Вы находитесь на странице: 1из 37

BAB I

PENDAHULUAN

Batu empedu terjadi pada 10-20 % populasi dewasa di negara berkembang , di Amerika
Serikat lebih dari 20 juta orang menderita penyakit ini dan ditemukan 1 juta pasien baru setiap
tahunnya. Kebanyakan ( > 80 % ) gejala batu empedu tidak menampakkan gejala klinis
(asimtomatik), batu empedu sudah dikenal sejak lama ini dibuktikan dengan hasil otopsi wanita
muda mesir hasil penggalian arkeologi yang berusia 2000 tahun dimana terdapat batu empedu.
Batu empedu merupakan hasil pengendapan dari cairan empedu.

Komponen utama dari cairan empedu adalah bilirubin, garam empedu, fosfolipid, dan
kolestrol. Yang mana pada batu Kolesterol komponen utamanya adalah kolesterol. Batu empedu
dapat diklasifikasikan atas batu kolestrol, batu pigmen, dan campuran. Batu pigmen dapat di
klasifikasikan lagi menjadi batu pigmen coklat dan batu pigmen hitam. Beberapa faktor yang
berpengaruh pada perkembangan batu empedu adalah faktor etnik-geografi ; umur dan jenis
kelamin, pada usia < 40 tahun penderita mencapai < 5%, sedangkan > 40 tahun penderita
meningkat sampai 30%; faktor lingkungan, kehamilan & pemakaian kontrasepsi oral juga
obesitas & penurunan berat badan secara drastis; faktor penyakit yang didapat, misalnya
berbagai gangguan gastrointestinal; dan faktor herediter.

INSIDENS & EPIDEMIOLOGI

Insidens dan prevalensi dari kolelithiasis dapat dipengaruhi oleh banyak faktor antaranya
berupa faktor umur, jenis kelamin, etnik, genetic dan lain-lain. Di Amerika Serikat, kasus batu
empedu terjadi kurang lebih pada 20 juta orang (10-20% pada orang dewasa), dimana insidens
pada wanita lebih tinggi dibandingkan pada pria dengan perbandingan 2,5:1.
Pada penelitian di Itali, ditemukan 20% wanita dan 14% pria yang memiliki batu empedu. Pada
penelitian Danish, prevalensi batu empedu pada usia 30 tahun adalah sebesar 1,8% untuk pria
dan 4,8% untuk wanita. Prevalensi batu empedu pada usia 60 tahun sebesar 12,9% untuk pria
dan 22,4% untuk wanita. (3)
Batu empedu yang mana diklasifikasikan menjadi batu kolestrol , batu pigmen, dan batu
mixed. Didapatkan Pada Negara barat lebih 75 % persen adalah tipe batu kolesterol. prevalensi
batu empedu sangat bervariasi di tiap Negara bahkan tiap suku dan ras di Negara yang sama.
Faktor resiko pada orang Kaukasian adalah sebesar 50% pada wanita dan 30% pada pria.
Prevalensi yang sama terdapat pada orang meksiko Amerika dan penduduk asli Amerika,
sedangkan pada orang Afrika Amerika mempunyai faktor resiko yang sedikit lebih rendah.
Prevalensi kolestrol kolelithiasis pada Negara barat lainnya sama seperti Amerika Serikat, namun
sedikit lebih rendah pada orang afrika dan asia.

Menurut epidemiologi dan penelitian pada hewan, faktor genetiklah penyebab


bervariasinya kejadian ini, juga dikatakan faktor cara hidup seperti makanan, obesitas, turunnya
berat badan dan rendahnya aktifitas fisik turut berperan terbentuknya batu empedu. Prevalensi
batu empedu juga meningkat seiring dengan bertambahnya umur dan lebih sering pada wanita.
terjadi peningkatan prevalensi seiring dengan bertambahnya umur yaitu setelah umur 60 tahun,
10-15% pada pria dan 20-40% pada wanita. Batu empedu biasanya tidak ditemukan pada anak-
anak. Dimulai pada masa pubertas, terjadi peningkatan konsentrasi kolestrol pada empedu.
Setelah umur 15 tahun, prevalensi betu empedu pada wanita meningkat kurang lebih 1% per
tahun dan pada pria 0,5% per tahun.

EMBRIOLOGI

Perkembangan saluran bilier berasal dari saluran cerna primitif yaitu distal foregut dan
menjadi sakulasi pada bagian ventral. Muncul pada awal minggu ke-5 masa gestasi atau pada
saat panjang embrio 3 mm. sakulasi ini bertumbuh dan berkembang ke dalam mesenterial ventral
dan menjadi dua bagian yaitu pucuk kranial dan pucuk kaudal . Pucuk kranial berkembang
menjadi hati dan duktus biliaris intrahepatik sedangkan pucuk kaudal berkembang menjadi
duktus sistikus dan kandung empedu. Pada minggu ke-7 masa gestasi dalam kandung empedu
vakuolisasi dimulai dan menjadi suatu lumen terbuka yang lengkap.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ANATOMI KANDUNG EMPEDU

1. Makroskopis

Kandung empedu merupakan suatu kantong berbentuk seperti buah pir dan berada pada
fossa vesika fellea sepanjang permukaan inferior hati yang secara anatomi membagi hati menjadi
lobus kanan dan lobus kiri. Pada orang dewasa panjangnya sekitar 7-10 cm dan mempunyai
kapasitas 30 mL. Kandung empedu melengket pada hati oleh jaringan ikat longgar yang berisi
vena-vena kecil dan saluran limfatik yang menghubungkan hati dan kandung empedu.

Ketika terhambat, kantong empedu dapat merenggang hingga 300 mL. Lapisan
peritoneum yang menutupi hati juga meliputi fundus dan permukaan inferior dari kandung
empedu. Kandung empedu dapat di bagi menjadi 4 area anatomi yaitu : Fundus, Korpus,
Infundibulum, dan kollum. terdiri dari epitel, berlipat, kolumnar yang mengandung kolesterol
dan tetesan lemak. Lapisan epitel kandung empedu didukung oleh lamina propria. Lapisan otot
memiliki serat longitudinal dan oblik. jaringan perimuscular subserosa berisi jaringan ikat, saraf,
pembuluh, limfatik, dan adiposit. keseluruhan diliputi serosa kecuali kantong empedu tertanam
di hati. kandung empedu berbeda secara histologis dari saluran pencernaan yang mana tidak
memiliki muskularis mukosa dan submukosa.
2. Saluran empedu

Saluran empedu ekstra hepatik terdiri dari saluran hati kanan dan kiri, duktus hepatikus
komunis, duktus sistikus, dan duktus choledochus. duktus koledokus dihubungankan dengan
duodenum melalui otot sfingter Oddi. Duktus hepatikus kiri lebih panjang dari kanan dan
memiliki kecenderungan lebih besar untuk dilatasi sebagai konsekuensi dari obstruksi distal. Dua
saluran bergabung untuk membentuk duktus hepatikus komunis, dimana terlihat muncul dari
hati. duktus hepatikus komunis memiliki panjang 1-4 cm dan diameter sekitar 4 mm. terletak di
depan vena porta dan kanan dari arteri hepatika.

Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus untuk membentuk duktus
choledocus. Segmen dari duktus sistikus yang berdekatan dengan leher kandung empedu
memiliki sejumlah lipatan mukosa yang disebut spiral katup Heister. duktus choledocus memiliki
panjang sekitar 7-11 cm dan diameter sekitar 5-10 mm. duktus choledocus berjalan miring ke
bawah masuk kedalam dinding duodenum sel 1-2 cm sebelum membuka ampula of Vateri,
sekitar 10 cm distal ke pilorus. duktus pankreatikus bergabung dengan saluran empedu di luar
dinding duodenum dan melintasi dinding duodenum sebagai saluran tunggal. Sphincter Oddi
mengontrol aliran empedu, dan beberapa keadaan getah pankreas, ke dalam duodenum.

Saluran empedu ekstrahepatik dilapisi oleh mukosa kolumnar dengan berbagai kelenjar
mucus di saluran empedu umum. Sebuah jaringan yang mengandung fibroareolar sedikit sel otot
polos mengelilingi mukosa tersebut. Pasokan arteri ke saluran empedu berasal dari saluran cerna
dan arteri hepatica dengan cabang utama yang berjalan sepanjang dinding medial dan lateral dari
saluran.

3. Vaskularisasi

Arteri yang memasok kantong empedu biasanya adalah cabang dari arteri hepatica dextra
(> 90 persen). Perjalanan arteri ini dapat bervariasi, tetapi hampir selalu ditemukan dalam
segitiga hepatocystic, daerah yang berdekatan dengan duktus sistikus, duktus hepatik komunis,
dan pinggir hati (segitiga dari Calot). dibagi menjadi dua cabang, satu cabang berjalan sepanjang
permukaan peritoneal kandung empedu dan cabang lainnya berjalan di antara fossa vesica fellea
dan hati.

