Вы находитесь на странице: 1из 129

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari

fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik

(PGK) atau chronic kidney disease (CKD) stadium V atau gagal ginjal kronik

(GGK).

Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, di Amerika pada tahun 2009

diperkirakan terdapat 116395 orang penderita GGK yang baru. Lebih dari

380000 penderita GGK menjalani hemodialisis reguler (USRDS, 2011). Pada

tahun 2011 di Indonesia terdapat 15353 pasien yang baru menjalani HD dan

pada tahun 2012 terjadi peningkatan pasien yang menjalani HD sebanyak 4268

orang sehingga secara keseluruhan terdapat 19621 pasien yang baru menjalanai

HD. Sampai akhir tahun 2012 terdapat 244 unit hemodialisis di Indonesia (IRR,

2013).

Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun

masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD.

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah

gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya

menurun dengan dilakukannya ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD.

Hipotensi intradialitik terjadi pada 20-30% penderita yang menjalani HD reguler

(Tatsuya et al., 2004). Penelitian terhadap pasien dengan HD reguler yang

dilakukan di Denpasar, mendapatkan kejadian hipotensi intradialitik sebesar

19,6% (Agustriadi, 2009).

1
2

Gangguan hemodinamik saat HD juga bisa berupa peningkatan tekanan

darah. Dilaporkan Sekitar 5-15% dari pasien yang menjalani HD reguler tekanan

darahnya justru meningkat saat HD. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik

(HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal and Light, 2010; Agarwal et al.,

2008). Pada penelitian kohort yang dilakukan pada pasien HD didapatkan 12,2%

pasien HD mengalami HID (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di

Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD

mengalami paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka

Widiana dan Suwitra, 2011).

Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan

tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada

saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD. Tekanan

darah penderita bisa normal saat memulai HD, tetapi kemudian meningkat

sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir HD. Bisa juga terjadi

pada saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan meningkat pada

saat HD, hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat sampai

terjadi krisis hipertensi (Chazot dan Jean, 2010).

Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi HD yang saat ini mendapat

perhatian, karena episode HID akan mempengaruhi adekuasi HD. Beberapa

penelitian mandapatkan bahwa HID mempengaruhi morbiditas dan mortalitas

pasien yang menjalani HD reguler. Mortalitas meningkat jika tekanan darah

pasca HD meningkat yaitu bila sistolik 180 mmHg dan diastolik 90 mmHg

(rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut). Pada pasien yang mengalami peningkatan
tekanan darah sebesar 10 mmHg saat HD didapatkan peningkatan risiko rawat

inap di rumah sakit dan kematian (Inrig et al., 2009).

Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang

rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan

darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang

tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga meningkatkan risiko

kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD, walaupun tekanan darah

sistolik (TDS) pra HD 120 mmHg (Inrig et al., 2009).

Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat

ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab

HID seperti aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena

diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari


+ 2+
simpatis, variasi dari ion K dan Ca saat HD, viskositas darah yang meningkat

karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan

cardiac output (COP), obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan

vasokonstriksi yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai

faktor tersebut yang paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah

stimulasi RAAS oleh hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan

saat HD dan variasi dari kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot

dan Jean, 2010).

Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah,

besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB)

antara waktu HD dan target BB kering penderita. BB kering adalah BB di mana

penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan

cairan. Pada penyandang HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar waktu


HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD sekitar

2 liter (Nissenson and Fine, 2008). Guideline K/DOQI 2006 menyatakan bahwa

kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak melebihi dari 4,8% BB kering

(K/DOQI, 2006). Umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi 2

kg bahkan mencapai 5 kg, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2

L. Pada HD dengan excessive UF atau UF berlebih, banyak timbul masalah baik

gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and Fine,

2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang

aktivitas RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot and Jean,

2010).

Asumsi yang berbeda dikemukakan oleh Chou et al., yang melakukan

penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol,

didapatkan bahwa pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang

bermakna dari kadar katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari

resistensi vaskular sistemik dan penurunan keseimbangan rasio nitric oxide dan

endothelin-1 (NO/ET-1) (Chou et al., 2006).

Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya

variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan

fisik maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang

melibatkan kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting

adalah NO suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA)

yang merupakan inhibitor endogen dari NO synthase (NOS) dan ET-1 suatu

vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting terhadap

aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah khususnya


termasuk kejadian HID (Locatelli et al., 2010). Disfungsi endotel dapat

menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi

maupun hipertensi intradialitik. Perubahan ini berhubungan dengan keterkaitan

antara endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer

(Raj et al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD

antara kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD

berakhir pada penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan

penurunan signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou

et al., 2006). Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan

HID terjadi peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafei et

al., 2008). Pada penelitian cohort case control 25 pasien HD reguler yang

mengalami episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi

endotel. Pada penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat

menjelaskan sebagian penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011).

Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara

disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya

disfungsi endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami.

Banyak hal yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan

strategi terapi yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari

hubungan antara UF yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID

melalui keterlibatan disfungsi endotel. Disfungsi endotel ditandai dengan

peningkatan konsentrasi ET- 1, atau peningkatan kadar ADMA atau penurunan

kadar NO serum saat HD.


1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

2. Apakah perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

3. Apakah penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

4. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya

risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

5. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum ?

6. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum?

7. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya

risiko kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas dapat

dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan umum

Tujuan umum penelitian ini adalah: Untuk membuktikan UF berlebih

berperan dalam patogenesis terjadinya HID melalui disfungsi endotel

yang
ditandai dengan peningkatan ET-1 atau peningkatan ADMA atau

penurunan NO, pada pasien GGK yang menjalani HD reguler.

1.3.2 Tujuan khusus

Untuk membuktikan bahwa:

1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

3. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

4. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum.

6. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1

serum.

7. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar

ADMA serum.
1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat akademis

Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD

berperan dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel pada

penyandang HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah

berkaitan dengan UF yang berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui

keterlibatan disfungsi endotel.

1.4.2 Manfaat praktis

Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD berperan dalam

kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya

kadar ADMA, atau meningkatnya kadar ET-1 atau menurunnya kadar NO)

pada pasien HD reguler maka usaha-usaha untuk menekan HID melalui

penentuan UF yang tepat saat HD dapat digunakan oleh para klinisi dalam

penanganan kasus HID.


9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Ginjal Kronik

2.1.1 Epidemiologi

Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Chronic Kidney disease (CKD) menjadi

problem kesehatan yang besar di seluruh dunia. Perubahan yang besar ini

mungkin karena berubahnya penyakit yang mendasari patogenesis dari PGK.

Beberapa dekade yang lalu penyakit glomerulonefritis merupakan penyebab

utama dari PGK. Saat ini infeksi bukan merupakan penyebab yang penting dari

PGK. Dari berbagai penelitian diduga bahwa hipertensi dan diabetes merupakan

dua penyebab utama dari PGK (Zhang dan Rothenbacher, 2008).

Penyakit ginjal kronik tahap 5 (terminal) prevalensinya semakin meningkat

di seluruh dunia. Penderita PGK yang mendapat pengobatan terapi pengganti

ginjal diperkirakan 1,8 juta orang. Terapi pengganti ginjal mencakup dialisis dan

transplantasi ginjal dan lebih dari 90% di antaranya berada di negara maju

(Suhardjono, 2006).

2.1.2 Batasan

Penyakit Ginjal Kronik menurut Kidney Disease Improving Global

Outcomes (KDIGO) adalah abnormalitas fungsi atau struktur ginjal yang

berlangsung lebih dari 3 bulan dengan implikasi pada kesehatan yang ditandai

dengan adanya satu atau lebih tanda kerusakan ginjal seperti yang terdapat pada

Tabel 2.1 di bawah ini (KDIGO, 2013).

9
10

Tabel 2.1 Kriteria PGK (kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan)
(KDIGO, 2013)

Petanda kerusakan ginjal Albuminuria (AER 30 mg/24 jam;


(satu atau lebih)) ACR 30 mg/g [ 3 mg/mmol])
Abnormalitas pada sedimen urin
Gangguan elektrolit dan abnormalitas yang berhubungan dengan
kerusakan tubulus
Abnormalitas pada pemeriksaan histologi
Abnormalitas struktural pada pemeriksaan imaging
Riwayat transplantasi ginjal

Penurunan LFG LFG < 60 ml/min/1.73 m2 (kategori LFG G3aG5)

2.1.3 Stadium PGK

Penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 6 stadium seperti Tabel 2.2 di bawah

ini (KDIGO, 2013).

Tabel 2.2 Kategori LFG pada PGK (KDIGO, 2013)

Kategori LFG LFG (ml/min/1.73 m2) Batasan

G1 90 Normal atau Tinggi


G2 6089 Penurunan ringan
G3a 4559 Penurunan ringan sampai sedang
G3b 3044 Penurunan sedang sampai berat
G4 1529 Penurunan berat
G5 <15 Gagal ginjal

2.2 Hemodialisis

Prevalensi penderita PGK yang mendapat terapi pengganti ginjal di negara

berkembang saat ini meningkat dengan cepat, seiring dengan kemajuan

ekonominya. Prevalensi penderita penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) yang

menjalani HD rutin meningkat dari tahun ke tahun. Di seluruh dunia saat ini

hampir setengah juta penderita GGK menjalani tindakan HD untuk

memperpanjang hidupnya (Nissenson and Fine, 2008).


Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi

darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan

menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk

terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya

menggantikan sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada

penderita PGK stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury)

yang memerlukan terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD

dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD

persiapan/preparative, dan HD kronik/reguler (Daurgirdas et al., 2007).

2.2.1 Indikasi hemodialisis

Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD

kronik. Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.

A. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al., 2007):

1. Kegawatan ginjal

a. Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi

b. Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)

c. Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)

d. Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K >6,5

mmol/l )

e. Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)

f. Uremia ( BUN >150 mg/dL)

g. Ensefalopati uremikum

h. Neuropati/miopati uremikum
i. Perikarditis uremikum

j. Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)

k. Hipertermia

2. Keracunan akut (alkohol, obat-obatan) yang bisa melewati membran dialisis.

B. Indikasi Hemodialisis Kronik

Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan

seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis.

Menurut K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien

yang mempunyai GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis

dianggap baru perlu dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah

ini (Daurgirdas et al., 2007):

a. GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis

b. Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.

c. Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.

d. Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.

e. Komplikasi metabolik yang refrakter.

2.2.2 Prinsip dan cara kerja hemodialisis

Hemodialisis terdiri dari 3 kompartemen: 1) kompartemen darah, 2)

kompartemen cairan pencuci (dialisat), dan 3) ginjal buatan (dialiser). Darah

dikeluarkan dari pembuluh darah vena dengan kecepatan aliran tertentu,

kemudian masuk ke dalam mesin dengan proses pemompaan. Setelah terjadi

proses dialisis, darah yang telah bersih ini masuk ke pembuluh balik,

selanjutnya beredar di
dalam tubuh. Proses dialisis (pemurnian) darah terjadi dalam dialiser (Daurgirdas

et al., 2007).

Prinsip kerja hemodialisis adalah komposisi solute (bahan terlarut) suatu

larutan (kompartemen darah) akan berubah dengan cara memaparkan larutan ini

dengan larutan lain (kompartemen dialisat) melalui membran semipermeabel

(dialiser). Perpindahan solute melewati membran disebut sebagai osmosis.

Perpindahan ini terjadi melalui mekanisme difusi dan UF. Difusi adalah

perpindahan solute terjadi akibat gerakan molekulnya secara acak, utrafiltrasi

adalah perpindahan molekul terjadi secara konveksi, artinya solute berukuran

kecil yang larut dalam air ikut berpindah secara bebas bersama molekul air

melewati porus membran. Perpindahan ini disebabkan oleh mekanisme

hidrostatik, akibat perbedaan tekanan air (transmembrane pressure) atau

mekanisme osmotik akibat perbedaan konsentrasi larutan (Daurgirdas et al.,

2007).

Pada mekanisme UF konveksi merupakan proses yang memerlukan gerakan

cairan disebabkan oleh gradient tekanan transmembran (Daurgirdas et al.,

2007).
Gambar 2.1
Skema Mekanisme Kerja Hemodialisis
(Bieber dan Himmelfarb, 2013)

2.2.3 Komplikasi hemodialisis

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi

ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK)

stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK). Walaupun tindakan HD saat ini

mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun masih banyak penderita

yang mengalami masalah medis saat menjalani HD. Komplikasi yang sering

terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah gangguan hemodinamik.

Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya UF atau penarikan

cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang

menjalani HD
reguler. Namun sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru

meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi intradialitik atau intradialytic

hypertension (HID) (Agarwal dan Light, 2010).

Komplikasi HD dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan komplikasi

kronik (Daurgirdas et al., 2007).

2.2.3.1 Komplikasi akut

Komplikasi akut adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis

berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi adalah: hipotensi, kram otot, mual

muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil

(Daurgirdas et al., 2007; Bieber dan Himmelfarb, 2013). Komplikasi yang

cukup sering terjadi adalah gangguan hemodinamik, baik hipotensi maupun

hipertensi saat HD atau HID. Komplikasi yang jarang terjadi adalah sindrom

disekuilibrium, reaksi dialiser, aritmia, tamponade jantung, perdarahan

intrakranial, kejang, hemolisis, emboli udara, neutropenia, aktivasi komplemen,

hipoksemia (Daurgirdas et al., 2007).


Tabel 2.3 Komplikasi Akut Hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb,

2013) Komplikasi Penyebab

Hipotensi Penarikan cairan yang berlebihan, terapi antihipertensi,


infark jantung, tamponade, reaksi anafilaksis
Hipertensi Kelebihan natrium dan air, ultrafiltrasi yang tidak adekuat
Reaksi Alergi Reaksi alergi, dialiser, tabung, heparin, besi, lateks
Aritmia Gangguan elektrolit, perpindahan cairan yang terlalu
cepat, obat antiaritmia yang terdialisis
Kram Otot Ultrafiltrasi terlalu cepat, gangguan elektrolit
Emboli Udara Udara memasuki sirkuit darah
Dialysis disequilibirium Perpindahan osmosis antara intrasel dan ekstrasel
menyebabkan sel menjadi bengkak, edema serebral.
Penurunan konsentrasi urea plasma yang terlalu cepat
Masalah pada dialisat / kualitas air
Chlorine Hemolisis oleh karena menurunnya kolom charcoal
Kontaminasi Fluoride Gatal, gangguan gastrointestinal, sinkop, tetanus, gejala
neurologi, aritmia
Kontaminasi bakteri / endotoksin Demam, mengigil, hipotensi oleh karena kontaminasi dari
dialisat maupun sirkuti air

2.2.3.2 Komplikasi kronik

Adalah komplikasi yang terjadi pada pasien dengan hemodialisis kronik.

Komplikasi kronik yang sering terjadi dapat dilihat pada Tabel 2.4 di bawah ini.

(Bieber dan Himmelfarb, 2013).

Tabel 2.4 Komplikasi kronik hemodialisis (Bieber dan Himmelfarb, 2013)

Penyakit jantung
Malnutrisi
Hipertensi / volume excess
Anemia
Renal
osteodystrophy
Neurophaty
Disfungsi reproduksi
Komplikasi pada akses
Gangguan perdarahan
Infeksi
Amiloidosis
Acquired cystic kidney disease
2.3 Hipertensi Intradialitik

2.3.1 Batasan

Hipertensi dialitik sering ditemukan pada pasien-pasien yang menjalani HD

rutin, walaupun komplikasi HD ini sudah dikenal sejak beberapa tahun lalu

namun sampai saat ini belum ada batasan yang jelas mengenai HID. Berbagai

penelitian mengemukakan definisi yang berbeda-beda. Beberapa penelitian

mendefinisikan HID adalah peningkatan mean arterial blood pressure (MABP)

15 mmHg atau lebih selama atau sesaat setelah HD selesai (Amerling et al.,

1995; Mees, 1996). Hipertensi intradialitik juga didefinisikan sebagai adanya

hipertensi yang mulai sejak jam kedua atau ketiga saat sesi HD, setelah

dilakukan UF atau peningkatan tekanan darah saat HD yang resisten terhadap

UF (Cirit et al., 1995). Sementara peneliti lain mengemukakan HID adalah suatu

kondisi berupa terjadinya peningkatan tekanan darah yang menetap pada saat

HD dan tekanan darah selama dan pada saat akhir dari HD lebih tinggi dari

tekanan darah saat memulai HD (Chazot dan Jean, 2010). Berikut definisi HID

pada beberapa penelitian:

a. Suatu peningkatan mean arterial blood pressure (MAP) 15 mmHg selama

atau segera setelah HD (Amerling et al., 1995).

b. Suatu peningkatan tekanan darah sistolik (TDS) >10 mmHg dari pre ke post

HD (Inrig et al., 2007; Inrig et al., 2009).

c. Suatu peningkatan tekanan darah yang resisten terhadap UF (Cirit et al.,

1995).

d. Perburukan dari hipertensi sebelumnya atau terjadinya hipertensi setelah

terapi ESA (Sarkar et al., 2005).


e. Peningkatan tekanan darah selama atau segera setelah HD dan menyebabkan

hipertensi post HD (post HD 130/80 mmHg (KDOQI, 2006).

2.3.2 Prevalensi

Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai

pada pasien yang menjalani HD rutin, dengan prevalensi 5-15% (Locatelli et al.,

2010). Pada penelitian kohort pasien HD selama 2 minggu ditemukan HID

sebesar 8% (Amerling et al., 1995). Penelitian kohort yang terbaru mendapatkan

prevalensi HID sebesar 12,2% (Inrig et al., 2009). Penelitian yang dilakukan di

Denpasar mendapatkan hasil yang berbeda yaitu 48,1% dari 54 penyandang HD

mengalami Paradoxical post dialytic blood pressure reaction (PDBP) (Raka

Widiana dan Suwitra, 2011).

2.3.3 Etiologi dan patofisiologi

Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat

ini belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab

HID seperti volume overload, aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron

system (RAAS) karena diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan UF,

overaktif dari
+ 2+
simpatis, variasi dari ion K dan Ca saat HD, viskositas darah yang meningkat

karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), UF yang berlebih saat HD, obat

antihipertensi terekskresikan saat HD dan adanya disfungsi endotel (Locatelli et

al., 2010).
2.3.3.1 Volume overload

Cairan ekstrasel yang berlebihan (overload) menyebabkan meningkatnya

cardiac output (COP) merupakan salah satu penyebab yang penting dari

meningkatnya tekanan darah. Hipervolumia (fluid overload) diyakini berperan

dalam patogenesis HID (Locatelli et al., 2010).

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 7 pasien yang mengalami

hipertensi saat HD, di dapatkan gambaran dilatasi pada jantung. Pada pasien ini

tekanan darah meningkat saat dilakukan UF. Pasien ini kemudian diterapi

dengan melakukan UF berulang yang intensif untuk menurunkan berat badan

keringnya dan dilakukan monitor terhadap fungsi jantung. Semua pasien

menunjukkan perbaikan tekanan darah, tekanan darah menjadi normal tanpa

pemberian obat antihipertensi. Pada pemeriksaan ekokardiografi didapatkan

perbaikan dari parameter fungsi jantung. Dari hasil tersebut peneliti

menyimpulkan bahwa tekanan darah paradoksal meningkat dengan UF biasanya

karena overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan untuk melakukan UF

yang intensif pada pasien- pasien seperti ini (Cirit et al., 1995).

Peneliti lain melakukan penelitian terhadap 6 pasien yang mengalami HID

yang resisten terhadap obat antihipertensi. Pemeriksaan ekokardiografi

dilakukan sebelum dan saat HD. Pada saat dilakukan UF sedang didapatkan

perbaikan fungsi sistolik jantung, tetapi MABP dan indeks jantung juga

meningkat. UF yang lebih agresive menghasilkan tekanan darah yang normal

pada semua pasien dan indeks jantung juga menjadi normal. Peneliti

menjelaskan fenomena ini dengan kurva Frank-Starling. Pasien pada awalnya

berada pada bagian yang menurun dari kurva, dengan UF sedang pasien

berpindah ke kiri dan ke atas kurva, dengan


20

peningkatan indeks jantung, COP dan tekanan darah. Dengan UF lebih jauh,

pasien pindah ke bagian yang bawah pada bagian kurva yang meningkat dengan

tekanan darah menjadi normal (Gunal et al., 2002).

Penemuan dari 2 penelitian ini mengindikasikan bahwa tekanan darah

meningkat paradoksal saat UF mungkin disebabkan oleh karena peningkatan

COP karena adanya overhidrasi dan dilatasi jantung, dan disarankan dilakukan

UF yang intensif untuk menurunkan berat badan kering pasien (Cirit et al.,

1995; Gunal et al., 2002; Chou et al., 2006). Peneliti lain mengemukakan bahwa

HID mungkin berhubungan dengan delayed post HD hypotension. Sehingga bila

dilakukan UF yang agresif pasien yang rawat jalan harus dimonitor ketat dengan

mengunakan ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) (Chou et al.,

2006).

Hal yang penting harus dilakukan pasien adalah untuk menurunkan

konsumsi garam dan air, diantara sesi HD. Hal ini untuk menurunkan

peningkatan BB antar sesi HD, sehingga menurunkan kecepatan UF per jam saat

HD berikutnya. Meningkatkan waktu terapi HD mungkin sangat berguna untuk

menurunkan kecepatan UF per jam saat HD. Pembatasan dari konsumsi garam

dan penurunan dari volume cairan ekstrasel akan menormalkan tekanan darah

saat HD pada pasien dengan hipertensi. Penurunan konsumsi garam 100-120

mmol per hari berhubungan dengan penurunan tekanan darah dan menurunkan

peningkatan BB antar HD (Locatelli et al., 2010).

Pengontrolan terhadap volume overload adalah hal yang paling penting

dalam mencegah dan menangani pasien dengan HID (Locatelli et al., 2010).
2.3.3.2 RAAS activation

Mekanisme lain yang berperan terhadap kejadian HID adalah aktivasi dari

RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II yang diinduksi oleh UF saat HD.

