Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
PENDAHULUAN
1
BAB II
ERUPSI OBAT
ALERGIK
2.1 DEFINISI
erupsi obat alergik atau allergic drug eruption adalah reaksi alergik pada kulit
atau daerah mukomutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya
sistemik.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Di Amerika serikat, erupsi obat terjadi pada sekitar 2-5% dari pasien dan lebih
dari 1% dari pasien rawat jalan. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
lebih dari 100.000 orang meninggal di Amerika Serikat akibat erupsi obat yang serius.
Tingkat mortalitas untuk eritema multiforme (EM) mayor secara signifikan ditemukan
tinggi. Sindrom Steven Johnson (SJS) memiliki angka kematian kurang dari 5%,
sedangkan tingkat mortalitas untuk Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) mencapai 20-
30 dan sebagian besar pasien meninggal karena sepsis. Beberapa jenis erupsi obat
yang sering timbul adalah
Erupsi makulopapular sebanyak 91,2%
Urtikaria 5,9%
Vaskulitis sebanyak 1,4%
Faktor-faktor yang memperbesar risiko timbulnya erupsi obat adalah
1. Jenis kelamin
Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih tinggi
jika dibandingkan dengan pria. Walaupun demikian, belum ada yang
mampu menjelaskan mekanisme ini.
2. System imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami
penurunan system imun. Pada penderita AIDS misalnya, penggunaan obat
sulfametoksazol justru meningkatkan risiko timbulnya erupsi
eksantematosa 10-50 kali dibandingkan dengan populasi normal.
3. Usia
Alergi obat dapat terjadi pada semua usia terutama pada anak-anak dan
orang dewasa. Pada anak-anak mungkin disebabkan karena perkembangan
system imunologi yang belum sempurna. Sebaliknya pada orang dewasa
disebabkan karena lebih seringnya orang dewasa berkontak dengan bahan
antigenic. Umur yang lebih tua akan memperlambat munculnya onset
erupsi obat tetapi menimbulkan mortalitas yang lebih tinggi bila terkena
reaksi yang berat.
4. Dosis
Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi jika sudah melalui fase induksi, dosis yang
sangat kecil sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi. Semakin
sering obat digunakan, semakin besar pula kemungkinan timbulnya reaksi
alergi pada penderita yang peka.
5. Infeksi dan keganasan
Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi obat berat
yang disertai dengan keganasan. Reaktivasi dari infeksi virus laten dengan
human herpes virus (HHV) umumnya ditemukan pada mereka yang
mengalami sindrom hipersensitifitas obat.
2.3 PATOGENESIS
Reaksi kulit terhadap obat dapat timbul melalui mekanisme imunologik atau
non-imunologik. Yang dimaksud dengan erupsi oabt alergik ialah alergi terhadap obat
yang terjadi melalui mekanisme imunologik. Reaksi kulit terhadap obat juga dapat
terjadi melalui mekanisme non imunologis yang disebabkan karena toksisitas obat,
overdosis, interaksi antar obat dan perubahan dalam metabolism.
A. Reaksi imunologis
Erupsi obat alergik terjadi pada pemberian obat kepada penderita yang sudah
mempunyai hipersensitivitas terhadap obat tersebut. Biasanya obat itu berperan pada
mulanya sebagai antigen yang tidak lengkap atau hapten disebabkan oleh berat
molekulnya yang rendah.
Terjadinya reaksi hipersensitivitas karena obat harus dimetabolisme terlebih
dahulu menjadi produk yang secara kimia sifatnya reaktif. Secara umum metabolism
obat dapat dianggap sebagai satu bentuk proses detoksifikasi yaitu obat dikonversi
dari zat yang larut dalam lemak, non polar, menjadi zat yang hidrofilik dan polar yang
mudah diekskresi. Secara umum terdapat 4 tipe reaksi imunologik yang dikemukakan
oleh comb dang ell. Satu reaksi alergik dapat mengikuti salah satu dari ke-4 jalur ini.
