Вы находитесь на странице: 1из 11

MULTIPLE SKLEROSIS

A. DEFINISI

Multiple Sklerosis (MS) merupakan suatu penyakit demyelinasi

idiopatik dan berulang yang melibatkan substantia alba pada sistem saraf

pusat. Penyakit ini menyerang selubung myelin akson. Kerusakan pada

selubung myelin ini menyebabkan terganggunya hubungan antar akson

dalam susunan saraf pusat otak dan chorda spinalis. Kerusakan myelin

berhubungan dengan proses infiltrasi sel mononuklear perivaskular lokal

diikuti terjadinya kerusakan myelin yang disebabkan makrofag. Pada tahap

selanjutnya secara khas terjadi proliferasi astrosit yang disertai terbentuknya

jaringan fibroglial(1).

B. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat diperkirakan 250.000 hingga 350.000 orang yang

terinfeksi MS yaitu 1 dari 1000 orang atau kurang dari 10% dari jumlah

populasi.(2) Sedangkan di negara-negara Asia dan Afrika penyakit ini relatif

jarang didapatkan.(1) Perempuan terinfeksi dua kali lipat dibanding dengan

laki-laki. Gejala jarang muncul sebelum usia 15 tahun atau setelah usia 60

tahun. Usia rata-rata timbulnya gejala adalah 30 tahun dengan kisaran antara

18 tahun hingga 40 tahun pasda sebagian besar pasien(2).


C. ETIOLOGI
Sifat dasar gangguan yang menyebabkan penyakit Multiple

Skelerosis tidak diketahui secara pasti. Bukti-bukti terbaru mendukung teori

bahwa MS adalah penyakit yang disebabkan oleh autoimun, mungkin

berkaitan dengan pemicu lingkungan yang tidak dapat ditentukan seperti

infeksi virus.(2) Infeksi virus (mungkin morbili) pada individu dengan genetik
rentan dapat menjadi pemicu munculnya penyakit ini. (3) Hipotesis ini berasal

dari beberapa observasi bahwa infeksi virus biasanya menyebabkan

peradangan yang melibatkan produksi interferon gamma, yaitu suatu zat

kimia yang diketahui dapat memperburuk penyakit ini. Studi-studi migrasi

memperlihatkan bahwa bila seorang dewasa berpindah dari daerah yang

berisiko tinggi ke daerah yang berisiko rendah, orang dewasa tersebut akan

mempertahankan risiko tinggi untuk berkembangnya MS. Namun seseorang

yang bermigrasi sebelum usianya 15 tahun, memiliki risiko rendah mendapat

MS ditempatnya yang baru(2).


D. PATOGENESIS
Pada multipel sklerosis, sebagian besar kasus ditandai oleh kelainan

neurologik yang hilang timbul dan mengenai berbagai regio susunan saraf

pusat (SSP) serta berlangsung bertahun-tahun. Penyebab dan patogenesis MS

belum sepenuhnya dipahami. Namun, cukup banyak bukti tak-langsung

bahwa MS adalah suatu penyakit autoimun akibat cedera selubung mielin

dan/ atau sel oligodendroglia yang diperantarai oleh sel T. Di dalam lesi,

ditemukan sel T CD4+ maupun CD8+, dan banyak yang reaktif terhadap

myelin basic protein. Sel ini menyebabkan cedera dengan membebaskan

sitokin serta sitotoksisitas langsung yang diperantarai oleh sel T CD8+.(4)


Gambar 1. Patogenesis multiple sklerosis. (Dikutip dari kepustakaan 5)

Kelainan primer multipel sklerosis terbatas pada SSP, sistem saraf

perifer tidak terkena secara primer. Penderita yang meninggal dengan

sklerosis multipel biasanya menunjukkan banyak plak demielinasi dalam otak

dan saraf spinal , sering dekat dengan vena dan venula. Pada lesi awal, plak

teraba lunak dan berwama merah jambu dengan batas yang tidak jelas.