Aktivasi dari RAAS dan oversekresi renin dan angiotensin II menyebabkan

peningkatan yang tiba-tiba dari resistensi vaskular dan meningkatkan tekanan

darah (Chou et al., 2006).

Penelitian terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dengan 30 kontrol

pasien HD yang matched umur dan jenis kelamin, didapatkan kadar renin rata-

rata sebelum dan sesudah HD sama pada kelompok pasien yang prone tehadap

HID. Sebaliknya rata-rata kadar renin setelah HD meningkat signifikan pada

kelompok kontrol. Disimpukan bahwa aktivasi RAAS bukan merupakan

penyebab utama dari HID (Chou et al., 2006).

2.3.3.3 Sympathetic overactivity

Pasien dengan PGK umumnya sudah terjadi sympathetic overactivity,

ditandai dengan peningkatan konsentrasi katekolamin plasma pada pasien PGK.

Hal ini mungkin disebabkan oleh menurunnya kliren renal terhadap katekolamin

dan langsung oleh karena aktivitas saraf simpatis. Sympathetic overactivity pada

PGK menjadi normal setelah dilakukan nefrektomi, hal ini diduga karena signal

dari ginjal yang sakit berperan dalam aktivasi simpatis (Locatelli et al., 2010).

Hipertensi intradialitik berhubungan dengan peningkatan stroke volume dan

vasokonstriksi perifer, sehingga mungkin sympathetic overactivity berperan

dalam onset HID. Pada penelitian lain didapatkan kadar norepinefrin meningkat

signifikan setelah HD pada pasien kontrol, bukan pada pasien yang prone
terhadap HID (Chou et al., 2006). Evaluasi akurat dari aktivitas simpatis dengan

microneurografi pada pasien dengan HID belum dilakukan sehingga mekanisme

sympathetic overactivity dalam HID belum didukung oleh evidence-based

percobaan klinis (Locatelli et al., 2010).

2.3.3.4 Perubahan kadar elektrolit

Komposisi yang adekuat dari dialisat dan kontrol terhadap variasi kadar

elektrolit sangat penting pada terapi HD. Kadar elektrolit pasien seperti sodium,

kalium, kalsium dan perubahan dari elektrolit saat HD sangat penting sebab erat

hubungannya dengan kontraktilitas jantung, resistensi vaskular perifer dan

kontrol tekanan darah.

Penarikan sodium saat dialisis sangat penting karena berperan dalam

menjaga stabilitas kardiovaskular saat HD dan mencegah overhidrasi saat

dialisis dan HID. Penarikan sodium yang adekuat bisa dicapai dengan memilih

kecepatan UF dan konsentrasi sodium dialisat yang tepat. Untuk

mempertahankan keseimbangan sodium, berat badan kering dan konsentrasi

sodium saat akhir dialisis harus dipertahankan konstan (Locatelli et al., 2010).

Perubahan kadar kalium saat HD dapat memberikan dampak klinis yang

penting. Hipokalemia dapat mencetuskan autonomic dysfunction dan

mempengaruhi inotropik jantung. Walaupun hipokalemia dapat menyebabkan

vasokonstriktor secara langsung, tidak ada data yang mendukung pengaruh

konsentrasi kalium pada dialisat terhadap kejadian HID (Locatelli et al., 2010).

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 30 pasien prone terjadi HID

didapatkan bahwa kadar kalium dialisat tidak berhubungan dengan kejadian

HID,
tidak ada perbedaan antara kadar kalium plasma pre dan post HD pada pasien

dengan HID maupun tanpa HID (Chou et al., 2006). Kalium tidak beperan

dalam kejadian HID, tapi perubahan kadar kalium yang tajam dapat memicu

aritmia (Locatelli et al., 2010).

Ion kalsium memegang peranan penting dalam proses kontraktilitas otot

polos dan miosit jantung. Beberapa penelitian pada pasien dengan HD

memperlihatkan bahwa perubahan kadar kalsium ion memiliki efek

hemodinamik melalui perubahan dalam kontraktilitas otot jantung dan

perubahan dalam reaktifitas vaskular (Felner, 1993).

Hemodialisis dengan konsentrasi dialisat kalsium yang rendah (1,25

mmol/l) berhubungan dengan penurunan yang besar pada tekanan darah

dibandingkan dengan dialisis dengan konsentrasi kalsium dialisat yang tinggi

(1,75 mmol/l). Perbedaan ini berhubungan dengan penurunan kontraktilitas

ventrikel kiri pada cairan dialisat dengan kadar kalsium yang rendah. Kadar

kalsium dialisat yang tinggi juga berhubungan dengan penurunan compliance

arteri dan peningkatan kekakuan arteri. Peranan dari dialisat dengan kalsium

tinggi dalam patogenesis HID belum sepenuhnya ditemukan (Locatelli et al.,

2010). Penelitian lain tidak menemukan perubahan yang relevan dalam

konsentrasi kalsium plasma sebelum dan sesudah dialisis pada pasien dengan

maupun tanpa HID (Chou et al., 2006).

2.3.3.5 Eliminasi obat saat hemodialisis

Beberapa obat termasuk obat anti hipertensi ditarik saat prosedur

hemodialisis. Penarikan dari obat anti hipertensi saat HD bisa menyebabkan

HID. Golongan obat CCB tidak ditarik saat prosedur hemodialisis, sedangkan

sebagian
besar dari penghambat ACE secara komplit ditarik saat dialisis (Daugirdas et

al., 2007). Pengetahuan akan obat yang di tarik saat HD sangat penting,

sehingga terapi bisa disesuaikan pada pasien yang mengalami HID. Tetapi

penting diingat bahwa penarikan obat anti hipertensi saat HD, tidak berperan di

dalam konsep dari HID (Locatelli et al., 2010).

2.3.3.6 Terapi erythropoiesis-stimulating agents

Sejak diperkenalkannya erythropoiesis-stimulating agents (ESA) sebagai

terapi anemia pada pasien PGK lebih dari 20 tahun yang lalu, prevalensi

hipertensi pada pasien HD meningkat. Peningkatan dari hematokrit dan

viskositas darah serta peningkatan dari konsentrasi ET-1, dan peningkatan

resistensi vaskular perifer mungkin berperan dalam kondisi ini (Krapf dan

Hulter, 2009).

2.3.3.7 Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi merupakan salah satu komponen dari peresepan HD. Penentuan

besarnya UF harus optimal dengan tujuan untuk mencapai kondisi pasien

euvolemik dan normotensi Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan

yang berlebihan di darah, besarnya UF yang dilakukan tergantung dari

penambahan berat badan (BB) penderita antar waktu HD dan target BB kering

penderita (K/DOQI, 2006).

Berat badan kering didefinisikan sebagai berat badan dimana volume cairan

optimal. Penentuan BB kering ini harus akurat, tetapi pada klinik HD tidak

selalu tersedia alat untuk menentukan BB kering yaitu multiple frequency

bioimpedance spectroscopy. Oleh karena itu penentuan BB kering

dilakukan secara klinis


melalui evaluasi tekanan darah, tanda-tanda overload cairan dan toleransi pasien

terhadap UF saat HD untuk mencapai target BB (K/DOQI, 2006).

Definisi berat badan kering menurut Argawal adalah berat badan setelah

dialisis yang terendah yang dapat ditoleransi oleh pasien yang dicapai dengan

perubahan secara bertahap BB setelah dialisis, dan terdapat gejala yang minimal

dari hipovolemia atau hipervolemia (Agarwal dan Weir, 2010)

Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar

waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD

sekitar 2 liter (Nissenson dan Fine, 2008). Tetapi umumnya kenaikan BB

penderita antar waktu HD melebihi 2 kg bahkan mencapai 5 kg. Guideline

K/DOQI 2006 menyatakan bahwa kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak

melebihi dari 4,8% BB kering. Sebagai contoh pada pasien dengan BB 70 kg,

kenaikan BB interdialitik sebaiknya tidak lebih dari 3,4 kg (K/DOQI, 2006).

Pada kondisi kenaikan BB yang berlebih ini banyak timbul masalah saat

tindakan HD, karena saat HD akan dilakukan dilakukan UF yang melebihi 4,0%

BB kering. Saat HD bila dilakukan UF yang berlebihan akan timbul masalah

baik gangguan hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson and

Fine, 2008). Pada saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian

merangsang aktivitas RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot

dan Jean, 2010).

Pasien dengan terapi hemodialisis memiliki morbiditas dan mortalitas

tinggi yang mungkin berhubungan dengan efek hemodinamik karena UF yang

cepat. Flyte dkk. meneliti efek kecepatan UF terhadap mortalitas dan

cardiovascular disease (CVD). Kecepatan UF dibagi menjadi 3 kategori yaitu

<10 /ml/jam/kgBB, 10-13 ml/jam/kgBB, dan >13 ml/jam/kgBB. Dari penelitian


ini didapatkan bahwa UF yang lebih cepat pada pasien HD berhubungan dengan

risiko yang lebih besar terhadap berbagai sebab kematian dan kematian karena

CVD (Flythe et al., 2011).

Tabel 2.5
Patofisiologi Hipertensi Intradialitik (Chazot dan Jean, 2010)

1. Kelebihan volume
2. Overaktifitas sistem saraf simpatis
3. Aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron
4. Kelainan sel endotel
5. Faktor spesifik hemodialisis
a. Net sodium gain
b. High ionized calcium
c. Hipokalemia
6. Obat-obatan
o Erythropoietin stimulating agents (ESA)
o Removal of antihypertensive medications
7. Vascular stiffness

2.3.3.8 Fisiologi endotel

Endotel adalah satu lapisan sel yang paling dalam yang melapisi seluruh

pembuluh darah dalam tubuh. Fenotipe dari endotel bervariasi tergantung dari

struktur dan fungsi pembuluh darah di lokasi yang berbeda (Aird, 2007).

Sebagai contoh antara glomerulus dan kapiler peritubulus, fungsi endotel sangat

berbeda karena fungsi glomerulus dan peritubulus sangat berbeda. Karena itu

integritas dari lapisan endotel sangat penting dalam mempertahankan fungsi

vaskular. Sebagai contoh dalam pengontrolan tonus vasomotor dan

permeabilitas. Walaupun terdapat perbedaan fungsi endotel dalam kompartemen

pembuluh darah yang berbeda, tetapi umumnya endotel mampu mensintesis dan

mensekresikan berbagai faktor yang mempengaruhi tonus dan pertahanan

pembuluh darah (Fliser, 2011). Endotel memproduksi berbagai faktor relaksasi,

yang paling utama


dan banyak dikenal adalah nitric oxide (NO). Nitric oxide adalah gas pokok

yang menstimulasi relaksasi dan menghambat proliferasi otot polos pembuluh

darah, mencegah perlekatan dan migrasi leukosit ke dinding arteri, dan

mencegah adhesi dan agregasi platelet ke endotel. Prostacyclin endothelium-

derived hyperpolarizing factor juga merupakan vasorelaksan yang penting, yang

nantinya berperan sebagai vasodilator pada hipertensi resisten (Fliser, 2011).

2.3.3.9 Disfungsi endotel

Disfungsi endotel/Endothelial cell dysfunction (ECD) adalah

ketidakmampuan dari sel endotel untuk mengatur beberapa atau semua

fungsinya. Hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan antara (Ding dan

Triggle, 2005):

a. faktor relaksasi dan konstriksi

b. mediator prokoagulan dan antikoagulan

c. vascular growth-inhibiting and growth-promoting substances.

Disfungsi endotel bisa diduga dengan pemeriksaan secara tidak

langsung, yaitu dengan memeriksa berbagai marker atau petanda antara lain

melalui pemeriksaan flow-mediated vasodilation setelah dilakukan iskemia

transien (Correti, 2002) dan evaluasi terhadap perubahan resistensi vaskuler

pada arteri besar maupun kecil setelah diberikan rangsangan fisiologis. Cara ini

pada dasarnya menganalisis kapasitas pengeluaran NO oleh endotel setelah

berbagai stimulus. Pemeriksaan indirek untuk estimasi dari disfungsi endotel

yang lain adalah dengan melakukan pengukuran permeabilitas vaskuler dari

makromolekul (Vervoort, 1999), pengukuran faktor vasoaktif

(vasokontriktor/vasodilator) yaitu NO, EDHF, endotelin-1, ROS, angiotensin-II

(Bassenge dan Zanzinger, 1992;


Fliser, 2011), aktifitas protrombin prokoagulan, dan marker inflamasi (VCAM-

1, ICAM-1 dan E-selectin) (Hwang, 1997), dan pemeriksaan sitokin (IL-1beta,

IL-6 dan TNF-alfa), serta pemeriksaan CRP (Spranger, 2003; Pradhan, 2001).

Disfungsi endotel akan menyebabkan berbagai komplikasi antara lain

meningkatkan ekspresi dari molekul adhesi, sehingga menyebabkan peningkatan

adhesi dari lekosit ke sel endotel dan akhirnya mengaktifkan status prokoagulan,

aktivasi trombosit dan faktor pembeku, menghambat pengeluaran NO. Hal ini

akan menyebabkan ketidaksempurnaan dari pertumbuhan pembuluh darah dan

remodelling di dalam dinding pembuluh darah (Fliser, 2011).

Penelitian yang luas pada ECD umumnya meneliti mekanisme yang

bertanggung jawab terhadap penurunan bioafailibitas dari NO, dimana akan

menyebabkan penuruan dari produksi NO atau peningkatan dari degradasi NO.

Karena luasnya permukaan tubuh endotel memiliki peranan yang penting

pada penyakit hipertensi dan diabetes. Pada penyakit ini endotel bisa mengalami

perubahan stuktur dan fungsi sehingga menyebabkan kehilangan peranannya

sebagai barier proteksi. Disfungsi endotel pada awalnya menyebabkan

aterosclerosis dan gambaran yang utama dari kondisi ini adalah kerusakan dari

bioavailabilitas dari NO. Jika berlangsung lama disfungsi endotel akan

menyebabkan terjadinya apoptosis, yang pada akhirnya akan menyebabkan

disintegrasi dari struktur maupun fungsi endotel. Hal ini akan menyebabkan

aktivasi dari lekosit dan trombosit dan menyebabkan kerusakan dinding

pembuluh darah (Hansson, 2005).


2.3.3.10 Disfungsi endotel pada PGK

Pada pasien CKD terjadi disfungsi endotel tapi mekanismenya belum

sepenuhnya diketahui. Ada tiga mekanisme potensial yang berkontribusi

terhadap terjadinya disfungsi endotel yaitu : adanya stres oksidatif, defisiensi L-

arginin dan ADMA (Martens dan Edwards, 2011).

Salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotel yang banyak diteliti

adalah stres oksidatif. Stres oksidatif adalah adanya gangguan dari

keseimbangan antara produksi radikal bebas dan ekskresinya oleh antioksidan

endogen (Guzik dan Harrison, 2006). Stres oksidatif menyebabkan terjadinya

gangguan jalur NO pada sel endotel dan akhirnya menyebabkan terjadinya

disfungsi endotel. Stres oksidatif sering ditemukan pada pasien dengan

gangguan ginjal sedang sampai berat (Oberg, 2004) dan juga pada pasien yang

menjalani hemodialisis (Yilmaz, 2006). Mekanisme terjadinya disfungsi endotel

melalui stres oksidatif pasien PGK terutama terjadi melalui jalur eNOS dan NO

(Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Skema mekanisme reactive oxygen species (ROS) menurunkan NO


(Martens dan Edrwads, 2011)

Defisiensi L-arginin merupakan salah satu faktor yang berkontribusi

terhadap terjadinya disfungsi endotel pada pasien PGK. L-arginin diperlukan

pada
30

sintesis NO. L-arginin disintesis terutama di tubulus proksimal ginjal dan

sintesis ini menurun dengan menurunnya massa ginjal. Gambar 2.3

Menunjukkan mekanisme potensial terjadinya defisiensi L-arginin pada pasien

PGK.

Gambar 2.3 Mekanisme potensial defisiensi L-arginin pada PGK (Martens dan
Edrwads, 2011)

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya disfungsi

endotel pada pasien PGK terbentuknya inhibitor NOS endogen yaitu ADMA dan

L- NMMA (Kielstein, 2005, Baylis, 2006). Produksi ADMA 10 kali lipat dari L-

NMMA dan meningkat pada pasien PGK. Kadar plasma ADMA merupakan

predictor dari progression menjadi gagal ginjal pada pasien PGK. ADMA

diklasifikasikan sebagai toksin uremik dan ADMA juga dihubungkan dengan

terganggunya fungsi endotel. ADMA adalah suatu kompetitor inhibitor dari

eNOS.

Disfungsi endotel pada pasien PGK memiliki 2 peranan penting, pertama

DE merupakan tahap yang penting dalam perkembangan CVD, kedua DE pada

kapiler glomerulus menyebabkan progresivitas dari PGK. Pada pasien PGK


hubungan antara ECD pada pembuluh darah perifer dan pembuluh darah ginjal

belum diteliti lebih jauh. Walaupun banyak penelitian meneliti mengenai

bioavaibilitas dari NO pada PGK, tetapi belum banyak yang meneliti

keseimbangan antara vasokonstriktor dan vasodilator pada PGK (Fliser, 2011).

Pada Gambar 2.4 di bawah terlihat mekanisme penurunan NO karena

peningkatan dari assymetric N G, NG - dimethylarginine pada pasien dengan

penyakit ginjal kronik.

Gambar 2.4
Mekanisme dari penurunan nitric oxide karena peningkatan dari assymetric
N G, NG - dimethylarginine pada chronic kidney disease (Sibal et al., 2010)

2.4 Disfungsi Endotel pada Pasien Hemodialisis

Hemodialisis merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari fungsi

ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita PGK stadium V atau GGK.
Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun

masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD.

Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah

gangguan hemodinamik (Landry dan Oliver, 2006). Tekanan darah umumnya

menurun dengan dilakukannya UFatau penarikan cairan saat HD. Hipotensi

intradialitik terjadi pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun

sekitar 5-15% dari pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini

disebut hipertensi intradialitik (HID) atau intradialytic hypertension (Agarwal

dan Light, 2010; Agarwal et al., 2008).

Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya

variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan

fisik maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang

melibatkan kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting

adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric

dimethylarginin (ADMA) yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide

synthase dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini

mempunyai efek yang penting terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer

dan kontrol tekanan darah khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al.,

2010).

Aktivitas dari sel endotel mungkin juga berperan penting di dalam variasi

tekanan darah saat HD. Perubahan volume cairan saat HD dan cetusan hormonal

menyebabkan produksi faktor-faktor yang terlibat di dalam kontrol tekanan

darah di dalam sel endotel (Raj et al., 2002; Flythe et al., 2011). Substansi

vasoaktif yang paling penting adalah nitric oxide (NO) suatu vasodilator otot

polos, asymmetric dimethylarginine (ADMA), suatu inhibitor endogen dari

sintesis NO,
dan endothelin-1 (ET-1) suatu vasokonstriktor. Substansi ini mempunyai efek

penting pada aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah

(Locatelli et al., 2010).

Penelitianpenelitian yang baru menunjukkan adanya peranan dari disfungsi

endotel dalam terjadinya ketidakstabilan hemodinamik saat HD (Morris et al.,

2001). Disfungsi endotel dapat menyebabkan perubahan dalam tekanan darah

selama HD, termasuk HID atau hipotensi (Raj et al., 2002). Perubahan ini

berhubungan dengan interaksi antara endotel, sistem saraf simpatis dan

pengontrolan dari resistensi vaskular perifer (Locatelli et al., 2010).

Pada penelitian pasien PGK yang mengalami hipotensi saat HD, HID dan

tekanan darah stabil saat HD didapatkan penurunan kadar ADMA yang mirip

sebelum dan sesudah HD pada ketiga kelompok pasien tadi. Kadar NO tidak

berhubungan dengan perubahan tekanan darah saat HD. Sebaliknya kadar ET-1

menurun setelah dialisis pada kelompok pasien dengan hipotensi dan meningkat

pada kelompok pasien dengan HID (Raj et al., 2002).

Penelitian lain terhadap 30 pasien yang prone HID dengan kontrol

didapatkan hasil yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Terdapat

perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 setelah HD antara kelompok kontrol

dan kasus. Pada akhir HD pasien dengan HID terjadi peningkatan yang

bermakna dari ET-1 dan penurunan yang bermakna dari rasio NO/ET-1

dibandingkan dengan pasien kontrol (Chou et al., 2006). Penelitian lain juga

menemukan ET-1 meningkat secara bermakna pada pasien dengan HID (Shafei

et al., 2008).

Penemuan-penemuan ini mengindikasikan bahwa interaksi antara NO,

ADMA dan ET-1 memiliki peranan dalam mengontrol tekanan darah dan
resistensi vaskular perifer, dan mungkin terlibat didalam konsep dari HID

(Bussemarker et al., 2002). Tidak ada data yang menunjukkan efek dari

disfungsi endotel pada pasien HID. Di bawah ini akan dibahas mengenai

petanda ECD yaitu NO, ADMA dan ET-1.

2.4.1 Nitric oxide

Nitric oxide adalah antagonis natural dari katekolamin. Nitric oxide

merupakan agen yang labil, sangat aktif dengan masa hidup yang pendek. Nitric

oxide disintesis oleh enzim Nitric Oxide Synthase (NOS), dikeluarkan oleh sel

endotel ke sirkulasi (Fliser et al., 2003).

Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat saat

darah diekspose pada membran dialiser. Kondisi uremia dilaporkan

menghambat sintesa NO. Aktivitas NOS juga berkurang dengan adanya ADMA

(Shafei et al., 2008; Xiao et al., 2001).

Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan

aktifitas fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan

menurunnya produksi NO oleh endotel. Ada berbagai mekanisme terjadinya

penurunan NO pada gangguan ginjal seperti defisiensi L-arginin, peningkatan

NOS inhibitor seperti ADMA, dan menurunnya aktifitas dari enzim NOS.

Berikut ini skema dari pembentukan NO dan berbagai mekanisme yang

menyebabkan defisiensi NO pada PGK (Baylis, 2008).


