Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
damayanti327
Just another WordPress.com site
Hubungan Agama dan Budaya: Tinjauan Sosiokultural
Tinjauan Sosiokultural
1. Pengertian Agama
Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama
berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau.
Jadi fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau
sekelompok orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam
sekitarnya tidak kacau. Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata
benda berfungsi memelihara integritas dari seseorang atau sekelompok orang
agar hubungannya dengan realitas tertinggi, sesama manusia dan alam
sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh penerapan peraturan agama
tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang, dimaknai dan
diberlakukan.
Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang
berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang
berarti mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian
bagaimana manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi
(vertikal) dalam penyembahan dan hubungannya secara horizontal (Sumardi,
1985:71)
Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi
secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam
pertemuan itu manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah
untuk merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti
melihat kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan
tuhan yang harus diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.
Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti
yang dimaksudkan dalam Al-Quran surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4).
Agama Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin
manusia untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara
fenomenologis, agama Islam dapat dipandang sebagai Corpus syariat yang
diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya, karena melalui syariat itu
hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang ini membuat
agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan
doktrin.
Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis (Andito
ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap
keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.
Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama
sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama
memandang sebagai suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan
disini dan diseberang sana.
Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku
jawabannya terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal.
Keprihatinan yang maha luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi
atau kelompok terhadap Tuhan, terhadap manusia dan terhadap alam semesta
raya serta isinya ( Sumardi, 1985:75)
Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap
panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup
manusia yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam
semesta raya dengan segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama
adalah suatu gerakan dari atas atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang
berada dibawah.
Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses
interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk
suatu agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor
geografis, budaya dan beberapa kondisi yang objektif.
Lapisan ketiga adalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang
menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai
pengendalian diri dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.
Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama
ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang
dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak
menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional
tapi sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri.
Atas dasar kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan,
rumah sakit, sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.
Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-
agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu
dipelihara. Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-
sendiri maka dalam zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama
memelihara dan mengembangkan aset bangsa tersebut. Cita-cita ini barulah
dapat diwujudkan apabila setiap golongan agama menghargai legacy tersebut
Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai
aset itu bagi bagi pengembangan budaya Indonesia. Karena ketidak sadaran itu
maka kita melecehkan suatu golongan agama sebagai golongan yang tidak
pernah berbuat apa-apa. Kalaupun besar nilainya, tapi karena hasil-hasil itu
bukan dari golonganku, maka kita merasa tidak perlu mensyukurinya. Lebih
buruk lagi, jika ada yang berpenderian apa yang diluar kita adalah jahat dan
patut dicurigai. Persoalan kita, bagaimana kita dapat menghargai monumen-
monumen budaya itu sebagai milik bangsa, untuk itu kita perlu:
Daftar Pustaka
Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik,
Bandung, Pustaka Hidayah, 1998.