Вы находитесь на странице: 1из 41

BAB I

PENDAHULUAN

Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung


empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut
koledokolitiasis.(1)
Prevalensi kolelitiasis di negara Eropa dilaporkan sekitar 5-15% menurut
beberapa survey dengan ultrasonografi. Di negara-negara Asia, prevalensi
kolelithiasis berkisar antara 3-10%.(1)
Angka kejadian penyakit batu empedu dan penyakit saluran empedu lainnya
di Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia
Tenggara dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara
mendiagnosis dengan menggunakan ultrasonografi.(2)
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat
diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan
autopsy di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 %
pria.(1) Sementara ini didapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia
lebih umum, tetapi angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan negara
Eropa lain, tetapi sesuai dengan angka di negara Asia Tenggara lain.
Banyak penelitian akhir-akhir ini yang menunjukkan bahwa kolelitiasis
mempunyai hubungan dengan umur, jenis kelamin wanita, kehamilan, Body Mass
Index (BMI), konsumsi alkohol, kebiasaan diet dan gangguan metabolik seperti
diabetes mellitus dan hiperlipidemia.(1)
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru, maka
banyak penderita batu kandung empedu dapat dideteksi secara dini sehingga
dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan
dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi
morbiditas dan mortalitas.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kandung Empedu

Sistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris dan hati
tumbuh bersama. Berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut, dimana
tonjolan tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian kaudal dari
divertikulum akan menjadi gallbladder (kandung empedu), ductus cysticus,
ductus biliaris communis (ductus choledochus) dan bagian cranialnya menjadi
hati dan ductus hepaticus biliaris.(3)
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat
dengan panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila kandung
empedu mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka infundibulum
menonjol seperti kantong (kantong Hartmann). Vesica fellea dibagi menjadi
fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol
dibawah pinggir inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding
anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan.(3)

Gambar 1. Anatomi Empedu.(4)

Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri


hepatica kanan. Vena cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta.
Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena vena juga berjalan antara hati dan
kandung empedu. Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae
yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan
melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke
nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari
plexus coeliacus.(5)
Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-
2 cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak
sekali membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of Heister, yang
mengatur pasase empedu ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari
kandung empedu.(5)
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar
50 ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk
membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan-lipatan permanen yang satu
sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang
tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian
disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris.
Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri.
Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini
sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus
sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan
ke duodenum.(2, 6)

2.2 Fisiologis Kandung Empedu

Fungsi primer kandung empedu adalah memekatkan empedu dengan


absorbs air dan natrium. Kandung empedu mampu memekatkan zat terlarut yang
terkandung dalam empedu hepatic sampai 5-10 kali dan mengurangi volumenya
80%-90%.(6)
Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1500 ml per hari. Di
luar waktu makan, empedu di simpan untuk sementara di dalam kandung empedu
dan disini terjadi pemekatan sampai 50%. Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3
faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu dan tahanan
sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang dihasilkan akan dialih-
alirkan ke dalam kandung empedu. Aliran tersebut sewaktu-waktu seperti
disemprotkan karena secara intermitten tekanan saluran empedu akan lebih tinggi
daripada tahanan sfingter.(6)
Aliran empedu kedalam duodenum tergantung pada koordinasi kontraksi
kandung empedu dengan relaksasi sfingter odii. Makanan merangsang CCK
sehingga mengurangi fase aktivitas sfingter odii yang berkontraksi, menginduksi
relaksasi, oleh karena itu memungkinkan masuknya empedu kedalam duodenum.
(5)
Empedu secara primer terdiri dari air, lemak organik, dan elektrolit yang
normalnya diproduksi oleh hepatosit. Komposisi elektrolit dari empedu sebanding
dengan cairan ekstraseluler. Kandungan protein relatif rendah. Zat terlarut organik
yang predominan adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid. Asam empedu
primer, asam xenodeoksilat dan asam kolat, disintesis dalam hati dari kolesterol.
Konjugasi dengan taurin atau glisin terjadi didalam hati. Kebanyakan kolesterol
yang ditemukan dalam empedu disintesis denovo dalam hati. Asam empedu
merupakan pengatur endogen penting untuk metabolisme kolesterol. Pemberian
asam empedu menghambat sintesis kolesterol hepatik tetapi meningkatkan
absorbs kolesterol.(5)
Lebih dari 80% asam empedu terkonjugasi secara aktif dibsorbsi dalam
ileum terminalis. Akhirnya, kurang lebih separuh dari semua asam empedu yang
diabsorbsi dalam usus dibawa kembali melalui sirkulasi porta ke hati. Sistem ini
memungkinkan kumpulan garam empedu yang relatif sedikit untuk bersirkulasi
ulang 6-12 kali perhari dengan hanya sedikit yang hilang selama perjalanan.
Hanya sekitar 5% dari asam empedu yang disekresikan dalam feses.(5, 6)
Factor-faktor yang bertanggung jawab untuk pengisian kandung empedu
dan pengosongannya adalah hormonal, neural, dan mekanikal. Memakan makanan
akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum yaitu kolesistokinin (CCK),
yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu. Reseptor
CCK terletak dalam otot polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan
maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Faktor
neural yang predominan dalam mengatur aktifitas motoris kandung empedu
adalah stimulasi kolinergik yang menimbulkan kontraksi. Pengisian kandung
empedu terjadi pada saat tekanan dalam duktus biliaris (berkaitan dengan aliran
dan tekanan sfingter) lebiha besar dari pada tekanan didalam kandung empedu.
Sejumlah peptide usus terlibat sebagai faktor endogen yang dapat mempengaruhi
proses ini. (5)

2.3 Definisi Kolelitiasis

Kolelitiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan


dimana terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang
memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi. Cholelithiasis atau
pembentukan batu empedu; batu ini mungkin terdapat dalam kandung empedu
(cholecystolithiasis) atau dalam ductus choledochus (choledocholithiasis).(2)

2.4 Epidemiologi

Angka kejadian batu empedu di tiap negara berbeda-beda. Banyak faktor


yang mempengaruhi pembentukan batu empedu di antaranya ras, pola hidup,
genetik dan infeksi. Prevalensi batu empedu di beberapa negara Barat hampir
sama dengan di Amerika Serikat, tetapi di negara-negara Asia lebih rendah. Di
Indonesia belum ada penelitian epidemiologis, diduga insidensi batu empedu
masih lebih rendah bila dibandingkan dengan di negara Barat. Tetapi dengan
adanya kecenderungan pola hidup modem maka mungkin batu empedu di
Indonesia pada masa mendatang akan merupakan suatu masalah kesehatan yang
perlu mendapat perhatian.(1)
Di Amerika Serikat, sekitar 10-15 % penduduk dewasa mendertia batu
empedu, dengan angka kejadian pada pasien wanita tiga kali lebih banyak dari
pada pria. Setiap tahun, sekitar 1 juta pasien batu empedu ditemukan dan 500.000
600.000 pasien kolesistektomi, dengan total biaya sekitar US$4 trilyun.(7)
Di Inggris lebih dari 40.000 kolesistektomi dilakukan setiap tahun.
Insidensi batu pada CBD yang ditemukan sebelum atau pada saat kolesistektomi
sekitar 12% - 15%, menunjukkan bahwa di Inggris saja lebih dari 4000 orang
memerlukan pembersihan batu dari saluran empedu setiap tahunnya.(7)
Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di
negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat
dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

2.5 Etiologi

Penyebab batu empedu dan batu saluran empedu masih belum diketahui
dengan sempurna, akan tetapi faktor predisposisi yang paling penting tampaknya
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu,
stasis empedu dan infeksi kandung empedu.(8)
Factor factor yang mendasari terjadinya batu empedu pada beberapa
penelitian adalah jenis kelamin, usia, kolesterol HDL yang rendah, BMI yang
tinggi, presentase lemak tubuh, kadar glukosa serum yang lebih tinggi terutama
pada wanita ( dengan atau tanpa NIDDM ), paritas dan hiperinsulinemia. Pada
penelitian yang secara konsisten dan sering ditemukan adalah hubungan antara
konsisten dan sering ditemukan adalah hubungan antara konsentrasi kolesterol
HDL serum dengan terjadinya batu empedu, yang memberikan kesan bahwa
ambnormalitas dari metabolisme HDL yang mendasari terjadinya batu empedu.(9)
Gambar 2. Diagram faktor resiko terjadinya batu empedu(9)

Hipotesis genetic mendukung teori cholelithiasis berkembang dari hubungan


keluarga, survey epidemiologi yang telah ada memberikan kesan bahwa ras
Amerika dan bangsa Indian memiliki gen lithogenik lebih tinggi. Karena
kolerterol dalam empedu kebanyakan berasal dari kolesterol yang dibentuk dari
lipoprotein plasma, beberapa studi dan penelitian memfokuskan pada gen yang
terkait dengan transport dari kolesterol yang dibentuk dari lipoprotein plasma,
beberapa studi dan penelitian memfokuskan pada gen yang terkait dengan
transport dari kolesterol tersebut, termasuk ekspresi dari apoprotein E, B, dan A-I,
dan cholesterol ester transfer protein. Pada percobaan dengan menggunakan tikus
dan hamster telah ditemukan memang ada suatu gen yang dapat membantu
terbentuknya batu empedu cholesterol.(10)