Gambar 2.5
Skema biosintesis nitric oxide (NO) dan berbagai mekanisme yang mungkin menyebabkan
defisiensi NO (Baylis, 2008)

2.4.2 Asymmetric dimethylarginine (ADMA)

Asymmetric Dimethylarginine adalah inhibitor kompetitif endogen dari

NOS. ADMA menurunkan produksi dari NO, menyebabkan meningkatnya

resistensi perifer dan meningkatnya tekanan darah. Pada PGK terjadi akumulasi

ADMA. Konsentrasi ADMA dalam plasma berbanding terbalik dengan GFR.

Peningkatan kadar ADMA dihubungkan dengan disfungsi endotel dan sebagai

prediktor progresivitas PGK dan kematian pada pasien dengan PGK. Penelitian

epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara ADMA dan hipertensi,

hiperkolesterol, dan DM. Adanya disfungsi endotel unumnya ditandai dengan

penurunan bioavaibilitas NO (Abedini et al., 2010).

Gambar 2.6 di bawah ini menunjukkan skema produksi dan degradasi

ADMA (Baylis, 2008).


Gambar 2.6
Biochemical pathway produksi dan degradasi ADMA (Baylis, 2008)

2.4.3 Endothelin-1 (ET-1)

Endothelin-1 pertama kali ditemukan oleh Yanasigawa pada tahun 1988.

Endothelin-1 di produksi oleh sel endotel, merupakan famili peptida yang terdiri

dari 21 asam amino. Endothelin 1 merupakan vasokonstriktor endogen yang

paling kuat dan predominan pada sistem kardiovaskular. Aktifitas ET-1 terjadi

melalui ikatan dengan reseptor. Ada 2 jenis reseptor, yaitu ET AR (Endothelin A

Receptor) dan ETBR (Endothelin B Receptor). Reseptor ET-1 tersebar pada

berbagai jaringan dan sel. Di dalam pembuluh darah ET AR dan ETBR terletak di

dalam otot polos pembuluh darah, menyebabkan efek vasokonstriksi pembuluh

darah. ETBRS juga ditemukan ditemukan dalam sel endotel pembuluh darah,

diaktifasi terutama oleh NO menyebabkan vasodilatasi. Sebagai tambahan

ETBRS mempunyai peran penting dalam ekskresi ET-1 di sirkulasi. Waktu paruh

plasma dari ET-1 adalah 1 menit, dengan pengeluaran melaui reseptor dan

bukan reseptor. ET-1 berikatan dengan reseptor ETBR dan mengalami

internalisasi dan degradasi.


Pengeluaran yang lain adalah melalui sirkulasi paru, limpa dan ginjal.

Penurunan jumlah maupun blokade dari resoptor ETBR akan menurunkan

ekskresi dari ET-1, sehingga meningkatkan jumlah dari ET-1 tanpa peningkatan

produksinya (Dhaun et al., 2008).

Dalam pembuluh darah yang normal, ET-1 mempertahankan tonus vaskular

melalui ETAR, dengan keseimbangan aktifitas ETAR menyebabkan vasodilatasi.

Jika ada gangguan pembuluh darah ET-1 memicu hipertensi dan penyakit

kardiovaskular melalui berbagai mekanisme. Pada ginjal yang sehat, ET BR

memegang peranan dalam tonus vasodilatasi, ETAR mempunyai sedikit peran

dalam tonus pembuluh darah ginjal. Peningkatan aliran darah dalam medula dan

efek langsung dari ETBR menyebabkan natriuresis dan diuresis. Pada PGK,

ETAR menyebabkan vasokonstriksi renal menyebabkan retensi air dan garam

sehingga mengakibatkan hipertensi. Pada orang sehat insulin merangsang

pengeluaran dari ET-1 dan NO. Pada resistensi insulin terjadi gangguan

pengeluaran NO, tetapi produksi ET -1 meningkat. Selengkapnya dapat di lihat

pada Gambar 2.7 di bawah ini (Dhaun et al., 2008; Shafei et al., 2008).
Gambar 2.7
Peranan ET-1 pada hipertensi, data dari penelitian pada manusia (Dhaun et al., 2008)

Sistem ET-1 secara luas berperan dalam CVD dan PGK. Endothelin-1

berperan dalam patogenesis hipertensi dan kekakuan pembuluh darah, dan

merupakan faktor risiko yang baru pada penyakit kardiovaskular (McIntyre,

2009). Endothelin-1 berperan dalam terjadinya disfungsi endotel dan

aterosklerosis (Dhaun et al., 2008).


Gambar 2.8
Peranan Endothelin 1 pada PGK dan CVD. Ilustrasi oleh Josh Gramling-Gramling Medical
Illustration (Dhaun et al., 2006)

Sebagai respon terhadap UF saat HD, rangsangan hormonal dan mekanis,

sel endotel mensintesis dan mengeluarkan faktor humoral yang berperan

terhadap homeostasis tekanan darah (Mc Gregor et al., 2003).

Ketidakseimbangan endothelial-derived hormone seperti NO suatu vasodilator

otot polos, dan ET-1, suatu vasokonstriktor bisa menyebabkan hipotensi ataupun

hipertensi saat HD (Inrig, 2010a).

Berbagai mekanisme bertanggung jawab terhadap meningkatnya produksi

dari ET-1 pada PGK. Sintesis ET-1 oleh ginjal dipicu oleh sitokin, growthfactor,

kemokin, faktor vasoaktif, hormon dan reactive oxygen species (ROS),

kolesterol dan substansi lainnya. Intake protein berlebihan merangsang tubulus

proksimalis memproduksi ET-1, suatu kondisi yang sangat penting dalam

progresi penyakit
40

ginjal. Gambar 2.9 di bawah ini menunjukkan pengaturan produksi ET-1 pada

pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010).

Gambar 2.9
Pengaturan produksi ET-1 di dalam pembuluh darah dan ginjal (Kohan, 2010)

Endothelin-1 bisa menginduksi terjadinya memberikan efek ke

pembuluh darah dan sel ginjal menyebabkan terjadinya hipertensi dan penyakit

ginjal kronik, dapat dilihat pada Gambar 2.10 di bawah ini:


Gambar 2.10
Efek ET-1 pada pembuluh darah dan sel ginjal menyebabkan hipertensi, aterosklerosis dan CKD
(Kohan, 2010)

Endothelin1 bisa menginduksi kehilangan nefron dari podosit. Diet tinggi

protein melalui induksi asidosis metabolik menyebabkan penurunan LFG pada

tikus dengan penurunan massa ginjal. Diet tinggi protein menyebabkan

kerusakan tubulointerstitial. Penelitian yang terbaru menemukan bahwa

kromogranin A yang dikeluarkan oleh saraf simpatis dan sel kromafin

merangsang sel glomerulus mengeluarkan ET-1 dan menurunkan LFG (Kohan,

2010).
2.5. Penanganan Hipertensi Intradialitik

Penanganan dari HID dapat dilihat pada Gambar 2.11 di bawah ini.

Gambar 2.11
Algoritma Penanganan HID Berdasarkan Derajat Hipertensi (Chazot dan Jean, 2010)

Penanganan pertama terhadap HID adalah membatasi peningkatan berat

badan antar dialisis dan menurunkan secara bertahap berat badan kering. Hal ini

bisa dicapai melalui konseling melalui diet, pembatasan konsumsi garam dan

UF yang agresif saat HD. Penentuan cairan yang akan ditarik saat HD

memerlukan panduan dengan alat yang non invasif seperti bioimpedance,

inferior vena cava ultrasonography, atau monitor volume darah (Peixoto, 2007).

Penarikan cairan ini harus hati-hati untuk menghindari instabilitas

hemodinamik. Diperlukan HD yang lebih lama dan sering untuk untuk

menghindari komplikasi dari UF yang berlebihan saat HD. Secara teori

memperpanjang waktu dialisis dan penentuan


UFR yang tepat sangat diperlukan dalam penanganan HID (Chazot dan Jean,

2010; Weir dan Jones, 2010).

Penambahan sodium saat HD akan meningkatkan plasma refilling yang

akan meningkatkan COP, oleh karena itu peresepan cairan dialisat yang tinggi

sodium harus dihindari. Begitu juga peresepan dialisat yang tinggi kalsium akan

meningkatkan resistensi perifer dan COP sehingga harus dihindari (Inrig,

2010a).

Beberapa obat disarankan dalam penanganan HID untuk mencegah krisis

hipertensi antara lain calcium channel blockers (CCB) tetapi keamanan obat ini

pada kondisi HID belum diteliti (Chazot dan Jean, 2010). Minoxidil, merupakan

vasodilator yang kuat juga dapat diberikan pada kondisi ini. Obat ini bekerja

dengan efek pada c AMP, menghasilkan vasodilatasi dengan cara relaksasi

langsung otot polos arteriolar. Walaupun minoxidil diindikasikan pada HID,

tetapi obat ini sangat jarang digunakan (Rizzioli et al., 2009). Obat obat anti

hipertensi seperti ace inhibitor sudah digunakan dalam penanganan HID, obat

ini tidak difiltrasi saat HD sehingga bisa digunakan untuk pasien HID (Inrig,

2010b)
44

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian kepustakaan di atas maka dapat dibuat kerangka

berpikir sebagai berikut: Pada pasien HD yang menjalani HD reguler sering

terjadi volume overloaded, kelebihan cairan dalam tubuh ini akan dikeluarkan

saat HD melalui preses ultrafiltrasi (UF). UF yang berlebihan saat HD bisa

meninbulkan komplikasi saat HD, yaitu HID. Ultrafiltrasi ini mempengaruhi

keseimbangan antara NO, ET-1, dan ADMA. Ultrafiltrasi yang berlebihan saat

HD akan menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis, aktivasi RAAS,

peningkatan COP sehingga bisa menyebabkan kenaikan tekanan darah saat HD.

Hipertensi intradialisis juga dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu perubahan

elektrolit saat HD, antara lain natrium, kalium dan kalsium. Faktor lain yang

ikut berperan dalam terjadinya HID adalah eliminasi obat antihipertensi saat

HD, terapi eritropoeitin, penyakit kardiovaskuler dan DM. Hubungan antara

volume overloaded, perubahan elektrolit saat HD, eliminasi obat antihipertensi

saat HD, terapi eritropoeitin dan kejadian HID sudah diteliti sebelumnya.

Peranan besarnya volume UF saat HD dan HID sampai saat ini belum diketahui.

Belakangan ini penelitian menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara disfungsi

endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi endotel

pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Belum diketahui

apakah ada peranan dari UF yang berlebihan saat HD dengan disfungsi

endotel. Pada
44
45

penelitian ini kami ingin meneliti mengenai peranan UF yang berlebih saat HD

dan HID melalui keterlibatan NO, ADMA dan ET-1.

3.2 Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian adalah kerangka hubungan antar variabel.

Hubungan ini mencerminkan fenomena yang akan dicari jawabannya melalui

penelitian. Manifestasi konsep adalah variabel, sehingga menjadi lebih konkret

dan dapat diukur. Pada penelitian ini dicari hubungan antara besarnya UF saat

hemodialisis dengan kejadian HID. Penelitian ini terfokus pada peran UF saat

HD sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian HID melalui

perubahan kadar ET-1, ADMA dan NO serum. Peningkatan kadar ET-1 serum,

peningkatan kadar ADMA serum dan penurunan kadar NO serum merupakan

petanda dari disfungsi endotel.

Berdasarkan uraian di atas dapat dibuat kerangka konsep penelitian sebagai

berikut:
ULTRAFILTRASI
BERLEBIH SAAT HD

Dialisat
Mesin HD
Membran dialiser
Umur
Jenis Kelamin
Kadar Hb
Obat-obat antihipertensi
Kadar Na, K, Ca serum
Terapi eritropoetin

NO , ADMA , ET-1

HIPERTENSI INTRADIALITIK
(HID)

Gambar 3.1
Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis-hipotesis penelitian disusun berdasarkan kajian pustaka secara

deduktif dan konsep dasar penelitian yang diwujudkan dalam suatu kerangka

konsep penelitian di atas. Hipotesis penelitian merupakan jawaban sementara

terhadap masalah-masalah penelitian dan dirumuskan seperti di bawah ini:

1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.


2. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

3. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

4. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum.

5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1

serum.

6. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar

ADMA serum.
48

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian kasus-kontrol digunakan dalam penelitian ini untuk

mengetahui hubungan antara UF saat HD terhadap kejadian HID, dan hubungan

antara perubahan ET-1, NO dan ADMA pre dan post HD dengan besarnya UF

yang dilakukan saat HD. Pasien PGK stadium V yang menjalani HD reguler

yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi, dilakukan

pemeriksaan NO, ET-1, ADMA sebelum dan sesudah tindakan satu sesi HD.

Untuk menentukan kasus dan kontrol seluruh sampel diikuti secara prospektif

sebanyak 6 kali sesi HD. Setiap HD dilakukan pencatatan UF yang dilakukan.

Ultrafiltrasi dicatat dari 6 sesi HD berturutan dan dicari rata-ratanya. Tekanan

darah pre HD, selama HD dan post HD selama 6 sesi HD dicatat. Sampel

kemudian dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu kasus dan kontrol.

Kelompok kasus yaitu kelompok penyandang HD reguler yang mengalami HID,

dan kelompok kontrol yaitu kelompok penyandang HD reguler yang tidak

mengalami kejadian HID. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi

peningkatan tekanan darah sistolik sesudah HD 10 mmHg dibandingkan

dengan TDS pre HD, pada minimal 4 dari 6 sesi HD berturut-turut. Faktor

risiko, yaitu adanya disfungsi endotel yang ditandai dengan peningkatan ET-1

atau peningkatan ADMA atau penurunan NO post HD, serta volume UF saat

HD ditelusuri dan dianalisis secara retrospektif. Rancangan penelitian

digambarkan (Gambar 4.1) sebagai berikut:

48
49

Penentuan kasus dan kontrol

Penelitian Analisis
dimulai dari secara
sini

Faktor Risiko (+)

Kasus
HID (+)
HD 6 kali berturut- turut Faktor Risiko (-)
Sampel Penyandang HD regulerHD ( dicatat UF dan TD saat HD)
( lab. pre, dan post HD: ET-1, ADMA, NO)

Faktor Risiko (+)

Kontrol
HID (-)
Faktor Risiko (-)

Gambar 4.1
Rancangan Penelitian Kasus- Kontrol

Penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan sampel penelitian, pada HD

yang pertama dilakukan pemeriksaan laboratorium dan fisik pre dan post HD.

Sampel kemudian diikuti secara prospektif selama 6 kali HD berturut-turut.

Setelah HD yang ke enam ditentukan kelompok dengan efek (kelompok kasus)

dan mencari subjek yang tidak mengalami efek (kelompok kontrol). Yang

dimaksud dengan efek positif adalah kejadian hipertensi intradialitik yang

didefinisikan dengan peningkatan tekanan darah sistolik lebih sesudah HD 10

mmHg dibandingkan dengan TDS sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi

HD berturut-turut. Faktor risiko positif adalah peningkatan ET-1, peningkatan

ADMA-1, penurunan NO dan UF yang berlebih (> 4,8% BB) saat hemodialisis.

Faktor risiko dianalisis secara retrospepektif pada kedua kelompok kemudian

dibandingkan.
50

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Unit Hemodialis, RSUP Sanglah Denpasar.

Pemeriksaan bahan penelitian dilakukan di laboratorium yang terakreditasi.

Dengan menggunakan protokol penelitian diperkirakan memerlukan waktu

sekitar 6 bulan untuk mencapai jumlah sampel pemeriksaan, analisis dan

penulisan.

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi penelitian

a. Populasi target (target population) penelitian ini adalah semua penyandang

HD reguler yang menjalani HD di Unit HD rumah sakit di Bali.

b. Populasi terjangkau (accessible population) penelitian ini adalah semua

penyandang HD reguler yang menjalani HD di RSUP Sanglah Denpasar.

c. Sampel (intended sampling) adalah sampel yang dipilih dengan teknik

consecutive sampling dari populasi terjangkau penelitian.

d. Subjek yang benar-benar diteliti (actual study subjects) adalah subjek yang

benar-benar mau ikut penelitian dan mengisi formulir informed consent.

4.3.2 Kriteria inklusi

Penderita GGK berumur antara 18-60 tahun yang menjalani HD reguler di

unit HD di Denpasar.

a. Penderita adalah penduduk suku bangsa Indonesia serta bersikap kooperatif.

b. Penderita dalam kondisi stabil, dan sudah menjalani HD reguler minimal 3

bulan.
51

c. Penderita sudah mencapai berat badan kering yang ditentukan oleh dokter

konsultan ginjal dan hipertensi.

4.3.3 Kriteria eksklusi:

a. Penyakit gagal jantung tak terkompensasi.

b. Anemia berat.

c. Sepsis

d. Keganasan

e. Diabetes mellitus

4.3.4 Sampel

Adalah semua penyandang HD reguler di unit HD di RSUP Sanglah

Denpasar, suku bangsa Indonesia, berumur antara 18-60 tahun. Sudah menjalani

HD minimal 3 bulan, dalam kondisi stabil serta memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi.

4.3.5 Besaran sampel

Besaran sampel ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Madiyono dkk.,

2010)

1. ADMA
z z s 2
( )
n1 n2 2
( X1 X 2 )
z = 1,96; Z = 0,842; (X1-X2) = 0,5; s = 0,75

n = 35
Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Z = 1,96; Z = 0,842;

(X1-X2) = 0,5; simpang baku (s) = 0,75. Maka jumlah sampel yang diperlukan

untuk pemeriksaan ADMA adalah 35 sampel.

2. NO
z z s 2
( )
n1 n2 2
( X1 X 2 )
z = 1,96; Z = 0,842; (X1-X2) = 0,5; s = 0,75

n = 63

Pada penelitian ini direncanakan power sebesar 80%, yaitu Z = 1,96; Z = 0,842;

(X1-X2) = 4; simpang baku (s) = 8. Maka jumlah sampel yang diperlukan untuk

pemeriksaan NO adalah 63 sampel.

3. Endothelin-1

z {1/[Q / P 1/ Q / P ]}
2

n 1 1
2
2 2
[ln(1 e)]

= 1,96

OR = 3

P1 = OR x P2 / ((1-P2) + (ORxP2)) = 0,6

P2 = 0,4

n = 110

Ditetapkan z =1,96, sehingga besarnya dan rasio odds yang diperkirakan

sebesar 3 dengan rasio kelompok HID terhadap kontrol =1, proporsi Endothelin-1

yang meningkat sebesar 0,4 sehingga didapatkan jumlah sampel sebanyak 110

orang.
Dengan demikian jumlah sampel minimal yang diperlukan dalam

penelitian ini adalah 110 orang untuk kedua kelompok penelitian.

4.3.6 Teknik penentuan sampel

Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau

penelitian yang menjalani HD reguler di rumah sakit di Denpasar. Populasi

terjangkau adalah penderita HD reguler yang memenuhi kriteria inklusi dan

tidak memenuhi kriteria eksklusi, dipilih sebagai sampel penelitian, hingga

jumlah sampel minimal terpenuhi. Dari sampel yang dikehendaki disaring lagi

penderita yang tidak menolak mengikuti penelitian sehingga diperoleh subyek

yang benar- benar diteliti (actual study subjects)

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Identifikasi variabel

Variabel penelitian adalah karakteristik sampel penelitian yang diukur, baik

secara numeric atau katagorikal. Variabel-variabel tersebut ditentukan menurut

rancangan penelitian yang direncanakan.

4.4.2 Klasifikasi variabel

a. Variabel bebas adalah volume UF saat HD, perubahan kadar NO, ET-1

dan ADMA serum.

b. Variabel tergantung adalah efek yaitu HID.

c. Variabel kendali adalah umur, jenis kelamin, penyakit ginjal dasar,

penyakit penyerta, obat-obatan, faktor HD (dialisat, lama sesi HD, lama

terapi HD, dan KT/V, kecepatan aliran darah), faktor membran (luas
permukaan, volume priming, koefisien UF, kliren in-vitro). Variabel

variabel di atas memenuhi kriteria sebagai variabel perancu sehingga harus

dikendalikan (disebut variabel kendali).

d. Variabel rambang adalah suku bangsa asli Indonesia, variabel ini secara

biomedik dianggap sama pengaruhnya terhadap kelompok kasus maupun

kontrol.

4.4.3 Definisi operasional variabel

a. Konsentrasi ADMA adalah kadar ADMA dalam serum yang diukur

dengan quantittatif sandwich enzyme immunoassay (ELISA) satuannya

mol/l. Pengukuran 2 kali, pre dan post HD. Pemeriksaan dilakukan di

laboratorium Prodia Denpasar dengan reagen Cat. No. 17 EA 201-96. Alat

: Microplate reader produk Biorad 680, tahun 2008.

b. Konsentrasi NO adalah kadar nitric oxide dalam serum yang diukur

dengan Colory metri/ Cayman satuannya M. Pengukuran 2 kali, pre dan

post HD. Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar dengan

reagen Cat. No. 780001. Alat: Microplate reader produk Biorad 680,

tahun 2008.

c. Konsentrasi ET-1 adalah kadar endotelin 1 dalam serum yang diukur

dengan ELISA satuannya pq/ml. Pengukuran 2 kali, pre dan post HD.

