Вы находитесь на странице: 1из 5

Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam

kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam atau faktor nonalam

maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa,

lingkungan yang rusak, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

alam adalah bencana yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi,

tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor

(BNPB, 2012).

Dampak akibat bencana alam yang ditanggung oleh masyarakat, tidak

hanya berupa fisik seperti kerugian materi, rumah, harta benda, aset-aset dan

pekerjaan, melainkan juga berupa non-fisik seperti kehilangan anggota keluarga

serta dampak psikologis yang membutuhkan waktu yang relatif lama untuk

pemulihannya (Astuti, 2006). Salah satu bentuk dampak psikologis yang sering

ditemui pada masyarakat korban bencana alam adalah Post Traumatic Stress

Disorder (PTSD) (Erwina, 2010).

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) muncul sebagai manifestasi dari

pengalaman mengerikan. Penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

adalah mereka yang merupakan korban hidup yang secara fisik selamat, tetapi

secara mental masih berada dalam tekanan psikologis dan terus-menerus berada

dalam keadaan tersebut (Hartuti, 2009).

Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders 4th Edition

(DSM-IV-TR) dinyatakan bahwa gejala PTSD menggambarkan suatu stres yang

terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (APA, 2000). Gejala-gejala PTSD

bisa mulai muncul seminggu hingga tiga puluh tahun setelah peristiwa traumatik.
Individu dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) akan selalu teringat

trauma melalui memori atau mimpi tentang peristiwa yang terkait dengan trauma.

Gangguan ini dapat terjadi pada semua usia termasuk anak-anak dan remaja

(Astuti, 2012).

Anak-anak dan remaja merupakan salah satu kelompok usia rentan

terhadap dampak dari kejadian bencana yang dialaminya. Kelompok usia anak

yang mengalami trauma akan lebih sulit disembuhkan daripada orang dewasa. Hal

ini terjadi karena orang dewasa mempunyai kemampuan untuk mengelola emosi

dalam diri, sementara pada anak-anak kemampuan ini masih sangat sedikit

(Murtanti, 2009). Anak-anak belum memiliki mekanisme koping yang adekuat

secara fisik dan emosional untuk menghadapi trauma. Trauma ini dapat

mengakibatkan adanya gangguan kejiwaan saat mereka tumbuh dewasa dan

mempengaruhi temperamen mereka (Sadock & Sadock, 2007; Murtanti, 2009).

Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja yang

menderita PTSD menunjukkan kesulitan dalam prestasi akademik, interaksi

sosial, berkurangnya harapan pada masa depan dan perilaku agresi. Jika tidak

ditangani, hal ini dapat mempengaruhi kemampuan mereka untuk mencapai tahap

perkembangan dan berfungsi sepenuhnya menjadi orang dewasa (Anderson,

2005).

Berdasarkan beberapa penelitian yang sudah dilakukan baik diluar negeri

maupun di dalam negeri menunjukkan banyak anak dan remaja yang mengalami

Post Traumatic Stress Disorder setelah kejadian bencana alam. Seperti penelitian

yang dilakukan oleh Thienkrua (2006) yang meneliti prevalensi PTSD pada anak
usia 7-14 tahun setelah bencana Tsunami di Thailand bagian selatan didapatkan

hasil 13% anak mengalami PTSD (Thienkrua, 2006).

Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Wei (2012) prevalensi PTSD di

kalangan siswa sekolah menengah pertama setelah gempa di Wenchuan Cina ada

28,4% mengalami PTSD. Dan penelitian yang dilakukan oleh Taukeni (2015)

kejadian PTSD pada anak usia 8-18 tahun pasca 2 tahun banjir di Namibia

didapatkan 55,2% anak dibawah usia 12 tahun mengalami PTSD.