Aliran balik vena baik melalui pembuluh darah kecil yang masuk secara langsung ke
dalam hati, atau ke vena cysticus yang mana membawa aliran darah kembali ke vena porta. Vena
yang berasal dari bagian bawah duktus biliaris komunis yang mengalir ke dalam vena porta.
Vena yang berada di bawah permukaan peritoneum dapat mencapai kollum kandung empedu dan
masuk ke dalam lobus quadratus secara langsung atau berjalan bersama pleksus disekeliling
duktus biliaris, kemudian vena-vena tersebut bergabung bersama vena hepatik ,tapi bukan ke
vena porta

4. Innervasi

Kandung empedu dipersarafi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis yang keduanya
melalui pleksus seliakus. Saraf simpatis preganglionik berasal darti level T8 dan T9 sedangkan
saraf parasimpatis postganglionik berada pada pleksus seliakus dan berjalan sepanjang arteri
hepatis dan vena porta menuju kandung empedu. Saraf parasimpatis berasal dari trunkus vagal,
tidak seperti cabang posteriornya yang melewati pleksus seliakus, cabang anteriornya mencapai
kandung empedu melewati ligamentum gastrohepatis.

5. Drainase limfatik

Aliran Limfatik kandung empedu mengalir ke kelenjar di leher kandung empedu. kelenjar
getah bening menyisip bersama arteri sistikus ke dinding kandung empedu. aliran limfe dari
kandung empedu melewati nodus hepatikus via nodus sistikus dekat dengan kollum kandung
empedu, alirannya menuju limfonodus seliakus.

FISIOLOGI EMPEDU

1. Pembentukan dan Komposisi Empedu


Hati memproduksi empedu terus menerus dan mengeluarkannya ke dalam canaliculi
empedu. Pada orang dewasa normalnya rata-rata menghasilkan dalam hati 500-1000 mL empedu
sehari dan volume maksimal dari kandung empedu hanya 30-60 ml. Namun ,umumnya sekresi
empedu selama 12 jam dapat disimpan didalam kandung empedu karena air , natrium, klorida
dan kebanyakan dari elektrolit kecil lainnya secara kontinu di absorbsi oleh mukosa kandung
empedu, mengkonsentrasikan konstituen empedu lainnya termasuk garam-garam empedu,
kolestrol, lesitin, dan bilirubin. Sebagian besar absorbsi ini disebabkan oleh transport aktif dari
natrium melalui epitel kandung empedu.
Sekresi empedu responsif terhadap neurogenik, humoral,dan rangsangan kimia. Empedu
terutama terdiri dari air, elektrolit, garam empedu, protein, lipid dan pigmen empedu. Natrium,
kalium, kalsium, dan klor memiliki konsentrasi yang sama dalam empedu seperti dalam plasma
atau cairan ekstraseluler. Garam-garam empedu primer, kolat dan chenodeoxycholate, disintesis
dalam hati dari kolesterol. Zat-zat tersebut terkonjugasi dengan taurin dan glisin, dan berperan
dalam empedu sebagai anion (asam empedu) yang di seimbangkan dengan natrium. Garam
empedu yang diekskresikan ke dalam empedu oleh hepatosit dan membantu dalam pencernaan
dan penyerapan lemak dalam usus.
Sekitar 95 persen dari asam empedu diserap kembali dan dikembalikan melalui sistem
portal vena ke hati, dan disebut sebagai sirkulasi enterohepatik. Lima persen diekskresikan dalam
tinja,merupakan jumlah yang relatif kecil empedu asam memiliki efek maksimum. Kolesterol
dan fosfolipid yang disintesis di hati adalah lipid utama ditemukan dalam empedu. Sintesis
fosfolipid dan kolesterol oleh hati diatur oleh asam empedu. Warna empedu adalah karena
adanya pigmen bilirubin diglucuronide, yang merupakan produk metabolisme dari pemecahan
hemoglobin, dan ditemukan dalam empedu dalam konsentrasi 100 kali lebih besar dari dalam
plasma. Setelah di usus, bakteri mengubahnya menjadi Urobilinogen, sebagian kecil dari yang
diserap dan dikeluarkan ke dalam empedu. Komposisi cairan empedu. Tabel dibawah ini
menunjukkan komposisi cairan empedu ketika disekresi pertama kali oleh hati dan kemudian
sesudah dikonsentrasikan dalam kandung empedu.

Komponen Empedu Hati Empedu GB

`Air 97,5 g% 92 g%

Garam-garam Empedu 1,1 g% 6 g%


Bilirubin 0,04 g% 0,3 g%
Kolestrol 0,1 g% 0,3-0,9 g%

Asam Lemak 0,12 g% 0,3-1,2 g%

Lesitin 0,04 g% 0,3 g%


Na+ 145 mEq/l 130 mEq/l
K+ 5 mEq/l 12 mEq/l

Ca+ 5 mEq/l 23 mEq/l

Cl- 100 mEq/l 25 mEq/l

HCO3- 28 mEq/l 10 mEq/l

Dari tabel diatas memperlihatkan bahwa substansi yang terbanyak disekresi pada empedu
adalah garam-garam empedu, yang merupakan setengah dari total solut empedu, namun yang
juga disekresi dan diekskresi oleh dalam konsentrasi besar adalah bilirubin, kolestrol, lesitin dan
elektrolit plasma. Sel hati membentuk sekitar 0,5 gram garam-garam empedu setiap harinya dan
prekursor dari garam-garam empedu adalah kolestrol , baik yang dipasok dari diet atau yang
disintesis pada sel-sel hati selama berlangsungnya metabolisme lemak dan kemudian diubah
menjadi asam kolik atau asam senodeoksikolik dalam jumlah yang setara. Asam-asam ini
selanjutnya berkombinasi dengan glisin dan Taurin untuk membentuk Gliko- dan konyugasi
tauro- asam empedu.garam dari asam ini akan disekresi dalam empedu.

Garam-garam empedu mempunyai dua aksi penting pada traktus intestinalis. Pertama,
garam-garam ini mempunyai aksi deterjen pada partikel lemak dalam makanan, yang
mengurangi ketegangan permukaan dari partikel dan memungkinkan agitasi dari traktus
intestinalis untuk mencegah globulus lemak menjadi potongan kecil. Proses ini disebut
emulsifikasi atau fungsi deterjen dari garam-garam empedu. Kedua, membantu absorbsi asam
lemak, monogliserida, kolestrol dan lipid lain dalam traktus intestinalis. Garam empedu
melakukan fungsi ini dengan membentuk kompleks-kompleks kecil dengan lipid; kompleks ini
disebut micelle dan sangat mudah larut karena muatan listrik dari garam empedu.

2. Fungsi kandung empedu


Kantong empedu, saluran empedu, dan sfingter Oddi bertindak bersama-sama untuk
menyimpan dan mengatur aliran empedu. Fungsi utama kandung empedu adalah untuk
mengkonsentrasikan dan menyimpan empedu dan hati untuk memberikan empedu ke duodenum
sebagai respon untuk makan.

3. Penyerapan dan sekresi


Dalam keadaan puasa, sekitar 80 persen dari empedu disekresi oleh hati adalah
disimpan di kantong empedu. Dengan cepat menyerap natrium, klorida, dan air terhadap
gradien konsentrasi yang signifikan, mengkonsentrasikan empedu sebanyak sepuluh kali lipat
dan menyebabkan perubahan yang nyata pada komposisi empedu. epitel sel-sel mensekresikan
empedu dua produk penting ke dalam lumen kandung empedu: glikoprotein dan ion hidrogen.
mukosa di infundibulum dan leher kandung empedu mengeluarkan lendir glikoprotein. Lendir ini
membuat"empedu putih" tidak berwarna yang terlihat pada hidrops kandung empedu yang
diakibatkan oleh obstruksi dari saluran empedu. Pengangkutan ion hidrogen didalam kantong
empedu epitel menyebabkan penurunan pH empedu kandung empedu. Pengasaman
mengakibatkan kelarutan kalsium, sehingga mencegah pengendapan sebagai garam kalsium.
4. Aktivitas motorik
Pengisian kandung empedu difasilitasi oleh kontraksi tonik dari sfingter Oddi, yang
menciptakan gradien tekanan antara saluran-saluran empedu dan kantong empedu. Menanggapi
makan, mengosongkan kandung empedu oleh respon motor terkoordinasi kontraksi kandung
empedu dan sfingter Oddi relaksasi. Salah satu rangsangan utama untuk pengosongan kandung
empedu adalah hormon cholecystokinin (CCK). CCKis di keluarkan secara endogen dari mukosa
duodenum sebagai respon terhadap makan. Ketika dirangsang oleh makan, kandung empedu
mengosongkan 50-70 persen dari isinya dalam 30-40 menit. Selama 60-90 menit berikutnya,
kantong empedu secara bertahap terisi ulang. Hal ini berkorelasi dengan berkurangnya tingkat
CCK.

