Академический Документы
Профессиональный Документы
Культура Документы
Jawab :
B. Faktor Eksternal
eksternal yang memicu terjadinya mutasi virus H5N1 terkait dengan
program vaksinasi yang kurang tepat, yaitu penggunaan vaksin dengan
kandungan yang tidak homolog (berbeda) dengan virus H5N1 lapangan.
Penggunaan vaksin ini tidak akan memberikan perlindungan yang
sempurna.
Proses mutasi H5N1 secara umum dibedakan menjadi 2 yaitu antigenic drift
dan antigenic shift.
a. Antigenic drift
Mutasi tipe ini, virus H5N1 hanya mengalami perubahan antigenik minor
(H/N) yang terjadi dalam 1 subtipe virus. Sifat ini selalu dikaitkan dengan
timbulnya suatu epidemi dari penyakit ini. Mutasi antigenic drift akan
menyebabkan antibodi yang ada tidak bisa secara lengkap menetralisasi
virus. Waktu yang diperlukan untuk proses mutasi ini relatif singkat, + 1
tahun.
b. Antigenic shift
Tipe mutasi ini terjadi saat dua atau lebih subtipe virus H5N1 bercampur
dalam satu inang membentuk subtipe baru. Inang yang berperan untuk
mutasi ini yH5N1tu babi. Awalnya virus H5N1 yang mengalami mutasi
antigenic shift akan terjadi perubahan antigenik mayor oleh rekombinan H
dan N subtipe yang berbeda sehingga dapat memicu timbulnya pandemi
(serangan kasus H5N1 yang terjadi secara luas, melewati batas negara).
Proses mutasi ini membutuhkan waktu yang relatif lama, sekitar 8-10 tahun
dengan efek yang ditimbulkan sangat berbahaya .
5. Bagaimana respon sistem imun terhadap virus ?
Jawab :
Infeksi virus secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel
terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus.
Sel NK melisiskan berbagai jenis sel terinfeksi virus. Sel NK mampu
melisiskan sel yang terinfeksi virus walaupun virus menghambat presentasi
antigen dan ekspresi MHC I, karena sel NK cenderung diaktivasi oleh sel
sasaran yang MHC negatif.
Untuk membatasi penyebaran virus dan mencegah reinfeksi, sistem imun
harus mampu menghambat masuknya virion ke dalam sel dan
memusnahkan sel yang terinfeksi. Antibodi spesifik mempunyai peran
penting pada awal terjadinya infeksi, dimana ia dapat menetralkan antigen
virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh sel yang mengalami
lisis. Peran antibodi dalam menetralkan virus terutama efektif untuk virus
yang bebas atau virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dapat
dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya dengan cara menghambat
perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel, sehingga
virus tidak dapat menembus membran sel, sehingga virus tidak dapat
menembus membran sel; dengan demikian replikasi virus dapat dicegah.
Antibodi dapat juga mengahancurkan virus dengan cara aktivasi komplemen
melalui jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus sehingga mudah
difagositosis dan dihancurkan melalui proses yang sama seperti diuraikan
diatas. Antibodi dapat mencegah penyebaran virus yang dikeluarkan dari sel
yang telah hancur. Tetapi sering kali antibodi tidak cukup mampu untuk
mengendalikan virus yang telah mengubah struktur antigennya dan yang
nmelepaskan diri (budding of) melalui membran sel sebagai partikel yang
infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang berdekatan
secara langsung. Jenis virus yang mempunyai sifat seperti ini, diantaranya
adalah virus oncorna (termasuk didalamnya virus leukemogenik), virus
dengue, virus herpes, rubella dan lain-lain. Walaupun tidak cukup mampu
menetralkan virus secara langsung, antibodi dapat berfungsi dalam reaksi
ADCC
Disamping respons antibodi, respons imun selular merupakan respons yang
paling penting, terutama pada infeksi virus yang non-sitopatik respons imun
seluler melibatkan T-sitotoksik, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC
kelas I. Peran IFN sebagai anti virus cukup besar, khususnya IFN- dan
IFN-. Dampak antivirus dari IFN terjadi melalui :
a) Peningkatan ekspresi MHC kelas I
b) Aktivasi sel NK dan makrofag
c) Menghambat replikasi virus. Ada juga yang menyatakan bahwa IFN
menghambat penetrasi virus ke dalam sel maupun budding virus dari sel
yang terinfeksi.
