Вы находитесь на странице: 1из 7

UUDS 1950

A. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Sementara 1950 (UUDS)


Negara Republik Indonesia Serikat yang berdiri pada 27 Desember 1949 dengan
adanya Konferensi Meja Bundar, tidak dapat bertahan lama di Indonesia. Hal ini
dikarenakan bentuk susunan Negara Serikat tidaklah berdasar dari kehendak rakyat,
melainkan hanyalah siasat politik para pemimipin agar memperoleh pengakuan
kedaulatan oleh Pemerintah Belanda (Solly Lubis, 1993 : 48), sehingga menimbulkan
tuntutan dari berbagai kalangan untuk kembali dalam bentuk susunan Negara Kesatuan.
Masyarakat Indonesia menghendaki agar berbagai daerah bagian RIS dilebur dan
digabungkan dengan Republik Indonesia. Pada akhirnya hanya ada tiga negara bagian,
yaitu Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur
(Joeniarto, 1990 : 70).
Pasal 44 Konstitusi RIS, menyebutkan bahwa penggabungan ataupun perubahan
sesuatu daerah bagian hanya boleh dilakukan berdasar aturan-aturan yang ditetapkan
dengan UU Federal, dengan menjunjung asas kehendak rakyat yang dinyatakan dengan
bebas dengan persetujuan dari daerah bagian yang bersangkutan. Namun, karena
keinginan rakyat untuk menggabungkan daerah-daerah bagian sangat keras dan tidak
sabar menunggu adanya Undang-Undang Federal yang mengatur tentang penggabungan
daerah-daerah bagian, sehingga penggabungan hanya dilakukan dengan Undang-Undang
Darurat.
Kemudian setelah tanggal 9 Maret 1950 bergabunglah Negara RI, Daerah Jawa
Tengah, Jawa Timur, Madura, Padang dan sekitarnya serta Sabang, yang pada akhirnya
diikuti oleh daerah-daerah bagian yang lain, sehingga hampir seluruh Daerah Bagian
RIS bergabung menjadi daerah Republik Indonesia, kecuali Negara Indonesia Timur dan
Negara Sumatera Timur (Solly Lubis, 1993 : 49). Namun, kedua negara bagian ini pada
akhirnya juga harus tunduk pada kehendak rakyat yang ingin segera melaksanakan
terbentuknya Negara Kesatuan.
Ada pihak yang menghendaki agar pembentukan Negara Kesatuan dilakukan melalui
prosedur dengan segera memasukkan daerah bagian ke dalam Republik Indonesia,
terutama daerah bagian RIS yang sebagian besar telah bergabung dengan Republik
Indonesia. Cara ini dianggap berat karena kemungkinan akan timbulnya kesulitan dalam
hubungan luar negeri, sebab RIS telah mendapat pengakuan dari dunia internasional.

Oleh karena itu, pembentukan Negara Kesatuan dilakukan dengan jalan Konstitusional
dengan melaksanakan perubahan Konstitusi RIS melalui pasal 190 KRIS yang berisi :
a. Perubahan konstitusi itu terjadi dengan Undang-undang Federal yang disetujui oleh
DPR dan Senat.
b. Baik DPR maupun Senat harus ber-quorum istimewa, yaitu dihadiri 2/3 dari jumlah
anggota dan Undang-undang perubahan itu harus diterima oleh kelebihan istimewa pula,
yaitu 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.
UUD yang akan dibentuk formal adalah KRIS yang dirubah sedemikian rupa,
sehingga bentuk federasi dari Republik Indonesia Serikat berubah menjadi bentuk
Negara Kesatuan. Kemudian diadakanlah permusyawaratan antara Pemerintah Negara
Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Negara Republik Indonesia yang juga
mewakili Pemerintah Negara Indonesia Timur dan Sumatera Timur. Di dalam
permusyawaratan RIS-RI ini menghasilkan keputusan bersama, yaitu Piagam Persetujuan
RIS-RI 19 Mei 1950. Pokok dalam persetujuan tersebut dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya akan bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jelmaan Negara
Republik Indonesia berdasar Proklamasi 17 Agustus 1945 (Joeniarto, 1990 : 70).

