Вы находитесь на странице: 1из 11

BAB I

KONSEP DASAR

A. Definisi Autisme
Istilah autisme berasal dari bahasa Yunani. kata autos yang berarti diri
sendiri dan isme yang berarti paham. Ini berarti bahwa autisme memiliki
makna keadaan yang menyebabkan anak-anak hanya memiliki perhatian
terhadap dunianya sendiri. Autisme adalah kategori ketidakmampuan yang
ditandai dengan adanya gangguan dalam komunikasi, interaksi sosial, pola
bermain, dan perilaku emosi. Gejala autisme mulai terlihat sebelum anak-
anak berumur tiga tahun. Keadaan ini akan dialami di sepanjang hidup anak-
anak tersebut (Muhammad, 2008).
Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan pada anak pada
anak yang ditandai munculnya gangguan dan keterlambatan dalam bidang
kognitif, komunikasi, ketertarikan pada interaksi sosial, dan perilakunya.
Autisme merupakan kelainan perilaku yang penderitanya hanya tertarik pada
aktivitas mentalnya sendiri. Autis dapat terjadi di semua kalangan masyarakat
(Veskarisyanti, 2008).
Autis adalah Suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya
sendiri baik cara berpikir maupun berperilaku. Keadaan ini mulai terjadi sejak
usia masih muda, biasanya sekitar usia 2-3 tahun. Autisme bisa mengenai
siapa saja, baik yang sosio-ekonomi mapan maupun kurang, anak atau
dewasa dan semua etnis (Yatim, 2007).

B. Penyebab
Menurut Huzaemah (2010), autis disebabkan multifaktor,yaitu:
1. Kerusakan jaringan otak
Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan penyelidikan terhadap
protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein
dari bayi yang normal mempunyai kadar protein tinggi, yang kemudian
ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein tinggi ini berkembang
menjadi autis dan keterbelakangan mental (Huzaemah, 2010).

1
2. Terlalu banyak vaksin Hepatitis B
Ada pendapat yang mengatakan bahwa terlalu banyak vaksin Hepatitis B
bisa mengakibatkan anak mengidap penyakit autisme. Hal ini dikarenakan
vaksin ini mengandung zat pengawet Thimerosal.
3. Kombinasi makanan atau lingkungan yang salah
Menurut Budiman (2001), peningkatan kasus autisme selain karena
faktor kondisi dalam rahim seperti terkena virus toksoplasmosis
sitomegalovirus, rubella atau herpes dan faktor herediter, juga diduga
karena pengaruh zat-zat beracun, misalnya timah hitam (Pb) dari knalpot
kendaraan, cerobong pabrik, cat tembok, kadmium (Cd) dari batu baterai,
serta air raksa (Hg) yang juga digunakan untuk menjinakkan kuman untuk
imunisasi. Demikian pula antibiotik yang memusnahkan hampir semua
kuman baik dan buruk di saluran pencernaan, sehingga jamur merajalela di
usus. Logam-logam berat yang menumpuk di dalam tubuh wanita dewasa
masuk ke janin lewat demineralisasi tulang lalu tersalur ke bayi melalui
Air Susu Ibu (ASI).
Sedangkan menurut Dewo (2006) gangguan perkembangan
pervasive autisme dapat disebabkan karena :
1. Genetis, abnormalitas genetik dapat menyebabkan abnormalitas
pertumbuhan sel-sel saraf dan sel otak
2. Keracunan logam berat, seperti mercury yang banyak terdapat dalam
vaksinimunisasi atau pada makanan yang dikonsumsi ibu yang sedang
hamil, misalnyaikan dengan kandungan logam berat yang tinggi. Pada
penelitian diketahui dalamtubuh anak-anak penderita autis terkandung
timah hitam dan merkuri dalam kadaryang relatif tinggi.
3. Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yang diperlukan
dalampertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena
adanya jamurdalam lambungnya, atau nutrisi tidak trpenuhi karena faktor
ekonomi.
4. Terjadi autoimun pada tubuh penderita yang merugikan perkembangan
tubuhnyasendiri karena zat-zat yang bermanfaat justru dihancurkan oleh
tubuhnyasendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri
pembawa penyakit.Sedangkan autoimun adalah kekebalan yang

2
dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yang justru kebal terhadap zat-
zat penting dalam tubuh dan menghancurkannya.

