Вы находитесь на странице: 1из 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan


kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia
terdeteksi penyandang penyakit lupus mencapai 5 juta orang, dan lebih dari
100 ribu kasus baru terjadi setiap tahunnya. Tubuh memiliki kekebalan
untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap sehat. Namun, apa jadinya
jika kekebalan tubuh justru menyerang organ tubuh yang sehat. Penyakit
lupus diduga berkaitan dengan sistem imunologi yang berlebih. Penyakit
lupus tergolong misterius. Lebih dari 5 juta orang dalam usia produktif di
seluruh dunia telah terdiagnosis menyandang lupus atau SLE (Systemic
Lupus Erythematosus), yaitu penyakit auto imun kronis yang menimbulkan
bermacam-macam manifestasi sesuai dengan target organ atau sistem yang
terkena. Itu sebabnya lupus disebut juga penyakit 1000 wajah.

Menurut data pustaka, di Amerika Serikat ditemukan 14,6 sampai


50,8 per 100.000. Di Indonesia bisa dijumpai sekitar 50.000 penderitanya.
Sedangkan di RS Ciptomangunkusumo Jakarta, dari 71 kasus yang
ditangani sejak awal 1991 sampai akhir 1996 , 1 dari 23 penderitanya adalah
laki-laki. Saat ini, ada sekitar 5 juta pasien lupus di seluruh dunia dan setiap
tahun ditemukan lebih dari 100.000 pasien baru, baik usia anak, dewasa,
laki-laki, dan perempuan. Sembilan puluh persen kasus Lupus Eritematosus
Sistemik menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40
tahun selama masa reproduktif dengan rasio wanita dan laki-laki 5:1.

Penyakit lupus masih sangat awam bagi masyarakat. Penyakit


Lupus biasanya menyerang wanita produktif. Meski kulit wajah penderita
Lupus dan sebagian tubuh lainnya muncul bercak-bercak merah, tetapi
penyakit ini tidak menular. Terkadang kita meremehkan rasa nyeri pada
persendian, seluruh organ tubuh terasa sakit atau terjadi kelainan pada kulit,

1
atau tubuh merasa kelelahan berkepanjangan serta sensitif terhadap sinar
matahari. Semua itu merupakan sebagian dari gejala penyakit Lupus.

Faktor yang diduga sangat berperan terserang penyakit lupus


adalah faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari, stres, beberapa
jenis obat, dan virus. Penyakit lupus merupakan penyakit autoimun sistemik
dimana pengaruh utamanya lebih dari satu organ yang ditimbulkan. Oleh
karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian lupus
eritematosus sistemik, bagaimana epidemiologi, patofisiologi, penyebabnya,
manifestasi klinis, serta penatalaksanaan pada lupus eritematosus sistemik.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam bahasan ini antara lain:

1. Apa pengertian dari penyakit lupus eritematosus sistemik?


2. Bagaimana epidemiologi lupus eritematosus sistemik?
3. Bagaimana patofisiologi pada penyakit lupus eritematosus sistemik?
4. Apa saja penyebabnya seseorang terkena penyakit lupus eritematosus
sistemik?
5. Bagaimana manifestasi klinis pada lupus eritematosus sistemik?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada lupus eritematosus sistemik?

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penulisan ini adalah dapat menjelaskan secara
umum mengenai lupus eritematosus autoimun (SLE)
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penulisan ini antara lain:
a. Dapat menjelaskan pengertian penyakit lupus eritematosus sistemik
b. Dapat menjelaskan epidemiologi penyakit lupus eritematosus
sistemik
c. Dapat menjelaskan patofisiologi pada penyakit lupus eritematosus
sistemik
d. Dapat menjelaskan penyebab timbulnya penyakit lupus
eritematosus sistemik

2
e. Dapat menjelaskan manifestasi klinis pada lupus eritematosus
sistemik
f. Dapat menjelaskan penatalaksanaan pada lupus eritematosus
sistemik

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Mahasiswa
a. Sebagai informasi dasar untuk mengenal penyakit lupus eritematosus
sistemik (SLE)
b. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai konsep penyakit
lupus eritematosus sistemik (SLE)
2. Bagi Masyarakat
a. Sebagai sumber informasi untuk mencegah terjangkitnya penyakit
lupus eritematosus sistemik (SLE) dan cara penanggulangannya
yang terjadi di masyarakat