Pokok-pokok Piagam Persetujuan RIS-RI 19 Mei 1950 adalah (Solly Lubis, 1993 : 50) :
a. Konstitusi RIS akan dirubah sedemikian rupa sehingga intisari UUD 1945 khususnya
pasal 27, 29 dan 33 termuat dalam UUD yang baru ditambah dengan ketentuan dari
Konstitusi RIS yang baik dan tidak bertentangan dengan asas Negara Kesatuan;
b. Dalam UUD yang baru harus dimuat pokok pikiran hak milik adalah suatu fungsi
sosial.
c. Soekarno tetap dipertahankan sebagai Presiden. Mengenai ada atau tidaknya jabatan
Wakil Presiden akan diadakan keputusan dikemudian;
d. Hubungan pemerintah dengan DPR akan didasarkan atas sistem Parlementer Eropa
Barat dan bukan sistem Presidensial USA;

e. Senat diharuskan ada, sedangkan DPR akan terdiri dari gabungan DPR RIS dan
Badan Pekerja KNIP;

f. Membentuk suatu panitia yang bertugas menyelenggarakan persetujuan tersebut


dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Berdasar Piagam Persetujuan tersebut, akhirnya dibentuklah Panitia Bersama yang


diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo (pihak RIS) dan Abdul Hakim (pihak RI). Tugas dari
panitia tersebut adalah menyelenggarakan Piagam Persetujuan terutama mengenai
perancangan UUD Sementara Negara Kesatuan sesuai dengan Piagam Persetujuan, dan
hasil Panitia Bersama inilah yang dipakai sebagai dasar pembicaraan antara Pemerintah
RIS dan RI. Setelah tercapai kesepakatan antar kedua pihak mengenai rencana UUD
baru, maka (Solly Lubis, 1993 : 50) :

a. Rencana UUD baru disampaikan oleh Pemerintah RIS kepada DPR dan Senat oleh
Pemerintah RI kepada BP KNIP untuk disahkan. Pengesahan UUD yang baru dilakukan
oleh Pemerintah RIS dengan UU No. 7 Tahun 1950, sedangkan oleh Pemerintah RI
dengan UU No. 20 Tahun 1950.

b. Pada tanggal 2 Agustus 1950 Presiden Soekarno meresmikan terbentuknya Negara


Kesatuan dalam rakyat gabungan DPR dan Senat, sedang UUD yang baru itu mulai
berlaku pada 17 Agustus 1950.

Pasal I dan II UU Federal No 7 Tahun 1950 telah mengubah bentuk susunan Negara
Serikat menjadi bentuk Negara Kesatuan (Suwarno, 2003 : 159) yang disahkan dan
diumumkan di Jakarta pada 15 Agustus 1950. Pasal I menentukan tentang diubahnya
Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara dan
setelah itu dimuatkan naskah Undang-Undang Dasar Sementara, yaitu Mukaddimahnya
beserta dengan 146 pasal-pasalnya. Sedangkan Pasal II-nya menentukan tentang mulai
berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara. Pergantian bentuk susunan negara
tersebut dilakuakn dengan mengubah Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara. Sehingga
pada 17 Agustus 1950 berlakulah bentuk susunan kesatuan dengan Undang-Undang
Dasar Sementara sebagai Undang-undang Dasarnya.
B. Muatan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
Dalam UUDS Tahun 1950 tetap tercantum falsafah Pancasila dalam Mukaddimah
UUDS-RI alinea IV, dengan perumusan dan tata urutan yang sama dengan Mukaddimah
Konstitusi RIS, yaitu:
Ketuhanan Yang Maha Esa