5. Pengaturan Neurohormonal

Saraf vagus merangsang kontraksi kandung empedu(peningkatan sekresi empedu), dan


splanknikus stimulasi simpatik adalah penghambatan terhadap aktivitas motorik (mempengaruhi
penurunan sekresi empedu). Asam hidroklorik, sebagian digesti protein dan asam lemak yang
ada di duodenum merangsang peningkatan sekresi empedu. Hormon kolesistokinin (CCK) dari
mukosa usus halus yang disekresi karena pengaruh makanan berlemak atau produksi lipolitik
dapat merangsang nervus vagus. Distensi perut menyebabkan kontraksi kandung empedu baik
dan relaksasi sfingter Oddi.

Reseptor hormonal terletak di otot polos, pembuluh, saraf, dan epitel kandung empedu.
CCK adalah peptida yang berasal dari epitel sel dari saluran pencernaan bagian atas dan
ditemukan dalam konsentrasi tertinggi di duodenum. CCK bekerja langsung pada reseptor otot
polos kandung empedu dan merangsang kontraksi kandung empedu. Ini juga merelaksasikan
ujung dari saluran empedu, sfingter Oddi, dan duodenum.

ETIOLOGI KOLELITIASIS

Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.2
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu.3 Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah
kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan.

Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak
larut dan membentuk endapan di luar empedu. Pada metabolisme kolesterol yang normal,
kolesterol yang disekresi ke dalam empedu akan terlarut oleh komponen empedu yang memiliki
aktivitas detergenik seperti garam empedu dan fosfolipid (khususnya lesitin). Konformasi
kolesterol dalam empedu dapat berbentuk misel, vesikel, campuran misel dan vesikel atau
kristal. Pada keadaan supersaturasi, molekul kolesterol cenderung berada dalam bentuk vesikel
unilamelar yang secara perlahan-lahan akan mengalami fusi dan agregasi hingga membentuk
vesikel multilamelar (kristal cairan) yang bersifat metastabil. Agregasi dan fusi yang berlanjutan
akan menghasilkan kristal kolesterol monohidrat menerusi proses nukleasi dan lalu terbentuklah
batu empedu.

RIWAYAT PENYAKIT
Kebanyakan pasien dapat tanpa gejala batu empedu selama mereka hidup. Alasan yang
tidak diketahui beberapa pasien masuk ke tahap simptomatik, dengan kolik empedu disebabkan
oleh batu yang menghalangi duktus sistikus. Gejala penyakit batu empedu dapat berkembang
menjadi komplikasi yang berhubungan dengan batu empedu. Jarang, komplikasi dari batu
empedu di presentasikan. Batu empedu pada pasien tanpa gejala empedu biasanya didiagnosis
secara kebetulan. Sekitar 3 persen individu asimtomatik berkembang menjadi kolik empedu
setiap tahun. Setelah gejala, pasien cenderung mengalami serangan kolik bilier berulang.
Penyakit batu empedu dengan penyulit berkembang pada 3-5 persen pasien bergejala per tahun.
Sejak beberapa pasien mengalami komplikasi empedu dimana tanpa gejala sebelumnya,
profilaksis kolesistektomi pada Penderita batu empedu yang tanpa gejala jarang dilakukan.
Untuk pasien dewasa yang lebih tua dengan diabetes, individu dengan perawatan medis
untuk waktu yang lama, dan dalam populasi peningkatan risiko kanker kandung
empedu,kolesistektomi profilaksis merupakan tindakan yang direkomendasikan. Porcelain
kandung empedu, suatu kondisi premaligna langka dimana dinding kandung empedu menjadi
kalsifikasi, merupakan indikasi mutlak untuk kolesistektomi.
FAKTOR RESIKO

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :

1. Jenis Kelamin.

Wanita mempunyai resiko 2 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.

2. Usia

Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang
degan usia yang lebih muda.

3. Berat badan (BMI)

Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi (obesitas) mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/
pengosongan kandung empedu.

4. Makanan

Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu. Diet tinggi lemak dan rendah serat yang
mana menyebabkan hperlipidemia.
5. Riwayat keluarga

Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingkann
dengan tanpa riwayat keluarga.

6. Aktifitas fisik

Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

7. Penyakit usus halus

Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes,
anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik (Pengosongan lambung yang memanjang).

8. Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi (Dismotilitas kandung empedu), karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati
intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

9. Obat-obatan antihiperlipedmia (clofibrate)


10. Penyakit lain

Penyakit lain seperti Fibrosis sistik, Diabetes mellitus, sirosis hati, pankreatitis dan kanker
kandung empedu dan penyakit ileus (kekurangan garam empedu)
BAB III

PATOFISIOLOGI PEMBENTUKAN BATU EMPEDU

Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap:

(1) pembentukan empedu yang supersaturasi,

(2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan

(3) berkembang karena bertambahnya pengendapan.

Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu,
kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam
empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah nilai tertentu. Secara
normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam
bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh
mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan,
atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.

Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk
suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah,
mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan
untuk dipakai sebagai benih pengkristalan.

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan


kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan
dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu
menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi
infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan
ditutupi oleh organ intra abdominal (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut
yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat
sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.

Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus
juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.

Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.

1. Batu Kolesterol

Batu kolesterol murni jarang terjadi dan mencapai kurang dari 10 persen dari semua batu.
biasanya terjadi sebagai batu tunggal yang besar dengan permukaan halus. Kebanyakan batu
kolesterol lainnya mengandung jumlah bervariasi dari pigmen empedu dan kalsium, tapi lebih
dari 70 persen merupakan kolesterol. batu ini biasanya multipel, ukuran variabel, dan mungkin
sulit dan ireguller, berbentuk seperti murbei dan lembut. Warna terdiri dari kuning keputihan dan
hijau menjadi hitam. Sebagian besar batu kolesterol adalah radiolusen.

Umumnya pembentukan batu empedu adalah penjenuhan (supersaturasi) antara kolesterol


dengan empedu. Beberapa mekanisme yang berperan pada hipersekresi kolestrol biliaris antara
lain pada individu non-obes mempunyai kadar total kolestrol dan kolestrol bebas intraseluler
yang lebih tinggi . kondisi lain yang dihubungkan dengan sekresi kolestrol yang meningkat
adalah obesitas, umur, efek obat, dan terapi hormonal.

Mekanisme yang lain adalah supersaturasi biliaris dapat terjadi dengan hiposekresi asam
empedu relatif. Penurunan asam empedu dan kecepatan sekresi mungkin diakibatkan oleh
penurunan dan kehilangan produksi intestinal yang sangat besar. Pada pasien non-obese dengan
batu kolestrol, asam deoksikolat dan asam senodeoksikolat menurun , dan biasanya asam
deoksikolat meningkat dalam empedu. Konversi asam kolat menjadi asam deoksikolat
kemungkinannya terjadi di usus halus oleh bakteri koloni, dengan meningkatnya asam
deoksikolat dalam empedu maka sekresi kolesterol akan meningkat.

Sekresi asam empedu merupakan pencetus sekresi kolesterol dan fosfolipid, sebagaimana
sekresi asam-asam empedu secara aktif melawan gradien kedalam kanalikuli, juga merangsang
sekresi vesikel kolesterol dan fosfolipid kedalam empedu. Asam-asam empedu hidrofobik lebih
efektif dalam merangsang sekresi lemak, walaupun kecepatan maksimum sekresi lemak biliar
sama untuk semua asam-asam empedu. Dalam kanalikuli, konsentrasi asam-asam empedu
meningkat mencapai konsenterasi micellar dan menyebabkan konversi menjadi karier micellar
campuran.perubahan ini berlanjut sebagai suatu cara dinamik dalam duktulus, duktus, dan
kandung empedu. Persentase kolesterol relatif dialirkan kedalam fraksi micellar, begantung pada
kondisi fisiologis misalnya, pada kecepatan sekresi asam empedu menurun (puasa) , maka
bentuk yang predominan muncul adalah vesikel. Semakin tinggi konsenterasi asam empedu
dalam kandung empedu semakin banyak pembentukan micelle.

2. Batu pigmen

Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%
kolesterol. Batu pigmen mengandung kurang dari 20 persen kolesterol dan berwarna gelap
karena kandungan kalsium bilirubinate.. Seperti batu kolesterol, yang mana hampir selalu
terbentuk di kandung empedu. Ketika keadaan berubah yang menyebabkan peningkatan kadar
bilirubin deconjugated dalam empedu, presipitasi dengan kalsium terjadi.
Batu pigmen empedu dapat diklasifikasikan menjadi batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat ,
kedua batu tersebut mempunyai perbedaan menurut morfologi, patogenesis dan hubungan klinis.
Jenisnya antara lain:

a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)

Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-
bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis
dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi,
striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli,
kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas
dan asam glukoronat.

Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut, Endapan
kalsium bilirubinat dan badan sel bakteri membentuk bagian utama dari batu Dari penelitian
yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu
pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu
yang terinfeksi. Pada populasi Asia berhubungan secara sekunder terhadap infeksi parasit. Dalam
populasi Barat, batu coklat terjadi sebagai batu empedu primer saluran empedu pada pasien
dengan striktur atau batu empedu umum lainnya yang menyebabkan stasis dan kontaminasi
bakteri.

b. Batu pigmen hitam.

Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, rapuh seperti bubuk dan kaya
akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi. dibentuk oleh jenuh kalsium, karbonat bilirubinate dan
fosfat, paling sering sekunder untuk gangguan hemolitik herediter seperti sferositosis dan
penyakit sel sabit, dan pada pasien dengan sirosis. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari
derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu
pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.

3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
4. Biliary sludge

Presipitasi dalam empedu disebut dalam nama antara lain biliary sludge, mikrolitiasis,
dan pseudolitiasis. Sludge dapat didiagnosa baik dengan pemeriksaan mikroskop dengan sampel
empedu yang segar. Sludge juga dapat terlihat dengan ultrasonografi yang memakai low-
amplitude echoe tanpa postakustik shadow. Secara biokimi sludge disusun oleh granula kalsium
bilirubinat dan kristal-kristal kolestrol monohidrat yang melekat dalam jeli mucus. Kalsium-
kalsium tersebut mengendap bersama kristal kolestrol yang mempunyai diameter 50m
menghasilkan karakteristik ultrasonik.

5. Dekonjugasi biliruin
Bilirubin merupakan suatu kolesterol tetrapirol yang tak dapat larut dalam air. Setelah
glukoronidase , bilirubin disekresi kebanyakan adalam bentuk diglukoronida (75% 80%) atau
monoglukoronida (20%) dengan sejumlah kecil bilirubin unkonyugasi (3%), batu pigmen hitam
dan coklat mengandung garam-garam kalsium-bilirubin sebagai bukti pada patogenesis batu
pigmen terjadi dekonnyugasi dan presipitasi bilirubin.

Pada Pasien dengan hemolitik kronis terdapat peningkatan sebanyak sepuluh kali lipat
ekskresi bilirubin konyugasi dalam biliaris hepatis. Micelles campuran asam empedu dan
lingkungan yang asam memicu solubilisasi bilirubin Diduga hidrolisis bakteri - glukoronidase
dari bilirubin konyugasi kedalam bilirubin yang tak larut menyebabkan adanya hubungan antara
infeksi dan batu pigmen coklat, dimana agen penyebab dekonyugasi tersebut adalah Escherichia
Coli.

PENYAKIT BATU EMPEDU SIMPTOMATIK

1. Kolesistitis Kronis

Sekitar dua pertiga pasien dengan batu empedu dengan kolesistitis kronis
ditandai dengan serangan berulang berupa nyeri, sering tidak khas sebagai kolik empedu. Rasa
sakit terjadi ketika batu menghalangi duktus sistikus, sehingga peningkatan yang progresif dari
ketegangan pada dinding kandung empedu. perubahan proses patologi, bervariasi dari kandung
empedu tampaknya normal dengan peradangan kronis kecil di mukosa, ke kandung empedu.

Gejala klinis

Gejala utama batu empedu simtomatik adalah rasa sakit. Rasa sakit adalah konstan dan
meningkat dalam tingkat keparahan selama setengah dari jam pertama atau lebih dan biasanya
berlangsung 1-5 jam. nyeri didapatkan di epigastrium atau kuadran kanan atas dan sering
menjalar ke punggung atas kanan atau antara skapula tersebut. Rasa sakit parah dan datang pada
tiba-tiba, biasanya selama malam hari atau setelah makan makanan berlemak. sering dikaitkan
dengan mual dan kadang-kadang muntah. Rasa sakit ini episodik. Pasien menderita serangan rasa
sakit diantara keadaan yang baik. Pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran kanan atas
selama episode nyeri. Jika pasien tidak dalam periode sakit,pemeriksaan fisik biasanya tidak
ditemukan kelainan.
Nilai laboratorium, misalnya hitung leukosit dan tes fungsi hati, biasanya normal pada
pasien dengan batu empedu tanpa komplikasi. Presentasi atipikal penyakit batu empedu adalah
umum. Pada pasien dengan presentasi atipikal, kondisi lain dengan nyeri perut bagian atas harus
ditemukan. Ketika rasa sakit berlangsung lebih dari 24 jam, akibat dari batu pada kolesistitis akut
saluran atau fibrosis (lihat di bawah) harus dicurigai. akibat yang ditimbulkan dari obstruksi batu
ialah akan menghasilkan apa yang disebut hidrops dari kandung empedu. Empedu akan diserap,
tetapi epitel kandung empedu terus mengeluarkan lendir dan kantong empedu menjadi teregang
dengan bahan mucinous. Kolesistektomi dini umumnya diindikasikan untuk menghindari
komplikasi.

Diagnosis.

USG perut adalah tes diagnostik standar untuk batu empedu. Kadang-kadang hanya
terdapat lumpur di kantong empedu yang ditunjukkan pada ultrasonografi. Jika pasien
mengalami serangan berulang dari nyeri empedu yang khas dan lumpur terdeteksi pada dua atau
tiga kali, tindakan kolesistektomi merupakan pilihan utama.
Selain lumpur dan batu, cholesterolosis dan adenomyomatosis dari kandung empedu dapat
menyebabkan gejala empedu khas dan dapat terdeteksi pada USG. Pada pasien simtomatik,
kolesistektomi adalah pengobatan pilihan untuk pasien dengan kondisi ini.

Penatalaksanaan.

Pasien dengan batu empedu simtomatik disarankan untuk dilakukan tindakan laparoskopi
kolesistektomi elektif. Sambil menunggu operasi, atau jika operasi harus ditunda, pasien harus
disarankan untuk menghindari makanan berlemak dan makanan dengan porsi yang besar. Pasien
diabetes dengan batu empedu simtomatik seharusnya dilakukan tindakan kolesistektomi segera,
karena mereka lebih rentan untuk menderita kolesistitis akut yang lebih parah. Wanita hamil
dengan batu empedu simtomatik yang tidak bisa dikelola dengan modifikasi diet, dapat
dilakukan tindakan laparoskopi kolesistektomi selama trimester kedua. Laparoskopi
kolesistektomi merupakan prosedur yang aman dan efektif pada anak dan pada orang dewasa
yang lebih tua.

Kolesistektomi, terbuka atau laparoskopi, untuk pasien dengan batu empedu simtomatik
memberikan hasil jangka panjang yang sangat baik. Sekitar 90 persen pasien dengan gejala khas
dan empedu batu tersebut bebas dari gejala setelah kolesistektomi. Untuk pasien dengan atipikal
atau gejala dispepsia (perut kembung, bersendawa, kembung, dan intoleransi makanan berlemak)
hasilnya kurang baik.

2. Kolesistitis Akut

Patogenesis

Kolesistitis akut adalah sekunder terhadap batu empedu pada 90-95 persen kasus.
Kolesistitis akut acalculous adalah kondisi yang biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit
sistemik akut lain. kurang dari 1 persen dari kolesistitis akut, penyebabnya adalah tumor yang
menghalangi saluran empedu. Obstruksi duktus sistikus oleh batu empedu adalah kejadian awal
yang mengarah pada distensi kandung empedu, radang, dan edema dinding kandung empedu.
Awalnya, kolesistitis akut adalah proses inflamasi.

Kontaminasi bakteri sekunder merupakan kejadian di lebih dari satu setengah dari pasien
yang menjalani kolesistektomi dini untuk kolesistitis akut tanpa komplikasi. Dalam kolesistitis
akut dinding kandung empedu menjadi menebal dan kemerahan dengan perdarahan subserosal.
Cairan Pericholecystic sering ditemukan. Mukosa empedu dapat menunjukkan nekrosis
hiperemia. Pada kasus yang berat, sekitar 5-10 persen, proses inflamasi berlangsung dan
menyebabkan iskemia dan nekrosis dari dinding kandung empedu.

Ketika kandung empedu tetap sumbat dan infeksi sekunder bakteri, kolesistitis akut
gangrenosa terjadi dan abses atau empiema terbentuk di dalam kantong empedu. perforasi pada
daerah iskemik jarang terjadi. Perforasi biasanya terjadi pada area subhepatic.

