Вы находитесь на странице: 1из 12

Musdalifah Hanifiah

FAA 112 048


LAPORAN KASUS : FULMINANT MYOCARDITIS

Abstrak
Seorang wanita 46 tahun dirawat karena diplopia yang disebabkan oleh
ophtalmoplegia, dan diobati dengan terapi kortikosteroid. Delapan hari kemudian, ia
dirawat dengan miokarditis fulminan pada syok kardiogenik, disertai disfungsi berat
ventrikel kiri dan nonsustained ventricular tachycardia yang sering terjadi. Karena
tidak adanya perbaikan klinis, biopsi endomiokardial dilakukan untuk mengetahui
adanya inammatory inltrate, vasculitis, dan PCR positif untuk cytomegalovirus,
virus Epstein Barr, Parvovirus B19 dan enterovirus. Fungsi dari ventrikel kiri sembuh
dengan pengobatan gagal jantung dan kortikosteroid. Tiga bulan kemudian, setelah
penarikan progresif dari prednisolon, terjadi kekambuhan miokarditis dan disfungsi
ventrikel kiri, yang berhasil diobati dengan melakukan pengulangan terapi
kortikosteroid. Satu bulan kemudian ia dirawat kembali dengan miokarditis fulminan
yang bereaksi lagi dengan steroid. Sesekali ia memperlihatkan lesi purpura pada kulit.
Pada saat ini diagnosa sementara adalah vasculitis dan ia telah mulai siklus bulanan
cyclophosphamide. Sebelum siklus kedua, ia dirawat dengan pneumonia dan
disfungsi ventrikel kemudian meninggal
Kata Kunci : Fulminant myocarditis; Corticosteroid therapy; Vasculitis

Pendahuluan

Menurut kriteria Dallas, miokarditis ditandai dengan adanya inflamasi


infiltrasi miokardium. Penyebab paling umum adalah infeksi virus; hanya sedikit
yang dapat menjadi infeksi sekunder non-virus, hipersensitivitas terhadap obat atau
racun, penyakit autoimun, giant cell myocarditis atau sarcoidosis 1. Manifestasi klinis
berkisar dari perubahan asimptomatik elektrokardiografi (EKG), dengan gejala
sistemik non-spesifik seperti myalgia, palpitasi atau exertional dyspnea, sampai syok
2
kardiogenik dan kematian mendadak . Pada tahun 1991, Lieberman dkk3
mengusulkan deskripsi klinikopatologi yang diklasifikasikan sebagai miokarditis
yaitu fulminan, subakut, kronis aktif atau kronis persisten. Keberagaman klinis
miokarditis tidak memungkinkan untuk menentukan yang sebenarnya terjadi, tetapi
ini diperkirakan menjadi penyebab sebesar 8,6 - 12% dari kematian mendadak pada
1,2
orang dewasa muda dan 9% dari kasus dilated cardiomyopathy . Prognosis dan
pengobatannya tergantung pada etiologi yang mendasari dan dampak klinis serta
hemodinamik.

Laporan Kasus

Seorang wanita 46 tahun, yang bekerja sebagai pemandu lalu lintas udara,
dengan riwayat merokok dan kelumpuhan wajah perifer tepat 15 tahun sebelumnya
(telah sembuh total), dirawat pada bulan Juni 2009 ke departemen neurologi dari
Rumah Sakit Faro karena diplopia horisontal dengan onset mendadak. Ia melakukan
gerakan mata yang terbatas dan ptosis bilateral tetapi disertai refleks pupil yang
dipertahankan. Penelitian etiologi termasuk Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari
cranium dan orbits, electromyogram, dan analisis cerebrospinal uid, termasuk
serologi untuk virus Epstein Barr (EBV), cytomegalovirus (CMV), herpes simplex 1
serta HIV 1 dan 2, dan VDRL, tidak ada yang menunjukkan kelainan. CT dada juga
normal namun tidak termasuk thymoma. Studi imunologi untuk ANA, ANCA, ECA
dan faktor rheumatoid yaitu negatif, tapi positif untuk antibodi muscle skeletal. Ia
diobati dengan tiga pulse metilprednisolon 1 g dan diberhentikan 2 minggu setelah
dirawat di rumah sakit, dengan hanya ptosis mata kanan.

