Вы находитесь на странице: 1из 31

MAKALAH

PENATALAKSANAAN NYERI TETANUS DAN DIEURETIKA SERTA


PENANGANAN KLIEN YANG MENGALAMI GANGGUAN
KESADARAN DAN PENATALAKSANAAN RESUSITASI JANTUNG
PARU (RJP)
Dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah Asuhan Kegawatdaruratan Maternal
Neonatal
Dosen pengampu : Ibu Irma Suryani, S.S.iT, M.Kes

Disusun Oleh
Saptiah
Ulfa Fauziah

PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEBIDANAN


POLTEKES YAPKESBI SUKABUMI
2017
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi
nikmatnya kepada kita semua, walaupun kadang kita sering kali lupa mensyukuri
apa yang Allah berikan kepada kita.
Shalawat beserta salam kita senandungknan kepada proklamator islam
yang menjadi panutan alam sebagai nabi akhir zaman yaitu nabi Muhammad
SAW.
Alhamdulillah, atas doa dari semua pihak saya dapat menyelesaikan
pembuatan makalah ini, makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata
kuliah ASKEB IV dengan judul Penatalaksanaan Nyeri Tetanus dan
Dieuretika serta Penanganan Klien yang Mengalami Gangguan Kesadaran
dan Penatalaksanaan Resusitasi Jantung Paru (RJP).
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah membantu dalam
menyelesaikan makalah ini, terutama kepada Irma Suryani, S.SiT, M.Kes
selaku dosen pengampu.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat kekurangan
dan kekhilafan yang perlu diperbaiki, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik
dan saran dari semua pihak yang bisa membangun sehingga kedepannya kami bisa
lebih baik lagi semoga apa yang disajikan bisa bermanfaat bagi kita semua. Amin

Sukabumi, Maret 2017

Penyusun

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................1
B. Tujuan...................................................................................................2
C. Rumusan Masalah.................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A. Tetanus Neonaterum.............................................................................3
B. Gangguan Kesadaran............................................................................10
C. Resusitasi Jantung Paru........................................................................17

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan...........................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................29

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Bayi neonatus meliputi umur 0 28 hari. Kehidupan pada masa neonatus
ini sangat rawan oleh karena memerlukan penyesuaian fisiologik agar bayi di luar
kandungan dapat hidup sebaik-baiknya. Peralihan dari kehidupan intrauterin ke
ekstrauterin memerlukan berbagai perubahan biokimia dan faali. Namun, banyak
masalah pada bayi baru lahir yang berhubungan dengan gangguan atau kegagalan
penyesuaian biokimia dan faali.
Masalah pada neonatus ini biasanya timbul sebagai akibat yang spesifik
terjadi pada masa perinatal. Tidak hanya merupakan penyebab kematian tetapi
juga kecacatan. Masalah ini timbul sebagai akibat buruknya kesehatan ibu,
perawatan kehamilan yang kurang memadai, manajemen persalinan yang tidak
tepat dan tidak bersih, serta kurangnya perawatan bayi baru lahir
Contoh penyakit yang sering didapatkan pada neonatus yaitu Tetanu
neonatorum masih banyak terdapat di negara-negara sedang membangun
termasuk Indonesia dengan kematian bayi yang tinggi dengan angka kematian 80
%. Di Indonesia pada saat ini persalinan yang ditolong di rumah sakit hanya 10
15 %, 10 % lagi ditolong oleh bidan swasta, sedangkan sisanya 75 80 % masih
ditolong oleh dukun. (Rustam Mochtar, 1998)
Di Indonesia, sekitar 9,8% dari 184 ribu kelahiran bayi menghadapi
kematian. Contoh, pada tahun 80-an tetanus menjadi penyebab pertama kematian
bayi di bawah usia satu bulan. Namun, pada tahun 1995 kasus serangan tetanus
sudah menurun, akan tetapi ancaman itu tetap ada sehingga perlu diatasi secara
serius. Tetanus juga terjadi pada bayi, dikenal dengan istilah tetanus neonatorum,
karena umumnya terjadi pada bayi baru lahir atau usia di bawah satu bulan
(neonatus). Penyebabnya adalah spora Clostridium tetani yang masuk melalui
luka tali pusat, karena tindakan atau perawatan yang tidak memenuhi syarat
kebersihan.WHO menunjukkan, kematian akibat tetanus di negara berkembang
adalah 135 kali lebih tinggi dibanding negara maju. Mortalitasnya sangat tinggi

1
karena biasanya baru mendapat pertolongan bila keadaan bayi sudah gawat.
Penanganan yang sempurna memegang peranan penting dalam menurunkan angka
mortalitas. Tingginya angka kematian sangat bervariasi dan sangat tergantung
pada saat pengobatan dimulai serta pada fasilitas dan tenaga perawatan yang ada.
Tetanus neonatorum angka kematian kasusnya (Case Fatality Rate atau
CFR) sangat tinggi. Pada kasus teanus neonatorum angkanya mendekati 100 %,
terutama yang mempunyai masa inkubasi kurang 7 hari. Angka kematian kasus
tetanus neonatorum yahng dirawat di rumah sakit diindonesia bervariasi dengan
kisaran 10,8 55 %. (Abdul Bari Saifuddin, 2000)
Dengan tingginya kejadian kasus tetanus ini sangat diharapkan bagi
seorang tenaga medis, terutama seorang bidan dapat memberikan
pertolongan/tindakan pertama atau pelayanan asuhan kebidanan yang sesuai
dengan kewenangan dalam menghadapi kasus tetanus neonatorum.
Pemerintah bertekat untuk memperkecil kematian akibat kematian tetanus
neonatorum dengan jalan memberikan 2 kali vaksinasi tetanus toksoid selama
hamil. Diharapkan bidan dapat membantu upaya pemerintah sehingga dapat
menurunkan angka kematian bayi karena tetanus sampai akhir tahun 2000,
menjadi kurang dari 1 %. Dikemukakan bahwa angka kematian karena tetanus
dapat dijadikan ukuran bagaimana pelayanan kesehatan yang diberikan dalam satu
daerah dan secara umum pada negara tersebut.(Ida Bagus Gde Manuaba, 1998)

B. Tujuan
1) Mengetahui teori tentang pengertian Tetanus Neonaturum
2) Mengetahui penyebab, faktor predisposisi, gejala, patofisiologi, komplikasi
dan penatalaksanaan Tetanus Neonaturum

C. Rumusan Masalah
1) Apakah yang dimaksud dengan Tetanus Neonaturum?
2) Apakah yang dapat menyebabkan terjadinya Tetanus Neonaturum

