Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Mardhiyah Hayati
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penanganan dan perawatan luka bakar sampai saat ini masih memerlukan perawatan yang kompleks dan masih
merupakan tantangan bagi kita, karena sampai saat ini angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi. Di
Amerika dilaporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5-6 ribu
kematian/tahun. Di indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka bakar
dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya. Di unit luka bakar RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
pada tahun 1998 dilaporkan sebanyak 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian 37,38%. Di
unit Luka bakar RSU Dr. Soetomo surabaya jumlah kasus yang dirawat selama satu tahun (Januari 2000 sampai
Desember 2000) sebanyak 106 kasus atau 48,4% dari seluruh penderita bedah plastik yang dirawat yaitu
sebanyak 219, jumlah kematian akibat luka bakar sebanyak 28 penderita atau sekitar 26,41% dari seluruh
penderita luka bakar yang dirawat, kematian umumnya terjadi pada luka bakar dengan luas lebih dari 50% atau
pada luka bakar yang disertai cedera pada saluran nafas dan 50% terjadi pada 7 hari pertama perawatan (Noer,
2006).
Tujuan
Tujuan umum
Mahasiswa mampu menyusun dan menjelaskan asuhan keperawatan kritis klien pada luka bakar dengan
pendekatan proses keperawatan.
Tujuan khusus
Mengetahui rencana asuhan keperawatan kritis pada klien dengan luka bakar.
BAB 2
2.1 Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia dan petir yang mengenai
kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Musliha, 2010).
2.2 Etiologi
Luka bakar thermal disebabkan oleh karena terpapar atau kontak dengan api, cairan panas dan bahan padat
(solid).
Luka bakar kimia disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia,
lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. luka
bakar kimia dapat terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering digunakan untuk
keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang industri, pertanian dan militer.
Lebih dari 25.000 produk zat kimia diketahui dapat menyebabkan luka bakar kimia.
Lewatnya tenaga listrik bervoltase tinggi melalui jaringan menyebabkan perubahannya menjadi tenaga panas, ia
menimbulkan luka bakar yang tidak hanya mengenai kulit dan jaringan sub kutis, tetapi juga semua jaringan
pada jalur alur listrik tersebut. Luka bakar listrik biasanya disebabkan oleh kontak dengan sumber tenaga
bervoltase tinggi. Anggota gerak merupakan kontak yang terlazim, dengan tangan dan lengan yang lebih sering
cedera daripada tungkai dan kaki. Kontak sering menyebabkan gangguan jantung dan atau pernafasan, dan
resusitasi kardiopulmonal sering diperlukan pada saat kecelakaan tersebut terjadi. Luka pada daerah masuknya
arus listrik biasanya gosong dan tampak cekung.
Luka bakar radiasi disebabkan oleh terpapar dengan sumber radioaktif. Tipe injury ini seringkali berhubungan
dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari sumber radiasi untuk keperluan terapeutik pada dunia
kedokteran. Terpapar oleh sinar matahari akibat terpapar yang terlalu lama juga merupakan salah satu tipe luka
bakar radiasi.
Kedua penyebab diatas dengan cepat menyebabkan berkurangnya cairan intravaskuler. Pada luka bakar yang
luasnya kurang dari 20%, mekanisme kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya. Bila kulit yang terbakar luas
(lebih dari 20%), dapat terjadi syok hipovolemik disertai gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin,
berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun, dan produksi urin berkurang. Pembengkakan terjadi
perlahan, maksimal terjadi setelah delapan jam.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permebilitas meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya
ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Pada kebakaran dalam ruang tertutup atau bila luka terjadi diwajah, dapat terjadi kerusaakan mukosa jalan
napas dengan gejala sesak napas, takipnoe, stridor, suara parau, dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. Karbon monoksida sangat kuat terikat dengan
hemoglobin sehingga hemoglobin tidak lagi mampu mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan yaitu lemas,
binggung, pusing, mual dan muntah.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan
dari ruang intertisial ke pembuluh darah yang ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar umumnya tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati yang merupakan medium yang baik untuk
pertumbuhan kuman, akan mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh
pembuluh kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau
antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal dari kulit penderita sendiri, juga kontaminasi
dari kuman saluran nafas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial biasnya
sangat berbahaya karena kumanya banyak yang Sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kuman gram positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari
saluran napas, tapi kemudian dapat terjadi infasi kuman gram negatif. Pseudomonas aeruginosa yang dapat
menghasilkan eksotoksin protease dan toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam invasinya pada
luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman
memproduksi enzim penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk
nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif (tidak dalam) ditandai dengan keropeng yang mudah lepas dengan nanah yang
banyak. Infeksi yang infasive ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan keropeng yang
mula-mula sehat menjadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat dua menjadi derajat tiga.
Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang terbakar dan menimbulkan
trombosis.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat dua dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa
parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal,
sel keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat dua yang dalam mungkin meninggalkan parut
hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku, dan secara ekstetik sangat jelek.
Luka bakar yang derajat tiga yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami kontraktur. Bila ini terjadi di
persendian; fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Stres atau beban faali serta hipoperfusi daerah splangnikus pada penderita luka bakar berat dapat menyebabkan
terjadinya tukak dimukosa lambung atau duedonum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik.
Kelainan ini dikenal dengan tukak Curling atau stress ulcer. Aliran darah ke lambung berkurang, sehingga terjadi
iskemia mukosa. Bila keadaan ini berlanjut, dapat timbul ulkus akibat nekrosis mukosa lambung. Yang
dikhawatirkan dari tukak Curling ini adalah penyulit perdarahan yang tampil sebagai hematemisis dan melena.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan protein menjadi negatif.
Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi, metabolisme tinggi, dan mudah terjadi infeksi. Penguapan
berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini
terutama didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita menjadi sangat kurus, otot
mengecil, dan berat badan menurun. Kecatatan akibat luka bakar inisangat hebat, terutama bila mengenai
wajah. Penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat akibat cacat tersebut, sampai bisa menimbulkan
gangguan jiwa yang disebut schizophrenia postburn. (Sjamsuhidajat, dkk, 2010).
Pada kulit
Perubahan patofisiologik yang terjadi pada kulit segera setelah luka bakar tergantung pada luas dan ukuran luka
bakar. Untuk luka bakar yang kecil (smaller burn), respon tubuh bersifat lokal yaitu terbatas pada area yang
mengalami injuri. Sedangkan pada luka bakar yang lebih luas 25% dari total permukaan tubuh (TBSA: total
body surface area) atau lebih besar, maka respon tubuh terhadap injuri dapat bersifat sistemik dan sesuai
dengan luas injuri. Injuri luka bakar yang luas dapat mempengaruhi semua sistem utama dari tubuh.
Menurut Noer (2006), Kerusakan jaringan kulit yang diakibatkan luka bakar juga mengakibatkan proteksi
terhadap tubuh terganggu, sehingga terjadi penguapan yang berlebihan. Pada jaringan kulit normal penguapan
terjadi antara 2-20 g/m2/jam atau kurang dari 40 ml/jam. Penguapan yang terjadi melalui jaringan kulit yang
rusak akibat luka bakar sangat besar, dapat mencapai 140-180 gram/m2/jam. Bahkan pada luka bakar yang luas,
proses eksudasi dan penguapan dapat mencapai 300 ml/jam atau lebih dari 7 L/hari. Kondisi Evaporative Heat
Loss dan jaringan luka yang terbuka menyebabkan terjadinya kehilangan cairan tubuh yang berlebihan, karenya
perlu memphitungkan InsisibleWater Loss (IWL) lebih banyak dari biasanya.
Dimana :
BSA : body surface area, dihitung menggunakan Chart luas permukaan tubuh
25 merupakan konstanta
Sistem kardiovaskuler
Segera setelah injuri luka bakar, dilepaskan substansi vasoaktif (catecholamine, histamin,
serotonin,leukotrienes, dan prostaglandin) dari jaringan yang mengalami injuri. Substansi-substansi ini
menyebabkan meningkatnya permeabilitas kapiler sehingga plasma merembes ke dalam sekitar jaringan. Injuri
panas yang secara langsung mengenai pembuluh akan lebih meningkatkan permeabilitas kapiler. Injuri yang
langsung mengenai membran sel menyebabkan sodium masuk dan potasium keluar dari sel. Secara keseluruhan
akan menimbulkan tingginya tekanan osmotik yang menyebabkan meningkatnya cairan intracelluler dan
interstitial dan yang dalam keadaan lebih lanjut menyebabkan kekurangan volume cairan intravaskuler. Luka
bakar yang luas menyebabkan edema tubuh general baik pada area yang mengalami luka maupun jaringan yang
tidak mengalami luka bakar dan terjadi penurunan sirkulasi volume darah intravaskuler. Denyut jantung
meningkat sebagai respon terhadap pelepasan catecholamin dan terjadinya hipovolemia relatif, yang mengawali
turunya cardiac output. Kadar hematocrit menigkat yang menunjukkan hemokonsentrasi dari pengeluaran
cairan intravaskuler. Disamping itu pengeluaran cairan secara evaporasi melalui luka terjadi 4-20 kali lebih
besar dari normal. Sedangkan pengeluaran cairan normal pada orang dewasa dengan sehu tubuh normal perhari
adalah 350 ml.
Keadaan ini dapat mengakibatkan penurunan pada perfusi organ. Jika ruang intravaskuler tidak diiisi kembali
dengan cairan intravena maka syok hipovolemik dan ancaman kematian bagi penderita luka bakar yang luas
dapat terjadi.
Kurang lebih 18-36 jam setelah luka bakar, tetapi tidak mencapai keadaan normal sampai 2 atau 3 minggu
setelah injuri. Kardiak output kembali normal dan kemudian meningkat untuk memenuhi kebutuhan
hipermetabolik tubuh kira-kira 24 jam setelah luka bakar. Perubahan pada kardiak output ini terjadi sebelum
kadar volume sirkulasi intravena kembali menjadi normal. Pada awalnya terjadi kenaikan hematokrit yang
kemudian menurun sampai dibawah normal dalam 3-4 hari setelah luka bakar karena kehilangan sel darah
merah dan kerusakan yang terjadi pada waktu injuri. Tubuh kemudian mereabsorbsi cairan edema dan diuresis
cairan dalam 2-3 minggu berikutnya.
Respon tubuh pada mulanya adalah berkurangnya darah ke ginjal dan menurunya GFR (glomerulus filtration
rate) yang menyebabkan oliguri. Aliran darah menuju usus juga berkurang, yang pada akhirnya dapat terjadi
ileus intestinal dan disfungsi gastrointestinal pada klien dengan luka bakar yang > 25%.
Sistem imun
Fungsi sitem imun mengalami depresi. Depresi pada aktifitas lympocyte, suatu penurunan dalam produksi
hemoglobin, supresi aktivitas complement dan perubahan/gangguan pada fungsi neutrofil dan magrofag dapat
terjadi pada klien yang mengalami luka bakar yang luas. Perubahan-perubahan ini meningkatkan resiko
terjadinya infeksi dan sepsis yang mengancam kelangsungan hidup klien.
Sistem respirasi
Dapat mengalami hipertensi arteri pulmonal, mengakibatkan penurunan kadar oksigen aretri dan lung
compliance
Smoke inhalation
Menghisap asap dapat mengakibatkan injuri pulmonal yang seringkali berhubungan dengan injuri akibat jilatan
api. Keadaan injuri inhalasi ini diperkirakan lebih dari 30% untuk injuri yang diakibatkan oleh api.