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)


Lupus Eritematous Sistemik (SLE) atau dikenal dengan lupus
adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem
dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam macam,

3
bersifat sementara, dan sulit untuk didiagnosis karena itu angka yang pasti
tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh. SLE
menyerang perempuan kira-kira delapan kali lebih sering dari pada laki-laki.
Penyakit ini seringkali dimulai pada akhir masa remaja atau awal dewasa.
Di Amerika Serikat, penyakit ini menyerang perempuan Afrika Amerika tiga
kali lebih sering daripada perempuan Kaukasia. Jika penyakit ini baru
muncul pada usia di atas 60 tahun, biasanya akan lebih mudah untuk diatasi
(Sylvia & Lorraine, 2005).

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit reumatik


autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi
setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan
deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan
kerusakan jaringan (Isbagio H, 2009).

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) termasuk kedalam kategori


penyakit yang dikenal sebagai penyakit autoimun. Nama Lupus berasal dari
bahasa Latin yang berarti serigala. Pada abad ke-10, istilah ini pertama kali
digunakan untuk menggambarkan kondisi peradangan kulit yang
menyerupai gigitan serigala. Pada tahun 1872, seorang dokter yaitu Moriz
Kaposi menyatakan bahwa Systemic Lupus Erythematosus adalah suatu
kondisi peradangan kulit yang kadang-kadang disertai dengan gejala
sistemik, seperti : demam, nyeri sendi, mudah lelah, anemia, penurunan
berat badan, rambut rontok, luka di mulut, dan sensitif terhadap sinar
matahari (Isbagio H, 2009). Jadi, penyakit Systemic Lupus Erythematosus
(SLE) merupakan penyakit autoimun yang menyerang organ tubuh seperti
kulit, persendian, paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati,
otak dan syaraf

B. Epidemiologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)


Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) menyerang wanita
muda dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif
dengan ratio wanita dan pria 5:1. Kurun waktu 30 tahun terakhir, SLE telah
menjadi salah satu penyakit penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi

4
SLE di berbagai negara sangat bervariasi antara 2,9-400 per 100.000
penduduk. SLE dapat mengenai semua ras tetapi lebih sering ditemukan
pada ras tertentu seperti bangsa Negro, Cina, dan mungkin saja Filipina
(Isbagio H, 2009).

C. Patofisiologi Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)


Faktor genetik
Yang mengkode unsur-unsur sistem imun
(reseptor T, imunoglobulin, dan sitokinin)

Hormon prolaktin respon imun sistem endokrin

Sel T CD4 + (monosit, makrofag, limfosit T4)