C. Manifestasi Klinik
Secara umum karakteristik klinik yang ditemukan pada anak autisme
menurut Yatim (2007), meliputi:
1. Sangat lambat dalam perkembangan bahasa, kurang menggunakan bahasa,
pola berbicara yang khas atau penggunaan kata-kata tidak disertai arti
yang normal.
2. Sangat lambat dalam mengerti hubungan sosial, sering menghindari
kontak mata, sering menyendiri, dan kurang berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya.
3. Ditandai dengan pembatasan aktivitas dan minat, anak autisme sering
memperlihatkan gerakan tubuh berulang, seperti bertepuk-tepuk tangan,
berputar-putar, memelintir atau memandang suatu objek secara terus
menerus.
4. Pola yang tidak seimbang pada fungsi mental dan intelektual, anak
autisme sangat peka terhadap perubahan lingkungan, dan bereaksi secara
emosional. Kemampuan intelektual sebagian besar mengalami
kemunduran atau inteligensia yang rendah dan sekitar 20 persen
mempunyai inteligensia di atas rata-rata.
5. Sebagian kecil anak autisme menunjukan masalah perilaku yang sangat
menyimpang seperti melukai diri sendiri atau menyerang orang lain.

D. Gangguan Anak Autisme


Menurut Yatim (2007), gangguan yang dialami anak autisme adalah :
1. Gangguan dalam berkomunikasi verbal maupun non verbal meliputi
kemampuan berbahasa dan keterlambatan, atau samasekali tidak dapat
berbicara. Menggunakan kata-kata tanpa menghubungkannya dengan arti
yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan bahasa tubuh, dan hanya
dapat berkomunikasi dalam waktu singkat. Kata-katanya tidak dapat
dimengerti orang lain (bahasa planet). Tidak mengerti atau tidak

3
menggunakan kata-kata dalam konteks yang sesuai. Meniru atau membeo
(Ekolalia), menirukan kata, kalimat atau lagu tanpa tahu artinya (Yatim,
2007) .
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial meliputi gangguan menolak atau
menghindar untuk bertatap muka. Tidak menoleh bila dipanggil, sehingga
sering diduga tuli. Merasa tidak senang atau menolak bila dipeluk. Bila
menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan orang yang terdekat dan
berharap orang tersebut melakukan sesuatu untuknya. Ketika bermain, ia
selalu menjauh bila didekati.
3. Gangguan dalam bermain di antaranya ialah bermain sangat monoton dan
aneh, misalnya mengamati terus menerus dalam jangka waktu yang lama
sebuah botol minyak. Ada kelekatan dengan benda tertentu, seperti kertas,
gambar, kartu, atau guling,terus dipegang kemana saja ia pergi. Bila
senang satu mainan tidak mau mainan lainnya. Lebih menyukai benda-
benda seperti botol, gelang karet, baterai, atau benda lainnya. Tidak
spontan, reflex, dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak dapat
meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai permainan yang
bersifat pura pura. Sering memperhatikan jari-jarinya sendiri, kipas angin
yang berputar, atau angin yang bergerak (Yatim, 2007) .
4. Perilaku yang ritualistic sering terjadi sulit mengubah rutinitas sehari-hari,
misalnya bila bermain harus melakukan urut-urutan tertentu, bila
berpergian harus melalui rute yang sama. Gangguan perilaku dapat dilihat
dari gejala sering dianggap sebagai anak yang senang kerapian, harus
menempatkan barang tertentu pada tempatnya (Yatim, 2007).
5. Hiperaktif , misalnya mengulang suatu gerakan tertentu (menggerakkan
tangannya seperti burung terbang). Ia juga sering menyakiti diri sendiri,
seperti memukul kepala atau membenturkan kepala di dinding (walaupun
tidak semua anak autis seperti itu). Namun terkadang menjadi pasif
(pendiam), duduk diam, bengong dengan tatapan mata kosong. Marah
tanpa alasan yang masuk akal. Sangat menaruh perhatian pada suatu
benda, ide, aktifitas, ataupun orang (Yatim, 2007).