Manifestasi klinik yang diduga injuri inhalasi meliputi adanya LB yang mengenai wajah, kemerahan dan
pembengkakan oropharing atau nasopharing, rambut hidung yang gososng, agitasi atau kecemasan, takipnoe,
kemerahan pada selaput hidung, stridor, wheezing, dyspnea, suara serak, terdapat carbon dalam sputum, dan
batuk. Bronchoskopi dan scaning paru dapat mengkonfirmasi diagnosis.
Patofisiologi pulmoner yang dapat terjadi pada injuri inhalasi berkaitan dengan berat dan tipe asap atau gas yang
dihirup.
CO merupakan produk yang sering dihasilkan bila suatu substansi organik terbakar. Ia merupakan gas yang
tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, yang dapat mengikat hemoglobin 200 kali lebih besar dari oksigen.
Dengan terhirupnya CO, maka molekul oksigen digantikan dan CO secara reversible berikatan dengan
hemoglobin sehingga membentuk carboxyhemoglobin (COHb). Hipoksia jaringan dapat terjadi akibat
penurunan secara menyeluruh pada kemampuan pengantaran oksigen dalam darah. Kadar COHb dapat dengan
mudah dimonitor melalui kadar serum darah. Manifestasi dari keracunan CO adalah:
Menurut Musliha (2010), fase luka bakar terbagi menjadi tiga fase :
Fase akut
Disebut fase awal atau fase syok. Dalam fase awal penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan
nafas), breathing (mekanisme bernafas), circulation (sirkulasi). Gangguan airway tidak hanya dapat terjadi
segera atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran pernafasan akibat
cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah penyebab kematian utama penderita pada
fase akut.Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera termal yang
berdampak sistemik.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau kehilangan jaringan akibat
kontak dengan sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
Fase lanjut
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan fungsi organ-organ
fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan
pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
Menurut Moenadjat (2009), Jackson membedakan tiga area pada luka bakar, yaitu:
Daerah yang mengalami kontak langsung.Kerusakan jaringan berupa koagulasi (denaturasi) protein akibat
pengaruh trauma termis.Jaringan ini bersifat non vital dan dapat dipastikan mengalami nekrosis beberapa saat
setelah kontak, karenanya disebut juga zona nekrosis.
Zona statis
Daerah di luar/sekitar dan langsung berhubungan dengan zona koagulasi.Kerusakan yang terjadi di daerah ini
terjadi karena perubahan endotel pembuluh darah, trombosit, dan respon inflamasi lokal; mengakibatkan
terjadinya gangguan perfusi (no flow phenomena).Proses tersebut biasanya berlangsung dalam 12-24 jam pasca
trauma; mungkin berakhir dengan zona nekrosis.
Zona hiperemia
Daerah di luar zona statis.Di daerah ini terjadi reaksi berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi sel.
Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami penyembuhan spontan;
atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona pertama (perubahan derajat luka yang menunjukkan perburukan
disebut degradasi luka).
Derajat 3 Semua Putih atau hitam, seperti Luka bakar hanya Dilakuka
atau lapisan beludru, seperti lilin, tidak dapat sembuh n eksisi
ketebalan melewati nyeri dengan cara dan graf
penuh dermis migrasi epitelial
dari perifer dan
kontraksi.
Kecuali luka
bakar berukuran
kecil, luka bakar
ini memerlukan
tindakan graf.
Luas luka bakar pada dewasa dihitung menggunakan rumus sembilan (Rule of nine) yang diprovokasi oleh
Wallace, yaitu:
Genitatalia/perinium : 1%
Total : 100%
Pada anak-anak menggunakan tabel dari lund atau Browder yang mengacu pada ukuran bagian tubuh
terbesar pada seorang bayi/anak (yaitu kepala) (Moenadjat, 2009).
A-kepala (muka-belakang) 9 8 6 5 4 3
Berat ringan luka bakar, ditinjau dari kedalaman dan kerusakan jaringan berdasarkan penyebab dan lama
kontak (Pujilestari, 2007).
Penyebab
Kerusakan jaringan disebabkan api lebih berat dibandingkan air panas, kerusakan jaringan akibat bahan yang
bersifat koloid (misalnya bubur panas) lebih berat dibandingkan air panas. Ledakan selain menimbulkan luka
bakar, juga menyebabkan kerusakan organ dalam akibat daya ledak (eksplosif). Bahan kimia, terutama
menyebabkan kerusakan yang hebat akibat reaksi jaringan sehingga terjadi diskonfigurasi jaringan yang
menyebabkan gangguan proses penyembuhan.
Lama kontak
Lama kontak jaringan dengan sumber panas menentukan luas dan kedalama kerusakan jaringan. Semakin lama
waktu kontak, semakin luas dan dalam kerusakan jaringan yang terjadi
Parah-critical:
Dengan adanya komplikasi pernapasan, jantung, fraktur, soft tissue yang luas
Sedang-moderate
Tingkat II : 15-30%
Ringan-minor
2.10 Pentalaksanaan
Upaya pertama saat terbakar adalah mematikan api pada tubuh, misalnya dengan menyelimuti dan menutup
bagian yang terbakar dengan kain basah. Atau korban dengan cepat menjatuhkan diri dan berguling-guling agar
bagian pakaian yang terbakar tidak meluas. Kontak dengan bahan yang panas juga harus cepat diakhiri, misalnya
dengan mencelupkan bagian yang terbakar atau menyelupkan diri ke air dingin atau melepas baju yang tersiram
air panas.
Pertolongan pertama setelah sumber panas dihilangkan adalah merendam daerah luka bakar dalam air mengalir
selama sekurang-kurangnya lima belas menit. Upaya pendinginan ini, dan upaya mempertahankan suhu dingin
pada jam pertama akan menghentikan proses koagulasi protein sel dijaringan yang terpajan suhu tinggi yang
akan terlangsung walaupun api telah dipadamkan, sehingga destruksi tetap meluas.