2.6 Patofisiologi Cholelithiasis

2.6.1 Batu Kolesterol


Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan
kelebihan kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai
garam empedu. Hati berperan sebagai metabolisme lemak, kira-kira 80 persen
kolesterol yang disintesis dalam hati diubah menjadi garam empedu, yang
sebaliknya kemudian disekresikan kembali ke dalam empedu, sisanya diangkut
dalam lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel jaringan tubuh.(2)
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigmen dan batu
campuran. Lebih dari 90 % batu empedu adalah kolesterol (batu yang
mengandung > 50% kolesterol) atau batu campuran ( batu yang mengandung 20-
50% kolesterol). 10 % sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung
<20% kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah
keadaan stasis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak
sempurna dan kosentrasi kalsium dalam kandung empedu.(2)
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin
dan fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu
menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol,
kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan
batu. Kristal yang terbentuk dalam kandung empedu, kemudian lama kelamaan
tersebut bertambah ukuran, beragregasi, melebur dan membentuk batu. Factor
motilitas kandung empedu dan biliary stasis merupakan predisposisi pembentukan
batu campuran.(2)
Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui
agregasi garam empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-sama ke dalam
empedu. Jika konsentrasi kolesterol melebihi kapasitas solubilisasi empedu
(supersaturasi), kolesterol tidak lagi mampu berada dalam keadaan terdispersi
sehingga menggumpal menjadi kristal-kristal kolesterol monohidrat yang padat.
(5)
Etiologi batu empedu masih belum diketahui sempurna. Sejumlah
penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita batu kolesterol mensekresi
empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Batu empedu kolesterol dapat
terjadi karena tingginya kalori dan pemasukan lemak. Konsumsi lemak yang
berlebihan akan menyebabkan penumpukan di dalam tubuh sehingga sel-sel hati
dipaksa bekerja keras untuk menghasilkan cairan empedu. Kolesterol yang
berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu dengan cara yang belum
dimengerti sepenuhnya.(2,5)
Ada 3 mekanisme utama yang berperan dalam pembentukan batu kolesterol,
yaitu: (9, 11)
1. Supersaturasi kolesterol
Empedu mengandung 85-95% air. Kolesterol bersifat tidak larut dalam air,
sehingga harus dipertahankan dalam keadaan larut dengan disekresikan dari
membran kanalikuli dalam bentuk vesikel fosfolipid, yaitu gabungan kolesterol
fosfolipid. Kelarutan kolesterol tergantung pada konsentrasi fosfolipid dan asam
empedu dalam empedu, juga jenis fosfolipid dan asam empedu yang ada
Pada keadaan empedu tidak lewat jenuh oleh kolesterol serta mengandung
cukup asam empedu dan fosfolipid, kolesterol akan terikat pada bagian hidrofobik
dari campuran misel (terdiri atas fosfolipid terutama lesitin, asam empedu dan
kolesterol). Karena bersifat larut dalam air, campuran misel ini memungkinkan
transpor dan absorpsi produk akhir lemak menuju atau melalui membran mukosa
usus.
Secara normal, komposisi empedu terdiri atas 70 % garam empedu, 22%
fosfolipid (terutama lesitin), 4% kolesterol, 3% protein, dan 0,3% bilirubin.
Terbentuknya batu empedu tergantung dari keseimbangan kadar garam empedu,
kolesterol dan lesitin. Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah
kandungan garam empedu, akan membuat kondisi di dalam kandung empedu
jenuh akan kolesterol (supersaturasi kolesterol). Kolesterol disintesis dihati dan
diekskresikan dalam bentuk garam empedu. Dengan meningkatnya sintesis dan
sekresi kolesterol, resiko terbentuknya empedu juga meningkat. Penurunan berat
badan yang terlalu cepat (karena hati mensintesis kolesterol lebih banyak), maka
esterogen dan kontrasepsi (menurunkan sintesis garam empedu) menyebabkan
supersaturasi kolesterol.
2. Nukleasi (pembentukan inti) kolesterol
Nampaknya faktor pembentukan inti kolesterol mempunyai peran lebih
besar dalam proses pembentukan dibandingkan faktor supersaturasi. Kolesterol
baru dapat dimetabolisme di dalam usus dalam bentuk terlarut air. Dan empedu
memainkan peran tersebut. Kolesterol diangkut dalam bentuk misel dan vesikel.
Misel merupakan agregat yang berisi fosfolipid (terutama lesitin), garam empedu
dan kolesterol. Apabila saturasi kolesterol lebih tinggi, maka akan diangkut dalam
bentuk vesikel. Vesikel ibarat sebuah lingkaran dua lapis. Apabila kosentrasi
kolesterol sangat banyak, dan supaya kolesterol dapat terangkut, maka vesikel
akan memperbanyak lapisan lingkarannya, sehingga disebut sebagai vesikel
berlapis-lapis (vesicles multilamellar). Pada akhirnya, di dalam kandung empedu,
pengangkut kolesterol, baik misel dan vesikel, akan bergabung menjadi vesikel
multilapis. Vesikel ini dengan adanya protein musin akan membentuk Kristal
kolesterol. Kristal kolesterol yang terfragmentasi pada akhirnya akan di lem
(disatukan) oleh protein empedu membentuk batu kolesterol.
Meningkatnya kadar kolesterol akan menyebabkan cairan empedu menjadi
lewat jenuh dan memungkinkan terjadi kristalisasi dan terbentuknya inti Kristal
kolesterol yang merupakan kunci penting dalam rangkaian patogenesis batu
kolesterol.
Pembentukan inti kristal juga dipenganrhi oleh waktu pembentukan inti
(nucleation time). Pada penderita batu empedu ternyata waktu pembentukan
intinya jauh lebih pendek dibandingkan dengan yang tanpa batu empedu. Hal ini
disebabkan adanya fbktor-faktor lain yang berperan mempercepat atau
mengharnbat terbentuknya batu, di antaranya berupa protein atau musin (mukus)
di dalam empedu. Beberapa peneliti menduga bahwa musin yang bersifat gel di
dalam kandung empedu dapat mencetuskan kristalisasi kolesterol. Selain itu,
glikoprotein 120 kda dan infeksi juga diduga dapat menyebabkan kristalisasi
kolesterol.
3. Gangguan fungsi empedu
Menurunnya kemampuan kontraksi dan kerusakan dinding kandung
empedu, memudahkan seseorang menderita batu empedu. Kontraksi kandung
empedu yang melemah akan menyebabkan stasis empedu. Stasis empedu akan
membuat musin yang di produksi di kandung empedu terakumulasi seiring dengan
lamanya cairan empedu tertampung dalam kandung empedu. Musin tersebut akan
semakin kental dan semakin pekat sehingga semakin menyulitkan proses
pengosongan cairan empedu. Bila daya kontraksi kandung empedu menurun dan
di dalam kandung empedu tersebut sudah ada Kristal, maka Kristal tersebut tidak
akan dapat dibuang keluar ke duodenum. Beberapa kondisi yang dapat
menganggu daya kontraksi kandung empedu, yaitu hipomotilitas, parenteral total
(menyebabkan aliran empedu menjadi lambat), kehamilan, cedera medulla
spinalis dan diabetes melitus.
2.6.2 Batu Pigmen

Selain batu kolesterol juga terdapat batu pigmen. Batu pigmen


mengandung kurang dari 20% kolesterol dan berwarna gelap karena adanya
kalsium bilirubinat. Batu hitam biasanya kecil, rapuh, dan berduri. Mereka
terbentuk dari supersaturasi dari kalsium bilirubinat, karbonat dan fosfat, biasanya
sekunder dari kelainan hemolitik misalnya sferositosis herediter dan anemia sel
sabit dan juga sirosis. Seperti batu kolesterol, tersering terbentuk pada kandung
empedu. Batu ini terbanyak ditemukan di negara Asia seperti Jepang.
Tingkat bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih misalnya pada anemia
hemolitik, meningkatkan bilirubin tak terkonjugasi, sehingga meningkatkan
pembentukan batu pigmen. Sirosis juga akan meningkatkan sekresi bilirubin tak
terkonjugasi.
Batu coklat biasanya kurang dari 1 cm, coklat kekuningan dan lembut.
Batu ini terbentuk terutama pada kandung empedu atau duktus biliaris, biasanya
sekunder dari infeksi bakteri yang disebabkan karena stasis empedu. Kalsium
bilirubinat yang mengedap dan sel-sel bakteri yang mati membentuk inti dari batu.
Bakteri seperti Escherichia coli mensekresi beta-glucuronidase yang akan
memecah bilirubin glukuronide menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin ini
akan mengendap dengan kalsium, bersama dengan sel-sel bakteri yang mati, akan
menjadi batu coklat. Batu coklat biasanya ditemukan di saluran empedu
masyarakat Asia dan berhubungan dengan stasis bilier karena infeksi parasit. Pada
populasi barat, batu coklat terbentuk pada duktus biliaris secara primer pada
pasien dengan striktur bilier atau batu duktus koledokus yang menyebabkan stasis.
(3)