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Tetanus Neonaturum
1. Pengertian
Kata tetanus berasal dari bahasa Yunani tetanus yang berarti kencang
atau tegang.Tetanus merupakan suatu infeksi akut yang ditandai kondisi
spastik paralisis keadaan lumpuh/kaku yang disebabkan oleh
neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus berdasarkan
gejalaklinisnya dapat dibagi menjadi 3 bentuk, yaitu tetanus generalisasi
(umum), tetanus local dantetanus sefalik. Bentuk tetanus yang paling sering
terjadi adalah tetanus generalisasi dan jugamerupakan bentuk tetanus yang
paling berbahaya Neonatal (berasal dari neos yang berarti baru dan natus
yang berarti lahir)merupakan suatu istilah kedokteran yang digunakan untuk
menggambarkan masa sejak bayilahir hingga usia 28 hari kehidupan.Tetanus
neonatorum merupakan suatu bentuk tetanus generalisasi yang terjadi
padamasa neonatal.
Tetanus Neonaturum adalah penyakit yang diderita oleh bayi baru lahir
(neonatus). Tetanus neonatorum penyebab kejang yang sering dijumpai
pada BBL yang bukan karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi
disebabkan infeksi selama masa neonatal, yang antara lain terjadi akibat
pemotongan tali pusat atau perawatan tidak aseptic (Ilmu Kesehatan
Anak, 1985)
Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus
yang disebabkan oleh clostridium tetani yaitu kuman yang mengeluarkan
toksin (racun) yang menyerang sistem saraf pusat. (Abdul Bari Saifuddin,
2000)
Tetanus Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh
kuman Clostridium Tetani memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat
yang kurang terawat dan terjadi pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari,
kriteria kasus TN berupa sulit menghisap ASI, disertai kejang rangsangan,
dapat terjadi sejak umur 3-28 hari tanpa pemeriksaan laboratorium. (Sudarjat
S, 1995).

3
Tetanus neonatorum merupakan suatu penyakit akut yang dapat dicegah
namun dapat berakibat fatal, yang disebabkan oleh produksi eksotoksin dari
kuman Clostridium tetani gram positif, dimana kuman ini mengeluarkan
toksin yang dapat menyerang sistem syaraf pusat.

2. Etiologi
Penyebabnya adalah hasil klostrodium tetani (Kapitaselekta, 2000)
bersifat anaerob, berbentuk spora selama diluar tubuh manusia dan dapat
mengeluarkan toksin yang dapat mengahancurkan sel darah merah, merusak
lekosit dan merupakan tetanospasmin yaitu toksin yang bersifat neurotropik
yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. (Ilmu Kesehatan
Anak, 1985)
Masa inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada
tempat terjadinya luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman Tetanus
Neonatorum. (Sudarjat S, 1995).

3. Faktor Resiko
a. Pemberian imunisasi TT (tetanus toksoid) pada ibu hamil tidak
dilakukan, atau tidak lengkap, atau tidak sesuai dengan ketentuan
program.
b. Pertolongan persalinan tidak memenuhi syarat.
a. Perawatan tali pusat tidak memnuhi persyaratan kesehatan.

4. Epidemiologi
Clostridium tetani berbentuk batang langsing, tidak berkapsul, gram
positip. Dapat bergerak dan membentuk sporaspora, terminal yang
menyerupai tongkat penabuh genderang (drum stick). Spora spora tersebut
kebal terhadap berbagai bahan dan keadaan yang merugikan termasuk
perebusan, tetapi dapat dihancurkan jika dipanaskan dengan otoklaf. Kuman
ini dapat hidup bertahun-tahun di dalam tanah, asalkan tidak terpapar sinar
matahari, selain dapat ditemukan pula dalam debu, tanah, air laut, air tawar
dan traktus digestivus manusia serta hewan.

5. Patologi

4
Kelainan patologik biasanya terdapat pada otak pada sumsum tulang
belakang, dan terutama pada nukleus motorik. Kematian disebabkan oleh
asfiksia akibat spasmus laring pada kejang yang lama. Selain itu kematian
dapat disebabkan oleh pengaruh langsung pada pusat pernafasan dan
peredaran darah. Sebab kematian yang lain ialah pneumonia aspirasi dan
sepsis. Kedua sebab yang terakhir ini mungkin sekali merupakan sebab utama
kematian tetanus neonatorum di Indonesia.

6. Gambaran Klinik
Masa tunas biasanya 5-14 hari, kadang-kadang sampai beberapa minggu
jika infeksinya ringan. Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan
ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam 48 jam penyakit menjadi nyata dengan adanya trismus (Ilmu
Kesehatan Anak, 1985).
Pada tetanus neonatorum perjalanan penyakit ini lebih cepat dan berat.
Anamnesis sangat spesifik yaitu :
1) Bayi tiba-tiba panas dan tidak mau minum (karena tidak dapat
menghisap).
2) Mulut mencucu seperti mulut ikan.
3) Mudah terangsang dan sering kejang disertai sianosis.
4) Kaku kuduk sampai opistotonus.
5) Dinding abdomen kaku, mengeras dan kadang-kadang terjadi kejang.
6) Dahi berkerut, alis mata terangkat, sudut mulut tertarik kebawah, muka
thisus sardonikus
7) Ekstermitas biasanya terulur dan kaku.
8) Tiba-tiba bayi sensitif terhadap rangsangan, gelisah dan kadang-kadang
menangis lemah.

7. Pencegahan
1) Melaui pertolongan persalinan tiga bersih, yaitu bersih tangan, bersih alas,
dan bersih alat, bersih tangan
Sebelum menolong persalinan, tangan penolong disikat dan dicuci
dengan sabun sampai bersih. Kotoran di bawah kuku dibersihkan dengan
sabun. Cuci tangan dilakukan selama 15 30. Mencuci tangan secara
benar dan menggunakan sarung tangan pelindung merupakan kunci untuk
menjaga lingkungan bebas dari infeksi.