Perikemanusiaan

Kebangsaan

Kerakyatan

Keadilan Sosial

Alinea IV Mukaddimah UUDS Tahun 1950 yang berbunyi, Maka demi ini kami
menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu piagam negara yang berbentuk republik-
kesatuan... Selain itu, Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 juga menyatakan bahwa Negara
Republik Indonseia adalah negara hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan.
Lebih tegas lagi Pasal 135 ayat (1) UUD Sementara menentukan : Pembagian daerah
Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri
(autonom) dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang,
dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam
sistem pemerintahan negara. Dari beberapa ketentuan di atas, menunjukkan bahwa
negara Indonesia pada masa itu adalah berbentuk kesatuan dengan berasaskan
desentralisasi. Dimana daerah negara akan dibagi-bagi menjadi daerah-daerah yang
memiliki hak dan kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri
(otonomi daerah). Sistem Pemerintahan Indonesia pada masa UUD Sementara ini adalah
sistem pemerintahan parlementer. Berdasarkan UUD ini, Presiden hanyalah sebagai
kepala negara (Pasal 45 UUDS), dan sama sekali tidak memegang jabatan sebagai kepala
pemerintahan. Pemerintahan berada di tangan Dewan Menteri yang diketuai oleh seorang
Perdana Menteri (Joeniarto, 1990 : 83). Pengaturan hak asasi manusia oleh UUD ini
lebih lengkap yang terdiri dari 28 Pasal, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 34, sedangkan
dalam Konstitusi RIS hanya terdiri 26 Pasal. Pasal-pasal mengenai hak-hak dan
kebebasan dasar manusia (hak asasi manusia) sangat diakui dan dijunjung tinggi akan
hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Pada bagian tersebut, juga diakui
bahwa kedudukan manusia dihadapan hukum itu adalah sama.
Lembaga-lembaga negara yang ada pada masa berlakunya UUDS yaitu pada periode 17
Agustus 1950- 5 Juli 1959 menurut UUDS Pasal 44 lembaga negara yang ada yaitu:
1. Presiden dan Wakil Presiden

2. Menteri-menteri

3. Dewan Perwakilan Rakyat

4. Mahkamah Agung

5. Dewan Pengawas Keuangan.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa sudah ada pembagian kekuasaan yang
jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Presiden yang berkedudukan sebagai
kepala negara dibantu oleh wakil presiden, sedangkan mentri sebagai eksekutif/pelaksana
pemerintahan. Berdasarkan Pasal 51 UUDS 1950, Presiden menunjuk seorang atau
beberapa orang pembentuk kabinet setelah itu sesuai dengan anjuran pembentuk kabinet
presiden mengangkat seorang menjadi perdana mentri dan mengangkat mentri-mentri
yang lain. Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah
baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-
sendiri.
Sebagai kepala negara berdasarkan Pasal 84 Presiden berhak untuk membubarkan
DPR. Kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Perwakilan
Rakyat mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri sejumlah anggota yang besarnya
ditetapkan berdasarkan atas perhitungan setiap 300.000 jiwa penduduk WNI mempunyai
seorang wakil (Pasal 56 UUDS 1950). Dewan Perwakilan Rakyat dipilih untuk masa 4
tahun. Dan keanggotan DPR tidak dapat dirangkap oleh lembaga lainnya, hal ini agar
tidak tumpang tindih dalam pembagian kekuasaan. Seorang anggota DPR yang
merangkap dalam lembaga lainnya tidak boleh mempergunakan hak dan kewajiban
sebagai anggota badan tersebut selama ia memangku jabatan ganda. Dalam
wewenangnya DPR berhak untuk mengajukan usul Undang-undang kepada pemerintah
dan berhak mengadakan perubahan-perubahan dalam usul Undang-undang yang diajukan
oleh pemerintah kepada DPR. Apabila akan mengusulkan Undang-undang maka
mengirimkan usul itu untuk disahkan oleh pemerintah kepada presiden. Kekuasaan
yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung dan Dewan Pengawas Keuangan.
Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi (Pasal 105 Ayat 1 UUDS 1950).
Sebagai lembaga yudikatif atau pengawas dari pelaksanaan UUDS, pengangkatan
Mahkamah Agung adalah untuk seumur hidup. Mahkamah Agung dapat dipecat atau
diberhentikan menurut cara dan ditentukan oleh undang-undang (Pasal 79 Ayat (3)
UUDS 1950), selain itu diatur pada pasal yang sama ayat berbeda yaitu ayat (4)
disebutkan bahwa Mahkamah Agung dapat diberhentikan oleh Presiden atas
permintaan sendiri. Selain sebagai pengawas atas perbuatan pengadilan-pengadilan
yang lain, Mahkamah Agung juga memberi nasehat kepada Presiden dalam pemutusan
pemberian hak grasi oleh presiden.Dari berbagai uraian di atas, dapat diketahui bahwa
dalam UUDS terdapat hubungan antar lembaga negara maupun lembaga negara dengan
rakyat sendiri.