Abnormal

Hilangnya toleransi sel T terhadap self antigen

Sel T autoreaktif

Induksi dan ekspansi sel B, baik yang memproduksi


auto antibodi maupun sel memori

anti bodi bergabung disebut ANA antibodi terbentuk ditujukan


(Anti Nuclear Antibodi) pada antigen yang terletak
Di nukleoplasma

Sasaran antigen (DNA,


Protein histoson dan non histoson

Antigen spesifik

Membentuk kompleks imun dan


Beredar dalam sirkulasi

Imun yang bekerja pada sirkulasi terganggu

Gangguan klirens gangguan proses penurunan uptake


Kompleks imun pembentukan imun imun pada limfa
Dalam hati

Terbentuk defosit kompleks imun di luar sistem pagosit mononuklear

Mengendap pada organ

Fiksasi komplemen pada organ tubuh

5
Reaksi radang
Kardiovaskuler, ginjal, sendi, pleura, pleksus, koroideus, dan kulit

D. Penyebab Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)


Faktor yang diduga sangat berperan untuk seseorang terserang
penyakit lupus adalah faktor lingkungan, seperti paparan sinar matahari,
stres, beberapa jenis obat, dan virus. Faktor tersebut dapat dikelompokkan
menjadi faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi,
pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB,
dan stres. Penyakit ini kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai
usia 50 tahun namun ada juga pria yang mengalaminya. Oleh karena itu
diduga penyakit ini berhubungan dengan hormon estrogen (Aulawi, 2008).
Pada kehamilan dari perempuan yang menderita lupus, sering
diduga berkaitan dengan kehamilan yang menyebabkan abortus, gangguan
perkembangan janin atau pun bayi meninggal saat lahir. Tetapi hal yang
berkebalikan juga mungkin atau bahkan memperburuk gejala lupus. Sering
dijumpai gejala Lupus muncul sewaktu hamil atau setelah melahirkan.
Tubuh memiliki kekebalan untuk menyerang penyakit dan menjaga tetap
sehat. Namun, dalam penyakit ini kekebalan tubuh justru menyerang organ
tubuh yang sehat. Penyakit Lupus diduga berkaitan dengan sistem
imunologi yang berlebih. Dalam tubuh seseorang terdapat antibodi yang
berfungsi menyerang sumber penyakit yang akan masuk dalam tubuh.
Uniknya, penyakit Lupus ini antibodi yang terbentuk dalam tubuh muncul
berlebihan.
Telah diketahui secara luas bahwa penyebab lupus dapat
dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik, hormonal dan lingkungan.
Namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi
penyebab utama sehingga masih menjadi fokus utama penelitian.
1. Genetik
Tidak diragukan bahwa lupus terkait dengan faktor genetik. Orang
yang mempunyai riwayat keluarga dengan lupus memiliki 3-10%
risiko menderita penyakit tidak terbatas hanya Lupus, tapi juga
penyakit auoimun lainnya seperti arthritis reomathoid atau Sjorgens
Syndrome. Pada kembar identik, risiko lupus meningkat menjadi 25%

6
pada saudara kembar dari pasien yang menyandang lupus (Djoerban,
2002).
2. Hormon
Penyandang lupus wanita:pria adalah 9:1. Dan sebagian besar
penyandang wanita adalah mereka dalam usia produktif. Hal ini
diduga disebabkan oleh faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai
hormon yang mempengaruhi aktifnya lupus dalam penelitian hewan
baik secara invitro maupun invivo. Sehingga harus benar-benar
dipertimbangkan pemberian terapi hormon dan alat kontrasepsi yang
mengandung estrogen pada Odapus (Djoerban, 2002).
3. Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat mencetuskan
lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan sinar
matahari.
a. Infeksi
Beberapa infeksi diduga menyebabkan lupus, salah satu
penyebab terkuat adalah EBV (Epstein-Barr Virus), virus
penyebab demam kelenjar (mononucleosis). Sebagian besar
odapus tercatat pernah terinfeksi virus ini dalam riwayat
penyakitnya. Hal ini dapat dibuktikan bahwa system imun mulai
terganggu saat berusaha menyerang EBV juga menyerang sel
tubuhnya sendiri. Sehingga proses tersebut diduga kuat
berhubungan dengan penyebab lupus.
b. Zat kimia dan racun
Beberapa penelitian membuktikan bahwa paparan terhadap
zat kimia dan racun termasuk pekerjaan yang berhubungan silika.
c. Merokok
Akhir-akhir ini, merokok telah terbukti berhubungan
dengan munculnya lupus. Merokok juga meningkatkan risiko
penyakit autoimun lainnya seperti arthritis reumathoid dan
multiple sclerosis.
d. Sinar matahari
Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat
menyebabkan perburukan manifestasi lupus. Yaitu menyebabkan
timbulnya ruam kulit dan munculnya gejala lupus pada organ
lainnnya. Menghindari sinar matahari dan menggunaka tabir

7
surya (sun block) adalah hal yang tidak mudah namun mutlak
harus dilakukan oleh odapus karena sangat bermanfaat (Djoerban,
2002).

E. Manifestais Klinis Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)


Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ
yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia
dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai
oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada
keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Hal ini dapat terjadi karena
manifestasi klinis penyakit SLE ini seringkali tidak terjadi secara
bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa tahun mengeluhkan nyeri
sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti
oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitivitas dan sebagainya yang
pada akhirnya akan memenuhi kriteria SLE.
1. Manifestasi Konstitusional (Sistemik)
Menurut Isbagio H (2009) manifestasi konstitusional atau gejala yang
sering dirasakan penderita SLE:
a. Kelelahan
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada
penderita SLE dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis
lainnya. Kelelahan sulit dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat
menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya beban kerja,
konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Apabila
kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit SLE, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah.
Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap
pemberian steroid atau latihan.
b. Penurunan Berat Badan
Pada sebagian penderita SLE sering ditemui penurunan berat
badan dan terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis
ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh
menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.
c. Demam
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional SLE sulit
dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari

