Вы находитесь на странице: 1из 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanaman temulawak termasuk suku Zingiberaceae tumbuhan ini
berasal dari kawasan Indo-Malaysia , dan telah tersebar luas di seluruh
nusantara. Sejak dahulu temulawak telah dimanfaatkan masyarakat dalam
bentuk jamu dan sebagainya. Temulawak merupakan salah satu tanaman
obat yang telah diketahui khasiatnya terutama (menambah nafsu makan),
(pelancar asi), ( penurun kolesterol), melindungi lambung dan mengatasi
gangguan pencernaan seperti radang lambung, perut kembung, diare,
disentri dan sebagainya dan juga berkhasiat anti radang dan anti bakteri
pada temulawak efektif mengatasi peradang seperti jerawat, radang sendi
dan asma. Temulawak juga berkhasiat membantu mengatasi gangguan
hati dan empedu, sakit liver (kuning), demam, radang saluran nafas
(bronchitis) (Wijayakusuma, 2007).
Kandungan kimia rimpang temulawak mengandung zat warna
kuning (kurkumin), serat, pati, kalsium oksalat, minyak atsiri seperti
kamfer, xanthorizol, borneol, dan zingibern (Hariana, 2006) dan juga
mengandung saponin, flavonoida(Ditjen POM, 2000)
Obat tradisional bermanfaat bagi kesehatan dan kini dipromosikan
penggunaannya karena lebih mudah dijangkau masyarakat, baik harga
maupun ketersediaan kendala utama mengkonsumsi obat tradisional
adalah proses peracikan yang dianggap merepotkan sehingga tidak jarang
menimbulkan rasa tidak nyaman untuk mengkonsumsinya. Untuk tujuan
efisiensi, mudah dan praktis dalam penggunaan perlu dibuat dalam bentuk
sediaan seperti bentuk tablet dan kapsul sehingga menjadi praktis untuk
dikonsumsi (Suharmiati, 2006)
Penyakit infeksi merupakan penyakit yang banyak diderita
masyarakat Indonesia sejak dulu dan masih merupakan masalah kesehatan
utama di seluruh dunia, diantaranya adalah infeksi usus (diare), dan
infeksi paru.
Dalam rangka pengembangan obat tradisional maka temulawak (Curcuma
Xanthoriza,Roxb). Dibuat menjadi ekstrak untuk selanjutnya di uji

1
aktivitas anti bakterinyadan juga dibuat sediaan obat dalam bentuk
topical untuk memudahkan masyarakat dalam penggunaannya.

1.2. Perumusan Masalah


1. Apakah ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma Xanthoriza
Roxb) dapat diformulasikan sebagai Emulgel antijerawat ?
2. apakah ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma Xanthoriza
Roxb.) mempunyai efek bakteri?

1.3. Hipotesis
1. Ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb)
mempunyai aktivitas antibakteri
2. Ekstrak etanol rimpang temulawak Curcuma Xanthoriza Rox dapat
diformulasikan sebagai emulgel anti jerawat

1.4. Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol rimpang
temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb) .
2. Untuk membuat sediaan gel antijerawat dari ekstrak etanol rimpang
temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb)
3. Untuk menguji aktivitas ekstrak etanol rimpang temulawak (Curcuma
Xanthoriza Roxb).

1.5. Manfaat Penelitian


1. Diharapkan temulawak ini dapat berkembang menjadi obat fitofarmaka
yang bersifat antibakteri khususnya untuk pengobatan topical sebagai
antijerawat
2. Formula rimpang temulawak yang dibuat dalam sediaan gel ini
ditunjukkan untuk memudahkan masyarakat dalam penggunaannya.

1.6. Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bahan Alam Sekolah Tinggi
Farmasi Indonesia, Jalan Soekarno Hatta No. 354 Bandung.

