Вы находитесь на странице: 1из 42

REFERAT

ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

CEREBROVASCULAR ACCIDENT

Pembimbing:

dr. Eka Poerwanto Sp. KFR

Penyusun:

I Made Rayo P.I. 2015.04.2.0067

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
SURABAYA

2016
HALAMAN PENGESAHAN

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

CEREBROVASCULAR ACCIDENT

Telah disetujui dan disahkan sebagai Referat Ilmu Kedokteran Fisik dan
Rehabiltasi Fakultas Kedokteran Hang Tuah Surabaya

Surabaya, November 2016

Pembimbing

dr. Eka Poerwanto Sp. KFR

i
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan referat ilmu kedokteran fisik dan rehabilitasi dengan judul
Cerebrovascular Accident.

Penyelesaian referat ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak


yang telah memberikan masukan dan dukungan kepada penulis. Untuk itu
penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1.Dokter Pembimbing Puskesmas, dr. Eka P. Sp.KFR

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dari laporan


ini, baik dari materi maupun teknik penyajiannya, mengingat kurangnya
pengetahuan dan pengalaman penulis, oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun sangat penulis harapkan.

Surabaya, November 2016

Penulis

ii
Daftar Isi

HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................i

Kata Pengantar....................................................................................... ii

Daftar Isi................................................................................................ iii

Daftar Tabel........................................................................................... iv

Daftar Gambar....................................................................................... v

Bab 1. Pendahuluan.............................................................................. 1

Bab 2. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................3

2.1 Sistem Vaskularisasi Otak..........................................................3

2.2 Cerebrovascular Accident..........................................................4

2.2.1 Definisi................................................................................ 4

2.2.2 Epidemiologi.......................................................................5

2.2.3 Faktor Risiko Stroke.............................................................6

2.2.4 Klasifikasi dan Penyebab Stroke..........................................6

2.2.5 Patogenesis.........................................................................9

2.2.6 Patofisiologi.......................................................................12

2.2.7 Diagnosa...........................................................................13

2.2.8 Penatalaksanaan...............................................................17

Bab 3. KESIMPULAN............................................................................ 33

Daftar Pustaka..................................................................................... 34

iii
Daftar Tabel

Tabel 2.1 Faktor Resiko Stroke...............................................................6

Tabel 2.2 Klasifikasi Penyebab Stroke..........................................................6

Tabel 2.3 Presentasi gejala sesuai arteri yang mensuplai..............................14

Tabel 2.4 Perbedaan stroke hemoragik dan non-hemoragik...........................16

iv
Daftar Gambar

Gambar 2.1 Suplai vascular otak............................................................4

Gambar 2.2 Terjadinya emboli di Arteri Karotis Komunis.................................8

Gambar 2.3 Jenis jenis stroke non hemoragik...........................................11

v
Bab 1. Pendahul

uan

Stroke merupakan masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian


khusus dan dapat menyerang siapa saja dan kapan saja, tanpa
memandang ras, jenis kelamin, atau usia.

Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda


tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau
global), dengan gejala gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih,
dapat menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain Vaskuler.

Stroke adalah penyakit pada otak berupa gangguan fungsi syaraf lokal
dan/atau global, munculnya mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi
syaraf pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non
traumatik. Gangguan syaraf tersebut menimbulkan gejala antara lain:
kelumpuhan wajah atau anggota badan, bicara tidak lancar, bicara tidak jelas
(pelo), mungkin perubahan kesadaran, gangguan penglihatan, dan lain-lain.

Stroke adalah penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan


kanker. Di Amerika terdapat sekitar 700.000 ribu kasus stroke setiap tahunnya,
600.000 di antaranya stroke infark dan 100.000 ribu kasus stroke perdarahan.

Di Amerika, sekitar tiga per empat dari jutaan individu mempunyai


stroke dan 150.000 ( 90.000 perempuan dan 60.000 laki) meninggal
karena stroke tiap tahun. Pada saat yang bersamaan sekitar 2 juta
penyandan stroke hidup di Amerika. Di Cina, sekitar 1.5 juta orang
meninggal tiap tahun karena stroke. Menurut penelitian di Amerika
seseorang terkena stroke tiap 45 detik, dan setiap 3 menit seseorang
meninggal karena stroke

Sudah sejak lama, stroke menjadi penyebab ketiga kematian pada


banyak negara di dunia, sama seperti penyakit jantung dan kanker. Stroke
menjadi hal yang penting karena disabilitas yang memanjang. Para
penyandang stroke seringkali tidak bisa kembali bekerja atau berfungsi
kembali sebagai orang tua, teman, dan warga negara. Biaya

1
ekonomi,social dan psikologis sangat besar. Di Amerika, setiap pasien
dengan stroke iskemi habis 140.000 dolar dan menghabiskan sekitar 65.5
miliar dolar untuk penyandang stroke pada tahun 2008.
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar
12,1 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis nakes tertinggi di Sulawesi
Utara (10,8), diikuti DI Yogyakarta (10,3), Bangka Belitung dan DKI Jakarta
masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan 92 terdiagnosis nakes
dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9), DI Yogyakarta
(16,9), Sulawesi Tengah (16,6), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per mil.
(riskesdas)

2
Bab 2. TINJA

UAN PUSTAKA

2.1 Sistem Vaskularisasi Otak


Otak mendapat suplai darah dari dua pasang pembuluh arteri yaitu Arteri
Vertebralis dan Arteri karotis interna. Arteri karotis Interna berawal dari arteri
karotis komunis dan berjalan ke atas ke permukaan otak, memberi cabang
cabang preterminal sampai muncul di sebelah lateral dari kiasma optikus. Arteri
Verterbalis berjalan naik dan bergabung membentuk arteri basiler yang berjalan
bersamaan dengan pons. Sesampainya di pons, arteri basiler memberi suplai
pons dengan membentuk arteri pontine dan bagian besar arteri serebelar
anterior inferior yang mensuplai bagian anterior dan inferior dari serebelum. Arteri
basiler juga bercabang menjadi arteri labyrinthine yang berjalan di meatus
akustitku interna untuk mensuplai telinga dalam. Cabang utama dari Arteri
Vertebralis adalah arteri cerebral posterior (PCA), dimana berjalan ke lobus
oksipital dari hemisfer serebrum termasuk visual kortex dan arteri cerebellum
superior yang mensuplai bagian superior dari cerebellum.

Arteri Karotis interna membentuk cabang arteri cerebral anterior dan


media. Arteri cerebral anterior berjalan di medial bagian atas kiasma optikus dan
berada di fisura longitudinal dari lobus frontalis. Arteri ini mensuplai bagian
medial dari permukaan lobus parietal dan frontalis dan mensuplai kortek sensoris
dan motorik. Arteri ini berhubungan dengan satu sama lain membentuk arteri
komunikan anterior. Arteri cerebral media adalah pembuluh darah terbesar dari
arteri cerebral, terbagi dan mensuplai hampir ke seluruh bagian lateral dari
permukaan otak lobus frontalis, parietal dan temporal termasuk korteks motorik
dan sensorik, insula dan korteks auditori.