8
40C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam
akibat SLE biasanya tidak disertai menggigil.
2. Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita SLE manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan
poliartritis, biasanya simetris dengan episode artralgia pada 90% kasus.
Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi
dengan akibat subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat
ditemukan berupa osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan
biasanya berhubungan dengan terapi steroid. Selain itu, ditemukan juga
mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis timbul pada
penderita SLE< 5% kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya
berhubungan dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering
didapatkan dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan
steroid.
3. Manifestasi Kulit
Menurut penelitian yang dilakukan Perhimpunan Reumatologi
Indonesia tahun 2011 kriteria penyakit SLE yang paling ringan jika SLE
hanya menyerang kulit. Kelainan kulit yang sering didapatkan pada SLE
adalah fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik,
alopesia, panikulitis, lesi psoriaform dan lain sebagainya. Selain itu, pada
kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda vaskulitis kulit, misalnya
fenomena Raynaud, livedo retikularis, dan ulkus jari.
4. Manifestasi Kardiovaskular
Kelainan kardiovaskular pada SLE antara lain penyakit perikardial,
dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan
perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh
takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang, kardiomegali sampai
gagal jantung. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis
dalam klinik, tapi data autopsi mendapatkan 50% SLE disertai
endokarditis Libman-Sachs. Adanya vegetasi katup yang disertai demam
harus dicurigai kemungkinan endokarditis bakterialis. Wanita dengan
SLE memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih tinggi
dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun,
risiko ini meningkat sampai 50% .
5. Manifestasi Paru-paru

9
Kelainan paru-paru pada SLE seringkali bersifat subklinik
sehingga foto toraks dan spirometri harus dilakukan pada pasien SLE
dengan batuk, sesak nafas atau kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan
nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60% kasus. Efusi pleura dapat
ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan secara klinik tidak
bermakna. Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan pneumonitis dapat
ditemukan pada 20% kasus, tetapi secara klinis seringkali sulit dibedakan
dengan pneumonia dan gagal jantung kongestif. Hipertensi pulmonal
sering didapatkan pada pasien dengan sindrom antifosfolipid. Pasien
dengan nyeri pleuritik dan hipertensi pulmonal harus dievaluasi terhadap
kemungkinan sindrom antifosfolipid dan emboli paru.
6. Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien SLE harus dilakukan
dengan menilai ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat
proteinuria dan silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif,
dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi nefritis lupus
atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau
proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi
ginjal.
7. Manifestasi Hemopoetik
Pada SLE, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang
disertai dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat
anemia akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif
dengan perdarahan dan anemia hemolitik autoimun. Selain itu,
ditemukan juga leukopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya
leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada
SLE ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan
gambaran trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian
berkembang menjadi SLE setelah ditemukan gambaran atau gejala SLE
yang lain.
8. Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa
migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan
tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan

10
penyebab terbanyak kelainan 24 serebrovaskular pada SLE. Neuropati
perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Ketelibatan
saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai
dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat
dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak
memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan
kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan
gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk
membedakan adanya infark atau perdarahan.
9. Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik,
splenomegali, peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis.
Selain itu, ditemukan juga peningkatan SGOT dan SGPT harus
dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis autoimun.
F. Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)

Penatalaksanaan lupus tidak mudah. Penyakit ini memiliki banyak


manifestasi dan setiap orang memiliki pola tersendiri yang berubah dari
waktu ke waktu, yang terkadang berlangsung cepat. Secara umum, pasien
dengan lupus berat, misalnya lupus ginjal atau sistem saraf pusat (SSP), dan
mereka yang menderita lebih dari satu jenis penyakit autoantibodi
cenderung memiliki gejala yang serius dan menetap. Pasien yang memiliki
gejala ringan dapat terus mengalami gejala ringan atau berkembang menjadi
lebih serius. Sehingga penting untuk memperhatikan semua gejala baru
yang timbul sebagai manifestasi dari penyakit tersebut karena
penatalaksanaan lupus sangat berkaitan dengan gejala klinis dan organ
tubuh yang terkena (Djoerban, 2002).