Tabel 1.6 Perancangan waktu penelitian


No Jenis Kegiatan APRIL-MEI
Tahun 2017
Minggu ke
1 2 3 4 5 6 7 8
1 Persiapan bahan baku, Skrining

2
Fitokimia dan Uji Parameter
Spesifik
2 Ekstraksi
3 Ekstraksi
4 Skrining Hasil Ekstrak
5 Kromatografi Lapis Tipis
6 Simulasi & Preformulasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1 Temu lawak (Curcuma xanthorrhiza)

3
Gambar 2.1.Curcuma xanthorrhiza

2 Klasifikasi Tumbuhan
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Famili : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Species : Curcuma xanthorrhiza ROXB

3 Deskripsi Tumbuhan
Temulawak adalah salah satu tumbuhan dari 19 jenis temu-temuan
keluarga Zingiberaceae yang tumbuh di Indonesia dan sudah lama dikenal sebagai
tumbuhan obat yang digunakan untuk menjaga kesehatan dan pengobatan
tradisional penyakit kuning dan gangguan hati, diare, sembelit, pegal linu,
penambah nafsu makan, pencuci darah, mengatasi gangguan sekresi empedu,
pelancar ASI, dan lain-lain.
Batang temu lawak termasuk tanaman tahunan yang tumbuh merumpun.
Tanaman ini berbatang semu dan habitusnya dapat mencapai ketinggian 2 2,5
meter. Tiap rumpun tanaman terdiri atas beberapa tanaman (anakan), dan tiap
tanaman memiliki 2 9 helai daun.
Daun tanaman temulawak bentuknya panjang dan agak lebar. Lamina daun
dan seluruh ibu tulang daun bergaris hitam.Panjang daun sekitar 50 55 cm,

4
lebarnya 18 cm, dan tiap helai daun melekat pada tangkai daun yang posisinya
saling menutupi secara teratur. Daun berbentuk lanset memanjang berwana hijau
tua dengan garis garis coklat. Habitus tanaman dapat mencapai lebar 30 90
cm, dengan jumlah anakan perumpun antara 3 9 anak. Bunga tanaman temu
lawak dapat berbunga terus-menerus sepanjang tahun secara bergantian yang
keluar dari rimpangnya (tipe erantha), atau dari samping batang semunya setelah
tanaman cukup dewasa. Warna bunga umumnya kuning dengan kelopak bunga
kuning tua, serta pangkal bunganya berwarna ungu. Panjang tangkai bunga + 3 cm
dan rangkaian bunga (inflorescentia) mencapai 1,5 cm. Dalam satu ketiak terdapat
3-4 bunga.
Rimpang induk temu lawak bentuknya bulat seperti telur, dan berukuran
besar, sedangkan rimpang cabang terdapat pada bagian samping yang bentuknya
memanjang. Tiap tanaman memiliki rimpang cabang antara 3 4 buah.Warna
rimpang cabang umumnya lebih muda dari pada rimpang induk.Warna kulit
rimpang sewaktu masih muda maupun tua adalah kuning-kotor atau coklat
kemerahan. Warna daging rimpang adalah kuning atau oranye tua, dengan cita
rasanya amat pahit, atau coklat kemerahan berbau tajam, serta keharumannya
sedang. Rimpang terbentuk dalam tanah pada kedalaman 16 cm. Tiap rumpun
tanaman temu lawak umumnya memiliki enam buah rimpang tua dan lima buah
rimpang muda.
Sistem perakaran tanaman temu lawak termasuk akar serabut.Akar-
akarnya melekat dan keluar dari rimpang induk.Panjang akar sekitar 25 cm dan
letaknya tidak beraturan.

4 Kandungan Kimia
Dari hasil tes uji yang dilakukan oleh Balai penelitian tanaman dan obat,
diperoleh sejumlah zat / senyawa dalam rimpang temulawak antara lain : Air
19,98%, pati 41,45%, serat 12,62%, abu 4,62%, abu tak larut asam 0,56%, sari air
10,96%, sari alkohol 9,48%, dan kurkumin 2,29%. Dari hasil pengujian tersebut,
ditemukan juga kandungan alkaloid, flavonoid, fenolik, triterpennoid, glikosida
tannin, saponin dan steroid. Selain itu, terdapat juga kandungan minyak atsiri
sebesar 3,81%, meliputi : d-kamfer, sikloisoren, mirsen,p-toluil metikarbinol, pati,

5
d-kamfer, siklo isoren, mirsen, p-toluil metilkarbinol, falandren, borneol, tumerol,
xanthorrhizol, sineol, isofuranogermakren, zingiberen, zingeberol, turmeron,
artmeron, sabinen, germakron, dan atlantone.