Pemeriksaan dilakukan di laboratorium Prodia Denpasar dengan reagen

Cat. No.: DET 100. Alat: Microplate reader produk Biorad 680, tahun

2008.
d. Ultrafiltrasi adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD selama satu

sesi HD, satuannya liter. Ultrafiltrasi terlihat pada monitor masing-masing

mesin HD.

e. Ultrafiltrasi Rate (UFR) adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin per

kilogram berat badan perjam (cc/kg/jam).

f. Ultrafiltrasi berlebih adalah jumlah cairan yang ditarik oleh mesin HD

selama satu sesi HD lebih dari 4,8% BB kering (misal >3,4 kg pada

pasien dengan BB kering 70 kg) (K/DOQI, 2006).

g. Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama 3 bulan

atau lebih. Kerusakan ginjal ditandai dengan gangguan struktural atau

fungsional dari ginjal yang desertai atau tanpa disertai penurunan LFG

(K/DOQI, 2006).

h. Gagal ginjal kronik adalah menurunnya LFG kurang dari 15 ml/menit/1.73

2
m luas permukaan tubuh yang disertai dengan tanda dan gejala uremia

dan memerlukan terapi pengganti ginjal (K/DOQI, 2006)

i. Diabetes melitus ditegakkan dengan riwayat DM sebelumnya.

j. CHF adalah penyakit jantung kongestif yang didiagnosis berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium, dan foto thorak. Diagnosis

ditetapkan oleh divisi Kardiologi RSUP Sanglah.

k. Hipertensi intradialitik didefinisikan bila terjadi peningkatan tekanan darah

sistolik (TDS) sesudah HD 10 mmHg dibandingkan dengan TDS

sebelum HD, pada minimal 4 kali dari 6 sesi HD berturut-turut. Tekanan

darah diukur dengan alat sphygmomanometer mercuri dan dilakukan oleh

perawat hemodialisis yang sudah terlatih.


l. Kadar Hb diperiksa di laboratorium RSUP Sanglah dengan alat technicon

H-1 dengan metode flow-cytometry.

m. Usia ditentukan dari tanggal kelahiran sampai saat penelitian berdasarkan

kartu tanda penduduk (KTP) atau kartu keluarga.

n. Jenis kelamin, penduduk suku bangsa Indonesia dan tempat tinggal

penderita atau kontrol ditentukan dengan pemeriksaan badan (kalau

diperlukan) dan KTP atau kartu keluarga.

o. Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal dengan cara memisahkan

darah dari bahan-bahan uremik melalui membran dialisat, dengan

memakai mesin HD merk Nipro.

p. Lama terapi hemodialisis adalah waktu antara terapi HD pertama dan HD

saat penelitian.

q. Lama sesi HD adalah waktu yang diperlukan saat dilakukan 1 sesi HD,

satuannya menit.

r. Hemodialisis stabil adalah bila HD telah dijalani selama 3 bulan atau

lebih. Pada periode ini, pasien umumnya mengalami komplikasi yang

minimal selama HD, berat badan kering sebagai berat badan target

umumnya telah tercapai dan kualitas hidup pasien umumnya telah pulih.

s. Infeksi akut: adanya gejala dan tanda infeksi akut yang dapat diketahui

dari klinis dan pemeriksaan fisik, serta adanya peningkatan sel darah

putih.

t. Sepsis: penderita yang memenuhi kriteria Systemic Inflammatory

Response Syndrome (SIRS) dengan sumbert infeksi yang jelas. Kriteria

terpenuhi bila didapatkan 2 atau lebih kriteria di bawah ini (Balk dan

Casey, 2000):
0 0
a) Demam (temperature >38 C) atau hipotermi (temperature <36 C).

b) Takipneu (frekuensi nafas >24 kali / menit.

c) Takikardia (denyut jantung >90 kal / menit).

d) Leukositosis (hitung sel darah putih >12000/uL).

e) Leukopenia (hitung sel darah putih <4000/uL).

u. Keganasan: penderita diketahui menderita keganasan dari anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dan melihat catatan medis

pasien.

4.5 Bahan Penelitian

Bahan atau materi penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah untuk

pemeriksaan laboratorium yaitu darah (plasma dan serum, bahan antikoagulan

disesuaikan dengan masing-masing metode pemeriksaan). Sebelum pengambilan

darah, pasien puasa selama 10 jam. Darah diambil sesaat sebelum HD untuk

pemeriksaan NO, ADMA, ET-1, DL, albumin, gula darah, Na, K, Ca, BUN dan

SC dan 2 menit sebelum HD berakhir (setelah kecepatan aliran darah diturunkan

50 ml/menit) untuk pemeriksaan: NO, ADMA, ET-1, Na, K, Ca, BUN dan SC.

Metode pemeriksaan selengkapnya seperti di bawah ini:

a. Darah lengkap:

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan alat technicon H-1 dengan

metode flow-cytometry.

b. Gula darah

Pemeriksaan gula darah menggunakan alat Hitachi 911 automated analayzer

(Boehringer Mannheim), dengan metode hexokinase.


c. Albumin diperiksa dengan bromocresol purple.

d. Pemeriksaan kalium, natrium dengan metode selective elektroda direk,

kalsium dengan metode kalorimetri.

e. Pemeriksaan NO dengan metode pemeriksaan: calorimetri/cayman.

f. Pemeriksaan ET-1

Prinsip pemeriksaan: Menggunakan teknik kuantitatif sandwich enzyme

immunoassay Antibodi monoclonal spesifik untuk ET-1. Metode pemeriksan :

ELISA/R & D system.

g. Pemeriksaan ADMA dengan enzyme immunoassay, ELISA/DBL.

4.6 Instrumen Penelitian

a. Kuesioner dan rekaman medis yang dipakai untuk mendapatkan data-

data tentang faktor demografi, etiologi penyakit, penyakit penyerta, data

laboratorium dan terapi pasien.

b. Timbangan badan dan tinggi badan menggunakan skala tinggi badan dan

timbangan digital merk Seca Digital Scale.

c. Alat ukur tekanan darah yaitu sphygmomanoter mercuri merk Riester.

d. Stetoscope untuk melakukan pemeriksaan tekanan darah menggunakan

merk Riester.

e. Mesin HD menggunakan mesin merk Nipro jenis Surdial 55.

f. Membran dialiser yang dipakai jenis Selulosa (diasetat hollow fiber)

dengan ukuran FB130-150 TGA tahun produksi 2009, dengan luas


2
permukaan membran sebesar 1,5 m .
4.7 Prosedur Penelitian

Semua sampel diberikan penjelasan rinci dan menandatangani informed

consent. Sebelum dilaksanakan penelitian, dikonsultasikan lebih dahulu dengan

Komisi Etik Penelitian dan Pengembangan FK UNUD-RSUP Sanglah untuk

mendapat surat keterangan kelaikan etik. Kuesioner diisi setelah penentuan

intended study subject. Sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium diambil

setelah pasien puasa 10 jam. Pemeriksaan ET-1, NO dan ADMA, dilakukan

sebelum dan sesudah 1 sesi HD, Pemeriksaan laboratorium lainnya yaitu DL,

albumin, gula darah dan SC, dilakukan sebelum satu sesi HD, sedangkan

pemeriksaan Na, K, Ca, BUN dilakukan sebelum dan sesudah satu kali sesi HD.

Sampel kemudian diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut. Sebelum dan

sesudah HD dilakukan penimbangan berat badan. Saat HD dilakukan pengukuran

tekanan darah dan nadi setiap setengah jam, pencatatan besarnya UF, kecepatan

UF, kecepatan putaran mesin, obat yang diberikan dan semua kejadian saat HD

berlangsung. Setelah ke 6 sesi HD selesai, ditentukan kelompok yang mengalami

HID (kasus) dan kelompok yang tidak mengalami HID (kontrol). Kemudian

dilakukan analisis secara retrospektif untuk mencari faktor risiko, yaitu

membandingkan besarnya perubahan kadar ET-1, ADMA, NO pre dan post HD,

pada kelompok HID dan kontrol, membandingkan rerata UF pada kelompok HID

dan kontrol, kemudian dilakukan analisis statistik.


60

Populasi terjangkau

Kriteria inklusi & eksklusi


Sampel (consequtive)

Informed consent

Intended study subjek

Lab. Pre-HD
(NO, ET-1, ADMA)
(DL, BUN, SC, Na, K, Ca, BS, Alb)

HD

Lab. Post HD
(NO, ET-1, ADMA)
(BUN, Ca, K, Na)
Hipertensi Intradialitik

TD

Rerata UF
TD

TD

TD

TD

TD

Gambar 4.2
Alur Penelitian kasus-kontrol
4.8 Analisis Data

Setelah data terkumpul, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan kelengkapan

data. Data yang tidak lengkap, dicoba dilengkapi dengan menghubungi kembali

penderita. Analisis yang dilakukan adalah prospektifretrospektif path

analysis. Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian

tahapan analisis data sebagai berikut:

a. Uji normalitas Kosmogorov-Smirnov, digunakan menguji apakah data-

data penelitian berdistribusi normal atau tidak.

b. Analisis deskriptif, menggambarkan karakteristik umum dan distribusi

frekuensi berbagai variabel yaitu: umur, jenis kelamin, tekanan darah, BB,

kadar Na, K, Ca, NO, ADMA, dan ET-1 serum.

c. Uji kai-kuadrat, menguji perbedaan variabel dengan skala

nominal/kategorikal pada kedua kelompok tsb, yaitu jenis kelamin, dll

d. Analisis regresi logistik, menghitung risiko, yaitu rasio odds dari variabel

UF terhadap HID, dan mengendalikan variabel perancu terhadap

hubungan tersebut. Rasio odds yang dihasilkan merupakan adjusted rasio

odds yang sudah terbebas dari efek perancu.

e. Taksiran rasio odds ( odd ratio/OR) yang disajikan dalam bentuk interval

keyakinan 95%, diharapkan diperoleh nilai rasio odds dari UF lebih dari 1,

dengan interval keyakinan ( Convidance Interval/CI) melewati 1.

f. Untuk melihat hubungan langsung antara UF dan HID serta hubungan

tidak langsung antara UF dan HID melalui perubahan kadar NO, ADMA,

ET-1 serum saat HD dilakukan analisis jalur (path analysis).


g. Analisis statistik di atas menggunakan nilai p<0,05 sebagai batas

kemaknaan dan memakai perangkat lunak statistika, yaitu SPSS for

Window version 15.


63

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini lakukan pada bulan Agustus sampai November 2012, setelah

mendapat persetujuan dari Unit Penelitian dan Pengembangan Fakultas

Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar dengan Surat Kelaikan

Etik (Ethical Clearance) dan Surat Ijin Penelitian dari Direktur SDM dan

Pendidikan RSUP Sanglah Denpasar.

Subjek dalam penelitian ini adalah pasien yang sudah menjalani HD

reguler minimal selama 3 bulan dan dalam kondisis stabil, yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 112 pasien HD reguler diikutkan dalam

penelitian ini. Variabel yang dianalisis dalam penelitian ini adalah: UF sebagai

variabel bebas; NO, ADMA, ET-1 sebagai variabel antara dan kejadian HID sebagai

variabel tergantung.

Seratus dua belas subjek penelitian terdiri dari 54,5% (61/112) laki-laki

dengan rerata umur 44 tahun, diikuti sebanyak 6 kali HD berturut-turut dan

didapatkan 32,1% (36/112) mengalami HID. Semua subjek penelitian datanya

lengkap dan dapat dianalisis.

63
64

5.1 Karakteristik data

Tabel 5.1
Karakteristik dasar subjek penelitian dari kelompok HID dan Non HID

Karakteristik HID (n=36) Non HID Nilai p


Rerata (n=76)
SB Rerata SB
Umur (tahun) 43,29,54 43,79,38 0.92
Jenis Kelamin (%)
Laki 47,2 57,9
0.42
Perempuan 52,8 42,1
Lama HD (bulan) 34,5033,15 34,8629,4 0.78
Etiologi (%)
Chronic Pyelonephritis 61,1 57,9
Chronic Glomerulonephritis 38,9 39,5 0.75
Nefrosklerosis - -
Hemoglobin (g/dl) 8,21,6 8,31,31 0.43
Albumin serum (mg/dl) 3,90,6 3,80,53 0.60
Gula Darah Puasa (mg/dl) 86,710,2 89,1620,12
CaP product 56,2718,30 54,817,3 0.49
Tinggi Badan (cm) 155,728,41 157,86,4 0.06
Berat Badan Kering (kg) 54,3413,35 56,410,48 0.15
2
Indeks Massa Tubuh (kg/m ) 22,264,37 22,613,5 0.59
Terapi Anti Hipertensi (%)
ACE Inhibitor 69,4 66,7 0.31
CCB 11,1 9,7 0.59
Beta Blocker 22,2 38,9 0.00
Clonidin 30,6 27,8 0.45
ARB 19,4 13,9 0.12
Terapi Erythropoetin (%)
Ya 16,7 16,7
Tidak 50,6 13,3

Selisih NO,
ET-1,
ADMA pre dan post 0.90

Dari Tabel 5.1 di atas terlihat bahwa rerata umur pasien adalah
HD I UF
43,759,39 tahun. Lama HD 34,7530,51 bulan. Etiologi dari PGK yang

terbanyakHD adalah
II UF
pyelonefritis kronis. Rerata kadar Hemoglobin adalah

HD III UF
HD V UF
65
8,341,40 g/dl.
HD VI
Rerata kadar albumin serum adalah 3,870,54 mg/dl. Hasil
UF

perkalian antara calsium dan

HID (+) Kasus


Analisis Statistik

HID (-) Kontrol

Simpulan
phosphat (CaP product) rata-rata adalah 55,2917,59. Setelah dihitung

2
didapatkan rata-rata IMT pasien adalah 22,493,78 kg/m . Pada kelompok

pasien dengan HID maupun kontol sebagian besar pasien mendapat terapi ace

inhibitor sebagai obat anti hipertensi. Terdapat perbedaan yang bermakna

dalam terapi dengan

betabloker dimana pada kelompok yang tidak mengalami HID lebih banyak yang

mendapat terapi betabbloker dibandingkan dengan kelompok HID (38,9 vs 22,2; p

=0,00). Tidak terdapat perbedaan dalam terapi erythropoietin pada kedua

kelompok.

5.2 Profil tekanan darah selama HD

Pada pengamatan subjek penelitian, dilakukan pengukuran tekanan darah

selama HD pada 6 sesi HD berturut-turut. Profil tekanan darah sampel selama

pengamatan 6 kali HD berturut-turut dapat dilihat pada Tabel 5.2 di bawah ini.

Tabel 5.2
Profil tekanan darah subyek penelitian dari kelompok HID dan Non HID

Sesi Tekanan Pre HD Post HD


HD Darah
Kelompok Selisih Nilai Kelompok Selisih Nilai
Kelompok p Kelompok p
HID Non HID HID Non HID
(Rerata (Rerata (Rerata (Rerata
SB) SB) SB) SB)

HD-1 Sistolik 142,522,89 143,2824,02 -0.79 0.87 147,224,56 144,2121,92 3.01 0.52
Diastolik 84,7210,27 85,659,42 -0.10 0.95 88,3312,07 85,658,3 2.68 0.17
HD-2 Sistolik 140,5523,89 142,109,42 -1.55 0.73 148,0523,52 144,7321,25 3.31 0.46
Diastolik 84,7210,27 86,849,26 -2.12 0.28 87,2210,31 86,978,48 0.25 0.89
HD-3 Sistolik 141,3819,29 141,9723,26 -0.58 0.89 148,0520,67 141,5719,73 6.48 0.11
Diastolik 85,5512,05 85,529,14 0.02 0.98 87,512,27 86,848,82 0.66 0.75
HD-4 Sistolik 138,0521,20 141,2824,54 -3.13 0.51 140,5530,75 140,1525,86 0.39 0.94
Diastolik 85,2710,27 85,9211,33 -0.64 0.77 86,388,3 86,9710,58 -0.58 0.77
HD-5 Sistolik 143,3329,17 141,4422,43 1.89 0.71 144,4423,83 140,9220,86 3.52 0.42
Diastolik 85,838,74 85,1310,39 0.70 0.72 87,2210,03 87,1010,04 0.11 0.95
HD-6 Sistolik 138,3320,77 139,3420,74 -1.00 0.81 146,6624,14 138,5519,03 8.11 0.05
Diastolik 83,339,85 85,138,71 -1.79 0.33 86,669,56 85,528,06 1.14 0.51
Rerata Sistolik 140,6916,69 141,5516,97 -0.86 0.80 145,8318,52 141,6916,11 4.14 0.23
Diastolik 85,046,49 85,706,13 -0.65 0.60 87,228,22 86,515,71 0.72 0.59
Pada pengamatan HD 1,2,4 dan 5 rerata TDS sampel baik pre HD maupun post

HD pada kelompok HID lebih tinggi daripada kelompok Non HID, sedangkan

pada pengamatan HD 3 dan HD 6 rerata TDS pre HD pada kelompok HID sedikit

lebih rendah pada kelompok HID. Setelah dilakukan analisis tidak didapatkan

perbedaan yang bermakna antara TDS dan TDD pre HD maupun post HD antara

kelompok HID dan non HID.

5.3 Profil Ultrafiltrasi selama HD

Pada pengamatan selama 6 kali HD berturutan dilakukan pencatatan

volume UF selama HD pertama sampai ke enam. Rata-rata besaran UF yang

dilakukan dapat dilihat pada Tabel 5.3 di bawah ini.

Tabel 5.3
Volume UF kelompok HID dan Non HID

Hemodialisis Volume UF (L) Selisih Nilai p


(HD) Kelompok
HID Non HID
(Rerata SB) (Rerata SB)

HD-1 3,371,00 2,541,16 0,83 0,00


HD-2 3,331,16 2,551,06 0,78 0,01
HD-3 3,511,05 2,541,15 0,98 0,00
HD-4 3,521,19 2,411,14 1,11 0,00
HD-5 3,681,03 2,471,23 1,20 0,00
HD-6 3,971,22 2,481,15 1,49 0,00
Rerata HD 1-6 3,560,91 2,500,98 1,27 0,00

Pada Tabel 5.3 di atas terlihat bahwa pada HD 1 sampai 6, dan secara

rerata UF pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non HID.
5.4 Perubahan kadar Na, K dan Ca saat HD

Pada subjek penelitian dilakukan pemeriksaan kimia darah sebelum dan

sesudah HD, pada sesi HD 1. Hasil pemeriksaan kadar kalium, natrium dan

kalsium serum sebelum dan sesudah HD I, dapat dilihat pada Tabel 5.4 di bawah

ini.

Tabel 5.4
Kadar Natrium, Kalium dan Kalsium pre dan post HD 1

Kelompok HID (Rerata SB) Kelompok Non HID (Rerata SB) Selisih Nilai
Pre Post HD Selisih Pre HD Post HD Selisih Kelompok p
HD (post- (Post-
pre HD) pre HD)
Natrium 136,33 137,08 0,75 135,84 136,22 0,38
(mmol/L) 0,37 0,63
2,62 3,98 3,75 2,76 3,61 3,78
Kalium 5,58 3,49 -2,08 5,11 3,40 -1,70
(mmol/L) -0,38 0,05
0,97 0,87 1,04 0,80 0,60 0,85
Kalsium 8,92 11,03 2,1 9,13 10,61 1,47
(mol/dL) 0,63 0,03
0,94 1,08 1,49 ,05 1,07 1,46

Dari Tabel 5.4 di atas terlihat bahwa selisih kadar serum Na, K dan Ca

post HD dan pre HD pada kelompok HID lebih besar daripada kelompok non

HID. Setelah dilakukan analisis, didapatkan bahwa selisih kadar Natrium tidak

berbeda antara kelompok HID dan non HID, sedangkan selisih kadar K dan Ca

pada kelompok HID dan non HID berbeda bermakna.Terjadi peningkatan kadar

serum kalsium post HD pada kedua kelompok yaitu HID dan non HID,

peningkatan yang lebih besar tampak pada kelompok HID. Hal yang sebaliknya

terjadi pada kadar kalium, terjadi penurunan kadar kalium post HD pada kedua

kelompok dengan penurunan lebih besar pada kelompok HID.


5.5 Perubahan kadar NO, ADMA dan ET-1 saat HD

Hasil pemeriksaan kadar NO, ADMA dan ET-1 serum pre dan post HD 1

dapat dilihat pada Tabel 5.5 di bawah ini.

Tabel 5.5
Kadar NO, ADMA, dan ET-1 sebelum dan sesudah HD 1

Kadar Kelompok HID (Rerata SB) Kelompok Non HID (Rerata SB) Selisih Nilai
serum Pre HD Post HD Selisih Pre HD Post HD Selisih Kelompok p
(Post-pre (Post-pre
HD) HD)
13,62 3,80 -9,8 8,15 3,93 -4,22
NO ( M) -5.59 0,0
5,47 1,4 4,79 3,27 2,22 2,77
ADMA 0,81 0,47 -0,33 0,78 0,95 0,27
( m/L) -0.06 0,16
0,23 0,14 0,22 0,24 0,51 0,20
ET-1 2,14 2,37 0,18 2,39 2,58 0,18
(pq/ml) 0.00 0,99
1,25 1,12 0,41 1,19 1,35 0,70

Pada Tabel 5.5 di atas terlihat bahwa terjadi penurunan kad (Rerata SB)ar

NO post HD pada kedua kelompok. Penurunan NO lebih besar pada kelompok

HID dibandingkan dengan kelompok non HID (-9,84,79 vs -4,222,77 M).

Hal yang berbeda terjadi pada kadar serum ADMA, Pada kelompok HID terjadi

penurunan kadar serum ADMA post HD sedangkan pada kelompok non HID

terjadi peningkatan kadar serum ADMA (-0,330,22 vs 0,270,20 m/L), tetapi

selisih ADMA ini tidak berbeda antara kelompok HID dan non HID. Hal yang

berbeda terlihat pada kadar serum ET-1, terjadi peningkatan kadar serum ET-1

post HD yang hampir sama pada kelompok HID dan non HID (0,180,41 vs

0,180,70 pq/ml), tetapi peningkatan ini tidak berbeda antara kelompok HID dan

non HID.
5.6 Hubungan antara perubahan kadar NO, ET-1, ADMA dan HID

Untuk melihat hubungan antara perubahan kadar serum NO, ET-1, ADMA

saat HD dengan kejadian HID serta hubungan antara volume UF yang dilakukan

saat HD dengan kejadian HID, dilakukan analisis regresi, dan untuk

menghilangkan pengaruh beberapa variabel pengganggu terhadap hubungan

tersebut, dilakukan pengontrolan terhadap variabel tersebut, yaitu variabel jumlah

obat antihipertensi yang diminum, dan perubahan kadar Na dan kalsium post dan

pre HD. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 5.6 di bawah ini.