I. Tipe I (reaksi cepat, anafilaktik)
Reaksi ini penting dan sering dijumpai. Pajanan pertama kali terhadap obat
tidak menimbulkan reaksi yang merugikan, tetapi pada pajanan selanjutnya
dapat menimbulkan reaksi. Antibody yang terbentuk adalah antibody IgE yang
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pada pemberian
obat yang sama, antigen dapat menimbulkan perubahan berupa degranulasi sel
mast dan basofil dengan dilepaskannya bermacam-macam mediator, antara lain
histamine, serotonin, bradikinin, heparin, dan SRSA. Mediator- mediator ini
mengakibatkan bermacam-macam efek, antara lain urtikaria, dan yang lebih
berat adalah angioedema. Yang paling berbahaya adalah terjadinya syok
anafilaktik. Penicillin merupakan contoh penyebab utama erupsi obat
hipersensitivitas tipe cepat yang IgE-dependent.
Purpura
Purpura adalah perdarahan didalam kulit berupa kemerahan yang tidak hilang
bila ditekan. Erupsi purpura dapat terjadi sebagai ekspresi tunggal alergi obat.
Biasanya simetris serta muncul disekitar kaki, termasuk pergelangan kaki atau
tungkai bawah. Erupsi berupa bercak sirkumskrip berwarna merah kecoklatan
dan disertai rasa gatal. Purpura karena hipersensitivitas obat dapat diakibatkan
oleh trombositopenia. Mekanisme trombositopenia berhubungan dengan
pembentukan kompleks antigen-antibodi dengan afinitas pada trombosit.
Ternyata banyak obat yang menyebabkan kerusakan kapiler tanpa mengenai
trombosit. Tipe ini dikenal sebagai purpura non trombositopeni atau purpura
vascular. Purpura non trombositopenia secara umum berkaitan dengan deposit
kompleks imun di dinding venula. Ebebrapa obat penyebab purpura
trombositopenia adalah asam asetilsalisilat, karbamazepin, indometasin,
isoniazid, nitrofurantoin, fenitoin, derivate pirazolon, quinidine, sulfonamide,
dan tiourasil. Sedangkan obat penyebab purpura non trombositopenia adalah
ampicillin, penisilin, sulfametroprim.
Vaskulitis
Vaskulitis adalah radang pembuluh darah. Bentuk tersering vaskulitis adalah
vaskulitis yang mengenai kapile dan venula. Gambaran klinis tersering
vaskulitis adalah palpable purpura. Vaskulitis dapat hanya terbatas pada kulit,
atau dapat melibatkan organ lain, antara hepar, ginjal, dan sendi. Ukuran dan
jumlah lesi bervariasi. Biasanya distribusi simetris pada ekstremitas bawah
dan daerah sacrum. Demam, malaise, myalgia, dan anoreksia dapat menyertai
lesi kulit. Vaskulitis yang diinduksi obat dianggap terjadi melalui mekanisme
reaksi tipe III, jadi berhubungan dengan deposit kompleks imun. Obat
penyebab adalah penisilin, sulfonamide, NSAID, antidepresan, dan
antiaritmia. Jika vaskulitis trjadi pada pembuluh darah sdang berbentuk
eritema nodusum (EN). Kelainan kulit berupa eritema dan nodus yang nyeri
dengan eritema di atasnya disertai gejala umum berupa demam dan malaise.
Tempat predileksinya didaerah ekstensor tungkai bawah. EN dapat disebabkan
oleh beberapa penyakit lain, misalnya tuberculosis, infeksi streptokok dan
lepra. Obat yang dianggap sering menyebabkan EN adalah sulfonamide dan
kontrasepsi oral.
