Вы находитесь на странице: 1из 15

Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 1

Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai

Pendahuluan

Pembicaraan tentang kaitan antara ilmu dan nilai banyak memunculkan

perbedaan pendapat. Ada pihak yang bersikeras bahwa ilmu bebas nilai,

sebaliknya terdapat kelompok yang bersiteguh bahwa ilmu tidak bebas nilai dan

tidak pernah bebas nilai.

Pembahasan

Kaum positivisme yang tidak membedakan ilmu alam, sosial dan ilmu

kemanusiaan merupakan pembela gigih gagasan ilmu bebas nilai. Arti bebas nilai

bagi mereka antara lain, tampak pada penggunaan metodologi yang sama bagi

semua ilmu tanpa mempersoalkan perbedaan objek tiap ilmu yang memiliki ciri

khas. Ciri khas itu tampak dari adanya nilai-nilai yang berhubungan dengan

manusia dan masyarakat yang harus diperhatikan dalam menganalisis gejala-

gejala manusia dan masyarakat secara keilmuan. Positivisme bersikeras

mempertahankan perbedaan antara pertimbangan nilai dan pertimbangan faktual.

Dalam perkembangan lebih lanjut, neo-positivisme bahkan menganggap bahwa

pembicaraan tentang nilai adalah sebagai pembicaraan yang tidak bermakna

karena tidak dapat diuji secara empiris.

Sebaliknya, penganut anti-positivisme seperti Gunnar Myrdal bersiteguh

bahwa analisis keilmuan terhadap gejala-gejala manusia dan kemasyarakatan

tidak pernah dapat dibebaskan dari perandaian- perandaian yang mengandung


Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 2

penilaian. Bagi Myrdal, yang penting adalah bagaimana membuat nilai-nilai itu

dibeberkan secara terbuka dan dipertanggungjawabkan, bukan menutup-nutupi

dengan berbagai istilah atau terminologi yang seakan-akan bebas nilai.1

Uraian diatas belum secara tajam memetakan persoalan kaitan ilmu dan

nilai, walaupun pokok persoalannya mengandung perdebatan hangat. Jika nilai

diikutsertakan dalam analisis keilmuan, masihkah ilmu bersifat otonom?

Jujun S. Suriasumantri menyarankan agar pembahasan kaitan ilmu dan nilai

atau moral janganlah dibicarakan secara terlalu umum, sebaiknya dikaji secara

proporsional dengan memperhatikan bahwa baik ilmu maupun nilai, memiliki

cara pandang dan cara kerja khas yang tidak dapat dipertautkan begitu saja. Juga

harus diperhatikan faktor sejarah, khususnya sisi gelap, ketika kebenaran

keilmuan dijungkirbalikkan oleh gereja sebagai lembaga keagamaan.2

Ketika Copernicus melawan anggapan yang telah umum diterima, dan

memunculkan pendapat bahwa sesungguhnya bumi yang mengitari matahari,

maka pihak yang palig dirugikan adalah para pemuka-pemuka gereja. Di

kemudian hari, ilmuwan yang ingin membuktikan temuan Copernicus harus

menghadapi pengadilan agama untuk memilih menarik kembali temuan

keilmuannya atau akan dibakar. Pengadilan Galileo dapat dianggap sebagai titik

tolak dari salah satu sifat ilmu di kemudian hari, yaitu penolakan terhadap segala

nilai yang bersifat dogmatis.

1 Myrdal, Gunnar. Obyektivitas Penelitian Sosial. Jakarta: LP3S. 1984

2 Suriasumantri, Yuyun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan. 2000


Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 3

Sebenarnya, bagaimana peristiwa itu harus dipahami dan reaksi yang

kemudian muncul harus dimengerti? Pemuka-pemuka gereja mencampurbaurkan

perspektif teologis dan temuan ilmu secara tidak tepat. Dalam perspektif teologis,

penempatan bumi sebagai pusat dikaitkan dengan manusia penghuni bumi sebagai

makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Pengingkaran bumi sebagai pusat tata

surya dikhawatirkan akan merendahkan derajat manusia, lebih jauh lagi, dianggap

sebagai perlawanan terhadap kitab suci yang mengajarkan bahwa manusia adalah

citra Tuhan. Sehingga, dapat dipahami jika kemudian terjadi benturan antara

kebenaran keilmuan dan tafsir terhadap kitab suci. Di kemudian hari, ketika

terbukti bahwa temuan ilmu lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,

sedangkan gereja dianggap sebagai lawan, maka muncullah sikap yang mencoba

membersihkan ilmu dari nilai dan dogma apapun sebagai titik tolak dan batu uji

kebenarannya.

