Вы находитесь на странице: 1из 20

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA KOMODITAS JAGUNG

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sesuai Renstra Kementerian Pertanian (2010-2014), terdapat lima komoditas pangan
utama dan strategis yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula. Kementerian Pertanian
mencanangkan 4 (empat) target sukses, yaitu: (1) swasembada berkelanjutan dan pencapaian
swasembada, (2) diversifikasi pangan, (3) peningkatan daya saing nilai tambah ekspor, dan (4)
kesejahteraan petani. Secara khusus swasembada berkelanjutan ditargetkan untuk komoditas
padi dan jagung, dan sasaran produksi jagung khususnya sebesar 29 juta ton pipilan kering
pada tahun 2014.
Dalam rangka mencapai target sukses tersebut khusus pada komoditas jagung yaitu
untuk menjamin swasembada berkelanjutan tentu diperlukan upaya keras agar tingkat produksi
saat ini dapat dipertahankan dan bahkan lebih ditingkatkan. Upaya meningkatkan produksi
jagung nasional memiliki urgensi kuat, mengingat jagung memiliki peran strategis dalam
memenuhi berbagai permintaan nasional. Jagung merupakan sumber karbohidrat kedua setelah
beras yang sangat berperan dalam menunjang ketahanan pangan, kecukupan pasokan pakan
ternak, dan bahkan akhir-akhir ini dijadikan sebagai bahan baku energi alternatif (biofuel).
Posisi jagung dalam diversifikasi konsumsi pangan berfungsi dalam mengurangi ketergantungan
terhadap makanan pokok beras. Jagung juga sangat berperan dalam industri pakan dan industri
pangan yang memerlukan pasokan terbesar dibanding untuk konsumsi langsung.
Perkembangan produksi jagung nasional pada periode 2005-2011 mengalami peningkatan
sebesar 7,86 %/tahun. Sementara peningkatan luas panen dan produktivitasnya masing-masing
sebesar 2,62 persen dan 5,23 %/tahun. Dengan demikian laju peningkatan produksi jagung
nasional periode 2005-2011 lebih dominan terdorong oleh peningkatan produktivitas melalui
teknologi modern dalam budidaya jagung. Pada tahun 2011, luas panen jagung nasional
mencapai 3,86 juta hektar dengan tingkat produksi dan produktivitas masing-masing sebesar
17,63 juta ton dan 4,57 ton/ha (BPS, 2012). Sementara itu, kebutuhan jagung nasional selama
periode 2005-2011 mengalami peningkatan sebesar 6,34 persen per tahun. Pada tahun 2005,
total kebutuhan jagung mencapai 11,86 juta ton, kemudian meningkat menjadi 13,71 juta ton
pada tahun 2008, dan menjadi 16,50 juta ton pada tahun 2011. Adapun proporsi penggunaan
jagung dari total kebutuhan sebesar 45-50 persen untuk bahan baku pakan, 30 persen sebagai
1

bahan baku industri makanan dan sisanya sebagai bahan konsumsi (pangan) langsung
masyarakat.
Berdasarkan data statistik diketahui bahwa selama periode 2005-2011 (kecuali 2006),
produksi jagung sudah melampaui kebutuhan konsumsinya. Pertanyaannya adalah mengapa
selama periode tersebut Indonesia masih mengimpor jagung?. Bahkan impor jagung selama
periode tersebut terus meningkat dari 0,23 juta ton pada tahun 2005 menjadi 1,52 juta ton
pada tahun 2010 dan 2,37 juta ton pada tahun 2011. Meningkatnya impor jagung sangat
menguras devisa negara yang jumlahnya besar tiap tahunnya. Hal ini makin kuat disaat terjadi
krisis pangan dunia yang membuat lonjakan harga komoditas pertanian, termasuk jagung.
Kondisi ini menambah kekhawatiran industri pakan. Sebab hampir 80% bahan baku pakan
masih harus diimpor, sementara harga jagung dunia melonjak menyebabkan biaya produksi
naik. Masih terdapatnya impor jagung yang terus meningkat akibat harga jagung dalam negeri
yang mahal. Meningkatnya harga jagung dalam negeri merupakan konsekuensi logis dari
meningkatnya harga-harga komoditas pertanian dunia. Selain itu, harga input usahatani secara
umum juga naik sehingga biaya produksi juga naik. Kenaikan biaya produksi secara otomatis
meningkatkan harga jagung. Dengan demikian peningkatan harga jagung dalam negeri inilah
yang diduga sebagai penyebab industri pakan mencari bahan baku jagung melalui impor.
Bila pemenuhan kebutuhan jagung mengandalkan impor akan berisiko tinggi, berdampak
negatif terhadap industri peternakan (pakan) dalam negeri, dan akan mematikan petani jagung
Indonesia. Sebab, usahatani jagung Indonesia yang tradisional harus bersaing dengan
usahatani jagung negara maju seperti Amerika Serikat dan China. Kinerja produksi jagung
nasional masih harus terus ditingkatkan. Fakta menunjukan bahwa produktivitas jagung
nasional rata-rata 4,57 ton per hektar (BPS, 2012). Menurut Kasryno, et.al. (2007) bahwa
potensi produktivitas jagung hibrida dapat mencapai 7 ton/ha. Hasil penelitian Bachtiar, et.al.
(2007) yang mengungkapkan bahwa pada beberapa sentra produksi jagung seperti di Sulawesi
Selatan, Lampung, Sumatera Utara dan Jawa Timur masih banyak petani yang menanam
varietas lokal dan varietas unggul lama yang benihnya telah mengalami degradasi secara
genetik dan belum dimurnikan. Pada tahun 2009/2010, penggunaan benih jagung hibrida
sekitar 50 persen dari total pemakaian benih jagung di Indonesia. Sementara itu, produktivitas
jagung nasional relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas jagung negara
produsen utama seperti Amerika Serikat yang telah mencapai 9,77 ton/ha dan China 5,50
ton/ha (FAO, 2011).
2

1.2. Tujuan kajian


Kajian ini bertujuan untuk menganalisis: (a) dinamika harga domestik dan internasional,
(b) perkembangan produksi dan permintaan/konsumsi jagung termasuk faktor penyebabnya;
dan (c) keragaan impor dan faktor yang mempengaruhinya. Data yang digunakan bersumber
dari berbagai instansi, literatur/pustaka hasil penelitian/kajian dan pustaka lainnya yang relevan
dengan analisis. Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif.