C. Undang-Undang Dasar Sementara 1950 bersifat Sementara (Runtuhnya UUDS 1950)


UUDS 1950 bersifat mengganti, bukan merubah, sehingga isinya pun tidak hanya
mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi RIS Tahun 1949, tetapi mengganti naskah
Konstitusi RIS dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 (Jimly Asshiddiqie, 2010 : 39). Nama resmi Undang-Undang
Dasar ini menggunakan istilah sementara, hal ini sesuai dengan masa berlakunya yang
hanya sementara. Sifat sementara dari UUD ini dapat dilihat pada Pasal 134 UUDS yang
berbunyi, Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan
pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara ini. Dari pasal tersebut,
jelaslah bahwa UUDS memanglah diciptakan hanya untuk sementara waktu berlakunya.
Menurut Joeniarto (1990 : 80), pembuatan Undang-Undang Dasar Sementara tersebut
dilakukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan akan perubahan bentuk susunan
federal ke dalam bentuk susunan negara kesatuan, sehingga pelaksanaannya dilakukan
dengan sangat tergesa-gesa. Menurut UUD ini, di kemudian hari masih akan dibentuk
sebuah Badan Konstituante yang bersama-sama dengan pemerintah akan membuat
Undang-Undang Dasar yang tetap, yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar
Sementara ini. Konstituante berdasarkan UUDS pernah diwujudkan , dimana pemilihan
umum berhasil diselenggarakan pada bulan Desember 1955 untuk memilih anggota
Konstituante yang diselanggarakan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953 (Jimly
Asshiddiqie, 2010 : 39). Kemudian Badan Konstituante tersebut dilantik oleh Presiden
Soekarno pada 10 November 1956 di Bandung. Namun, Badan Konstituante yang telah
dipilih oleh rakyat dengan segenap kesungguhan hati, tidak pernah berhasil membuat
sebuah Undang-Undang Dasar. Hal ini disebabakan karena adanya perbedaan pendapat
didalam Konstituante. Pertentangan pendapat diantara partai-partai politik tidak hanya di
dalam Badan Konstituante dan di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan
Perwakilan lainnya, tetapi juga di dalam badan-badan Pemerintahan. Bahkan,
pertentangan ini meluas di dalam badan swasta dam di kalangan masyarakat luas
(Joeniarto, 1990 : 89). Konstituante telah gagal, kemudian Presiden Soekarno
mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2010. Kostitusi dan Konstitualisme Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika
Joeniarto. 1990. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara
Lubis, Solly. 1993. Ketatanegaraan Republik Indonesia. Bandung : Mandar Maju
. 2010. Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Yogyakarta : Graha Pustaka
. 2010. Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Yogyakarta : Graha Pustaka

Вам также может понравиться