2.7 Manifestasi Klinis

Istilah kolelitiasis menunjukkan penyakit batu empedu yang dapat


ditemukan di dalam kandung empedu, saluran empedu, atau pada kedua-duanya.
Terbentuknya batu empedu tidak selalu memunculkan gejala pada penderitanya.
Gejala yang dirasakan pada penderita batu empedu tergantung dari lokasi tempat
batu empedu berada. Batu empedu dapat masuk ke dalam usus halus ataupun ke
usus besar lalu terbuang melalui saluran cerna sehingga tidak memunculkan
keluhan apapun pada penderitanya.(12)
Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu tidak
masuk ke dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Bilamana batu itu masuk
ke dalam ujung duktus sistikus barulah dapat menyebabkan keluhan penderita.
Apabila batu itu kecil, ada kemungkinan batu dengan mudah dapat melewati
duktus koledokus dan masuk ke duodenum.(12)
Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun.
Gejalanya mencolok nyeri saluran empedu cenderung hebat, baik menetap
maupun seperti kolik bilier (nyeri kolik yang berat pada perut atas bagian kanan)
jika ductus sistikus tersumbat oleh batu, sehingga timbul rasa sakit perut yang
berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual dan muntah sering kali berkaitan
dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik biliaris dimulai, serangan ini
cenderung makin meningkat frekuensi dan intensitasnya. Gejala yang lain seperti
demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut terasa melilit, perut terasa kembung,
dan lain-lain. (11)
Jika tidak ditemukan gejala dalam kandung empedu, maka tidak perlu
dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi
dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. Namun, jika batu
kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan
perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk pemeriksaan lanjut. Batu empedu
yang berada dalam kandung empedu bisa bertambah besar dan berisiko
menyumbat saluran empedu serta dapat menimbulkan komplikasi (kolesistisis,
hidrops, dan empiema). Kandung empedu dapat mengalami infeksi. Akibat
infeksi, kandung empedu dapat membusuk dan infeksi membentuk nanah.
Bilamana timbul gejala, biasanya karena batu tersebut bermigrasi ke saluran
empedu. Batu empedu berukuran kecil lebih berbahaya daripada yang besar. Batu
kecil berpeluang berpindah tempat atau berkelana ke tempat lain.(7, 12)
Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan
statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan
gabungan material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. Pada
keadaan normal, asam empedu, lesitin dan fosfolipid membantu dalam menjaga
solubilitas empedu. Bila empedu menjadi bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh
substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium, bilirubin), akan berkristalisasi dan
membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal yang yang terbentuk terbak
dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan kristal tersubut bertambah
ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor motilitas kandung
empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan predisposisi
pembentukan batu empedu empedu.(11)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan
mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang
tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus,
batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus
sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi
infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga
membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat
juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat
mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan
dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi
kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.(2)
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada
saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus
koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik.
Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus
obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. Batu kandung empedu dapat
lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila
batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna
(ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.(2, 12)
2.7.1 Komplikasi
2.7.1.1 Kolesistisis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu
tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung
empedu.(8)
2.7.1.2 Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi
yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran
menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.(8)
2.7.1.3 Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang
berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus
sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada kandung empedu yang normal.
Kolesistektomi bersifat kuratif.(8)
2.7.1.4 Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.(8)

Tabel 1. Patofisiologi, Manifestasi Klinis, Diagnosis Banding & komplikasi Penyakit


Batu Empedu

Nyeri Bilier Akut Koledokolitiasis Cholangitis


Kolesistitis

Patofisiologi obstruksi Batu impact Batu melewati Batu pada


intermiten duktus pada duktus kandung duktus
sistikus, Tidak sistikus empedu biliaris
ada inflammasi Inflammasi akut melalui duktus menyebabk
akut kantong pada kandung sistikus an statis
empedu empedu Obstruksi bilier
Infeksi bakteri intermitten Superinfeksi
sekunder duktus biliaris bakteri pada
bilier stagnan
Bakterimia
dini
Gejala Berat, tidak 75% kasus Biasanya Trias
dapat didahului asimptomatis Charcots
dilokalisasi, serangan nyeri Gejala tidak (nyeri,
nyeri bilier dapat jaundice,
epigastrium Nyeri epigastrik, dibedakan dan demam
atau RUQ, RUQ, dengan nyeri pada 70%)
intensitas lebih punggung, bilier Nyeri bisa
dari 15 menit & bahu kanan, & Merupakan ringan &
tetap konstan 1- dada faktor transient,
6 jam, ada Nausea dengan predisposisi bisa
nausea vomitus cholangitis dengan
Frekuensi dan menggigil
serangan dari pancreatitis Gangguan
hari-bulan akut mental,
Gas, kembung, letargi, &
dispepsia tidak delirium :
terkait dengan susp. sepsis
batu

Pemeriksaan Nyeri tekan Demam, Biasanya normal Demam pada


fisik ringan- sedang Murphys sign, jika 95%, nyeri
pada RUQ Pembesaran obstruksinya tekan RUQ
selama kandung intermittent 90%,
serangan, empedu 33%, Jaundice dengan Jaundice
Biasanya temuan Jaundice ringan nyeri : susp. 80%,
normal 20% Batu. tanda
Painless peritoneal
jaundice dan 15%,
pembesaran mental
kandung confussion
empedu : pada 15% :
keganasan sups.
Sepsis
gram
negatif
Laboratoirum Biasanya normal Leukocytosis Peningkatan Leukocytosis
Peningkatan Bilirubin serum bilirubin pada 80%
serum bilirubin, 2-4 mg/dL, serum & Serum
alkaline peningkatan alkalin bilirubin >
phosphate, aminotransfera phospatase 2mg/dL
amilase, se & alkaline pada obstruksi pada 80%
mengindikasika phospatase duktus biliaris Serum
n batu duktus Peningkatan Serum bilirubin alkaline
biliaris ringan serum > 10 mg/dL : phospatase
amilase & obstruksi meningkat
lipase maligna/ Kultur darah
Serum bilirubin hemolysis biasanya
>4mg/dL atau positif pada
peningkatan saat
amilase/lipase demam
: susp. batu menggigil
duktus bilier
Pemeriksaan USG USG ERCP ERCP
Penunjang lain Oral Scintigraphy EUS Perkutaneus
cholecystograp Hepatobilier MRC THC
hy Perkutaneus
THC

2.8 Diagnosis
2.8.1 Anamnesis
Pada yang asimtomatis, pasien biasanya datang dengan keluhan utama
berupa nyeri pada daerah epigastrium atau nyeri/ kolik pada perut kanan atas atau
perikardium yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit dan kadang beberapa
jam.(3)
Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba - tiba. Terkadang pasien dengan mata dan tubuh menjadi kuning, badan gatal-
gatal, kencing berwarna seperti teh, tinja berwarna seperti dempul dan penyebaran
nyeri pada punggung bagian tengah, scapula, atau kepuncak bahu disertai mual
muntah. Jika terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah dengan
nafas yg dalam.(3)
Kolik bilier timbul paling lazim 1sampai 2 jam pasca makan, biasanya
pada malam hari dwn hampir tak pernah pada pagi hari. Terdapat hubungan antara
kolik bilier dengan penelanan makanan berlemak pada banyak pasien g dianggap
pelepasan empedu dan kontraksi vesica biliaris. Kolesistitis kronis bisa
ditunjukkan oleh serangan kolik bilier atau spektrum keluhan nonspesifik yang
mencakup dispepsia, salah cerna, kembung dan bersendawa.(3)
2.8.2 Pemeriksaan Fisik

Pasien dengan stadium litogenik atau batu asimtomatik tidak memiliki


kelainan dalam pemeriksaan fisik. Selama serangan kolik bilier, terutama pada
saat kolelitisis akut, pasien akan mengalami nyeri palpasi / nyeri tekan dengan
punktum maksimum di daerah letak anatomis kandung empedu. Diketahui dengan
adanya tanda Murphy Sign positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Selain
itu ditemukan pula Riwayat ikterik pada cutaneus dan sclera, teraba hepar.(3)
2.8.3 Pemeriksaan Penunjang
2.8.3.1 Laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat
terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan
ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar
bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus
koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum
biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.(11)

2.8.3.2 Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas


karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak.
Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium
tinggi dapat dilihat dengan foto polos.(13)

Gambar 3 Foto rongent pada kolelitiasis


2.8.3.2 Ultrasonografi
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas
dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran
saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik.(13)

Gambar 4 USG kandung empedu disertai dengan batu dan acoustic shadow(13)