Sehingga pada prakteknya, Lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu


ringan, sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang
muncul.

1. Lupus Ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap
cahaya matahari, sariawan di mulut, Raynauds syndrome (perubahan

11
warna pada ujung jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan
kelelahan. Seringkali gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik
dan mengurangi paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir
surya. Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala ini.
Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang
menjadi alasan digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya
kadang tidak maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga
menggunakan dosis tersebut. Dosis steroid yang tinggi harus dihindari
jika resiko efek samping yang timbul cenderung lebih besar dari
manfaatnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan dalam membuat
keputusan pemberian steroid karena efek samping obat lebih umum
terjadi pada orang dengan lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola
hidup sehat (makanan sehat dan olah raga ringan yang teratur) juga
sangat dianjurkan (Djoerban, 2002).
2. Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis
(radang selaput jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti
trombositopenia atau leukopenia. Dalam kasus ini, terapi steroid
biasanya sudah dibutuhkan, namun dengan penggunaan dosis yang
cukup untuk mengendalikan penyakit dan kemudian menguranginya
menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak sulit untuk
menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol
dengan 20mg prednisolon per hari, kelainan darah membutuhkan
dosis 40mg atau lebih. Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai
tambahan steroid, tapi kadang obat imunosuppressan juga dibutuhkan
seperti: Azathioprine, dan Methotrexate. Siklosporin juga dapat
digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia, tetapi
karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi
ginjal harus digunakan secara hati-hati. Obat- obat immunosupresan
ini membutuhkan waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul, sehingga
dalam periode tersebut steroid masih dibutuhkan dalam dosis yang
cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien sudah dapat distabilkan

12
dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera diturunkan ke
dosis terendah untuk pengendalian penyakit (Djoerban, 2002).
3. Lupus Berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat
termasuk ke dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam
tahap ini dengan tambahan obat immunosupresan. Prednisolon atau
metilprednisolon intravena mungkin dibutuhkan untuk
mengendalikan penyakit ini. Azathioprin, methotrexate, atau
mychophenolate dapat digunakan sebagai imunosupresif dan dapat
mengurangi dosis steroid yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi
menjadi 2 fase yaitu: induksi awal dimana penyakit aktif dikendalikan,
dan fase pemeliharaan agar penyakit tetap terkontrol. Pengobatan
tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin
intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi)
mengalami penurunaan penggunaannya dibandingkan waktu yang lalu
tapi banyak yang masih percaya bahwa pengobatan tersebut sangat
membantu pada lupus akut, penyakit berat, dan sebagian lupus yang
mengenai otak. Antibodi monoklonal, terutama rituximab sangat
menjanjikan dan cenderung memainkan bagian penting dalam
pengelolaan penyakit sedang dan berat (Djoerban, 2002).

Pengobatan Penyakit Lupus

Pengobatan Lupus tergantung dari :

1. Tipe Lupus.
2. Berat ringannya Lupus.
3. Organ tubuh yang terkena.
4. Komplikasi yang ada (Wallace, 2007).

Tujuan pengobatan Lupus adalah :

1. Mengurangi peradangan pada jaringan tubuh yang terkena.


2. Menekan ketidaknormalan sistem kekebalan tubuh.

Pada pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat :

13
1. Kortikosteroid. Golongan ini berfungsi untuk mencegah peradangan dan
merupakan pengatur kekebalan tubuh. Bentuknya bisa salep, krem, pil atau
cairan. Untuk Lupus ringan, digunakan dalam bentuk tablet dosis rendah.
Jika kondisi sudah berat, digunakan kortikosteroid bentuk tablet atau
suntikan dosis tinggi. Bila kondisi teratasi maka penggunaan dosis
diturunkan hingga dosis terendah untuk mencegah kambuhnya penyakit
(Wallace, 2007).
2. Nonkortikosteroid. Kegunaan obat ini adalah untuk mengatasi keluhan nyeri
dan bengkak pada sendi dan otot (Wallace, 2007).