5 Manfaat Temulawak
Peranan temulawak sebagai obat diketahui dan pemanfaatannya sudah
dilakukan sejak dulu hingga sekarang berdasarkan pengalaman turun
temurun.Umumnya temulawak terutama bagian rimpangnya dijadikan sebagai
salah satu bahan ramuan untuk membuat jamu tradisional. Jamu temulawak ini
diyakini dapat mengatasi pegal linu, rhematik, rasa lelah, diare, wasir, disentri,
pembengkakan akibat infeksi, cacar, jerawat, eksim, sakit kuning, sembelit,
kurang nafsu makan, radang lambung, kejang kejang, kencing darah, kurang darah
dan ayan (Raharjo dan Rostiana 2005).
Penelitian lebih lanjut dilakukan oleh institusi kesehatan untuk mengetahui
lebih jauh tentang manfaat tanaman ini bagi manusia. Dari beberapa penelitian
didapatkan bahwa kandungan kimia dalam rimpang temulawak seperti flavonida
berkhasiat dalam menyembuhkan radang, kandungan minyak atsiri berkhasiat
fungistatimk pada beberapa jenis jamur dan bakteriostatik pada mikroba
Staphylococcus sp. Dan Salmonella sp. (Dalimartha,2007).
Laporan penelitian lainnya menyebutkan bahwa rimpang temulawak bisa
dijadikan sebagai obat jerawat, anti kolesterol, meningkatkan nafsu makan,
anemia, anti-inflamasi, anti mikroba dan pencegah kanker (Anonim 2008 ).
Rimpang temulawak juga diketahui sebagai obat fitofarmaka, berkhasiat dalam
mengatasi gangguan pada saluran pencernaan, kandung empedu, kelainan hati,
pankreas, tekanan darah tinggi, usus halus, kontraksi usus, TBC, sariawan dan
dapat dipergunakan sebagai tonikum.(Raharjo dan Rostiana, 2005). Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh beberapa universitas berhasil membuktikan bahwa
rimpang temulawak bisa juga digunakan sebagai obat antistroke, antioksidan,
menghambat osteoporosis, sebagai antiplasmodial, anti plak dan pertahanan gigi
( Sardi D ).

6 Uraian Terpenoid

6
Gambar 2.6.Biosintesis Terpenoid
2.6.1. Pengertian senyawa Terpenoid
Dalam tumbuhan biasanya terdapat senyawa hidrokarbon dan
hidrokarbon teroksigenasi yang merupakan senyawa terpenoid. Kata
terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, dan istilah ini
digunakan untuk menunjukkan bahwa secara biosintesis semua senyawa
tumbuhan itu berasal dari senyawa yang sama. Jadi, semua terpenoid
berasal dari molekul isoprene CH2==C(CH3)CH==CH2 dan kerangka
karbonnya dibangun oleh penyambungan 2 atau lebih satuan C5 ini.
Kemudian senyawa itu dipilah-pilah menjadi beberapa golongan
berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam senyawa tersebut, 2 (C10),
3 (C15), 4 (C20), 6 (C30) atau 8 (C40).
Terpenoid merupakan derivat dehidrogenasi dan oksigenasi dari
senyawa terpen.Terpen merupakan suatu golongan hidrokarbon yang
banyak dihasilkan oleh tumbuhan dan sebagian kelompok hewan. Rumus
molekul terpen adalah (C5H8)n. Terpenoid disebut juga dengan
isoprenoid. Hal ini disebabkan karena kerangka karbonnya sama seperti

7
senyawa isopren. Secara struktur kimia terenoid merupakan penggabungan
dari unit isoprena, dapat berupa rantai terbuka atau siklik, dapat
mengandung ikatan rangkap, gugus hidroksil, karbonil atau gugus fungsi
lainnya.
Terpenoid merupakan komponen penyusun minyak atsiri. Minyak
atsiri berasal dari tumbuhan yang pada awalnya dikenal dari penentuan
struktur secara sederhana, yaitu dengan perbandingan atom hydrogen dan
atom karbon dari suatu senyawa terpenoid yaitu 8 : 5 dan dengan
perbandingan tersebut dapat dikatakan bahwa senyawa teresbut adalah
golongan terpenoid. Minyak atsiri bukanlah senyawa murni akan tetapi
merupakan campuran senyawa organic yang kadangkala terdiri dari lebih
dari 25 senyawa atau komponen yang berlainan. Sebagian besar komponen
minyak atsiri adalah senyawa yang hanya mengandung karbon dan
hydrogen atau karbon, hydrogen dan oksigen. Minyak atsiri adalah bahan
yang mudah menguap sehingga mudah dipisahkan dari bahan-bahan lain
yang terdapat dalam tumbuhan. Salah satu cara yang paling banyak
digunakan adalah memisahkan minyak atsiri dari jaringan tumbuhan
adalah destilasi. Dimana, uap air dialirkan kedalam tumpukan jaringan
tumbuhan sehingga minyak atsiri tersuling bersama-sama dengan uap air.
Setelah pengembunan, minyak atsiri akan membentuk lapisan yang
terpisah dari air yang selanjutnya dapat dikumpulkan. Minyak atsiri terdiri
dari golongan terpenoid berupa monoterpenoid (atom C 10) dan
seskuiterpenoid (atom C 15)
2.6.2. Sifat umum Terpenoid
Sifat fisika dari terpenoid adalah :
a. Dalam keadaan segar merupakan cairan tidak berwarna, tetapi jika
teroksidasi warna akan berubah menjadi gelap.
b. Mempunyai bau yang khas.
c. Indeks bias tinggi.
d. Kebanyakan optik aktif
e. Kerapatan lebih kecil dari air
f. Larut dalam pelarut organik: eter dan alcohol
Sifat Kimia
a. Senyawa tidak jenuh (rantai terbuka ataupun siklik)