2.8.3.3 CT Scan
CT Scan sangat tidak tepat digunakan dalam mendeteksi batu empedu,
kecuali bila batu tersebut mengandung kalsium dalam jumlah yang banyak. Tetapi
pada sepsis intraabdomen yang dianggap berasal dari saluran empedu, maka CT
Scan bisa menentukan abses intra hepatik, perihepatik, atau trikolestika. Peranan
primer CT Scan adalah dalam pasien tua dengan ikterus obstruktif.(13)

Gambar 5 CT Scan Abdomen atas menunjukkan batu empedu multiple.(13)


2.8.3.4 Kolangiopankreatografi Retrograd Endoskopi (ERCP)
Tes invasif ini melibatkan opasifikasi langsung batang saluran empedu
dengan kanulasi endoskopi ampulla vateri dan suntikan retrograd zat kontras.
Didapatkan radiografi yang memuaskan dari anatomi duktus biliaris dan
pankreatikus. Resiko ERCP menambah insiden kolangitis. Keuntungan ERCP
yaitu memungkinkan pembuangan batu dengan instrumentasi retrograd duktus
biliaris.(13)

Gambar 5 ERCP menunjukkan batu empedu di duktus ekstra dan intrahepatik.(13)

2.9 Tatalaksana
2.9.1 Konservatif
Dalam 20 tahun terakhir, sudah banyak berkembang berbagai macam cara
untuk mengobati batu kandung empedu. Namun pemilihan metode pengobatan
harus tetap dibandingkan dengan terapi standar pembedahan.
2.9.1.1. Tablet asam empedu
Terapi asam empedu dengan asam chenodeoxycholic (Chenodiol) sudah
diperkenalkan sejk awal 1970. Tetapi dengan adanya efek samping dari
pengobatan ini, chenodiol sudah banyak digantikan dengan asam ursodeoxycholic
(ursodiol). Penggunaan paling efektif dari obat pelarut batu empedu adalah pada
kasus pasien simptomatic dengan batu berukuran kecil(kurang dari 5mm) dengan
kandung empedu yang masih berfungsi normal.(7)
Kasus ini terjadi pada 15% pasien batu empedu. sekitar setelah 6-12 bulan
terapi, pasien perlu dilakukan monitoring untuk melihat apakah batu empedu
sudah larut. Diperkirakan persentase kelarutan batu terjadi pada pasien 60% (batu
kurang dari 10mm) sampai 90% (batu kurang dari 5mm), namun sekitar dari
pasien mengalami kekambuhan dalam waktu 5 tahun kedepan. Dalam penelitian
lain didapatkan kelarutan hanya terjadi pada 4,2% pasien dan angka kekambuhan
sbesar 20%. Angka kelarutan batu akan lebih besar dan angka kekambuhan akan
lebih kecil pada pasien dengan batu single, pasien non obesitas, dan pasien muda.
Sehingga, indikasi untuk pemberian terapi asam empedu terbatas pada
pasien dengan keadaan komorbid yang menyebabkan resiko untuk operasi dan
pada pasien yang menolak untuk operasi.(7)
2.9.1.2 Extra corporeal shock wave lithotripsy (ESWL)
ESWL mulai diperkenalkan pada tahun 1980. Berbagai macam cara untuk
menghasilkan gelombang kejut telah dikembangkan dan keuntungan bergantung
pada jumlah energi yang disalurkan ke batu. Sebuah kelompok di Munich telah
menunjukkan angka bersihan batu mencapai 95% pada pasien simptomatik
dengan batu non-kalsifikasi yang berukuran kurang dari 20mm pada kandung
empedu yang masih berfungsi. Pasien dengan batu berukuran 20-30mm memiliki
angka bersihan batu sebesar 60%. ESWL yang efektif memerlukan terapi
tambahan menggunakan asam ursodeoxycholic.(7)
Angka kekambuhan dengan menggunakan ESWL jarang terjadi pada batu
single, tetapi masih sering terjadi pada batu multiple. Komplikasi ESWL jarang
terjadi, paling sering terjadi adalah peninngkatan enzim liver sementara,
pankreatitis, dan hematuria. Efektivitas ESWL tergantung pada pecahan batu
menjadi ukuran kecil yang dapat larut atau sudah melewati usus. Insiden nyeri
bilier dilaporkan terjadi 45% setelah pemecahan batu yang berhasil.(7)
2.9.1.3. Agen pelarut batu topical
Bahan yang paling sering digunakan adalah methyl tert-butyl ether
(MTBE), yang secara eksperimental sudah disetujui sebagai pelarut batu empedu.
MTBE umumnya diberikan melalui kateter transhepatic menuju kandung empedu
yang dipasang secara perkutan. Batu umumnya disusun oleh kolestrol yang dapat
dibersihkan dalam tempo jam sampai hari.(7)
Teknik ini paling sering dilakukan pada pasien dengan resiko pembedahan
yang besar. Data mengenai angka kekambuhan masih sulit untuk didapatkan.
Monooctanoin digunakan secara utama untuk melarutkan batu empedu yang
tersissa setelah pembedahan.(7)
2.9.2 Operatif
2.9.2.1 Cholecystostomy

Cholecystostomy mendecompresi dan mendrainase kandung empedu, yang


membengkak, meradang, hidropik, atau purulen. Hal ini berlaku jika pasien dapat
mentolerir operasi abdomen.
Drainase perkutan dengan USG-guided menggunakan kateter pigtail
merupakan pilihan. kateter dimasukkan dengan kawat pemandu melewati dinding
perut, hati, dan ke kandung empedu (Gambar). Dengan melewatkan kateter
melalui hati, risiko kebocoran empedu di sekitar kateter dapat diminimalisir.
Kateter dapat dicabut saat inflamasi hilang dan kondisi pasien membaik. Kandung
empedu juga dapat diangkat, jika terindikasi, biasanya dengan laparoskopi.
Pembedahan kolesistektomi dengan penempatan kateter besar menggunakan
anestesi lokal jarang diperlukan saat ini.

Gambar 6. Cholecystostomy perkutaneus. Kateter kuncir dimasukkan melalui


dinding abdomen, lobus kanan hati, dan ke kandung empedu.

2.9.2.1 Cholecystectomy
Kolesistektomi merupakan prosedur abdominal yang paling sering
dilakukan di negara-negara Barat.
Kolesistektomi menjadi pengobatan standar untuk batu kandung empedu
simtomatik. Open Cholecystectomy merupakan pengobatan yang aman dan efektif
kolesistitis akut dan kronis. Pada tahun 1987, laparoskopi kolesistektomi
diperkenalkan oleh Philippe Mouret di Perancis dan menjadi revolusi pengobatan
batu empedu. Hal tersebut tidak hanya menggantikan Open Cholecystectomy,
tetapi juga berupaya sebagai manajemen batu empedu noninvasif, seperti
extracorporeal shock wave and bile salt therapy. Hingga saat ini, kolesistektomi
laparoskopi merupakan pilihan utama pengobatan batu empedu symptomatic.

Tabel 2. Indikasi kolesistektomi(14)

Kondisi Waktu dilakukan operasi

Nyeri Bilier Operasi open di hari pertama


Bilier Diskinesia Operasi open di hari pertama
Calcified gallblader Operasi open di hari pertama
Kolesistitis akut Urgent (dalam 72 jam)
Koledokolitiasi Setelah CBD bersih
Gallstone pankreatitis Sebelum discharge, setelah
pankreatitis mereda

Tabel 3. Toleransi operasi(15)

Kriteria grade 1 Kolesistitis Akut (Toleransi operasi ringan)

Kolesistitis akut grade I pada pasien sehat tanpa adanya disfungsi organ dan
hanya terjadi inflammasi ringan pada kandung empedu
Kriteria grade 2 Kolesistitis Akut (Toleransi operasi sedang)
1. Calcified gallblader
2. Nyeri tekan pada RUQ abdomen
3. Durasi keluhan > 72jam
4. Adanya inflammasi lokal bermakna (peritonitis bilier, abses hepar, dll)
Kriteria grade 3 Kolesistitis Akut (Toleransi operasi berat)
1. Disfungsi kardiovaskular (hipotensi)
2. Disfungsi neurologi (penurunan kesadaran)
3. Disfungsi pernapasan (PaO2/FiO2 rasio < 300)
4. Gangguan ginjal (Oliguria, creatinin > 2.0 mg/dL)
5. Disfungsi hepar (PT-INR > 1.5)
6. Disfungsi Hematologi (Trombosit < 100.000/mm3)