Manifestasi klinis
Sekitar 80 persen pasien dengan kolesistitis akut memberikan riwayat yang sesuai dengan
kolesistitis kronis. Kolesistitis akut dimulai sebagai serangan kolik bilier, tetapi berbeda dengan
kolik bilier pada kolsistitis kronik, rasa sakit tidak mereda, melainkan tak henti-hentinya dan
dapat bertahan selama beberapa hari. sering ditemukan pada pasien adalah demam, anoreksia,
mual, dan muntah, dan enggan untuk bergerak, sebagai proses inflamasi yang mempengaruhi
peritoneum parietalis. pada pemerikasaan fisik, fokus nyeri biasanya didapatkan perut kuadran di
kanan atas. Massa tersebut, omentum dan kandung empedu, kadang-kadang dapat teraba.
Murphy sign, dimana pemeriksaan dengan tekanan pada perut kuadran kanan atas lalu pasien
diminta untuk inspirasi maksimal,dan didapatkan nyeri pada pasien adalah karakteristik dari akut
kolesistitis.
leukositosis ringan sampai sedang (12,000-15,000 sel/mm3) biasanya ditemukan. Namun,
beberapa pasien mungkin memiliki hitung leukosit normal. SGOT/SGPT biasanya normal,
serum bilirubin meningkat sedang, kurang dari 4 mg / mL, dapat ditemukan bersama
peningkatan ringan fosfatase alkali, transaminase, dan amilase. ikterus yang parah secara umum
dapat menandakan penyakit batu empedu atau obstruksi saluran empedu oleh impaksi dari batu
di infundibulum kandung empedu yang mana mekanis menghalangi saluran empedu (Mirizzi
syndrome). pada dewasa dengan usia yang lebih tua dengan diabetes mellitus, kolesistitis akut
mungkin memiliki presentasi penyakit yang ringan yang mengakibatkan keterlambatan dalam
diagnosis. Insiden komplikasi lebih tinggi pada pasien ini, yang juga memiliki sekitar sepuluh
kali lipat angka kematian dibandingkan dengan pasien yang lebih muda dan sehat.

Diagnosis
Ultrasonografi adalah tes radiologis yang paling berguna untuk mendiagnosa kolesistitis
akut. Memiliki sensitivitas dan spesifisitas 95 persen. pemeriksaan Ini akan menunjukkan
penebalan dinding kandung empedu dan cairan pericholecystic. fokus nyeri tekan di atas kantong
empedu ketika dikompresi oleh probe sonografi (sonografi Murphy sign) juga dapat menandakan
kolesistitis akut. bilier radionuklida scanning (HIDA scan) mungkin bisa membantu dalam kasus
atipikal. CT scan sering dilakukan pada pasien dengan nyeri perut akut. Ini menunjukkan
penebalan dinding kandung empedu, cairan pericholecystic, dan adanya batu empedu dan udara
di dinding kandung empedu, tetapi kurang sensitif dibandingkan USG

Pengobatan
Pasien yang datang dengan kolesistitis akut perlu pasokan cairan intravena, antibiotik,
dan analgesik. Antibiotik yang harus mencakup Gram negative, aerob dan anaerob. Meskipun
peradangan pada kolesistitis akut steril pada beberapa pasien, lebih dari satu setengah akan
memiliki hasil kultur yang positif dari empedu kandung empedu. Kolesistektomi adalah
pengobatan definitif untuk kolesistitis akut. kolesistektomi yang segera dilakukan dalam 2-3 hari
perjalanan penyakit lebih direkomendasikan daripada kolesistektomi elektif yang dilakukan 6-10
minggu setelah awal medis pengobatan dan penyembuhan. Kolesistektomi segera menawarkan
pasien solusi definitif untuk masuk rumah sakit, waktu pemulihan lebih cepat, dan secepatnya
kembali ke aktivitas semula.
Kolesistektomi laparoskopi adalah prosedur pilihan untuk kolesistitis akut. Tingkat
konversi ke kolesistektomi terbuka lebih tinggi (10-15 persen) pada kolesistitis akut
dibandingkan dengan kolesistitis kronis. Prosedur ini lebih membosankan dan memakan waktu
lebih lama daripada di pengaturan elektif. Ketika pasien datang, terlambat setelah 3-4 hari dari
awalnya penyakit, atau karena alasan tertentu tidak layak untuk operasi, mereka ditherapi dahulu
dengan antibiotik dengan laparoskopi kolesistektomi dijadwalkan sekitar 2 bulan kemudian.
sekitar 20 persen pasien gagal pada terapi medis awal dan memerlukan intervensi.
Bagi mereka yang tidak layak untuk operasi, cholecystostomy perkutan atau
sebuah cholecystostomy terbuka di bawah analgesia lokal dapat dilakukan. kegagalan
cholecystostomy biasanya adalah karena gangren kandung empedu atau perforasi. Untuk pasien
ini, operasi tidak dapat dihindari. Bagi mereka yang merespon setelah cholecystostomy, tabung
dapat dibuang setelah kolangiografi melalui itu yang mana menunjukkan cysticus patent ductus.
Kolesistektomi laparoskopik mungkin kemudian dijadwalkan dalam waktu dekat.

3. Koledokolitiasis
Batu duktus koledokus mungkin kecil atau besar, tunggal atau ganda, dan ditemukan
pada 6-12 persen dari pasien dengan batu di kantong empedu. kejadian meningkat dengan usia.
Sekitar 20-25 persen pasien lebih tua dari usia 60 dengan batu empedu simtomatik memiliki batu
di duktus koledokus dan dalam kandung empedu. Sebagian besar kasus di negara barat terbentuk
dalam kandung empedu dan bermigrasi ke duktus sistikus dan ke saluran empedu. Ini
diklasifikasikan sebagai batu duktus koledokus sekunder.

Manifestasi klinis.
Batu Choledochal dapat ditemukan tanpa gejala dan sering ditemukan kebetulan. Mereka
dapat menyebabkan obstruksi, lengkap atau tidak lengkap, atau mereka mungkin bermanifestasi
dengan cholangitis atau pankreatitis batu empedu. Rasa sakit yang disebabkan oleh batu di
saluran empedu mirip dengan kolik bilier. umumnya didapatkan gejala Mual dan muntah.
Pemeriksaan fisik mungkin normal, tetapi bisa juga didapatkan nyeri ringan pada epigastrium
dan abdomen kuadran kanan atas dan ikterus ringan umumnya ditemukan.
Gejala mungkin juga hilang timbul, seperti nyeri dan ikterus transien yang disebabkan
oleh batu yang menyumbat di ampula tetapi kemudian bergeser dan hanya menyumbat
sementara. Sebuah batu kecil dapat melewati ampula secara spontan dengan resolusi dari gejala
klinis. Akhirnya batu bisa menjadi benar-benar menyumbat, menyebabkan ikterus progresif yang
lebih parah. Peningkatan serum bilirubin, alkali fosfatase, dan transaminase biasanya terlihat
pada pasien dengan batu saluran empedu. Namun, terdapat sekitar sepertiga dari pasien dengan
batu saluran empedu,didapatkan nilai kimiawi hati normal.
Pada pemeriksaan fisik awal, ultrasonografi berguna untuk mendokumentasikan batu di
kantong empedu, dan menentukan ukuran saluran empedu umum. sebagai batu dalam saluran
empedu cenderung bergerak turun ke bagian distal, gas di saluran pencernaan dapat menghalangi
pada pemeriksaan ultrasonografi. pembesaran pada saluran empedu (diameter > 8mm) pada
pemeriksaan ultrasonografi pada pasien dengan batu empedu, ikterus, dan sakit sekitar empedu
sangat medukung ke diagnosis batu saluran empedu. Magnetic resonance kolangiografi (MRC)
memberikan gambaran anatomi yang sangat baik dan memiliki sensitivitas dan spesifisitas 95
dan 89 persen, masing-masing, dalam mendeteksi choledocholithiasis. Kolangiografi Endoskopi
adalah gold standar untuk mendiagnosa batu saluran empedu umum.
Pemeriksaan ini memiliki keuntungan yang berbeda yang mana memberikan pilihan
terapi pada saat diagnosis. Dengan pengalaman dan ketramapilan, kanulas ampula Vateri dan
diagnostik kolangiografi tercapai di lebih dari 90 persen kasus, dengan morbiditas didapatkan
kurang dari 5 persen (terutama kolangitis dan pankreatitis).
Percutaneous transhepatik kolangiografi (PTC) jarang dilakukan pada pasien dengan batu
saluran empedu sekunder umum, tapi sering dilakukan untuk alasan baik diagnostik dan terapi
pada pasien dengan batu saluran empedu utama.
BAB IV
PENUNJANG DIAGNOSTIK