Baju yang terkena zat kimia harus segera dilepas. Sikap yang sering mengakibatkan keadaan lebih buruk adalah
menganggap ringan luka karena dari luar tampak sebagai kerusakan kulit yang hanya kecoklatan, padahal daya
rusak masih terus menembus kulit, kadang sampai 72 jam.
Pada umumnya penanganan dilakukan dengan mengencerkan zat kimia secara masif yaitu dengan mengguyur
penderita dengan air mengalir dan kalau perlu diusahakan membersihkan pelan-pelan secara mekanis.
Netralisasi dengan zat kimia lain merugikan karena membuang waktu untuk mencarinya, dan panas yang timbul
dari reaksi kimianya dapat menambah kerusakan jaringan.
Sebagai tindak lanjut, kalau perlu dilakukan resusitasi, perbaikan keadaan umum, serta pemberian cairan dan
elektrolit.
Pada kecelakaan akibat asam fluorida, pemberian calsium glukonat 10% dibawah jaringan yang terkena,
bermanfaat mencegah ion fluor menembus jaringan dan menyebabkan dekalsifikasi tulang. Ion fluor akan terikat
menjadi kalsium fluorida yang tidak larut. Jika ada luka dalam, mungkin diperlukan debridemen yang
disusul skin grafting dan rekonstruksi.
Pajanan zat kimia pada mata memerlukan tindakan darurat segera berupa irigasi dengan air atau sebaiknya
larutan garam 0,9% secara terus menerus sampai penderita ditangani di rumah sakit.
Luka bakar arus listrik
Terlebih dahulu arus listrik harus diputus karena penderita mengandung muatan listrik selama masih terhubung
dengan sumber arus. Kemudian kalau perlu, dilakukan resusitasi jantung paru. Cairan parenteral harus
diberikan dan umumnya diperlukan cairan yang lebih banyak dari yang diperkirakan karena kerusakan sering
jauh lebih luas. Kadang luka bakar di kulit luar tampak ringan, tetapi kerusakan jaringan ternyata lebih dalam.
Kalau banyak terjadi kerusakan otot, urin akan berwarna gelap karena mengandung banyak mioglobin dan
resusitasi pasien ini mengharuskan pengeluaran urin 75-100ml per jam. Selain itu, urin harus dirubah menjadi
basa dengan natrium bikarbonat intravena, yang menghalangi pengendapan mioglobulin. Bila urin tidak segera
bening atau pengeluaran urin tetap rendah, walaupun sudah diberikan sejumlah besar cairan, maka harus
diberikan diuretik yang kuat bersama manitol. Pada penderita cedera otot yang masif, dosis manitol (12,5 gram
per dosis) mungkin diperlukan selama 12-24 jam. Pasien yang gagal berespon terhadap dosis diatas mungkin
membutuhkan amputasi anggota gerak gawat darurat atau pembersihan jaringan nonviabel.
Otot jantung, juga rentan trauma arus listrik. Elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan untuk mengetahui
adanya kerusakan jantung dan pemantauan jantung yang terus menerus dilakukan untuk mendiagnosis dan
merawat aritmia. Kerusakan neurologi juga sering terjadi, terutama pada medulla spinalis, tetapi sulit dilihat,
kecuali bila dilakukan tes elektrofisiologi. Pengamatan cermat atas abdomen perlu dilakukan pada tahap segera
setelah cedera karena arus yang melewati kavitas peritonealis dapat menyebabkan kerusakan saluran
pencernaan.
Pada kontaminasi lingkungan, penolong dapat terkena radiasi dari kontaminan sehingga harus menggunakan
pelindung. Prinsip penolong penderita atau korban radiasi adalah memakai sarung tangan, masker, baju
pelindung, dan detektor sinar ionisasi. Sumber kontaminasi harus dicari dan dihentikan, dan benda yang
terkontaminasi dibersihkan dengan air sabun, deterjen atau secara mekanis disimpan dan dibuang di tempat
aman.
Keseimbangan cairan dan elektrolit penderita perlu dipertahankan. Selain itu, perlu dipikirkan kemungkinan
adanya anemia, leukopenia, trombositopenia, dan kerentanan terhadap infeksi. Sedapat mungkin tidak
digunakan obat-obatan yang menekan fungsi sumsum tulang.
Airway
Menurut Moenadjat (2009), Membebaskan jalan nafas dari sumbatan yang terbentuk akibat edema mukosa
jalan nafas ditambah sekret yang diproduksi berlebihan (hiperekskresi) dan mengalami pengentalan. Pada luka
bakar kritis disertai trauma inhalasi, intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) dan atau krikotiroidektomi
emergensi dikerjakan pada kesempatan pertama sebelum dijumpai obstruksi jalan nafas yang dapat
menyebabkan distres pernafasan. Pada luka bakar akut dengan kecurigaan trauma inhalasi. Pemasangan pipa
nasofaringeal, endotrakeal merupakan prioritas pertama pada resusitasi, tanpa menunggu adanya distres nafas.
Baik pemasangan nasofaringeal, intubasi dan atau krikotiroidektomi merupakan sarana pembebasan jalan nafas
dari sekret yang diproduksi, memfasilitasi terapi inhalasi yang efektif dan memungkinkan lavase bronkial
dikerjakan. Namun pada kondisi sudah dijumpai obstruksi, krikotiroidektomi merupakan indikasi dan pilihan.
Breathing
Pemberian oksigen
Oksigen diberikan 2-4 L/menit adalah memadai. Bila sekret banyak, dapat ditambah menjadi 4-6 L/menit. Dosis
ini sudah mencukupi, penderita trauma inhalasi mengalami gangguan aliran masuk (input) oksigen karena
patologi jalan nafas; bukan karena kekurangan oksigen. Hindari pemberian oksigen tinggi (>10 L/mnt) atau
dengan tekanan karena akan menyebabkan hiperoksia (dan barotrauma) yang diikuti terjadinya stres oksidatif.