Kontraindikasi absolutnya ialah penyakit koagulopati dan end-stage liver


disease. Nantinya, transplantasi hati dengan kolesistektomi, dapat digunakan
sebagai pengobatan penyakit batu empedu kronis. Jarang ditemukan pasien
dengan PPOK atau CHF (misalnya, fraksi ejeksi <20%) tidak dapat mentolerir
pneumoperitoneum dengan karbon dioksida dan memerlukan Open
Cholecystectomy. Kondisi sebelumnya diyakini berkaitan dengan keadaan
kontraindikasi seperti kolesistitis akut, gangren dan empiema kandung empedu,
fistula empedu, obesitas, kehamilan, VP shunt, sirosis, dan prosedur abdominal
bagian atas yang sekarang berpotensi sulit melakukan laparoskopi kolesistektomi.
Ketika anatomi tidak teridentifikasi dengan jelas atau tidak ada kemajuan selama
periode waktu tertentu, maka dilakukan konversi menjadi prosedur open.
Jarang terjadi komplikasi serius. Infeksi luka dan komplikasi
cardiopulmonary lebih rendah pada laparoskopi kolesistektomi dibandingkan
prosedur open. Namun, kolesistektomi laparoskopi cenderung mengalami cedera
duktus biliaris Pasien yang menjalani kolesistektomi harus melakukan
pemeriksaan laboratium darah dan fungsi hati tes sebelum operasi.
a. Open Cholecystectomy
Umumnya cholecystectomy dilakukan untuk sympatomatic gallstone
disease atau komplikasi dari batu (acute cholecystitis, acute pancreatitis,
obstructive jaundice) dan lebih dari 90% operasi dilakukan dengan laparaskopik.
Kebanyakan open cholecystectomy dilakukan ketika karena adanya suatu hal yang
menyebabkan seorang operator bedah melakukan konversi dari laparoskopik ke
open cholecystectomy, dan penyebab yang paling sering adalah adanya inflamasi
yang luas sehingga menghalangi indentifikasi dari anatomi di dalam triangle of
Calot.(4)

Gambar 7 Triangle of Calot dan hepatocystic triangle. Triangle of Calot


dibatasi oleh cystic duct (CD), common hepatic duct (CHD), dan cystic
artery (CA). hepatocystic triangle dibatasi oleh cystic duct, common hepatic
duct, dan liver. CBD, common bile duct; LHA, left hepatic artery(4)
Berbagai macam analisis mengatakan bahwa konversi ke operasi terbuka
diperkirakan akan terjadi antara lain dengan adanya:
- Umur lebih dari 60 tahun
- Jenis kelamin pria
- Berat badan lebih dari 65 tahun
- Adanya acute cholecystitis, riwayat operasi upper abdominal sebelumnya
- Level glycosylated hemoglobin yang tinggi (diantara pasien diabetes)
- Pengalaman yang kurang dari operator bedah
Jika pasien tidak dapat dilakukan operasi dalam 2 sampai 3 hari sejak
onset dari acute cholecystitis, maka dilakukan non operatif manajemen terlebih
dahulu dan baru mengerjakan cholecystectomy pada sekitar 6 minggu kemudian,
untuk memberi waktu reaksi inflamasi yang kuat/hebat tersebut reda terlebih
dahulu. (4)
Perdarahan adalah penyebab kedua paling sering konversi ke operasi
terbuka. Meskipun perdarahan yang tidak diharapkan dapat diatasi dengan
laparoskopik, konversi ke operasi terbuka diindikasikan jika perdarahan tidak
dapat dikontrol secara cepat dan tepat. (4)
Ketika preoperatif menyadari adanya kecurigaan terdahap massa kandung
empedu, sebaiknya dilakukan operasi terbuka, untuk mengantisipasi kemungkinan
portal lymph node dissection, maupun en bloc resection dari kandung empedu,
bagian dari liver, dan mungkin segmen dari bile duct. Sekitar 1% kandung
empedu yang diambil secara laparoskopikdiketahui mengandung carcinoma. Ini
adalah argumen yang memaksa untuk adanya pemeriksaan pathologist terhadap
specimen selama operasi berlangsung, jika ditemukan dengan segera adanya
carcinoma maka operasi operasi dapat segera dikonversi ke operasi terbuka dan
radikal teknik. (4)
Open cholecystectomy dilakukan pada waktu berbagai operasi abdominal
lainnya seperti pancreatoduodenectomy, liver resection, liver choledochal cyst
excision, transduodenal sphincterotomy, bile duct resection, liver transplantation,
laparatomi pada trauma dan sebagainya. Rangkaian operasi menunjukkan bahwa
cholecystectomy pada asymptomatic gallstone disease tidak meningkatkan angka
komplikasi pada operasi colorectal, dimana long-term likelihood cholecystectomy
dikemudian hari adalah signifikan. Juga cukup beralasan bahwa lebih baik
mengambil denervated kandung empedu yang mengandung batu, seperti halnya
vagotomy dilakukan untuk petic diathesis atau esophagogastrectomy. Indikasi
yang lain untuk open cholecystectomy adalah untuk melakukan eksplorasi
common bile duct dimana bile duct tidak dapat untuk dilakukan endoscopic stone
extraction atau laparoscopic exploration. Kandung empedu tidak akan melahirkan
inflamasi berat jika diambil pada saat melakukan operasi yang lain. (4)
Penyebab konversi dari laparoskopik ke open cholecystectomy lainnya
yaitu adanya perlekatan yang mengganggu, problem mekanik dari alat
laparoskopik, kelainan anatomi, laserasi atau transeksi bile duct, trauma usus atau
vaskular, dan ditemukannya kelainan patologi abdominal yang lain.(4)
Teknik
Kebanyakan open cholecystectomy dilakukan dengan general anesthesia,
namun ada juga yang tidak umum dengan regional (epidural atau spinal) teknik,
dan jarang dengan local anesthesia. Kemudian antibiotik profilaksis diberikan.(4)
Pasien dibaringkan terlentang dan mungkin lebih baik menaruh lipatan
selimut di bawah punggung kanan. Meja ruang operasi diatur sehinnga
cholangiography dapat dilakukan, termasuk dengan membalikkan tempat tidur
pasien sehingga posisi kepala berada di ujung yang biasanya diperuntukkan posisi
kaki. Hal ini menghasilkan ruang untuk fluoroscopic C-arm. Jika static
radiography lebih disukai daripada dynamic study, maka operator bedah harus
yakin bahwa radiographic cassette dapat diletakkan di bawah punggung pasien
untuk mendapatkan imaging yang bagus dari biliary tract. Operator bedah
umumnya berdiri di sisi kanan pasien, berlawanan dengan asisten.(4)
Umumnya open cholecystectomy dilakukan melalui subcostae kanan
(Kocher) incision dimana lokasinya selebar 2 jari dari batas bawah costae kanan.
Bahkan jika operator bedah cenderung untuk melakukan laparascopic
cholecystectomy, trocar incision harus direncanakan adanya kemungkinan nanti
menjadi satu dengan Kocher incision jika terjadi konversi ke open
cholecystectomy. Kemudian lakukan insisi pada anterior fascia. Rectus abdominis
kanan dan otot sebelah lateral (external oblique, internal oblique, dan tranversus
abdominis) dipisahkan, sambil menjaga hemostasis dengan electrocautery.
Pembuluh darah dinding abdominal yang terlihat jelas, seperti anastomosis deep
epigastric dan internal mammary vessels diikat, terutama ketika ada hipertensi
portal. Ligamentum teres diamankan dan dipisahkan, diikuti dengan insisi
sebagian dari falciform ligament. Ligamentum teres, bagaimanapun juga dapat
menjadi akar/sumber vaskularisasi yang berguna, juga untuk membungkus sekitar
satu anastomosis atau sepanjang staple line pada waktu operasi seperti pancreas
resection, dimana lebih baik membagi ligamentum pada level umbilicus. Midline
incision lebih disukai ketika operasi lain juga dilakukan atau pasien memiliki
sudut costae yang sempit. Right paramedian (Mayo) incision untuk
cholecystectomy telah diciptakan menurut sejarahnya berdasarkan rasa
keingintahuan/coba coba.(4)
Untuk memperluas kemungkinan, berdasarkan ukuran pasien dan adanya
perlekatan, organ abdominal harus diinspeksi dan dipalpasi dengan tujuan mencari
kelainan patologi. Wound protector mungkin diperlukan untuk melindungi
jaringan lunak dinding abdominal, terutama ketika diduga adanya suppurative
biliary disease.(4)
Operator bedah melakukan palpasi dan inspeksi liver, dan udara diberikan
ke dalam ruang subphrenic menuju dasar liver agar memperoleh tampilan lebih
baik dari permukaaan inferior. Kolon, usus halus dan perut ditarik lagi secara hati
hati (atraumatic) dengan laparatomy pad untuk mengekspos kandung empedu,
porta hepatis, dan duodenum. Perlekatan diinsisi untuk mengekspos seluruh
panjang dari kandung empedu, dan organ dipalpasi secara hati hati untuk
mengevaluasi batu atau massa. Inflamasi berat mungkin menyerupai sebuah
tumor, begitu keras, contracted kandung empedu segera mungkin dibuka untuk
mengevaluasi lesi mukosa. Operator bedah mengevaluasi porta hepatis dengan
memasukkan ibu jari ke dalam foramen Winslow dan menggunakan index dan jari
tengah untuk palpasi batu atau tumor. Inflamasi berat atau cirrhosis dengan
hipertensi portal, bagaimanapun juga dapat menghilangkan foramen. (4)
Melakukan manipulasi pada kandung empedu yang distended adalah sulit,
maka operator bedah dapat melakukan dekompresi dengan memasukkan metal
trocar atau large bore intravenous catheter ke dalam fundus dan kemudian
melakukan aspirasi empedu tabung suction. Adanya pigmen cairan aspirasi
menandakan longstanding cystic duct obstruction. Minimalisir kebocoran dari
empedu ke cavum peritoneal dengan meletakkan hemostat di fundus pada saat
pengambilan kembali trocar. Hemostat yang lebih panjang ditempatkan di
infundibulum. Kandung empedu dimobilisasi dari fundusnya menuju porta hepatis
(retrograde tecnique), atau dengan cara sebaliknya dari porta hepatis menuju
fundus (anterograde technique).(4)
Retrograde technique adalah teknik standar untuk banyak ahli bedah yang
berpengalaman, dan ini terutama menguntungkan jika ada inflamasi yang berat.
Operator bedah melakukan insisi visceral peritoneum fundus kandung empedu
sekitar 1 cm dari penempelannya pada liver, dan insisi kemudian diperpanjang
sepanjang kandung empedu parallel dengan liver. Asisten dapat menggunakan
tonsil-tipped suction device untuk menjaga lapangan operasi tetap kering,
sementara operator bedah menjaga dan memisahkan perlekatan dimana terdapat
vena vena cholecystic yang kecil. Vena ini biasanya dikontrol dengan
electrocoagulation, walaupun ligasi vena prominen diperlukan dalam kasus
adanya hipertensi portal atau kandung empedu distension. Laserasi liver diatasi
dengan direct pressure dan topical hemostatic agent. Pada kasus ini, seluruh
bagian kandung empedu dimobilisasi dari liver sebelum dilakukan pemotongan di
dalam triangle of Calot dan sepanjang porta hepatis. (4)