Seperti halnya pada infeksi dengan mikroorganisme lain, sel T-sitotoksik
selain bersifat protektif juga dapat merupakan penyebab keruskan jaringan,
misalnya yang terlihat pada infeksi dengan virus LCMV (lympocyte
choriomeningitis virus) yang menginduksi inflamasi pada selaput susunan
saraf pusat.
Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunuh virus seperti
halnya ia membunuh bakteri. Tetapi pada infeksi dengan virus tertentu,
makrofag tidak membunuhnya bahkan sebaliknya virus memperoleh
kesempatan untuk replikasi di dalamnya. Telah diketahui bahwa virus hanya
dapat berkembang biak intraselular karena ia memerlukan DNA-pejamu
untuk replikasi. Akibatnya ialah bahwa virus selanjutnya dapat merusak sel-
sel organ tubuh yang lain terutamaapabila virus itu bersifat sitopatik.
Apabila virus itu bersifat non sitopatik ia menyebabkan infeksi kronik
dengan menyebar ke sel-sel lain.
Pada infeksi sel secara langsung di tempat masuknya virus (port
dentre), misalnya di paru, virus tidak sempat beredar dalam sirkulasi dan
tidak sempat menimbulkan respons primer, dan antibody yang dibentuk
seringkali terlambat untuk mengatasi infeksi. Pada keadaan ini respons imun
selular mempunyai peran lebih menonjol, karena sel T-sitotoksik mampu
mendeteksi virus melalui reseptor terhadap antigen virus sekalipun struktur
virus telah berubah. Sel T sitotoksik kurang spesifik dibandingkan antibody
dan dapat melakukan reaksi silang dengan spectrum yang lebih luas. Namun
ia tidak dapat menghancurkan sel sasaran yang menampilkan MHC kelas I
yang berbeda. Beberapa jenis virus dapat menginfeksi sel-sel system imun
sehingga mengganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi,
misalnya virus influenza, polio dan HIV. Sebagian besar infeksi virus
membatasi diri sendiri (self limiting) pada sebagian lagi menimbulkan
gejala klinik atau subklinik. Penyembuhan dari infeksi virus umumnya
diikuti imunitas jangka panjang.
Untuk mencapai organ sasaran, virus menempuh 2 cara :
1. Virus memasuki tubuh pada suatu tempat, kemudian ikut peredaran
darah mencapai organ sasaran. Contohnya virus polio. Virus polio
memasuki tubuh melalui selaput lender usus, lalu masuk ke dalam peredaran
darah mencapai sumsum tulang belakang dotak, di sana virus melakukan
replikasi.
Infeksi virus melalui peredaran darah ini dapat diatasi dengan anti toksin
dalam titer yang rendah. Dengan kata lain titer anti toksin yang rendah di
dalam darah sudah cukup untuk mengikat toksis yang berada dalam
perjalanan ke sumsum syaraf pusat, sehingga tidak lagi dapat berikatan
dengan reseptor sel sasaran. Penyakit virus dengan pola penyebaran melalui
peredaran darah mempunyai periode inkubasi yang panjang.
Contoh lain dari pola penyebaran yang sama dengan virus polio adalah virus
penyebab penyakit morbili dan varicella.
2. Virus langsung mencapai organ sasaran, tidak melalui peredaran
darah jadi tempat masuk virus merupakan organ sasaran. Contohnya virus
influenza organ sasarannya adalah selaput lender saluran pernafasan yang
sekaligus merupakan tempat masuknya virus.
Pada jenis infeksi ini, titer antibody yang tinggi di dalam serum relative
tidak efektif terhadap virus penyebab penyakit bila dibandingkan dengan
virus penyebab penyakit yang penyebarannya melalui peredaran darah. Hal
ini disebabkan karena selaput lendir saluran nafas tidak terlalu permiabel
bagi Ig G dan Ig M.
Imunoglobulin yang terdapat dalam titer tinggi pada selaput lendir saluran
nafas adalah Ig A, karena Ig A dihasilkan oleh sel plasma yang terdapat
dalam lamina propria selaput lendir setempat. Ig A dalam secret hidung
inilah yang menetralisir aktivitas virus pada penyakit influenza.
Kekebalan terhadap penyakit virus seringkali bertahan lama, malah ada
yang seumur hidup. Contohnya penyakit morbili dan parotitis epidemika.