5
Tempat atau alas yang dipakai untuk persaliunan harus bersih, karena
clostrodium tetani bisa menular dari saluran genetal ibu pada waktu
kelahiran..
Pemotongan tali pusat harus menggunakan alat yang steril. Metode
sterilisasi ada 2, yang pertama dengan pemanasan kering : 1700 C selama
60 dan yang kedua menggunakan otoklaf : 106 kPa, 1210 C selama 30
jika dibungkus, dan 20 jika alat tidak dibungkus.
2) Perawatan tali pusat yang baik
Untuk perawatan tali pusat baik sebelum maupun setelah lepas, cara
yang murah dan baik yaitu mernggunakan alkohol 70 % dan kasa steril.
Kasa steril yang telah dibasahi dengan alkohol dibungkuskan pada tali
pusat terutama pada pangkalnya. Kasa dibasahi lagi dengan alkohol jika
sudah kering. Jika tali pusat telah lepas, kompres alkohol ditruskan lagi
sampai luka bekas tali pusat kering betul (selama 3 5 hari). Jangan
membubuhkan bubuk dermatol atau bedak kepada bekas tali pusat karena
akan terjadi infeksi.
3) Pemberian Imunisasi Tetanus Toksoid (TT) pada ibu hamil
Kekebalan terhadap tetanus hanya dapat diperoleh melalui imunisasi
TT. Ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT dalam tubuhnya akan
membentuk antibodi tetanus. Seperti difteri, antibodi tetanus termasuk
dalam golongan Ig G yang mudah melewati sawar plasenta, masuk dan
menyebar melalui aliran darah janin ke seluruh tubuh janin, yang akan
mencegah terjadinya tetanis neonatorum.
Imunisasi TT pada ibu hamil diberikan 2 kali ( 2 dosis). Jarak
pemberian TT pertama dan kedua, serta jarak antara TT kedua dengan saat
kelahiran, sangat menentukan kadar antibodi tetanus dalam darah bayi.
Semakin lama interval antara pemberian TT pertama dan kedua serta
antara TT kedua dengan kelahiran bayi maka kadar antibosi tetanus dalam
darah bayi akan semakin tinggi, karena interval yang panjang akan
mempertinggi respon imunologik dan diperoleh cukup waktu untuk
menyeberangkan antibodi tetanus dalam jumlah yan cukup dari tubuh ibu
hamil ke tubuh bayinya.

6
TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk ibu hamil
tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT .
Pada ibu hamil yang mendapatkan imunisasi TT tidak didapatkan
perbedaan resiko cacat bawaan ataupun abortus dengan mereka yang tidak
mendapatkan imunisasi .
Tabel Pemberian Imunisasi TT dan Lamanya Perlindungan
Dosis Saat Pemberian % Lama
Perlindungan Perlindungan
TT1 Pada kunjungan pertama atau 0 Tidak ada
TT2 sedini mungkin pada kehamilan 80 % 3 tahun
TT3 Minimal 4 minggu setelah TT1 95 % 5 tahun
Minimal 6 bulan setelah TT2 atau
TT4 selama kehamilan berikutnya 99 % 10 tahun
TT5 Minimal setahun setelah TT3 atau selama usia subur
selama kehamilan berikutnya 99 %
Minimal setahun setelah TT4 atau
selama kehamilan berikutnya

8. Penatalaksanaan
a. Mengatasi kejang
Kejang dapat diatasi dengan mengurangi rangsangan atau pemberian
obat anti kejang. Obat yang dapat dipakai adalah kombinasi fenobarbital
dan largaktil. Fenobarbital dapat diberikas mula-mula 30 60 mg
parenteral kemudian dilanjutkan per os dengan dosis maksimum 10 mg per
hari. Largaktil dapat diberikan bersama luminal, mula-mula 7,5 mg
parenteral, kemudian diteruskan dengan dosis 6 x 2,5 mg setiap hari.
Kombinasi yang lain adalah luminal dan diazepam dengan dosis 0,5 mg/kg
BB. Obat anti kejang yang lain adalah kloralhidrat yang diberikan lewat
rektum.
b. Pemberian antitoksin
Untuk mengikat toksin yang masih bebas dapat diberi A.T.S
(antitetanus serum) dengan dosis 10.000 satuan setiap hari serlama 2 hari .
c. Pemberian antibiotika

7
Untuk mengatasi inferksi dapat digunakan penisilin 200.000 satuan
setiap hari dan diteruskan sampai 3 hari panas turun.
d. Perawatan Tali pusat
Tali pusat dibersihkan atau di kompres dengan alkohol 70 % atau
betadin 10 %.
e. Memperhatikan jalan nafas, diuresis, dan tanda vital. Lendir sering
dihisap.
Masalah yang perlu diperhatikan adalah bahaya terjadi gangguan
pernafasan, kebutuhan nutrisi/cairan dan kurangnya pengetahuan orang tua
mengenai penyakit.Gangguan pernafasan yang sering timbul adalah apnea,
yang disebabkan adanya tenospasmin yang menyerang otot-otot
pernafasan sehingga otot tersebut tidak berfungsi. Adanya spasme pada
otot faring menyebabkan terkumpulnya liur di dalam rongga mulut
sehingga memudahkan terjadinya poneumonia aspirasi. Adanya lendir di
tenggorokan juga menghalangi kelancaran lalu lintas udara (pernafasan).
Pasien tetanus neonatorum setiap kejang selalu disertai sianosis terus-
menerus. Tindakan yang perlu dilakukan :
1) Baringkan bayi dalam sikap kepala ekstensi dengan memberikan
ganjal dibawah bahunya.
2) Berikan O2 secara rumat karena bayi selalu sianosis (1 2 L/menit
jika sedang terjadi kejang, karena sianosis bertambah berat O2 berikan
lebih tinggi dapat sampai 4 L/menit, jika kejang telah berhenti
turunkan lagi).
3) Pada saat kejang, pasangkan sudut lidah untuk mencegah lidah jatuh
ke belakang dan memudahkan penghisapan lendirnya.
4) Sering hisap lendir, yakni pada saat kejang, jika akan melakukan nafas
buatan pada saat apnea dan sewaktu-waktu terlihat pada mulut bayi.
5) Observasi tanda vital setiap jam .
6) Usahakan agar tempat tidur bayi dalam keadaan hangat.
7) Jika bayi menderita apnea :
a) Hisap lendirnya sampai bersih
b) O2 diberikan lebih besar (dapat sampai 4 L/ menit)
Letakkan bayi di atas tempat tidurnya/telapak tangan kiri
penolong, tekan-tekan bagian iktus jantung di tengah-tengah tulang
dada dengan dua jari tangan kanan dengan frekuensi 50 6 x/menit.