16

Gambar 8 Mobilisasi kandung empedu dari fundusnya ke triangle of Calot


(From-Gertsch P. The technique of cholecystectomy. In: Blumgart LH, Fong Y,
editors. Surgery of the liver and biliary tract, 3 rd edition. Philadelphia: WB
Saunders: 2000. p. 706; with permission.(4)
Jika melakukan pendekatan anterograde, maka kandung empedu neck
harus dimobilisasi dari liver untuk mengekspos triangle of Calot. Sekitar sepertiga
sampai setengah dari pasien mempunyai anatomi porta hepatis sesuai textbook,
jadi operator bedah diharapkan juga mencari kemungkinan adanya anomali atau
kelaianan. Hepatic artery, bagaimanapun juga tidak perlu diligasi tanpa perlu
khawatir terjadinya sesuatu yang diakibatkannya. Cystic duct dan cystic artery
dipisahkan dari bagian utuhnya. Sebelum memisahkan cystic duct, operator bedah
harus memasukkan batu dari cystic duct ke kandung empedu lumen manipulasi
secara gentle. Pemindahan kandung empedu neck ke anterior memudahkan
pemotongan organ dari liver.(4)

Gambar 9. Mobilisasi kandung empedu dari triangle of Calot ke fundus.(4)

Kandung empedu harus ditarik secara hati-hati tanpa terlalu banyak


tegangan dan kemudian dipotong dalam triangle. Memotong jauh dari porta
hepatis dapat menyebkan avulsi jaringan, membahayakan vaskularisasi dari
saluran empedu. (4)
Operator bedah harus menghindari penggunaan material noaabsorbable
pada cystic duct stump, choledochotomy suture line, atau pada biliary-enteric
anastomosis. Silk suture terkenal lithogenic dan dapat mendorong terjadinya
reaksi inflamasi kronis. (4)
Inflamasi yang hebat atau hipertensi portal dapat mengganggu diseksi
antara kandung empedu dan liver. Jika rencana awal yang aman tidak dapat
dilakukan, maka dapat dilakukan manuver lain dengan meninggalkan sebagian
dinding dalam dari kandung empedu yang menempel pada liver. Dinding organ
diinsisi secara melingkar pada fundus dan leher sehingga tersisa specimen yang
dibuang. Mukosa sisa dikauter dengan tujuan menghindari terbentuknya
mucocele. (4)
Seorang ahli bedah mungkin kurang memiliki pengalaman dalam
mengahadapi inflamasi yang berat, tidak dapat menggambarkan anatomi triangle
of Calot dengan jelas, dan kandung empedu tidak dapat diambil dengan aman
tanpa mengancam organ yang berdekatan, termasuk struktur portal, duodenum
dan hepatic flexure. Jika menghadapi situasi demikian maka lebih bijak untuk
melakukan partial (subtotal) cholecystectomy. Operator bedah memotong
sebanyak mungkin kandung empedu dan mengambil batu dari lumen yang tersisa.
Kandung empedu neck dijahit tertutup, menyisakan stump infundibulum.(4)
Kemungkinan pilihan lain jika cystic duct tidak dapat diekspos dan
dipotong dengan aman pada kasus inflamasi berat adalah dengan drain sederhana
kandung empedu dengan cholecystectomy tube. Fundus diinsisi dan batu diambil.
Large tube, seperti no. 28 French silicone Malecot catheter ditempatkan dalam
lumen kandung empedu melalui dinding fundus dan dijaga dengan jahitan
menggunakan benang absorbable. Malecot catheter juga melalui omentum.
Kemudian dilakukan konfirmasi dengan cholecystogram, untuk menilai adanya
batu sisa dalam kandung empedu atau bile duct dan meyakinkan bahwa tidak ada
kontras yang keluar dari kandung empedu. Kateter dibiarkan selama 2 sampai 3
bulan, jika masih ada sisa batu di kandung empedu, maka akan diambil dengan
interventional radiology technique.(4)
Ketika cholecystectomy telah lengkap dilakukan, dua lapisan
musculoaponeurotic ditutup lapis demi lapis, kecuali jika kedua lapisan tersebut
bergabung karena scar dari operasi sebelumnya. Kulit dijahit primer, kecuali jika
pada luka terkontaminasi atau kotor, dimana delayed primary atau secondary
closure lebih baik.(4)
b. Laparoskopik Kolesistektomi
Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal,
pemulihan lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di
rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi pembedahan batu kandung
empedu adalah bila simptomatik, adanya keluhan bilier yang mengganggu atau
semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut,
atau kandung empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih
sering menimbulkan kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.
Kontra indikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka yaitu tidak dapat
mentoleransi tindakan anestesi umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi.
Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus
sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris sering
dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,51%. Dengan menggunakan
teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak terdapat nyeri, kembali
menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari, cepat bekerja kembali, dan semua
otot abdomen utuh sehingga dapat digunakan untuk aktifitas olahraga.(12)
Beberapa pasien dapat mengalami gejala sindrom pasca kolesistektomi
seperti dispepsia, diare yang kemungkinan disebabkan oleh sekresi berlebihan dari
garam empedu, nyeri bilier yang disebabkan oleh spasme sfingter oddi.(12)
Teknik
Pasien diinduksi dengan pemberian anestesi, kemudian asisten dan ahli
bedah menyiapkan dan disinfeksi abdomen pasien untuk laparoskopi
kolesistektomi. Ahli bedah dan asisten menyuntik tempat insisi dengan 0.5%
bupivacaine HCI sebelum membuat setiap insisi. Ahli bedah membuat insisi
pertama pada lipatan pusar (yaitu subumbilical scope port). Ahli bedah dan asisten
menggenggam fascia dengan dua lengkungan klem kocher, dan kedua fascia
dilindungi dengan 0 polyglactin suture dan ditandai dengan sebuah klem. Ahli
bedah dan RNFA retraksi jahitan dengan menarik dinding abdomen dari isi
intraabdomen, dan insisi kecil dibuat di peritoneum. Ahli bedah memasukkan 10
mm trocar tumpul kedalam abdomen, kaitkan jahitan ke trokar dan pasang kamera
ke trocar untuk melihat viscera.(16)
CO2 digunakan untuk menstabilkan pneumoperitoneum karena tidak
menyebabkan luka bakar dan relative tidak berbahaya untuk pasien. Untuk
membantu visualisasi , dan mencegah salah tusuk ke dalam abdomen dan luka
yang tidak sengaja. Abdomen dimasukkan dengan CO2 hingga 15 mmHg. Ini
adalah metode untuk mendapatkan akses kedalam cavum abdomen yang dikenal
dengan metode Hasson.(16)
Ahli bedah membuat insisi berikutnya pada bagian tengah lebbih ke atas
atau daerah gastric (yaitu subxyphoid working port) dan gunakan trocar 10 mm
pada insisi ini, yang digunakan oleh dokter untuk diseksiport. Insisi ketiga dan
keempat dibuat oleh Asisten pada sisi lateral kanan pasien.(16)