4
6. Gangguan perasaan dan emosi dapat dilihat ketika ia tertawa-tawa sendiri,
menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata. Sering mengamuk tak
terkendali, terutama bila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan.
7. Gangguan dalam persepsi sensoris meliputi perasaan sensitive terhadap
cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan rasa (lidah), dari mulai
ringan sampai berat, menggigit, menjilat, atau mencium mainan atau benda
apa saja. Bila mendengar suara keras, ia akan menutup telinga. Menangis
setiap kali dicuci rambutnya. Merasa tidak nyaman bila diberi pakaian
tertentu. Bila digendong sering merosot atau melepaskan diri dari pelukan
(Yatim, 2007)

E. Patofisiologi
Sel saraf otak (neuron) terdiri atas badan sel dan serabut untuk
mengalirkanimpuls listrik (akson) serta serabut untuk menerima impuls listrik
(dendrit). Sel saraf terdapat di lapisan luar otak yang berwarna kelabu
(korteks). Akson dibungkus selaputbernama mielin, terletak di bagian otak
berwarna putih. Sel saraf berhubungan satu samalain lewat sinaps. Sel saraf
terbentuk saat usia kandungan tiga sampai tujuh bulan. Padatrimester ketiga,
pembentukan sel saraf berhenti dan dimulai pembentukan akson,dendrit, dan
sinaps yang berlanjut sampai anak berusia sekitar dua tahun. Setelah
anak lahir, terjadi proses pengaturan pertumbuhan otak berupa bertambah dan
berkurangnyastruktur akson, dendrit, dan sinaps. Proses ini dipengaruhi
secara genetik melaluisejumlah zat kimia yang dikenal sebagai brain growth
factors dan proses belajar anak.Makin banyak sinaps terbentuk, anak makin
cerdas. Pembentukan akson, dendrit, dan sinaps sangat tergantung pada
stimulasi dari lingkungan.
Bagian otak yang digunakandalam belajar menunjukkan pertambahan
akson, dendrit, dan sinaps. Sedangkan bagian otak yang tak digunakan
menunjukkan kematian sel, berkurangnya akson, dendrit, dan sinaps.
Kelainan genetis, keracunan logam berat, dan nutrisi yang tidak adekuat dapat
menyebabkan terjadinya gangguan pada proses-proses tersebut. Sehingga
akan menyebabkan abnormalitas pertumbuhan sel saraf. Pada pemeriksaan

5
darah bayi-bayiyang baru lahir, diketahui pertumbuhan abnormal pada
penderita autis dipicu oleh berlebihnya neurotropin dan neuropeptida otak
(brain-derived neurotrophic factor,neurotrophin-4, vasoactive intestinal
peptide, calcitonin-related gene peptide) yang merupakan zat kimia otak yang
bertanggung jawab untuk mengatur penambahan selsaraf, migrasi,
diferensiasi, pertumbuhan, dan perkembangan jalinan sel saraf. Braingrowth
factors ini penting bagi pertumbuhan otak

F. Diagnosa Terhadap Penderita Autisme


Menurut Widodo dalam. Deteksi dini autisme dapat dilakukan dengan
tahapan sebagai berikut:
1. Deteksi dini sejak dalam kandungan. Deteksi dini sejak janin ada dalam
kandungan dapat dilakukan dengan pemeirksaan biomolekular pada janin
bayi untuk mendeteksi autis, namun pemeriksaan ini masih dalam batas
kebutuhan untuk penelitian.
2. Deteksi dini sejak lahir hingga usia 5 tahun. Ada beberapa gejala yang
harus diwaspadai terlihat sejak bayi atau
a. Usia 0-6 bulan
1) Bayi tampak terlalu tenang (jarang menangis)
2) Terlalu sensitif, cepat terganggu
3) Gerakan tangan berlebihan terutama ketika mandi
4) Tidak ditemukan senyum sosial di atas 10 minggu
5) Tidak ada kontak mata diatas 3 bulan
b. Usia 6-12 bulan
1) Sulit bila digendong
2) Menggigit tangan dan badan orang lain secara berlebihan
3) Perkembangan motor kasar/halus sering tampak normal
4) Tidak ada kontak mata
c. Usia 12 bulan2 tahun
1) Kaku bila digendong
2) Tidak mau permainan sederhana (ciluk ba, da da)
3) Tidak mengeluarkan kata
4) Tidak tertarik pada boneka
5) Memperhatikan tangannya sendiri
6) Terdapat keterlambatan dalam perkembangan motor kasar atau
halus
d. Usia 2-3 tahun
1) Tidak tertarik untuk bersosialisasi dengan anak lain
2) Melihat orang sebagai benda