Tabel 5.6
Hubungan antara NO, ADMA, ET-1, volume UF dengan kejadian HID

Variabel Bebas Unadjusted IK 95% Nilai Adjusted IK 95% Nilai


OR P OR P

NO 0,59 0,48-0,72 0,00 0,60 0,49-0,73 0,00


(setiap peningkatan 1 m/L)
ADMA 0,26 0,04-1,67 0,16 0,15 0,02-1,19 0,07
(setiap peningkatan 1 m/L)
ET-1 1,00 0,53-2,89 0,99 0,94 0,49-1,794 0,85
(setiap peningkatan 1 pg/ml)
Volume UF (setiap 1 liter 4,28 2,41-7,62 0,00 5,17 2,64-10,11 0,00
meningkat)
UF berlebih ( Volume UF > 100,45 21,05-479,33 0,00 167,19 27,56-1013,91 0,00
4,8% BB Kering)
Setiap 1% meningkat

Keterangan :
Adjusted OR setelah dilakukan pengontrolan terhadap:
1. Jumlah obat anti hipertensi yang dikonsumsi
2. Selisih natrium post - pre HD
3. Selisih Ca post - pre HD

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi NO memiliki tingkat

signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian

yang menyatakan NO memiliki pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima.

Nilai OR dari NO adalah 0,59, ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap

atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 mol/L NO akan menyebabkan

kejadian HID sebesar 59%. Pengaruh ini tetap signifikan setelah dilakukan
70

pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang

diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD ( nilai p=0,001, nilai

adjusted OR = 0,6 (95% CI 0,49-0,73).

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi ADMA memiliki

tingkat signifikansi 0,16, nilai ini lebih besar dari 0,05, ini berarti hipotesis

penelitian yang menyatakan ADMA memiliki pengaruh yang signifikan terhadap

HID ditolak. Pengaruh ini tetap tidak signifikan setelah dikontrol dengan terhadap

variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi yang di minum dan perubahan

kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,07) dengan adjusted OR 0,15 (95% CI 0,02-

1,19). Walaupun pengaruh ini tidak signifikan tetapi terdapat kecenderungan bahwa

setiap peningkatan 1 m/L ADMA akan menyebabkan kejadian HID sebanyak

15%.

Hal yang sama terlihat pada kadar serum ET-1. Dari Tabel 5.6 di atas terlihat

bahwa koefisien regresi ET-1 memiliki tingkat signifikansi 0,99, nilai ini lebih

besar dari 0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan ET-1 memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap HID ditolak. Pengaruh ini tetap tidak

signifikan setelah dikontrol terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat

antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai

p=0,85 adjusted OR 0,94 (95% CI 0,49-1,79)).

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat bahwa koefisien regresi volume UF memiliki

tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari 0,05, ini berarti hipotesis

penelitian yang menyatakan volume UF memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap HID diterima. Nilai OR dari volume adalah 4,28, ini berarti bahwa jika
variabel bebas lainnya tetap atau tidak berubah, maka setiap peningkatan 1 liter

UF akan menyebabkan kejadian HID sebesar 4,28 kali. Pengaruh ini tetap

signifikan setelah dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah

obat antihipertensi yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD

(nilai p=0,001, nilai adjusted OR = 5,17 (95% CI 2,64-10,11).

Dari Tabel 5.6 di atas terlihat pula bahwa koefisien regresi UF berlebih ( UF

>4,8% BB kering) memiliki tingkat signifikansi <0,001 nilai ini lebih kecil dari

0,05, ini berarti hipotesis penelitian yang menyatakan UF berlebih memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap HID diterima. Nilai OR dari UF berlebih

adalah 100,45 ini berarti bahwa jika variabel bebas lainnya tetap atau tidak

berubah, maka setiap peningkatan 1 persen UF diatas BB kering akan

menyebabkan kejadian HID sebesar 100 kali. Pengaruh ini tetap signifikan setelah

dilakukan pengontrolan terhadap variabel perancu yaitu jumlah obat antihipertensi

yang diminum dan perubahan kadar Na dan Ca selama HD (nilai p=0,001, nilai

adjusted OR = 167,19 (95% CI 27,56-1013,91).

5.7 Analisis Jalur (Path analysis)

Untuk melihat hubungan kausal efek dari perubahan kadar NO, ET-1 dan

ADMA serta volume UF yang saat HD terhadap kejadian HID, dilakukan analisis

jalur. Pada analisis jalur ini variabel eksogen adalah: NO, ADMA, ET-1 dan volume

UF sedangkan variabel endogen adalah kejadian HID. Berdasarkan dari teori dan

telaah kepustakaan yang ada maka dibuatkan model seperti di bawah ini (Gambar

5.1).
z2

NO

z1

Volume Ultrafiltrasi Hipertensi Intradialitik

z3

Endothelin-1

z4

ADMA

Gambar 5.1
Model Struktural/Path Diagram

Setelah dilakukan analisis terhadap model struktural/path diagram

didapatkan df (Degree of freedom) = 3, artinya overidentified, maka estimasi dan

penilaian model dapat dilakukan, atau model struktural dapat diproses lebih lanjut.

Pada result terdapat kalimat minimum was achieved, dan probability level=0,28,

menunjukkan bahwa AMOS telah berhasil mengestimasi varians dan kovarians

yang ada. Pada bagian CMIN terlihat P = 0,3 menunjukkan model dapat dianggap

fit dengan data yang ada. Pada bagian RMR dan GFI, terlihat bahwa angka GFI

0,9 dan AGFI 0,9 mendekati 1, juga disertai dengan angka RMR 0,1 yang relatif

kecil (mendekati 0), semua ini mendukung pernyataan bahwa model struktural

sudah fit dengan data yang ada, secara keseluruhan model struktural dapat

dianggap fit sehingga dapat dilakukan analisis jalur.


5.7.1 Hasil Analisis Jalur

16.97

z2
0.11
-
NO 0.05 z1

-1.37 1.1
7
Volume 0.16
Ultrafiltr Hiperten
asi
0.38 si
Intradiali
0.06 z3
0.02

Endotheli
n- 1 -
-
0.0 0.1
3 1

z4 0.04

ADMA

Gambar 5.2
Hasil analisis jalur model struktural

Berdasarkan Gambar 5.2 di atas maka didapatkan efek langsung terhadap

HID sebagai berikut; efek UF terhadap HID adalah 0,16 (16%), efek NO terhadap

HID adalah 0,05 (5%), efek ET-1 terhadap HID adalah 0,02 (2%), efek ADMA

terhadap HID adalah 0,11 (11%). Sementara itu efek langsung dari UF terhadap

variabel lain adalah sebagai berikut: efek UF terhadap NO adalah 1,37 (137%),

efek UF terhadap ADMA adalah 0,03 (3%), efek UF terhadap ET-1 adalah 0,06

(6%). Di sini terlihat bahwa UF memiliki efek paling kuat terhadap NO,

sedangkan variabel yang paling kuat berpengaruh terhadap HID adalah UF. Efek

total yang paling kuat terhadap HID adalah efek dari UF (24%).
5.7.2 Hubungan antar konstruk

Besarnya efek masing-masing variabel bebas terhadap variabel tergantung

dinyatakan dengan critical ratio (CR). Nilai CR didapatkan dari nilai estimasi

yang dibagi dengan standard errornya (SE). Semakin tinggi nilai CR maka

efeknya semakin signifikan. Setelah dilakukan analisis dengan AMOS, hubungan

antar konstruk dapat dilihat pada Tabel 5.7 berikut ini.

Tabel 5.7
Hubungan antara 2 variabel konstruk

No Variabel Regression weight Standardize


Estimate CR p regression
weight

1 Vol. UF ADMA -0,26 -1,35 0,18 -0,13


2 Vol. UF ET-1 0,04 0,70 0,48 0,07
3 Vol. UF NO -1,23 -3,70 *** -0,34
4 Vol. UF HID 0,18 5,74 *** 0,40
5 NO HID -0,06 -7,08 *** -0,49
6 ET-1 HID -0,02 -0,25 0,80 0,02
7 ADMA HID -0,14 -0,97 0,33 -0,06

Dari Tabel 5.7 di atas dapat disimpulkan bahwa:

a) Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF dengan NO (CR -

3,70; p <0,01).

b) Terdapat hubungan yang signifikan antara volume UF dengan HID (CR

5,74; p <0,01).

c) Terdapat hubungan yang signifikan antara NO dengan HID (CR -7,08; p

<0,01).
d) Tidak ada hubungan yang signifikan antara volume UF dengan ADMA,

antara volume UF dengan ET-1, antara ET-1 dengan HID, antara ADMA

dengan HID.

Untuk melihat seberapa erat hubungan antar konstruk, dapat dilihat pada

nilai Standardized regression weight. Dari analisis didapatkan bahwa faktor

loading NO terhadap HID = 0,5. Hal ini berarti bahwa NO dapat menjelaskan

kejadian HID. Ada korelasi yang erat antara NO dengan HID. Faktor loading

volume UF terhadap NO serta faktor loading volume UF terhadap HID masing-

masing 0,3 dan 0,4 berurutan. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan

yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan HID.

Tabel 5.8 di bawah ini menunjukkan besarnya hubungan antar variabel konstruk

(ADMA, NO, ET-1 dan UF) dengan HID sebagai variabel tergantung.

Tabel 5.8
Hubungan antar variabel konstruk dengan HID sebagai variabel tergantung

Efek NO HID ET-1 HID ADMA HID UF

HID

Efek Total -0,05 -0,02 -0,12 0,24


Efek langsung -0,05 -0,02 -0,12 0,16
Efek tidak 0,00 0,00 0,00 0,07
langsung

Dari Tabel 5.8 di atas terlihat bahwa volume UF mempunyai efek total

dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID.


Tabel 5.9 di bawah ini menunjukkan menunjukkan besarnya hubungan

antara variabel konstruk UF sebagai variabel bebas dan ADMA, NO, ET-1sebagai

variabel tergantung.

Tabel 5.9
Hubungan antar variabel konstruk dengan UF sebagai variabel bebas

Efek UF UF UF ET- UF
NO ADMA 1 HID
Efek total -1,37 -0,03 0,06 0,24

Efek langsung -1,37 -0,03 0,06 0,16

Efek tidak 0,00 0,00 0,00 0,07


langsung

Dari Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa efek total dan efek langsung yang

paling kuat adalah efek volume UF terhadap NO, diikuti dengan efek volume UF

terhadap HID.

Dari Gambar 5.2 dan Tabel 5.9 di atas terlihat bahwa terdapat hubungan

langsung yang signifikan dan erat antara volume UF dengan HID (CR 5,74; p

<0,01, efek langsung 16% dan efek total 24%). Terdapat hubungan yang

signifikan antara volume UF dengan NO (CR -3,70; p<0,01, efek langsung

137%). Terdapat hubungan langsung antara NO terhadap HID (CR -7,08; p<0,01,

efek langsung 5%).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa UF dan NO mempunyai efek

yang signifikan terhadap HID, NO mempunyai efek yang paling signifikan

terhadap HID (CR -7,08), dibandingkan dengan UF (CR 5,74). Sementara itu UF

juga mempunyai efek yang signifikan terhadap NO (CR -3,70). Jadi dari gambar
tersebut pula dapat dilihat hubungan tidak langsung antara volume UF dengan

HID melalui perubahan kadar NO serum.


78

BAB VI

PEMBAHASAN

Hipertensi intradialitik merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai

pada pasien yang menjalani HD reguler. Pada penelitian ini ditemukan hampir

sepertiga pasien yang menjalani HD reguler mengalami HID. Mekanisme

terjadinya HID sampai sekarang belum jelas, sehingga menyulitkan dalam

penatalaksanaan HID dan selanjutnya menyebabkan HD menjadi tidak adekuat

serta akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Penelitian yang dilakukan

oleh Inrig et al., menemukan bahwa pada pasien dengan HD reguler yang

mengalami HID terdapat disfungsi endotel (Inrig et al., 2011). Penelitian yang

kami lakukan mendukung penemuan tersebut yaitu terbukti adanya hubungan

antara penurunan kadar NO serum dengan kejadian HID. Penurunan NO serum

menunjukkan keterlibatan disfungsi endotel dalam kejadian HID. Temuan baru

dari penelitian ini adalah terbukti adanya hubungan antara UF yang berlebihan

saat HD dengan penurunan kadar NO dan kejadian HID. Pada penelitian ini juga

didapatkan hubungan langsung antara volume UF dan HID, penurunan kadar NO

dengan HID serta hubungan tidak langsung antara volume UF dengan HID

melalui penurunan kadar NO.

6.1 Normalitas Data

Data karakteristik variabel pada populasi penelitian ini meliputi : NO,

ADMA, ET-1, dan UF sebagai variabel bebas. Variabel tersebut telah diuji

normalitasnya dengan Uji Normalitas Kolmogorov-Smirnov pada tingkat

78
79

kemaknaan = 0,05. Hasil pengujian variabel ADMA pre dan post HD, NO pre

HD, UF berdistribusi normal oleh karena p>0,05. Sedangkan kadar NO post HD,

ET-1 pre dan post HD tidak berdistribusi normal karena nilai p<0,05.

6.2 Karakteristik pasien dengan HID

Pada penelitian ini karakteristik subjek yang mengalami HID tidak jauh

berbeda dengan kelompok non HID, tetapi pada kelompok HID didapatkan BB

kering pasien lebih rendah daripada kontrol. Penelitian pada tahun 1995

mendapatkan bahwa pasien dengan HD reguler yang mengalami peningkatan

tekanan darah saat UF umumnya pasien dengan overhidrasi dan dilatasi jantung

(Cirit et al., 1995). Pada penelitian kohort yang dilakukan oleh Inrig tahun 2009,

didapatkan bahwa pada pasien yang mengalami HID memiliki BB kering yang

lebih rendah, peningkatan BB interdialitik lebih rendah, serum albumin, phospor

lebih rendah daripada pasien yang tidak mengalami HID (Inrig et al., 2009). Tidak

terdapat perbedaan pemakaian antihipertensi ace inhibitor, CCB, clonidine dan

ARB pada kedua kelompok. Pada penelitian ini kami dapatkan pada kelompok

kontrol lebih banyak yang memakai obat betabloker dibandingkan dengan

kelompok HID. Pada kedua kelompok ini obat betabloker yang digunakan adalah

bisoprolol. Bisoprolol merupakan obat yang sebagian besar tidak terdialisis,

sehingga pada pasien yang memakai obat ini tekanan darah saat HD lebih

terkontrol. Pemakaian obat ini dapat sebagai pilihan terapi pada pasien yang

mengalami HID.
80

6.3 Prevalensi pasien HID

Proporsi dari kejadian HID pada pasien dengan HD reguler tidak diketahui

dengan pasti (Rubinger et al., 2012). Penelitian-penelitian sebelumnya

melaporkan dalam jumlah yang bervariasi. Belakangan ini proporsi kejadian HID

cenderung meningkat. Pada penelitian ini ditemukan kejadian HID sebesar 32,1%.

Pada penelitian lain dilaporkan kejadian HID Sekitar 5-15% dari pasien yang

menjalani HD reguler. Pada penelitian kohort yang dilakukan pada 1748 pasien

HD dimana HID didefinisikan bila terdapat peningkatan TDS post dialisis > 10

mmHg dan dilakukan pengamatan pada 3 sesi HD berturutan, didapatkan 12,2%

pasien HD mengalami HID (Inrig et al., 2009). Penelitian kohort retrospektif

terhadap 22.955 tindakan HD didapatkan prevalensi HID sebesar 21,3 per 100

tindakan, dengan median prosentase sebesar 17,8% (Van Buren et al., 2012).

Pada penelitian lain yang dilakukan pada tahun 2012, Rubinger et al., melaporkan

kejadian HID yang tinggi, yaitu sebesar 52% (57/108). Pada penelitian ini

definisi HID adalah bila terjadi peningkatan TDS post HD sebesar 10 mmHg

atau hipertensi yang resisten terhadap UF yang terjadi setelah HD (Rubinger et

al., 2012). Prevalensi yang berbeda-beda ini mungkin disebabkan karena

perbedaan metode pengamatan dan perbedaan definisi HID yang dipakai. Salah

satu kesulitan mendefinisikan HID adalah karena sampai saat ini belum ada target

tekanan darah saat HD yang pasti, masalah ini masih menjadi perdebatan para

ahli (Levin et al., 2012).


81

6.4 Perubahan kadar NO pada HD

Pada penelitian ini didapatkan rerata kadar NO pre HD pada kelompok

HID lebih tinggi daripada kelompok kontrol. Post HD terjadi penurunan NO pada

kedua kelompok. Pada kelompok HID didapatkan penurunan NO yang lebih

banyak daripada kelompok kontrol. Hasil ini menyerupai hasil yang didapatkan

pada penelitian yang dilakukan oleh Chou et al., 2006 didapatkan kadar NO yang

jauh lebih tinggi yaitu pada kelompok yang prone hipertensi. Post HD juga

didapatkan penurunan NO pada kedua kelompok. Pada penelitian ini juga

didapatkan penurunan NO yang jauh lebih besar pada kelompok hipertensi

dibandingkan kelompok kontrol (Chou et al., 2006).

6.5 Hubungan antara kadar NO serum dan HID

Nitric oxide adalah antagonis natural dari katekolamin. Nitric oxide

disintesis oleh enzim Nitric Oxide Synthase (NOS), dikeluarkan oleh sel endotel

ke sirkulasi. Pada penelitian in vitro didapatkan bahwa aktivitas NOS meningkat

saat darah diekspose pada membran dialiser (Fliser et al., 2003).

Dengan ditemukannya hubungan antara kadar NO serum dengan kejadian

HID, penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya. Penelitian oleh Chou

et al., membandingkan antara 30 pasien dengan HID dan 30 orang kontrol, pada

pasien yang prone terhadap hipertensi terdapat peningkatan resistensi pembuluh

darah sistemik dan penurunan signifikan NO relatif terhadap ET-1 pada saat akhir

HD (Chou et al., 2006).

Nitric oxide dibentuk di berbagai lokasi, produksi lokal menentukan

aktivitas fisiologisnya. Pada PGK terjadi disfungsi endotel yang ditandai dengan
menurunnya produksi NO oleh endotel. Penelitian ini juga mendukung teori

bahwa salah satu mekanisme terjadinya HID adalah karena adanya disfungsi

endotel yang salah satunya ditandai dengan penurunan kadar serum NO.

Penurunan kadar serum NO pada pasien saat HID, dan adanya hubungan

antara NO dan kejadian HID menunjukkan peranan disfungsi endotel dalam

patogenesis HID. Penurunan NO menyebabkan terjadi gangguan vasodelatasi otot

polos, sehingga terjadi vasokonstriksi yang berperan dalam peningkatan tekanan

darah saat HD.

6.6 Perubahan kadar ADMA serum saat HD

Pada penelitian ini didapatkan rata-rata kadar ADMA predialisis lebih

tinggi pada kelompok HID dibandingkan kelompok kontrol. Post HD terjadi

penurunan ADMA pada kelompok HID, sedangkan pada kelompok kontrol justru

terjadi peningkatan ADMA.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Young et al., terhadap pasien CKD

stadium 3 dan 4 didapatkan kadar ADMA 0.70 0.25 mol/L (Young et al.,

2009). Hasil ini sedikit lebih tinggi daripada kadar ADMA pada pasien dengan

HD reguler yang kami dapatkan (0,330,22 M/L). Pada penelitian terhadap 227

pasien CKD didapatkan kadar ADMA serum 0.46 0.12 mol/L (Fliser et al.,

2004).

Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian oleh Raj et al., didapatkan

kadar ADMA pada pasien dengan HD reguler jauh lebih tinggi daripada pada

penelitian ini yaitu 105.3 25.2 M/L . Tidak jelas mengapa pada penelitian ini

didapatkan kadar ADMA serum pasien dengan HD reguler sangat tinggi.


6.7 Hubungan antara kadar ADMA dan HID

Pada penelitian ini tidak terbukti adanya hubungan yang signifikan antara

ADMA dan kejadian HID. Pengaruh ini tetap tidak signifikan setelah dilakukan

adjusted terhadap jumlah obat antihipertensi yang di minum dan perubahan kadar

Na dan Ca saat HD.

Penelitian epidemiologis menunjukkan adanya hubungan antara ADMA

dan hipertensi, hiperkolesterol, dan DM (Abedini et al., 2010). Asymmetric

Dymethylarginine adalah inhibitor kompetitif endogen dari NOS, menyebabkan

meningkatnya resistensi perifer dan meningkatnya tekanan darah. Pada penelitian

ini tidak terbukti adanya hubungan antara ADMA dan kejadian HID, bahkan

terjadi hal yang sebaliknya yaitu kecenderungan setiap peningkatan ADMA

menyebabkan penurunan kejadian HID, walaupun hubungan ini tidak signifikan.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Raj et al., terhadap 27 pasien dengan

HD reguler, dievaluasi peranan NO dan ADMA terhadap variasi tekanan darah

intradialisis. Pada penelitian ini didapatkan kadar NO tidak signifikan berkorelasi

dengan perubahan MAP, dan kadar ADMA tidak berbeda pada kelompok pasien

dengan hipotensi intradialisis maupun hipertensi intradialisis (Raj et al., 2002).

Pada penelitian ini ADMA tidak terbukti berperan terhadap kejadian HID

mungkin disebabkan oleh kadar ADMA yang ditemukan pada penelitian ini lebih

rendah daripada penelitian-penelitian sebelumnya. Rerata ADMA pada penelitian

ini adalah 0,330,25 M/L sedangkan Raj et al menemukan kadar ADMA adalah

105,325,2 M/L.
6.8 Perubahan kadar ET-1 pada HD

Pada penelitian ini didapatkan rata-rata kadar ET-1 predialisis maupun

post HD lebih rendah pada kelompok HID dibandingkan kelompok kontrol. Post

HD terjadi peningkatan kadar serum ET-1 yang hampir sama pada kelompok HID

dan non HID. Hasil ini sedikit berbeda dengan yang didapatkan pada penelitian

sebelumnya. Pada saat HD berakhir pada penderita HID terjadi peningkatan

signifikan dari kadar ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006).