II. DINAMIKA HARGA KOMODITAS JAGUNG

2.1. Harga Domestik (produsen, konsumen dan perdagangan besar)


Seiring dengan meningkatnya harga-harga komoditas pertanian dunia, harga jagung
nasional juga menunjukkan peningkatan. Trend peningkatan harga jagung di tingkat produsen
sebesar 10,71 %/tahun, yaitu meningkat dari Rp 1.668/Kg (2005) menjadi Rp 3.400/Kg (2011).
Pada tingkat konsumen, peningkatan harga mencapai 11,15 %/tahun yaitu dari Rp 2.002/Kg
(2005) menjadi Rp 3.800/Kg (2011). Selanjutnya harga jagung pada perdagangan besar
mengalami peningkatan sebesar 10,34 %/tahun yaitu Rp 2.150/Kg (2005) menjadi Rp 4.271/Kg
(2011) (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan Harga Produsen, Konsumen, dan Perdagangan Besar Jagung, 2005-
2011.
Harga Produsen Harga Harga Selisih Selisih
Jagung Pipilan Konsumen Perdagangan Harga (2-1) Harga (3-1)
Tahun
Kering (Rp/Kg) (Rp/Kg) Besar (Rp/Kg) (Rp/kg) (Rp/kg)
(1) (2) (3)
2005 1668,40 2001,97 2150,00 333,57 481,60
2006 1802,02 2220,97 2333,33 418,95 531,31
2007 1894,01 2604,91 3616,67 710,90 1722,66
2008 1986,00 3123,32 4000,00 1137,32 2014,00
2009 2671,77 3590,50 4000,00 918,73 1328,23
2010 2153,00 3732,02 4000,00 1579,02 1847,00
2011 3400,00 3800,00 4270,83 400,00 870,83
Trend
(%/thn) 10,71 11,15 10,34 12,40 9,68
Sumber: BPS (2005-2011).

Harga jagung di tingkat konsumen atau pedagang dan di tingkat produsen (petani)
umumnya bersifat asimetri. Selisih harga jagung ditingkat konsumen dan tingkat produsen
3

berkisar antara Rp 333,57/Kg Rp 1.579,02/Kg, dengan kecenderungan peningkatan sebesar


12,40 %/tahun. Sementara selisih harga jagung ditingkat perdagangan besar dan tingkat
produsen berkisar antara Rp 481,60/Kg Rp 2.014/Kg, dengan kecenderungan peningkatan
sebesar 9,60 %/tahun. Peningkatan harga jagung di tingkat konsumen atau pedagang besar
tidak ditransmisikan secara sempurna ke harga jagung di tingkat petani. Sementara penurunan
harga jagung di tingkat konsumen atau perdagangan besar ditransmisikan secara sempurna ke
harga jagung di tingkat petani. Dengan demikian, fluktuasi harga jagung hanya
menguntungkan pedagang serta merugikan petani dan konsumen.

2.2. Harga Internasional (paritas impor)


Terdapatnya anomali iklim yang berakibat pada kurang berhasilnya produksi pertanian
termasuk jagung, telah mendorong harga jagung misalnya di negara produsen jagung dunia
USA (FOB US $/ton) meningkat sekitar 14,23 %/tahun, yaitu dari 98,41 US $/ton (2005)
menjadi 291,78 US $ (2011). Seiring dengan pergerakan harga FOB dinegara produsen, maka
harga jagung kuning asal impor juga mengalami peningkatan signifikan yaitu 12,14 %/tahun.
Harga jagung impor tahun 2005 mencapai Rp 1.260/Kg dan terus mengalami peningkatan
hingga mencapai Rp 3.213/Kg tahun 2008. Pada tahun 2009-2010 harga jagung impor sedikit
menurun pada kisaran harga Rp 2.031/Kg Rp 2.200/Kg, kemudian meningkat kembali mulai
tahun 2011 (Tabel 2).

Tabel 2. Perkembangan Harga Jagung Impor di Dalam Negeri, 2000-2011.


Harga Jagung Selisih Harga Selisih Harga
Harga Jagung Kuning Impor jagung impor dan jagung impor dan
Tahun
(US No.2 Yellow) di Dalam harga petani harga ped.besar
(FOB US$/MT) Negeri (Rp/Kg) (Rp/Kg) (Rp/Kg)
2005 98,41 1260,14 -408 -890
2006 121,59 1453,74 -348 -880
2007 163,26 1989,94 96 -1627
2008 223,25 3219,18 1233 -781
2009 165,54 2031,29 -640 -1969
2010 186,01 2200,26 47 -1800
2011 291,78 3241,64 -158 -1029
Trend
(%/thn) 14,23 12,14 -112,34 7,24
Sumber: FAO (2011) dan Pink Sheet (2012).

