Вы находитесь на странице: 1из 12

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan akar bagi terbentuknya masyarakat, bangsa, dan bahkan
sebuah peradaban. Kesinambungan dalam suatu masyarakat atau bangsa dapat
mempengaruhi keseimbangan keluarga-keluarga yang menjadi anggotanya. Jika
keseimbangan keluarga di dalam sebuah masyarakat itu baik, akan baiklah
masyarakat itu; sebaliknya, jika keseimbangan masyarakat itu buruk, akan
menjadi buruk pula masyarakat tersebut. Dalam sebuah keluarga, pelajaran
pertama yang diperoleh oleh seorang manusia adalah mencintai, menghormati,
mengabdi, menaruh perhatian dan taat, serta melaksanakan nilai-nilai moral.
Semuanya itu merupakan bunga-bungan yang mekar dari sebuah keluarga, yang
akan menciptakan keindahan dan keserasian dalam masyarakat, dan yang
memungkinkan manusia berjalan seiring dengan manusia-manusia lainnya di dalam
jagat raya ini. Jika pelajaran-pelajaran semacam itu tidak diperoleh dari sebuah
keluarga, muncullah manusia-manusia yang kontradiktif, saling mencurigai, dan
saling menjatuhkan.

Sejak zaman dahulu hingga sekarang, manusia memiliki fitrah (naluri-naluri yang
luhur). Pada dasarnya ia memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai,
mengasihi dan dikasihi, menghormati dan dihormati. Dengan naluri-naluri itu,
manusia dapat menjalin rasa persaudaraan dan persamaan. Namun, ketika
keinginan-keinginan luhur itu tertutup oleh hawa nafsu yang tak terkendali tidak
saling mencintai tetapi saling membenci, tidak saling mengasihi tetapi saling
mencurigai, tidak saling menghormati namun saling mencercatimbullah
kemudian, dalam kehidupan manusia, rasa permusuhan yang memecah belah.

Dalam filsafat pendidikan Islam terkandung ajaran-ajaran untuk mendidik agar


manusia menjadi baik serta sadar akan fitrahnya. Sejak dahulu hingga sekarang
bahkan untuk masa yang akan datang, pada hakikatnya, sesuai dengan fitrahnya,
manusia mengakui adanya kekuatan yang maha besar, yang mengatur alam
semesta ini dan menguasai dirinya.

B. Perumusan Masalah
Untuk membatasi pembahasan dalam makalah ini dirumuskan masalah sebagai
berikut:

1. Apa konsep dasar pendidikan Islam dalam pendidikan keluarga?

2. Seperti apa pengaruh Rumah terhadap Pendidikan keluarga?

3. Kenapa keluarga menjadi lembaga pendidikan yang pertama dan utama?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Pendidikan Keluarga Islam

Keluarga Muslim merupakan keluarga-keluarga yang telah tercerahkan dan


mempunyai tanggung jawab yang paling besar, terutama dalam mendidik
generasinya dan generasi-generasi berikutnya untuk mampu menghindarkan dari
perbudakan materi. Karena lingkup masyarakat yang lebih luas telah terjebak
dalam pola hidup materialisme, dan secara tidak disadari bahwa sebagian besar
keluarga Islam juga telah tercemari olehnya, dan ini merupakan kendala, maka
keluarga-keluarga Islam yang sadar wajib membina generasi penerusnya untuk
dididik menjadi khalifah-khalifah pengendali materi, bukan menjadi budak
materi.

Dalam memperbaiki sebuah masyarakat, Islam tidak pernah merusak apa yang
telah ada, tetapi menyingkirkan hal-hal yang membuat masyarakat itu tidak baik.
Ketika Rasulullah Muhammad saw. Diperintahkan untuk memperbaiki akhlak umat
manusia, terlebih dahulu beliau memperbaiki akhlak masyarakat yang hidup di
dekatnya. Tidak ada perintah untuk menghancurkan Kabah, pada masa itu, yang
dipenuhi berhala-berhala yang disembah oleh kaum kafir Quraisy. Rasulullah saw.
Membimbing masyarakat Arab dengan dakwahnya yang meyakinkan bahwa manusia
hanya patut menyembah Allah, tidak menyembah kepada selain Allah. Dan untuk
menyembah Allah, tidaklah patut dengan mempersekutukan Allah dengan
keyakinan kepada tuhan lain. Konsep tauhid itulah yang pertama diajarkan oleh
Rasulullah saw. Setelah konsep tauhid disampaikan kepada masyarakat Arab,
turunlah ayat-ayat yang mengatur masalah kemasyarakatan dan tata peribadatan.
Dengan pengertian lain, yang paling pokok dalam ajaran Islam adalah pendidikan
masyarakat, terutama pendidikan keluarga yang menjadi inti dalam pembentukan
sebuah masyarakat.