Hal ini terjadi karena virus yang sudah berada di dalam jaringan terlindung
terhadap antibody. Sewaktu-waktu ada virus yang keluar dari sel
persembunyiannya yang segera dikenali oleh limfosit B pengingat. Sel
limfosit kemudian akan bereaksi memperbanyak diri, menghasilkan sel-sel
plasma dan memproduksi antibody. Semuanya terjadi dalam waktu singkat
sehingga kekebalan dengan cepat ditingkatkan.
Pada beberapa penyakit virus antara lain influenza serangan penyakit dapat
kembali terjadi dalam waktu relative singkat setelah kesembuhan. Hal ini
bukan disebabkan rendahnya kekebalan, tapi karena virus influenza
mengalami mutasi sehingga didapatkan strain baru yang tidak sesuai dengan
antibody yang telah ada.
Pada penyakit-penyakit influenza dan pilek yang mempunyai masa inkubasi
pendek yang dihubungkan dengan kenyataan bahwa organ sasaran akhir
bagi virus itu adalah sama dengan jalan masuk sehingga tidak terdapat
stadium antara yang terpengaruh pada perjalanan memasuki tubuh. Hanya
ada sedikit sekali waktu bagi suatu reaksi antibody primer dan dalam segala
kemungkinan pembentuk interferon yang cepat adalah cara yang paling
tepat untuk mengatasi infeksi virus itu.pada penyelidikan terlihat bahwa
setelah produksi interferon mulai menanjak, maka titer virus yang masih
hidup dalam paru-paru tikus yang telah di infeksi influenza cepat turun.
Titer antibody yang diukur dari serum, nampaknya sangat lambat untuk
mencukupi nilai yang diperlukan bagi penyembuhan.
Walaupun begitu, beberapa penyelidik akhir-akhir ini telah melihat bahwa
kadar antibody pada cairan local yang membasahi permukaan jaringan yang
terinfeksi mungkin meningkat, misalnya pada selaput lendir hidung dan
paru-paru, meskipun titer serum rendah dan ini merupakan antibody
antivirus (terutama Ig A) oleh sel-sel yang telah menjadi kebal dan tersebar
ditempat itu yang dapat membuktikan manfaatnya yang besar sebagai
pencegahan bagi infeksi berikutnya. Celakanya, sampai begitu jauh yang
menyangkut soal pilek, tampaknya infeksi berikutnya mungkin disebabkan
oleh virus yang secara antigenic sama sehingga kekebalan umum terhadap
pilek ini sukar dikendalikan.
6. virus H5N1 ?
Jawab :
Definisi Flu Burung (Avian Influenza) Penyakit Flu Burung atau Avian
Influenza adalah penyakit menular yang disebabkan virus influenza yang
ditularkan oleh unggas. Influenza A (H5N1) adalah penyebab wabah flu
burung pada hewan di Hong Kong, Cina, Vietnam, Thailand, Indonesia,
Korea, Jepang, Laos, Kamboja kecuali Pakistan (H7N7) (Rahardjo, 2004).
Secara umum, influenza merupakan suatu penyakit infeksi akut saluran
pernapasan terutama ditandai oleh demam, menggigil, sakit otot, sakit
kepala, dan sering disertai pilek, sakit tenggorok dan batuk non produktif.
Lama sakit berlangsung antara 2-7 hari dan biasanya sembuh sendiri
( Nelwan, 2006). Sedangkan Gejala (avian influenza) yang ada pada
manusia seperti demam, batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri sendi
sampai infeksi selaput mata (konjungtivitis). Bila keadaan semakin
memburuk dapat terjadi severe respiratory distress dan pneumonia yang
menyebabkan kematian.
Etiologi Flu burung atau Avian Influenza (AI), termasuk virus Influenza
A bersama-sama dengan virus Influenza B dan C, virus ini merupakan
famili Orthomyxoviridae. Virus Influenza A dapat menginfeksi unggas,
termasuk ayam, itik, angsa, kalkun dan berbagai jenis burung dara, burung
camar, burung elang, babi, kuda, anjing laut serta manusia. Sementara virus
Influenza B dan C hanya menginfeksi manusia. Dengan mikroskop elektron
virus Avian Influenza mempunyai 8 segmen yang terdiri dari rangkaian
RNA dengan ukuran 80-120 nanometer. Setiap virus mempunyai 500 spike.
Segmen ini merupakan genome yang akan menghasilkan protein untuk
hidupnya. Kedelapan segmen ini terdiri dari hemaglutinin (HA),
neuroaminidase (NA), nukleoprotein (NP), matriks (M), polimerase A (PA),
polimerase B1 (PB1) dan polimerase B2 (PB2) serta non struktural (NS).