Diagnosa sementara adalah external ophthalmoplegia progresif cepat, ocular


myasthenia dan mitochondrial myopathy. Selama dirawat di rumah sakit, EKG,
transthoracic echocardiography (TTE), troponin I dan pengukuran BNP tidak
dilakukan.

Delapan hari setelah pulang, ia dirawat di bagian kardiologi dari rumah sakit
yang sama menderita fulminant myocarditis pada syok kardiogenik disertai disfungsi
berat ventrikel kiri dan nonsustained ventricular tachycardia yang sering terjadi
(Gambar 1).

Hasil uji laboratorium meliputi troponin I 12 ng / ml (normal <0.1), BNP 2635


pg / ml (normal <100) dan CRP 76mg / dl (normal <5). EKG menunjukkan ritme
sinus dengan incomplete RBBB dan simetris gelombang T negatif di V1-V6. TTE
(Gambar 2) menunjukkan adanya bilik non-dilatasi, disfungsi ventrikel kiri berat
(LV) (fraksi ejeksi LV [LVEF] 25%) disertai hypokinesia dari beberapa segmen, dan
tidak terdapat efusi perikardial. Terapi kortikosteroid diulang kembali (IV prednisolon
1 mg / kg). Pada hari kelima, walaupun tidak lagi dibantu dengan IV inotropik, ia
terus memperlihatkan adanya dyspnea pada saat istirahat dan VT nonsustained yang
sering, oleh karena itu dipindahkan ke unit perawatan gagal jantung stadium lanjut
Rumah Sakit Universitas Coimbra dengan dugaan giant cell myocarditis (GCM).
Kateterisasi jantung menunjukkan lesi koroner angiografi yang tidak signifikan;
Biopsi endomiokardial (EMB) dari lima spesimen (Gambar 3) menunjukkan infiltrasi
limfosit T, makrofag dan limfosit B CD20 positif dan tanda-tanda dari vaskulitis, tapi
tidak mendeteksi multinucleated giant cells. Analisis PCR terhadap spesimen biopsi
yaitu positif untuk Parvovirus B19, enterovirus, EBV dan CMV.

Serologi terhadap CMV, herpes simplex dan EBV adalah positif untuk IgG
tetapi negatif untuk IgM, dan negatif untuk HIV, virus hepatitis C, Borrelia dan
Coxiella. Pada pengujian antibodi otot polos adalah positif tetapi negatif untuk
antibodi otot rangka,, berbeda dengan hasil yang diperoleh selama rawat inap
pertama. Pasien menunjukkan perbaikan klinis secara bertahap dan pemulihan fungsi
LV dibawah pengobatan menggunakan prednisolon dan telah habis satu bulan
kemudian disertai diagnosa miokarditis fulminan yang dimungkinkan berasal dari
autoimun.

Ia tetap di kelas I fungsional NYHA sampai akhir Oktober 2009, ketika tiga
hari setelah penghentian sementara terapi kortikosteroid untuk keperluan biopsi otot,
ia dirawat karena miokarditis yang rekuren, disfungsi LV berat, syok kardiogenik dan
gagal ginjal serta hati. Pemberian steroid yang diulang kembali, mengarah pada
perbaikan klinis penderita dan pemulihan fungsi LV, dan ia dikeluarkan dengan
pengobatan gagal jantung dan prednisolon oral. Ia menjalani biopsi otot sebagai
pasien rawat jalan dengan pengobatan prednisolon 50mg / hari, yang menunjukkan
tipe II fiber atrofi, sesuai dengan steroid-induced dan atau disuse myopathy. Kontrol
TTE menunjukkan bilik nondilated dan fungsi sistolik global LV yang baik (LVEF
57%). Untuk mengurangi penggunaan steroid, azathioprine 100mg / hari mulai
diperkenalkan.