Arteri vertebralis berawal dari arteri subclavia dan masuk ke kavum


cranial melalui foramen magnum, lalu bercabang menjadi arteri spinalis anterior
dan posterior yang mensuplai korda spinalis dan medulla. Cabang terbesarnya
adalah arteri serebellar posterior inferior yang mensuplai bagian inferior dari
cerebellum.

3
Dua pensuplai utama dari otak disebut system karotis internal dan
vertebrobasiler dan arteri komunikans posterior menghubungkan kedua system
ini dan disebut sebagai Circle of Willis.

Gambar 2.1 Suplai vascular otak

2.2 Cerebrovascular Accident

2.2.1 Definisi
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan
oleh gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan dapat

menimbulkan cacat atau kematian.

Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular


Disease(CVD) dan kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI)
mengistilahkan stroke sebagai penyakit akibat gangguan peredaran darah otak
(GPDO).

Stroke adalah suatu syndrome yang terdiri dari 4 hal yaitu :

Onset yang mendadak

Gangguan fokal dari system saraf pusat

Resolusi yang lama

Disebabkan oleh karena gangguan vaskular

4
Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai serangan
otak (brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas)

2.2.2 Epidemiologi
Data stroke di Indonesia menunjukkan peningkatan terus baik dalam hal
kejadia, kecatatan, maupun kematian. Angka kematian berdasarkan umur adalah
sebesar 15,9% (umur 45 55) dan 26,8% (umur 55 64 thn) dan 23,5% (umur
>65 thn). Kejadia stroke sebesar 51,6/100.000 penduduk, dan kecatatan 4,3%
dan semakin memberat, penderita laki laki lebih banyak daripada penderita
perempuan.

Stroke adalah penyebab kematian ketiga setelah penyakit jantung dan


kanker. Di Amerika terdapat sekitar 700.000 ribu kasus stroke setiap tahunnya,
600.000 di antaranya stroke infark dan 100.000 ribu kasus stroke perdarahan.
(buku ajar ilmu saraf). Stroke diderita oleh 200 orang per 100.000 penduduk per
tahunnya. Stroke merupakan penyebab utama cacat menahun.
Pengklasifikasiannya adalah 65 85% merupaka stroke non hemoragik( 53%
adalah stroke trombotik dan 31% adalah stroke emboli) dengan angka kematian
stroke trombotik 37% dan stroke emboli 60%. Presentasi stroke hemoragik
hanya sebanyak 15 35%. 10 20% disebabkan oleh perdarahan atau
hematom intraserebral dan 5 -15% perdarahan subarachnoid. Angka kematian
stroke hemoragik mencapai 20 30%. ( Perdossi 2011).

Di Amerika, sekitar tiga per empat dari jutaan individu mempunyai


stroke dan 150.000 ( 90.000 perempuan dan 60.000 laki) meninggal
karena stroke tiap tahun. Pada saat yang bersamaan sekitar 2 juta
penyandan stroke hidup di Amerika. Di Cina, sekitar 1.5 juta orang
meninggal tiap tahun karena stroke. Menurut penelitian di Amerika
seseorang terkena stroke tiap 45 detik, dan setiap 3 menit seseorang
meninggal karena stroke (caplan stroke)

5
2.2.3 Faktor Risiko Stroke
Tabel 2.1 Faktor Resiko Stroke

Bisa dikendalikan Potensial dikendalikan TIdak bisa

Hipertensi Diabetes Melitus Umur

Penyakit Jantung Hiperhomosisteinemia Jenis kelamin

Merokok Hipertrofi ventrikel kiri Herediter

Anemia sel sabit Ras dan Etnis

TIA Geografi

2.2.4 Klasifikasi dan Penyebab Stroke


Tabel 2.2 Klasifikasi Penyebab Stroke

Berdasarkan patologi anatomi Berdasarkan stadium/ Berdasarkan sistem


dan penyebabnya pertimbangan waktu pembuluh darah

a. Stroke Iskemik a. TIA a. Sistem karotis

1) TIA b. Stroke in evolution b.Sistemvertebra


basiler
2) Trombosis serebri c. Completed stroke

3) Emboli serebri

b. Stroke Hemoragik

1) Perdarahan intraserebral

2)Perdarahan subarakhnoid

Stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria.


Menurut Misbach (1999) dalam Ritarwan (2002), klasifikasi tersebut
antara lain:

6
1. Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya:

Stroke iskemik

o Transient Ischemic Attack (TIA)

o Trombosis serebri

o Emboli serebri

Stroke hemoragik

o Perdarahan intraserebral

o Perdarahan subarakhnoid

2. Berdasarkan stadium atau pertimbangan waktu: (PRiguna)

Transient Ischemic Attack

TIA menggambarkan terjadinya suatu deficit neurologic


secara tiba tiba dan deficit tersebut berlangsung hanya
sementara ( tidak lebih dari 24 Jam). Diagnosa TIA
berimplikasi bahwa lesi vaskuler yang terjadi bersifat
reversible dan disebabkan oleh embolisasi. Sumber utama
embolisasi ialah plaque artheroma di arteri karotis interna
atau vertebrobasiler.

Stroke in evolution

Diagnosa SIE menggambarkan perkembangan deficit


neurologic yang berlangsung secara bertahap dan berangsur
angsur dalam waktu beberapa jam sampai 1 hari. SIE
berimplikasi bahwa lesi intravaskuler yang sedang
menyumbat arteri serebral berupa plak arteroma yang
sedang ditimbun oleh fibrin dan trombosit. Penimbunan
tersebut disebabkan oleh hiperviskositas darah atau karena
perlambatan arus aliran darah.

7
Completed Stroke Iskemik

Kasus CSI ialah kasus hemiplegic yang disajikan kepada


pemeriksa pada tahap dimana tubuh penderita sudah
memperlihatkan kelumpuhan sesisi yang sudah tidak
memperlihatkan progresi lagi. Dalam hal ini kesadaran tidak
terganggu. Lesi vaskuler bersifat iskemi serebri regional

Stroke Hemoragik

Diagnosa ini dibuat jika kelumpuhan tubuh sesisi terjadi


secara tiba tiba dan serentak mutlak lumpuh. Diagnosa
tersebut berimpilkasi bahwa kesadaran hilang dalam waktu
singkat setelah hemiplegic bangkit.