2.3. Perbandingan Harga Domestik dengan Harga Internasional


Pola pergerakan harga domestik pada perdagangan besar hampir sama dengan harga
jagung impor asal USA di Indonesia. Secara umum, bahwa harga jagung di tingkat
perdagangan besar lebih tinggi dibanding dengan harga jagung asal impor. Namun, jika
dibandingkan dengan harga ditingkat petani maka harga jagung impor tidaklah selalu lebih
rendah. Selisih harga jagung asal impor dengan harga di tingkat pedagang besar sangatlah
lebar, dibandingkan dengan selisih harga dengan di tingkat petani. Hal demikian jelas
mencerminkan bahwa sesungguhnya harga jagung di tingkat petani sangatlah rendah dan
kecenderungan secara umum rendah. Sementara fenomena harga jagung yang tinggi kerap
terjadi ditingkat pedagang besar atau bandar jagung. Rendahnya harga jagung di tingkat petani
bukanlah semata-mata karena tingkat efisiensi usahatani yang tinggi, melainkan harga jual
jagung ditingkat petani sering di tekan oleh para pedagang jagung. Menurut hasil kajian
Rachman (2005) bahwa dalam pemasaran jagung di lokasi penelitian Jawa Timur, perubahan
harga pada pasar internasional maupun pasar domestik tidak tertransmisisikan dengan baik
terhadap pasar produsen. Keragaan harga pada pasar produsen lebih berfluktuasi karena
berbagai faktor eksternal seperti musim, serangan OPT dan sebagainya dari pada harga dipasar
konsumen. Dengan demikian bahwa aksesibilitas petani terhadap pasar tidak sebaik pedagang.
Faktor lain yang menyebabkannya juga adalah bahwa ketergantungan petani kepada pedagang
yang lebih tinggi dibandingkan ketergantungan pedagang pada petani dalam memperoleh
barang sehingga posisi tawar petani menjadi lemah. Menurut Hayami dan Kawagoe (1993)
bahwa peran pedagang dalam pemasaran pertanian adalah sangat dominan. Dalam penentuan
harga, unsur monopoli dan monopsoni sudah merupakan hal yang sangat klasik yang sangat
berpeluang merugikan petani.
Sementara itu, rendahnya harga jagung asal impor dapat disebabkan oleh beberapa
faktor sebagai berikut: (1) Tingkat efisiensi usahatani jagung di negara eksportir (utamanya
pada produsen jagung USA) lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi usahatani jagung di
Indonesia; (2) Sistem distribusi dan pemasaran jagung di negara eksportir jagung (seperti USA
dan China) jauh lebih efisien; (3) Skala usahatani jagung di negara eksportir jagung lebih luas;
(4) Manajemen pengelolaan usahatani jagung di negara eksportir jagung jauh lebih modern, (5)
Sistem permodalan dan dukungan kelembagaan usahatani di negara eksportir jagung sudah
sangat memadai, dan (6) Dukungan pemerintah dan pihak swasta dalam mengembangkan
komoditas jagung di negara eksportir lebih kuat dan saling bersinergi.
5

Gambar 1. Perkembangan harga jagung domestik di berbagai tingkatan dan harga


jagung asal impor, 2005-2011 (Rp/Kg).

III. ASPEK-ASPEK STRATEGIS DINAMIKA HARGA

3.1. Sisi Suplai/Produksi


Sentra produksi jagung di Indonesia yaitu terdapat di Provinsi Jawa Timur, Jawa
Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan NTT
(Badan Litbang Pertanian, 2005). Bahkan dalam perkembangannya, 10 sentra produksi jagung
terbesar termasuk Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo. Dengan demikian, di Pulau Jawa
terdapat 3 Provinsi yang paling dominan produksinya yaitu: Jawa Timur, Jawa Tengah dan
Jawa Barat. Adapun di Luar Jawa, sentra produksi tersebar mulai dari Provinsi di Pulau
Sumatera (Lampung, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat), di Pulau Sulawesi (Sulawesi
Selatan, Gorontalo dan Sulawesi Utara), dan di Pulau Nusa Tenggara (NTT). Pangsa produksi
jagung dari 10 sentra produksi tersebut hamper mencapai 90 persen terhadap total produksi
jagung nasional (Tabel 3).

Tabel 3. Perkembangan Produksi Jagung Pada Beberapa Sentra Produksi di Indonesia, 2005-
2011 (Ton).
Perkemb.
Provinsi 2005 2008 2009 2010 2011 (%/tahun)
1. Jatim 4398502 5053107 5266720 5587318 5443705 5,37
2. Jateng 2191258 2679914 3057845 3058710 2772575 6,97
3. Lampung 1439000 1809886 2067710 2126571 1817906 7,94
4. Sulsel 705995 1195691 1395742 1343044 1420154 12,50
5. Sumut 735456 1098969 1166548 1377718 1294645 16,14
6. Jabar 587186 639822 787599 923962 945104 9,86
7. Gorontalo 400046 753598 569110 679167 605782 7,13
8. NTT 552440 673112 638899 653620 524638 4,39
9. Sulut 195305 466041 450989 446144 438504 11,15
10. Sumbar 157147 351843 404795 354262 471849 16,50
Total 11362335 14721983 15805957 16550516 15734862 7,98
Indonesia 12523894 16317252 17629748 18327636 17643250 7,72
Sumber: BPS, 2012.

Berdasarkan data statistik, selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2000-2011) luas
panen dan produksi jagung nasional mengalami peningkatan masing-masing sebesar 2,18
%/tahun dan 6,79 %/tahun. Adapun peningkatan produktivitasnya mencapai 4,61 %/tahun.
Selanjutnya bila dilihat perkembangan dalam periode lima tahunan, maka pada periode 2000-

2005 luas panen jagung nasional meningkat 0,91 %/tahun dan produksinya meningkat 5,56
%/tahun. Sementara peningkatan produktivitasnya mencapai 4,65 %/tahun. Selanjutnya pada
periode 2005-2011, luas panen dan produksi jagung mengalami peningkatan lebih pesat lagi
yaitu masing-masing menjadi 2,62 %/tahun dan 7,89 %/tahun. Luas panen meningkat dari
3,63 juta hektar pada tahun 2005 menjadi 17,63 juta hektar pada tahun 2011, sedangkan
produksi meningkat dari 12,52 juta ton pada tahun 2005 menjadi 17,63 juta ton pada tahun
2011. Peningkatan produksi yang relatif tinggi tersebut berasal dari peningkatan produktivitas
sebesar 5,27 %/tahun, yaitu dari 3,45 ton/ha tahun 2005 menjadi 4,57 ton/ha pada tahun
2011. Sisanya berasal dari peningkatan luas panen (Tabel 4).

Tabel 4. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Jagung Nasional, 2000-2011.
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (Ton) Produktivitas (ton/ha)
2000 3500318 9676899 2,76
2001 3285866 9347192 2,84
2002 3126833 9654105 3,09
2003 3358511 10886442 3,24
2004 3356914 11225243 3,34
2005 3625987 12523894 3,45
2006 3345805 11609463 3,47
2007 3630324 13287527 3,66
2008 4001724 16317252 4,08
2009 4160659 17629748 4,24
2010 4131676 18327636 4,44
2011 3861433 17629033 4,57
Perkemb (%/thn)
2000-2005 0,91 5,56 4,65
2005-2011 2,62 7,89 5,27
2000-2011 2,18 6,79 4,61
Sumber: BPS (2012).