Dalam sejarah pemikiran Descartes (1596-1650), yang mencoba dengan

keraguan metodisnya, mencari titik tolak kebenaran yang tidak dikaitkan baik

pada dogma maupun nilai tertentu. Ia menemukan bahwa dasar yang pasti dari

kebenaran adalah aku yang berpikir. Dari titik tolak itulah, kebenaran lain harus

diturunkan. Auguste Comte (1798-1857) bahkan berpendapat lebih tajam,

penjelasan berbagai gejala yang didasarkan pada titik tolak ajaran agama (teologi)

disamakan dengan tahap berpikir manusia sewaktu masih anak-anak. Penjelasan

berbagai gejala dalam rangka mencari kebenaran haruslah dengan cara positif,

melalui percobaan (eksperimen) dalam pengalaman indriawi, inilah yang disebut

ilmu.
Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 4

Perjalanan pemikiran ilmu dan filsafatnya bahkan mencatat munculnya

kaum neo-positivisme yang beranggapan pembicaraan tentang nilai, metafisika

dan Tuhan tidak bermakna karena tidak dapat diuji secara empiris (diverifikasi).

Pokok-pokok pikiran mereka tentang ilmu adalah:

1. Sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengalaman tentang data-data

indriawi
2. Dalil-dalil matematika yang tidak dihasilkan melalui pengalaman diakui

keberadaannya dan digunakan untuk mengolah data pengalaman

indriawi
3. Pernyataan-pernyataan dinyatakan bermakna jika terbuka untuk

diverifikasi (dibuktikan secara empiris), pernyataan-pernyataan yang

tidak dapat diverifikasi seperti etika, estetika dan metafisika, dinyatakan

sebagai penyataan yang tidak bermakna


4. Menolak pembedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial
5. Berupaya mempersatukan semua ilmu di dalam suatu bahasa ilmiah

yang bersifat universal.

Mereka beranggapan bahwa pembicaraan tentang filsafat ilmu pada

hakikatnya adalah pembicaraan tentang logika ilmu. Oleh karena itu, harus

disusun berdasarkan analogi formal yang menekankan bentuk, bukan isi proposisi

dan argumen. Yang dipentingkan bukan kenyataan ilmu, melainkan yang

seharusnya terjadi di dalam ilmu.

Benang merah yang dapat ditarik dari perjalanan sejarah ini adalah upaya

terus-menerus demi menegakkan otonomi ilmu untuk mencari kebenaran.

Pengukuhan otonomi ilmu penting karena ilmu hanya dapat berkembang maju dan

bermanfaat jika syarat-syaratnya, kaidah-kaidahnya dijalankan dan ditaati, juga


Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 5

jika ilmu dibiarkan bekerja dengan sifat hakikinya sendiri, sesuai dengan

dinamika dan hukum-hukumnya serta ketentuan-ketentuan ilmiahnya sendiri.

Hanya dengan jalan itu, mutu dan integritas ilmu dapat dipertahankan. Namun,

sudah sejak lama juga disadari bahwa ilmu memiliki keterbatasan-keterbatasan.

Di samping itu, perkembangan ilmu dan penerapannya dalam bentuk teknologi

telah menimbulkan berbagai persoalan, ada dua masalah yang membangkitkan

kembali persoalan di sekitar kaitan ilmu dan nilai, yaitu ilmu itu sendiri dan

pemanfaatan ilmu.

Banyak orang beranggapan bahwa persoalan dalam kaitan ilmu dan nilai

terbatas di sekitar pemanfaatan ilmu saja. Jadi, ilmu itu seperti pisau yang nilai

baik atau buruknya bukan tergantung pada pisaunya, melainkan kepada pengguna

pisaunya. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya benar jika perkembangan sejarah

pemikiran keilmuan kita ikuti dengan cermat.