3. Berdasarkan sistem pembuluh darah:

Sistem karotis dan sistem vertebrobasiler. Stroke juga umumnya


diklasifikasikan menurut patogenesisnya. Dalam hal ini stroke
terbagi dalam dua klasifikasi, yaitu stroke iskemik dan stroke
hemoragik. Berdasarkan penelitian, dijumpai prevalensi stroke
iskemik lebih besar dibandingkan dengan stroke hemoragik.
Menurut Sudlow dan Warlow (1996) dalam Davenport dan Dennis
(2000), 80% dari seluruh kejadian stroke pada orang kulit putih
merupakan stroke iskemik

8
Gambar 2.2 Terjadinya emboli di Arteri Karotis Komunis

Stroke iskemik dapat terjadi berdasarkan 3 mekanisme yaitu:

1. Trombosis serebri
Trombosis serebri adalah obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses
oklusi satu atau lebih pembuluh darah lokal.

2. Emboli serebri
Emboli serebri adalah pembentukan material dari tempat lain dalam
sistem vaskuler dan tersangkut dalam pembuluh darah tertentu sehingga
memblok aliran darah.

3. Penurunan perfusi sistemik umum


Penurunan perfusi sistemik dapat mengakibatkan kondisi iskemik karena
kegagalan pompa jantung atau proses perdarahan atau hipovolemik.

Stroke hemoragik terjadi akibat pecahnya pembuluh darah:

1. di dalam jaringan otak yang mengakibatkan perdarahan intraserebral,


atau
2. di ruang subarakhnoid yang menyebabkan perdarahan subarakhnoid.

9
2.2.5 Patogenesis
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam
arteri arteri yang membentuk lingkaran Willis : arteri karotis interna dna sistem
vertebrobasiler atau semua cabang cabangnya. Secara umum, apabila aliran
darah ke jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark
atau kematian jaringan. Proses patologik yang mendasari mungkin salah satu
dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi
otak.

Patologinya dapat berupa (1) keadaan penyakit pada pembuluh darah itu
sendiri, seperti arterosklerosis dan trombosis, robeknya pembuluh darah, atau
peradangnan; (2) berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah,
misalnya syok hiperviskositas darah; (3) gangguan aliran darah akibat bekuan
atau embolus infeksi yang berasal dari jantung atau pembuluh ekstrakranium;
atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau ruang subarakhnoid.

Berdasarkan patogenesis stroke, maka perjalanan sakit akan dijabarkan


di bawah ini menjadi :

1. Stadium prapatogenesis yaitu stadium sebelum terjadinya gejala stroke.


Stadium ini umumnya penderita sudah mempunyai faktor risiko atau
memiliki gaya hidup yang mengakibatkan penderita menderita penyakit
degeneratif.

2. Stadium patogenesis, yaitu stadium ini dimulai saat terbentuk lesi


patologik sampai saat lesi tersebut menetap. Gangguan fungsi otak di sini
adalah akibat adanya lesi pada otak. Lesi ini umumnya mengalami
pemulihan sampai akhirnya terdapat lesi yang menetap. Secara klinis
defisit neurologik yang terjadi juga mengalami pemulihan sampai saraf
tertentu

3. Stadium pascapatogenesis yaitu stadium ini secara klinis ditandai dengan


defisit neurologik yang cenderung menetap. Usaha yang dapat dilakukan
adalah mengusahakan adaptasi dengan lingkungan atau sedapat
mungkin lingkungan beradaptasi dengan keadaan penderita.

Sehubungan dengan penatalaksanaannya maka stadium patogenesis dapat


dibagi menjadi tiga fase yaitu :

10
1. Fase hiperakut atau fase emergensi. Fase ini berlangsung selama 0 -3/12
jam pasca onset. Penatalaksanaan fase ini lebih ditujukan untuk
menegakkan diagnosis dan usaha untuk membatasi lesi patologik yang
terbentuk

2. Fase akut. Fase ini berlangsung sesudah 12 jam 14 hari pasca onset.
Penatalaksanaan pada fase ini ditujukkan untuk prevensi terjadinya
komplkasi, usaha yang sangat fokus ada restorasi/rehabilitasi dini dan
usaha preventif sekunder.

3. Fase Subakut. Fase ini berlangsung sesudah 14 hari kurang dari 180
hari pasca onset dan kebanyakan penderita sudah tidak dirawat di rumah
sakit serta penatalaksanaan lebih ditujukkan untuk usaha preventif
sekunder serta usaha yang fokus pada neurorestorasi / rehabilitasi dan
usaha menghindari komplikasi.

Gambar 2.3 Jenis jenis stroke non hemoragik

2.2.5.1 Patogenesis Stroke Iskemik


Stroke iskemik terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih
arteri besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh

11
bekuan yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh
organ distal kemudian terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung
dan kemudian dibawa melalui system arteri ke otak sebagai suatu
embolus. Pangkal Arteri karotis interna merupakan tempat tersering
terbentuknya arterosklerosis. Sumbatan aliran di arteri karotis interna
sering merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut, yang
sering mengalami pembentukan plak arterosklerosis I pembuluh darah
sehingga terjadi penyempitan atau stenosis.

2.2.5.2 Patogenesis Stroke Hemoragik


Stroke hemoragik terjadi akibat tekanan darah yang sangat tinggi
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan peredaran darah otak atau
stroke hemoragik yang dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
perdarahan subarachnoid dan perdarahan intraserebral.

1. Perdarahan subaraknoid

Patogenesis perdarahan subaraknoid yaitu darah keluar dari dinding


pembuluh darah menuju ke permukaan otak dan tersebar dengan cepat
melalui aliran cairan otak ke dalam ruangan di sekitar otak. Perdarahan
sering kali berasal dari rupturnya aneurisma di basal otak atau pada
sirkulasi wilis. Perdarahan subaraknoid timbul spontan pada umumnya
dan sekitar 10% disebabkan karena tekanan darah yang naik dan terjadi
saat aktivitas.

2. Perdarahan intraserebral

Patogenesis perdarahan intraserebral adalah akibat rusaknya struktur


vaskular yang sudah lemah akibat aneurisma yang disebabkan oleh
kenaikan darah atau pecahnya pembuluh darah otak akibat tekanan
darah yang melebihi toleransi. Menurut Tole dan Utterback, penyebab
perdarahan intraserebral adalah pecahnya mikroaneurisma Charcot-
Bouchard akibat kenaikan tekanan darah.

12
2.2.6 Patofisiologi
Patofisiologi Stroke Iskemik(Perdossi )

Iskemik otak mengakibatkan perubahan dari sel neuron otak secara bertahap.