Pada pertengahan Desember, bertepatan dengan pengurangan prednisolon dari


50 sampai 40mg / hari, ia dirawat kembali ke bagian kardiologi dengan
hemodynamically tolerated sustained VT. yang kemudian dikonversi ke ritma sinus
dengan amiodaron. TTE kembali menunjukkan adanya disfungsi LV yang berat.
50mg IV bolus prednisolon diberikan dan dosis oral meningkat menjadi 1 mg / kg /
hari, dan dosis harian dari azathioprine ditingkatkan menjadi 150mg / hari. Perbaikan
klinis dan pemulihan fungsi LV diamati dan pasien dikeluarkan dengan terapi gagal
jantung, amiodarone 400mg / hari, prednisolon 60mg / hari, azathioprine 150mg /
hari, strontium ranelate, kalsium karbonat, dan cholecalciferol.

Gambar 1. Elektrokardiogram menunjukkan nonsustained ventricular tachycardia


dengan denyut jantung 180 bpm.
Gambar 2. Echocardiogram, Penampakan apikal 4 bilik, akhir diastol (kiri) dan akhir
sistol (kanan), menunjukkan disfungsi berat ventrikel kiri.

Semenjak di rumah sakit yang kedua (untuk miokarditis fulminan), pasien


sesekali terlihat lesi purpura kulit, terutama di bagian punggung (Gambar 4).

Kasus ini dibahas dengan bagian pengobatan penyakit dalam dan dinilai
dalam sebuah pusat yang khusus terhadap penyakit autoimun. Diagnosa sementara
yaitu vaskulitis sekunder hingga infeksi EBV atau dermatomyositis. Berikut ini terapi
resimen yang diusulkan: cyclophosphamide 0,7 g / m2 per bulan selama enam bulan,
prednisolon (dengan indikasi untuk diberhentikan secara perlahan 15 hari setelah
dimulainya siklofosfamid, untuk dosis 5-10mg / hari), dan azathioprine diulang
kembali setelah menyelesaikan pengobatan dengan siklofosfamid.

Gambar 3. Spesimen biopsi endomiokard menunjukkan infiltrasi limfosit.


Gambar 4. Lesi purpura cutaneous pada punggung pasien.

Siklus pertama siklofosfamid pada Januari 2010, pada saat TTE menunjukkan
fungsi LV sedikit lebih tertekan (LVEF 43%) dan regurgitasi mitral ringan.

Pada bulan Februari 2010, ketika ia akan memulai siklus kedua, ia dirawat
kembali dengan dyspnea yang berhubungan dengan demam dan leukositosis. X-Ray
dan CT dada menunjukkan, di antara perubahan lain, infiltrasi alveolar dari
penampakan ground-glass, terutama di paru-paru kanan; kondensasi pada daerah
parenkim di lobus kiri lebih rendah; dan interstitial fibrosis, terutama dari segmental
dan septa subsegmental. Temuan ini sesuai dengan fibrosis interstitial yang terkait
dengan alveolitis. Dengan adanya dugaan pneumonia, pasien diobati dengan
vankomisin, piperasilin-tazobactam dan fluconazole. TTE menunjukkan adanya
disfungsi LV yang sedang. Dua hari setelah dirawat, invasif ventilasi mekanik
diperlukan karena terdapat kegagalan pernafasan yang parah dan ketidakstabilan
hemodinamik. TEE menunjukkan disfungsi sistolik biventrikular parah. Pada hari
ketiga ia meninggal karena kegagalan organ multiple. Keluarga menolak izin untuk
dilakukan autopsi.

Diskusi

Fulminant myocarditis adalah suatu bentuk dari myocarditis yang jarang


ditemui namun serius dimana terapi dini suportif sangatlah penting. Kriteria
histopatologi Dallas, yang diterbitkan pada tahun 1986, merupakan usaha pertama
untuk menetapkan kriteria dalam penentuan diagnosis dan klasifikasi dari myocarditis
berdasarkan EMB; hal ini terbatas pada variabilitas dalam interpretasi spesimen,
kurangnya nilai prognosa (karena baik gejala maupun klinis terkait dengan sejauh
mana infiltrasi limfosit atau fibrosis), dan sensitivitas yang rendah 1. Setelah itu,
klasifikasi klinikopatologi Lieberman3 menambahkan kriteria klinis dan
4
ekokardiografi untuk membuat kriteria patologis, dan Felker dkk . termasuk
parameter hemodinamik. Menurut dua klasifikasi terbaru tentang kasus yang
ditampilkan sesuai dengan fulminant myocarditis, karena pasien menunjukkan onset
mendadak gagal jantung kongestif dengan kompromi hemodinamik dan disfungsi
berat fungsi ventrikel dengan bilik jantung yang non dilatasi, serta tanda-tanda
myocarditis aktif yang nantinya terlihat pada EMB.