Bila dicermati lebih lanjut, selama tahun 2010-2011 produksi jagung nasional turun sebesar
3,81 %/tahun. Penurunan produksi ini disebabkan karena menurunnya luas panen sebesar 6,54
%/tahun, sementara peningkatan produktivitas hanya 2,73 %/tahun. Terjadinya penurunan
luas panen lebih disebabkan antara lain karena persaingan penggunaan lahan usahatani,
insentif harga, dan belum efektifnya pelaksanaan program pemerintah.

Apabila dibandingkan dengan Negara produsen jagung di ASEAN lainnya seperti Thailand
dan Vietnam, maka luas panen jagung Indonesia paling tinggi. Luas panen jagung Indonesia
tahun 2011 mencapai 3,86 juta ha, sedangkan luas panen di Thailand dan Vietnam masing-
masing sebesar 1,13 juta ha dan 1,15 juta ha (Tabel 5). Lebih tingginya luas panen jagung di
Indonesia, menyebabkan produksi jagung Indonesia paling tinggi dan sekaligus produsen
jagung terbesar di ASEAN. Produksi jagung Indonesia pada tahun 2011 sebesar 17,63 juta ton,
sedangkan di Vietnam dan Thailand masing-masing sebesar 4,79 juta ton dan 4,58 juta ton
(Tabel 6). Tingkat produktivitas jagung Indonesia dibanding Vietnam relatif masih lebih tinggi,
dimana produktivitas jagung di Indonesia sebesar 4,57 ton/ha dan di kedua negara tersebut
masing-masing sebesar 4,18 ton/ha dan 4,05 ton/ha (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa
penggunaan teknologi untuk mendongkrak produktivitas jagung Indonesia masih menjadi
peluang untuk terus diraih dan ditingkatkan.

Tabel 5. Perkembangan Luas Panen Jagung Pada Negara-Negara produsen Jagung Dunia,
2000-2011 (Ha).
Tahun USA China Brazil Meksiko Thailand Vietnam Indonesia
2000 29315700 23086418 11614700 7131180 1218290 730200 3500318
2001 27829700 24310656 12330300 7810850 1204700 729500 3285866
2002 28057200 24661127 11750900 7119720 1146670 816400 3126833
2003 28710300 24092660 12965700 7520900 1103270 912700 3358511
2004 29797700 25467475 12410700 7687660 1125120 991100 3356914
2005 30399022 26379198 11549288 6605650 1072726 1052586 3625987
2006 28586497 28482933 12613222 7294815 995612 1033101 3345805
2007 35013850 29497382 13767357 7333313 990004 1096105 3630324
2008 31796555 29882851 14444436 7353905 1042836 1440210 4001724
2009 32168879 31203902 13654543 6223060 1104864 1089195 4160659
2010 32960291 32517819 12814684 7148041 1121802 1126385 4131676
2011 33389588 33378306 13408688 7110429 1131684 1146561 3861433
Perkem (%/thn)
2000-2005 1.18 2.24 0.27 -1.01 -2.52 8.17 0.91
2005-2011 1.66 3.64 1.59 0.06 1.82 1.45 2.62
2000-2011 1.70 3.48 1.37 -0.66 -0.88 4.48 2.18
Sumber: FAO (2012).

Tabel 6. Perkembangan Produksi Jagung Pada Negara-Negara produsen Jagung Dunia, 2000-
2011 (Ton).
Tahun USA China Brazil Meksiko Thailand Vietnam Indonesia
2000 251852000 106178315 31879400 17556900 4472900 2005900 9676899
2001 241375000 114253995 41955300 20134300 4496960 2161700 9347192
2002 227765000 121496915 35933000 19297800 4259290 2511200 9654105
2003 256227000 115997909 48327300 20701400 4248990 3136300 10886442
2004 299874000 130434297 41787600 21670200 4341470 3430900 11225243
2005 282261000 139498473 35113300 19338700 4093630 3787100 12523894
2006 267501000 151731433 42661700 21893200 3918330 3854500 11609463
2007 331175000 152418870 52112200 23512800 3890220 4303200 13287527
2008 307142000 166035097 58933300 24320100 4249350 4573100 16317252
2009 332549000 164107560 50719800 20142800 4616120 4371700 17629748
2010 316165000 177540788 56060400 23301900 4454450 4606800 18327636
2011 326216270 185249596 60473184 23765305 4583322 4790169 17629033
Perkem (%/thn)
2000-2005 3.91 4.94 2.05 2.15 -1.57 13.42 5.71
2005-2011 2.66 4.41 7.13 2.04 2.74 3.78 7.71
2000-2011 3.12 5.03 4.80 2.12 0.15 7.28 6.81
Sumber: FAO (2012).

Gambar 2. Produksi Jagung di Beberapa Negara Produsen di Dunia, 2011.

10

Tabel 7. Perkembangan Produktivitas Jagung Pada Negara-Negara produsen Jagung Dunia,


2000-2011 (Ton/Ha).
Tahun USA China Brazil Meksiko Thailand Vietnam Indonesia
2000 8.59 4.60 2.74 2.46 3.67 2.75 2.76
2001 8.67 4.70 3.40 2.58 3.73 2.96 2.84
2002 8.12 4.93 3.06 2.71 3.71 3.08 3.09
2003 8.92 4.81 3.73 2.75 3.85 3.44 3.24
2004 10.06 5.12 3.37 2.82 3.86 3.46 3.34
2005 9.29 5.29 3.04 2.93 3.82 3.60 3.45
2006 9.36 5.33 3.38 3.00 3.94 3.73 3.47
2007 9.46 5.17 3.79 3.21 3.93 3.93 3.66
2008 9.66 5.56 4.08 3.31 4.07 3.18 4.08
2009 10.34 5.26 3.71 3.24 4.18 4.01 4.24
2010 9.59 5.46 4.37 3.26 3.97 4.09 4.44
2011 9.77 5.55 4.51 3.34 4.05 4.18 4.57
Perkem (%/thn)
2000-2005 2.70 2.68 1.81 3.26 0.94 5.43 4.66
2005-2011 1.04 0.76 5.88 2.01 0.91 2.38 5.24
2000-2011 1.45 1.60 3.51 2.77 0.99 3.23 4.60
Sumber: FAO (2012).