Oleh karena itu, Nabi saw. sangat memperhatikan betul masalah pendidikan
keluarganya. Sebelum Nabi saw. menyampaikan risalah Islam kepada
masyarakatnya, saat pertama kali beliau menerima wahyu di Gua Hira, terlebih
dahulu beliau menyampaikan masalah tersebut kepada keluarganya.
Khadijah ra.istri Nabi saw., setelah mendengar misi yang disampaikan suaminya,
melihat kejujuran Al-Amin, yang selama bertahun-tahun hidup dengannya, tanpa
ragu-ragu menerima risalah tauhid itu. Demikian juga halnya putri-putri beliau dan
seorang anak angkat laki-laki yang masih sepupu dengannya, yang sejak kecil
berada di bawah asuhannya, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, beliau menyampaikan
risalah tersebut kapada keluarga-keluarga dekat yang lain dan baru kemudian
masyarakat yang lain.[i] Tauhid merupakan konsep dasar dalam pendidikan Islam
yang pertama, serta pengertian tentang hakikatnya, yaitu tentang sifat-sifat Allah
swt. serta tanda-tanda kekuasaan-Nya perlu ditanamkan pada generasi keluarga
Muslim, sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan demikian, generasi yang terdidik
dalam lingkungan keluarga Islam akan menyadari bahwa Allah Maha Kuasa, dan
karena ke-Maha Kuasa-an Allah itu, maka hanya Allah-lah yang patut disembah.
Segala materi atau benda yang ada di dunia ini hanyalah makhluk ciptaan Allah
yang menyiratkan tanda-tanda kebesaran Allah swt.
Setelah meletakkan konsep tauhid, Nabi saw. meletakkan konsep pendidikan
akhlak, karena itulah misi utama beliau di dalam menyampaikan risalah Islam,
sebagaimana sabdanya, Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan
akhlak. Tauhid tanpa akhlak akan menciptakan umat Islam yang lemah. Akhlak
tanpa tauhid dapat membuat manusia tidak tahu apa tujuan hidupnya.
Pendidikan akhlak yaitu perintah-perintah dan larangan-larangan Allah swt. dalam
mengatur hubungan bermasyarakat. Manusia disebut berakhlak mulia apabila
segala tindakannya sesuai dengan segala perintah dan larangan Allah swt. Akhlak
Rasulullah saw. disebut sebagai akhlak Qurani sehingga segala aturan Rasulullah
saw. sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Al-Quran.[ii]

Pendidikan akhlak dalam keluarga Islam merupakan hal yang sangat penting
setelah pendidikan tauhid. Karena itu, tidaklah berlebihan atau bersifat terlalu
mengagungkan jika kita mencoba menggali pribadi-pribadi yang telah dipilih Nabi
saw. dari keluarga beliau sendiri. Selain itu, Al-Quran sendiri telah menyambut
mereka sebagai keluarga yang suci:

Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai


ahlul bayt, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Q.S. 33:33)

Karena itu, umat Islam akan memiliki pandangan dan pegangan yang jelas tentang
siapa yang pantas diidolakan dalam mengantisipasi setiap perubahan akibat
perkembagan zaman.

Berkenaan dengan konsep dasar pendidikan Islam yang ditanamkan di lingkungan


keluarga, Luqman berwasiat kepada anaknya. Dan wasiat ini merupakan wasiat
yang lengkap. Allah berfirman dalam Q.S Luqman ayat 12-19:

{ 12}
{ 13}

{ 14}
{ 15}
{ 16}
{ 17}

{ 18}
{19}
12. Dan Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, Yaitu:
Bersyukurlah kepada Allah. dan Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah),
Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang
tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
13. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi
pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar.
14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. bersyukurlah kepadaku dan
kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu
yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
16. (Luqman berkata): Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan)
seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi,
niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha
Halus[1181] lagi Maha mengetahui.
17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik
dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap
apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).
18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan[1182] dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Q.S. Luqman: 12-13)
[1180] Maksudnya: Selambat-lambat waktu menyapih ialah setelah anak berumur
dua tahun.
[1181] Yang dimaksud dengan Allah Maha Halus ialah ilmu Allah itu meliputi
segala sesuatu bagaimana kecilnya.
[1182] Maksudnya: ketika kamu berjalan, janganlah terlampau cepat dan jangan
pula terlalu lambat.
Wasiat ini mencakup aspek-aspek tarbiyah sebagai berikut ini[iii]:
1. Sisi Akidah
Akidah yang murni dan keimanan yang dalam kepada Allah merupakan asas dari
tarbiyah yang benar. Hal itu karena Allah adalah Tuhan yang patut disembah
dengan sebenarnya. Dialah Tuhan yang tidak tersembunyi baginya segala sesuatu
yang di langit dan di bumi serta Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Luqman, ketika memberi wasiat kepada putranya, menjelaskan sebab dari hal itu
padanya. Ia berkata: Sesungguhnya kesyirikan itu merupakan kezaliman yang
besar. Orang yang menyekutukan Allah dengan sesuatu, dalam ibadahnya dan
dalam akidahnya, adalah kezaliman yang paling parah. Jadi, kezaliman dalam arti
hakikatnya mempunyai makna meletakkan kebenaran atau hak tidak pada
tempatnya dan beribadah kepada selain Allah.
2. Sisi Perbuatan
a. Mendirikan Shalat
Luqman lalu menyuruh anaknya mendirikan shalat untuk mewujudkan hubungan
yang tak terputus dengan Allah swt. Shalat merupakan indikasi pertama dari iman
kepada Allah karena shalat menyimpan berbagai faedah. Shalat mencegah
orang yang melaksanakannya dengan ikhlas dari perbuatan keji dan munkar
b. Amar Makruf Nahi Munkar
Ketika seorang hamba memiliki sifat ini, berarti ia telah memberikan kontribusi
positif dan riil dalam menyumbangkan kebaikan untuk masyarakat, berupa
menyebarkan kebaikan dan mencegah tersebarnya kerusakan dan kebejatan. Ini
adalah sifat yang harus dimiliki umat Islam agar menjadi layak untuk menduduki
posisi yang terhormat di antara bangsa-bangsa, Allah berfirman:

110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang maruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara
mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang
fasik. (Q.S. Ali-Imran: 110)
c. Bersifat Sabar yang Terpuji
Seorang manusia harus bersabar atas musibah yang menimpa diri, harta atau
keluarganya, akibat melaksanakan dakwah kepada kebaikan ketika ia
mengarungi perjalanan hidup. Sikap sabar ini merupakan karakter dan sikap
orang-orang yang memiliki azam yang benar.
3. Sisi Perilaku Secara Umum
Wasiat diatas mencakup juga akhlak yang harus dimiliki oleh seorang anak
terhadap orang tuanya dan terhadap masyarakat yang dia merupakan salah satu
bagiannya. Hal itu adalah sebagai berikut.
a. Berbakti kepada Kedua Orang Tua
Allah swt. telah berpesan kepada anak supaya berlaku baik terhadap orang tua di
banyak tempat dalam Al-Quran. Dia mengaitkan hal itu dengan mengesakan
Allah dan larangan menyekutukan-Nya, di samping menggabungkan syukur
kepada-Nya dengan syukur kepada mereka, karena kedudukan mereka yang
tinggi.
b. Berbakti kepada Kedua Orang Tua (Birrul Walidain)
Kata al-Birr mencakup segala hal kebaikan. Para nabi dan rasul Allah merupakan
teladan dalam berbuat birr kepada orang tua. Kaum yang saleh
setelahnya, mengikuti jalan mereka. Allah berfirman tentang Yahya,
Dan seorang yang berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia
orang yang sombong lagi durhaka.
c. Berperilaku Baik di Tengah Masyarakat
1. Tidak Menjauh dari Masyarakat atau Sombong Terhadapnya
Ia tidak boleh bersikap sombong dalam berinteraksi dengan sesamanya dan
beranggapan bahwa ia lebih baik dari mereka.
2. Menjauhkan Diri dari Sifat Takabur dan Merasa Besar Diri
Hendaknya ia tidak takabur, sombong dan lupa diri. Ia harus sederhana dalam
berjalan dengan cara sedang dalam melangkah dan tidak
terburu-buru, karena bagaimanapun ia sombong dan
takabur ia tidak bisa mempengaruhi bumi yang ia berjalan
diatasnya.
3. Tidak Mengganggu Orang Lain dengan Suara Keras
Ia tidak boleh berteriak atau mengeluarkan suara-suara yang tidak enak didengar
yang hanya mengganggu manusia, baik suaranya sendiri
maupun suara dari barang elektronika atau kendaraan bermotor.
Larangan ini khususnya berlaku di tempat- tempat yang
penghuninya memerlukan istirahat dan ketenangan lebih, seperti
rumah sakit dan sekolah. Wasiat ini menyamakan suara-suara
seperti itu dengan suara keledai.
B. Rumah dan Pengaruhnya terhadap Pendidikan
Rumah keluarga Muslim adalah benteng utama tempat anak-anak dibesarkan
melalui pendidikan Islam. Yang dimaksud dengan keluarga Muslim adalah keluarga
yang mendasarkan aktivitasnya pada pembentukan keluarga yang sesuai dengan
syariat Islam. Berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah, kita dapat mengatakan bahwa
tujuan terpenting dari pembentukan keluarga adalah hal-hal berikut[iv]:
Pertama, mendirikan syariat Allah dalam segala permasalahan rumah tangga.
Artinya, tujuan berkeluarga adalah mendirikan rumah tangga muslim yang
mendasarkan kehidupannya pada perwujudan penghambaan kepada Allah swt.
Kedua, mewujudkan ketentraman dan ketenangan psikologis, Allah swt.
berfirman:


189. Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah
dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia
merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya
(suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: Sesungguhnya
jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang
yang bersyukur. (Q.S. Al-Araf:189)

Jika suami-istri bersatu diatas landasan kasih sayang dan ketentraman psikologis
yang interaktif, anak-anak akan tumbuh dalam suasana bahagia, percaya diri,
tentram, kasih sayang, serta jauh dari kekacauan, kesulitan, dan penyakit batin
yang melemahkan kepribadian anak.

Ketiga, mewujudkan sunnah Rasulullah saw. dengan melahirkan anak-anak saleh


sehingga umat manusia merasa bangga dengan kehadiran kita seperti yang
disabdakan Rasulullah saw. ini:

Menikahlah, berketurunanlah, niscaya kamu menjadi banyak karena aku akan


merasa bangga olehmu di hadapan umat lain pada hari kiamat.

Hadist diatas mengisyaratkan kewajiban rumah tangga muslim dalam mendidik


putra-putrinya melalui pendidikan yang dapat mewujudkan tujuan Islam dan itu
terpatri dalam jiwa mereka. Kebanggaan akan umat ini hanya terletak dari
lahirnya keturunan yang saleh. Tanggung jawab itu terletak di atas pundak para
orang tua sehingga anak-anak terhindar dari kerugian, keburukan, dan api neraka
yang senantiasa menantikan manusia yang jauh dari Allah swt. Allah swt. telah
mengisyaratkan hal itu dalam firmannya:


6. Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.(Q.S. At-Tahriim:6)
Keempat, memenuhi kebutuhan cinta-kasih anak-anak. Keluarga, terutama orang
tua, bertanggung jawab untuk memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya,
karena kasih sayang merupakan landasan terpenting dalam pertumbuhan dan
perkembangan psikologis dan sosial anak.
Kelima, menjaga fitrah anak, agar anak tidak melakukan penyimpangan-
penyimpangan. Dalam konsepsi Islam, keluarga adalah penanggung jawab utama
terpeliharanya fitrah anak. Dengan demikian, penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan anak-anak lebih disebabkan oleh ketidakwaspadaan orang tua atau
pendidik terhadap perkembangan anak.
C. Keluarga, Lembaga Pendidikan Pertama dan Utama[v]

Allah SWT berfirman,

{ 4}
{6} { 5}

4. Ia berkata Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku


telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada
Engkau, Ya Tuhanku.
5. Dan Sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku[898] sepeninggalku,
sedang isteriku adalah seorang yang mandul, Maka anugerahilah aku dari sisi
Engkau seorang putera,
6. Yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Yaqub; dan
Jadikanlah ia, Ya Tuhanku, seorang yang diridhai. (Q.S. Maryam: 4-6)
[898] Yang dimaksud oleh Zakaria dengan mawali ialah orang-orang yang akan
mengendalikan dan melanjutkan urusannya sepeninggalnya.Yang dikhawatirkan
Zakaria ialah kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik,
karena tidak seorangpun diantara mereka yang dapat dipercayainva, oleh sebab
itu Dia meminta dianugerahi seorang anak.
Ayat ini menggambarkan kerinduan Nabi Zakaria as. untuk mendapatkan keturunan
walaupun usia beliau sudah lanjut dan istrinya mandul. Kerinduan Nabi Zakaria
akan anak tidak didorong untuk menghindari pupusnya garis keturunan, melainkan
keinginan kuatnya agar nilai-nilai perjuangan yang dimiliki keluarganya dilanjutkan
oleh anaknya.
Sikap yang sama juga tercermin pada diri Nabi Ibrahim as dan nabi-nabi lainnya.
Hal ini bisa dilihat pada firman Allah Swt berikut ini, (Ibrahim berkata), Hai
anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka
janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Adakah kamu hadir
ketika Yaqub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-
anaknya, Apa yang kamu sembah sepeninggalku? Mereka menjawab, Kami akan
menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq,
(yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya, (QS Al-
Baqarah [2]: 132-133).
Dalam ayat lain Allah Swt berfirman, Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari siksa neraka (perbuatan yang akan mencelakakan)
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat
yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan. (Q.S. At-Tahriim: 132).
Juga firma-Nya dalam surat Thaha ayat 132, Dan perintahkanlah kepada
keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam
mengerjakannya, (Q.S. Thaha: 6).