8
Bila belum berhasil cabutlah sudut lidahnya, lakukan pernafasan
dengan menutup mulut dan hidung bergantian secara ritmik dengan
kecepatan 50 60 x/menit, bila perlu diselingi tiupan.

f. Kebutuhan nutrisi/cairan
Akibat bayi tidak dapat menetek dan keadaan payah, untuk memenuhi
kebutuhan makananya perlu diberikan infus dengan cairan glukosa 10 %.
Tetapi karena juga sering sianosis maka cairan ditambahkan bikarbonas
natrikus 1,5 % dengan perbadingan 4 : 1. Bila keadaan membaik, kejang
sudah berkurang pemberian makanan dapat diberikan melalui sonde dan
selanjutnya sejalan dengan perbaikan bayi dapat diubah memakai dot
secara bertahap.
g. Kurangnya pengetahuan orang tua mengenai penyakit
Kedua orang tua pasien yang bayinya menderita tetanus peru diberi
penjelasan bahwa bayinya menderita sakit berat, maka memerlukan
tindakan dan pengobatan khusus, kerberhasilan pengobatan ini tergantung
dari daya tahan tubuh si bayi dan ada tidaknya obat yang diperlukan hal ini
mengingat untuk tetanus neonatorum memerlukan alat/otot yang biasanya
di RS tidak selalu tersedia dan harganya cukup mahal (misalnya
mikrodruip). Selain itu yang perlu dijelaskan ialah jika ibu kelak hamil
lagi agar meminta suntikan pencegahan tetanus di puskesmas, atau bidan,
dan minta pertolongan persalinan pada dokter, bidan atau dukun terlatih
yang telah ikut penataran Depkes. Kemudian perlu diberitahukan pula cara
pearawatan tali pusat yang baik.

B. GANGGUAN KESADARAN
1. Pengertian
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan
neurologi yang menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan
sebagai final common pathway dari gagal organ seperti kegagalan jantung,
nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian.

9
Jadi, bila terjadi penurunan kesadaran menjadi pertanda disregulasi dan
disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh.
Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang
digunakan di klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor,
soporokoma dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara
itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan
menggunakan skala koma Glasgow. (Carpenito, 2001)

2. Klasifikasi
Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu gangguan kesadaran tanpa disertai
kelainan fokal/ lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk; gangguan
kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/ lateralisasi disertai dengan kaku
kuduk; dan gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal.

Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk


a. Gangguan iskemik
b. Gangguan metabolik
c. Intoksikasi
d. Infeksi sistemis
e. Hipertermia
f. Epilepsi
Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku
kuduk
a. Perdarahan subarakhnoid
b. Radang selaput otak
c. Radang otak
Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal
a. Tumor otak
b. Perdarahan otak
c. Infark otak
d. Abses otak

10
3. Etiologi
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara
menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan
oleh gangguan ARAS di batang otak, terhadap formasio retikularis di
thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon.
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni
gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan
isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat
mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi
supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya
kesadaran.
Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada tercukupinya
penyediaan oksigen. Adanya penurunan aliran darah otak (ADO), akan
menyebabkan terjadinya kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen
(O2) dari aliran darah. Apabila ADO turun lebih rendah lagi, maka akan
terjadi penurunan konsumsi oksigen secara proporsional.
Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan
teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Untuk memelihara
integritas neuronal, diperlukan penyediaan ATP yang konstan untuk menjaga
keseimbangan elektrolit.
O2 dan glukosa memegang peranan penting dalam memelihara keutuhan
kesadaran. Namun, penyediaan O2 dan glukosa tidak terganggu, kesadaran
individu dapat terganggu oleh adanya gangguan asam basa darah, elektrolit,
osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin.
Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri.
Koma disebabkan kegagalan difus dari metabolisme saraf.
a. Ensefalopati metabolik primer
Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme
sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer
b. Ensefalopati metabolik sekunder
Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak,
yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan
elektrolit ataupun keracunan. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai
dengan gangguan sistem motorik simetris dan tetap utuhnya refleks pupil

11
(kecuali pasien mempergunakan glutethmide atau atropin), juga utuhnya
gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).
Tes darah biasanya abnormal, lesi otak unilateral tidak menyebabkan
stupor dan koma. Jika tidak ada kompresi ke sisi kontralateral batang otak
lesi setempat pada otak menimbulkan koma karena terputusnya ARAS.
Sedangkan koma pada gangguan metabolik terjadi karena pengaruh difus
terhadap ARAS dan korteks serebri. (Tucker, 1998)
Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio
retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak
kesadaran) disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik
dibagi menjadi dua bagian utama, ialah koma akibat lesi supratentorial dan
lesi infratentorial.
1. Koma supratentorial
1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri,
sedangkan batang otak tetap normal.
2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer).
Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer
serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan
hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di
sekitarnya, terjadilah herniasi girus singuli, herniasi transtentorial
sentral dan herniasi unkus.
a. Herniasi girus singuli
Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral
menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak,
mengakibatkan iskemi dan edema.
b. Herniasi transtentorial/ sentral
Herniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir dari proses
desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli
basalis; secara berurutan menekan disensefalon, mesensefalon,
pons dan medulla oblongata melalui celah tentorium.
c. Herniasi unkus

12
Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii
media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus
dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas
tentorium yang akhirnya menekan mesensefalon.
2. Koma infratentorial
Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/
serta merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat
iskemi, perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor,
cedera kepala dan sebagainya.
2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS
a. Langsung menekan pons
b. Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui
celah tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon.
c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum
dan menekan medulla oblongata.

4. Patofisiologi
Kesadaran menurun jika terjadi:
a. Gangguan pada ARAS (ascending reticular activating system)
yang merupakan susunan penggalak kewaspadaan. Gangguan ARAS :
Tumor otak, abses, perdarahan intraserebral, subarachnoid, epidural,
subepidural, trauma kepala denganl esi fokal.
b. Gangguan pada korteks serebri yang merupakan pengolah kesadaran
c. Sel neuron korteks tak dapat digalakkan. Lesi massa ini dapat menekan
batang otak menekan ARAS penurunan kesadaran.
d. Gangguan fungsi korteks serebri.
e. Gangguan metabolisme neuron di SSP.
f. Gangguan suplai O2 dan glukosa ke otak sel neuron tak berfungsi
optimal.