Kedelapan segmen tersebut akan menghasilkan 10 macam gen M (matriks)
dan NS (non struktural) (Rahardjo, 2004). Virus Avian Influenza ini
dibungkus oleh glikoprotein dan dilapisi oleh lemak ganda (bilayer lipid).
Glikoprotein HA (hemaglutinin) dan NA (neuroaminidase) merupakan
protein permukaan yang sangat berperan dalam penempelan dan pelepasan
virus dari sel inang. Protein HA (hemaglutinin) merupakan bagian terbesar
dari spike yaitu 80% dan NA (neuroaminidase) sebesar 20%. Sedangkan NP
(nukleoprotein) dan M (matriks) digunakan untuk membedakan antara virus
Influenza A dengan B atau C. Virus Influenza A ini bersifat sangat mudah
mutasi, terutama pada HA (hemaglutinin) dan NA (neuroaminidase).
Sampai saat ini berdasarkan struktur HA (hemaglutinin) terdapat 15 subtipe,
H1 H15 dan berdasarkan NA (neuroaminidase) terdapat 9 subtipe N1
N9. Hal ini disebabkan virus ini sangat unik karena mampu mengubah diri
melalui proses antigenic drift dan antigenic shift sehingga sulit dikenali
sistem kekebalan seseorang.
Gejala Klinis
Gejala pada Hewan Unggas
Avian Influenza (AI) yang lazim disebut flu burung, yang ganas dapat
muncul dengan tiba-tiba di kandang dan banyak ayam yang mati tanpa
gejala yang termonitor seperti depresi, lesu, bulu rontok, dan panas.
Kerabang telur yang diproduksi lembek dan segera diikuti pemberhentian
produksi. Muka dan pial kebiruan, kaki kemerahan dan udem. Ayam
mengalami diare dan terlihat sangat haus, pernapasan terlihat berat, terjadi
perdarahan pada kulit tanpa bulu. Kematian bervariasi dari 50% sampai
dengan 100% (Rahardjo, 2004).
Gejala pada Manusia
Masa inkubasi Avian Influenza sangat pendek yaitu 3 hari, dengan rentang
2-4 hari. Manifestasi klinis Avian Influenza pada manusia terutama terjadi
pada sistem respiratorik mulai dari yang ringan sampai berat. Manifestasi
klinis Avian Influenza secara umum sama dengan gejala ILI (Influenza Like
Illness), yaitu batuk, pilek, dan demam. Demam biasanya cukup tinggi yaitu
> 38 derajat Celcius. Gejala lain berupa sefalgia, nyeri tenggorokan,
mialgia, dan malaise (Nainggolan, dkk, 2006).
Adapun keluhan gastrointestinal berupa diare dan keluhan lain berupa
konjuntivitis. Keadaan klinis bisa sangat bervariasi, mulai dari
asimptomatik, flu ringan hingga berat, pneumonia, dan banyak yang
berakhir dengan ARDS (acute respiratory distress syndrome). Perjalan klinis
Avian Influenza umunya berlangsung sangat progressif dan fatal. Mortalitas
penyakit ini dilaporkan terakhir sekitar 50%. Kelainan laboratorium rutin
yang hampir selau dijumpai adalah leukopenia, limfopenia, dan
trombositopenia. Dan banyak yang mengalami gangguan ginjal berupa
peningkatan nilai ureum dan kreatinin. Kelainan gambaran radiologis toraks
berlangsung sangat progressif dan sesuai dengan manifestasi klinisnya
namun tidak ada gambaran yang khas. Kelainan foto toraks bisa berupa
infiltrat bilateral luas, infiltrat difus, multifokal, atau patchy, atau berupa
kolaps lobar.
Diagnosis Flu Burung
Diagnosis pada unggas
Diagnosis harus dipastikan dengan isolasi dan identifikasi virus penyebab
penyakitnya. Isolasi virus memakai Gold strandard dari OIE (Office
International des Epizooties) sampel berasal dari trakea, paru-paru, limpa,
otak, dan atau usapan kloaka ayam sakit atau mati. Dilakukan pada SPF
(spesific phatogen free) embrio anak ayam umur 4 11 hari hingga embrio
mati dalam 48 72 jam. Identifikasi virus dan penentuan subtipe HA
(hemaglutinin) dan NA (neuroaminidase) dengan beberapa cara yaitu
Antigen capture ELISA tes yang ada beberapa macam, dan PCR Genetic
sequencing. Selain itu, gejala klinis dan patologis yang patut dicurigai
adalah bila ada bengkak wajah, cyanosis pial dan petechiae di mukosa dan
kulit. Masa inkubasinya 3 7 hari, dengan kematian terjadi 2 jam sampai
beberapa minggu (Rahardjo, 2004).