8
b. Isoprenoid kebanyakan bentuknya khiral dan terjadi dalam dua
bentuk enantiomer.
2.6.3. Sintesa Terpenoid
Secara umum biosintesa terpenoid terjadinya 3 reaksi dasar, yaitu:
a. Pembentukan isoprena aktif berasal dari asam asetat melalui asam
mevalonat.
b. Penggabungan kepala dan ekor unit isoprene akan membentuk
mono-, seskui-, di-, sester-, dan poli-terpenoid.
c. Penggabungan ekor dan ekor dari unit C-15 atau C-20
menghasilkan triterpenoid dan steroid.
Biosintesis senyawa terpen terlibat senyawa yang bercabang . Mula -
mula gugus keton dari karbonil pada asetoasetil koenzim A beradisi aldol
dengan asetil koenzim A menghasilkan derivat asam glutarat . Langkah
berikutnya adalah reduksi darisalah satu gugus karboksil pada untuk
menghasilkan asam mevalonat . Dari studi penjejakan terbukti bahwa
asam mevalonat merupakan bahan asal ( prekursor ) untuk terpen .

7 Uraian Xhantorrizhol

Gambar 2.7.Struktur Xhantorrizol.


Berbagai khasiat temu lawak berkaitan erat dengan senyawa yang
terkandung di dalam tanaman tersebut. Rimpang temu lawak mengandung
senyawa khas yang termasuk dalam golongan kurkuminoid dan minyak
atsiri.Salah satu senyawa khas yang terkandung dalam temu lawak dan digunakan
sebagai senyawa penanda yaitu xantorizol. Xantorizol merupakan senyawa
golongan seskuiterpen yang mempunyai kemampuan sebagai antibakteri

9
(Rukayadi & Hwang 2007), antijamur (Rukayadi et al. 2006), antikanker (Cheah
et al. 2009), antioksidan dan antiinflamasi (Lim et al. 2005), serta berpotensi
untuk penanganan penyakit flu burung (Darusman et al. 2007). Xantorizol
merupakan senyawa penciri dari rimpang temu lawak. Senyawa ini merupakan
golongan terpena teroksidasi yang memiliki rumus molekul C15H22O dan bobot
molekul 218.335 g/mol. Senyawa dengan nama IUPAC 5- (1,5-dimetilheks-4-
enil)-2-metilfenol mempunyai ciri-ciri tidak berwarna, stabil terhadap panas,
sangat pahit serta larut baik dalam DMSO dan etanol 96 % (Hwang 2000).
Struktur xantorizol ditunjukkan pada Gambar 2.Xantorizol dapat diisolasi dari
rimpang temu lawak dengan beragam metode. Hwang (2000) telah mengisolasi
xantorizol dari temu lawak dengan menggunakan metanol 75 % sebagai
pengekstrak, dilanjutkan dengan kromatografi kolom serta proses asetilasi dan
deasetilasi. Rendemen yang diperoleh masih tergolong rendah yaitu sekitar 0.064
% dengan kemurnian 99.9 %.Selanjutnya Asriani (2010) melakukan modifikasi
metode Hwang dengan mengganti pelarut untuk ekstraksi dengan etanol 96% dan
tanpa tahapan kromatografi kolom.Asriani melakukan pemurnian xantorizol
menggunakan kromatografi lapis tipis peparatif (KLTP) dan menghasilkan
rendemen 0.14 % serta kemurnian xantorizol 99.5 %.Metode isolasi xantorizol
dari temu lawak menjadi suatu hal yang penting untuk dikembangkan agar
diperoleh suatu produk berupa standar xantorizol yang dapat dijadikan penciri
kontrol kualitas berbagai produk yang berasal dari temu lawak. Ketersediaan
xantorizol yang murni saat ini belum mencukupi kebutuhan sehingga perlu
dilakukan suatu pengembangan metode isolasi dan pemurnian xantorizol dari
temu lawak dan didapat kadar dan kemurnian xantorizol yang tinggi.