Diawal telah dijelaskan dalam rangka menegakkan otonomi ilmu terjadi

kecenderungan untuk membedakan ilmu dan nilai, memisahkannya, kemudian

membebaskan ilmu dari nilai. Dalam melawan kecenderungan tersebut, muncul

pemikir yang pada mulanya mempersoalkan metodologi ilmu. Apakah perlu

membedakan metode ilmu alam dengan metode ilmu sosial? W. Dilthey

menganggap perlu mengadakan pembedaan antara ilmu alam dan ilmu budaya.

Perdebatan tentang metode pada akhirnya berlanjut pada perdebatan mengenai

nilai. Ini terjadi karena perbedaan metode memunculkan perbedaan tujuan. Ilmu

budaya bertujuan menghasilkan nilai-nilai, sedangkan ilmu alam menghasilkan

hukum. Jadi, tidak memiliki kaitan nilai.


Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 6

Perkembangan lebih lanjut khususnya dalam ilmu sosial dan kemanusiaan

menunjukkan bahwa persoalan mengenai metodologi pun tidak bebas dari

perdebatan mengenai nilai. Mazhab Frankfurt yang dimotori oleh Horkheimer,

bahkan menuduh ilmu sosial yang bebas nilai lebih merupakan ideologi

ketimbang ilmu, karena dengan mempertahankan gagasan bebas nilai, ilmu-ilmu

sosial itu sebenarnya bersikap membenarkan keadaan sosial yang terjadi di tengah

masyarakat yang ingin dipertahankannya dalam terminologi bebas nilai. Ilmu-

ilmu sosial seperti itu, tidak lagi memiliki daya kritis untuk mempertanyakan

nilai-nilai yang ingin dipertahankan. Walaupun tidak setajam itu, G. Myrdal

berpendapat lebih kurang sama dengan gagasan tersebut. Persoalan ilmu itu bebas

nilai atau tidak, ternyata juga melebar sampai ke aspek metodologi ilmu. Padahal,

selama ini pada aspek inilah otonomi dirasakan paling besar pengaruh dan

peranannya.

Dewasa ini, khususnya untuk nilai-nilai sosial, pendapat seperti yang

dikemukakan oleh Soedjatmoko berikut ini, tidak lagi dianggap sebagai ungkapan

yang aneh. Soedjatmoko berpendapat bahwa dalam rangka ilmu-ilmu sosial, mau

tidak mau persepsi mengenai manusia dan masyarakat, dan desain serta metode-

metode ilmu-ilmu sosial berpangkal pada asumsi nilai tertentu.3 Apabila demikian,

masihkah ada otonomi ilmu? Bagaimana paham bebas nilai harus dipahami?

Apakah ilmu akan kembali pada masa abad pertengahan sewaktu Galileo diadili

oleh pengadilan?

3 Soedjatmoko. Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa Depan. Yogyakarta: Tiara

Wacana. 1991
Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 7

Sampai saat ini, keadaannya tidak seburuk itu dan mungkin tidak akan

pernah seburuk itu. Ungkapan yang lebih tepat untuk menggambarkan keadaan di

sekitar kaitan antara ilmu dan nilai adalah, bahwa banyak pihak, baik ilmuwan

atau agamawan atau siapa saja yang memiliki kecintaan pada kebenaran, harus

memiliki wawasan lebih luas dan pemikiran lebih bijak untuk melihat

persoalannya secara lebih jernih. Banyak ilmuwan lebih sadar akan keterbatasan

ilmu dan berpikir dan berpikir bahwa ilmu tidak lagi dapat dipisahkan dari upaya

keseluruhan manusia untuk mencari kebenaran dan membuat hidupnya memiliki

arti. Pada sisi lain, di kalangan masyarakat tampak kecenderungan untuk melihat

ilmu secara lebih baik dan proporsional.

Pada tempatnyalah jika pembahasan kaitan ilmu dan nilai tidak lagi

bersiteguh secara kaku pada gagasan ilmu bebas nilai atau tidak bebas nilai. Lebih

baik kiranya secara hati-hati merumuskan masalah secara lain dari dua

terminologi itu dan mencoba membicarakannya tidak dalam semangat saling

menyerang seakan tiap pendirian memiliki kebenaran sendiri terlepas dan tidak

bersesuaian dengan pendirian yang lain. Bukankah terbuka kemungkinan untuk

mengadakan dialog terbuka dari berbagi pendirian agar didapat pandangan yang

lebih dapat dipertanggungjawabkan dan lebih jernih.