13
Penyebabnya : Epilepsi, hipoksia, obat-obatan, keracunan, penyakit
metabolik, hipotensi, alkohol.

5. Komplikasi
Komplikasi yang muncul dapat meliputi:
a. Edema otak : Dapat mengakibatkan peningkatan TIK sehingga dapat
menyebabkan kematian.
b. Gagal ginjal : Akibat penurunan perfusi ke korteks ginjal.
c. Kelainan asam basa
Hampir selalu terjadi alkaliosis respiratorik hiperventilasi, sedangkan
alkaliosis metabolic terjadi akibat hipokalemi. Asidosis metabolic dapat
terjadi karena penumpukan asam laktat atau asam organic lainnya akibat
gagal ginjal.
d. Hipoksia
Sering terjadi karena edema paru atau radang paru akibat peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kapiler di jaringan intersisial atau alveoli.
e. Gangguan faal hemoestasis dan perdarahan
f. Gangguan metabolisme atau hipoglikemia dan gangguan keseimbangan
elektrolit atau hipokalsemia.
g. Kerentanan terhadap infeksi
Sering terjadi sepsis terutama karena bakteri gram negative, peritonitis,
infeksi jalan nafas atau paru.
h. Gangguan sirkulasi
Pada tahap akhir dapat terjadi hipotensi, bradikardi maupun henti
jantung.

6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menentukan penyebab
penurunan kesadaran yaitu :
a. Laboratorium darah

14
Meliputi tes glukosa darah, elektrolit, ammonia serum, nitrogen urea
darah (BUN), osmolalitas, kalsium, masa pembekuan, kandungan keton
serum, alcohol, obat-obatan dan analisa gas darah ( BGA ).
b. CT Scan
Pemeriksaan ini untuk mengetahui lesi-lesi otak
c. PET ( Positron Emission Tomography )
Untuk meenilai perubahan metabolik otak, lesi-lesi otak, stroke dan
tumor otak
d. SPECT ( Single Photon Emission Computed Tomography )
Untuk mendeteksi lokasi kejang pada epilepsi, stroke.
e. MRI
Untuk menilai keadaan abnormal serebral, adanya tumor otak.
f. Angiografi serebral
Untuk mengetahui adanya gangguan vascular, aneurisma dan malformasi
arteriovena.
g. Ekoensefalography
Untuk mendeteksi sebuuah perubahan struktur garis tengah serebral yang
disebabkan hematoma subdural, perdarahan intraserebral, infark serebral
yang luas dan neoplasma.
h. EEG ( elektroensefalography )
Untuk menilai kejaaang epilepsy, sindrom otak organik, tumor, abses,
jaringan parut otak, infeksi otak
i. MG ( Elektromiography )
Untuk membedakan kelemahan akibat neuropati maupun akibat penyakit
lain.

7. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat,
pengobatan dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan
meliputi dua komponen utama yaitu umum dan khusus.
a. Umum

15
1) Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit
ekstensi bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan
tekanan intrakranial yang meningkat.
2) Posisi trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan
trakeobronkhial, pastikan jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika
ada, lakukan suction di daerah nasofaring jika diduga ada cairan.
3) Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus
sesuai dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
4) Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan
elektrokardiogram (EKG).
5) Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk
mencegah aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi.
Berikan tiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika
dicurigai adanya overdosis opium/ morfin, berikan nalokson 0,01
mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai kesadaran pulih (maksimal 2 mg).
b. Khusus
Pada herniasi
1) Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2: 25- 30
mmHg.
2) Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv. Selama
10-20 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6
jam.
3) Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason
10 mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.
4) Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti
epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi.

C. RESUSITASI JANTUNG PARU


1. Pengertian Resusitasi Jantung Paru (RJP)
Resusitasi atau reanimasi mengandung arti harfiah menghidupkan
kembali, dimaksudkan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah
suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi
jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan sirkulasi
dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah

16
kematian biologis. Resusitasi jantung paru (RJP) atau juga dikenal dengan
cardio pulmonier resusitation (CPR) merupakan gabungan antara pijat
jantung dan pernafasan buatan.
Komplikasi dari teknik ini adalah pendarahan hebat. Jika korban
mengalami pendarahan hebat, maka pelaksanaan RJP akan memperbanyak
darah yang keluar sehingga kemungkinan korban meninggal dunia lebih
besar. Namun, jika korban tidak segera diberi RJP, korban juga akan
meninggal dunia. RJP harus segera dilakukan dalam 4-6 menit setelah
ditemukan telah terjadi henti nafas dan henti jantung untuk mencegah
kerusakan sel-sel otak dan lain-lain. Jika penderita ditemukan bernafas namun
tidak sadar maka posisikan dalam keadaan mantap agar jalan nafas tetap
bebas dan sekret dapat keluar dengan sendirinya.

2. Tujuan Resusitasi Jantung Paru


a. Mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest) pada orang
dimana fungsi tersebut gagal total oleh suatu sebab yang memungkinkan
untuk hidup normal selanjutnya bila kedua fungsi tersebut bekerja
kembali.
b. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi (nafas)
c. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkukasi (fungsi jantung) dan
ventilasi (fungsi pernafasan/paru) pada pasien/korban yang mengalami
henti jantung atau henti nafas melalui Cardio Pulmonary Resuciation
(CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP).

3. Langkah-langkah Melakukan RJP


Berdasarkan konvensi American Heart Association (AHA) terbaru pada
tanggal 18 Oktober 2010, dimana mengalami perubahan yaitu dari ABC
menjadi CAB (Circulatory Support, Airway Control, dan Breathing Support)
prosedur CPR terbaru adalah sebagai berikut :
a. Danger (D)
Yaitu kewaspadaan terhadap bahaya dimana pertama penolong harus
mengamankan diri sendiri dengan memakai alat proteksi diri (APD). Alat

17
proteksi yang paling dianjurkan adalah sarung tangan untuk mencegah
terjadinya penularan penyakit dari pasien kepada penolong. Selanjutnya
penolong mengamankan lingkungan dari kemungkinan bahaya lain yang
mengancam, seperti adanya arus listrik, ancaman kejatuhan benda
(falling object). Setelah penolong dan lingkungan aman maka selanjutnya
mengamankan pasien dan meletakan korban pada tempat yang rata,
keras, kering dan jauh dari bahaya.
b. Respon (R)
Mengecek kesadaran atau respon korban dapat dilakukan secara verbal
maupun nonverbal. Secara verbal dilakukan dengan memanggil nama.
Sedangkan secara nonverbal dilakukan dengan menepuk-nepuk bahu
korban. Jika dengan memanggil dan menepuk tidak ada respos, maka
lakukan pengecekan kesadaran dengan melakukan rangsangan nyeri.
Lakukan rangsang nyeri dengan menekan tulang dada pasien dengan cara
penolong menekuk jari-jari tangan kanan, lalu tekan dengan sudut ruas
jari-jari tangan yang telah ditekuk. Jika tidak ada respon dengan
rangsangan nyeri berarti pasien tidak sadar dan dalam kondisi koma.
c. Shout For Help (S) /meminta bantuan
Jika pasien tidak berespons selanjutnya penolong harus segera
memanggil bantuan baik dengan cara berteriak, menelepon, memberi
tanda pertolongan dan cara lainya. Berteriak contohnya dengan
memanggil orang disekitar lokasi kejadian agar membantu pertolongan
atau disuruh mencari pertolongan lebih lanjut. Selanjutnya menelepon
yaitu menghubungi pusat bantuan darurat (emergency call number)
sesuai dengan nomor dilokasi / negara masing-masing, seperti 911 dan
118. Ketiga adalah Emergency signal yaitu dengan membuat asap,
kilauan cahaya, suara dan lain-lain jika lokasi ada didaerah terpencil.
d. Memperbaiki posisi pasien
Untuk melakukan tindakan RJP yang efektif, pasien harus dalam posisi
terlentang dan berada pada permukaan yang rata dan keras. Jika korban
ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi pasien ke
posisi terlentang.
e. Mengatur posisi penolong