8 Karakterisasi Simplisia
Berdasarkan MMI, secara umum karakterisasi ini meliputi penetapan susut
pengeringan, penentuan kadar abu, penentuan kadar sari larut air, dan penentuan
kadar sari larut etanol. Adapun langkah kerjanya adalah :
2.8.1 Penentuan kadar abu
Sebanyak 3 gram simplisia dimasukkan dalam masing-masing
krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara.Kemudian keduanya
dipijarkan pada suhu 600oC dalam tanur hingga arang habis,

10
didinginkan lalu ditimbang. Jika cara ini jarang tidak dapat dihilangkan
ditambahkan air panas dan disaring melalui kertas saring bebas abu.
Dipijarkan sisa dalam kertas dan kertas saring pada krus yang sama.
Dimasukkan filtrat ke dalam krus, lalu diuapkan dan dipijarkan hingga
bobot tetap lalu ditimbang (DepKes RI, 1977).
2.8.2 Penentuan kadar sari larut air
Serbuk simplisia dikeringkan diudara dimaserasi 3 gram
serbuk dengan 100 mL (air : kloroform) P (1000 : 2,5), menggunakan
labu bersumbat sambil berkali-kali selama 6 jam pertama kemudian
dibiarkan selama 18 jam. Lalu disaring dan diuapkan 20 mL filtrat
hingga kering dalam cawan penguap yang telah ditara, dipanaskan
pada suhu 105 C hingga bobot tetap. Selanjutnya, kadar dihitung
dalam persen, sari yang larut dalam air terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara (DepKes RI, 1977).
2.8.3 Penentuan kadar sari larut etanol
Serbuk simplisia dikeringkan di udara, dimaserasi 3 gram
serbuk dengan 100 mL etanol 95%, menggunakan labu bersumbat
sambil berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan
selama 18 jam. Disaring cepat dan diuapkan 20 mL hingga kering
dalam cawan penguap yang telah ditara, lalu dipanaskan sisa dalam
oven pada suhu 105 oC hingga bobot tetap. Selanjutnya kadar dihitung
dalam persen, sari yang larut dalam etanol 95% terhadap bahan yang
telah dikeringkan di udara (DepKes RI, 1977).

9 Penapisan Fitokimia
Berdasarkkan MMI dan Fransworth, secara umum pemeriksaan ini
meliputi alkaloida, flavonoid, tannin, polifenol, triterpenoid, steroid, kuinon,
saponin, monoterpen, dan seskuiterpen. Adapun prosedur kerjanya adalah:
2.9.1 Alkaloid
Sejumlah sampel dalam mortir, dibasakan dengan amonia sebanyak
1 mL, kemudian ditambahkan kloroform dan digerus kuat.Cairan
kloroform disaring, filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi kemudian
ditambahkan HCl 2 N, campuran dikocok, lalu dibiarkan hingga terjadi
pemisahan. Dalam tabung reaksi terpisah:

