Вы находитесь на странице: 1из 2

Nama : Adrian Ajjurrahman

NIM : 125020200111013
Pepajakan Kamis Pagi (BC)
Ketika Pajak Bukan Pencitraan

"Budaya Pajak adalah buah ekspresi dari spiritualitas manusia dan kreatifitas".
Itu diungkapkan ekonom terkemuka dunia Joseph Alois Schumpeter lebih dari
70 tahun silam. Setelah Schumpeter, definisi budaya pajak juga dikembangkan oleh
ekonom-ekonom barat lainnya seperti, antara lain, Armin Spitaler (1954) dan Alfons
Pausch (1992).
Yang perlu digarisbawahi di sini bukan lah pada definisi budaya pajak
menurut ekonom-ekonom tersebut, tapi pendekatan orang-orang barat terhadap
kewajiban pajak itu sendiri. Bagi orang-orang terdidik barat, pajak tidak dipandang
sekadar sebagai pengamanan penerimaan negara, bagian dari sistem ekonomi
negara, ataupun sebatas pencitraan sebagai warga negara yang baik dengan taat
melaporkan SPT, pun bukan sebatas sebagai kewajiban kepada negara yang harus
ditunaikan, tapi bahwa membayar pajak harus menjadi bagian dari budaya bangsa
itu sendiri.
Ketika pajak telah menjadi budaya, publik dan wajib pajak (WP) khususnya
tidak lagi melihat pajak sebagai kewajiban semata tapi sebagai kebutuhan. Sehingga
ketika mereka tidak bayar pajak, akan merasa ada yang kurang atau suatu yang
tidak lengkap dalam kehidupan mereka, sehingga mereka pun bayar pajak agar
dapat menutupi kekurangan atau melengkapi kebutuhan jiwa mereka.
Hal tersebut, dapat kita lihat pada kasus saudara-saudari muslim yang
antusias bayar zakat, bahkan mencari amil-amil zakat agar dapat menarik zakat
mereka. Kewajiban zakat bagi mereka telah menjadi kebutuhan dan budaya hidup
mereka. Jika pajak sebagaimana pengumpulan zakat di Indonesia saat ini bisa
dibuat sebagai budaya atau bagian dari gaya hidup masyarakat, maka ungkapan
Schumpeter bahwa budaya pajak adalah buah ekspresi dari spiritualitas manusia
dan kreatiftas dapat diwujudkan di Indonesia.
Lalu bagaimana dapat membuat Pajak sebagai bagian dari budaya
masyarakat? Dari hasil wawancara danbrainstorming dengan beberapa tokoh-tokoh
publik setahun lalu, penulis mendapatkan masukan-masukan yang menarik.
Salahsatunya dari pakar filsafat Islam Haidar Bagir yang mengusulkan agar
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) memberikan penjelasan tentang fungsi sakral pajak
agar para pembayar pajak juga merasa bahwa pajak adalah sesuatu yang sakral,
dan bukan sekadar kegiatan sekular biasa. "Dengan menjadikan pembayaran pajak
bersifat sakral, maka baru bisa diharapkan adanya dorongan keagamaan dalam
pembayaran pajak," argumennya saat itu.
Menurutnya, pajak adalah alat redistribusi pendapatan, untuk mewujudkan
larangan Allah atas "beredarnya harta pada kalangan tertentu saja", sekaligus
sebagai bentuk sedekah - bahkan itsar (pengorbanan diri) - untuk melawan egoisme
dan terus meningkatkan ketakwaan.
Sedangkan menurut Romo Franz Magnis-Suseno, SJ, penarikan pajak harus
terasa adil dan zero corruption dalam pengumpulan, pendistribusian hingga
penggunaannya. Jika kedua syarat ini dipenuhi maka pemerintah akan mudah
membudayakan kegiatan membayar pajak kepada masyarakat luas, dan bukan
Nama : Adrian Ajjurrahman
NIM : 125020200111013
Pepajakan Kamis Pagi (BC)
sekadar mensosialisasikan kegiatan membayar pajak sebagai suatu kewajiban
kepada negara saja.
Apa yang kemudian dapat penulis simpulkan setelah menerima masukan-
masukan dan argumen-argumen dari para tokoh publik itu adalah, bahwa untuk
membudayakan kegiatan membayar pajak kepada publik dapat dilakukan hanya jika
DJP merangkul dengan simpatik semua stakeholder pajak meliputi antaralain para
pembuat kebijakan publik, akademisi, agamawan, wartawan, komunitas WP dan
konsultan pajak. Tanpa membangun suatu kerjasama yang kuat dan sinergis maka
persepsi publik akan tetap saja melihat pajak sebatas sebagai kewajiban kepada
negara dan bukan sebagai bagian kebutuhan bahkan budaya bangsa yang
membanggakan. Mari satukan hati dalam membangun budaya nasional pajak demi
negeri.

Вам также может понравиться