1. Laboratorium Darah
Peningkatan hitung sel darah putih (WBC) dapat menunjukkan atau meningkatkan
kecurigaan kolesistitis. Jika dikaitkan dengan peningkatan bilirubin terkonjugasi, alkali
fosfatase, dan aminotransferase, cholangitis harus dicurigai. Cholestasis, suatu obstruksi aliran
empedu, ditandai dengan peningkatan bilirubin dan peningkatan fosfatase alkali.
Aminotransferase serum mungkin normal atau agak tinggi. Pada pasien dengan biliary colic, tes
darah biasanya normal.
2. Ultrasonografi
USG adalah pemeriksaan awal setiap pasien yang dicurigai menderita penyakit dari
saluran empedu. pemerikasaan ini tergantung pada keterampilan dan pengalaman operator.
Organ yang berdekatan sering dapat diperiksa pada waktu yang bersamaan. Pasien obesitas,
pasien dengan asites, dan pasien dengan usus buncit mungkin sulit untuk dilakukan pemeriksaan
dengan USG. USG akan menunjukkan batu dalam kantong empedu dengan sensitivitas dan
spesifisitas lebih dari 90 persen. batu adalah akustik padat dan memantulkan gelombang USG
kembali ke transduser ultrasonik.
Karena batu tersebut menghambat perjalanan gelombang suara untuk daerah di belakang
mereka, maka menghasilkan pula bayangan akustik. Batu juga bergerak dengan perubahan
posisi. Beberapa batu membentuk lapisan di kandung empedu, yang lainnya sedimen atau
lumpur. Penebalan dinding dan nyeri lokal disekitar kandung empedu menunjukkan kolesistitis.
Pasien dinyatakan kolesistitis akut jika lapisan edema terlihat dalam dinding kandung empedu
atau antara kandung empedu dan hati. Ketika batu menghalangi leher kandung empedu, kandung
empedu dapat menjadi sangat besar, tapi memiliki dinding yang tipis. Penebalan pada dinding
kandung empedu menunjukkan kolesistitis kronis. Saluran empedu ekstrahepatik juga baik
divisualisasikan oleh USG, kecuali untuk bagian retroduodenal. Pelebaran saluran pada pasien
dengan ikterus dapat diarahkan ke diagnosis suatu obstruksi ekstrahepatik. Umumnya letak, dan
kadang-kadang penyebab obstruksi dapat ditentukan dengan USG. Batu kecil di saluran empedu
sering ditemukan bersarang di distal, di belakang duodenum, dan karena itu sulit untuk dideteksi.
Tumor periampular sulit untuk terdiagnosa pada USG, tapi di luar dari pada bagian
retroduodenal, tingkat obstruksi dan penyebabnya dapat digambarkan
cukup baik. USG dapat membantu dalam mengevaluasi invasi tumor dan aliran dalam vena
portal, yang mana merupakan sebuah pedoman penting untuk menetukan resectabilitas dari
tumor periampula.
3. Cholecystography oral
Cholecystography Oral melibatkan pemberian senyawa radiopak peroral
yang diserap, diekskresikan oleh hati, dan masuk ke kantong empedu. batu
terlihat pada film sebagai filling defect dalam kandung empedu, divisualisasikan opac.
Cholecystography oral tidak dapat dinilai pada pasien dengan malabsorpsi usus, muntah, ikterus
obstruktif, dan gagal hati.
4. Computed Tomography
Computed tomography (CT) scan abdomen kalah dengan ultrasonografi dalam
mendiagnosis batu empedu. CT scan adalah tes pilihan dalam mengevaluasi pasien dengan
keganasan yang diduga berasal dari kandung empedu, sistem empedu ekstrahepatik,atau organ
terdekat, khususnya kaput pankreas. Penggunaan CT scan merupakan bagian integral dari
diagnosis diferensial dari ikterus obstruktif.
5. Percutaneous transhepatik cholangiography
Sebuah saluran empedu intrahepatik diakses perkutan dengan jarum kecil di bawah
bimbingan fluoroscopic. Setelah posisi dalam saluran empedu telah dikonfirmasi, sebuah
kawat pemandu dilewatkan dan kemudian kateter melewati kawat. Melalui kateter,
cholangiogram dapat dilakukan dan terapi intervensi dilakukan, seperti menyisipkan saluran
empedu dan penempatan stent. Percutaneous transhepatik kolangiografi sangat berguna pada
pasien dengan striktur duktus empedu dan tumor, karena memperlihatkan anatomi saluran
empedu proksimal.
6. Magnetic Resonance Imaging
Dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dengan teknik-teknik baru
dan kontras, gambar anatomi yang akurat dapat diperoleh dari saluran-saluran empedu dan
saluran pankreas. Memiliki sensitivitas dan spesifisitas 95 dan 89 persen, masing-masing, dalam
mendeteksi choledocholithiasis. Jika tersedia, MRI dengan magnet resonansi
Kolangiopankreatografi (MRCP) menawarkan tes noninvasif tunggal untuk diagnosis saluran
empedu dan penyakit pankreas.
7. Pemeriksaan Radiologis

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya
sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos.
BAB V

PENATALAKSAAN

Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-
timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak..
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan
perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu
(kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan
setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.

1. Konservatif (Disolusi medis)

Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol.
Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan
hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu
tejadi pada 50% pasien.10 Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini an sukses. 2 Disolusi
medis sebelumnya harus memenuhi criteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol
diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik
paten.

Asam ursodeoksikolat digunakan secara luas untuk pengobatan berbagai jenis penyakit
kandung empedu. Asam ursodeoksikolat adalah dihydroxy bile acid (3a,7b-dihydroxy-5b-
cholanic acid)Yang mana secara normal ditemukan pada kandung empedu manusia dalam
konsentrasi rendah (3% dari total asam empedu) Penyerapan, sirkulasi enterohepatik dan
metabolisme asam ursodeoksikolat.
Setelah intake oral, Asam ursodeoksikolat di serap secara pasif dengan cara difusi non
ionic yang terutama terjadi di usus halus. Disolusi Asam ursodeoksikolat dalam jejunum
proksimal terjadi dengan cara solubilisasi dalam micelles pada asam empedu endogen.
Penyerapan Asam ursodeoksikolat dapat di tingkatkan ketika pasien di berikan makan dan bisa di
kurangkan pada pasien dengan penurunan sekresi asam empedu.
Setelah di uptake ke hati, Asam ursodeoksikolat di konjugasikan, secara utama dengan
glisin dan sebagian kecil dengan taurin, dan secara aktiv di sekresi ke dalam saluran empedu.
Asam ursodeoksikolat yang terkonjugasi diserap terutama oleh ileum distal, Asam
ursodeoksikolat yang tidak terserap akan melewati kolon dan dikonversi oleh bakteri menjadi
asam lithokolik. Asam lithokolik tidak dapat larut dalam isi kolon dan di keluarkan bersama
dengan feses.
Mekanisme kerja dari Asam ursodeoksikolat:
(1) melindungi kolangiosit yang cidera dalam melawan toksisitas asam empedu
(2) menstimulasi detoksifikasi dari asam empedu hidrofobik
(3) menghambat proses apoptosis dari hepatosit
Asam empedu hidrophobik merusak membrane sel dan memiliki sifat sitotoksik.
Pengobatan dengan Asam ursodeoksikolat membuat komposisi asam empedu menjadi kurang
hidrofobik dan menjadi lebih hidrofilik dan mengurangi potensi perburukan dari penyakit saluran
empedu primer. Asam ursodeoksikolat juga melindungi kolangiosit dengan mengurangi uptake
apical dan menstimulasi basolateral efflux dari asam empedu dan mengurangi konsentrasi asam
empedu hidrofobik, demikian menurunkan toksisitas intraselular. Efek Asam ursodeoksikolat
pada kolangiosit secara nyata di mediasikan oleh Ca++ dan mekanisme protein kinase C a
(PKCa).
Semua jenis kolestasis di gambarkan sebagai terganggunya sekresi atau aliran dari saluran
empedu. sebagai konsekuensinya, asam empedu dapat mengakibatkan toksisitas pada system
hepatobilier,yang mana dapat menyebabkan cedera hepatosit, apoptosis dan nekrosis. Dalam
hewan percobaan Asam ursodeoksikolat menstimulus sekresi asam empedu dan mengatasi
kolestasis yang disebabkan oleh asam empedu yang hidrofobik. Penelitian terbaru oleh Bo
Angelin, menilai karakteristik Asam ursodeoksikolat pada batu kolesterol pada saluran empedu.
15 pasien kolelitiasis di terapi dengan Asam ursodeoksikolat dengan dosis perhari 15 rid/KgBB
selama 4 minggu sebelum dilakukan operasi kolesistektomi. Dimana saat operasi dilakukan
biopsy liver, kandung empedu dan duktus hepatikus.
18 pasien tanpa pengobatan dengan Asam ursodeoksikolat dilakukan operasi klesistektomi
dijadikan sebagai control. Saat dilakukan pengobatan dengan Asam ursodeoksikolat, asam
empedu menjadi tidak terikat dengan kolesterol pada semua pasien yang di investigasi. Kadar
lemak total tidak megalami perubahan pada pasien yang di investigasi. Tidak terdapat perubahan
yang signifikan pada aktivitas mikrosomal HMG CoA reductase (38.5 f 6.7 pmol- min/mg
protein vs 38.3 f 4.7 pmol min/mg protein). Konsentrasi kolesterol total pada plasma mengalami
penurunan sekitar 10%, dan peningkatan HDL menjadi 15% dan LDL kurang lebih 15%.
Trigliserda plasma tidak mengalami perubahan saat pengobatan dengan Asam ursodeoksikolat.
Disimpulkan bahwa, pengobatan Asam ursodeoksikolat memberikan hasil tidak terikatnya asam
empedu dengan kolesterol dan tidak berhubungan dengan penurunan ativitas HMG CoA
reductase hepatik. Peningkatan LDL plasma tidak ditemukan pada pengobatan dengan Asam
ursodeoksikolat.

2. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis :

1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus

3. Kolik bilier

4. Kolesistitis akut

5. Perikolesistitis

6. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga

7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis

9. Hidrop kandung empedu

10. Empiema kandung empedu

11. Fistel kolesistoenterik

12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu
muncul lagi) angga

13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)

BAB VI
INTERVENSI OPERATIF UNTUK PENYAKIT BATU EMPEDU

1 Cholecystostomy
Decompresi pada Acholecystostomy dan drainase distensi dari kandung
empedu,peradangan, hidropik, atau purulensi. USG dipandu drainase perkutan dengan kateter
adalah prosedur pilihan. Dengan melewati kateter melalui hati, risiko terjadinya kebocoran
empedu akibat kateter diminimalkan. Kateter dapat di lepaskan ketika peradangan telah
diselesaikan dan kondisi pasien membaik.

2 Kolesistektomi
Kolesistektomi adalah prosedur paling umum dilakukan di negara-negara Barat.
Kolesistektomi terbuka adalah pengobatan yang aman dan efektif untuk kolesistitis akut dan
kronis. Pada tahun 1987, laparoskopi kolesistektomi diperkenalkan. saat ini kolesistektomi
laparoskopik merupakan pengobatan pilihan batu empedu simtomatik. Batu empedu simtomatik
adalah indikasi utama untuk kolesistektomi.
kontraindikasi mutlak untuk prosedur ini adalah koagulopati yang tidak terkontrol dan
stadium akhir penyakit hati. Ketika struktur anatomi yang penting tidak dapat dengan jelas
diidentifikasikan atau ketika tidak ada kemajuan dari proses operasi, konversi untuk prosedur
kolesistektomi terbuka biasanya menjadi pilihan. konversi untuk prosedur terbuka diperlukan di
sekitar 5 persen pasien. prosedur operasi darurat mungkin memerlukan keterampilan lebih dari
ahli bedah, dan diperlukan pasien pasien dengan penyakit batu empedu dengan keadaan yang
rumit; kejadian konversi 10-30 persen.
Komplikasi yang serius jarang terjadi. Tingkat kematian pada laparoskopi kolesistektomi
adalah sekitar 0,1 persen. Luka infeksi dan cardiopulmonary memiliki tingkat komplikasi yang
lebih rendah dengan prosedur laparoskopi kolesistektomi dibandingkan dengan prosedur
kolesitektomi terbuka, di mana luka pada saluran empedu lebih ringan. Pasien yang menjalani
kolesistektomi harus memiliki jumlah darah lengkap (CBC) dan tes fungsi hati sebelum operasi.
Profilaksis terhadap trombosis vena dengan baik heparin molekul ringan-heparin molekul berat.

3 Laparoskopi Kolesistektomi
Pasien diposisikan terlentang di meja operasi dan ahli bedah berdiri di
samping kiri pasien. Pneumoperitoneum dibuat dengan karbon dioksida
gas, baik dengan teknik terbuka atau dengan teknik jarum tertutup. sekali
pneumoperitoneum sudah adekuat, sebuah trocar 10-mm dimasukkan melalui
sayatan supraumbilical. Laparoskop dengan kamera video dimasukkan
melewati port umbilikus dan perut diperiksa. tiga tambahan port ditempatkan di bawah
penglihatan langsung.
Melalui port-lateral, paling orang tamak yang digunakan untuk memahami kantong
empedu fundus. Diseksi dimulai di persimpangan kandung empedu dan duktus sistikus. Sebuah
anatomi landmark yang membantu adalah simpul arteri kistik getah bening. peritoneum, lemak,
dan jaringan areolar longgar di sekitar kandung empedu dan duktus sistikus-kantong empedu
jungtion yang dibedah ke arah saluran empedu. langkah berikutnya adalah identifikasi arteri
fibrosis, yang mana biasanya berjalan sejajar dan agak di belakang duktus sistikus.
Sebuah duktus sistikus lebar mungkin terlalu besar untuk klip, membutuhkan penempatan
ligatur lingkaran pretied untuk menutup. arteri duktus sistikus ini kemudian dipotong dan
dipisahkan. Akhirnya, kantong empedu ini terdiseksi dari fossa kandung empedu, dengan
menggunakan gunting dengan elektrokauter. kandung empedu diangkat melalui sayatan
umbilikal. Jika kandung empedu mengalami radang akutatau gangren, atau jika kandung empedu
mengalami perforasi, ditempatkan dalam kantong pengambilan sebelum dikeluarkan dari perut.
Susction tertutup untuk drainase dapat ditempatkan 5-mm dan diposisikan di bawah
lobus kanan hati dekat dengan fosa kandung empedu.

4 Cholangiogram intraoperatif atau USG


Saluran-saluran empedu yang divisualisasikan di bawah fluoroskopi dengan
menyuntikkan kontras melalui kateter ditempatkan dalam duktus sistikus. intraoperatif
kolangiografi rutin akan mendeteksi batu di sekitar 7 persen pasien, dan menguraikan anatomi
dan mendeteksi cedera. Sebuah cholangiogram intraoperatif selektif dapat dilakukan ketika
pasien memiliki riwayat fungsi hati yang abnormal, pankreatitis, ikterus, batu duktus kecil dan
besar, saluran melebar pada pra operasi ultrasonografi, dan jika pra operasi endoskopi
kolangiografi karena alasan di atas tidak berhasil. Laparoskopi USG adalah sebagai akurat dalam
mendeteksi kolangiografi intraoperatif saluran empedu batu dan kurang invasif, namun
membutuhkan keterampilan lebih untuk melakukan dan menginterpretasikan.

5 Choledochal Eksplorasi
Umum saluran batu empedu yang terdeteksi intraoperatively pada intraoperatif
kolangiografi atau ultrasonografi dapat ditangani dengan laparoskopi choledochal
eksplorasi sebagai bagian dari prosedur kolesistektomi laparoskopi.
Pasien dengan batu saluran empedu umum terdeteksi sebelum operasi, tetapi endoskopi
clearancewas baik tidak tersedia atau tidak berhasil, juga harus memiliki duktal mereka
batu dikelola selama kolesistektomi tersebut.
Jika batu-batu di saluran kecil, mereka kadang-kadang dapat memerah ke duodenum
dengan irigasi saline melalui kateter kolangiografi setelah
sfingter Oddi telah santai dengan glukagon. Dengan mengelola empedu
batu saluran pada saat kolesistektomi, pasien dapat memiliki semua
penyakit batu empedu mereka diobati dengan satu prosedur invasif. Memang, bagaimanapun,
tergantung pada keahlian bedah yang tersedia. Choledochal Drainase Prosedur Jarang, ketika
batu tidak bisa dibersihkan dan / atau ketika saluran sangat melebar (lebih besar dari 1,5 cm),
prosedur drainase choledochal adalah dilakukan.
6 Transduodenal sphincterotomy
Pada kebanyakan kasus, sphincterotomy endoskopi telah menggantikan terbuka
transduodenal sphincterotomy. Jika prosedur terbuka untuk batu saluran empedu umum adalah
dilakukan di mana batu-batu yang terkena dampak, berulang, atau ganda, transduodenal
pendekatan mungkin layak. Duodenum yang menorehkan melintang.
Sfingter kemudian yang menorehkan pada posisi jam 11 untuk menghindari cedera pada
saluran pankreas. Batu-batu berdampak dikeluarkan seperti juga batu-batu besar dari
saluran.

BAB VII
PENYAKIT BENIGNA DAN LESI LAINNYA

1. Kolesistitis akalkulus
Inflamasi akut kandung empedu dapat terjadi tanpa batu dalam empedu. Kolesistitis
akalkulus biasanya berkembang pada pasien dengan sakit kritis di ruang perawatan intensif.
Penyebabnya tidak diketahui, distensi kandung empedu dengan stasis dari empedu dan iskemia
merupakan faktor penyebab. Gejala dan tanda tergantung pada kondisi pasien, tetapi pada pasien
yang mengalami serangan yang parah, gejalanya mirip dengan kolesistitis calculous akut. Dalam
pembiusan atau pada pasien yang tidak sadar, gambaran klinis dapat menipu. riwayat demam,
leukositosis, elevasi alkaline phosphatase dan bilirubin indikasi untuk penyelidikan lebih lanjut.
Ultrasonografi biasanya tes diagnostik pilihan.
CT scan abdomen sensitif seperti ultrasonografi dan memungkinkan memvisualisasikan
rongga perut dan dada. HIDA scan tidak dapat memvisualisasikan kantong empedu. Kolesistitis
Acalculous memerlukan intervensi segera. percutaneous USG atau cholecystostomy yang
dipandu CT scan adalah pilihan perawatan untuk ini pasien, karena mereka biasanya tidak layak
untuk di operasi terbuka. Sekitar 90 persen pasien ditangani dengan cholecystostomy perkutan.
Namun, jika tidak memungkinkan atau prosedur tersebut gagal, langkah-langkah lain, seperti
cholecystostomy terbuka atau kolesistektomi, mungkin dilakukan.