Reaksi fotoalergik
Gambaran klinis reaksi fotoalergik sama dengan dermatitis kontak alergik,
lokalisasinya pada tempat yang terpajan sinar matahari. Kemudian kelainan
dapat meluas kedaerah yang tidak terpajan sinar matahari. Obat yang dapat
menyebabkan fotoalergik adalah fenotiazin, sulfonamide, NSAID, dan
griseofulvin. Reaksi fotoalergik diperantarai oleh limfosit dan merupakan
reaksi hipersentivitas tipe lambat. Reaksi fotoalergik membutuhkan fase
induksi dan elisitas. Periode sensitisasi dapat terjadi beberapa hari sampai
beberapa bulan.
o Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering
adalah konjunctivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa
konjungtivitis purulent, perdarahan, simbleferon, ulkus kornea, iritis,
dan iridosiklitis.
penatalaksanaan sindrom steven-
johnson adalah denagn menggunakan kortikosteroid iv 4-6 kali 5mg
kemudian ditappering off, antibiotic spectrum luas seperti
siprofloksasin 2x400 mg dan ceftriaxone 1 x 2gr IV, diet rendah garam
dan tinggi protein.
2.5 DIAGNOSIS
2.7 PENATALAKSANAAN
Seperti pada penyakit imunologis lainnya, pengobatan alergi obat adalah dengan
menetralkan atau mengeluarkan obat tersebut dari dalam tubuh, epinefrin adalah drug
of choice pada rekasi anafilaksis. Untuk alergi obat jenis lainnya, dapat digunakan
pengobatan simptomatik dengan antihistamin dan kortikosteroid. Penghentian obat
yang dicurigai menjadi penyebab harus dilakukan secepat mungkin. Tetapi pada
beberapa kasus adakalanya pemeriksa dihadapkan dua pilihan antara risiko erupsi
obat dengan manfaat dari obat tersebut.
Penatalaksanaan umum
Melindungi kulit. Pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi
kulit harus dihentikan segera
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan
tubuhnya. Berikan cairan lewat infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta kesadaran dapat
menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5%
dan larutan darrow
Penatalaksanaan khusus
Sistemik
o Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik.
Obat kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednisone.
Pada kelainan urtikaria, eritema, dermatitis medikamentosa,
purpura, eritema nodusum, eksantema fikstum, dan PEGA karena
erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x
10mg sampai 4 x 10mg sehari. Pengobatan erythema multiforme
mayor, SSJ dan TEN pertama kali adalah menghentikan obat yang
diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat suportif
seperti perawatan luka dan perawatan gizi penderita. Penggunaan
glukokortikoid untuk pengobatan SSJ dan TEN masih
kontroversial. Pertama kali dilakukan pemberian intravenous
immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas
penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG
diberikan sebanyak 0,2-0,75 g/kg selama 4 hari pertama.
o Antihistamin
Antihistamin yang bersifat sedative dapat juga diberikan, jika
terdapat rasa gatal. Kecuali paa urtikaria, efeknya kurang jika
dibandingkan dengan kortikosteroid.
Topical
o Pengobatan topical tergantung pada kelainan kulit, apakah kering
atau basah, jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak
salisilat 2% ditambah dengan obat antipruritus seperti mentol -
1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam keadaan basah perlu
digunakan kompres misalnya larutan asam salisilat 1%.
o Pada bentuk purpura dan eritema nodusum tidak diperlukan
pengobatan topical. Pada eksantema fikstum, jika kelainan
membasah dapat diberikan krim kortikosteroid, misalnya
hidrokortison 1%- 2 %.
o Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema yang
menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanol
10% yang dioleskan sebagian-sebagian.
o Terapi topical untuk lesi dimulut dapat berupa kenalog in
orabase. Untuk lesi dikulit yang erosive dapat diberikan
sofratule atau krim sulfadaizin perak.
2.8 PROGNOSIS
pada dasarnya erupsi kulit karena obat akan menyembuhkan bila obat penyebabnya
dapat diketahui dan segera disingkirkan. Akan tetapi pada beberapa bentuk, misalnya
eritroderma dan kelainan berupa sindrom lyell dan sindrom steven-johnson, prognosis
sangat tergantung pada luas kulit yang terkena. Prognosis buruk bila kelainan meliputi
50-70% permukaan kulit.