18
Penolong berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat memberikan
bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu mengubah posisi atau
menggerakkan lutut.

f. Cek Nadi
Pengecekan nadi korban dilakukan untuk memastikan apakah jantung
korban masih berdenyut atau tidak. Pada orang dewasa pengecekan nadi
dilakukan pada nadi leher (karotis) dengan menggunakan 2 jari. Caranya
letakan 2 jari tangan pada jakun (tiroid) kemudian tarik ke arah samping
sampai terasa ada lekukan rasakan apakah teraba atau tidak denyut nadi
korban. Pada bayi pengecekan nadi dilakukan pada lengan atas bagian
dalam. Dengan menggunakan 2 jari rasakan ada tidaknya denyut nadi
pada lengan atas bagian dalam korban (nadi brakialis). Jika nadi tidak
teraba berarti pasien mengalami henti jantung, maka segera lakukan
penekanan / kompresi pada dada korban. Jika nadi teraba berarti jantung
masih berdenyut maka lanjutkan dengan membukan jalan napas dan
pemeriksanaan napas.
g. Circulatory Support (C) / Bantuan Sirkulasi
Yaitu kompresi dada jika korban tidak teraba nadinya berarti jantungnya
berhenti berdenyut maka harus segera dilakukan penekanan / kompresi
dada sebanyak 30 kali. Caranya : posisi penolong sejajar dengan bahu
korban. Letakan satu tumit tangan diatas tulang dada, lalu letakan tangan
yang satu lagi diatas tangan yang sudah diletakan diatas tulang dada (dua
jari di bawah xifoideus). Setelah itu tekan dada korban dengan menjaga
siku tetap lurus Tekan dada korban sampai kedalaman sepertiga dari
ketebalan dada atau 3-5 cm / 1-2 inci (korban dewasa), 2-3 cm (pada
anak), 1-2 cm (bayi).
h. Airway Control (A)
Yaitu membuka jalan napas, setelah melakukan kompresi selanjutnya
membuka jalan napas. Sebelum membuka jalan napas pertama harus
melakukan pemeriksaan jalan napas. Tindakan ini bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya sumbatan jalan napas oleh benda asing. Jika

19
terdapat sumbatan harus dibersihkan dahulu, kalau sumbatan berupa
cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk atau jari tengah yang
dilapisi dengan sepotong kain, sedangkan sumbatan oleh benda keras
atau asing dapat dikorek dengan menggunakan jari telunjuk yang
dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik finger sweep dimana
ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari telunjuk pada mulut korban.
Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing, biasa
pada pasien tidak sadar tonus otot-otot menghilang, maka lidah dan
epiglotis akan menutup faring dan laring, inilah salah satu penyebab
sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh lidah dapat
dilakukan dengan cara Angkat Dagu-Tekan Dahi atau disingkat ADTD
(Head tild chin lift) dan Perasat Pendorongn Rahang Bawah (Jaw
Thrust Maneuver).
1) Angkat Dagu - Tekan Dahi (ADTD)
Teknik ini dilakukan pada penderita yang tidak mengalami trauma
pada kepala, leher maupun tulang belakang.
Caranya :
a) Letakkan tangan Anda pada dahi penderita. Gunakan tangan
yang paling dekat dengan kepala penderita.
b) Tekan dahi sedikit mengarah ke belakang dengan telapak tangan
sampai kepala penderita terdorong ke belakang.
c) Letakkan ujung jari tangan yang lainnya di bawah bagian ujung
tulang rahang bawah.
d) Angkat dahu ke depan, lakukan gerakan ini bersamaan tekanan
dahi, sampai kepala penderita pada posisi ekstensi maksimal.
Pada pasien bayi dan anak kecil tidak dilakukan sampai
maksimal tetapi sedikit ekstensi saja.
e) Pertahankan tangan di dahi penderita untuk menjaga posisi
kepala tetap ke belakang.
f) Buka mulut penderita dengan ibu jari tangan yang menekan
dagu.

20
2) Perasat Pendorongan Rahang Bawah (Jaw Thrust Manaeuver)
Teknik ini digunakan sebagai pengganti teknik tekan dahi angkat
dagu. Perlu diingat teknik ini sangat sulit dilakukan, tetapi
merupakan teknik yang aman untuk membuka jalan nafas bagi
penderita yang mengalami trauma pada tulang belakang. Dengan
mempergunakan teknik ini berarti kepala dan leher penderita dibuat
dalam posisi alami/normal.
Caranya :
a) Berlutut di sisi atas kepala penderita letakan kedua siku
penolong sejajar dengan posisi penderita, kedua tangan
memegang sisi kepala.
b) Kedua sisi rahang bawah dipegang (jika pasien anak/bayi,
gunakan dua atau tiga jari pada sisi rahang bawah).
c) Gunakan kedua tangan untuk menggerakkan rahang bawah ke
posisi depan secara perlahan. Gerakan ini mendorong lidah ke
atas sehingga jalan napas terbuka.
d) Pertahankan posisi mulut pasien tetap terbuka.
i. Breathing Support (B) atau memberikan napas buatan
Jika pasien masih teraba denyut nadinya maka perlu dilakukan
pemeriksaan apakah masih bernapas atau tidak. Pemeriksaaan
pernapasan dilakukan dengan melihat ada tidaknya pergerakan dada
(look), mendengarkan suara napas (listen) dan merasakan hembusan
napas (feel). Jika pasien berdenyut jantungnya tetapi tidak bernapas maka
hanya diberikan napas buatan saja sebanyak 12-20 kali per menit.
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung
atau mulut ke stoma (lubang yang dibuat pada tenggorokan).
1) Mulut ke mulut
Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini merupakan cara
yang tepat dan efektif untuk memberikan udara ke paru-paru pasien.
Pada saat dilakukan hembusan napas dari mulut ke mulut, penolong
harus mengambil napas dalam terlebih dahulu dan mulut penolong
harus dapat menutup seluruhnya mulut pasiendengan baik agar tidak
terjadi kebocoran saat mengghembuskan napas dan juga penolong