Humidifikasi
Oksigen diberikan bersama uap air. Tujuan pemberian uap air adalah untuk mengencerkan sekret kental (agar
mudah dikeluarkan) dan meredam proses inflamasi mukosa.
Terapi inhalasi
Terapi inhalasi menggunakan nebulizer efektif bila dihembuskan melalui pipa endotrakea atau
krikotiroidektomi. Prosedur ini dikerjakan pada kasus trauma inhalasi akibat uap gas atau sisa pembakaran
bahan kimia yang bersifat toksik terhadap mukosa. Dasarnya adalah untuk mengatasi bronko konstriksi yang
potensial terjadi akibat zat kimia. Gejala hipersekresi diatasi dengan pemberian atropin sulfas dan mengatasi
proses infalamasi akut menggunakan steroid.
Lavase bronkoalveolar
Prosedur lavase bronkoalveolar lebih dapat diandalkan untuk mengatasi permasalahan yang timbul pada
mukosa jalan nafas dibandingkan tindakan humidifier atau nebulizer. Sumbatan oleh sekret yang melekat erat
(mucusplug) dapat dilepas dan dikeluarkan. Prosedur ini dikerjakan menggunakan metode endoskopik
(bronkoskopik) dan merupakan gold standart. Selain bertujuan terapeutik, tindakan ini merupakan prosedur
diagnostik untuk melakukan evaluasi jalan nafas.
Rehabilitasi pernafasan
Proses rehabilitasi sistem pernafasan dimulai seawal mungkin. Beberapa prosedur rehabilitasi yang dapat
dilakukan sejak fase akut antara lain:
Pengaturan posisi
Prosedur ini awalnya dilakukan secara pasif kemudian dilakukan secara aktif saat hemodinamik stabil dan
pasien sudah lebih kooperatif
Penggunaan ventilator
Circulation
Menurut Djumhana (2011), penanganan sirkulasi dilakukan dengan pemasangan IV line dengan kateter yang
cukup besar, dianjurkan untuk pemasangan CVP untuk mempertahankan volume sirkulasi
Pemasangan infus intravena atau IV line dengan 2 jalur menggunakan jarum atau kateter yang besar minimal no
18, hal ini penting untuk keperluan resusitasi dan tranfusi, dianjurkan pemasangan CVP
Merupakan perangkat untuk memasukkan cairan, nutrisi parenteral dan merupakan parameter dalam
menggambarkan informasi volume cairan yang ada dalam sirkulasi. Secara sederhana, penurunan CVP terjadi
pada kondisi hipovolemia. Nilai CVP yang tidak meningkat pada resusitasi cairan dihubungkan dengan adanya
peningkatan permeabilitas kapiler. Di saat permeabilitas kapiler membaik, pemberian cairan yang berlebihan
atau penarikan cairan yang berlebihan akibat pemberian koloid atau plasma akan menyebabkan hipervolemia
yang ditandai dengan terjadinya peningkatan CVP.
Melepaskan penghalang
Tujuan melakukan penilaian serta mencegah terjadinya konstriksi sekunder akibat edema
Resusitasi cairan
Menurut Sunatrio (2000), pada luka bakar mayor terjadi perubahan permeabilitas kapiler yang akan diikuti
dengan ekstrapasasi cairan (plasma protein dan elektrolit) dari intravaskuler ke jaringan interstisial
mengakibatkan terjadinya hipovolemik intravaskuler dan edema interstisial. Keseimbangan tekanan hidrostatik
dan onkotik terganggu sehingga sirkulasi kebagian distal terhambat, menyebabkan gangguan perfusi sel atau
jaringan atau organ.
Pada luka bakar yang berat dengan perubahan permeabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi
penimbunan cairan massif di jaringan interstisial menyebabkan kondisi hipovolemik. Volume cairan
intravaskuler mengalami defisit, timbul ketidakmampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen ke
jaringan. Keadaan ini dikenal dengan sebutan syok. Syok yang timbul harus diatasi dalam waktu singkat, untuk
mencegah kerusakan sel dan organ bertambah parah, sebab syok secara nyata bermakna memiliki korelasi
dengan angka kematian.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa penatalakannan syok dengan menggunakan metode resusitasi cairan
konvensional (menggunakan regimen cairan yang ada) dengan penatalaksanaan syok dalam waktu singkat,
menunjukan perbaikan prognosis, derajat kerusakan jaringan diperkecil (pemantauan kadar asam laktat),
hipotermi dipersingkat dan koagulatif diperkecil kemungkinannya, ketiganya diketahui memiliki nilai prognostik
terhadap angka mortalitas. Pada penanganan perbaikn sirkulasi pada luk bakar dikenal beberapa formula
berikut:
Evans formula
Brooke formula
Parkland formula
Modifikasi Brooke
Monafo formula
METODE BAXTER
Menurut Moenadjat (2009), metode resusitasi ini mengacu pada pemberian cairan kristaloid dalam hal ini
Ringer Laktat (karena mengandung elektrolit dengan komposisi yang lebih fisiologis dibandingkan dengan
Natrium Klorida) dengan alasan; cairan saja sudah cukup untuk mengantikan cairan yang hilang (perpindahan
ke jaringan interstisium), pemberian kristaloid adalah tindakan resusitasi yang paling fifiologis dan aman
Hari pertama
Dewasa : Ringer laktat 4cc x berat badan x %luas luka bakar per 24jam
Kebutuhan faal :
Hari kedua
1cc/menit
Protocol resesitasi :
Kebutuhan cairan dalam 24 jam pertama adalah 4 ml/kg/% luas luka bakar, pemberian berdasarkan pedoman
berikut
Pedoman
Separuh kebutuhan diberikan dalam 8 jam I (dihitung mulai saat kejadian luka bakar)
Contoh resusitasi cairan pada luka bakar menurut Hettiaratchy & papini (2004) :
Seorang laki-laki 25 tahun dengan berat 70 kg dengan luka bakar 30% datang ke UGD pukul 16.00. Pasien
mengalami kejadian sekitar pukul 15.00.