Ayat di atas menceritakan bahwa para Nabi Allah selalu berwasiat kepada anak
keturunanya tentang siapa yang akan mereka sembah setelah mereka meninggal
dunia. Ini memberikan pelajaran berharga bahwa keluarga mempuyai posisi yang
sangat strategis dan menentukan dalam upaya pembentukan karakter sebuah
generasi. Generasi yang baik pada umumnya lahir dari keluarga yang baik.
Sebaliknya, dari keluarga yang rusak tidak banyak diharapkan munculnya generasi
yang memiliki watak dan kepribadian yang baik dan bertanggung jawab pula.
Dalam membangun keluarga sebagai salah satu institusi pendidikan yang kuat dan
mendasar, peran kedua orang tua sangat menentukan. Yaitu, terutama menjadi
contoh dan suri teladan bagi anak-anaknya. Bahasa teladan dan amal perbuatan
ternyata jauh lebih efektif daripada bahasa lisan serta suruhan yang bersifat
verbal. Anak-anak melihat apa yang dilakukan, bukan semata-mata mendengar apa
yang diperintahkan.

Dan terlebih lagi, akan sangat berbahaya bagi pembentukan karakter anak apabila
selalu terjadi kontadiksi antara perkataan dengan perbuatan. Karena itu, keluarga
adalah lembaga pendidikan pertama dan utama dalam membangun dan
membentuk kepribadian anak. Baik buruknya akhlak anak di masa dewasa sangat
ditentukan pendidikan dalam keluarga.

BAB III
Penutup

Tidak diragukan lagi bahwa peran keluarga berada pada posisi yang paling depan di
antara pihak-pihak yang berpengaruh. Di atas pundak kedua orang tua terletak
tanggung jawab pendidikan yang benar, meluruskan akidah, dan menanamkan nilai
moral dalam benak anak-anak.

Tentu saja di antara tuntutan hal itu adalah lurusnya akidah kedua orang tua dan
pelaksanaan mereka akan syiar-syiar agama secara benar, ini adalah poin asasi dan
esensial yang harus diingat. Karena orang yang tidak memiliki sesuatu tidak
mungkin memberikannya pada orang lain (faaqidus syai laa yuthihi).

Sesuai dengan tanggung jawab yang diemban orang tua dalam menanamkan
keutamaan dan sifat-sifat yang terpuji pada diri generasi muda, maka demikian
pula mereka menanggung beban tanggung jawab mengawasi dan mengevaluasi. Itu
adalah proses lain yang lebih urgen. Dalam hal ini Allah swt. berfirman,

Perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu


dalam mengerjakannya. (Q.S. Thaha; 132)
Wallahu alamu bis shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Terjemahannya, 1418 H. Madinah: Mujamma Al-Malik Fahd Li
Thibaat Al-Mush- Haf Asy-Syarif Madinatul Munawwarah.

An-Nahlawi, Abdurrahman, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan


Masyarakat, 2004, Jakarta: Gema Insani Press.
Ash-Shaidi, Abdul Hakam, Menuju Keluarga Sakinah, 2005, Jakarta: Akbar Media
Eka Sarana
Musthafa, Ibnu, Keluarga Islam Menyongsong Abad 21, 2003, Bandung: Mizan Media
Utama.
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam (Edisi Baru), 2005, Ciputat: Gaya Media
Pratama
Zuhaily, Wahbah, At-Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah Wa Al-Syariah Wa Al-Manhaj
Mujallad Al- Haadi Asyr, 2003, Damaskus: Darul Fikr.
http://sunatullah.com

[i] Ibid, hl. 85-86


[ii] Ibid, hl. 93
[iii] Abdul Hakam Ash-Shaidi, Menuju Keluarga Sakinah, (Jakarta: Media Eka
Sarana, 2005), hl. 185
[iv] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hl. 139-145.
[v] http://sunatullah.com/tulisan-artikel/keluarga-lembaga-pendidikan-pertama-
dan-utama.html

Вам также может понравиться