21
harus menutup lubang hidung korban/pasien dengan ibu jari dan jari
telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari hidung.
2) Mulut ke hidung
Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut pasien
tidak memungkinkan, misalnya pada Trismus atau dimana mulut
korban mengalami luka yang berat, dan sebaliknya jika melalui
mulut ke hidung, penolong harus menutup mulut korban/pasien.
3) Mulut ke Stoma
Pasien yang mengalami laringotomi mempunyai lubang (stoma)
yang menghubungkan trakhea langsung ke kulit. Bila pasien
mengalami kesulitan pernapasan maka harus dilakukan ventilasi dari
mulut ke stoma.
Jika pasien masih berdenyut jantungnya dan masih bernapas maka
korban dimiringkan ke kiri (posisi recovery) agar ketika muntah
tidak terjadi aspirasi.
Pasien yang berhenti denyut jantungnya / tidak teraba nadi maka
tidak perlu dilakukan pemeriksaan pernapasan karena sudah pasti
berhenti napasnya, penolong setelah melakukan kompresi dan
membuka jalan napas langsung memberikan napas buatan sebanyak
2 kali. Rasio perbandingan kompresi : napas buatan pada orang
dewasa baik 2 orang penolong maupun 1 orang penolong
perbandingan yaitu 30 : 2.
Adapun frekuensi napas buatan yang diberikan yaitu :
a) Dewasa : 10-12x pernapasan/menit, masing-masing 1,5-2 detik
b) Anak (1-8 thn) : 20x pernapasan /menit masing-masing 1-1,5
detik
c) Bayi (0-1 thn) : lebih dari 20x pernapasan/menit masing-masing
1-1,5 detik
d) Bayi baru lahir : 40x pernapasan/menit, masing-masing 1-1,5
detik
j. Evaluasi pada CPR dilakukan setiap 5 Siklus. (5 x 30 kompresi) + (5 x 2
napas buatan). Evaluasi pada pemberian napas buatan saja dilakukan
setiap 2 menit. Dan setelah pasien berdenyut nadinya dan bernapas posisi
pasien dimiringkan ke arah kiri (posisi recovery).
Tindakan RJP dapat dihentikan apabila :

22
1) Penderita pulih kembali.
2) Penolong kelelahan.
3) Diambil alih oleh tenaga yang sama atau yang lebih terlatih.
4) Jika ada tanda pasti mati, tidak usah lakukan RJP.

4. Adapun langkah-langkah melakukan RJP pada Anak dan Bayi


Anak (1-8 tahun) dan bayi (0-1 tahun) memerlukan sedikit perbedaan
dalam pertolongan. Pemeriksaan nadi pada bayi dilakukan pada nadi brakial
(nadi lengan atas). Sedangkan untuk anak seperti orang dewasa. Pada anak
rasio perbandingan kompresi : napas buatan yaitu untuk 1 penolong 30 : 2
dan untuk 2 penolong perbandingannya menjadi 15 : 2.
Jika bayi atau anak tidak bernapas dan nadi tidak berdenyut, mulailah
RJP dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Posisikan penderita
b. Buka baju penderita bagian dada.
c. Tentukan titik pijatan, untuk bayi satu jari di bawah garis imajiner/semu
kedua puting susu. Untuk anak, sama dengan orang dewasa.
d. Lakukan pijatan jantung, untuk bayi dengan mempergunakan jari tengah
dan jari manis. Sedangkan untuk anak mempergunakan, satu turnit
tangan saja. Kecepatan pijatan pada bayi sekurang-kurangnya
100x/menit.

Cacatan :
Khusus untuk bayi baru lahir maka perbandingan antara jantung luar dan
bantuan pernapasan adalah 3 : 1, mengingat dalam keadaan normal bayi baru
lahir memiliki denyut nadi di atas 120x/menit dan pernapasan mendekati
40x/menit.

5. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan tindakan RJP


a. RJP jangan berhenti lebih dari 5 detik dengan alasan apapun.
b. Tidak perlu memindahkan penderita ke tempat yang lebih baik, kecuali
bila ia sudah stabil.

23
c. Jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung tulang dada, karena dapat
berakibat robeknya hati
d. Diantara tiap kompresi, tangan harus melepas tekanan tetapi melekat
pada sternum, jari-jari jangan menekan iga korban.
e. Hindarkan gerakan yang menyentak. Kompresi harus lembut, teratur dan
tidak terputus
f. Perhatikan komplikasi yang mungkin karena RJP seperti :
1) Patah tulang dada dan tulang iga
2) Bocornya paru-paru (pneumotoraks)
3) Perdarahan dalam paru-paru / rongga dada (hemotoraks)
4) Luka dan memar pada paru-paru
5) Robekan pada hati

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tenanus adalah penyakit toksemia akut yang disebabkan oleh Cl ostridium tetani.
Tetanus
neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatu(bayi berusia 0-1
bulan). Penyebab tetanus adalah Cl ostridium tetani,yang infeksinya biasa terjadi
melalui luka dari tali pusat. Dapat juga karena perawatan tali pusat yang
menggunakan obat tradisional seperti abu dankapur sirih, daun-daunan dan
sebagainya.Masa inkubasi berkisar antara 3-14 hari, tetapi bisa berkurang atau