11
Filtrat 1 : Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Dragendorff diteteskan
ke dalam filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya
endapan atau kekeruhan berwarna hingga coklat.
Filtrat 2 : Sebanyak 1 tetes larutan pereaksi Mayer diteteskan ke
dalam filtrat, adanya alkaloid ditunjukkan dengan terbentuknya endapan
atau kekeruhan berwarna putih.
Filtrat 3 : Sebagai blangko atau kontrol negatif (MMI V, 1989).
2.9.2 Flavonoid
Sejumlah sampel digerus dalam mortir dengan sedikit air,
pindahkan dalam tabung reaksi, tambahkan sedikit logam magnesium dan
5 tetes HCl 2N, seluruh campuran dipanaskan selama 510 menit.Setelah
disaring panaspanas dan filtrat dibiarkan dingin, kepada filtrat
ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuatkuat, reaksi positif dengan
terbentuknya warna merah pada lapisan amil alkohol (MMI V, 1989).
2.9.3 Tanin dan Polifenol
Sebanyak 1 gram sampel ditambahkan 100 mL air panas,
dididihkan selama 5 menit kemudian saring. Filtrat sebanyak 5 mL
dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan pereaksi besi (III)
klorida, timbul warna hijau biru kehitaman, dan ditambahkan gelatin akan
timbul endapan putih, bila ada tanin (MMI V, 1989).
2.9.4 Monoterpen dan Sesquiterpen
Serbuk pegagan digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan
dalam cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi pereaksi larutan
vanilin sulfat atau anisal dehid sulfat. Terbentuknya warna-warni
menunjukkan adanya senyawa monoterpen dan sesquiterpen (MMI V,
1989).
2.9.5 Steroid dan Triterpenoid
Serbuk simplisia digerus dengan eter, kemudian fase eter diuapkan
dalam cawan penguap hingga kering, pada residu ditetesi pereaksi
Lieberman-Burchard.Terbentuknya warna ungu menunjukkan kandungan
triterpenoid sedangkan bila terbentuk warna hijau biru menunjukkan
adanya senyawa steroid (Fransworth, 1966).
2.9.6 Kuinon
Sampel ditambahkan dengan air, dididihkan selama 5 menit
kemudian disaring dengan kapas.Pada filtrat ditambahkan larutan NaOH

12
1N.Terjadinya warna merah menunjukkan bahwa dalam bahan uji
mengandung senyawa golongan kuinon (Fransworth, 1966).
2.9.7 Saponin
Sampel ditambahkan dengan air, dididihkan selama 5 menit
kemudian dikocok.Terbentuknya busa yang konsisten selama 5-10 menit
1 cm, berarti menunjukan bahwa bahan uji mengandung saponin (MMI
V, 1989).

10 Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penarikan komponen atau zat aktif suatu simplisia
dengan menggunakan pelarut tertentu. Disamping itu ekstraksi merupakan proses
penarikan senyawa kimia dari suatu bahan dengan menggunakan metode yang
sesuai. Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan
senyawa non polar dalam pelarut non polar (Agoes, 2007).Metode ekstraksi
dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan obat, daya penyesuaian
dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak
yang sempurna atau mendekati sempurna (Ansel, 1989).
2.10.1. Metode Ekstraksi
Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut menurut
Ditjen POM (2000) yaitu:
A Cara dingin
1 Maserasi
Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia dengan
menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur kamar. Keuntungan cara penyarian
dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang
digunakan sedehana. Kerugian cara maserasi adalah
pengerjaannya lama dan penyariaannya kurang sempurna. Pada
penyarian dengan cara maserasi, perlu dilakukan pengadukan
untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk
simplisia.
2 Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut selalu baru,
umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses ini terdiri
dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap

13
perkolasi sebenarnya (penetesan atau penampungan ekstrak)
terus-menerus sampai diperoleh ekstrak cair yang jumlahnya 1-5
kali bahan.
B Cara panas
1 Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur
titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas
yang relatif konstan dengan adanya pendinginan balik.
Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama
sampai 3-5 kali.
2 Ekstraksi sinambung dengan alat Soxhlet
Ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru, yang
umumnya dilakukan dengan menggunakan alat soxhlet sehingga
terjadi ekstraksi sinambung dengan jumlah pelarut relatif
konstan dengan adanya pendinginan balik.
3 Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik dengan pengadukan kontinu
pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan, yaitu
secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.
4 Infus
Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur
penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air
mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama 15-20 menit.
5 Dekok
Dekok adalah infus dengan waktu yang lebih lama 30 0C
dan temperatur sampai titik didih air.