Ilmu lengkap dengan keunggulan dan keterbatasannya, merupakan sebuah

nilai berdampingan dengan nilai-nilai lain. Dalam arti ini, ilmu tidak pernah bebas

nilai, apalagi bila dilihat secara mendalam ilmu sendiri merupakan perwujudan

suatu nilai etis, yaitu mencari kebenaran. Tentu tidak bijak untuk membandingkan

secara tidak proporsional nilai kebenaran ilmu dan nilai kebenaran agama
Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 8

misalnya, apalagi jika sampai pada kesimpulan bahwa nilai yang satu lebih tinggi

dan nilai yang lain lebih rendah. Harusnya disadari ciri khas dan wewenang yang

dimiliki oleh keduanya.

Oleh karena itu, ilmu merupakan salah satu nilai diantara nilai-nilai yang

lain, ilmu harus tetap bebas. Bebas dalam pengertian, ilmu jangan membiarkan

dirinya terpengaruh oleh nilai-nilai yang terdapat di luar ilmu. Tentu tidak berarti

ilmu tidak memperhatikan dan/atau tidak menghiraukan nilai yang berasal dari

luar ilmu. Akan tetapi, yang perlu ditekankan bahwa ilmu baru bernilai ketika

ilmu itu bebas.

Kebebasan ilmu itu tampak ketika seorang ilmuwan harus memilih dan

memutuskan, misalnya jika ada dua hasil penelitian tentang hasil kondisi

masyarakat yang saling bertentangan mengenai cara penyembuhan yang lebih

kurang memiliki kemungkinan keberhasilan dan/atau kegagalan yang sama besar,

atau dua temuan penelitian tentang kemungkinan penggunaan nuklir untuk

pembangkit listrik yang saling bertentangan. Keputusan dan pilihan ilmuwan tidak

dapat ditentukan oleh kekuatan apapun kecuali kekuatan argumentasi yang tunduk

pada kaidah-kaidah ilmu. Ilmuwan tidak memiliki kewajiban untuk mengikuti,

misalnya suatu lembaga yang memiliki kepentingan langsung dengan salah satu

dari Keputusan yang akan diambil. Dalam konteks ini ilmu bebas nilai dalam arti

tanpa pamrih, jadi ilmuwan jangan sampai membiarkan dirinya dipengaruhi oleh

nilai di luar nilai ilmu seperti nilai materi, atau nilai-nilai lain. Akan tetapi, yang

harus diingat dan disadari oleh ilmuwan adalah bahwa keputusan yang akan

dipilihnya memiliki satu prinsip dasar yang tidak dapat dilanggarnya, yaitu harkat,
Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 9

kemuliaan, dan martabat manusia yang tidak boleh dikorbankan demi ilmu.

Karena pada hakikatnya, ilmu adalah salah satu upaya yang diusahakan manusia

agar kemanusiaan dan kehidupannya lebih bermakna. Jika terjadi konflik antara

temuan dan ilmu dan kemuliaan martabat manusia, hanya ada dua pilihan yaitu:

menilai ulang temuaan itu dengan kaidah-kaidah ilmu itu sendiri atau

memenangkan kemuliaan manusia. Masalah yang mungkin muncul sesudahnya

adalah apa yang dimaksud dengan kemuliaan manusia, yang jawabannya

merupakan sebuah dialog terbuka tanpa penindasan antara sebanyak mungkin

pihak untuk menentukannya.

Dalam arti seperti itulah kebebasan ilmu sebaiknya dipahami. Sebagaimana

layaknya pembicaraan tentang kebebasan, kebebasan hanya dapat dipahami

karena adanya batasan-batasan. Ilmu disebut bebas karena adanya batasan-batasan

yang dapat dilampauinya, dan karena adanya kemungkinan memilih di antara

berbagai batasan-batasan tersebut. Akan tetapi, kebebasan ilmu itu sendiri berada

dalam batas-batas pula seperti dijelaskan sebelumnya, artinya bukan kebebasan

mutlak.