1
KATEGORI OBAT PADA KEHAMILAN
Food and Drug Administration atau FDA Amerika telah menetapkan lima
kategori untuk mengklasifikasikan obat berdasarkan risiko terhadap wanita hamil
dan janinnya. Kelima kategori ini memberikan pedoman untuk keamanan
relatif obat yang diresepkan bagi wanita hamil. Berikut ini kategori obat-
obatan berdasarkan FDA
a. Kriteria A
Kategori ini melipu i obat-obatan dan bahan yang telah diuji melalui
penelitian terkontrol pada wanita. Penelitian tersebut menunjukkan tidak ada
resiko terhadap fetus selama semester pertama kehamilan dan kemungkinan bahaya
terhadap janin kecil.
b. Kriteria B
Penelitian pada hewan telah menunjukkan bahwa bahan ini tidak beresiko
terhadap janin, tetapi belum ada penelitian terkontrol yang telah dilakukan pada
manusia untuk memastikan kemungkinan efek samping terhadap janin. Kategori
ini juga meliput i obat-obatan yang telah menunjukkan efek samping pada
janin hewan, tetapi penelitian terkontrol pada manusia tidak diungkapkan adanya
resiko terhadap janin.
c. Kriteria C
Penelitian pada hewan telah memperlihatkan bahwa obat ini mungkin
memiliki efek teratogenik dan/atau toksik terhadap embrio, tetapi belum
dilakukan penelitian terkontrol pada wanita. Suatu obat juga masuk ke dalam
kategori ini bila tidak ada penelitian terkontrol yang dilakuka n pada manusia
maupun hewan
d. Kategori D
Terdapat bukti risiko terhadap janin manusia, tetapi manfaatnya dalam situasi
tertentu, misalnya penyakit yang serius atau keadaan yang membahayakan nyawa
2
tanpa tersedia terapi alternatif lainnya, dapat membenarkan pemakaian obat-obatan
ini semasa kehamilan.
e. Kategori X
Penelitian pada hewan atau manusia telah memperlihatkan bahwa obat ini
menyebabkan perubahan pada janin atau telah menunjukkan bukti-bukti
peningkatan resiko terhadap janin, berdasarkan eksperimen pada hewan dan
manusia. Risiko terhadap janin melebihi segala manfaatnya.
Obat-obatan dalam kategori A dan B umumnya dianggap tepat untuk
digunakan selama kehamilan. Obat-obatan kategori C harus digunakan dengan
peringatan, dan obat-obatan kategori D dan X harus dihindari atau merupakan
kontraindikasi. Obat-obatan yang digunakan di kedokteran gigi seperti
anestestikum lokal, analgesik, antibiotik, antifungi dan obat-obatan lainnya
biasanya memiliki waktu paruh metabolik pendek yang diberikan untuk periode
terbatas, oleh karena itu cenderung kurang menyebabkan komplikasi selama
kehamilan.
Pada umumnya anestetikum lokal tidak bersifat teratogenik terhadap
manusia dan dianggap relatif aman untuk digunakan selama kehamilan.
Anestetikum lokal yang paling aman digunakan pada masa kehamilan adalah
lidokain tanpa epinefrin (kategori B). Sebagian besar anestetikum lokal yang
digunakan di kedokteran gigi tergolong dalam FDA kategori B seperti lidokain,
prilokain, etidokain. Mepivikain dan bupivikain (kategori C) tidak
direkomendasikan sebab tidak terdapat data yang mendukung keamanannya dan
terdapat kemungkinan timbulnya efek teratogenik pada fetus.