Gambar 10: Fundus dari kantung empedu adalah chepalad yang ditarik dan
Hartmanns pouch ditarik secara lateral untuk memfasilitasi identifikasi saluran dan
arteri kistik (16)
Irisan ketiga dan keempat dibuat oleh asisten pada sisi kanan lateral
pasien. Irisan ketiga dibuat sedikit di bawah batas kosta pada linea tengah (sisi
lateralis stasioner), dan irisan keempat dibuat dekat linea axiliaris anterior pada
batas kosta (sisi lateral yang bekerja). Trokar yang ditempatkan secara lateral
digunakan untuk penarikan dari kantung empedunya. Asisten menggunakan trokar
yang paling baik pada sisi kanan dari daerah perut pasien untuk menarik kubah
dari kantung empedu melewati hati. Ini mengalihkan struktur portal dan
membantu dokter bedah dalam pembedahan. trokae kedua di sisi kanan bisa
digunakan untuk penarikan Hartmanns pouch secara lateral. Ahli bedah
menghilangkan pelekatan pada kantung empedu dengan diseksi tumpul dengan
mengarah ke kantung empedu sampai ke saluran empedu, dan kemudian dia
mengidentifikasi pertemuan saluran kistik kantung empedu dan membedahnya
secara melingkar dengan pembedahan melengkung.(16)
Dalam pembedahan, adalah penting untuk asisten menarik kantung
empedu secara hati-hati untuk menghindari cedera pada struktur yang
melingkupinya. Arah sebaliknya dari pembukaan yang dilakukan di kantung
empedu harus ditarik cephalad-nya, dan Hartmanns pouch harus ditarik ke arah
sisi kanan lateral pasien. Penarikan yang benar mensyaratkan dokter bedahnya
mempunyai penglihatan yang jelas pada pertemuan saluran kistik kantung
empedu. Pada saat itu, dokter bedah memutuskan apakah melakukan
cholangiogram. Cholangiogram memastikan ada atau tidaknya batu empedu dan
membantu dalam mengindentifikasi saluran empedu dan cabang duktal hati untuk
menilai keadaan dari saluran empedu.(16, 17)
dari Schwartz:

Pasien dalam posisi supinasi di meja operasi, dokter bedah berdiri di sisi kiri
pasien. Beberapa ahli bedah lebih suka berdiri di antara kaki pasien saat
melakukan prosedur laparoskopi. Pneumoperitoneum dibuat dengan gas karbon
dioksida, baik dengan teknik terbuka atau dengan teknik jarum tertutup. Awalnya,
sayatan kecil dibuat pada tepi atas umbilikus. Dengan teknik tertutup, insuflasi
jarum insuflasi khusus (Veress jarum) yang dilengkapi pegas dengan
pemotongan selubung terluar yang dapat ditarik, dimasukkan ke dalam rongga
peritoneum dan digunakan untuk insuflasi. Setelah terjadi pneumoperitoneum
sebuah trocar 10-mm yang dimasukkan melalui sayatan supraumbilical untuk
insflasi. Dengan teknik open, dari insisi supraumbilikal terus dimasukkan ke
dalam fasia hingga ke rongga peritoneum. Kanul tumpul khusus ( kanula Hasson)
dimasukkan ke dalam rongga peritoneum hingga mencapai fasia. Laparoskopi
dengan video kamera dimasukkan melalui port umbilikalis & abdomen
diinspeksi. Tiga port tambahan, port 5mm pada lini klavikula media, dan port
5mm pada flank kanan, sejajar dengan fundus kandung empedu. Terkadang, port
kelima diperlukan untuk visualisasi yang lebih baik pada pemulihan pasien dari
pankreatitis atau kolesistitis semi-akut, serta pada pasien yang sangat gemuk.
Melalui port yang paling lateral, grasper digunakan menangkap fundus
kandung empedu. Kandung empedu ditarik melewati tepi hati ke atas dan ke arah
bahu kanan pasien untuk mengekspos proksimal kandung empedu dan daerah
hilus. Area hilus dapat tampak dengan menempatkan pasien dalam posisi
Trendelenburg terbalik dengan sedikit memiringkan meja agar sisi kanan tampak
ke atas. Melalui port midklavikula, grasper kedua menangkap infundibulum
kandung empedu dan menariknya ke lateral untuk mengekspos Calot triangle.
Sebelum hal itu, dokter bedah perlu melepaskan setiap adhesi antara omentum,
duodenum, atau usus besar, dan kandung empedu. Sebagian besar diseksi
dilakukan melalui port epigastrium menggunakan dissector, kauter hook, atau
gunting.
Diseksi dimulai dari junction kantong empedu dan duktus sistikus.
Landmark anatomi yang dapat membantu identifikasi hal tersebut ialah arteri
nodus limfa sistikus. Peritoneum, lemak, dan jaringan areolar longgar di leher
kandung empedu dan junction duktus-sistikus kandung empedu dibelah sampai
ke duktus biliaris, diteruskan hingga leher kandung empedu dan duktus sistikus
proksimal dapat teridentifikasi dengan jelas. Langkah selanjutnya adalah
identifikasi arteri sistikus, biasanya berjalan sejajar dan berada di belakang
duktus sistikus. Sebuah hemoclip ditempatkan pada duktus sistikus proksimal.
Apabila akan dilakukan, cholangiogram intraoperative, insisi kecil dibuat pada
permukaan anterior duktus sistikus, pada proksimal klip, dan kateter
cholangiogram dimasukkan ke dalam duktus sistikus. Setelah cholangiogram
selesai, kateter dilepas dan kedua klip ditempatkan pada proksimal sayatan, dan
duktus sistikus dibagi. Duktus sistikus yang lebar mungkin terlalu besar untuk
klip, membutuhkan ligasi pre-tied loop. Arteri sistikus kemudian dipotong dan
dibagi.
Terakhir, kandung empedu dibelah keluar dari fossa kandung empedu, baik
menggunakan hook atau gunting dengan elektrokauter. Kandung empedu
diangkat melalui insisi umbilikalis. Defek pada fasia dan insisi kulit perlu
diperbesar jika batu juga besar. Jika kandung empedu meradang atau gangrene,
atau perforasi, kandung empedu ditempatkan pada retrieval bag sebelum
diangkat dari abdomen.
Gambar 11 Laparoskopi kolesistektomi. A. Penempatan trocar. B. fundus
telah digenggam dan ditarik untuk mengekspos bagian proksimal kandung
empedu dan ligamentum hepatoduodenal. Grasper lain meretraksi
infundibulum kandung empedu secara posterolateral untuk mengekspos
triangle of Calot (segitiga hepatosistikus terdiri dari CBD, duktus sistikus,
dan marjin hati). C. triangle of Calot telah dibuka dan leher kandung
empedu dan duktus sistikus telah dibebaskan. Sebuah klip sedang
ditempatkan di junction duktus sistikus-kantong empedu. D. Sebuah lubang
kecil telah dibuat ke dalam duktus sistikus, dan kateter cholangiogram
dimasukkan. E. duktus sistikus kemudian dibagi, dan arteri sistikus sedang
dibagi. F. Sebuah gambar intraoperatif menunjukkan grasper menarik
infundibulum kantong empedu secara lateral, mengekspos segitiga Calot
yang telah dibedah. Arteri sistikus terlihat melewati daerah pembedahan di
atas dan di kiri.

2.9.2.2 Intraoperative Cholangiography


Jika cholangiogram dilakukan, sebuah penjepit ditempatkan di pertemuan
saluran kistik empedu. Dokter bedah membuat sayatan kecil di dalam saluran
empedu dengan gunting berkait dan menyisipkan katerer cholangiography ke
dalam saluran empedu.(16, 17)

Gambar 12: Ahli bedah memasukan kateter ke dalam duktus cistikus.(16)

Pemastian penempatan dari katerernya didapatkan dari menggembungkan


balon dan mengalirkan garam. Jika terdapat resistensi, katerernya akan direposisi,
dan tes untuk di mana penempatan yang tepat diulang. Ketika penempatan yang
tepat telah diverifikasi oleh dokter bedah, media kontras akan diinjeksikan ketika
x-ray diambil. Dokter bedah memeriksa hasil cholangiogram lalu memutuskan
apakah akan mengulang cholangiogramnya, mengeksplorasi saluran empedu
untuk menemukan batu empedu, atau melanjutkan dengan operasi. Ketika dokter
bedah memastikan saluran empedu bebas batu empedu dan hasil cholangiogram
sudah jelas, operasi akan dilanjutkan. Saluran dan arteri empedu selesai dibedah,
dua penjepit yang berbeda ditempatkan di saluran dan arteri empedu tersebut, dan
mereka akan dipisahkan dengan gunting berkait.(16)
Dokter bedah menggunakan operasi elektronis untuk melepaskan kantung
empedu dari dasar hati. Asisten menarik kantung empedu dengan maksimal ke
kiri atau kanan untuk mengaplikasikan tekanan kepada jaringannya dan
memfasilitasi penggunaan operasi elektronis oleh dokter bedah. Ketika proses
pembedahan hampir selesai, dasar kantung empedu akan diinspeksi untuk
memastikan tidak ada pendarahan. Dokter bedah membebaskan kantung empedu,
memindahkan kamera dari sisi subumbilical ke sisi subxyphoid,dan memasukkan
penggenggam kantung empedu melalui sisi subumbilical. Asisten memposisikan
kantung empedu dalam rongga perut sehingga dokter bedah dapat memegang
ujung saluran dari kantung empedu dan menariknya melewati sisi subumbilical.
Pemindahan kantung empedu mungkin dapat difasilitasi dengan aspirasi empedu
dari kantong empedu, penghancuran batu empedu, dan sedikit memperlebar irisan.
(16)