Tahap 1 :

Penurunan aliran darah

Pengurangan O2

Kegagalan energi

Terminal depolarisasi dan kegagalan homeostasis ion

Tahap 2 :

Eksitoksisitas dan kegagalan homeostasis ion

Spreading depression

Tahap 3 : Inflamasi

Tahap 4 : Apoptosis proses patofiosologi pada cedera SSP akut sangat kompleks
dan melibatkan permeabilitas patologis dari sawar darah otak, kegagalan energi,
hilangnya homeostasis ion sel, asidosis, peningkatan kalsium ekstralseluler,
eksitotoksisitas dan toksisitas yang diperantarai oleh radikal bebas. (Perdossi )

2.2.6.1 Patofisiologi Stroke Hemoragik


Perdarahan intrakranial meliputi perdarahan di parenkim otak dan perdarahan
subaraknoid. Insiden perdarahan intrakranial kurang lebih 20% adalah stroke
hemoragik, dimana masing masing 10% adalah perdarahan subarachnoid dan
perdarahan intraserebral

Perdarahan intraserebral biasanya timbul karena pecahnya mikroaneurisma


akibat hipertensi maligna. Hal ini paling sering terjadi di daerah subkortikal,
serebelum, dan batang otak. Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola
berdiameter 100 400 mikrometer mengalami perubahan patologi pada dinding
pembuluh darah tersebut berupa lipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya
aneurisma tipe Bouchard. Pada kebanyakan pasien, peningkatan tekanan darah

13
yang tiba tiba menyebabkan rupturnya arteri penetrasi yang kecil. Keluarnya
darah dari pembuluh darah kecil membuat efek penekanan pada arteriole dan
pembuluh kapiler yang akhirnya membuat pembuluh ini pecah juga. Hal ini
mengakibatkan volume perdarahan semakin besar.

Perdarahan subaraknoid terjadi akibat pembuluh darah di sekitar permukaan


otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subaraknoid.
Perdarahan subaraknoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma
sakular atau perdarahan dari arterivenous malformasi (AVM). (Caplan )

2.2.7 Diagnosa
1. Anamnesis

Anamnesis yang cermat sangat membantu untuk menegakkan


diagnosis yang tepat. Beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada pasien
stroke adalah:

a. Harus ditanya bagaimana permulaan, apakah sangat akut


(mendadak) sehingga dalam beberapa detik pasien jatuh tidak sadar
atau terjadi subakut dalam beberapa jam, yang terakhir biasanya
suatu infark.
b. Harus ditanya apakah permulaan serangan pasien baru bangun
ataukah serangan pertama terjadi sewaktu penderita baru marah,
baru makan, atau melakukan aktivitas lain, yang terakhir biasanya
suatu perdarahan atau emboli.
c. Bagaimana selanjutnya perjalanan gejala: apakah gejala bertambah
buruk, ataukah gejala-gejala semakin berkurang.
d. Berapa kali serangan telah dialami pasien. Pada infark kadang-
kadang sebelumnya telah terjadi serangan, yang setelah seperempat
jam sembuh (TIA), kemudian terjadi lagi serangan baru, yang sembuh
lagi, dan seterusnya, tiap serangan bertambah berat.
e. Harus ditanya apakah terjadi nyeri kepala sebelum atau selama
terjadi serangan.
f. Juga harus ditanya apakah penderita mual dan muntah (sering pada
suatu perdarahan).
g. Apakah terjadi kejang (sering pada suatu perdarahan).
h. Apakah intelektualitas pasien akhir-akhir ini mundur.

14
i. Apakah kesadaran pasien berkurang.
j. Apakah pasien dapat berbicara atau menulis.
k. Apakah ia lumpuh.
l. Apakah separuh dari badan kesemutan.
m. Apakah terdapat gangguan penglihatan.
n. Apakah penderita sering pusing sehingga ia jatuh.
o. Apakah terdapat penyakit sebelumnya seperti diabetes, hipertensi.
p. Apakah sebelum timbul gejala pasien minum obat-obatan
(antidiabetes, antihipertensi).

Tabel 2.3 Presentasi gejala sesuai arteri yang mensuplai

Presentasi gejala klasik

Arteri serebri anterior

Paralisis tungkai kontralateral dan lengan lebih ringan

Defisit sensoris pada sisi yang mengalami paralisis

Perubahan status mental

Gait apraxia

Inkontinensia urin dan alvi

Arteri serebri media

Paralisis kontralateral, lengan dan wajah lebih berat daripada tungkai

Defisit sensoris pada sisi yang mengalami paralisis

Hemianopsia

Afasia bila mengenai hemisfer dominan

Agnosia

Arteri serebri posterior

Hemianopsia

Paralisis N. III

15
Agnosia visual

Perubahan status mental dengan gangguan ingatan

Kebutaan kortikal

Sistem arteri vertebrobasilaris

Vertigo atau nistagmus

Disfagia

Parestesia pada wajah (mati rasa)

Disartria

Hilangnya sensasi nyeri dan suhu pada sisi kontralateral

Diplopia dan gangguan lapang pandang

Spastisitas bilateral

2. Pemeriksaan obyektif

Setelah pemeriksaan intern yang teliti, maka dilakukan


pemeriksaan neurologis yang rutin. Pada pemeriksaan neurologis pasien
stroke harus diperhatikan pemeriksaan neuro-vaskular. Pemeriksaan ini
adalah:

a. Palpasi dan auskultasi dari arteri atau cabang arteri karotis yang
terletak dekat permukaan.
b. Mendengar dan mencari bruit kranial atau servikal.
c. Mengukur tekanan darah pada kedua lengan dalam posisi berbaring
dan duduk.
d. Mengukur tekanan arteri optalmika, apakah menurun pada sisi infark.
e. Melihat dengan oftalmoskop ke retina terutama ke pembuluh
darahnya.
Tabel 2.4 Perbedaan stroke hemoragik dan non-hemoragik

Diagnosis banding perdarahan dan infark otak

Gejala Perdarahan Infark

Permulaan Sangat akut Subakut

16
Waktu serangan Aktif Bangun pagi

Peringatan sebelumnya - ++

Nyeri kepala ++ -

Muntah ++ -

Kejang-kejang ++ -

Kesadaran menurun ++ +/-

Bradikardia +++ (dari hari 1) + (terjadi hari ke-4)

Perdarahan di retina ++ -

Papiledema + -

Kaku kuduk, Kernig, Brudzinski ++ -

Ptosis ++ -

Lokasi Subkortikal Kortikal/subkortikal

3. Pemeriksaan penunjang
a. CT Scan
b. EKG
c. Kadar gula darah
d. Elektrolit serum dan faal ginjal
e. Darah lengkap
f. Faal hemostasis
g. X-foto toraks
h. Pemeriksaan lain: tes faal hati, saturasi oksigen, analisa gas darah,
toksikologi, kadar alkohol dalam darah, pungsi lumbal (bila ada
dugaan perdarahan subaraknoid, tetapi gambaran CT scan normal),
EEG (terutama pada Todds paralysis)

2.2.8 Penatalaksanaan
1. Stadium akut

a. Stroke iskemik

17
Letakkan kepala pasien pada posisi 30, kepala dan dada pada
satu bidang; ubah posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap
bila hemodinamik sudah stabil.

Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit


sampai didapatkan hasil analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi.
Demam diatasi dengan kompres dan antipiretik, kemudian dicari
penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan (sebaiknya
dengan kateter intermiten).

Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid


1500-2000 mL dan elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan
mengandung glukosa atau salin isotonik. Pemberian nutrisi per oral hanya
jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan gangguan menelan atau
kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik.

Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula
darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinyu selama 2-
3 hari pertama. Hipoglikemia (kadar gula darah <60 mg% atau <80 mg%
dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% IV sampai kembali
normal dan harus dicari penyebabnya.

Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian


obat-obatan sesuai gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan,
kecuali bila tekanan sistolik 220 mmHg, diastolik 120 mmHg, mean
arterial blood pressure (MAP) 130 mmHg (pada 2 kali pengukuran
dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut,
gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah
maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium
nitroprusid, bloker reseptor alfa-beta, ACE inhibitor, atau antagonis
kalsium.

Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mmHg, diastolik


70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL
selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat
diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih <90
mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah
sistolik 110 mmHg.

18
Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg IV pelan-pelan selama 3
menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan
per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu,
diberikan antikonvulsan per oral jangka panjang.

Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol


bolus intravena 0,25 sampai 1 g/kg BB per 30 menit, dan jika dicurigai
fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kg
BB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan
pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat diberikan
larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.

Untuk reperfusi, diberikan antiplatelet seperti aspirin dan anti


koagulan, atau yang dianjurkan dengan trombolitik rt-PA (recombinant
tissue plasminogen activator). Dapat juga diberi agen neuroproteksi, yaitu
sitikolin atau pirasetam (jika didapatkan afasia).

b. Stroke hemoragik

Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume


hematoma >30 mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan
keadaan klinis cenderung memburuk.

Tekanan darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid


atau 15-20% bila tekanan sistolik >180 mmHg, diastolik >120 mmHg,
MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah. Bila terdapat gagal
jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetolol IV 10
mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10
menit) maksimum 300 mg; enalapril IV 0,625-1,25 mg per 6 jam; kaptopril
3 kali 6,25-25 mg per oral.

Jika didapatkan tanda tekanan intrakranial meningkat, posisi


kepala dinaikkan 30, posisi kepala dan dada di satu bidang, pemberian
manitol (seperti penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2 20-
35 mmHg).

Penatalaksanaan umum sama dengan pada stroke iskemik, tukak


lambung diatasi dengan antagonis H2 parenteral, sukralfat, atau inhibitor

19
pompa proton; komplikasi saluran napas dicegah dengan fisioterapi dan
diobati dengan antibiotik spektrum luas.

Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator.


Tindakan bedah mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu
pada pasien yang kondisinya kian memburuk dengan perdarahan
serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat perdarahan
intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunt, dan perdarahan lobar
>60 mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan
ancaman herniasi.

Pada perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis


kalsium (nimodipin) atau tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi,
maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah aneurisma atau
malformasi arteri-vena.

2. Stadium subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku,
menelan, terapi wicara, dan bladder training (termasuk terapi fisik).
Mengingat perjalanan penyakit yang panjang, dibutuhkan
penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan
tujuan kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan
program preventif primer dan sekunder. Terapi fase subakut:

- Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya


- Penatalaksanaan komplikasi
- Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi,
terapi wicara, terapi kognitif, dan terapi okupasi
- Prevensi sekunder
- Edukasi keluarga dan discharge planning

3. Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke

Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam beberapa


fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai sebagai acuan
untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis intervensi rehabilitasi yang
akan diberikan, yaitu:

20
- Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca
serangan stroke
- Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan
pasca stroke
- Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke

a. Rehabilitasi Stroke Fase Akut

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil,


umumnya dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat biasa
ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan perawatan di ruang rawat
biasa, pasien yang di rawat di unit stroke memberikan outcome yang lebih
baik. Pasien menjadi lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan
sosialnya di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.

b. Rehabilitasi Stroke Fase Subakut

Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya sudah stabil


dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali bagi pasien yang
memerlukan penanganan rehabilitasi yang intensif. Sebagian kecil
(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat ringan, dan
sebagian kecil lainnya (sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa
yang sangat berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya.
Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang bervariasi
beratnya dan sangat memerlukan intervensi rehabilitasi agar dapat
kembali mencapai kemandirian yang optimal.

Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali untuk belajar


melakukan aktivitas dasar merawat diri dan berjalan. Dengan atau tanpa
rehabilitasi, sistem saraf otak akan melakukan reorganisasi setelah
stroke. Reorganisasi otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak
yang paling sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui rehabilitasi,
reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar mencapai kemampuan
fungsional optimal yang dapat dicapai oleh pasien, melalui sirkuit yang
memungkinkan gerak yang lebih terarah dengan menggunakan

21
energi/tenaga seefisien mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui
terapi latihan yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta
mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.

Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:

1) Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila anggota gerak sisi
yang terkena terlalu lemah untuk mampu bergerak sendiri, anjurkan
pasien untuk bergerak/beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun
sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit. Pasien dan
keluarga seringkali beranggapan salah, mengharapkan sirkuit baru di otak
akan terbentuk dengan sendirinya dan pasien secara otomatis bisa
bergerak kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila ada
kebutuhan akan gerak tersebut. Bila ekstremitas yang sakit tidak pernah
digerakkan sama sekali, presentasinya di otak akan mengecil dan
terlupakan.
2) Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah gerak fungsional
daripada gerak tanpa ada tujuan tertentu. Gerak fungsional misalnya
gerakan meraih, memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak
fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian-bagian dari otak,
baik area lesi maupun area otak normal lainnya, menstimulasi sirkuit baru
yang dibutuhkan. Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksi-
ekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi saja. Apabila
akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak begitu saja bisa digunakan untuk
gerak fungsional, namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk
sirkuit yang baru.
3) Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk melakukan gerak
fungsional yang normal, jangan biarkan menggunakan gerak abnormal.
Gerak normal artinya sama dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang
terkena masih terlalu lemah, berikan bantuan tenaga secukupnya di mana
pasien masih menggunakan ototnya secara aktif. Bantuan yang
berlebihan membuat pasien tidak menggunakan otot yang akan dilatih
(otot bergerak pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien
mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikutsertakan otot-otot
lain. Ini akan memperkuat gerakan ikutan ataupun pola sinergis yang