Pada penelitian yang dilakukan terhadap 44 pasien HD reguler ditemukan

bahwa kadar ET-1 pada pasien HD lebih tinggi daripada kontrol orang sehat. Pada

individu dengan HID terjadi peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah

HD (Shafei et al., 2008). Hasil ini berbeda dengan yang kami dapatkan dimana

kadar ET-1 baik pre maupun post HD pada semua kelompok jauh lebih rendah.

6.9 Hubungan antara kadar ET-1 dan HID

Pada penelitian yang kami lakukan terjadi peningkatan kadar ET-1 post

HD pada kedua kelompok, dan tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara

kadar ET-1 dan kejadian HID. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh

Chou et al., didapatkan kadar ET-1 pre maupun post HD lebih tinggi pada

kelompok yang prone terhadap hipertensi (Chou et al., 2006). Penelitian lain

mendapatkan kadar ET-1 menurun secara signifikan pada kelompok hipotensi

intradialisis, dan meningkat signifikant pada kelompok HID (Raj et al., 2002).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Shafei et al., 2008 didapatkan peningkatan

yang signifikan kadar ET-1 post HD pada kelompok pasien dengan rebound

hipertensi saat HD, disimpulkan bahwa perubahan ET-1 mungkin terlibat pada
pathogenesis dari rebound hipertensi dan hipotensi saat HD (Shafei et al., 2008).

Hasil ini berbeda dengan penelitian yang kami lakukan yaitu tidak didapatkan

adanya hubungan yang signifikan antara perubahan kadar serum ET-1 dan

kejadian HID. Hal ini mungkin disebabkan karena kadar ET-1 pre maupun post

HD kelompok HID justru lebih rendah daripada kelompok kontrol.

6.10Hubungan antara volume UF dengan kadar ET-1, NO, dan ADMA

Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencari hubungan

antara volume UF saat HD dengan perubahan kadar ET-1, NO dan ADMA. Pada

penelitian ini dengan analisis jalur didapatkan hubungan yang signifikan antara

volume UF dengan NO (nilai p <0,01) dan tidak ada hubungan antara volume UF

dengan ADMA dan ET-1. Pada saat dilakukan UF yang berlebih terjadi penurunan

NO sehingga mungkin hal ini menyebabkan tidak terjadi respon vasodelatasi yang

diperantarai oleh NO, sehingga hal ini mungkin dapat menjelaskan sebagian dari

terjadinya HID melalui keterlibatan endotel. Penemuan ini mendukung teori yang

menyatakan disfungsi endotel sebagai salah satu etiologi dari HID. Belum ada

penelitian yang menjelaskan bagaimana mekanisme UF yang berlebih menyebabkan

penurunan NO.

6.11Hubungan antara volume UF dengan HID

Volume UF selama HD 1 sampai HD 6 pada kelompok HID lebih besar

daripada dan non HID. Pada kelompok HID saat terjadi peningkatan TDS post

HD pada hampir semua sesi HD. Sedangkan pada kelompok non HID pada

sebagian besar sesi HD terjadi penurunan TDS post HD, yaitu pada sesi HD (HD
3,4,5,dan 6), sedangkan pada HD 1 dan HD 2 terjadi sedikit peningkatan TDS

post HD. Umumnya dengan ultrafiltrasi terjadi penurunan tekanan darah, pada

sebagian kasus justru terjadi peningkatan tekanan darah. Penelitian ini merupakan

penelitian pertama yang mencari hubungan antara volume UF dan UF yang

berlebih terhadap kejadian HID.

Pada penelitian ini didapatkan volume UF dan UF yang berlebih memiliki

pengaruh yang signifikan terhadap kejadian HID. Saat dilakukan UF yang

berlebih, terjadi penarikan cairan dalam jumlah yang banyak dari kompartemen

darah, hal ini mungkin menyebabkan terjadi aktivasi simpatis yang menyebabkan

kenaikan tekanan darah saat HD.

Rubinger et al., pada penelitiannya terhadap 108 pasien dengan HD reguler

mendapatkan terjadi overaktivitas simpatis pada pasien yang mengalami HID.

Overaktivitas simpatis merupakan mekanisme yang penting yang menjelaskan

kejadian HID. Pencetus dari terjadinya peningkatan aktivitas simpatis pada pasien

dengan HD masih perlu di teliti lebih jauh (Rubinger et al., 2012).

Penelitian kohort retrospektif terhadap 22195 tindakan HD pada Januari-

Agustus 2010, menghubungkan HID (didefinisikan sebagai peningkatan TDS pre

HD ke post HD sebesar 10 mmHg) dengan ultrafiltration rate yaitu volume UF

dibagi dengan lama sesi HD (menit) mendapatkan pada pasien dengan HID

mendapatkan kecepatan filtrasi yang lebih rendah daripada yang tanpa HID (10,4

vs 12,2 ml/menit, p 0,02) (Van Buren et al., 2012).

Pada penelitian yang dilakukan oleh Kovacik et al., terhadap 23 pasien

dengan HD reguler mendapatkan volume UF berhubungan kuat dengan tekanan


nadi postdialisis (Kovacik et al., 2003). Belum diteliti mengenai hubungan antara

volume UF dengan kejadian HID.

6.12 Analisis Jalur (Path analysis)

Untuk melihat hubungan kausal efek dari perubahan kadar NO, ET-1 dan

ADMA serta volume UF yang dilakukan terhadap kejadian HID, dibuat model

struktural dan dianalisis dengan analisis jalur menggunakan program AMOS.

Variabel eksogen atau independent adalah: NO, ADMA dan ET-1 sedangkan

variabel endogen atau dependent adalah HID. Setelah analisis didapatkan

hubungan yang signifikan antara volume UF saat HD dengan kadar serum NO,

antara volume UF saat HD dengan HID, dan antara kadar serum NO dengan

HID. Tidak ada hubungan antara, ET-1 dengan HID, antara ADMA dengan HID,

volume UF dengan ADMA, dan volume UF dengan ET-1.

Setelah dilakukan analisis keeratan hubungan (Standardized Regression

weight) didapatkan ada korelasi yang erat antara NO dengan HID, dan terdapat

hubungan yang cukup erat antara volume UF dengan NO serta volume UF dengan

HID. Pada penelitian ini didapatkan juga bahwa volume UF saat HD memiliki

efek total dan efek langsung yang paling kuat terhadap kejadian HID. Juga

didapatkan bahwa volume UF memiliki efek total dan langsung paling kuat

terhadap kadar serum NO dan kejadian HID berturutan. Sehingga dengan analisis

jalur dapat disimpulkan hubungan antara NO, ADMA, ET-1, UF dan HID sebagai

berikut: bahwa terdapat hubungan langsung yang signifikan dan erat antara

volume UF saat HD dengan kejadian HID. Terdapat hubungan yang signifikan

antara volume UF saat HD dengan kadar serum NO. Terdapat hubungan


langsung antara kadar serum NO dengan kejadian HID dan terdapat hubungan

tidak langsung antara volume UF saat HD dengan kejadian HID melalui

perubahan kadar serum NO.

Penelitian sebelumnya meneliti mengenai keterlibatan endotel dalam

patofisiologi terjadinya HID. Penelitian ini menganalisis fungsi endotel pada

pasien dengan HID didapatkan penurunan sel progenitor endoter dan fase dilatasi

dari arteri brakial lebih rendah dibandingkan dengan kontrol , hal ini menegaskan

bahwa disfungsi endotel terjadi pada pasien HID (Inrig et al., 2011)

Pada penelitian yang kami lakukan mendapatkan keterlibatan salah satu

marker disfungsi endotel yaitu NO, dalam terjadinya HID. Penemuan ini

mendukung penelitian sebelumnya mengenai keterlibatan disfungsi endotel dalam

terjadinya HID. Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa salah satu faktor yang

menyebabkan penurunan NO adalah UF yang berlebihan saat hemodialisis.

Dengan path analysis ini dapat dijelaskan patogenesis terjadinya HID

yaitu melalui perubahan kadar NO dan UF yang berlebihan saat HD.

Dari temuan ini sangat bermanfaat bagi penderita yang sering mengalami

HID untuk penentuan UF yang tepat saat HD sehingga dapat mencegah kejadian

HID. Disarankan pula untuk pasien-pasien yang overload tidak dilakukan

penurunan atau penarikan cairan yang berlebihan dalam satu sesi HD, disarankan

penurunan BB bertahap dalam beberapa kali HD. Dengan menurunnya kejadian

HID nantinya akan meningkatkan adekuasi HD dan selanjutnya akan menurunkan

mortalitas dan morbiditas pasien yang menjalani HD reguler.


6.13 Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini dilakukan di ruang hemodialisis Divisi Ginjal dan Hipertensi,

Bagian Ilmu Penyakit Dalam, RSUP Sanglah Denpasar, dengan merekrut

penderita secara konsekutif, bukan secara random.

2. Penentuan berat kering penderita adalah secara klinis, tidak menggunakan

alat yang dapat mengukur volume cairan dalam tubuh.

3. Pengukuran tekanan darah penderita adalah secara manual, bukan

automatik.

4. Penentuan kelompok kasus dan kontrol hanya berdasarkan pengamatan

hanya 6 kali HD berturut-turut.

6.14 Kebaruan Penelitian

Dari penelitian yang telah kami lakukan, maka dapat diuraikan bahwa

kebaruan dari penelitian ini adalah:

1. Ultrafiltrasi mempunyai peranan terhadap kejadian HID.

2. Peran itu mungkin diperantarai oleh penurunan kadar NO serum.

Mekanisme HID ini belum pernah didapatkan pada penelitian sebelumnya.


90

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dari penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Ultrafiltrasi yang berlebih saat HD berperan terhadap kejadian HID, ini

dibuktikan dengan adanya hubungan yang signifikan antara UF yang

berlebih dengan kejadian HID.

2. Peranan UF yang berlebih terhadap kejadian HID diperantarai oleh

penurunan kadar NO serum saat HD. Hal ini terbukti dari adanya

hubungan langsung antara kadar NO serum dengan kejadian HID dan

hubungan tidak langsung antara volume UF saat HD dengan kejadian HID

melalui penurunan kadar NO.

3. Perubahan kadar ADMA dan ET-1 tidak berperan dalam kejadian HID.

Hal ini diperkirakan disebabkan karena rerata kadar ADMA dan ET-1

pada penelitian ini lebih rendah daripada penelitian-penelitian sebelumnya.

7.2 Saran

Dengan keterbatasan penelitian yang dilakukan, maka sebagai penelitian

lanjutan dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan antara HID dan disfungsi

endotel melalui pemeriksaan marker disfungsi endotel yang lebih akurat.

2. Usaha-usaha untuk menekan HID melalui penentuan UF yang tepat saat HD

dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.

90
91

DAFTAR PUSTAKA

Abedini, S., Meinitzer, A., Holme, I., Marz, M., Weihrauch, G., Fellstrm, B.,
Jardine, A., and Holdaas, H. 2010. Asymmetrical Dimethylarginine is
Associated with Renal and Cardiovascular Outcomes and All-cause Mortality
in Renal Transplant Recipients. Kid Int, 77: 4450.
Aird, W.C., 2007. Phenotypic Heterogeneity of the Endothelium : I. Structure,
Function, and Mechanisms. Circ Res,100:158-73.

Agarwal, R., and Light, R.P. 2010. Intradialytic Hypertension is a Marker of Volume
Excess. Nephrol Dial Transplant, 25(10): 335561.

Agarwal, R., and Weir, M.R. 2010. Dry-Weight: A Concept Revisyed in an Effort to
Avoid Medication-Directed Approaches for Blood Pressure Control in
Hemodialysis Patients. Clin J am Soc Nephrol, 5:1255-60.
Agarwal, R., Metiku, T., Tegegne, G., Light, R.P., Bunaye, Z., Bekele, D.M., and
Kelley, K. 2008. Diagnosing Hypertension by Intradialytic Blood Pressure
Recordings. Clin J Am Soc Nephrol, 3: 136472.
Agustriadi, O. 2009. Hubungan antara Perubahan Volume Darah Relatif dan
Episode Hipotensi Intradialitik Selama Hemodialisis pada Gagal Ginjal
Kronik (karya akhir). Denpasar: Universitas Udayana.
Amerling, R.C.G., Dubrow, A., Levin, N.W., Psheroff, R., 1995. Complications
During Hemodialysis. Stamford, CT: Appleton and Lange.
Balk, R.A., Casey, L.C. 2000. Sepsis and Septic Shock. Critical Care Clinics.
Bassenge, E., Zanzinger, J. 1992. Nitrates in different vascular beds, nitrate
tolerance, and interactions with endothelial function. Am J Cardiol; 70:23B-
9B.
Baylis, C. 2006. Arginine, arginine analogs and nitric oxide production in chronic
kidney disease, Nature Clinical Practice. Nephrology;2(4): 20920.
Baylis, C. 2008. Nitric Oxide Deficiency in Chronic Kidney Disease. Am J
Physiol Renal Physiol, 294:F1-F9.
Beiber, S.D. dan Himmelfarb, J. 2013. Hemodialysis. In: Schriers Disease of the
th
Kidney. 9 edition. Coffman, T.M., Falk, R.J., Molitoris, B.A., Neilson, E.C.,
Schrier, R.W. editors. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia:2473- 505.
Bussemarker, E., Passauer, J., Reimann, D., Schulze, B., Reichel, W., and Gross,
P. 2002. The Vascular Endothelin System is not Overactive in Normotensive
Hemodialysis Patients. Kid Int, 62: 940-48.
Chazot, C., and Jean, G. 2010. Intradialytic Hypertension: It Is Time to Act.
Nephron Clin Pract;115:c18288.
Chou, K.J., Lee, P.T., Chen, C.L., Chiou, C.W., Hsu, C.Y., Chung, H.M., Liu, C.P.,
and Fang, H.C. 2006. Physiological changes during hemodialysis in patients
with intradialysis hypertension. Kid Int;69: 183338.
Cirit, M., Akicek, F., Terzioglu, E., Soydas, C., Ok, E., Ozbasli, C.F., Basci, A.,
Mees, D. 1995. Paradoxical rise in blood pressure during ultrafiltration in
dialysis patients. Nephrol Dial Transplant;10:1417-20.
Corretti, M.C., Anderson, T.J., Benjamin, E.T. 2002. Guidelines for the
ultrasound assessment of endothelial-dependent flow-mediated vasodilation
of the brachial artery: a report of the International Brachial Artery Reactivity
Task Force. J Am Coll Cardiol;39:257-65.
th
Daugirdas, J.T., Blake, P.G., Ing, T.S. 2007. Handbook of Dialysis. 4 ed.
Phildelphia. Lipincott William & Wilkins.
Dhaun, N., Goddard, J., Webb, D.J. 2006. The Endothelin System and Its
Antagonis in Chronic Kidney Disease. J Am Soc Nephrol;17:943-55
Dhaun, N., Goddard, J., Kohan, D.E., Pollock, D.M., Schiffrin, E.L., Webb, D.J.
2008. Role of Endothelin-1 in Clinical Hypertension : 20 Years On.
Hypertension; 52:452-59.
Ding, H., Triggle, C.R. 2005. Endothelial cell dysfunction and the vascular
complications associated with type 2 diabetes: assessing the health of the
ium. Vasc Health Risk Manag;1:55-71.
Felner, S.K. 1993. Intradialytic Hypertension: II. Semin Dial;6:371-73.
Fliser, D., Kielstein, J.T., Haller. H., BodeBoGer, S.M. 2003. Asymmetric
dimethylarginine: A cardiovascular risk factor in renal disease? Kid
Int;63(84):. S3740.
Fliser, D., Kronenberg, F., Kielstein, J.T., Morath, C., BodeBoger, S.M., Haller,H.,
and Ritz, E. 2004. Asymmetric Dimethylarginine and Progression of Chronic
Kidney Disease: The Mild to Moderate Kidney Disease Study. J Am Soc
Nephrol 16: 245661.
Fliser, D. 2011. The dysfunctional endothelium in CKD and in cardiovascular
disease: mapping the origin(s) of cardiovascular problems in CKD and of
kidney disease in cardiovascular conditions for a research agenda, Kid Int
Supplements;1: 69
Flythe, J.E., Kimmel, S.E., and Brunelli, S.M. 2011. Rapid fluid removal during
dialysis is associated with cardiovascular morbidity and mortality. Kid
Int;79:25057.
Gunal, A.I., Karaca, I., Celiker, H., Iikay. E., and Duman, S. 2002. Paradoxical rise
in blood pressure during ultrafiltration is caused by increased cardiac output. J
Nephrol.15, 42-7.
Guzik, T.J., dan Harrison, D.G. 2006. Vascular NADPH oxidases as drug targets
for novel antioxidant strategies. Drug Discovery Today; 11 (11-12): 52433.
Hansson, G.K. Inflammation, atherosclerosis, and coronary artery disease. N Engl
J Med 2005; 352: 168595
Hwang, S.J., Ballantyne, C.M., Sharrett, A.R.1997. Circulating adhesion
molecules VCAM-1, ICAM-1, and E-selectin in carotid atherosclerosis and
incident coronary heart disease cases: the Atherosclerosis Risk in
Communities (ARIC) study. Circulation;96:4219-25.
Indonesian Renal Registry (IRR), 2013. 5th Report of Indonesian Renal Registry
2011. Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI).
Inrig, J.K., Oddone, E.Z., Hasselblad, V., Gillespie, B., Patel, U.D., Reddan, D.,
Toto, R., Himmelfarb, J., Winchester, J.F., Stivelman, J., Lindsay, R.M., and
Szczech, L.A. 2007. Association of intradialytic blood pressure changes with
hospitalization and mortality rates in prevalent ESRD patients. Kid Int : 71;
45461.
Inrig, J.K., Patel, U.D., Toto, R.D., Szczech, L.A. 2009. AssLeeociation of Blood
Pressure Increases During Hemodialysis With 2-Year Mortality in Incident
Hemodialysis Patients: A Secondary Analysis of the Dialysis Morbidity and
Mortality Wave 2 Study. Am J Kidney Dis, November ; 54(5): 88190.
Inrig JK. 2010a. Intradialytic Hypertension: A Less-Recognized Cardiovascular
Complication of Hemodialysis. Am J Kidney Disease;55:580-89.
Inrig, JK. 2010b. Antihypertensive agents in hemodialysis patients; a current
perspective. Semin Dial;23:290-97.
Inrig, J.K., Buren, P.V., Kim, C.,Vongpatanasin, W., Povsic, T.J., Toto, R.D., 2011.
Intradialytic Hypertension and its Association with Endothelial Cell
Dysfunction. Clin J Am Soc Nephrol (8): 2016-24.
K/DOQI: Clinical Practice Guidelines on Hypertension and Antihypertensive
Agent in Chronic Kidney Disease. In Guideline 2 In: Evaluation of Patient
with CKD or Hypertension. CKD 2006: 1-18.
KDIGO, 2013. Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of
Chronic Kidney Disease. Kid Int Supplements (3); 18-27.
Kielstein, J.T., dan Zoccali, C. 2005. Asymmetric dimethylarginine: a
cardiovascular risk factor and a uremic toxin coming of age?. Am J Kid Dis;
46(2): 186202.
Krapf, R., Hulter, H.N. 2009. Arterial hypertension induced by erythropoietin and
erythropoiesis-stimulating agents (ESA). Clin J Am Soc Nephrol. Feb;4(2):470-
80
Kohan, D.E. 2010. Endothelin, Hypertension, and Chronic Kidney Disease: New
Insight. Curr Opin Nephrol Hypertens; 19(2):134-39.
Kovacic, L., Roguljic, V., Kovacic, B., Bacic, T., Bosnjak. 2003. Ultrafiltration
Volume is Associated with Changes in Different Blood Pressure Clinical
Parameters in Chronically Hemodialyzed Patients. The Internet Journal of
Internal Medicine. 3; 2:10.5580/2f3
Landry, D.W., and Oliver, J.A. 2006. Blood pressure instability during hemodialysis.
Kid Int: 69, 171011.
Levin NW, Kotanko P, Eckardt KU, et al. 2012. Blood pressure in chronic kidney
disease stage 5D-report from a Kidney Disease Improving Global Outcomes
controversies conference. Kidney Int; (77)273-84.
Locatelli, F., Cavalli, A., and Tucci, B. 2010. The growing problem of
intradialytic Hypertension. Nephrol; 6: 418.
Madiyono, B. 2010. In: Sastroasmoro S dan Ismael S., editors. Dasar-dasar
rd
Metodologi Penelitian Klinis. 3 . Ed. Sagung Seto.p 302-31.
Martens, C.R., dan Edwards, D.O. 2011. Peripheral Vascu;ar Dysfunction in Chronic
Kidney Disease. Cardiology Research and Practice;2011:1-9.
McGregor, D.O., Buttimore, A.L., Lynn, K.L., Yandle, T., and Nicholls, M.G., 2003.
Effects of long and short hemodialysis on endothelial function: A short- term
study. Kid Int(63); 70971.
McIntyre, C.W. 2009. Effects of hemodialysis on cardiac function. Kid Int : 76,
37175.
Mees, D. 1996. Rise in blood pressure during hemodialysis-ultrafiltration: a
paradoxical phenomenon? Int J Artif Organs;19:569-70.
Morris, S.T., McMurray, J., Spiers, A., and Jardine, A.G. 2001. Impaired endothelial
function in isolated human uremic resistance arteries. Kid Int; 60: 107782.
Nissenson, A.R., and Fine, R.N. 2008. Handbook of Dialysis Therapy. 4th ed.
Saunders Elsevier. Philadelphia.
Oberg, B.P., McMenamin, E, Lucas, F.L. 2004. Increased prevalence of oxidant
stress and inflammation in patients with moderate to severe chronic kidney
disease. Kid Int;. 65(3): 100916.
Peixoto AJ. 2007. Can diagnostic marker predict blood pressure response in
hypertensive dialysis patients? Semin Dial;20:411-15.
Pradhan, A.D., Manson, J.E., Rifai, N. 2001. C-ractive protein, interleukin-6 and
risk to developing type 2 diabetes mellitus. JAMA;286:327-34.
Raj, D., Vincent, B., Simpson, K., Sato, E., Jones, K.L., Welbourne, T.C., Levi,
M.V., Blandon, P., Zager, P., and Robbins, R.A. 2002. Hemodynamic changes
during hemodialysis: Role of nitric oxide and endothelin. Kid Int;61: 697704.
Raka, W.I.G., dan Suwitra, K. 2011. Paradoxical post dialytic blood pressure
th
reaction and association with dialysis modality. Buku Proceeding The 5
Scientific meeting on hypertension - InaSH 2011.
Rizzioli, E., Incasa, E., Gamberini, S., and Manfredini, R. 2009. Management of
intradialytic hypertension: old problem, old drug? Intern Emerg Med; 4:271
72
Rubinger, D., Backenroth, R., Sapoznikov, D. 2012. Sympathetic Activation and
Baroreflex Fuction during Intradialytic Hypertensive Episodes. PloS ONE;
7(5): 1-12
Sarkar, SR., Kaitwatcharachai, C., Levin, N.W. 2005. Complications during
hemodialysis. McGraw-Hill Professional.
Shafei, E.M., El-Nagar, G.F., Selim, M.F., Sorogy. 2008. Is There a role for
Endothelin-1 in the hemodynamic changes during hemodialysis? Clin Exp.
Nephrol. 12.370-5.
Sibal, L., Agarwal, S.C., Home, P.D. 2010. The role of asymmetric
dimethylarginine (ADMA) in endothelial dysfunction and cardiovascular
disease . C urr Cardiol Rev; 6 : 82 90.
Spranger, J., Kore, A., Mohlig, M. Inflammatory cytokines and the risk to develop
type 2 diabetes: results of the the prospective population-based European
Prospective Investigation into Cancer and Nutrition (EPIC)-Postdam Study.
Diabetes;52:812-7.
Suhardjono. 2006. Proteinuria Pada Penyakit Ginjal Kronik: Mekanisme dan
Pengelolaannya. Peranan Stres Oksidatif dan Pengendalian Faktor Risiko
pada Progresi Penyakit Ginjal Kronik serta Hipertensi, JNHC 2006; 1-7.
Tatsuya, S., Tsubakihara, Y., Fujii, M., Imai, E. 2004. Hemodialysis-associated
hypotension as an independent risk factor for two-year mortality in
hemodialysis patients. Kidney Int; 66:121220.
United States Renal Data System (USRDS). 2011. Annual Data Report: Atlas of
Chronic Kidney Disease and End-Stage Renal Disease in the United States,
National Institutes of Health, National Institute of Diabetes and Digestive and
Kidney Diseases, Bethesda, MD, 2011.
Van Buren, P.N., Kim ,C., Toto, R.D., Inrig, J.K. 2012. The Prevalance of
Persistent Intradialytic Hypertension in a Hemodialysis Population with
Extended Follow up. Int J Artif Organs. 2012;35(12):1031-8
Vervoort, G., Lutterman, J.A., Smits, P. 1999. Transcapillary escape rate of
albumin is increased and related to haemodynamic changes in normo-
albuminuric type 1 diabetic patients. J Hypertens; 17(12):1911-6.
Weir, M.R., and Jones, H. 2010. Drug Therapy for Hypertension in Hemodialysis
Patients. US Nephrology:5(1):457
Xiao, S., Wagner, L., Schmidt, R.J., and Baylis, C. 2001. Circulating endothelial
nitric oxide synthase inhibitory factor in some patients with chronic renal
disease. Kid Int; 59: 146672.