6
3) Marah bila rutinitas yang seharusnya berubah
4) Kotak mata terbatas
5) Tertarik pada benda tertentu
e. Usia 4-5 tahun
1) Sering didapatkan ekolalia (membeo)
2) Mengeluarkan suara yang aneh
3) Menyakiti diri sendiri (membenturkan kepala)
4) Tempereamen tentrum atau agresif
3. Deteksi autis dengan Skrenning
Alat deteksi anak autisme juga dapat menggunakan skernning, JK
Buitelaar, seorang profesor psikiatri anak dari Belanda bersama timnya
tengah menyusun alat untuk mendeteksi dini berbagai gejala utisme dalam
sebuah proyek yang bernama SOSO. Alat deteksi dini autisme yang baru
ini ESAT (Early Screnning Autism Traits) merupakan suatau model untuk
memberikan intervensi dini sesuai dengan keunikan yang disandang oleh
setiap anak autisme.
4. Deteksi autis dengan CHAT
CHAT digunakan pada penderita autisme di atas 18 bulan. CHAT
dikembangkan di inggris dengan metode yang berisi beberapa daftar
pertanyaan yang meliputi aspek ; imition, perend play, dan joint attention.

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan neurologis
2. Tes neuropsikologi
3. Tes pendengaran
4. Tes ketajaman penglihatan
5. MRI
6. EEG
7. Pemeriksaan sitogenetik untuk abnormalitas kromosom
8. Pemeriksaan darah
9. Pemeriksaan air seni

7
BAB II
KONSEP DASAR
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Diagnosa Keperawatan
1. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan persepsi,
kondisi emosional.
2. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan
biokimia penyebab distorsi sensori (halusinasi)
3. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan tidak adanya teman sebaya
atau orang lain

B. Intervensi
1. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan perubahan persepsi,
kondisi emosional.
a. Tujuan
1) Kata-kata atau kalimat-kalimat yang digunakan tepat dan sesuai
dengan topik pembicaraan.
2) Kontak mata baik dan selalu menatap lawan bicara
3) Pasien dapat menginterpretasikan pembicaraan orang lain
4) Pasien dapat menginterpretasikan bahasa non verbal

b. Intervensi
1) Bina hubungan saling percaya (BHSP)
2) Gunakan teknik validasi dan klarifikasi
3) Anjurkan untuk berbicara pelan-pelan, tenang dan jelas
4) Gunakan bahasa yang konsisten pada saat berinteraksi
5) Anjurkan klien untuk mempertahankan kontak mata
6) Kaji kemampuan pasien menangkap dan menerima isyarat non
verbal dari orang atau lawan bicara.
7) Bantu pasien mengidentifikasi informasi yang diterima
8) Berikan informasi yang tepat, singkat dan berurutan dari yang
sederhana sampai dengan yang kompleks.

8
9) Kuatkan dan ulangi informasi atau pesan yang diberikan
10) Minta pasien untuk mengulang pesan atau informasi yang
diterimanya terebut.
11) Tingkatan keterlibatan keluarga
12) Dorong pasien untuk mengungkapkan keinginan dan harapannya
dari dukungan keluarga.
c. Rasional
1) Agar pasien percaya terhadap tenaga medis
2) Agar pasien terlatih dan cepat sembuh
3) Supaya pasien terbiasa untuk berbicara dengan baik
4) Supaya pasien dapat berbahasa dengan baik
5) Supaya pasien fokus terhadap apa yang dibicarakan
6) Untuk mengetahui tingkat kemampuan pasien menerima isyarat
non verbal dari orang lain
7) Supaya pasien terbiasa menerima informasi dengan baik
8) Untuk melatih kemampuan otak dan komunikasi pasien secara
bertahap
9) Agar pasien selalu mengingat
10) Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan pasien menerima
informasi
11) Agar keluarga mampu membantu pasien serta hubungan keluarga
dan pasien terjalin dekat dan baik
12) Supaya pasien terbiasa mengungkapkan keinginannya yang baik.
2. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan
biokimia penyebab distorsi sensori (halusinasi)
a. Tujuan
1) Pasien mampu memnyebutkan waktu, isi, frekuensi munculnya
halusinasi
2) Pasien mampu menyebutkan perilaku yang biasa dilakukan saat
halusinasi muncul.
3) Pasien mampu menyebutkan akibat perilaku yang biasa dilakukan
saat halusinasi terjadi.
4) Pasien dapat memilih dan melaksanakan cara baru mengendalikan
halusinasi
5) Pasien mampu melaksanakan cara yang dipilih untuk
mengendalikan halusinasi.
b. Intervensi
1) Observasi tingkah laku yang berhubungna dengan halusinasi
2) Diskusikan dengan pasien waktu, isi frekuensi, dan situasi
pencetus munculnya halusinasi.