Ada juga beberapa penelitian tentang PTSD yang dilakukan di Indonesia

seperti penelitian yang dilakukan oleh Gulo (2005) tentang Gambaran Post

Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada Remaja Teluk Dalam Pasca 8 Tahun

Bencana Gempa Bumi di Pulau Nias menunjukkan hasil 32.6% remaja mengalami

PTSD. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Parwulan (2010) yang

meneliti Gambaran Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada anak usia 7-14

tahun pasca Gempa Bumi di Pangalengan Kabupaten Bandung didapatkan hasil

anak usia 7-11 tahun mengalami PTSD berat (88,88%), anak usia 12-14 tahun

mengalami PTSD berat (55%). Dari beberapa hasil penelitian yang sudah

dilakukan dapat disimpulkan bahwa banyak anak yang mengalami trauma pasc

bencana alam yang mereka alami.

Kabupaten Garut adalah kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Barat

bagian Selatan pada koordinat 656'49'' - 7 45'00'' Lintang Selatan dan 10725'8'' -

1087'30'' Bujur Timur. Kabupaten Garut memiliki luas wilayah sebesar 306.519

Ha (3.065,19 km). Kabupaten Garut berbatasan dengan Kabupaten Sumedang di

sebelah Utara, Kabupaten Tasikmalaya di sebelah Timur, Kabupaten Bandung di


sebelah Barat dan Samudera Hindia di sebelah Selatan (Garutkab, 2015).

Berdasarkan peta indeks rawan bencana Kabupaten Garut termasuk dalam

kategori rawan tinggi terjadi bencana alam (BNPB, 2012). Hal tersebut terbukti

dengan adanya bencana banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Garut pada

bulan September 2016.

Kabupaten Garut mengalami bencana banjir bandang pada tanggal 20

September 2016. Banjir tersebut terjadi akibat hujan deras sejak Selasa malam

tanggal 20 September 2016, yang menyebabkan air di Sungai Cimanuk meluap.

Ketinggian banjir mencapai 1,5 meter hingga 2 meter (BNPB, 2012). Banjir

melanda 7 kecamatan di Kabupaten Garut yaitu Kecamatan Garut Kota, Tarogong

Kidul, Tarogong Kaler, Bayongbong, Banyuresmi, Karangpawitan dan Cibatu.

Kecamatan yang paling banyak mengalami kerusakan adalah Kecamatan

Tarogong Kidul. Sektor perumahan terkena dampak yang paling parah dimana ada

255 rumah terbawa hanyut, 605 rumah rusak berat, 200 rumah rusak sedang dan

961 rumah rusak ringan. Total kerusakan dan kerugian pasca bencana banjir

bandang Garut mencapai Rp 288 milyar (BNPB, 2016).

Banjir bandang ini merupakan banjir terparah di Kabupaten Garut dengan

jumlah korban meninggal 34 orang, korban hilang 19 orang dan korban luka-luka

35 orang. Sampai pada tanggal 04 November 2016 jumlah pengungsi korban

banjir ada 1343 orang. Para pengungsi menempati beberapa lokasi posko

pengungsian yang tersebar di 7 lokasi, diantaranya di Rusunawa Gandasari, di

Gedung Islamic Center Garut, di Gedung Transito, di Bale Paminton, di Local

Education Center, di Gedung Al Musadaddiyah dan di Gedung LPSE Garut

(BPBD Garut, 2016).


Pengungsi dari daerah yang paling parah terkena dampak banjir berada di

Posko Pengungsian Gandasari. Para penghuni yang menempati posko ini adalah

mereka yang rumahnya terbawa hanyut dan rumahnya yang rusak parah sehingga

tidak layak untuk ditempati. Posko pengungsian ini merupakan posko dengan

penghuni terbanyak yaitu 366 jiwa. Untuk itu peneliti memilih tempat penelitian

di Posko Pengungsian Gandasari.

Berdasarkan hasil wawancara kepada anak korban banjir bandang di Posko

pengungsian Gandasari pada tanggal 19 November 2016, semua anak mengatakan

trauma dan takut banjir akan terjadi lagi apalagi saat hujan turun, 3 orang anak

mengatakan kadang terbawa mimpi kejadian banjir yang pernah mereka alami, 8

orang anak merasa sangat merasa sedih berada dalam situasi yang mengingatkan

akan kejadian banjir bandang tersebut.

Вам также может понравиться