Jika dikatakan ilmu itu bebas, apakah itu berarti ilmu memiliki otonomi?

Otonomi ilmu sebenarnya bersifat paradoks. Di satu pihak ilmu berupaya untuk

menentukan apa dan bagaimana kaidah keilmuan itu, agar metodenya dijalankan

agar kemudian dapat disebut sebagai ilmu. Di pihak lain, asumsi-asumsi atau

perandaian-perandaian yang mendasari ilmu tidak berasal dari ilmu itu sendiri,

tetapi dari bidang lain, misalnya filsafat atau pengalaman manusia yang tidak

ilmiah sifatnya. Ilmu juga belum memiliki kemampuan untuk menilai dirinya
Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 10

sendiri serta membuktikan prinsip-prinsipnya sendiri. Jadi, terlihat bahwa otonomi

ilmu juga bersifat relatif. Keadaan ini juga terbuka masuknya nilai-nilai tertentu

ke dalam ilmu.

Lebih lanjut beberapa contoh dapat digunakan untuk membicarakan

otonomi ilmu. Dalam bidang fisika, baik dalam kerangka fisika Newton maupun

Einstein, konsep ruang dan waktu menempati kedudukan yang sangat

fundamental. Berdasarkan prinsip ruang dan waktu itulah teori mereka dibangun.

Baik teori Newton maupun Einstein telah teruji kebenarannya dalam ruang

lingkup teori masing-masing. Persoalannya adalah dari mana prinsip ruang dan

waktu itu diperoleh, apakah dari ilmu? Jawabannya adalah tidak. Jika sejarah

perkembangan fisika dilihat sejak zaman Yunani sampai zaman klasik era Newton

dan zaman modern era Einstein, maka perkembangan dan revolusi teori terjadi

antara lain karena terdapatnya perbedaan persepsi tentang ruang dan waktu.

Sebenarnya, persoalan ruang dan waktu ini lebih terlihat sebagai persoalan

metafisika daripada persoalan fisika.

Dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan pun persoalannya tidak jauh

berbeda, yaitu perandaian-perandaian yang mendasari ilmu tidak berasal dari ilmu

itu sendiri. Dalam ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan persoalannya bisa menjadi

lain sama sekali, bila dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam, karena perandaian-

perandaian itu selalu melekat dengan berbagai nilai yang tidak dapat selalu

diungkapkan secara tersurat. Oleh karena itu, selalu terbuka kemungkinan untuk

memasukkan nilai-nilai tertentu lewat perandaian-perandaian itu. Myrdal dan

Habermas dapat disebut sebagai sebagai contoh pemikir yang mencoba


Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 11

membongkar secara kritis perandaian-perandaian mengandung nilai-nilai tertentu

yang tidak dinyatakan secara tersurat itu. Myrdal menemukan bahwa dibalik ilmu

ekonomi yang mengaku bebas nilai, tersembunyi filsafat moral dalam bentuk

utilitarisme, liberalisme dan hedonisme sebagai titik tolak bagi teori-teorinya. 4

Sementara itu, Habermas menemukan dalam ilmu-ilmu yang bebas nilai, terjadi

pemaksaan penggunaan satu cara yang seragam untuk mengusahakan ilmu, yaitu

penggunaan metode ilmu alam yang positivistis untuk ilmu sosial dan

kemanusiaan.5 Yang sebenarnya memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda,

sehingga masuklah nilai yang tidak cocok ke dalam ilmu sosial dan kemanusiaan.

Kiranya dapatlah dikatakan bahwa otonomi ilmu itu bertingkat sifatnya.

Pada tataran asumsi atau perandaian kurang otonom, pada tataran metodologi atau

cara kerja lebih otonom sifatnya, dan pada tataran pemanfaatan ilmu otonomi

tidaklah sebesar otonomi pada tataran metodologi atau cara mengusahakan ilmu.

Uraian di atas kiranya dapat memperluas wawasan dan mempertajam daya

kritis kita untuk melihat bahwa persoalan di sekitar ilmu dan nilai tidak dapat di

dekati secara kaku. Yang sesungguhnya terjadi dalam sejarah perkembangan ilmu

adalah ketegangan terus-menerus antara ilmu dan nilai. Jadi, bukan saling

meniadakan. Ketegangan itu memberikan pengaruh baik pada ilmu maupun nilai.