Diagnosis pada manusia
Diagnostik (Leonard, dkk, 2006)
a. Uji konfirmasi :
1.Kultur dan identifikasi virus H5N1
2.Uji Real Time Nested PCR (Polymerase Chain Reaction) untuk H5
3.Uji serologi
a. Immunofluorescence (IFA) test : ditemukan antigen positif dengan
menggunakan antibodi monoclonal Influenza A H5N1
b.Uji netralisasi : didapatkan kenaikan titer antibodi spesifik influenza A
H5N1 sebanyak 4 kali dalam paired serum dengan uji netralisasi.
c. Uji penapisan : a)Rapid test untuk mendeteksi Influenza A b)HI test
dengan darah kuda untuk mendeteksi H5N1 c)Enzyme Immunoassay
(ELISA) untuk mendeteksi H5N1.
b. Pemeriksaan Lain
1.Hematologi : Hemoglobin, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit, total
limfosit. Umumnya ditemukan leukopeni, limfositopeni atau limfositosis
relatife dan trombositopeni.
2.Kimia : Albumin/Globulin, SGOT/SGPT, Ureum, Kreatinin, Kreatin
Kinase, Analisa Gas Darah. Umumnya dijumpai penurunan albumin,
peningkatan SGOT/SGPT, peningkatan ureum dan kreatinin, peningkatan
kreatinin kinase, analisa gas darah dapat normal atau abnomal. Kelainan
laboratotium sesuai dengan perjalanan penyakit dan komplikasi yang
ditentukan.
3.Pemeriksaan radiologik : pemeriksaan foto toraks PA dan Lateral. Dapat
ditemukan gambaran infiltrat di paru yang menunjukkan bahwa kasus ini
adalah pneumonia.
7. Bagaimana metode PCR ?
Jawab :
PCR merupakan tehnik amplifikasi DNA selektif in vitro yang meniru
fenommena replikasi DNA in vivo. Komponen reaksi yang diperlukan
dalam teknik ini adalah untai tunggal DNA sebagai cetakan, primer (sekuens
oligonukleotida yang mengkomplementeri akhiran sekuens cetakan DNA
yang sudah ditentukan), dNTPs (deoxynucleotide triphosphates), dan enzim
TAQ polimerase yaitu enzim dari bakteri Termovilus aquatikus.
Sejak ditemukannya struktur DNA untai ganda, kita mulai memahami
prinsip replikasi DNA terutama kaitannya dengan mekanisme transfer
materi genetik. Seperti yang telah dijelaskan dalam materi Asam Nukleat
dalam struktur DNA untai ganda tersebut, basa A dan T , juga C dan G ,
memiliki ikatan hidgrogen yang mudah dirusak dan mudah dibentuk
kembali. Untuk melakukan replikasi, mula-mula ikatan hidrogen tersebut
harus dirusak dahulu agar DNA untai ganda berubah menjadi untai tunggal.
Kemudian karena A selalu berpasangan dengan T, dan C selalu berpasangan
dengan G, maka jika kita memiliki satu untai DNA dengan sequens
ACTAG, misalnya, maka kita dapat mencetak untai komplementernya, yaitu
TGATC, begitu juga sebaliknya.
Pada prinsipnya, reaksi PCR ( protokol PCR konvensional ) membutuhkan
tiga tahap :
1. Denaturasi
Denaturasi merupakan proses memisahkan DNA menjadi utas tunggal.
Tahap denaturasi DNA biasanya dilakukan pada kisaran suhu 92 95 oC.
Denaturasi awal dilakukan selama 1 3 menit diperlukan untuk meyakinkan
bahwa DNA telah terdenaturasi menjadi untai tunggal. Denaturasi yang
tidak berlangsung secara sempurna dapat menyebabkan utas DNA terputus.
Tahap denaturasi yang terlalu lama dapat mengakibatkan hilangnya aktivitas
enzim polimerase.