Gambaran histopatologis menunjukkan adanya mielin yang rusak dan

difagositosis oleh makrofag. Edema biasanya ditemukan, memberi kesan

adanya kelainan lokal pada pertahanan darah otak. Perivaskuler diselubugi


sel radang (sel plasma dan limfosit-T) yang menyebar ke dalam plak akut. Sel

plasma mensintesis imunoglobulin, dan pita oligoklonal dari IgG biasanya

ditemukan pada CSS penderita dengan sklerosis multipel. Limfosit-T juga

dapat diidentifikasi pada bagian tepi plak akut, sedangkan limfosit-B

biasanya ditemukan di daerah yang mengalami demielinasi.(3)

Begitu mielin rusak dan akhirnya hilang, terjadilah reaksi fibriler

gliosis, yang memberikan gambaran plak kronis. Lesi ini mengandung daerah

demielinasi yang berbatas tegas, berwarna abu-abu, tembus sinar, di tempat

oligodendrosit sangat sedikit ditemukan atau tidak ada sama sekali. Infiltrat

radang juga menghilang, yang kadang-kadang meninggalkan beberapa

kelompok kecil limfosit perivaskuler pada tepi dari plak kronis. Walaupun

oligodendrosit mempunyai kemampuan proliferasi, remielinasi dari plak yang

terbentuk mungkin tidak pernah terjadi. Akson biasanya berada di dalam plak

kronis.(3)

Gambar 2. Plak pada Multiple Sklerosis (dikutip


dari kepustakaan 7)
E. KLASIFIKASI
Multiple sclerosis diklasifi kasikan menjadi 4 kelompok:
1. Relapsing Remitting MS (RRMS)
Tipe ini ditandai dengan episode relaps atau eksaserbasi yang diikuti

dengan episode remisi (perbaikan). Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe

RRMS, 65% di antaranya akan berkembang menjadi tipe Secondary

Progressive MS (SPMS).
2. Secondary Progressive MS (SPMS)
Banyak pakar yang menganggap SPMS merupakan bentuk lanjut dari

RRMS yang berkembang progresif. Pada tipe ini, episode remisi makin

berkurang dan gejala menjadi makin progresif.


3. Primary Progressive MS (PPMS)
PPMS diderita oleh 10-15% pasien MS dengan rasio perempuan: laki-

laki=1:1. Gejala yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi.


4. Primary Relapsing MS (PRMS)
Bentuk PRMS adalah yang paling jarang. Pasien terus mengalami

perburukan dengan beberapa episode eksaserbasi di antaranya. Tidak

pernah ada fase remisi atau bebas dari gejala.(7)


F. GEJALA KLINIS
Sebenarnya setiap penderita MS dapat mengalami gejala yang

berbeda dengan penderita MS lainnya. Lokasi lesi menentukan manifestasi

klinis MS. Kombiasi gejala dan tanda yang dapat terjadi, antara lain:

1. Gangguan sensorik
Derajat parestesia (rasa baal, rasa geli , rasa sakit yang dirasakan saat

akan pulih dari rasa baal (pins and needles) bervariasi dari satu hari ke hari

lainnya. Bila terdapat lesi pada kolumna posterior medula spinalis

servikalis, fleksi pada leher menyebabkan sensasi seperti syok yang

menuruni spinalis (tanda Lhermitte). Gangguan proprioseptif seringkali

meningkatkan ataksia sensoris dan inkoordinasi lengan. Sensasi getar

seringkali terbatas. Gangguan sensoris tidak bisa diperlihatkan secara

objektif sehingga gejala-gejala ini dapat dianggap berkaitan dengan

gangguan histerikal.(2)
2. Keluhan visual
Banyak pasien yang mengalami masalah visual sebagai gejala awal.

Sering dilaporkan adanya diplopia (pandangan ganda), pandangan buram,

distorsi warna merah-hijau, dan lapangan pandang abnormal dengan bintik

buta (skotoma) pada satu atau dua mata. Penglihatan dapat hilang

sepenuhnya pada satu mata dalam beberapa jam hingga beberapa hari.