Gambar 13: Ahli bedah menggunakan elektrokauter untuk melepaskan kandung empedu(16)

Setelah kantung empedu dipindahkan, kameranya dikembalikan ke sisi


subumbilical, kuadran kanan atas dialirkan oleh Asisten melalui salah satu dari
sisi lateral, dan pembedahan menginspeksi area pendarahan. Dokter bedah
menyingkirkan trocar, mengurangi tekanan udara pada selaput perut, dan
menutup jalur pusar dengan 0 jahitan polyglactin. Asisten menyediakan penarikan
dari jaringan di atasnya dengan penarik berbentuk S untuk mengekspos tepi dari
serabut jaringan kepada ahli bedah. Jahitan Polyglactin yang ditempatkan
sebelumnya dikencangkan untuk memastikan penutupan serabut jaringan. Asisten
menutup sayatan kulit subumbilical dengan jahitan subkutikular yang dikerjakan
pada 4-0 poliglecaprone dan mengaplikasikan strip perekat luka sendiri. Dokter
bedah menutup sayatan kulit subxyphoid dengan cara yang sama. Dua sayatan
pada sisi kiri ditutup dengan strip perekat luka sendiri dan strip perban perekat
yang steril diaplikasikan pada semua empat sayatan yang ada.(16, 17)

A B

Gambar 14. A. Duktus biliaris dalam keadaan normal, tidak ada defek
intraluminal. Duktus hepatikus kanan & kiri tervisualisasi, & zat kontras
mengalir seluruhnya ke duodenum. Grasper cholangiography menahan
kateter dan duktus sistikus diarahkan ke duktus hepatikus. B. Terdapat batu
CBD (panah). Hanya sebagian zat kontras mengalir ke duodenum.

2.9.2.3 Prosedur Drainase Duktus Biliaris

Apabila batu tidak bisa dievakuasi dan / atau ketika duktus sangat melebar
(> 1,5 cm), drainase choledochal dilakukan. Choledochoduodenostomy dilakukan
dengan memobilisasi bagian kedua dari duodenum (Kocher manuver) dan
menganastomosi sisi ke sisi dengan CBD
Sebuah choledochojejunostomy dilakukan dengan membawa 45-cm Roux-
en-Y limb jejunum dan menganastomosikan ujungnya sisi ke sisi CBD.
Choledochojejunostomy atau, yang lebih sering, hepaticojejunostomy, juga
dapat digunakan untuk memperbaiki striktur CBD atau sebagai prosedur paliatif
pada obstruksi ganas di wilayah periampula. Jika CBD terluka, hal tersebut dapat
dikelola dengan choledochojejunostomy secara end-to-end.
2.10 Antibiotik

Pemberian Antibiotik tidak direkomendasikan pada kasus cholelithiasis


tanpa disertai komplikasi seperti :(12)
1. Cholangtis aqut yang kadang disertai Sepsis
2. Perforasi dan Peritonitis
3. Gallstone Ileus
4.
Acute Pancreatitis
Adapun penyebab mikrorganisme tersering pada kasus kompilkasi adalah
E.Coli dan Klebsiela, Streptococus Faecalis,dan Pseudomonas aeroginosa.
Walaupun kuman anaerob lebih jarang , kemungkinan bahwa kuman ini
bertindak sinergis dengan kuman aerob dan menyebakan komplikasi.
Berdasarkan penelitian tidak ada antibiotik tunggal yang mampu mencakup
semua mokroorganime, walaupun golongan kuinolon dan golongan sefalosporin
memiliki spectrum luas. Adapun Regimen antibiotik yang dianjurkan adalah:(11)
1. The Sanford Guide merekomendasikan penggunaan piperacillin
/tazobactam (3,375 g IV setiap 6 jam atau 4,5 g IV setiap 8 jam ,
2. Untuk kasus yang berat direkomendasikan pemberian Golongan
Ampicilin/sulbactam ( 3 gr IV setiap 6 jam atau Meropenem ( 1 gram IV
setiap 8 jam )
3. The Standford Guide juga merekomendasikan pemberian imipenem
/Cilastatin 500 mg IV setiap 6 jam .
4. Regimen Alternatif menggunakan cephalosporin generasi ketiga ditambah
metronidazole 1 gram IV loading dosis diikuti 500 mg setiap 6 jam.
5. Untuk kasus profilaksis ,antibiotik yang direkomendasikan adalah
golongan Kuinolon seperti Levofloksasin 500 mg per oral setiap hari yang
dikombinasikan dengan metronidazole 500 mg
6. Pengobatan suportif juga harus diberikan termasuk restorasi dari stabilitas
hemodinamik dan antibiotik untuk gram negatif flora enteric dan anerob
jika terdapat adanya infeksi pada saluran empedu.
BAB III
KESIMPULAN

Batu empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung empedu atau di


dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu disebut
kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis.
Batu empedu biasanya menimbulkan gejala dan keluhan bila batu menyumbat
duktus sistikus atau duktus koledokus. Oleh karena itu, gambaran klinis penderita
batu empedu bervariasi dari yang berat atau jelas sampai yang ringan atau samar
bahkan seringkali tanpa gejala (silent stone). Etiologi batu empedu masih belum
diketahui sempurna. Sejumlah penyelidikan menunjukkan bahwa hati penderita
batu kolesterol mensekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Batu
empedu kolesterol dapat terjadi karena tingginya kalori dan pemasukan lemak.
Komplikasi kholelithiasis dapat berupa Kolesistisis, Kolangitis, Hidrops,
Empiema. Tatalaksana kholelithiasis dapat berupa terapi konservatif dan terapi
pembedahan. Terapi konservatif yaitu Tablet asam empedu, Extra corporeal shock
wave lithotripsy (ESWL) dan Agen pelarut batu topical. Sedangkan pilihan terapi
pembedahan dapat menggunakan tehnik Open Cholecystectomy dan
Laparoskopik. Komplikasi kholelithiasis dapat berupa Kolesistisis, Kolangitis,
Hidrops, Empiema. Pemberian Antibiotik tidak direkomendasikan pada kasus
cholelithiasis tanpa disertai komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chang Y, Jang JY. Changes in Demographic features of gallstone diseases:


30 years of surgically treated patients. Gut liver. 2013;7(6):719-24.
2. Sjamsuhidajat, de Jong W. Kolelitiasis. In: Sjamsuhidajat R, Karnadhihardja
W, Prasetyono TOH, Rudiman R,, editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997; 2010.
3. Maa J, Kirkwood KS,. Cholelithiasis. In: Townsend JCM BR, Evers BM,
Mattox KL, editor. Sabiston Textbook of Surgery. 19th ed. Philadephia:
Saunders Elsevier; 2012.
4. David McAneny. Open Cholecystectomy 2008 [cited 2017 7 April].
5. Schwartz S, Shires GT, Spencer FC, Daly JM, Fischer JE, Galloway AC.
Principles of Surgery. Principles of Surgery. 8th ed. United States of
America: McGraw-Hill companies; 2004.
6. Guyton A, Hall, JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2006.
7. Murshid KR. Asymptomatic Gallstones: Should We Operate? The Saudi
Journal of Gastroenterology. 2007;13(2).
8. Venneman N, van Erpecum. Gallstone disease: Primary and secondary
prevention. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2006;20(6):1063-73.
9. Ko C, Lee SP. Gallstone Formation. Local Factors. North American Clinics.
1999;28(1):99-115.
10. Grnhage F, Lammert F. Gallstone disease. Pathogenesis of gallstones: A
genetic perspective. Best Pract Res Clin Gastroenterol. 2006;20(6):997-
1015.
11. Lesmana L. Penyakit Batu Empedu. In: Sudoyo B, Simadibta MK, Setia S,
editor. Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
12. Hunter JG. Gallstones Diseases. Schwarts Principles of Surgery. 8th ed.
United States of America: McGraw-Hill Companies; 2007.
13. Sutton D. Textbook Radiology and Imaging of Radiology and Imaging. 7th
ed. London: Churcill Livingstone; 2003.
14. Bellows C, Berger DH, Crass RA. Management of Gallstone. Am Fam
Physician. 2005;72(4):638-42.
15. Hirota M, Takada T, Kawarada Y, Nimura Y, Miura F, Hirata K, Mayumi T,
Yoshida M, Strasberg S, Pitt H, Gadacz TR. Diagnostic criteria and severity
assessment of acute cholecystitis : Tokyo Guidline. J Hepatobiliary Pancreat
Surg. 2007;14:78-81.
16. Doherty GM. Biliary Tract. Current Diagnosis & Treatment Surgery. 2010
ed. United States of America: McGraw-Hill Companies; 2010.
17. Hernandez J, Morton CA, Ross S, Albrink M, Rosemurgry.
Laparoendoscopic Single Site Cholecystectomy.The First 100 Patients. Am
Surg. 2009;75(8):681-6.

Вам также может понравиться