24
lebih. Gejalaklinis infeksi tetanus neonatorum umumnya muncul pada hari ke 3
sampai ke 10.
Tindakan pencegahan yang paling efektif adalah melakukanimunisasi dengan
tetanus toksoid (TT) pada wanita calon pengantin dan ibu hamil. Selain itu,
tindakan memotong dan merawat tali pusat harus secara steril.Pemberian asuhan
keperawatan pada bayi berisiko tinggi: tetanus neonatorum difokuskan pada upaya
penanganan dari tanda dan gejala penyakit yang diderita untuk tindakan
pemulihan fisik klien. Penentuan diagnosa harus akurat agar pelaksanaan asuhan
keperawatan dapat diberikan secara maksimal dan mendapatkan hasil
yangdiharapkan. Pemberian asuhan keperawatan bayi berisiko tinggi: tetanus
neonatorum secara umum bertujuan untuk meminimalkan terjadinya komplikasi
yang bisa terjadi.Oleh karena itu, dibutuhkan kreativitas dan keahlian dalam
pemberian asuhan keperawatan dan kolaborasikan dengan tim medis lainnya yang
bersangkutan.
Resusitasi jantung paru adalah suatu tindakan gawat darurat akibat kegagalan
sirkulasi dan pernafasan untuk dikembalikan ke fungsi optimal guna mencegah
kematian biologis. Indikasi melakukan RJP yaitu pada korban yang mengalami
henti npas (respiratory arrest) dan henti jantung (cardiact arrest).
Tujuan RJP adalah untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi
pada henti nafas (respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest).
Langkah-langkah melakukan RJP yaitu :
1. Danger (D) yaitu kewaspadaan terhadap bahaya yang terdiri dari
mengamankan diri sendiri (penolong), mengamankan lingkungan, dan
melindungi pasien
2. Respon (R) yaitu mengecek kesadaran pasien baik secara verbal, nonverbal
maupun rangsangan nyeri.
3. Shourt For Help (S) yaitu meminta bantuan.
4. Memperbaiki posisi pasien
5. Mengatur posisi penolong
6. Mengecek nadi yaitu pada nadi karotis untuk dewasa dan anak-anak.
Sedangkan nadi brakialis pada bayi.
7. Circulatory Support (C) yaitu memberikan kompresi sebanyak 30 kali pada
pasien jika nadinya berhenti berdenyut. Titik kompresi pada orang dewasa

25
yaitu 2 jari di bawah prosesus xifoideus. Sedangkan untuk bayi satu jari di
bawah garis imajiner/semu kedua puting susu dan untuk anak sama seperti
orang dewasa.
8. Airway Control (A) yaitu membuka jalan napas. Jika di dalam mulut
ditemukan benda asing dibersihkan dengan teknik finger sweep. Teknik untuk
membuka jalan napas ada 2 yaitu
a. Angkat Dagu - Tekan Dahi (ADTD)
Merupakan teknik untuk membuka yang tidak mengalami trauma pada
kepala, leher maupun tulang belakang.
b. Perasat Pendorongan Rahang Bawah (Jaw Thrust Manaeuver)
Merupakan teknik untuk membuka jalan nafas bagi korban yang
mengalami trauma pada tulang belakang.
9. Breathing Support (B) yaitu memberikan napas buatan. Lakukan pemeriksaan
pernapasan dengan sistem LDR (lihat, dengar, dan rasakan). Jika korban
berdenyut jantungnya tetapi tidak bernapas maka hanya diberikan napas
buatan saja sebanyak 12-20 kali per menit. Jika pasien tidak ada napas dan
nadi tidak berdenyut lakukan RJP dengan memberikan kompresi dan napas
buatan dengan rasio perbandinagn 30 : 2 pada orang dewasa dan anak-anak.
Dan khusus untuk bayi baru lahir 3 : 1. Jika pasien masih berdenyut nadinya
dan bernapas posisi pasien dimiringkan ke arah kiri (posisi recovery).
10. Evaluasi keadaan pasien setiap 5 siklus. Dan setelah pasien masih berdenyut
nadinya dan bernapas posisi pasien dimiringkan ke arah kiri (posisi recovery).

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat melakukan RJP diantaranya adalah RJP
jangan berhenti lebih dari 5 detik , jangan menekan prosesus xifoideus pada ujung
tulang dada, karena dapat berakibat robeknya hati, dan hindari gerakan menyentak
karena kompresi harus lembut, teratur dan tidak terputus.

26
DAFTAR PUSTAKA

Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo : Jakarta.

Sudarti.2010. Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Balita.yogyakarta:Nuha


Medika.

Fauziah, Afroh dan Sudarti.2012.Buku Ajar Asuhan Kebidanan Neonatus, Bayi,


dan Anak.Yogyakarta: Nuha Medika

Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal.2002.Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

http://penyakittetanus.com/tag/makalah-tetanus-neonatorum/

http://www.ibudanbalita.net/info/makalah-tetanus-neonatorum-lengkap.html

http://alamsyah.web.id/news/makalah-asuhan-kebidanan-pada-bayi-dengan-
tetanus-neonatorum

Carolyn M. Hudak. Critical Care Nursing : A Holistic Approach. Edisi VII.


Volume II. Alih Bahasa : Monica E. D Adiyanti. Jakarta : EGC ; 1997

Susan Martin Tucker. Patient Care Standarts. Volume 2. Jakarta : EGC ; 1998

27
Lynda Juall Carpenito. Handbook Of Nursing Diagnosis. Edisi 8. Jakarta : EGC ;
2001

Long, B.C. Essential of medical surgical nursing : A nursing process approach.


Volume 2. Alih bahasa : Yayasan IAPK. Bandung: IAPK Padjajaran;
1996 (Buku asli diterbitkan tahun 1989)

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarths textbook of medical
surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC;
2000 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

Corwin, E.J. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta:


EGC; 2001 (Buku asli diterbitkan tahun 1996)

Price, S.A. & Wilson, L.M. Pathophysiology: Clinical concept of disease


processes. 4th Edition. Alih bahasa : Anugerah, P. Jakarta: EGC; 1994
(Buku asli diterbitkan tahun 1992)

Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans: Guidelines
for planning and documenting patients care. Alih bahasa: Kariasa, I.M.
Jakarta: EGC; 1999 (Buku asli diterbitkan tahun 1993)

Boswick, John A.1997. Perawatan Gawat Darurat.Jakarta : EGC.

Darwis, dr. Allan & Sarana, dr. Lita, dkk.2007.Pedoman Pertolongan


Pertama.Jakarta : Palang Merah Indonesia.

Juliansyah, Rahmad Aswin.2009.Napas Buatan (Resusitasi Jantung Paru).Dalam


http://duniakeperawatan.wordpress.com/2009/02/28/143/(Diakses pada
tanggal 4 September 2014)

Sutawijaya, Risang Bagus.2009.Gawat Darurat Panduan Kesehatan Wajib di


Rumah Anda.Yogyakarta : Aulia Publishing.

Ramzkesrawan.2012.Prosedur Resusitasi Jantung Paru. Dalam


http://oknurse.wordpress.com/2012/03/27/prosedur-resusitasi-jantung-
paru-cpr/(Diakses pada tanggal 4 September 2014)

Rayani.2013.Aplikasi Resusitasi Jantung Paru. Dalam


http://rayaniners.blogspot.com/2013/03/cpr-application-aplikasi-
resusitasi.html (Diakses pada tanggal 4 September 2014)

28

Вам также может понравиться