22
memang sudah ada dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan tenaga
yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan pemulihan pasien.
4) Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang tubuh sudah
tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan berdiri. Stabilitas duduk dibedakan
dalam stabilitas duduk statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai
apabila pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak
bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu tertentu tanpa
jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas duduk dinamik tercapai apabila
pasien dapat mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh
doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan dan atau dapat
bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi sementara lengan meraih
ke atas, bawah, atau samping untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas
batang tubuh selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. Hasil
latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan aktivitas dalam
posisi berdiri. Kemampuan fungsional optimal dicapai apabila pasien juga
mampu melakukan aktivitas sambil berjalan.
5) Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan terapi latihan.
Gerak fungsional yang dilatih akan memberikan hasil maksimal apabila
pasien siap secara fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian tidak ada yang
terbatas, dan tidak ada nyeri pada pergerakan. Secara mental pasien
mempunyai motivasi dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan
dicapai dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga menjadi salah
satu pertimbangan. Tekanan darah dan denyut nadi sebelum dan
sesudah latihan perlu dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina
pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak sangat
melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya sekitar 45-60 menit)
namun dengan pengulangan sesering mungkin.
6) Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila ditunjang oleh
kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan semua modalitas sensoris yang
utuh. Rehabilitasi fisik dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-
pisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus melalui
kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada prinsipnya adalah suatu
proses belajar, yaitu belajar untuk mampu kembali melakukan suatu
aktivitas fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.

23
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan untuk:

- Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring


- Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan
fungsional yang paling optimal
- Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari
- Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
1) Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring

Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai kemampuan duduk


stabil serta mulai belajar berdiri dan jalan, cenderung akan lebih lama masa
tirah baringnya di rumah. Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan pasien
bertambah lemah, lebih cepat lelah karena stamina makin rendah, gerak
semakin bertambah berat karena semua anggota gerak menjadi kaku dan
timbul komplikasi-komplikasi lain. Penting diinformasikan kepada pasien dan
keluarga bahwa tirah baring berkelanjutan akan lebih berdampak buruk.

Selain itu pemulihan fungsional mempunyai periode yang terbatas


waktunya; stimulasi yang diberikan pada 3 bulan pertama akan lebih
memberikan hasil dibandingkan fase kronis. Pasien harus diberikan motivasi
untuk selalu aktif melakukan aktivitas sesuai dengan kemampuan yang ada.
Terapi latihan dirancang dengan durasi dan frekuensi latihan ditingkatkan
secara bertahap.

2) Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memungkinkan pemulihan


fungsional yang paling optimal

Berbagai komplikasi dapat timbul setelah stroke yang dapat


membatasi pemulihan kemampuan fungsional yang seharusnya dapat
dicapai. Karena kondisi tersebut sebagian besar dapat dicegah, maka sangat
penting untuk meningkatkan pemahaman pasien dan keluarga.

a) Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi

Otot bergerak memendek dan memanjang. Bila otot diam pada


satu posisi tertentu dalam waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan
kaku pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih besar untuk
memendek ataupun memanjang. Demikian pula berlaku pada sendi, yang
akan menjadi kering dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang

24
karena kelumpuhannya sudah sulit bergerak menjadi semakin sulit untuk
bergerak. Diperlukan latihan untuk mencapai lingkup gerak penuh pada
semua persendian disertai latihan regangan otot sedikitnya 2 kali per hari.

b) Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan

Setelah stroke akan terbentuk spastisitas dan pola gerak khas yaitu
pola sinergis fleksor atau ekstensor. Pada umumnya, akan terbentuk pola
sinergis fleksor pada ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah
pola sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis tidak dapat
dihilangkan akan tetapi perlu dikontrol agar tidak berlebihan dan
mengganggu gerak fungsional yang akan dilatih. Pemberian posisi yang
tepat sebagai antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan
dalam seluruh aktivitas.

Posisi antisipasi adalah posisi sebaliknya dari pola gerak yang akan
timbul. Pada ekstremitas atas misalnya, cenderung timbul spastisitas fleksor,
maka lengan diupayakan selalu dalam posisi ekstensi apabila tidak sedang
latihan. Pasien diberikan motivasi secara sadar menggunakan posisi
antisipasi pada saat tidur, duduk serta berdiri dan bergerak. Pasien seringkali
lebih memilih posisi yang nyaman tetapi tidak selalu merupakan posisi yang
baik.

c) Mencegah timbulnya nyeri

Nyeri sering terjadi setelah stroke dan dapat mengganggu terapi


latihan. Nyeri dapat merupakan akibat atau komplikasi dari stroke. Lesi yang
mengenai area talamus seringkali menimbulkan nyeri yang disebut sebagai
thalamic pain syndrome. Nyeri jenis itu disebabkan oleh gangguan sensorik
sentral di mana interpretasi stimulus yang datang dari luar diterima sebagai
rasa nyeri di otak. Sayangnya nyeri tersebut tidak selalu mudah diatasi,
namun dapat dicoba dengan pemberian trisiklik antidepresan atau
antikonvulsan.

Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri


muskuloskeletal, terutama pada bahu sisi yang terkena. Penyebab utamanya
seringkali adalah penanganan bahu yang salah atau kurang tepat, seperti
dalam penempatan bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu

25
tertindih tubuh, atau saat duduk bahu tidak tersanggah dengan baik. Saat
membantu pasien pindah tempat (transfer) dan saat membantu dalam
aktivitas sehari-hari, misalnya berpakaian, ataupun cara melatih yang salah
pada bahu sisi yang lumpuh, menyebabkan terjadinya tendinitis, kapsulitis,
cedera otot-otot gelang bahu, nyeri miofasial, dan atau nyeri neuropatik.

Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan nyeri


saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya utama daripada
mengobati yang telah terjadi. Oleh karena itu, sangat penting untuk
memberikan edukasi pada pasien dan keluarga untuk mencapai
pemahaman mengenai pemberian posisi yang tepat, cara membantu pasien
dalam transfer atau aktivitas sehari-hari serta cara berlatih.

3) Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam Melakukan Aktivitas Sehari-hari

Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari-hari


setelah stroke merupakan fokus utama rehabilitasi stroke fase subakut.
Terapi latihan dan remediasi yang diberikan merupakan paduan latihan
sederhana dan latihan spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis, metode pendekatan,
waktu pemberian, frekuensi dan intensitas terapi yang tepat harus
disesuaikan dengan kondisi medis pasien. Selain itu terapi latihan fungsional
baru efektif apabila terpenuhi beberapa kondisi yaitu:

- Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau pemendekan otot. Apabila
ada, maka kondisi tersebut perlu diatasi terlebih dahulu.

- Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai melalui latihan yang
diberikan. Kesulitan pemahaman terjadi pada pasien afasia sensorik dan
gangguan kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuan pemahamanan
bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan ke dalam terapi latihan.

a) Gangguan Komunikasi

Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain melibatkan


bermacam-macam fungsi, yang utama hdala kemampuan berbahasa

26
dan berbicara. Gangguan fungsi bahasa disebut sebagai afasia
sedangkan gangguan fungsi bicara disebut disartria.