4
Anesthesia, Anesthetics /Anastesi
Halothane Fluothane Approved C L2
Lidocaine Xylocaine Approved C L2
Methohexital Brevital Approved B L3
Thiopental Pentothal Approved C L3
Antacids, GI meds (Antasida, obat-obatan GI)
Cimetidine Tagamet Approved B L2
(Antacid)
Cisapride (GI tract Propulsid Approved C L2
stimulant)
Domperidone (used
for nausea &
Motilum Approved - L1
vomiting, stimulates
lactation)
Antibiotics
Amoxicillin Larotid, Amoxil Approved B L1
Aztreonam Azactam Approved B L2
Approved B L1
Ultracef,
Cefadroxil Duricef
Cefazolin Ancef, Kefzol Approved B L1
Cefotaxime Claforan Approved B L2
Cefoxitin Mefoxin Approved B L1
Cefprozil Cefzil Approved C L1
Ceftazidime,
Ceftazidime Fortaz, Approved B L1
Taxidime
Ceftriaxone Rocephin Approved B L2
Ciprofloxacin Cipro Approved C L3
Clindamycin Cleocin Approved B L3
E-Mycin, Ery- L1
Approved B
Erythromycin tab, ERYC, L3 early
Ilosone postnatal
Fleroxacin - Approved - NR
Gentamicin Garamycin Approved C L2
Approved D L2
Kebecil,
Kanamycin Kantrex
Moxalactam Moxam Approved - NR
Nitrofurantoin Macrobid Approved B L2
Ofloxacin Floxin Approved C L2
Penicillin - Approved B L1
Streptomycin Streptomycin Approved D L3
Sulbactam - Approved - NR
Gantrisin, Azo- Approved C L2
Sulfisoxazole Gantrisin
Achromycin,
Sumycin, Approved D L2
Tetracycline
Terramycin
Ticarcillin
Ticarcillin, Approved B L1
Ticar, Timentin
Trimethoprim/sulfa Proloprim, Approved C L3
methoxazole Trimpex
Anticoagulants/Antikoagulan
Bishydroxycoumari - Approved - NR
n (dicumarol)
Coumadin, Approved D L2
Warfarin Panwarfin
Anticonvulsants/Antikonvulsan
Carbamazepine Tegretol, Epitol Approved C L2
Ethosuximide Zarontin Approved C L4
Magnesium sulfate Epsom salt Approved B L1
Phenytoin Dilantin Approved D L2
Approved D L2
Depakene,
Valproic acid Depakote
Antifungals/ antijamur
Fluconazole Diflucan Approved C L2
Nizoral
Ketoconazole Shampoo, Approved C L2
Nizoral
Antihistamines/Antihistamin
Fexofenadine Allegra Approved C L2
Loratadine Claritin Approved B L1
Terfenadine Seldane Approved - NR
Triprolidine Actidil, Actifed Approved C L1
Antivirals/ antivirus
Acyclovir Zovirax Approved C L2
Alferon N,
Interferon-alpha Interferon Approved C L2
Alpha
Arthritis meds (see also: pain meds) =obat artritis
Ridaura,
Gold salts Myochrysine, Approved C L5
Solganal
Asthma meds (see also: steroids) = Obat asma
Dilor, Lufyllin, Approved C L3
Dyphylline
Dyphylline
Approved B L2
Bricanyl,
Terbutaline Brethine
Theophylline Aminophylline, Approved C L3
Quibron, Theo-
Dur
Contraceptives, Hormones = Kontrasepsi, Hormon
Estratab, L3 (may interfere
Approved X
Estradiol Permarin, with milk
Menest production)
Preven,
Seasonale,
Norinyl,
Contraceptive pill
Norlestin, L3 (may interfere
with Approved X
Ortho-Novum, with milk
estrogen/progesteron
Ovral, Lunelle production)
e
injection,
Ortho-Evra
patch, etc.
Approved X L2
Norplant,
Levonorgestrel Mirena, Plan B
Provera, Depo- L1
Medroxyprogesteron Provera, Cycrin Approved D
L4 (if used first 3
e
days postpartum)
Norethynodrel Enovid Approved X L2
Crinone, -
Progesterone Approved L3
Prometrium
Cough meds / obat batuk =antitusif=batuk kering
Codeine Tylenol #3, #4 Approved C L3
Noscapine - Approved - NR
Decongestants/ untuk batuk berdahak =ekspektoran
Sudafed, L3 (for acute
Halofed, Approved C use)
Pseudoephedrine
Novafed, L4 (for
Actifed chronic use)