapat diperjelas
dengan angiografi fluoresein. Selain ganggun pada mata, mungkin
ditemukan kelemahan motorik disertai tanda-tanda piramidal, ataksia,
inkoordinasi tungkai dengan tremor intensif, disartria, gangguan berkemih
dan atau buang air besar dan gangguan sensorik khususnya parastesia.

Miastenia gravis sering ditemukan pertama kali sebagai kelemahan otot-


otot ekstraokuler. Ptosis unilateral karena kelelahan otot sering merupakan
tanda awal yang diikuti oleh keterlibatan otot-otot ekstraokular bilateral
sehingga gejala awalnya sering berupa diplopia. Pada kasus yang tidak
diobati, dapat segara timbul kelemahan umum lengan dan tungkai, kesulitan
menelan, kelemahan otot-otot rahang, dan kesulitan bernapas. Kelemahan
ini memperlihatkan variasi diurnal dan sering memburuk seiring dengan
berlalunya hari tetapi dapat membaik setelah tidur siang. Pada penyakit ini
tidak didapatkan gangguan sensorik.
Gejala dari KSS adalalah terjadinya ptosis, pergerakan bola mata yang
terbatas, kehilangan kemampuan pendengaran terutama pada suara
frekuensi tinggi, kelemahan ringan pada otot-otot tangan dan kaki, kesulitan
ringan pada proses menelan (disfagia), retinopati pigmentosa, neuropati
perifer seperti mati rasa, ataksia, dan gangguan pada irama jantung.

2.3.4 Diagnosis
Diagnosis multipel skelrosis didasarkan pada adanya kelainan pada
substansi alba pada sistem saraf sentral yang bersifat diseminata
(Schumacher criteria), yang didukung dengan hasil pemeriksaan MRI dan
adanya keabnormalan pada cairan serebrospinalis (kriteria posner).
Penemuan Oligoclonal bands pada cairan serebrospinal menandakan adanya
produksi imunoglobuin intratekal merupakan karakteristik dari multipel
sclerosis, namun penemuan ini bukan merupakan diagnosis pasti. Dapat juga
ditemukan limfositosis pada cairan serebrospinal atau peningkatan ringan
dari protein serebrospinal pada saat fase akut. Pada multipel sclerosis juga
didapatkan adanya neuritis optik hampir pada 60% penderita.
Defek lapisan serat saraf retina yang sesuai untuk neuritis optik sub klinis
dapat terdeteksi pada 68% pasien sklerosis multipel. VER mungkin dapat
mengkonfirmasi terkena atau tidaknya jaras penglihatan. Hasil VER tidak
normal pada 80% kasus sklerosis multipel yang jelas, 43% kasus probable,
dan 22& kasus dugaan sklerosis multipel.
Diagnosis dari miastenia gravis yaitu dengan menemukan antibodi
reseptor anti-asetilkolin. Pasien dengan antibodi positif harus menjalani
pemeriksaan CT scan atau MRI dada untuk mendeteksi adanya pembesaran
timus. Timoma terjadi pada 15% pasien. Sebagian besar pasien dengan
miastenia gravis generalisata tanpa antibodi reseptor asetilkolin memiliki
antibodi terhadap reseptor tirosin kinase yang spesifik. Pasien-pasien ini
biasanya perempuan, dengan otot-otot bulbar dan kranial paling banyak
terkena, sering terjadi krisis respiratorik, dan respon terhadap terapi yang
lebih buruk.
Endrofonium intravena atau neostigmin intramuskular dapat digunakan
untuk diagnosis. Pada uji endrofonium (tensilon), atropin intravena
disarankan untuk diberikan sebagai praterapi. Endrofonium, 2 mg diberikan
secara intravena dalam 15 detik. Bila tidak timbul respon dalam 30 detik,
diberikan tambahan 5-7 mg. Uji ini paling bermakna bila ptosisnya mencolok.
Perbaikan fungsi otot yang bermakna menunjukkan suatu respon positif dan
memastikan diagnosis miastenia gravis (Vaughan & Asbury, 2013).

2.3.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ophthalmoplegia, terapi didasarkan atas
penyebabnya. Pada multipel sklerosis, pengobatan dapat diberikan metil
prednisolone intravena untuk kekambuhan yang bersifat akut, namun
pemberian obat ini tidak mempengaruhi disabilitas yang ditimbulkan oleh
penyakit maupun frekuensi kekambuhan penyakit. Selain itu, dapat juga
diberikan interferon dan glatiramer asetat (kopolimer 1) untuk mengurangi
tingkat keparahan dan tingkat kekambuhan penyakit dan memperlambat
progresivitas gambaran abnormal pada MRI. Pengobatan lain yang dapat
diberikan yaitu berup sitostatik, namun efektifitas dari obat golongan ini
masih dalam proses penelitian.
Pasien miastenia gravis dapat diobati dengan piridostigmin, steroid
sistemik, imunosupresan lain seperti azatioprin, imunoglobulin, dan
plasmafaresis, bergantung pada keparahan penyakitnya. Pada eksaserbasi
yang berat, mungkin diperlukan pernapasan buatan. Timektomi mungkin
diindikasikan pada pasien dengan timoma.