2. Annealing
Annealing merupakan proses penempelan primer. Tahap annealing primer
merupakan tahap terpenting dalam PCR, karena jika ada sedikit saja
kesalahan pada tahap ini maka akan mempengaruhi kemurnian dan hasil
akhir produk DNA yang diinginkan. Faktor yang mempengaruhi tahap ini
antara lain suhu annealing dan primer. Suhu annealing yang terlalu rendah
dapat mengakibatkan timbulnya pita elektroforesis yang tidak spesifik,
sedangkan suhu yang tinggi dapat meningkatkan kespesifikan amplifikasi.
Kenaikan suhu setelah tahap annealing hingga mencapai 7074oC bertujuan
untuk mengaktifkan enzim TaqDNA polimerase. Proses pemanjangan
primer (tahap extension) biasanya dilakukan pada suhu 72oC, yaitu suhu
optimal untuk TaqDNA polimerase. Selain itu, pada masa peralihan suhu
dari suhu annealing ke suhu extension sampai 70 oC juga menyebabkan
terputusnya ikatan-ikatan tidak spesifik antara DNA cetakan dengan primer
karena ikatan ini bersifat lemah. Selain suhu, semakin lama waktu extension
maka jumlah DNA yang tidak spesifik semakin banyak.
3. Elongasi
Elongasi merupakan proses pemanjangan DNA. Dalam tahap extension atau
sintesis DNA, enzim polimerase bergabung bersama dengan nukleotida dan
pemanjangan primer lengkap untuk sintesis sebuah DNA utas ganda. Reaksi
ini akan berubah dari satu siklus ke siklus selanjutnya mengikuti perubahan
konsentrasi DNA.
Hasil sintesa DNA dalam satu siklus dapat berperan sebagai cetakan
(template) pada siklus berikutnya sehingga jumlah DNA target menjadi
berlipat dua pada setiap akhir siklus. Dengan kata lain DNA target
meningkat secara eksponensial, sehingga setelah 30 siklus akan menjadi
milyaran amplifikasi DNA target.
8. Bagaimana oseltamivir dapat menyebabkan resistensi ?
Jawab :
Sampai saat ini telah ditemukan delapan belas subtipe HA (H1-H18),
dan sebelas subtipe NA (N1-N11).7 Ada dua jenis mekanisme kerja lini
pertama obat antivirus influenza yang digunakan yaitu: penghambat
neuraminidase (NA) seperti oseltamivir dan zanamivir) dan protein matriks
2 (M2) ion channel blockers misalnya amantadine dan rimantadine.8
Terbatasnya jenis obat antivirus menyebabkan perlunya monitoring
adanya virus influenza yang resisten terhadap antivirus yang ada. Dengan
makin banyaknya penggunaan oseltamivir sebagai antivirus untuk
pengobatan terhadap virus influenza, maka kemungkinan adanya strain
virus infleunza A (H1N1pdm09) yang resisten terhadap oseltamivir
semakin menjadi perhatian bagi tenaga kesehatan di seluruh dunia.9,10
Sebagian besar strain virus influenza A (H1N1pdm09) yang resisten
terhadap oseltamivir mengalami perubahan pada asam amino pada posisi
275 dimana protein histidine (H) berubah menjadi tyrosine (Y) dari gen
NA. Perubahan ini memberikan arti yang sangat penting yaitu adanya
penurunan kepekaan virus influenza A (H1N1pdm09) terhadap
oseltamivir.
9. Mekanisme resistensi
Jawab :
Mekanisme resistensi bakteri
Obat-obat antimikroba tidak efektif terhadap semua mikroorganisme.
Spektrum aktivitas setiap obat merupakan hasil gabungan dari beberapa
faktor, dan yang paling penting adalah mekanisme kerja obet primer.
Demikian pula fenomena terjadinyaresistensi obat tidak bersifat universal
baik dalam hal obat maupun mikroorganismenya. Perubahan-perubahan
dasar dalam hal kepekaan mikroorganisme terhadap antimikroba tanpa
memandang faktor genetik yang mendasarinya adalah terjadinya keadaan-
keadaan sebagai berikut :
1. Dihasilkannya enzim yang dapat menguraikan antibiotik seperti enzim
penisilinase, sefalosporinase, fosforilase, adenilase dan asetilase.
2. Perubahan permeabilitas sel bakteri terhadap obat.
3. Meningkatnya jumlah zat-zat endogen yang bekerja antagonis terhadap
obat.
4. Perubahan jumlah reseptor obat pada sel bakteri atau sifat komponen
yang
mengikat obat pada targetnya.