Afasia
Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk memformulasikan
dan menginterpretasikan simbol bahasa. Afasia terjadi sebagai akibat
adanya lesi pada mekanisme bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di
hemisfer dominan.

Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:

- kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara spontan)


- kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman auditori)
- kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan (bahasa simbol)
- kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca (pemahamanan visual)
- menamakan
- meniru
Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu,
beberapa atau bahkan semua kemampuan berbahasa (afasia global).
Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting untuk
kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat gangguan afasia
sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai kemandirian dalam aktivitas
sehari-hari.

Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa (afasia


bukan gangguan pendengaran, jadi tidak perlu berteriak keras). Selain itu,
jangan terlalu cepat dan dengan kalimat pendek yang mengandung satu
informasi saja dalam setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila
stimulasi auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan dengan
stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). Pasien afasia
jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan membuat pasien frustasi.
Mengeja merupakan fungsi hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi
melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah
pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat.

Disartria

27
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam mengekspresikan
bahasa verbal, akibat kelemahan, spastisitas dan atau gangguan
koordinasi pada organ bicara dan artikulasi.

Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria, antara


lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan, meningkatkan kelenturan dan
penguatan organ bicara dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan
otot pernapasan.

b) Gangguan Fungsi Luhur

Kerja fungsi ini melibatkan jaringan yang rumit dan kompleks


serta sulit untuk dipisahkan karena saling terkait satu sama lain. Fungsi
kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa, fungsi memori, fungsi
visuospasial, fungsi emosi dan fungsi kognisi.

Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya fungsi kortikal


luhur yang lain. Fungsi kognisi antara lain kemampuan atensi,
konsentrasi, registrasi, kategorial, kalkulasi, persepsi, proses pikir,
perencanaan, tahapan serta pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan
baik buruk, bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain
sebagainya.

Pasien stroke yang disertai gangguan fungsi luhur memerlukan


rehabilitasi spesifik. Rehabilitasi untuk mengembalikan kemampuan
fungsional (karena ada gangguan fungsi kognisi) tersebut lebih sulit dan
memerlukan waktu lebih lama.

Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah hemineglect.


Pasien dengan gangguan hemineglect umumnya mempunyai lesi di
hemisfer kanan dan mengabaikan semua yang berada di sisi kirinya.
Pasien tersebut seringkali berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah
kiri, jatuh tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak menyadari
ada makanan atau minuman yang diletakkan di sisi kirinya. Gangguan
hemineglect paling parah adalah ia tidak mengenali tangan kirinya
sebagai bagian dari tubuhnya. Gangguan ini tidak sama dengan
hemianopsia, di mana lapang pandang pasien menjadi terbatas.

c) Gangguan Menelan

28
Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden gangguan
menelan akibat stroke cukup banyak berkisar antara 30-65%. Sekitar
30% akan pulih dalam 2 minggu, sisanya akan pulih dalam bulan-bulan
berikutnya. Disfagia merupakan gejala klinis penting karena
menempatkan pasien pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain
dehidrasi dan malnutrisi.

Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya gangguan


menelan. Mendeteksi adanya disfagia dapat dilakukan melalui
pemeriksaan sederhana sebagai berikut:

- Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.


- Posisikan pasien duduk tegak.
Apabila belum ada keseimbangan duduk, perlu diberikan tunjangan
bantalan agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.

- Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien untuk menelan
dengan kepala sedikit menunduk.
- Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat mencoba
menelan.
- Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada laring, rasakan
apakah terjadi elevasi laring yang menunjukkan terjadinya proses
menelan. Monitor apakah ada keterlambatan atau terjadi proses
menelan yang inkomplit.
- Minta pasien untuk menyuarakan huruf aaa.... Monitor suara yang
terdengar kering atau basah/serak.
- Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi menyuarakan huruf
aaa.... Monitor kembali bagaimana suara yang terdengar.

Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara menjadi


basah, maka makan dan minum per oral harus dihentikan. Pasien
memerlukan pemeriksaan fungsi menelan lebih lanjut dengan VFSS
(video fluorosgraphic swallow study) atau FEES (fiberoptic endoscopic
evaluation of swallowing).

d) Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi

29
Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya adalah
uninhibited bladder yang menimbulkan inkontinensia urin. Walaupun
pasien kelihatannya mampu miksi, namun harus tetap dievaluasi apakah
urin tuntas keluar, artinya residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi
kurang dari 50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan
timbulnya infeksi kandung kemih.

Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat diatasi


dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta jumlah minum
dan urin pada voiding diary selama minimal 3 hari berturut-turut.
Berdasarkan voiding diary tersebut dapat ditentukan kapan pasien setiap
kali harus berkemih dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila
frekuensi miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat membantu,
namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio urin.

Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada umumnya


adalah konstipasi akibat imobilisasi. Perlu diingat bahwa diare yang
timbul kemudian selain gastroenteritis juga bisa disebabkan oleh adanya
skibala, terutama bila didahului oleh obstipasi lama sebelumnya.

Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan cukup


cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan bila tidak ada
kontraindikasi), serta makan makanan berserat tinggi. Bila perlu obat
laksatif dapat diberikan.

e) Gangguan Berjalan

Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas kompleks yang


memerlukan tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah saja, tetapi
juga kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan dan koordinasi.

Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan bertahap,


dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi duduk statik dan
dinamik, keseimbangan berdiri statik dan dinamik kemudian latihan
berjalan. Dalam latihan berdiri perlu selalu diperhatikan bahwa panggul
harus pada posisi ekstensi 0, lutut mengunci pada posisi ekstensi 0
sedangkan pergelangan kaki dalam posisi netral 90. Pastikan berat
badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit.

30
Paralel bar yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang
dipasang sejajar merupakan tempat latihan jalan yang paling baik.
Letakan kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat
melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan koreksi
secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam paralel bar, maka
latihan jalan dapat dilanjutkan dengan memakai tripod, yaitu tongkat yang
ujung bawahnya bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak
jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot orthosis) atau
sepatu khusus.

f) Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari

Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya dimotivasi untuk


mengerjakan semampunya aktivitas perawatan dirinya sendiri. Apabila
sisi kanan yang terkena, pasien dapat diajarkan untuk menggunakan
tangan kirinya untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit
diikutsertakan dalam semua kegiatan. Semakin cepat dibiarkan
melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien menjadi mandiri.
Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan risiko jatuh atau
membahayakan pasien sendiri yang perlu ditolong oleh keluarga.

4) Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental

Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu berupaya


untuk sedikit bergerak dan lebih banyak istirahat. Keluarga seringkali
membenarkan perilaku seperti itu, menganggap biasa karena pasien baru
pulang rawat dan mengharapkan kondisi seperti ini akan bertambah baik.
Kenyataannya pasien akan semakin cepat lelah bahkan untuk aktivitas yang
kecil sekalipun, seperti misalnya duduk beberapa menit di kursi roda. Hal
tersebut disebabkan oleh endurance pasien menjadi rendah karena
imobilisasi lama. Selain itu, adanya kelemahan otot menyebabkan tenaga
yang diperlukan untuk bergerak lebih besar dari biasanya. Kedua kondisi
tersebut menyebabkan pasien menjadi cepat lelah.

Terapi yang terbaik adalah biasakan pasien sejak awal aktif


semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat berkepanjangan. Pasien
dianjurkan agar sering duduk, bukan duduk di tempat tidur melainkan duduk
di kursi di luar kamar tidur. Waktu aktif dan istirahat dijadwalkan secara

31
proporsional sesuai dengan kondisi pasien. Pasien dimotivasi untuk selalu
makan di kamar makan bersama keluarga dan dibiarkan untuk mengambil
makananan pilihannya sendiri. Pasien selalu dilibatkan dalam aktivitas
keluarga bahkan bagi pasien dengan afasia. Pasien diajak berlatih yang
bertargetkan hasil misalnya melempar bola masuk ke keranjang, bowling
kecil, main catur atau halma.

Kegiatan tersebut awalnya mungkin hanya sebentar, namun bila


dilakukan sesering mungkin akan memperbaiki/meningkatkan endurance
pasien. Latihan endurance dengan beban ringan selanjutnya dapat dimulai
misalnya dengan latihan mengayuh sepeda statik atau menggunakan
theraband atau karet ban dalam bekas.

Suasana hati yang murung juga membuat pasien merasa cepat lelah
dan bosan. Berikan sedikit demi sedikit peran dan tanggung jawab serta
ungkapkan selalu bahwa peran serta pasien sangat dibutuhkan oleh
keluarga. Dengan demikian pasien akan merasa dirinya masih berharga dan
berguna bagi orang lain.

c. Rehabilitasi Stroke Fase Kronis

Program latihan untuk stroke fase kronis tidak banyak berbeda


dengan fase sebelumnya. Hanya dalam fase ini sirkuit-sirkuit gerak/ aktivitas
sudah terbentuk, membuat pembentukan sirkuit baru menjadi lebih sulit dan
lambat. Hasil latihan masih tetap dapat berkembang bila ditujukan untuk
memperlancar sirkuit yang telah terbentuk sebelumnya, membuat gerakan
semakin baik dan penggunaan tenaga semakin efisien. Latihan endurance
dan penguatan otot secara bertahap terus ditingkatkan, sampai pasien dapat
mencapai aktivitas aktif yang optimal.

Tergantung pada beratnya stroke, hasil luaran rehabilitasi dapat mencapai


berbagai tingkat seperti:

1) Mandiri penuh dan kembali ke tempat kerja seperti sebelum sakit,


2) Mandiri penuh dan bekerja namun alih pekerjaan yang lebih ringan sesuai
kondisi,
3) Mandiri penuh namun tidak bekerja,
4) Aktivitas sehari-hari perlu bantuan minimal dari orang lain, atau

32
5) Aktivitas sehari-hari sebagian besar atau sepenuhnya dibantu orang lain.

33
Bab 3. KESIMP

ULAN

Seluruh kasus fatal pasien dengan stroke iskemik pertama kali


adalah sekitar 10% pada 30 hari, 20% pada 6 bulan dan 25% pada 1
tahun. Kelompok usia dewasa muda kurang dari 45 tahun memiliki
prognosis yang lebih baik dibanding dengan seluruh kasus fatal, yaitu 2%
pada 30 hari. Seluruh risiko stroke ulang pada dua tahun pertama setelah
menderita stroke iskemik pertama kali, bervariasi pada studi yang berbeda
dari sekitar 4% sampai 14%.

Kematian yang diakibatkan langsung oleh stroke biasanya terjadi


pada minggu-minggu pertama pasca awitan. 35% kematian terjadi pada
10 hari pertama masuk rumah sakit. Pada fase akut kematian oleh karena
stroke terutama disebabkan oleh terjadinya herniasi transtorial akibat
meningkatnya tekanan intrakranial. Kebanyakan pasien mengalami
perbaikan fungsi neurologis setelah stroke iskemik akut, tetapi
pemahaman dalam perjalanan waktu dan tingkat perjalanannya masih
terbatas.

Dari berbagai penelitian didapatkan bahwa perbaikan status


fungsional tampak nyata pada 3 bulan pertama dan mencapai tingkat
maksimal dalam 6 bulan pasca stroke akut dan hanya sedikit perubahan
yang terjadi setelah interval waktu ini. Dikatakan pada penelitian terdahulu
bahwa reorganisasi fungsi neurologis terjadi dalam 3-6 bulan pasca stroke
dan perubahan diluar waktu itu adalah tidak berarti.

34
Daftar Pustaka

Bahrudin M. Diagnosa Stroke. Jurnal Saintika Medika. 2009;5(11):193-7.

Bahrudin M. Model Diagnostik Stroke Berdasarkan Gejala Klinis. Jurnal


Saintika Medika. 2010;6(13):83-90.

Barber AP, Demchuch AM, Hirt L, Buchan AM. Ischemic stroke:


Biochemistry of ischemic stroke. Lippincott Williams & Wilkins. Publishers;
2003.

Caplan, L.R., 2009. Caplans Stroke a clinical approach 4th editio.,


Philadelphia: Saunders.

Greenberg, D.A., Aminoff, M.J. & Simon, R.P., 2012. Clinical Neurology
8th editio., New York: Lange.

Greenstein, A. & Greenstein, B., 2000. Color Atlas of Neuroscience 1st


editio., New York: Thieme.

Ropper, A.H., Samuels, M.A. & Klein, J.P., 2014. Adams and Victors
Principle of Neurology 10th editi., New York: McGraw Hill.

Sidharta, P., 2009. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum, Jakarta: Dian
Rakyat.

Kurniasih R, Wijaya A. Peranan radikal bebas pada iskemia-reperfusi


serebral atau miokardium. Forum Diagnostikum. Jakarta: Prodia
Educational; 2002.

Rambe AS. Stroke: Sekilas tentang Definisi, Penyebab, Efek, dan Faktor
Risiko. 2006;10(2):195-8.

Setyopranoto I. Stroke: Gejala dan Penatalaksanaan. CDK 185.


2011;38(4):247-50.

Stanimirovic D, Satoh K. Inflammatory mediators of cerebral endothelium:


A role in ischemic brain inflammation. Journal of brain pathology. Canada.
2000.

35
Watson M. Evaluating Stroke Symptoms. The Canadian Journal of CME.
2005;17(1):88-90.

Wirawan RP. Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer.


Majalah Kedokteran Indonesia. 2009;59(2):61-71.

36

Вам также может понравиться