9
3) Diskusikan dengan pasien apa yang dirasakan jika halusinasi
muncul
4) Beri pasien kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
5) Identifikasi dan diskusikan dengan klien perilaku yang dilakukan
saat halusinasi muncul.
6) Diskusikan manfaat dan akibat dari cara atau perilaku yang
dilakukan klien
7) Bantu pasien memilih dan melatih cara memutus atau
mengendalikan halusinasi secara bertahap
8) Beri pasien kesempatan melakukan cara mengendalikan atau
memutus halusinasi yang telah dipilih dan dilatih.
c. Rasional
1) Untuk mengetahui tingkah laku pasien dari halusinasi tersebut
2) Untuk mengetahui datangnya halusinasi
3) Untuk mengetahui halusinasi yang muncul
4) Agar mengetahui halusinasi apa yang terjadi
5) Untuk mengetahui prilaku pasien saat halusinasi muncul
6) Untuk memberitahu pasien tantang manfaat dan akibat dari
prilaku yang dilakukannya
7) Agar pasien mampu mengatasi halusinasinya
8) Agar pasien mampu mengendalikan halusinasinya.
3. Hambatan interaksi sosial berhubungan dengan tidak adanya teman sebaya
atau orang lain
a. Tujuan
1) Pasien mampu menggunakan aktifitas yang diperlukan untuk
kesenangannya
2) Mampu berpartisipasi dan menikmati permainan
3) Mampu meningkatkan keterampilan sosial
4) Mampu menunjukkan perilaku yang menunjukkan perbaikan
interaksi sosial
5) Memahami efek perilaku diri terhadap interaksi sosial
b. Intervensi
1) Fasilitasi kemampuan pasien berinteraksi dengan orang lain
2) Identifikasi perubahan perilaku yang spesifik
3) Identifikasi permainan yang dapat meningkatkan interaksi sosial
4) Libatkan pendukung sebaya dalam memberikan umpan balik
dalam interaksi sosial
5) Gunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan
dan teknik berkomunikasi

10
6) Berikan umpan balik positif jika pasien dapat berinteraksi dengan
orang lain
7) Observasi tingkah laku pasien saat berinteraksi dengan orang lain
8) Berikan suport kepada pasien untuk mampu berinteraksi dengan
baik
9) Libatkan keluarga dalam tahap berinteraksi pasien dengan orang
lain
10) Anjurkan pasien untuk tetap mengikuti proses penyembuhan
dengan baik
c. Rasional
1) Supaya pasien mendapatkan kemudahan dalam berinteraksi
dengan benar
2) Untuk mengetahui perubahan perilaku yang spesifik pada pasien
3) Supaya pasien tertarik untuk berinteraksi
4) Supaya pasien mampu merasakan umpan balik dengan baik dari
orang lain
5) Supaya pasien mampu meningkatkan keterampilan dan teknik
dalam berkomunikasi
6) Supaya pasien mendapatkan umpan balik positif
7) Untuk mengetahui cara berunteraksi pasien
8) Supaya pasien bersemangat dan mampu berinteraksi dengan baik
9) Supaya keluarga mampu mengetahui perkembangan pasien dan
pasien selalu dekat dengan keluarga
10) Supaya pasien cepat sembuh dan dapat berinteraksi dengan
baik terhadap oranglain.

11

Вам также может понравиться