Infeksi virus merupakan penyebab umum dari fulminant myocarditis. Dalam


kasus yang disajikan di sini, empat genom virus yang berbeda ditemukan pada EMB.
Dalam rangkaian dilatasi kardiomiopati ''idiopatik'', dua atau lebih genom virus
diidentifikasi sebanyak > 25% kasus 2. Seperti pada kebanyakan kasus myocarditis,
serologi virus pada pasien ini tidak cocok dengan bahan genom yang diidentifikasi
pada EMB; serologi positif tidak selalu berarti adanya keterlibatan myocard.
Meskipun genom virus telah terdeteksi, aspek-aspek lain dari kasus ini membuat kita
percaya bahwa hal ini sebenarnya myocarditis giant cell, yang sering dikaitkan
dengan penyakit autoimun: rawat inap pertama di departemen neurologi karena
oftalmoplegia eksternal yang bereaksi terhadap steroid menunjukkan etiologi dari
autoimun, sedangkan GCM biasanya muncul sebagai myocarditis fulminan dan sering
1,5
kali dihubungkan dengan VT . Hal ini dikaitkan dengan ketidakstabilan
hemodinamik dan disfungsi berat ventrikel dalam kasus yang ditampilkan, disamping
pengobatan suportif.

Pengobatan myocarditis fulminan awalnya berdasarkan pada terapi suportif


untuk disfungsi ventrikel kiri, seperti yang tercantum dalam panduan European
Society of Cardiology 8. Insiden yang rendah pada myocarditis fulminan dan kesulitan
dalam membuat diagnosa telah membatasi jumlah uji coba yang terkontrol secara
acak untuk mengetahui strategi terapi yang berbeda. Berbagai penelitian tentang
6,7
imunosupresan , termasuk steroid, siklosporin dan azathioprine, imunoglobulin
7 2
intravena dan interferon , belum menunjukkan manfaat dalam pengobatan
myocarditis. Analisis post-hoc pada penelitian terapi imunosupresif menunjukkan
bahwa bagi yang tidak merespon terhadap terapi menunjukkan prevalensi tinggi pada
persistensi virus tetapi tidak terdapat anticardiac antibodies 9. Walaupun manfaat
perawatan seperti pada myocarditis fulminan belum diketahui, terapi imunosupresif
mungkin bermanfaat pada pasien dengan antibodi anticardiac atau dengan peradangan
immunohistologic pada EMB, sedangkan kasus di mana genom virus terdeteksi pada
EMB dapat dimanfaatkan dari terapi antivirus 9. Meskipun pada beberapa penelitian
1,2,6
tidak merekomendasikan terapi steroid untuk semua kasus, hal ini indikasi
terhadap myocarditis sekunder dan pada penyakit autoimun atau GCM 5, yang
keduanya telah didiagnosa dalam kasus yang ditampilkan di sini, sehingga pasien
diobati dengan prednisolon.