Total cairan ini diberikan setengah pada 8 jam pertama dan setengah lagi pada 16 jam berikutnya.
Bagi cairan pada point (a) dengan sisa waktu sampai 8 jam setelah pasien terbakar (pukul 15.00).
Kebakaran terjadi pada pukul 15.00, jadi 8 jam kedepan jatuh pada pukul 23.00. datang ke UGD pukul 16.00,
jadi dibutuhkan 4200 ml selama 7 jam kedepan:
Mengukur urin produksi. Urin produksi dapat sebagai indikator apakah resusitasi cukup adekuat atau tidak.
Pada orang dewasa jumlah urin 30-50 cc urin/jam.
Berat berat jenis urin, pasca trauma luka bakar berat jenis dapat normal atau meningkat. Keadaan ini dapat
menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Keadaan ini dapat menunjukkan keadaan hidrasi penderita. Bilamana
berat jenis meningkat berhubungan dengan naiknya kadar glukosa urin.
Vital sign
PH darah
Perfusi perifer
Hal lain yang harus diperhatikan selama fase resusitasitatif adalah perfusi aringan. Dengan cedera jaringan,
pembuluh-pmbuluh menjadi rusak an terjadi thrombosis. Pembuluh utuh yang berdekatan segera melebar, dan
platelet serta leukosit melekat pada endotel vaskuler, menyebabkan pembentukan keropeng.Jaringan yang
mendasari membengkak, tetapi daerah pinggiran luka bakar dengan ketebalan penuh adalah takelastik dan tetap
kontraktur. Keropeng mempengaruhi perlemahan status vaskuler dengan nekrosis iskemik, yang ahirnya
akanmemerlukan amputasi. Ini sangat vital, oleh karena itu, perawat memantau perfusi jaringan setiap jam
dengan memeriksa arus balik kapiler, perubahan-perbahan neurologis, suhu, warna kulit, serta adanya nadi
perifer.Ekstremitas harus ditinggikan dan jaga agar dalam batas gerak pasif sedikitnya 5 menit perjam untuk
mencegah edema dan mobilisasi yang memang berakumulasi.
Laboratorium (Serum elektrolit, Plasma albumin, Hemaktokrit, hemoglobin, Urine sodium, Elektrolit, Renal
fungsion test, Total protein atau albumin, Pemeriksaan lain sesuai indikasi)
Pemeriksaan kondisi paruperlu diobservasi tiap jam untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi antara
lain stridor, bronkhospam, adanya sekret, wheezing, atau dispnue merupakan adanya impending obstruksi.
Penilaian gastrointestinal
Monitoring gastrointestinal setiap 2-4 jam dengan melakukan auskultasi untuk mengetahui bisisng usus dan
pemeriksaan sekresi lambung. Adanya darah dan PH kurang dari 5 merupakan tanda adanya Culings ulcer.
Bila dilakukan perawatan tertutup, dinilai apakah kasa basah, ada cairan berbau atau ada tanda-tanda pus maka
kasa perlu diganti. Bila bersih perawatan selanjutnya dilakukan 5 hari kemudian.
Formula resusitasi berkenaaan dengan perkiraan, dan haluaran urin dan tekanan darah harus dipantau per jam
untuk mengevaluasi respon terhadap tindakan.Haluaran urin adalah indicator tunggal terbaik dari resusitasi
cairan pada pasien dengan fungsi ginjal sebelumnya normal.Pasien biasanya ditimbang setiap hari.Penambahan
berat badan15% dari berat pertama masuk rumah sakit dapat terjadi.Masukan dan haluaran urin harus dipantau
dengan cermat.Awitan dieresis spontan adalah tanda yang menunjukkan akhir dari fase resusitatif. Kecepatan
infuse harus diturunkan sampai 25% dalam satu jam jika haluaran urin memuaskan da dapat dipertahankan
selama dua jam, penuruna dapat diturunkan kemudian. Adalah penting bahwa haluaran urin dipertahankan
dalam batas normal (50-70 ml/jam).
Dalam dekade terakhir, resusitasi cairan pada pasien luka bakar telah dilakukan sebagai proses yang rutin;
kebanyakan klinisi menggunakan rumus Parkland dalam 24 jam pertama untuk menyesuaikan volume cairan
yang diberikan.Sesuai dengan variasi situasi pada pasien luka bakar, penggunaan volume cairan yang berlebih
cenderung terjadi untuk meningkatkan pengeluaran urin.Pemberian cairan yang berlebihan dapat
mengakibatkan komplikasi edema yang dikenal dengan fenomena "fluid creep".Banyak penelitian yang telah
dilakukan untuk optimasi titrasi dan jenis cairan yang digunakan, seperti pemakaian koloid atau larutan garam
hipertonik.Tujuannya adalah untuk menurunkan kebutuhan volume cairan dan terjadinya edema.Penelitian saat
ini tentang resusitasi cairan pasien luka bakar berkonsentrasi padapendekatan untuk meminimalisir fenomena
"fluid creep" dengan memperketat kontrol cairan intravena.Formula Parkland sebaiknya hanya digunakan
sebagai panduan dalam pemberian cairan.Untuk selanjutnya harus dilakukan penyesuaian pada volume dan
kecepatan cairan intravena sesuai dengan respon pasien. Banyak penelitian menunjukkan perbandingan antara
pemakaian kristaloid dan koloid pada 24 jam pertama setelah kejadian luka bakar. Saat ini, masih terdapat
perdebatan penentuan waktu yang tepat untuk pemakaian cairan koloid untuk resusitasi. Bagaimanapun,
penggunaan albumin 5% dalam 24 jam kedua dapat dipertimbangkan sebagai alternatif yang bisa diterima
(Septrisa, 2012)
Menurut Hudak & Gallo (2000), ketika kestabilan hemodinamik dan pulmonal telah tercapai, perhatian
ditujukan pada perawatan awal luka bakar.