Neuritis optikus merupakan dasar dari gangguan penglihatan ini. Keluhan

lain yang sering diungkapkan adalah diplopia akibat lesi batang otak yang

mengenai jaras serabut atau nukleus dari otot ekstraokular dan nistagmus.
(2)

3. Kelemahan spastik pada ekstremitas.


Sering dikeluhkan kelemahan ekstremitas pada satu sisi tubuh atau

kelemahan dengan distribusi asimetris pada keempat ekstremitas. Pasien

dapat mengeluh kelelahan dan rasa berat di satu tungkai dan secara sadar

menyeret kaki itu dan memiliki kontrol buruk. Pasien dapat mengeluh

tungkainya melompat secara spontan, khususnya saat di tempat tidur.


Spastisitas lebih jelas jika dibarengi dengan spasme otot yang nyeri.

Refleks tendon dapat menjadi hiperaktif dan tidak terdapat refleks

abdomen; respons plantaris adalah ekstensor (tanda Babinski). Tanda-

tanda tersebut mengindikasikan keterlibatan jaras pada kortikospinalis.(2)


4. Tanda serebelum.
Nistagmus (bola mata bergoyang cepat ke arah horisontal atau

vertikal) dan ataksia serebelum adalah gejala lazim lain yang

mengindikasikan keterlibatan traktus serebelum dan kortikospinalis.

Gerakan voluntar yang tidak terkordinasi, tremor intensional, gangguan

keseimbangan, dan disartria (pengamatan bicara dengan kata-kata yang

terpisah ke dalam suku kata dan berhenti di antara suku, kata) adalah tanda

dari ataksia serebelum.(2)


5. Disfungsi kandung kemih.
Lesi pada traktus kortikospinalis seringkali menyebabkan gangguan

pengontrolan sfingter; hesitansi, urgensi (tidak dapat menahan kencing),

dan sering berkemih lazim terjadi dan mengindikasikan adanya penurunan

kapasitas spastik kandung kemih. Juga terjadi retensi akut dan

inkontinensia.(2)
6. Gangguan suasana hati.
Banyak pasien mengalami euforiaperasaan gembira yang tidak

sewajamya. Perasaan ini diyakini akibat keterlibatan substansia alba lobus

frontalis. Tanda lain dari gangguan otak adalah hilangnya memori dan

demensia.(2)
G. DIAGNOSIS
Perjalanan penyakit MS agak sulit diduga, dengan sebagian pasien

memperlihatkan gejala penyakit yang progresif cepat serta meninggal dalam

beberapa minggu hingga bulan setelah onset (MS akut), sementara yang
lain ,memperlihatkan rentang usia yang normal, dengan sedikit atau tanpa

sekuele kronis. Namun, pada sebagian besar kasus penyakit ditandai dengan

eksaserbasi dan remisi multipel, disertai akumulasi defisit neurologik yang

berlangsung beberapa tahun atau dekade.(3)

Gambar 3. Penemuan MRI pada multipel sklerosis


(Dikutip dari kepustakaan 8)

Secara radiologis, MRI dapat membantu dalam mendiagnosis dan

menginvestigasi MS. Terkadang, pemeriksaan penunjang berupa MRI

merupakan pilihan utama untuk mendiagnosis MS.


Gambar 4. Lesi Juxtacortical pada lobus frontal dan parietal (A) T2-wheigted
memperlihatkan gambaran lesi multiple hiperintens yang berdekatan dengan korteks,
yang di tunjukkan oleh tanda panah pada gambar T1-wheigted. (dikutip dari
kepustakaan 9)

Salah satu keterbatasan dalam menggunakan MRI untuk

mendiagnosis MS adalah ketidakcocokan antara lokasi lesi dan manifestasi

klinis. Walaupun begitu, berdasarkan jumlah dan lokasi penemuan, MRI

sangat baik dalam hal sensitivitas dan spesivisitas untuk mendiagnosis MS.

Khususnya pada MS progresif yang mungkin tidak memperlihatkan lesi

klasik dari MS relapsing-remitting.