Adapun Obat-obat Lupus secara umum adalah :

1. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)


NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan
pengobatan yang efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan,
tapi harus digunakan secara hati-hati karena sering menimbulkan efek
samping peningkatan tekanan darah dan merusak fungsi ginjal. Bahkan
beberapa jenis NSAID dapat meningkatkan resiko serangan jantung dan
stroke. Obat tersebut dapat juga mengganggu ovulasi dan jika digunakan
dalam 6 kehamilan (setelah 20 minggu), dapat mengganggu fungsi ginjal
janin (Djoerban, 2002).

2. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama. Osteoporosis yang
disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi pada
Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti
pemriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif
seperti kalsium dan bifosfonat. Steroid juga dapat memperburuk hipertensi,
memprovokasi diabetes dan memiliki efek buruk pada profil lipid yang
mungkin berkontribusi pada meningkatnya kematian akibat penyakit
jantung. Steroid dosis tinggi meningkatkan risiko pendarahan

14
gastrointestinal dan terjadi pada pada dosis yang lebih rendah jika
digunakan bersama NSAID. Osteonekrosis (nekrosis avaskular) juga cukup
umum pada lupus dan tampaknya terkait terutama dengan penggunaan
steroid oral dosis tinggi atau metilprednisolon intravena. Meskipun memiliki
banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan obat yang
berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu, obat ini
tetap digunakan dalam terapi lupus. Pengaturan dosis yang tepat merupakan
kunci pengobatan yang baik (Djoerban, 2002).
3. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan dibanding
kloroquin karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah.
Toksisitas pada mata berhubungan baik dengan dosis harian dan kumulatif.
Selama dosis tidak melebihi, resiko tersebut sangat kecil. Pasien dianjurkan
untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini
kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi
hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk
jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar
kolesterol, efek anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera
jaringan yang menetap serta cukup aman pada kehamilan (Djoerban, 2002).

4. Immunosupresan
a. Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan:
mengurangi biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan
sel termasuk sel sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping yang
umum terjadi, sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi hanya
pada sekitar 4% kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi masalah jika
odapus sudah memiliki gejala klinis tersebut. Azathioprine dianggap
aman digunakan selama kehamilan (Djoerban, 2002).
b. Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purin, proliferasi limfosit dan respon sel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid, MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium
(indung telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia
atau alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih

15
baik ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam
kehamilan, sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur bila
disertai penggunaan kontrasepsi yang dapat diandalkan. Karena
panjangnya waktu paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam
minggu sebelum konsepsi yang direncanakan (Djoerban, 2002).
c. Methotrexate
Methotrexate merupakan asam folat antagonis yang
diklasifikasikan sebagai agen sitotoksik antimetabolit, tetapi memiliki
banyak efek pada sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk modulasi
produksi sitokin. Digunakan seminggu sekali dan jika diperlukan
diberikan pula asam folat sekali seminggu (tidak pada hari yang sama
dengan methotrexate) secara rutin untuk mengurangi risiko efek samping.
Mual dan sariawan cukup sering terjadi, leukopenia, trombositopenia dan
tes fungsi hati yang abnormal kadang-kadang dapat terjadi. Obat ini tidak
boleh digunakan selama kehamilan dan harus dihentikan penggunaannya
tiga bulan sebelum konsepsi (Djoerban, 2002).

d. Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsi efektor limfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin
serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga
pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini
dianggap aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif
terendah dengan memonitor secara seksama tekanan darah dan fungsi
ginjal (Djoerban, 2002).
e. Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang
mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Telah terbukti
meningkatkan efek pengobatan terhadap pasien lupus ginjal
dibandingkan hanya diberikan steroid saja. Obat ini juga banyak
digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan
penyakit paru berat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau sebagai
infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek samping utama
yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan
fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko

16
keganasan. Obat ini teratogenik dan mengganggu fungsi organ
reproduksi baik pada pria maupun wanita. Sehingga penggunaan obat
harus dihentikan tiga bulan sebelum konsepsi (Djoerban, 2002).
f. Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial
dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan
kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan
penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan
dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu
obat yang menjanjikan untuk Lupus (Djoerban, 2002).