Ketika terapi suportif dengan prednisolon gagal dalam menghasilkan


perbaikan klinis, akhirnya diputuskan untuk melakukan EMB, yang merupakan
standar diagnosa penting (sementara hanya dilakukan dalam persentase kecil pada
pasien yang menderita miokarditis). Dalam kasus yang ditampilkan ini termasuk
rekomendasi kelas I (tingkat bukti B), untuk yang tidak dapat dijelaskan, onset baru
10
dari gagal jantung selain kompromi hemodinamik . Selain itu, diagnosa banding
fulminantmyocarditis antara GCM dan necrotizing eosinophilic myocarditis adalah
penting 1.
Meskipun MRI pada jantung tidak dilakukan dalam kasus ini, hal ini memiliki
sensitivitas dan spesifikasi yang tinggi untuk mengidentifikasi myocarditis 9, terutama
T2 dan gambar tambahan gadolinium akhir. Cardiac MRI kerap digunakan untuk
menentukan diagnosa banding dengan infark myocardi (MI); pasien dengan difus
miokarditis atau tambahan nodular yang terlambat, subepicardial atau
intramyocardial, dalam distribusi nonvascular, sementara bagi MI yang menunjukkan
subendokard atau transmural tambahan tertunda dalam distribusi 11, MRI vaskular
segmental Cardiac juga meningkatkan sensitivitas EMB dengan mengidentifikasi
bagian yang terbaik untuk melakukan biopsi.

Diplopia yang menjadi penyebab pada perawatan pertama di rumah sakit


merupakan keterlibatan otot ocular yang tidak langsung, bersamaan dengan lesi kulit,
tanda-tanda vaskulitis pada EMB dan meningkatkan ketergantungan terhadap terapi
kortikosteroid setelah rawat inap ketiga, semua mengarah pada diagnosa sementara
dari vaskulitis sekunder hingga infeksi EBV atau dermatomiositis. Mengingat
kemungkinan adanya keterlibatan organ vital, diputuskan untuk memberikan terapi
siklofosfamid. Etiologi pada kelainan pasien dengan keterlibatan sistemik,
kemungkinan besar berupa vaskulitis, masih belum jelas; ketidakmungkinan
melakukan penyelidikan lebih lanjut terbatas pada otopsi kasus ini. Meskipun pasien
ini meninggal, kelangsungan hidup dengan miokarditis fulminan bisa mencapai 90%
1,2
.

Konflik Kepentingan

Tidak terdapat konflik kepentingan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Cooper LT, Myocarditis. N Eng J Med. 2009;360:1526---38.


2. Jared W, Magnani G, William Dec. Myocarditis: current trends in diagnosis
and treatment. Circulation. 2006;113:876---90.
3. Lieberman EB, Hutchins GM, Herskowitz A, et al. Clinicopathologic
description of myocarditis. J Am Coll Cardiol. 1991;18:1617---26.
4. Felker GM, Boehmer JP, Hruban RH, et al. Echocardiographic findings in
fulminant and acute myocarditis. J Am Coll Cardiol. 2000;36:227---32.
5. Multicenter Giant Cell Myocarditis Study Group Investigators. Idiopathic
giant-cell myocarditis: natural history and treatment. N Engl J Med.
1997;336:1860---6.
6. Mason JW, OConnell JB, Herskowitz A, et al. A clinical trial of
immunosuppressive therapy for myocarditis. N Engl J Med. 1995;333:269---
75.
7. McNamara DM, Holubkov R, Starling RC, et al. Controlled trial of
intravenous immune globulin in recent-onset dilated cardiomyopathy.
Circulation. 2001;103:2254---9.
8. Dickstein K, Cohen-Solal A, Filippatos G, et al. ESC guidelines for the
diagnosis and treatment of acute and chronic heart failure 2008: the Task
Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2008 of the European Society of Cardiology. Developed in collaboration with
the Heart Failure Association of the ESC (HFA) and endorsed by the
European Society of Intensive Care Medicine (ESICM). Eur J Heart Fail.
2008;10:933---89.
9. Dennert R, Harry J, Heymans C. Acute viral myocarditis. EurHeart J.
2008;29:2073---82.

10. Cooper LT, Baughman KL, Feldman AM, et al. The role of endomyocardial
biopsy in the management of cardiovascular disease: a scientific statement
from the American Heart Association, the American College of Cardiology,
and the Europea Society of Cardiology. Circulation. 2007;116:2216---33.
11. Laissy JP, Hyafil F, Feldman LJ, et al. Differentiating acute myocardial
infarction from myocarditis: diagnostic value of early- and delayed-perfusion
cardiac MR imaging. Radiology. 2005;237:75---82.

Вам также может понравиться