11 Kromatografi
Kromatografi adalah suatu metode fisik untuk pemisahan yang didasarkan
pada perbedaan afinitas senyawa-senyawa yang sedang dianalisis terhadap dua
fase yaitu fase diam dan fase gerak. Sistem fase gerak yang paling sederhana
adalah campuran pelarut organik karena daya elusi campuran pelarut ini
mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal

14
(Rohman, 2007). Dalam kromatografi lapis tipis, pemisahan yang baik
ditandai dengan munculnya noda bundar yang tidak berekor dan merupakan
suatu senyawa. Pengekoran terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti
konsentrasi sampel yang ditotolkan terlalu tinggi, fase gerak yang digunakan
tidak atau belum jenuh, dan pemilihan fase gerak yang kurang tepat terhadap
sampel yang akan dipisahkan. Nilai Rf (Retention factor) merupakan parameter
karakteristik kromatografi lapis tipis. Nilai RF ini didefinisikan sebagai
perbandingan antara jarak yang ditempuh senyawa dengan jarak yang ditempuh
pelarut pengembang (Selviana, 2013).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bahan Alam Sekolah Tinggi
Farmasi Indonesia di Jl.Soekarno Hatta Parakan Resik 234 Bandung .Metode
penelitian yang dgunakan adalah metode eksperimental parametric meliputi
penyiapan bahan, determinasi tumbuhan pembuatan ekstrak, uji aktivitas
antibakteri ekstrak etanol rimpang temulawak dan pembuatan formula dalam
bentuk gel.

3.1. Alat
Alatalat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain :
Kondensor ,timbal, pipa F, sifon, labu alas bulat, hot plate, timbangan analitik
(Henherr), oven (Memmert), rotary evaporator (IKA), lampu UV (camag),
waterbath, tabung reaksi (pyrex), lemari pendingin (Polytron), batang pengaduk,
pipet volume, cawan penguap, pipet tetes, labu pisah (Pyrex), plat KLT (silika
GF254), chamber, kolom, pipa kapiler.

3.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain Rimpang Temulawak
(Curcuma Xanthoriza Roxb), etanol, etil asetat, N-hexane, silica Gel, methanol,
pereaksi bercak vanillin sulfat.

3.3. Metode Penelitian


3.3.1. Determinasi Tanaman

15
Bunga Cengkeh yang diperoleh dari perkebunan yang terdapat di Jawa
Barat dideterminasi di Laboratorium Bahan Alam Sekolah Tinggi Farmasi
Indonesia Bandung .
3.3.2. Persiapan Bahan Baku
Bahan penelitian yang digunakan yaitu bunga Cengkeh (Syzygium
aromaticum floss) yang diperoleh dari perkebunan salah satu di Jawa Barat .
Bunga Cengkeh yang diperoleh terlebih dahulu di sortasi basah yaitu
dibersihkan dari kotoran, pencucian, penirisan, perajangan, dikeringkan
menggunakan oven dengan suhu 45C serta sortasi kering.
3.3.3. Standarisasi Simplisia
Simplisia hasil determinasi, sortasi basah dan sortasi kering dilakukan
standarisasi simplisia Temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb) meliputi:
A. Penetapan Susut Pengeringan
Botol timbang disiapkan, dipanaskan pada suhu 105C selama 30
menit, lalu ditimbang. Hal tersebut dilakukan sampai memperoleh
bobot botol timbang yang konstan atau perbedaan hasil antara 2
penimbangan tidak melebihi 0,005 g. Sebanyak 1 g bahan uji
ditimbang, dimasukkan ke dalam botol timbang. Bahan uji kemudian
dikeringkan pada suhu 105C selama 5 jam dan ditimbang kembali.
Proses pengeringan dilanjutkan dan timbang kembali selama 1 jam
hingga perbedaan antara penimbangan berturut-turut tidak lebih dari
0,25% (Depkes RI, 2000).
B. Penetapan Kadar Abu Total
Bahan uji ditimbang dan dimasukkan dalam krus porselin yang telah
dipijar dan ditara.Krus porselin dipijar pada suhu 600C kemudian
didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap.Kadar abu
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI,
2000).
C. Penetapan Kadar Abu Larut Asam
Abu yang diperoleh dari hasil penetapan kadar abu total dididihkan
dalam 25 mL asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak
larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijar
sampai bobot tetap, kemudiaan didinginkan dan ditimbang. yang tidak

16
larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan diudara
(Depkes RI, 2000).

D. Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Air


Bahan uji dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL air-kloroform
(2,5 mL kloroform dalam akuades sampai 100 mL) dalam labu
bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian
dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Filtrat sebanyak 20 mL
diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata
yang telah dipanaskan dan ditara.Sisa dipanaskan pada suhu 105C
sampai bobot tetap.Kadar dalam persen sari yang larut dalam air
dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI,
2000).
E. Penetapan Kadar Sari Larut Dalam Etanol
Bahan uji dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL etanol 95%
dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama,
kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring.Filtrat
diuapkan sebanyak 20 mL sampai kering dalam cawan penguap yang
berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara.Sisa dipanaskan pada
suhu 105C sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari larut dalam
etanol 95% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
(Depkes RI, 2000).
3.3.4. Skrining Fitokimia
Penapisan fitokimia yang dilakukan terhadap simplisia, ekstrak
Temulawak (Curcuma Xanthoriza Roxb) dilakukan dengan metode yang
tertera pada Materia Medika Indonesia. Secara umum pemeriksaan ini
meliputi alkaloida, flavonoid, tannin, steroid, kuinon, saponin, monoterpen,
dan seskuiterpen.
3.3.5. Metode Ekstraksi Rimpang Temulawak
Sebanyak 600 gram simplisia rimpang Temulawak diekstraksi dengan
cara Soxhlet dengan pelarut etanol 96% (1:5 b/v) selama 6-12 jam hasil
soxhletasi dipisahkan dan disaring . Selanjutnya lakukan skrining fiotkimia
kembali meliputi alkaloida, flavonoid, tannin, steroid, kuinon, saponin,
monoterpen, dan seskuiterpen.. Setelah melakukan skrining hasil ekstrak cair

17
dipekatkan dengan cara penguapan diatas waterbath dengan suhu tertentu
hingga terbentuk ekstrak pekat dari ekstrak cair Temulawak (Curcuma
Xanthoriza Roxb).
3.3.6. Kromatografi Lapis Tipis (Analisis Marker Xanthorizol )
Sejumlah ekstrak pekat selanjutnya di analisis ini menggunakan fase
diam berupaplat silica gel dan fase gerak /eluen berupa campuran heksana :
Etil asetat (1:0), (0:1), (5:5), (7:3), (8:2), (9:1), (10:1) untuk penentuan eluen
yang baik pada kromatografi kolom .
3.3.7. Kromatografi Kolom (Analisis Marker Xanthorizol)
Sejumlah ekstrak pekat yang didapat dari hasil Soxhlet kemudian
dipisahkan atau dimurnikan dengan kromatografi kolom analisis ini
menggunakan fase diam berupa silica gel dan fase gerak berupa larutan eluen
dengan perbandingan yang telah ditentukan pada KLT sebelumnya .
3.3.8. Karakterisasi dengan UV-Vis
Sampel fraksinasi lalu karakterisasi menggunakan spektro uv vis dengan
panjang gelombang 274 nm.

3.4. Pembuatan BasisEmulgel Temulawak


Ekstrak rimpang temulawak lalu dibuat emulgel dengan basis HPMC 8%
yang dikembangkan dalam air panas. Fse minyak pada formula emulgel
meliputi :
Paraffin cair 10%
Tween 80 15%
Span 80 15%
Propylparaben 0,05%
Sedangkan untuk fase air meliputi :
Propilenglikol 10%
Cetil alcohol 6%
Metil paraben 0,10%
Siapkan secara terpisah fase minyak dan fase air dan mencampurkan masing-
masing komponenya pada suhu 600C. Fase minyak ditambahkan pada fase air
kemudian campur dengan menggunakan ultra turax selama 15 menit. Emulsi
yang terbentuk kemudian dicapur dengan HPMC 8% yang telah mengembang
menggunakan ultra turax selama 20 menit sehingga terjadi emulgel .selanjutnya
lakukan evaluasi pada emulgel Temulawak .

18
Skema Kerja

19
Simplisia Temulawak
(Curcuma
XanthorizaRoxb)

Sampel disoxhlet
dengan etanol 96% (1:5
b/v)

Ekstrak Cair
Temulawak
-lakukan skrining
-ekstrak cair disaring dan
diaupkan diatas water
bath sampai pekat

Ekstrak
kental
Ekstrak untuk Ekstrak Untuk
Formula Emulgel
analisis

KLT dgn berbagai


Eluen N-hexane: etil
asetat (1:0), (0:1),
Fase Fase cair (5:5), (7:3),(8:2),
Minyak (9:1), (10:1)

Kromatografi
Tambahkan HPMC 8% Kolom dengan
eluen terbaik
hingga menjadi
emulgel lalu
tambahkan ekstrak Kromatografi
temulawak pada basis Preparatif
emulgel hingga
homogeny dan evaluasi
hasil sediaan Karakterisasi
dengan Uv-Vis

20

Вам также может понравиться