Yilmaz, M.I., Saglam, M., Caglar, K. 2006. The determinants of endothelial


dysfunction in CKD: oxidative stress and asymmetric dimethylarginine. Am J
Kid Dis; 47(1):4250.

Young, J.M., Terrin, N., Wang, X., Greene., T., Beck., G.J., Kusek, J.W, Collins.,
A.J, Sarnak, M.J., and Menon, V. 2009. Asymmetric Dimethylarginine and
Mortality in Stages 3 to 4 Chronic Kidney Disease. Clin J Am Soc Nephrol;4:
111520.
Zhang, Q.L., and Rothenbacher, D. 2008. Prevalence of chronic kidney disease in
population-based studies: Systematic review. BMC Public Health; 8:117;1-
13.
Lampiran 1. Persetujuan (Informed Consent)

PENJELASAN YANG DISAMPAIKAN KEPADA PENDERITA


SEBELUM MENANDATANGANI FORMULIR PERSETUJUAN IKUT
SERTA DALAM PENELITIAN

Pendahuluan
Persetujuan (Informed Consent) pada hakekatnya adalah untuk menghargai hak
individu untuk memperoleh penjelasan yang cukup dan tepat berkaitan dengan
penelitian yang akan dilaksanakans ebelum yang bersangkutan / calon peserta
penelitian membuat keputusan yang benar.
Informed consent seyogyanya mengandung hal-hal penting sebagai berikut:
1. Penjelasan rinci dengan mempergunakan bahasa yang mudah dimengerti
berkaitan dengan penelitian yang akan dilaksanakan.
2. Adanyan jaminan bahwa penderita mendapatkan kebebasan untuk
memutuskan apakah ikut serta aau menolak, oleh karena secara moral
maupun legal penderita memiliki hak untuk itu.

Penelitian ini tentang :

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP


HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1,
ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE

Latar Belakang
Hemodialisis (HD) merupakan tindakan untuk menggantikan sebagian dari
fungsi ginjal. Tindakan ini rutin dilakukan pada penderita penyakit ginjal kronik
(PGK) stadium V atau gagal ginjal kronik (GGK).
Penderita GGK semakin meningkat jumlahnya, tahun 2005 diperkirakan
mengenai 2 juta orang, dan tahun 2010 diperkirakan meningkat menjadi 2,5 juta
orang. Saat ini hampir setengah juta penderita GGK menjalani tindakan
hemodialisis (HD) untuk memperpanjang hidupnya (Nissenson dan Fine, 2008).
Tindakan HD saat ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, namun
masih banyak penderita mengalami masalah medis saat menjalani HD.
Komplikasi yang sering terjadi pada penderita yang menjalani HD adalah
gangguan hemodinamik. Tekanan darah umumnya menurun dengan dilakukannya
ultrafiltrasi (UF) atau penarikan cairan saat HD. Hipotensi intradialitik terjadi
pada 5-40% penderita yang menjalani HD reguler, namun sekitar 5-15% dari
pasien HD tekanan darahnya justru meningkat. Kondisi ini disebut hipertensi
intradialitik atau intradialytic hypertension /HID (Agarwal dan Weir, 2010;
Davenport et al., 2008).
Hipertensi intradialitik adalah suatu kondisi berupa terjadinya peningkatan
tekanan darah yang menetap pada saat HD dan tekanan darah selama dan pada
saat akhir dari HD lebih tinggi dari tekanan darah saat memulai HD (Chazot,
2010). Tekanan darah penderita bisa normal saat memulai HD, tetapi kemudian
meningkat sehingga pasien menjadi hipertensi saat dan pada akhir HD. Bisa juga
terjadi pada saat memulai HD tekanan darah pasien sudah tinggi dan meningkat
pada saat HD hingga akhir dari HD. Peningkatan tekanan darah ini bisa berat
sampai terjadi krisis hipertensi. Frekuensi dari HID dilaporkan sekitar 10% pada
pasien HD. Pada penelitian kohort yang dilakukan pada pasien HD didapatkan
12,2% pasien HD mengalami HID. Episode HID mempengaruhi survival pasien,
mortalitas meningkat jika tekanan darah post HD meningkat yaitu sistolik 180
mmHg dan diastolik 90 mmHg (rr =1,96 dan 1,73 berturut-turut). Pada pasien
dengan peningkatan tekanan darah 10 mmHg saat HD didapatkan peningkatan
risiko rawat inap di rumah sakit dan kematian (Inrig et al., 2009).
Pada pasien dengan gagal jantung biasanya dengan tekanan darah yang
rendah, saat HD juga terjadi peningkatan tekanan darah. Peningkatan tekanan
darah pada pasien ini tidak mencapai level hipertensi seperti pada pasien yang
tidak gagal jantung. Peningkatan tekanan darah ini juga meningkatkan risiko
kematian dengan peningkatan 10 mmHg saat HD, walaupun tekanan darah sistolik
pra HD 120 mmHg (Inrig et al., 2009).
Mekanisme terjadinya HID pada penderita dengan HD reguler sampai saat ini
belum sepenuhnya diketahui. Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab HID
seperti aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron system (RAAS) karena
diinduksi oleh hipovolemia saat dilakukan ultrafiltrasi (UF), overaktif dari
+ 2+
simpatis, variasi dari ion K dan Ca saat HD, viskositas darah yang meningkat
karena diinduksi oleh terapi eritropoeitin (EPO), fluid overload, peningkatan
cardiac output (COP), obat antihipertensi yang ditarik saat HD dan
vasokonstriksi yang diinduksi oleh endothelin-1 (ET-1). Di antara berbagai faktor
tersebut yang paling umum diketahui sebagai penyebab HID adalah stimulasi
RAAS oleh hipovolemia yang disebabkan oleh UF yang berlebihan saat HD dan
variasi dari kadar elektrolit terutama kalsium dan kalium (Chazot, 2010).
Pada saat HD dilakukan UF untuk menarik cairan yang berlebihan di darah,
besarnya UF yang dilakukan tergantung dari penambahan berat badan (BB)
penderita antar waktu HD dan target BB kering penderita yaitu BB di mana
penderita merasa nyaman, tidak ada sesak dan tidak ada tanda-tanda kelebihan
cairan. Pada penderita dengan HD reguler 2 kali seminggu, kenaikan BB antar
waktu HD disarankan tidak melebihi 2 kg sehingga UF yang dilakukan saat HD
sekitar 2 liter. Tetapi umumnya kenaikan BB penderita antar waktu HD melebihi
2 kg malah sampai 5 kg. Ultrafiltrasi yang dilakukan sesuai dengan kenaikan BB
interdialitik, sehingga pada kondisi ini dilakukan UF lebih dari 2 kg. Pada HD
dengan excessive UF atau UF berlebih banyak timbul masalah baik gangguan
hemodinamik maupun gangguan kardiovaskular (Nissenson dan Fine, 2008). Pada
saat dilakukan UF terjadi hipovolemia yang kemudian merangsang aktivitas
RAAS sehingga bisa menimbulkan kejadian HID (Chazot, 2010).
Asumsi yang berbeda dikemukan oleh Chou dkk yang melakukan penelitian
terhadap 30 pasien yang prone terhadap HID dan 30 orang kontrol, didapatkan
bahwa pada kelompok HID tidak didapatkan perubahan yang bermakna dari kadar
katekolamin, dan renin tetapi didapatkan peningkatan dari resistensi vaskular
sistemik dan penurunan kesimbangan rasio nitric oxide dan endothelin-1 (NO/ET-
1) (Chou et al., 2006).
Aktivitas dari sel endotel mempunyai peranan penting terhadap terjadinya
variasi tekanan darah selama HD. Perubahan volume cairan, dan rangsangan fisik
maupun hormonal menyebabkan produksi dari faktor-faktor yang melibatkan
kontrol tekanan darah pada sel endotel. Vasoaktif yang terpenting adalah nitric
oxide (NO) suatu vasodilator otot polos, Asymmetric dimethylarginin (ADMA)
100

yang merupakan inhibitor endogen dari nitric oxide synthase dan endothelin-1 (ET-
1) suatu vasokonstriktor yang kuat. Zat-zat ini mempunyai efek yang penting
terhadap aktivitas simpatis, vasokonstriksi perifer dan kontrol tekanan darah
khususnya termasuk kejadian HID (Locatelli et al, 2010). Disfungsi endotel dapat
menyebabkan perubahan terhadap tekanan darah saat HD, baik hipotensi maupun
hipertensi intradialitik Perubahan ini berhubungan dengan keterkaitan antara
endotel, sistem saraf simpatis dan kontrol dari resistensi vaskular perifer (Raj et
al., 2002). Terdapat perbedaan perubahan kadar NO dan ET-1 saat HD antara
kontrol dan penderita yang prone terhadap hipertensi. Pada saat HD berakhir
pada penderita HID terjadi peningkatan signifikan dari kadar ET-1 dan penurunan
signifikan pada rasio NO/ET-1 dibandingkan dengan kontrol (Chou et al., 2006).
Pada penelitian lain juga ditemukan bahwa pada individu dengan HID terjadi
peningkatan yang signifikan dari kadar ET-1 setelah HD (Shafey et al., 2008).
Pada penelitian Cohort case control 25 pasien HD reguler yang mengalami
episode HID, didapatkan hubungan antara HID dan disfungsi endotel. Pada
penelitian ini didapatkan bahwa disfungsi endotel dapat menjelaskan sebagian
penyebab kejadian HID (Inrig et al., 2011).
Penelitian-penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara
disfungsi endotel dengan kejadian HID, tetapi penyebab dari terjadinya disfungsi
endotel pada pasien dengan HID belum sepenuhnya dapat dipahami. Banyak hal
yang belum dapat diterangkan baik patofisiologi, mekanisme dan strategi terapi
yang tepat pada HID. Dari uraian di atas kami ingin mencari hubungan antara UF
yang berlebih saat HD dengan terjadinya episode HID melalui keterlibatan
disfungsi endotel. Kami ingin mengetahui hubungan antara UF yang berlebih saat
HD dengan disfungsi endotel pada pasien yang mengalami HID. Disfungsi
endotel ditandai dengan peningkatan konsentrasi ET-1 dan ADMA serta
penurunan NO serum.

Rumusan Masalah :
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut yaitu:
1. Apakah peningkatan kadar ET-1 serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

2. Apakah perubahan kadar ADMA serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

3. Apakah penurunan kadar NO serum saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

4. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID pada pasien dengan HD regular?

5. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum ?

6. Apakah UF berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum?

7. Apakah UF yang berlebih saat HD berkaitan dengan meningkatnya risiko

kejadian HID melalui perubahan kadar ADMA serum?

Tujuan Penelitian
Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah : Untuk mengetahui peranan UF dalam
patogenesis terjadinya HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan
menurunnya NO atau meningkatnya ET-1 atau meningkatnya ADMA) pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis reguler.

Tujuan khusus
Untuk membuktikan :
1. Pada pasien dengan HD regular, peningkatan kadar ET-1 serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.


2. Pada pasien dengan HD regular, perubahan kadar ADMA serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

3. Pada pasien dengan HD regular, penurunan kadar NO serum saat HD

berkaitan dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

4. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID.

5. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui penurunan kadar NO serum.

6. Pada pasien dengan HD regular, UF berlebih saat HD berkaitan dengan

meningkatnya risiko kejadian HID melalui peningkatan kadar ET-1 serum.

7. Pada pasien dengan HD regular, UF yang berlebih saat HD berkaitan

dengan meningkatnya risiko kejadian HID melalui perubahan kadar

ADMA serum.

Manfaat Penelitian
Manfaat akademis
Jika pada penelitian ini terbukti bahwa UF yang berlebih saat HD berperan
dalam terjadinya HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya
kadar ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada penyandang
HD reguler, maka dapat memberikan kontribusi ilmiah berkaitan dengan UF yang
berlebih sebagai dasar patogenesis HID melalui disfungsi endotel.

Manfaat praktis
Secara praktis, jika terbukti UF yang berlebih saat HD sebagai faktor risiko
kejadian HID melalui disfungsi endotel (ditandai dengan meningkatnya kadar
ADMA atau meningkatnya ET-1 atau menurunnya NO) pada pasien HD reguler
maka usaha-usaha untuk menekan disfungsi endotel melalui penentuan UF yang
tepat dapat digunakan oleh para klinisi dalam penanganan kasus HID.
Tatalaksana penelitian :
1. Prosedur yang dilaksanakan pada penderita sesuai dengan protap rutin dan
penunjang lainnya maupun pengelolaan / perawatan
2. Prosedur tambahan pada penelitian ini adalah pengambilan darah vena untuk
pemeriksaan ADMA, NO dan ET-1
Pembiayaan terkait :
Poin 1 : adalah ditanggung penderita
Poin 2 : adalah ditanggung peneliti

Risiko selama prosedur penelitian berlangsung :


Akibat langsung dari penelitian ini (pengambilan darah vena) tidak ada, hanya
berupa rasa sakit saat pengambilan sampel darah

Hal-hal lain yang juga perlu mendapatkan perhatian :


1. Meskipun prosedur penelitian telah dilaksanakan secara cermat, apabila
terjadi risiko atau ketidaknyamanan selama penelitian berlangsung yang
diakibatkan langsung oleh pengambilan darah maka akan dirundingkan
bersama.
2. Penelitian ini bersifat sukarela maka penderita dapat mengundurkan diri jika
terdapat hal-hal lain yang dirasakan merugikan.
3. Hasil penelitian sepenuhnya akan dipakai untuk kepentingan keilmuan, tidak
untuk kepentingan publikasi (media masa).
4. Penjelasan ini, serta surat persetujuan dibuat rangkap dua; satu untuk penderita
dan satu untuk peneliti.

Penutup :
Untuk dapat berlangsungnya penelitian dengan baik, maka mutlak diperlukan
kerjasama yang baik antara penderita / keluarga dan peneliti.
Surat Persetujuan
Ikut Serta dalam
Penelitian
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : .....................................................................................
Umur : .....................................................................................
Jenis Kelamin : .....................................................................................
Etnia : .....................................................................................
Pekerjaan : .....................................................................................
Alamat : .....................................................................................
No. KTP : .....................................................................................
No.Telp/HP : .....................................................................................
Nama Pendamping : .....................................................................................
No. Tel/HP Pendamping : .....................................................................................

Setelah mendapatkan keterangan secukupnya dan memahami serta menyadari manfaat


maupun risiko penelitian tentang :
PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP
HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1,
ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE
Dengan sukarela menyetujui diikutsertakan dalam penelitian tersebut serta mematuhi
segala ketentuan penelitian yang sudah dipahami, dengan catatan apabila suatu saat
merasa dirugikan dalam bentuk apapun, berhak membatalkan persetujuan ini.

Denpasar, 2012

Mengetahui Yang menyetujui

Penanggung jawab penelitian Peserta penelitian

( (.)

) Saksi Pihak Peneliti Saksi Pihak Peserta Penelitian

( ) ( )

Lampiran 2
Prosedur pemeriksaan ADMA (Asymmetric Dimethylarginine) produk DLD
Diagnostics) Cat. No. 17 EA 201-96
Konsentrasi ADMA adalah kadar ADMA dalam serum yang diukur
dengan quantittatif sandwich enzyme immunoassay (ELISA) satuannya mol/l.

1. Metode : ELISA ( Enzym Link Immuno Assay) Alat


: Micro reader panjang gelombang 450 nm

Reagensia : ADMA
o
Sampel : Serum 0.5 CC , Stabilitas sampel 6 bulan pada suhu 70 C

2. Prinsip : Quantitative sandwich enzyme immunoassay technique


Monoclonal antibodi spesifik untuk ADMA di precoated ke dalam Microplate
precoated antibodi

Serum + enzyme linked poliklonal ( rabbit anti-ADMA antiserum )

Reaksi Ag Ab. Pencucian (untuk melepaskan ikatan antigen / free antigen


berlebih ) + anti-rabbit / peroxidase, inkubasi conjugate solution, Inkubasi

Pencucian, + Substrate TMB/peroxidaase komplek warna + Stop


solution Antibodi yang terikat pada solid phase ADMA dibaca pada panjang
gelombang 450 nm. Jumlah antibodi yang terikat pada phase solid ADMA
jumlahnya berbanding terbalik dengan konsentrasi ADMA dalam sampel.

3. Langkah Pemeriksaan:

a. Persiapkan reagen

- Larutan Pencuci: 50 ml larutan buffer pencuci diencerkan dengan


aqua dest hingga 500 ml.

- Reagen penyeimbang : reagen penyeimbang dilarutkan dengan 5 mL


aquadest, dicampur perlahan dan diletakkan di atas roll mixer selama
30 menit. Selama pencampuran diusahakan agar tidak terbentuk
gelembung.

- Reagen Asilasi : satu botol reagen ini dilarutkan dengan


dimetilformamida (DMF) dan dikocok selama 5 menit di atas orbital
shaker. Reagen yang dibuat harus baru sebelum digunakan.

b. Persiapan sampel

- Ke dalam plate reaksi dimasukkan 20 L larutan standar A sampai F, 20


L kontrol 1 dan 2 serta 20 L sampel pasien.
- Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 L larutan penyangga
asilasi.
- Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 L larutan
penyeimbang.
- Plate reaksi diletakkan di atas shaker selama 10 menit.
- Setiap sumur pada plate reaksi diisi dengan 25 L larutan asilasi yang
baru dibuat.
- Inkubasi dilakukan di atas shaker selama 30 menit pada suhu ruang
o
(20 C).
- Sebanyak 1.5 mL larutan penyeimbang dilarutkan ke dalam 9 mL
aquadest, dicampur dan dipipet 100 L ke dalam setiap sumur reaksi.
- Inkubasi dilakukan selama 45 menit pada suhu ruang di atas shaker.

c. Prosedur ELISA ADMA.

- Standar, kontrol dan sampel yang telah dipreparasi dipipet masing-


masing 50 L ke dalam sumur strip mikrotiter yang telah dilabel.
- Setiap sumur reaksi diisi dengan 50 mL antiserum ADMA dan dishaker
sebentar.
- Mikroteter strip ditutup dengan plastik perekat dan diinkubasi selama
o
15-20 jam pada suhu 2 8 C.
- Larutan dalam mikrotiter dihisap dengan mesin pencuci atomatis
dengan menggunakan larutan pencuci yang telah dibuat dan dibilas
sebanyak 4 kali.
- Setiap sumur reaksi ditambahkan 100 L enzim konjugat, selanjutnya
diinkubasi selama 60 menit pada temperatur ruang di atas orbital
shaker.
- Dicuci dan dibilas 4 kali dengan larutan pencuci.
- Setiap sumur reaksi diisi dengan 100 L substrat dan diinkubasi
selama 20 30 menit pada temperatur ruang dan di atas orbital shaker.
- Ditambahkan 100 mL larutan stop ke dalam setiap sumur reaksi.
- Larutan dibaca dengan reader ELISA (photometer) pada panjang
gelombang 450 nm dan panjang gelombang reference 620 nm.

d. Interprestasi

- Hasil Bisa diinterpretasikan setelah data hasil pemeriksaan ADMA


diolah SPSS sesuai spesimen dari subyek yang diteliti
Lampiran 3

Prosedur Pemeriksaan Human Endothelin-1 (R&D


systems) Cat No. : BBE 5
Konsentrasi ET-1 adalah kadar endotelin satu dalam serum yang diukur
dengan ELISA satuannya pq/ml. Pemeriksaan Human Endothelin 1 (R&D
systems) dengan menggunakan Cat. No. : DET 100.