Menurut Moenadjat (2009), Infeksi luka yang berkembang menjadi sepsis menjadi topik yang banyak dibahas
dan merupakan penyebab kematian pada luka bakar. Konsekuensinya penggunaan antibiotika dalam
penatalaksanaan luka bakar menjadi sesuatu kebutuhan yang mutlak. Tindakan yang dilakukan untuk mencegah
dan mengatasi infeksi terdiri dari beberapa rangkaian, yaitu:
Tindakan aseptic
Yang dimaksud dengan tindakan aseptik adalah serangkaian perlakuan yang diterapkan dan mencerminkan
upaya mencegah infeksi, dengan cara:
Mengupayakan ruang perawatan dalam kondisi aseptik. Hal ini diupayakan melalui beberapa cara termasuk
desain ruangan yang memungkinkan ventilasi laminar berlangsung layaknya sebuah ruang operasi, penerapan
sistem positive air preasure air filter, termasuk perawatan yang bertalian dengan proses desinfeksi ruangan, dll.
Penggunaan perangkat khusus seperti baju (piyama), skort, topi, masker, alas-kaki, pencucian tangan,
penggunaan sarung tangan, dll. Hal ini mencerminkan perilaku petugas sebagai digariskan dalamgeneral
precaution upaya mencegah infeksi .
Pencucian luka
pencucian luka dilakukan menggunakan air yang disterilkan. Prinsipdilution is the best solution for
pollution diterapkan.
Pencucian luka dikerjakan saat penderita masuk ke unit luka bakar (dalam delapan jam pertama) dan
dilakukan satu sampai dua kali dalam sehari sebelum dilakukan nekrotomi dan debridement.
Tindakan nekrotomi dan debridement dilakukan bertujuan membuang eskar atau jaringan nekrosis
maupun debris yang memicu respon inflamasi dan menghalangi proses penyembuhan luka karena
berpotensi besar untuk berkembang menjadi fokus infeksi. Tindakan ini dilakukan seawal mungkin,
dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai kebutuhan. Yang dimaksud tindakan awal adalah dalam
3-4 hari pertama pasca trauma, saat konsistensi eskar masih padat dan belum mengalami lisis, eskar
yang mengalami lisis memicu respon inflamasi sangat kuat dan sulit dilakukan. Pada prosedur ini, luka
dicuci menggunakan larutan steril.
Perawatan pasca nekrotomi dan debridement, luka dicuci setiap kali penggantian balutan.
Eskarotomi,
Meskipun peninggian ekstrimitas dapat menurunkan edema, namun eskarotomi sering diperlukan. Eskarotomi
adalah insisi pada jaringan parut yang menebal sehingga memungkinkan jaringan edematosa yang hidup di
bawahnya melebar, dengan demikian memulihkan perfusi jaringan yang adekuat. Eskarotomi dibuat pada garis
midlateral atau midmedial ekstrimitas yang terkait. Prosedur dilakukan di tempat tidur, dan tidak memerlukan
anestesi lokal. Tempat eskarotomi ditutupi dengan agen topikal karena karena jaringan hidup terpajan, dan
dipasang balutan tipis. Biasanya prosedur ini diperlukan hanya pada cedera yang terjadi lingkungan arus listrik
bertegangan tinggi atau cedera hancur (Hudak, 1996).
Pemberian antibiotik
Secara umum yang dimaksud dengan pemberian antibiotik profilaksis adalah pemberian antibiotik sistemik
bertujuan mencegah berkembangnya infeksi sebelum melakukan sayatan tindakan pembedahan atau prosedur
invasif lainnya. Antibiotik diberikan melalui jalur intravena 30 menit sebelum tindakan untuk satu kali
pemberian (single dose). Jenis antibiotik yang diberikan didasari atas pola bakteri yang didasari atas pola bakteri
yang paling sering menimbulkan infeksi di rumah sakit pada kurun waktu tertentu.
Pemberian antibiotik sistemik yang ditujukan mengatasi infeksi yang timbul. Pemilihan jenis antibiotik
dilakukan berdasarkan hasil kultur mikroorganisme penyebab infeksi dan memiliki sensitivitas terhadap
mikroorganisme penyebab. Pemberiannya diberikan sesuai dosis lazim.
Amputasi
Cedera otot masifakibat elektric injury disertai mioglobin pada urin yang gagal berespon terhadap
resusitasi cairan dan pemberian diuretic kuat serta manitol
BAB 3
3.1 Pengkajian
Anamnese
Data Demografi
Keluhan utama :
Luas cedera akibat dari intensitas panas (suhu) dan durasi pemajanan, jika terdapat trauma inhalasi ditemukan
keluhan stridor, takipnea, dispnea, dan pernafasan seperti bunyi burung gagak (Kidd, 2010).
Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita terjebak dalam ruang tertutup,
sehingga kecurigaan terhadap trauma inhalasi yang dapat menimbulkan obstruksi jalan nafas. Kapan
kejadiannya terjadi (Sjaifuddin, 2006).
Penting dikaji untuk menetukan apakah pasien mempunyai penyakit yang tidak melemahkan kemampuan untuk
mengatasi perpindahan cairan dan melawan infeksi (misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif, dan
sirosis) atau bila terdapat masalah-masalah ginjal, pernapasan atau gastro intestinal. Beberapa masalah seperti
diabetes, gagal ginjal dapat menjadi akut selama proses pembakaran. Jika terjadi cedera inhalasi pada keadaan
penyakit kardiopulmonal (misalnya gagal jantung kongestif, emfisema) maka status pernapasan akan sangat
terganggu (Hudak dan Gallo, 1996).