Ilmu menjadi lebih terbuka untuk melihat keterbatasannya, dan nilai lebih

membuka diri untuk merumuskan kembali anggapan-anggapan dasarnya.

Ketegangan ilmu dan nilai dewasa ini terasa semakin sensitif. Ini terjadi

karena baik cara mengusahakan ilmu dan pemanfaatan ilmu telah makin
4 Myrdal, Gunnar. Op. Cit.

5 Habermas, Jurgen. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3S. 1990
Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 12

berkembang dan memunculkan tidak saja kegunaan tetapi sekaligus ancaman bagi

umat manusia. Ketegangan itu makin terasa karena makin tumbuhnya kesadaran

bahwa ilmu, seperti yang dikatakan Campbell, tidak memberikan arah yang akan

ditempuh ilmu itu sendiri. Juga ilmu tidak memberikan kepada kita bimbingan

untuk memilih tujuan, baik tujuan perkembangan ilmu maupun tujuan-tujuan yang

seharusnya dicapai oleh umat manusia. Ilmu hanya dapat membimbing kehidupan

praktis dan memilih sarana.6

Oleh karena itu, ilmu kini terbentur pada masalah-masalah yang tidak dapat

diatasi kaidah-kaidah ilmu itu sendiri. Ilmu dewasa ini berhadapan dengan

pertanyaan pokok tentang jalan yang seharusnya ditempuh. Pertanyaan ini tidak

dapat dijawab oleh ilmu itu sendiri. Soedjatmoko merumuskan beberapa

pertanyaan pokok itu, yaitu sampai di mana ilmu bisa dikendalikan sehingga

jalannya tidak menurut kemauan dan momentumnya sendiri saja, namun melayani

keperluan manusia dan keselamatannya dan tidak menjadikan manusia budak dari

ilmu.

Penutup

Pertanyaan di sekitar tujuan-tujuan dan cara pengembangan ilmu yang tidak

dapat dijawab sendiri oleh ilmu kiranya akan memaksa ilmu untuk mencari

referensi kepada patokan-patokan lain, seperti moral dan agama. Tentu saja

keadaan ini tidak akan memaksa kita kembali ke abad pertengahan ketika Galileo

6 Campbell, N. Ilmu Pengetahuan Alam: Tantangan Akal Budi Manusia. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.


Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 13

diadili, melainkan untuk memberi makna baru, baik kepada ilmu maupun nilai.

Inilah tantangan baru yang harus dihadapi sekarang ini.


Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 14

DAFTAR PUSTAKA ACUAN

Adisusilo, J. R. Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta:

Kanisius. 1983

Beekman, Gerard. Filsafat Para Filsuf Berfilsafat. Jakarta: Erlangga. 1984

Beerling, et al. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1986

Campbell, N. Ilmu Pengetahuan Alam: Tantangan Akal Budi Manusia. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Chalmers, A. F. Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?. Jakarta: Hasta Mitra. 1983

Habermas, Jurgen. Ilmu dan Teknologi Sebagai Ideologi. Jakarta: LP3S. 1990

Melsen, A. G. M. Van. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. Jakarta:

Gramedia. 1985

Myrdal, Gunnar. Obyektivitas Penelitian Sosial. Jakarta: LP3S. 1984

Peursen, C. A. Van. Susunan Ilmu Pengetahuan: Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu.

Jakarta: Gramedia

Putra, Nusa. Pemikiran Soedjatmoko tentang Kebebasan. Jakarta: Gramedia. 1993

Rahmat, Aceng, et al. Filsafat Ilmu Lanjutan. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group. 2011

Russel, Betrand. Dampak Ilmu Pengetahuan Atas Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

1992

Soedjatmoko. Etika Pembebasan, Pilihan Karangan tentang Agama,

Kebudayaan, Sejarah, dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta: LP3S

-----------------. Soedjatmoko dan Keprihatinan Masa Depan. Yogyakarta: Tiara

Wacana. 1991
Keterkaitan Antara Ilmu dan Nilai | 15

Suriasumantri, Yuyun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan. 2000

---------------------------------. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia. 2006

The Liang, Gie. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Nurcahya. 1984

Вам также может понравиться