2. Kista biliaris
Kista Choledochal adalah dilatasi duktus sistikus bawaan dari ekstrahepatik dan /atau
saluran empedu intrahepatik . angka kejadian adalah antara 1:100.000 dan 1:150,000. Kista
Choledochal pada perempuan adalah tiga sampai delapan kali lebih sering daripada laki-laki.
Meskipun sering didiagnosis pada masa bayi atau masa kanak-kanak, sebanyak satu setengah
dari pasien terdiagnosis pada saat dewasa. penyebabnya tidak diketahui. Kista Choledochal
diklasifikasikan menjadi lima jenis.
Kista dilapisi dengan epitel kuboid dan dapat bervariasi dalam ukuran dari 2 cm sampai
kista raksasa pada orang Dewasa umumnya gejala yang tamapk berupa ikterus atau kolangitis.
Kurang dari satu setengah pasien memperlihatkan gejala klinis berupa triad klinis klasik dari
sakit perut, ikterus, dan massa. Ultrasonografi atau CT scan akan mengkonfirmasi diagnosis,
tetapi endoskopi, transhepatik, atau MRC diperlukan untuk menilai anatomi empedu dan untuk
perencanaan tindakan pembedahan yang sesuai. Untuk jenis I, II, dan IV, eksisi dari saluran
empedu ekstrahepatik, termasuk kolesistektomi, dengan Roux-en-Y hepaticojejunostomy
merupakan prosedur yang ideal. Dalam tipe IV, reseksi segmental tambahan pada jaringan hati
mungkin dapat dilakukan, terutama jika batu intrahepatik, striktur, atau terbentuk abses, atau jika
dilatasi terbatas pada satu lobus.
Risiko cholangiocarcinoma berkembang mejadi kista choledochal setinggi 15 persen
pada orang dewasa, dan mendukung eksisi keseluruhan ketika diagnosis ditegakkan. untuk tipe
III, prosedur sphincterotomy direkomendasikan.

3. Sclerosing Cholangitis
Sclerosing cholangitis adalah penyakit yang jarang ditemukan yang ditandai dengan
inflamasi dan striktur yang melibatkan saluran empedu intrahepatik dan ekstrahepatik.
merupakan progresif penyakit yang progresif akhirnya menyebabkan sirosis bilier sekunder.
kadang-kadang, striktur saluran empedu menjadi penyebab sekunder untuk terjadinya batu
saluran empedu, cholangitis akut, post operasi batu saluran empedu, atau agen toksik, dan
disebut sebagai sclerosing cholangitis sekunder.
Sclerosing cholangitis primer adalah penyakit yang berdiri sendiri, tanpa penyebab yang
berhubungan pasti. Hal ini terkait dengan kolitis ulseratif di sekitar dua pertiga dari pasien.
Penyakit lain yang terkait dengan sclerosing cholangitis termasuk tiroiditis Riedel dan fibrosis
retroperitoneal. pasien dengan kolangitis sklerosis beresiko untuk mengembangkan
cholangiocarcinoma.akhirnya 10-20 persen dari pasien akan berkembang menjadi kanker. Usia
rata-rata penderita penyakit ini adalah 30-45 tahun dan laki-laki umumnya beresiko terkena dua
kali dibanding perempuan.
Presentasi yang umum tempak adalah ikterus yang intermiten, kelelahan, penurunan berat
badan, gatal-gatal, dan sakit perut. Pada beberapa pasien dengan kolitis ulseratif, tes fungsi hati
yang abnormal ditemukan pada pemeriksaan rutin dapat menegakkan untuk diagnosis. Gejala
klinis di sclerosing cholangitis sangat bervariasi, tetapi remisi dan eksaserbasi siklik yang khas.
Namun, beberapa pasien dapat ditemukan tanpa gejala selama bertahun-tahun, meskipun yang
lain berlanjut cepat dengan inflamasi obliteratif dengan perubahan yang mengarah ke sirosis
bilier sekunder dan kegagalan hati. Kelangsungan hidup rata-rata untuk pasien dengan
cholangitis sclerosing primer berkisar dari 10 sampai 12 tahun, dan sebagian besar meninggal
karena kegagalan hati.
Presentasi klinis dan peningkatan alkali fosfatase dan bilirubin mungkin dapat
mengarahkan diagnosis, tetapi ERC, memberikan gambaran berupa dilatations dan striktur dari
saluran empedu intra dan ekstrahepatik untuk mengkonfirmasikan diagnosis. itu bifurkasi saluran
empedu hati merupakan segmen yang terkena paling parah. Pemeriksaan ERC dan biopsi hati
pada sclerosing cholangitis untuk memberikan terapi yang sesuai. Tidak ada terapi medis yang
efektif untuk sclerosing cholangitis primer dan tidak ada pengobatan kuratif. Kortikosteroid,
imunosupresan, asam ursodeoxycholic, dan antibiotik tidaklah memberikan hasil yang baik.
striktur bilier dapat melebar dan stented baik oleh akibat endoskopi atau perkutan.
Manajemen bedah dengan reseksi saluran empedu extrahepatic dan hepaticojejunostomy
telah memberikan hasil yang baik pada pasien dengan extrahepatic dan striktur bifurkasi. Pada
pasien dengan sclerosing cholangitis dan penyakit hati lanjut, transplantasi hati adalah satu-
satunya pilihan. Memberikan hasil yang sangat baik dengan 5 tahun hidup ketahanan hidup
setinggi 85 persen. Primary sclerosing cholangitis mengalami kekambuhan pada 10-20 persen
pasien dan mungkin memerlukan retransplantation.

4. Stenosis sfingter Oddi


Stenosis benigna dari saluran empedu umum biasanya dihubungkan dengan peradangan,
fibrosis, atau hipertrofi otot. Rasa nyeri episodik jenis empedu dengan tes fungsi hati yang
abnormal adalah presentasi umum. Namun, ikterus berulang atau pankreatitis juga mungkin
memiliki peran. dilatasi saluran empedu yang mana sulit untuk dikanulisasi dengan pengosongan
tertunda dari kontras merupakan tampilan yang berguna untuk menegakkan diagnostik. Jika
diagnosis sudah ditegakkan, sphincterotomy endoskopi atau operasi akan menghasilkan hasil
yang baik.

5. Striktur saluran empedu


Striktur saluran empedu memiliki banyak penyebab. Namun, sebagian besar disebabkan
oleh luka operasi, paling sering oleh kolesistektomi laparoskopik (lihat di bawah). Penyebab
lainnya adalah fibrosis karena pankreatitis kronis, batu saluran empedu, cholangitis akut,
obstruksi bilier karena dari cholangiohepatitis, cholecystolithiasis (Mirizzi syndrome), sclerosing
cholangitis, dan striktur anastomosis empedu-enterik. Striktur saluran empedu yang tidak
terdiagnosa atau penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan cholangitis berulang,
sirosis empedu sekunder, dan hipertensi portal. Pasien dengan striktur saluran empedu paling
sering hadir dengan episode cholangitis.
USG atau CT scan akan memperlihatkan dilatasi dari saluran empedu dibagian proksimal
dari striktur, dan memberikan beberapa informasi tentang tingkat stenosis. MRC juga akan
memberikan informasi anatomi yang baik tentang lokasi dan derajat dilatasi. Pada pasien dengan
dilatasi duktus intrahepatik, perkutan cholangiogram transhepatik akan memperlihatkan saluran
empedu proksimal, yang mana mendefinisikan dekompresi striktur dan lokasinya, dan
memungkinkan dari saluran empedu dengan transhepatik kateter atau stent. Sebuah
cholangiogram endoskopi akan menguraikan distal saluran empedu.
Perkutan atau endoskopi dilatasi dan / atau penempatan stent memberikan hasil yang baik
di lebih dari satu setengah dari pasien. Bedah dengan Roux-en-Y choledochojejunostomy atau
hepaticojejunostomy adalah standar perawatan dengan hasil yang baik atau sangat baik pada 80-
90 persen pasien. Choledochoduodenostomy mungkin pilihan untuk striktur di bagian distal-
sebagian besar empedu saluran.

DAFTAR PUSTAKA

AK Singh, S K Singh, Obesity and dyslipidemia, Avaliable from International Journal of


Biological & Medical Research, 2011
Arief TQ, Pengantar Metodologi Penelitian Untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta: Sebelas Maret
University Press, 2009

Lesmana L. Batu empedu. dalam : Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I. Edisi 3. Jakarta : Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2000. 380-384.

Molly C. Carr, Brunzell, Abdominal Obesity and Dyslipidemia in the Metabolic Syndrome,
Avaliable from The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 2004

Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC. 2007. 570-579

Strassberg S, Acute Calculous Cholecystitis, Avaliable from The New England Journal of
Medicine, 2008

Yekeler Ensar, Cholelithiasis, Avaliable from The New England Journal of Medicine, 2004

Angelin O. Ursodeoxycholic acid treatment in cholesterol gallstone disease: effects on hepatic


3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A reductase activity, biliary lipid composition, and plasma
lipid levels, 1999

Gustav Paumgartner. Mechanisms of action and therapeutic efficacy of ursodeoxycholic acid in


cholestatic liver disease, 2004

Oddsdottir Margret, Hunter John G. Schwartzs manual of surgery eight edition,2006

Вам также может понравиться