Вам также может понравиться

  • Diare Pada Anak
    Diare Pada Anak
    Документ77 страниц
    Diare Pada Anak
    Sheila Amabel
    78% (9)
  • Etika Publik PDF
    Etika Publik PDF
    Документ78 страниц
    Etika Publik PDF
    saifullah
    Оценок пока нет
  • Akuntabilitas 2
    Akuntabilitas 2
    Документ76 страниц
    Akuntabilitas 2
    Cik'cak Pmc 'nya Astry'
    Оценок пока нет
  • Abc
    Abc
    Документ128 страниц
    Abc
    Wyendae Cliquers
    Оценок пока нет
  • Leukosit Dan Stroke PDF
    Leukosit Dan Stroke PDF
    Документ8 страниц
    Leukosit Dan Stroke PDF
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
    TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
    Документ21 страница
    TERAPI CAIRAN DAN ELEKTROLIT
    Mona Mentari Pagi
    Оценок пока нет
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Документ11 страниц
    Bab Ii
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • KD Pedoman
    KD Pedoman
    Документ23 страницы
    KD Pedoman
    Valencia Jane
    Оценок пока нет
  • Panduan Praktik Klinis Abortus
    Panduan Praktik Klinis Abortus
    Документ2 страницы
    Panduan Praktik Klinis Abortus
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Manual Punksi Supra Pubik
    Manual Punksi Supra Pubik
    Документ8 страниц
    Manual Punksi Supra Pubik
    Anindita Putri Hapsari
    Оценок пока нет
  • ASPIRASI
    ASPIRASI
    Документ8 страниц
    ASPIRASI
    prof01farid
    Оценок пока нет
  • Fisioterapi Pada Ptosis Dan Diplopia
    Fisioterapi Pada Ptosis Dan Diplopia
    Документ3 страницы
    Fisioterapi Pada Ptosis Dan Diplopia
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • BAB III Bell's Palsy New
    BAB III Bell's Palsy New
    Документ21 страница
    BAB III Bell's Palsy New
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Документ9 страниц
    Bab Ii
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Cpap PDF
    Cpap PDF
    Документ10 страниц
    Cpap PDF
    lintangellaoh
    Оценок пока нет
  • Fisioterapi Pada Ptosis Dan Diplopia PDF
    Fisioterapi Pada Ptosis Dan Diplopia PDF
    Документ15 страниц
    Fisioterapi Pada Ptosis Dan Diplopia PDF
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Fisioterapi Pada Ptosis Dan Diplopia
    Fisioterapi Pada Ptosis Dan Diplopia
    Документ3 страницы
    Fisioterapi Pada Ptosis Dan Diplopia
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Документ11 страниц
    Bab Ii
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Документ3 страницы
    Daftar Pustaka
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Bab Iii (H)
    Bab Iii (H)
    Документ17 страниц
    Bab Iii (H)
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Malaria
    Malaria
    Документ2 страницы
    Malaria
    Forget Menot
    Оценок пока нет
  • Penanganan Anak Dengan Diare
    Penanganan Anak Dengan Diare
    Документ11 страниц
    Penanganan Anak Dengan Diare
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • BAB I Stroke
    BAB I Stroke
    Документ3 страницы
    BAB I Stroke
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • ESDM
    ESDM
    Документ41 страница
    ESDM
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Patofisiologi Tromboemboli Vena
    Patofisiologi Tromboemboli Vena
    Документ20 страниц
    Patofisiologi Tromboemboli Vena
    Neta Noo Novalia
    Оценок пока нет
  • BAB I Bell's Palsy New
    BAB I Bell's Palsy New
    Документ6 страниц
    BAB I Bell's Palsy New
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • Jurding THT 1
    Jurding THT 1
    Документ12 страниц
    Jurding THT 1
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • CJT-Hiperbilirubin Dan Sepsis Neonatorum
    CJT-Hiperbilirubin Dan Sepsis Neonatorum
    Документ36 страниц
    CJT-Hiperbilirubin Dan Sepsis Neonatorum
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет
  • BAB II Bells Palsy New
    BAB II Bells Palsy New
    Документ6 страниц
    BAB II Bells Palsy New
    Kartika Purnama Sari
    Оценок пока нет