Sementara jika dibandingkan dengan Negara produsen jagung dunia seperti USA, China,
dan Brazil maka luas panen di ketiga negara tersebut jauh lebih tinggi dibanding dengan
Indonesia. Pada tahun 2011, luas panen jagung di keempat negara tersebut masing-masing
seluas 33,39 juta ha; 33,38 juta ha dan 13,41 juta ha. Begitupula halnya dengan produksi
jagung yang dihasilkan di ketiga negara produsen tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan Indonesia. Produksi jagung tahun 2011 di ketiga negara tersebut masing-masing
sebesar 326,22 juta ton, 185,25 juta ton, dan 60,47 juta ton. Tingginya produksi di Negara
tersebut selain karena lebih luasnya areal panen, juga karena tingkat produktivitasnya jauh
lebih tinggi (khususnya di USA dan China) dibandingkan dengan Indonesia. Misalnya di USA
rata-rata produktivitas mencapai 9,77 ton/ha dan di China 5,55 ton/ha, sedangkan produktivitas
di Brazil relatif berimbang dengan produktivitas di Indonesia yang mencapai 4,51 ton/ha. Data
ini menunjukkan bahwa penerapan teknologi usahatani jagung di negara-negara produsen
utama (USA dan China) sudah lebih maju dibanding Indonesia. Hal ini pula yang diduga
menjadi penyebab harga jagung per satuan unitnya di negara produsen jagung tersebut
menjadi lebih murah. Oleh karena itu, dengan keterbatasan lahan usahatani saat ini,

11

meningkatkan produksi jagung nasional melalui peningkatan produktivitas dan insentif harga
output menjadi alternatif solusi yang tepat.
Berdasarkan struktur ongkos usahatani jagung 2011 (BPS, 2011), diperoleh informasi
bahwa: (1) biaya rata-rata usahatani jagung mencapai Rp 9,88 juta/ha, (2) rataan produktivitas
4,57 ton/ha dan harga Rp 3.400/Kg, penerimaan yang diperoleh sebesar Rp 15,21 juta/ha,
serta keuntungan sebesar Rp 5,64 juta/ha, dan (3) harga titik impas (BEP) yaitu Rp 2.165/ha.
Dengan demikian, keuntungan usahatani jagung saat ini mencapai 57 persen, melebihi batas
keuntungan normal usahatani yaitu 30 persen (Tabel 8). Namun demikian, mengingat lahan
garapan petani relatif sempit (<0,50 ha), maka keuntungan nominal menjadi relatif kecil. Hasil
beberapa studi empiris menunjukkan bahwa usahatani jagung memiliki keunggulan komparatif
yang merupakan potensi keunggulan kompetitif. Meskipun demikian, pengembangan jagung
nasional masih dihadapkan dengan beberapa permasalahan antara lain: fluktuasi produksi dan
harga musiman/bulanan, kapasitas sumberdaya lahan, kelembagaan, permodalan, efisiensi
usaha, mutu hasil, pengumpulan, pergudangan, pengolahan dan pemasaran hasil.
Dalam hal peningkatan produktivitas jagung, pemerintah terus mendorong peningkatan
produksi melalui penyebarluasan benih unggul dan peningkatan teknik budidaya jagung spesifik
lokasi. Upaya mendorong produksi jagung nasional juga selayaknya ditempuh melalui
pemberian rangsangan harga output kepada petani jagung. Kenyataan di lapangan bahwa
seringkali harga jagung rendah dan cenderung ditekan secara sepihak oleh pabrik
pakan/pedagang. Kondisi ini tidak memberi rangsangan yang memadai kepada petani untuk
menggunakan teknologi produksi yang lebih baik, sehingga produktivitasnya masih rendah.
Harga jagung yang rendah juga tidak merangsang petani untuk menanam jagung dalam areal
yang lebih luas. Menurut Ditjen Tanaman Pangan (2008) bahwa keberhasilan peningkatan
produksi antara lain tidak terlepas dari kebijakan output dimana pemerintah pusat selalu
mendorong pemerintah daerah agar menampung produksi jagung petani sehingga harga
jagung di tingkat petani tidak jatuh pada saat panen. Sejak tahun 1990 sudah tidak ada lagi
pengaturan harga jagung melalui mekanisme harga dasar, karena dinilai tidak efektif. Tataniaga
jagung dibebaskan sehingga harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar, dimana posisi
tawar petani lebih lemah daripada pedagang.

12

Tabel 8. Analisis Usahatani Jagung Per Hektar di Indonesia, 2011


No Jenis Pengeluaran Nilai Pengeluaran
Volume Nilai (Rp/Ha)
I. Produksi
a. Produksi 4.565 xxxx
b. Harga (Rp/Kg) xxx 3.400
c. Nilai (Rp) xxx 15.521.000
II. Input
a. Benih (Kg) 25 539.060
b. Pupuk (Kg) 1.085.540
- Urea 150 494.084
- TSP/SP36 43 138.343
- ZA 12 29.645
- KCl 11 49.408
- NPK 36 148.225
- Pupuk lainnya xxx 192.601
c. Pestisida xxx 266.120
d. Tenaga kerja 172 4.967.580
e. Jasa Pertanian xxx 514.440
f. Sewa Lahan xxx 1.945.530
g. Sewa Alat/Sarana xxx 253.610
h. Lainnya xxx 309.790
Total xxx 9.881.670
III. Keuntungan xxx 5.639.330
IV. R/C xxx 1,57
V. Harga saat Break Even (Rp/Kg) xxx 2.165
VI. Harga Saat Keuntungan Naik 15% xxx 3.585
VII. Harga Saat Keuntungan Naik 20% xxx 4.897
Sumber: BPS (2011) dan Berbagai Hasil Penelitian (2011).