1. Metode : ELISA
Alat : Micro reader panjang gelombang 450

nm Reagensia : Endothelin - 1
o
Sampel : Serum 0.5 CC , Stabilitas sampel 6 bulan pada suhu - 70 C

2. Prinsip Pemeriksaan
Pemeriksaan ini menggunakan teknik quantitatif sandwich enzyme immuno-
assay. Sebelumnya antibody monoklonal spesifik untuk ET 1 telah di-coated
dalam microplate. Standard, sample, control, dan conjugate dipipet ke dalam
well dan keberadaan ET 1 akan disandwich (dipasangkan) oleh immobilized
antibody dengan antibody enzyme-linked monoklonal spesifik untuk ET 1.
Setelah dilakukan pencucian untuk menghilangkan substansi- substansi yang
tidak terikat dan atau reagen antibody-enzyme, selanjutnya larutan substrat
ditambahkan ke dalam well dan kemudian terbentuklah pembentukan warna
yang sebanding dengan jumlah ET 1 yang terikat. Pembentukan warna
dihentikan dan kemudian intensitas warna diukur.

3. Penanganan Reagen
- Wash Buffer
Encerkan 20 mL wash buffer konsentrat ke dalam Aquabidest untuk
persiapan 500 mL Wash Buffer.

- Calibrator Diluent RD5-48

Larutkan 5 ml calibrator diluent RD5-48 dalam Aquabidest sehingga


larutan akhir 25 ml.

- Larutan Substrate

Color Reagen A dan Color Reagen B di campur dengan perbandingan


volume yang sama. Dibuat 15 menit sebelum digunakan. Lindungi dari
sinar matahari.

- Endothelin-1 Standard

Larutkan Endothelin-1 Standard dengan 1 mL aquabidest. Larutan


tersebut merupakan Larutan stock standard dengan konsentrasi 250 pg/ml.
Biarkan minimal 15 menit dengan pengocokan.
Pipet 900 L Calibrator Diluent masukkan ke dalam masing-masing tabung.
Gunakan larutan stok untuk mendapatkan serial larutan seperti gambar di
bawah ini.

4. Prosedur Kerja
1. Siapkan semua reagen, sampel, dan standard.
2. Tambahkan 150 l Assay Diluent RD1-105 ke dalam well.
3. Tambahkan 75 l standard, kontrol, dan sampel ke dalam masing-masing
well, campur dengan baik. Pastikan penambahan reagen tak terputus dan
selesai dalam waktu 10 menit.
4. Tutup plate dengan plate sealer yang tersedia dan inkubasi pada suhu
kamar selama 1 jam dengan shaker.
5. Buang isi dari tiap well dan cuci dengan menambahkan 400 l Wash Buffer
ke dalam masing-masing well. Ulangi proses tersebut sebanyak 3 kali (total
pencucian sebanyak 4 kali). Setelah pencucian terakhir, buang isi dari well,
buang sisa Wash Buffer dengan mengetuk-ngetukkan plate secara terbalik
pada lap kertas yang bersih.
6. Segera tambahkan 200 l Conjugate ke dalam masing-masing well. Tutup
plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar selama 3 jam
dengan shaker.
7. Ulangi proses no. 5
8. Segera tambahkan 200 l Substrate Solution ke dalam masing-masing
well. Tutup plate dengan plate sealer baru, inkubasi pada suhu kamar
selama 30 menit, lindungi dari cahaya.
9. Tambahkan 50 l Stop Solution ke dalam masing-masing well.
10. Tentukan optical density dari tiap well dalam waktu 30 menit
menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 450 nm dan
panjang gelombang koreksi pada 540 nm atau 570 nm.
Lampiran 4

Pemeriksaan NITRIC OXIDE (NO) (Cayman)


Konsentrasi NO adalah kadar nitric oxide dalam serum yang diukur
dengan Colory metri/ Cayman satuannya M.

Prosedur pemeriksaan Nitrate / Nitrite, Cat. No. 7 80001

1 . Metode : Colorimetric Assay


Alat : Micro reader panjang gelombang 450

nm Reagensia : Nitrate/Nitrite Cayman

Nitarte reductase

1. Prinsip : Nitrate( NO3- ) Nitrite ( NO2-)


di + Sulfanilamide(Griess Reagen I) & N-ethylenediamine (Gries Regaenn
II) Azo compound product ( deep purple).

Ukur absorbent dari azo compound secara photomethrik pada panjang


gelombang 450 nm. Konsentrasi Nitrite (NO 2-) yg terukur sebanding dengan
azo compound yg terbentuk.

2. Langkah Pemeriksaan:

a. Pengambilan spesimen

5 cc darah vena tanpa antikogulan yang diambil secara aseptic, biarkan


darah membeku. Kemudian disentrifuse 3000 RPM/10 menit. Pisahkan
serum dimasukkan ke dalam 3 cup fezer masing masing 500 ul,
o
kemudian diberi label dan disimpan di frezer (-20 C). Sampel serum
dikirim ke LITBANG Laboratorium Riset Eksoterik Pusat Prodia Pusat di
Jakarta disimpan di suhu 70 o C.

b. Penanganan Reagen

1. Assay Buffer
Encerkan Assay Buffer vial sampai 100 ml dengan air Ultrapure.
2. Nitrate Reductase (vial #2)
Larutkan isi vial dengan 1.2 ml Assay Buffer. Tetap dalam ice
selama digunakan. Simpan di -20C jika tidak digunakan.

3. Enzyme Cofactors (vial #3)


Larutkan isi vial dengan 1.2 ml Assay Buffer. Tetap dalam ice
selama digunakan. Simpan di -20C jika tidak digunakan.

4. Nitrate Standard (vial #4)


Larutkan isi vial dengan 1.0 ml Assay Buffer. Simpan di 4C jika
tidak digunakan (jangan dibekukan).
110

5. Nitrite Standard (vial 5)


Larutkan isi vial dengan 1.0 ml Assay Buffer. Simpan di 4C jika
tidak digunakan (jangan dibekukan).

6. Griess reagent R1 and R2 (vial 6 dan 7)


Tidak perlu penambahan air atau Assay Buffer. Vial sudah siap
untuk digunakan. Simpan di 4C jika tidak digunakan (jangan
dibekukan).

c. Prosedur Kerja
1. Tambahkan 200 l air atau Assay Buffer ke dalam well.
2. Tambahkan 80 l sampel/larutan sampel ke dalam well. Jumlah
volume final disesuaikan sampai 80 l dengan Assay Buffer
solution.
3. Tambahkan 10 l enzyme cofactor mixture (vial 3) ke dalam well.
4. Tambahkan 10 l Nitrate reduktase mixture (vial 2) ke dalam well.
5. Tutup plate dengan plate cover, inkubasi pada suhu kamar selama 1
jam.
6. Tambahkan 50 l Griess Reagent R1 (vial 6) ke dalam well.
7. Segera Tambahkan 50 l Griess Reagent R2 (vial 7) ke dalam well.
8. Biarkan terjadi perubahan warna selama 10 menit pada suhu ruang.
Plate tidak perlu ditutup.
9. Tentukan absorbansi pada panjang gelombang 540 nm atau 550 nm.
Lampiran 5. Uraian Jadwal Kegiatan

Jadwal Penelitian dilakukan pada bulan September 2012 sampai Oktober 2012

Uraian Jadwal kegiatan Rencana Penelitian

NO. Kegiatan Bulan


7 8 9 10 11 12 1 2 3 4
1. Survey x
2 Sosialisasi penelitian x x
3 Persiapan alat-alat penelitian x x
4 Persiapan subyek penelitian x x
5 Pelaksanaan Penelitian x x
6 Pengolahan dan Analisis Data x x x
7 Pembuatan laporan hasil penelitan x x
Lampiran 6.

Rincian Biaya

Biaya yang akan dikeluarkan dalam penelitian ini adalah:

a. Biaya Bahan dan Alat

1) Kit pemeriksaan NO, ET-1, ADMA Rp. 93.000.000,00@

Rp. 14.400.000,00

2) Pemeriksaan Na, K, Ca Rp 42.000.000,00

b. Biaya Operasional Rp. 6.300.000,00

1) Honor Pembantu peneliti 6 orang

@ 50.000 selama 21 hari

c. Biaya ATK

1) 20 rim kertas A4 berat 80 gram Rp. 600.000,00

2) Alat-alat tulis Rp. 200.000,00

3) Foto kopi kuesioner Rp. 200.000,00

d. Biaya tidak terduga Rp. 2.750.000,00

Total biaya Rp. 145.050.000,00

Total biaya yang dibutuhkan dalam penelitian ini sebesar Rp. 145.050.000,00
Lampiran 7.

KUESIONER
PENELITIAN

PERANAN ULTRAFILTRASI TERHADAP


HIPERTENSI INTRADIALITIK DAN HUBUNGANNYA
DENGAN PERUBAHAN KADAR: ENDOTHELIN-1,
ASYMMETRIC DIMETHYLARGININ DAN NITRIC OXIDE

I. IDENTITAS
1. Nama
: ....................................................................
2. Sex :
....................................................................
3. Umur
: ....................................................................
4. Suku Bangsa :
....................................................................
5. Alamat :
....................................................................
6. Nomor telp.
: ....................................................................
7. Pendidikan :
....................................................................
8. Pekerjaan
: ....................................................................
9. Nama pendamping :
....................................................................
10. No. Telp Pendamping
....................................................................:

II. ANAMNESIS
1. Riwayat Penyakit:
a. HD pertama kali : .
(Tgl/Bln/Tahun) b. Lama HD :
. (bulan)
c. Jadwal HD : .
d. Riwayat Penyakit :
i. DM : ya/tidak
ii. Penyakit Jantung : ya/tidak
iii. Batu saluran kemih : ya/tidak
iv. Hipertensi : ya/tidak
v. MRS dalam 6 bulan terakhir : ya/tidak
2. Riwayat sosial
a. Minum kopi : ya/tidak
b. Merokok : ya/tidak
c. Minum alkohol: ya/tidak
III. PEMERIKSAAN FISIK Pre HD
Diperiksa tanggal : Oleh :
BB Kering :
..Kg
BB saat ini :
. Kg Tinggi
Badan :
. cm Lingkar
Pinggang : ..
cm Tekanan Darah :
.. mmHg
Frekuensi Pernafasan :
.. x/mnt Denyut nadi
: ..
x/menit Keadaan Umum : ( ) Baik ( )
Sedang ( ) Buruk Sianosis :( )
ada ( ) Tidak ada
Anemia : ( ) ada ( ) Tidak ada
Telinga : ( ) ada kelainan ( ) Tidak
ada kelainan Hidung : ( ) ada kelainan
( ) Tidak ada kelainan Gigi mulut : ( ) ada
kelainan ( ) Tidak ada kelainan Tenggorokan
: ( ) ada kelainan ( ) Tidak ada kelainan Leher
: ( ) ada kelainan ( ) Tidak
ada kelainan
JVP :
..
JANTUNG
Auskultasi :
a. S1 : ( ) ada kelainan( ) Tidak ada kelainan
b. S2 : ( ) ada kelainan( ) Tidak ada kelainan
c. Murmur : ( ) ada ( ) Tidak ada
Thrill : ( ) ada ( ) Tidak ada
Ictus cordis : intercostals .. kiri / kanan,
garis .. PARU
Suara nafas : /..
Ronchi : /..
Whexxing : /..
ABDOMEN
Hepar : ( ) Tidak teraba ( ) Teraba
Limpa : ( ) Tidak teraba ( ) Teraba
Asites : ( ) ada ( ) Tidak
ada EKSTREMITAS
Edema : ( ) ada ( ) Tidak ada
AV shunt : ( ) ada ( ) Tidak
ada Bila ada, Lokasi :
.
IV. ELEKTROKARDIOGRAM
( ) Normal
( ) Q Waves,
lokasi: ....................................................................................
( ) ST Elevasi,
lokasi: ................................................................................
( ) ST Depresi,
lokasi: ..................................................................................
( ) T Inversi,
lokasi: ....................................................................................

V. FOTO ROTGENT THORAK


( ) Normal
( ) sembab
paru ( )
Kardiomegali
( ) Efusi
Pleura

VI. USG GINJAL


( ) contracted kidney ( ) Batu Ginjal
( ) Policystic kidney ( ) Hideonefrosis

VII. PEMERIKSAAN
LABORATORIUM
Nil
Pre ai Post HD
HD

No. Jenis
Pemeriksaan
1. Hemoglobin (mg
2. %)
BUN (mg/dl)
3. SC (mg/dl)
4. Albumin (mg/dl)
5. Gula Darah (mg/dl)
6. Natrium
7. Calsium ion
8 Kalium (meq/L)
9. ET-1 (pq/ml)
10 ADMA (mol/L)
.
11 NO (M)
.
VIII. DIAGNOSIS





IX. TERAPI
1. Asam Folat ( ) Ya ( ) Tidak
2. Calsium carbonat( ) Ya ( ) Tidak
3. Lantanum ( ) Ya ( ) Tidak
4. Keto acid ( ) Ya ( ) Tidak
5. Captopril ( ) Ya , Dosis .. ( )
Tidak
6. Lisinopril ( ) Ya , Dosis .. ( )
Tidak
7. Ramipril ( ) Ya , Dosis .. ( )
Tidak
8. losartan ( ) Ya , Dosis .. ( )
Tidak
9. Irbesartan ( ) Ya , Dosis .. ( )
Tidak
10. Candesartan ( ) Ya , Dosis
.. ( ) Tidak
11. Betabloker ( ) Ya , Dosis
.. ( ) Tidak
12. Clonidin ( ) Ya , Dosis
.. ( ) Tidak
13. Diuretik ( ) Ya , Dosis
.. ( ) Tidak
14. CCB ( ) Ya , Dosis .. (
) Tidak
15. Statin ( ) Ya , Dosis
.. ( ) Tidak
16. Allupurinol ( ) Ya , Dosis
.. ( ) Tidak
17. Eritropoetin
a. Ya Jenis .. Dosis

b. Tidak
18. Besi Parenteral
a. Ya Jenis .. Dosis .
b. Tidak

X. PENGAMATAN PENDERITA
a. Data pengamatan 6 kali HD
H BERAT BADAN TEKANAN DARAH ULTRAFILTRAS
D I
PRE HD POST HD PRE HD POST HD

1.

2.
3.

4.

5.

6.
b. Data kejadian selama HD (pengamatan 6 kali HD)

TINDAKA PENGAMATA Bera UFR U QD QD


N HD N (MENIT) t F
bada
1 0 (Pre
HD)
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
2. Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
3 Pre HD
30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
TINDAKA PENGAMATA Bera UFR UF QD QD
N HD N (MENIT) t
bada
4 Pre HD
. 30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
5 Pre HD
. 30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
6 Pre HD
. 30
60
90
120
150
180
210
240
Post HD
XI. Hipertensi Intradialitik : ( ) Ya ( ) Tidak

XII. Perubahan hasil laboratorium pre post HD

No Pemeriksaa Tetap Meningkat Menurun


n
1 Endothelin-1

2 Nitric Oxide

3 ADMA

4 Natrium
5 Calsium ion
120

Lampiran 8.

Penelitian Yang Berhubungan dengan

HID Yang Memiliki Kemiripan Dengan

Rencana Penelitian

No. Journal Judul Peneliti Metode penelitian Kesimpulan

1. Clin J Am Intradialytic Jula K. Penelitian case-control cohort Intradialytic


Soc Nephrol Hypertension Inrig,et al study , sampel 25 pasien hypertension is
6: 2016 and its hemodialisis associated with
2024, 2011 Association (HD) tanpa HID (kontrol ) dan endothelial cell
with 25 pasien HD dengan HID dysfunction
Endothelial
Cell
Dysfunction
2. Kidney Physiological K-J Chou Penelitian case control. The physiological
International changes et al Sampel 30 pasien HD yang changes in intradialysis
(2006) 69, during prone terhadap HID, dan hypertension patients
18331838 hemodialysis kontrol 30 pasien HD yang were characterized by
in patients tidak prone terhadap HID inappropriately increased
with PVR through
intradialysis mechanisms that did not
hypertension involve sympathetic
stimulation or renin
activation but might be
related with altered
NO/ET1 balance.
3. Kidney Effects of long David O. randomized crossover- hemodialysis caused a
International, and short Mcgregor controlled trial temporary improvement
Vol. 63 (2003),
pp. 709715 hemodialysis et al , sampel : 8 pasien dengan HD in endothelial dependent
on endothelial reguler vasodilation,
function: may have been due in
A short-term part to a reduction in
study plasma ET-1
,and t Hcy and an
increase in
adrenomedullin
concentration across
hemodialysis
4. Kidney Hemodynamic Dominic The serumnitrate_nitrite (NT), Pre-dialysis FENO is
International, changes S.C. Raj et fractional exhaled elevated in patients with
Vol. 61 (2002), NOconcentration (FENO), l- dialysis-induced
pp. 697704 during al
arginine (L-Arg), NGNG-dimethyl- hypotension and may be a
hemodialysis:
l-arginine (ADMA) and more reliable than NT as a
Role of nitric marker for endogenous
endothelin (ET-1) profiles were
oxide and NOactivity in dialysis
stud ied in 27 end-stage renal
endothelin disease (ESRD) patients on HD patients. Altered NO/ET-1
and- 6 matched controls. balance may be involved in
the pathogenesis of rebound
hypertension and
hypotension during dialysis.
Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian
Lampiran 10. Ethical Clearance

Вам также может понравиться

  • Bab Ii
    Bab Ii
    Документ29 страниц
    Bab Ii
    Friska Marla Novieanty
    Оценок пока нет
  • Resume Kasus Ok Wiedy Suciati Dewi
    Resume Kasus Ok Wiedy Suciati Dewi
    Документ43 страницы
    Resume Kasus Ok Wiedy Suciati Dewi
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • ASKEP Thalasemia
    ASKEP Thalasemia
    Документ1 страница
    ASKEP Thalasemia
    Sposato Con Kedju Sharma
    Оценок пока нет
  • LK Kasus Kelolaan
    LK Kasus Kelolaan
    Документ10 страниц
    LK Kasus Kelolaan
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • HDR
    HDR
    Документ29 страниц
    HDR
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Catatan Patograf
    Catatan Patograf
    Документ7 страниц
    Catatan Patograf
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • LK Kompre Wiedy Beres
    LK Kompre Wiedy Beres
    Документ22 страницы
    LK Kompre Wiedy Beres
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Askep Laparotomi
    Askep Laparotomi
    Документ28 страниц
    Askep Laparotomi
    Salman Mubarak
    Оценок пока нет
  • HDR
    HDR
    Документ29 страниц
    HDR
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • SAP Preeklampsia Edit 1
    SAP Preeklampsia Edit 1
    Документ11 страниц
    SAP Preeklampsia Edit 1
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Rundown
    Rundown
    Документ11 страниц
    Rundown
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Imunisasi Pada Anak
    Imunisasi Pada Anak
    Документ35 страниц
    Imunisasi Pada Anak
    Anonymous neelG7moU4
    Оценок пока нет
  • Leaflet Kompre Wiedy
    Leaflet Kompre Wiedy
    Документ3 страницы
    Leaflet Kompre Wiedy
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • LK Kasus Kelolaan
    LK Kasus Kelolaan
    Документ10 страниц
    LK Kasus Kelolaan
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Cover
    Cover
    Документ2 страницы
    Cover
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Jurnal Fraktur
    Jurnal Fraktur
    Документ19 страниц
    Jurnal Fraktur
    ssandraliani
    67% (3)
  • SAP Pap Smear
    SAP Pap Smear
    Документ8 страниц
    SAP Pap Smear
    wiedy23
    50% (2)
  • Sap KB
    Sap KB
    Документ25 страниц
    Sap KB
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • SAP Preeklampsia Edit 1
    SAP Preeklampsia Edit 1
    Документ11 страниц
    SAP Preeklampsia Edit 1
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • SAP Stroke Azalea
    SAP Stroke Azalea
    Документ14 страниц
    SAP Stroke Azalea
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • AANNEMI
    AANNEMI
    Документ15 страниц
    AANNEMI
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Imunisasi Pada Anak
    Imunisasi Pada Anak
    Документ35 страниц
    Imunisasi Pada Anak
    helvia
    Оценок пока нет
  • Audiometri Dan Interpretasinya
    Audiometri Dan Interpretasinya
    Документ9 страниц
    Audiometri Dan Interpretasinya
    wiedy23
    0% (1)
  • Resume Fix Kasus 1
    Resume Fix Kasus 1
    Документ11 страниц
    Resume Fix Kasus 1
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Unud-5vbvbnm Dyekandarini SPPD-KGH PDF
    Unud-5vbvbnm Dyekandarini SPPD-KGH PDF
    Документ122 страницы
    Unud-5vbvbnm Dyekandarini SPPD-KGH PDF
    Putu Budiastawa
    Оценок пока нет
  • Makanan Dengan Zat Besi Tinggi
    Makanan Dengan Zat Besi Tinggi
    Документ6 страниц
    Makanan Dengan Zat Besi Tinggi
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Obat
    Obat
    Документ2 страницы
    Obat
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Osteo Sarko Ma
    Osteo Sarko Ma
    Документ23 страницы
    Osteo Sarko Ma
    wiedy23
    Оценок пока нет
  • Mastoiditis
    Mastoiditis
    Документ14 страниц
    Mastoiditis
    Agus Pratiwa
    Оценок пока нет