Obat-obat yang dapat digunakan sesuai manifestasi penyakit:

1. Ruam kulit
a. Sun block/tabir surya
b. Topikal kortikosteroids
2. Nyeri dan bengkak pada sendi
a. Analgesik sederhana seperti: Parasetamol, NSAID
b. Topikal analgesik
c. Amitriptiline: golongan antidepresan yang diresepkan bersama analgesik
pada pasien sekunder fibromyalgia untuk mengatasi stress akibat rasa
nyeri yang berkepanjangan
3. Mata kering
Tetes air mata buatan untuk mengatasi kekeringan bola mata
4. Sariawan dan kekeringan rongga mulut
a. Salivary substitute : air liur buatan dalam bentuk cair atau semprot
berbahan dasar methylcellulose atau gastric mucin
b. Obat kumur steroid
5. Trombositopeni
Danazol (Danocrine) atau vincristine (Oncovin) adalah terapi
jangka panjang bagi penderita trombositopenia berat.
6. Osteoporosis
a. Vitamin D
b. kalsium
7. Risiko penyakit jantung koroner
a. Asam folat
b. Obat penurun kadar lemak darah (Djoerban, 2002).

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) merupakan
penyakit autoimun yang menyerang organ tubuh seperti kulit, persendian,
paru-paru, darah, pembuluh darah, jantung, ginjal, hati, otak dan syaraf.
Penyakit Systemic Lupus Erythematosus (SLE) menyerang wanita muda
dengan insiden puncak usia 15-40 tahun selama masa reproduktif dengan
ratio wanita dan pria 5:1
Penyebab lupus dapat dikategorikan dalam 3 faktor yaitu: genetik,
hormonal dan lingkungan. Beberapa faktor lingkungan diduga berperan kuat
mencetuskan lupus, diantaranya adalah: infeksi, zat kimia, racun, rokok dan
sinar matahari.
Manifestasi klinis penyakit lupus eritematosus sistemik terdiri dari
manifestasi klinis,. Manifestasi konstitusional (Sistemik), yaitu kelelahan,
penurunan berat badan, dan demam. Manifestasi Muskuloskeletal yaitu
ditemukan poliartritis, osteonekrosis, mialgia, miopati, osteoporosis.
Manifestasi kulit yaitu fotosensitivitas, butterfly rash, ruam malar, lesi
diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform. Manifestasi
Kardiovaskular yaitu pada SLE antara lain penyakit perikardial, miokarditis,
juga wanita dengan SLE memiliki risiko penyakit jantung koroner.
Manifestasi paru-paru yaitu ditemukan pleuritis dan nyeri pleuritik, efusi
pleura, Fibrosis interstitial, vaskulitis paru dan pneumonitis. Manifestasi
ginjal yaitu ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan
silinderuria, ureum dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens

18
kreatinin. Manifestasi hemopoetik yaitu terjadi peningkatan Laju Endap
Darah (LED) yang disertai dengan anemia normositik normokrom.
Manifestasi susunan saraf yaitu migrain, neuropati perifer, sampai kejang
dan psikosis, kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas,
depresi sampai psikosis. Manifestasi gastrointestinal yaitu dapat berupa
hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali, peritonitis
aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis.

Penatalaksanaan lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan,


sedang, dan berat, sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul. Lupus
ringan, gejala tersebut cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi
paparan sinar matahari dengan menggunakan tabir surya, dan
Hidroksikloroquin. Lupus sedang, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan,
Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang
obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan
Methotrexate. Lupus berat, steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini
dengan tambahan obat immunosupresan. Pengobatan tambahan yang
digunakan untuk lupus berat meliputi immunoglobulin intravena, plasma
exchange, dan antibodi monoclonal (agen biologi) terutama rituximab. Pada
pengobatan Lupus digunakan dua kategori obat yaitu Kortikosteroid dan
Nonkortikosteroid.

B. Saran
1. Saran bagi Individu
Mengingat penyakit lupus eritematosus sistemik ini dapat terjadi di
masyarakat, maka penanganan penyakit ini diupayakan secara maksimal
dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan baik melalui tenaga
kesehatan, prasarana dan sarana kesehatan.
2. Saran bagi Pembaca
Setelah membaca makalah ini diharapkan kepada para pembaca
untuk dapat menjaga kesehatannya, sehingga tidak terjangkit penyakit
autoimun, terutama penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE).

19

Вам также может понравиться