3.2. Sisi Demand/Konsumsi


Permintaan jagung untuk memenuhi kebutuhan pangan, industri bahan makanan, dan
bahan baku pakan serta kedepan untuk bahan baku energi (bioetanol) akan makin meningkat
dari tahun ke tahun. Selama kurun waktu 2000-2004, bila disandingkan data produksi dan total
kebutuhan jagung nasional maka dapat diketahui bahwa produksi jagung nasional selalu
dibawah total kebutuhan jagung nasional (Tabel 9). Masih rendahnya produksi jagung nasional,
sementara kebutuhannya meningkat pesat menyebabkan terjadinya ketimpangan dalam
pemenuhan kebutuhan jagung. Oleh karena itu, untuk mencukupi berbagai kebutuhan (untuk
13

makanan atau konsumsi langsung, bahan baku industri olahan dan terutama bahan baku pakan
ternak) telah dilakukan impor jagung pada kurun waktu tersebut dengan kisaran antara 1,08
juta 1,37 juta ton.
Selanjutnya pada tahun 2005, total kebutuhan jagung mencapai 11,86 juta ton, kemudian
meningkat menjadi 12,15 juta ton pada tahun 2006, dan menjadi 16,50 juta ton pada tahun
2011. Produksi jagung nasional pada tahun 2005 mencapai 12,52 juta ton, kemudian menurun
menjadi 11,61 juta ton tahun 2006 dan meningkat lagi menjadi 17,63 juta ton pada tahun
2011. Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa pada tahun 2006 terjadi defisit, sehingga
untuk mencukupi kebutuhan dilakukan impor sebesar 1.84 juta ton. Selanjutnya pada periode
2007-2011, produksi jagung nasional telah melampaui kebutuhan konsumsinya. Namun
demikian, impor jagung tetap dilakukan yaitu sebesar 414 ribu ton pada tahun 2007 dan
meningkat menjadi 2,37 juta ton pada tahun 2011.
Aktivitas impor jagung masih terus berjalan seiring waktu, meskipun trend produksi
jagung nasional menunjukkan peningkatan. Impor ini dilakukan khususnya oleh pelaku industri
pakan ternak, dengan beberapa alasan antara lain adalah: (1) kepastian pasokan dan
kemudahan memperoleh bahan baku. Industri kesulitan melacak keberadaan stok kelebihan
produksi yang ada; (2) produksi jagung di dalam negeri tidak kontinyu sepanjang tahun. Panen
jagung terjadi pada dua periode yakni Januari-Mei dan September-Desember, sehingga ada
kekosongan pasokan pada Juni-Agustus. Di sisi lain, permintaan jagung untuk pabrik pakan
kontinyu sepanjang tahun; (3) membeli jagung di pasar internasional hanya berhubungan
dengan satu pedagang internasional. Hal ini berbeda dengan membeli jagung di dalam negeri
yang harus berhubungan dengan banyak petani/produsen. Pihak industri lebih menyukai
membeli jagung lokal, karena jagung domestik umumnya lebih segar.

14

Tabel 9. Perkembangan Produksi, Kebutuhan dan Impor Jagung Nasional, 2005-2011.


Tahun Produksi (Ton) Kebutuhan (Ton) Impor (Ton)
2000 9676899 10719000 1286466
2001 9347192 10937000 1083702
2002 9654105 11164000 1205086
2003 10886442 11390000 1370857
2004 11225243 11617000 1111638
2005 12523894 11861000 234706
2006 11609463 12149000 1842956
2007 13287527 12458000 414324
2008 16317252 13712000 393305
2009 17629748 15120000 336216
2010 18327636 16300000 1523513
2011 17629033 16500000 2367332
Pertumbuhan (%/thn)
2000-2005 5.71 2.02 -13.65
2005-2011 7.71 6.34 19.97
2000-2011 6.81 4.20 1.40
Sumber: 1.BPS (2005-2012); 2. FAO (2012); 3 Zubachtirodin, M.S. Pabbage dan Subandi
(2007); 4. Badan Litbang Pertanian (2005); 5. Media Berbagai Terbitan.

3.3. Distribusi dan Pemasaran


Sentra produksi jagung di Indonesia tersebar di sepuluh provinsi, sementara sentra
konsumsi (khususnya industri pakan ternak) dominan terdapat di Pulau Jawa. Distribusi produk
dari sentra produksi ke sentra konsumsi memerlukan biaya angkut dan pemasaran yang tinggi,
serta diperlukan waktu yang cukup lama. Pada pemasaran jagung disentra produksi, terdapat
para pelaku dalam pemasaran yaitu petani, pedagang pengumpul/ penebas, pedagang besar,
peternak dan pabrik pakan (Saleh, C, et.al, 2005). Pelaku pemasaran ini masih sama dengan
hasil penelitian Timer (1987), hanya saja Bulog tidak lagi melakukan intervensi pasar. Tidak
terdapat perbedaan yang signifikan pada pelaku pemasaran antar lokasi kajiannya. Pada
usahatani jagung yang bersifat subsisten, pola pemasaran relatif sederhana. Petani menjual
sebagian kecil produksinya ke konsumen langsung atau pedagang pengecer di pasar lokal.
Perbedaan orientasi produksi dan dan karakteristik produksi menyebabkan perbedaan
dalam karakteristik dan volume pemasaran. Produsen jagung komersial umumnya menjual
seluruh produksinya saat setelah panen, sementara produsen untuk tujuan konsumsi

15

mencadangkan hampir seluruh hasil panennya sebagai bahan pangan. Secara umum, petani
yang menjual jagung untuk non konsumsi para petani menjual jagung dalam bentuk pipilan
terhadap pedagang yang datang. Kelemahan petani dalam menjual hasil tersebut karena
keterbatasan ruang dan perolehan informasi dalam hal harga jual. Sementara, petani yang
menjual jagung untuk konsumsi umumnya volumenya kecil dan menjual ke pedagang pengecer
atau pasar setelah terlebih dahulu mengetahui informasi harga. Namun demikian, meskipun
informasi harga diperoleh karena strukturnya monopsoni maka petani tetap lemah dalam
bargaining harga dengan para pembelinya.
Pada pemasaran jagung domestik, secara umum hasil penelitian menunjukan bahwa
posisi tawar petani jagung lemah. Hal ini disebabkan: (1) umumnya petani menjual jagung
segera setelah panen; (2) petani dihadapkan pada kebutuhan uang tunai untuk usahatani
berikutnya, sehingga nilai tambah dari pasca panen lebih banyak dinikmati oleh para pedagang;
dan (3) pasar jagung tersegmentasi secara lokal.
Petani menghadapi resiko baik produksi maupun resiko harga. Fluktuasi produksi dan
harga jagung juga merupakan resiko yang dihadapi para pedagang jagung yang akan
menginternalisasikannya ke dalam marjin pemasaran yang lebih tinggi. Pada kondisi tertentu,
diperlukan kebijakan intervensi pemerintah untuk menstabilkan harga jagung untuk
meningkatkan efisiensi ekonomi agribisnis jagung dan sekaligus meningkatkan produksi jagung
dalam negeri.