H. PENATALAKSANAAN
1. Azathioprine
Pada penelitian yang dilakukan di italia tahun 2014 dengan tehnik

sampel yang digunakan beberapa cara, yaitu multicentre, randomize,

controlled, single-blinded, non inferiority trial yang diinduksikan pada

sampel penelitian sebanyak 30 pasien dengan multiple sklerosis pada

umur 18-35 tahun dengan dosis pemberian target oral 3mg/kgbb/ hari dan

ditingkatkan sampai 50 mg setiap pemberian pada malam hari dan

diberikan selama 42 hari terbukti bahwa hasilnya penelitian ini

mengindikasikan efikasi yang hampir sama baiknya atau sama efeknya

dengan pemberian interferon Beta pada pasien multipel sklerosis yang

kambuh. Selain itu biaya dari pengobatan derivat azathiorine lebih murah
dibandingkan dengan pemberian kortikosteroid lainnya seperti interferon
(10).

2. IFN
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan

untuk mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a

maupun 1b. Beta interferon dapat mengurangi jumlah lesi infl amasi 50-

80% yang terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga direkomendasikan untuk

mendapatkan terapi Interferon Beta.IFN 1a yaitu (Avonex 30 g/IM

1x seminggu , Rebif g/SC 3x seminggu) sedangkan IFN 1b (Betaseron

250 g /SC setiap selang sehari).(7)


3. Methyl Prednisolon
Relaps akut yang menimbulkan gangguan fungsional dapat

diterapi dengan serial singkat methyl prednisolon secara IV yaitu 1gr/iv

setiap pagi selama 3-5 hari.(10)


I. PROGNOSIS
Prognosis multipel sklerosis tergantung pada beratnya penyakit,

ketepatan dan kecepatan penanganan, umur paisen, dan keadaan umum

pasien. Dengan diagnosa yang cepat dan intervensi yang tepat maka fungsi

neurologik dapat dilindungi.(2)

DAFTAR PUSTAKA

1. Lutfi D, dkk. 2010. Multiple Sclerosis in Bilateral Optic Neuritis in Children


Due to Multiple Sclerosis. Surabaya : Department of Ophthalmology, Faculty
of Medicine Airlangga University/Dr. Soetomo General Hospital. Hal : 1
2. Price A Sylvia, dkk. 2007. Multiple Sclerosis Pada Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta : EGC. Hal : 1145-1147
3. Underwood, JCE. 1992. Multiple Sclerosis Pada Patologi Umum dan
Sistematik Edisi 2. Jakarta : EGC. Hal : 879-881
4. Cotran, Robbins, et all. 2010. Multiple Sclerosis in Pathologic Basis Of
disease. Philadelphia : Saunders Elseviers. P:1310-1011
5. Kierszenbaum L, Abraham, et all. 2012. Multiple Sclerosis in Histology And
Cell Biology. Philadelphia : Saunders Elseviers. P: 421
6. Kumar V, Cotran RS, et all. 2007. Multiple Sclerosis pada Buku Ajar
Patologi Edisi 7. Jakarta : EGC. Hal : 934-935
7. Estiasari, Riwanti. 2014. Sklerosis Multiple. Jakarta : Departemen Neurologi,
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. CDK-217/Vol. 41 No.6.
8. Andy AA. 2013. Buku Saku Harrison Neurologi. Jakarta : Karisma
Publishing Group.
9. Wilson JA. 2014. Brain Imaging in Multiple Sclerosis. Medscape reference.
10. Massacesi L, Tramacere I, et all. 2014. Multiple Sclerosis in Azathioprine
Versus Beta Interferons For Relapsing-Remitting Multiple Sclerosis : A
Multicentre Randomized Non-Inferiority Trial. Surabaya : Departement of
Neurology Clinical Univercity. P :1, 2, dan 11.
11. Giovannomi, Gavin., et all. 2010. Multiple Sclerosis in A Placebo-Controlled
Trial Of Oral Cladribine for Relapsing Multiple Sclerosis. The New England
Journal of Medicine. P:425

Вам также может понравиться