Kaji tentang kesadaran pasien, tnda-tanda vital (TTV), berat badan (BB), dan pemeriksaan luka bakar (apakah
termasuk luka bakar berat, sedang atau ringan)
Ditentukan luas luka bakar. Dipergunakan Rule of Nine untuk menentukan luas luka bakarnya.
(Sjaifuddin, 2006)
Pemerikasaan fisik
Breathing
Kaji adanya tanda disteres pernapasan, seperti rasa tercekik, tersedak, malas bernafas, atau adanya wheezing
atau rasa tidak nyaman pada mata atu tenggorokan, hal ini menandakan adanya iritasi pada mukosa.Adanya
sesak napas atau kehilangan suara, takipnea atau kelainan pada uaskultasi seperi krepitasi atau ronchi.
(Sjaifuddin, 2006)
Blood
Pada luka bakar yang berat, perubahan permiabilitas kapiler yang hampir menyeluruh, terjadi penimbunan
cairan massif di jaringan interstisial menyababkan kondisi hipovolemik. Volume cairan intravascular mengalami
defisit, timbul ketidak mampuan menyelenggarakan proses transportasi oksigen kejaringan (syok). Sjaifuddin
(2006)
Brain
Manifestasi sistem saraf pusat karena keracunan karbon monoksida dapat berkisar dari sakit kepala, sampai
koma, hingga kematian (Huddak dan Gallok, 1996)
Bledder
Haluaran urin menurun disebabkan karena hipotensi dan penurunan aliran darah ke ginjal dan sekresi hormone
antideuretik serta aldosteron (Hudak dan Gallok, 1996)
Bowel
Adanya resiko paralitik usus dan distensi lambung bisa terjadi distensi dan mual. Selain itu pembentukan ulkus
gastrduodenal juga dikenal dengan Curlings biasanya merupakan komplikasi utama dari luka bakar (Hudak dan
Gallok, 1996).
Bone
Penderita luka bakar dapat pula mengalami trauma lain misalnya mengalami patah tulang punggung atau spine.
Pemeriksaan penunjang
Menurut Schwartz (2000) & Engram (2000), Kidd (2010) pemeriksaan diaknostik pada penderita luka bakar
meliputi :
Pemeriksaan Laboratorium
Hitung darah lengkap, elektrolit dan profil biokimia standar perlu diperoleh segera setelah pasien tiba
di fasilitas perawatan.
Koagulasi memeriksa faktor-faktor pembekuan yang dapat menurun pada luka bakar masif
Konsetrasi gas darah dan PO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50 %, FiO2=
0,5) mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase awal, tetapi dapat
meningkat pada fase lanjut.
Karboksihemoglobin perlu segera diukur oleh karena pemberian oksigen dapat menutupi keparahan
keracunan kerbon monoksida yang dialami penderita. Pada trauma inhalasi, kadar COHb akan
menurun setelah penderita menghirup udara normal. Pada kadar COHb 35-45% (berat), bahkan setelah
tiga jam dari kejadian kadar COHb masih pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih dari 15% setelah 3
jam kejadian ini merupakan bukti kuat adanya trauma inhalasi
Elektrolit serum mendeteksi ketidakseimbangan cairan dan biokimia. Ini terutama penting untuk
memeriksa kalium terhadap peningkatan dalam 24 jam pertama karena peningkatan kalium dapat
menyebabkan henti jantung.
Albumin serum, kadarnya mungkin rendah karena protein plasma terutama albumin hilang ke dalam
jaringan yang cedera sekunder akibat peningkatan permeabilitas kapiler.
Urinalis menunjukkan mioglobin dan hemokromagen menandakan kerusakan otot pada luka bakar
ketebalan penuh luas.
Pemeriksaan penyaring terhadap obat-obatan, antara lain etanol, memungkinkan penilaian status
mental pasien dan antisipasi terjadinya gejala-gejala putus obat.
Rontgen dada : Semua pasien sebaiknya dilakukan rontgen dada, tekanan yang terlalu kuat pada dada, usaha
kanulasi pada vena sentralis, serta fraktur iga dapat menimbulkan pneumothoraks atau hematorak. Pasien yang
juga mengalami trauma tumpul yang menyertai luka bakar harus menjalani pemeriksanaann radiografi dari
seluruh vertebrata, tulang panjang, dan pelvis
Elektrocardiogram : EKG terutama diindikasikan pada luka bakar listrik karena disritmia jantung adalah
komplikasi yang umum
CT scan : menyingkirkan hemorargia intrakarnial pada pasien dengan penyimpangan neurologik yang menderita
cedera listrik.
DiagnosaKeperawatan
Defisit volume cairan yang berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler, peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler, penurunan tekanan osmotic koloid kapiler, peningkatran kehilangan evaporative.
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d obstruksi saluran nafas atas; oedema laring & hipersekresi mukus.
Pertukaran gas yang berhubungan dengan cedera alveolar, keracunan karbon monoksida dan atau cedera
inhalasi.
Perubahan perfusi jaringan perifer yang berhubungan dengan edema seluruh tubuh, jaringan avaskuler,
penurunan haluaran jantung, dan hipovolemia.
Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit, pertahanan primer tidak adekuat.
Tinggalkan Komentar
Nama :
E-mail :
tanpa http://
Web :
Komentar :
Verification Code :
Pengumuman
Kategori
Askep (3)
Photo (1)
Artikel Terbaru
Semangat Aizen! Belajar lagi Planned Behavior!
82.412
Blogroll
facebook
UNAIR
Komentar Terbaru
Arsip
February 2013
June 2011