3.4. Faktor Lain


Kekeringan tengah melanda dunia termasuk di negara-negara produsen pertanian besar
dunia. Kekeringan di AS, telah menyebabkan melonjaknya harga pangan seperti gandum,
jagung dan kedelai. Departemen Pertanian AS (USDA) memperkirakan produksi pangan dan
pakan seperti gandum, jagung, kedelai menurun. Produksi jagung dan kedelai diprediksi
masing-masing turun 12% dan 8%. Dalam dua bulan terakhir, harga jagung di pasar komoditas
naik 50%,sedangkan harga kedelai naik 30% sejak pertengahan Juni lalu. Kenaikan harga
jagung membuat produk turunan dari jagung seperti pakan ternak akan naik harganya.
Perkiraan defisit pangan kian besar setelah petani Argentina mengurangi luas lahan yang
ditanami jagung sebesar 20%. Argentina adalah eksportir jagung terbesar kedua setelah AS
(Khudori dalam Sindo, 2012).

16

Menurunnya produksi pangan dibeberapa negara produsen, menyebabkan banyak negara


produsen menahan stock komoditas dan mengurangi ekspornya. Oleh karena itu, peningkatan
produksi dalam negeri memiliki urgensi kuat untuk terus diupayakan sehingga pemenuhan
kebutuhan yang bersumber pada impor semakin dikurangi.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

4.1. Kesimpulan
Harga jagung yang tinggi lebih banyak dinikmati oleh pedagang besar atau bandar
jagung, sementara petani jagung secara umum memperoleh harga yang relatif rendah.
Rendahnya harga jagung di tingkat petani bukanlah semata-mata karena tingkat efisiensi
usahatani yang tinggi, melainkan harga jual jagung ditingkat petani sering di tekan oleh para
pedagang jagung. Keragaan harga pada pasar produsen lebih berfluktuasi karena berbagai
faktor eksternal seperti musim, serangan OPT dan sebagainya dari pada harga dipasar
konsumen. Ketergantungan petani kepada pedagang yang lebih tinggi dibandingkan
ketergantungan pedagang pada petani dalam memperoleh barang juga menyebabkan posisi
tawar petani menjadi lemah.
Terdapatnya perbedaan harga jagung asal impor dan harga jagung domestik, dimana
harga jagung impor lebih murah dapat disebabkan oleh beberapa alasan sebagai berikut: (1)
Tingkat efisiensi usahatani dari negara asal impor lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi
usahatani Indonesia; (2) Sistem distribusi dan pemasaran jagung di negara eksportir jagung
jauh lebih efisien dari pada di Indonesia; (3) Skala usahatani jagung di negara eksportir jagung
jauh lebih luas dari pada di Indonesia; (4) Manajemen pengelolaan usahatani di negara
eksportir jagung jauh lebih modern, (5) Sistem permodalan dan dukungan kelembagaan usaha
pada di negara eksportir jagung sudah sangat memadai, dan (6) Dukungan pemerintah dan
pihak swasta dalam mengembangkan komoditas jagung lebih kuat dan saling bersinergi.
Terdapat beberapa alasan kegiatan impor jagung yang tetap dilakukan oleh pelaku
industri pakan, antara lain: (1) kepastian pasokan dan kemudahan memperoleh bahan baku;
(2) produksi jagung di dalam negeri tidak kontinyu sepanjang tahun; (3) importir di Indonesia
hanya berhubungan dengan satu pedagang internasional, berbeda jika membeli jagung di
dalam negeri yang harus berhubungan dengan banyak petani/produsen.

17

Upaya untuk peningkatan produksi jagung dan pendapatan petani dapat dilakukan melalui
efisiensi usahatani dengan mengarahkan pada peningkatan produktivitas, penekanan biaya
produksi dan insentif harga output. Secara rinci beberapa upaya yang dimaksud antara lain: (1)
menerapkan teknologi tepat guna melalui penyebarluasan benih unggul dan peningkatan teknik
budidaya jagung spesifik lokasi, (2) pendampingan kepada petani secara intensif dan kontinyu
oleh aparat pertanian (penyuluh pertanian dan peneliti), (3) pengaturan dalam pengadaan dan
distribusi sarana produksi (pupuk, benih dan air) yang efisien sehingga tersedia pada tingkat
petani pada saat dibutuhkan, (4) pemberian rangsangan harga output kepada petani jagung,
dan (5) pengembangan kelembagaan petani dan kemitraan usaha dalam rangka menjamin
kepastian harga dan pasar produk yang dihasilkan petani jagung.

4.2. Rekomendasi Kebijakan


Dalam rangka meningkatkan produksi jagung, maka dapat dilakukan pengembangan
usahatani yang dapat ditempuh melalui: (1) peningkatan skala usahatani antara lain melalui
konsolidasi manajemen pengelolaan dan pemberdayaan gabungan kelompok tani serta
peningkatan pemanfaatan lahan-lahan yang belum diusahakan secara optimal, (2) peningkatan
akses terhadap kredit permodalan usahatani dalam wadah kelompok tani/gabungan kelompok
tani yang telah berbadan hukum, (3) memfasilitasi kemitraan yang saling menguntungkan
antara kelompok tani/gabungan kelompok tani dengan swasta, terutama terkait pemasaran
hasil dan pembinaan usahatani yang berkesinambungan, (4) mendorong pengembangan
teknologi modern untuk peningkatan produktivitas di tingkat petani, sehingga dapat
meningkatkan produksi jagung, dan (5) mendorong penciptaan nilai tambah di tingkat petani
agar tidak hanya menjual jagung sebagai bahan baku industri semata, namun dapat menjual
jagung dalam bentuk olahan.
Upaya peningkatan produksi dalam negeri diperlukan dalam rangka pemenuhan berbagai
kebutuhan dan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor jagung. Peningkatan
teknologi dan manajemen usahatani diharapkan dapat memproduksi jagung yang lebih berdaya
saing dipasaran dengan tingkat harga yang lebih kompetitif dibanding dengan jagung impor.
Adapun beberapa upaya yang diperlukan dalam peningkatan produksi tersebut antara lain
dalam hal: (1) Peningkatan efisiensi usahatani; (2) Perbaikan sistem distribusi dan pemasaran
jagung yang lebih efisien; (3) Peningkatan skala usahatani jagung; (4) Perbaikan manajemen
pengelolaan usahatani; (5) Dukungan sistem permodalan dan kelembagaan usahatani; dan (6)
18

Dukungan pemerintah dan pihak swasta dalam mengembangkan komoditas jagung yang lebih
kuat dan saling bersinergi.
Matrik Permasalahan, Solusi dan Instansi yang terlibat Pada Berbagai Aspek
Pengembangan Produksi, Konsumsi, Distribusi dan Pemasaran Komoditas Jagung.
No. Permasalahan Solusi Instansi yang Terlibat
1. Sisi Suplai/produksi: - Diperlukan pemeta- - Ditjen tanaman
- Produksi jagung di sentra produksi an sentra produksi pangan
yang tersebar jagung yang lebih - Dinas pertanian
- Produksi jagung tidak merata antar terkoordinasi secara Tanaman Pangan
musim baik dengan pusat Provinsi/Kab.
- Terdapat persaingan dengan konsumsi - Bulog
komoditas lain seperti kedelai dan - Perlu perencanaan
palawija lain tanam komoditas
- Data produksi yang cenderung yang lebih baik
surplus dibandingkan konsumsi - Perbaikan maneje-
men stock dari
produksi.
2. Sisi Demand/Konsumsi: - Diperlukan data - Bulog
- Permintaan yang semakin kebutuhan/ - Ditjen Tanaman
meningkat untuk kebutuhan bahan konsumsi untuk pangan, Kementan
baku pakan berbagai kebutuhan - Industri Pakan
- Kebutuhan yang kontinyu yang akurat
sepanjang tahun - Lebih banyak
- Impor yang masih tinggi mengkonsumsi
produksi jagung
dalam negeri dari
stock yang ada

3. Distribusi dan Pemasaran - Peningkatan Efisiensi - Ditjen Tan. Pangan


- Distribusi dan pemasaran jagung distribusi dan - Kementerian
yang cenderung kurang efisien pemasaran Perhubungan dan
- Distribusi jagung yang sulit dari - Peningkatan Dinas Perhubungan
berbagi sentra produksi infrastruktur dan - Kepolisian
- Cenderung bersifat Oligopsoni layanan transportasi - Kementerian
- Harga jagung ditingkat petani yang komoditas pertanian Perdagangan
cenderung rendah secara baik dan - Bulog
murah

4. Faktor lain (termasuk kebijakan - Perlunya antisipasi - Ditjen Tan. Pangan


negara produsen lain): stock supply dalam - Kementerian
- Semakin meningkatnya produksi dan negeri Perdagangan
produktivitas jagung pada negara - Efisiensi usahatani - Bulog
produsen utama - Dukungan dan
- Kegagalan produksi negara memperkuat
produsen utama produksi dalam
- Produsen jagung meningkatkan negeri.
harga jagung ekspor
19

DAFTAR PUSTAKA

Bahtiar, S. Pakki dan Zubachtirodin. 2007. Sistem Perbenihan Jagung. Dalam Sumarno, et.al.
(Editor). Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan: 177-191. Puslitbang Tanaman
Pangan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Komoditas Jagung di
Indonesia. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Business News. 2011. Impor Jagung Terus Naik. 26 Mei 2011.
BPS. 2011. Struktur Ongkos Usahatani Tanaman Pangan. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
BPS. 2011. Statistik Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Departemen Pertanian. 2008. Laporan Bulanan Januari
2008. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.
Ekonomi dan Bisnis. 2008. Departemen Pertanian (Deptan) Akan Menghentikan Impor Jagung
pada Tahun 2009. Antara News. www.antaranews.com [10 Oktober 2010].
FAO. 2012. Data Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung. www.fao.org
Hayami, Y. and Kawagoe, T. 1993. The Agrarians Origins of Commerce and Industry: A Study
of Peasant Marketing in Indonesia. St. Martins Press. New York. 202p.
Kasryno, F., E. Pasandaran, Suyamto dan M. O. Adnyana. 2007. Gambaran Umum Ekonomi
Jagung Indonesia. Dalam Sumarno, et.al. (Editor). Jagung: Teknik Produksi dan
Pengembangan: 474-497. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.
Kementerian Pertanian. 2010. Renstra Kementerian Pertanin 2010-2014. Jakarta.
Khudori. 2012. Kekeringan AS dan Ancaman Krisis Pangan. Sindo, 13 Agustus 2012.
Rachman. 2005. Perdagangan Internasional Komoditas Jagung. Dalam Kasryno, et.al. (Editor).
Ekonomi Jagung Indonesia: 197-209. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Saleh, C. Sumedi, dan E. Jamal. 2005. Analisis Pemasaran Jagung di Indonesia. Dalam Kasryno,
et.al. (Editor). Ekonomi Jagung Indonesia: 197-209. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Timmer, C.P. 1987. The Corn Economy of Indonesia. Cornel University Press. Ithaca, New York.

Trobos. 2012. Jagung Sebagai Sumber Pakan. Januari 2012.


Zubachtirodin, M. S. Pabbage dan Subandi. 2007. Wilayah Produksi dan Potensi Pengembangan
Jagung. Dalam Sumarno, et.al. (Editor). Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan:
464-473. Puslitbang Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Bogor.

20

Вам также может понравиться