Вы находитесь на странице: 1из 10

HIPERMETROPI

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Non Menular


Dosen pengampu: drg. Yunita dyah Puspita Santik, M.Kes

Disusun Oleh:

Dwi Yuli Kristanti (6411413091/Rombel 4)


Nurul Khikmah (6411413096/Rombel 4)
Andita Kusumaningrum (6411413107/Rombel 4)
Mursita Eka Nordianti (6411413138/Rombel 5)
Rani Rahayu (6411413141/Rombel 5)
Ziko Nuzulul Imanu (6411413143/Rombel 5)

JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015

Kesehatan merupakan suatu hal yang sangat berharga dan penting


bagi setiap insan manusia. Kesehatan tidak hanya meliputi kesehatan
tubuh semata tetapi juga bagian tubuh lainnya seperti mata.

Mata merupakan salah satu panca indera yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, dan penglihatan merupakan hal yang sangat
penting dalam menentukan kualitas hidup manusia. Tanpa mata,
manusia mungkin tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada
disekitarnya. Dalam penglihatan, mata mempunyai berbagai macam
kelainan refraksi. Kelainan refraksi atau yang sering disebut dengan
ametropia tersebut, terdiri dari miopia, hipermetropia, dan
astigmatisme. Kelainan refraksi merupakan gangguan yang banyak
terjadi di dunia tanpa memandang jenis kelamin, usia, maupun
kelompok etnis.

Kelainan refraksi merupakan kelainan pada mata yang paling umum.


Hal ini terjadi apabila mata tidak mampu memfokuskan bayangan
dengan jelas, sehingga penglihatan menjadi kabur, dimana kadang-
kadang keadaan ini sangat berat sehingga menyebabkan kerusakan
pada penglihatan.

Prevalensi kebutaan menurut WHO (1990) adalah berkisar antara


0,08% pada anak-anak sampai 4,4% pada orang dewasa usia diatas 60
tahun. Secara keseluruhan, prevalensinya 0,7%. Jumlah orang yang
mengalami kebutaan di dunia meningkat 1-2 juta orang setiap
tahunnya (Andayani, 2008).

Di indonesia terutama orang tua golongan ekonomi menengah


kebawah mempunyai angka kejadian ekonomi yang tinggi, tetapi
hipermetropi juga bisa dialami oleh anak-anak maupun remaja. Hal
tersebut dapat terjadi karena faktor internal mata maupun faktor gaya
hidup yang tidak sehat, seperti melihat televisi terlalu dekat dan
kurangnya konsumsi gizi.

Walaupun kelainan hipermetropi sudah cukup banyak terjadi dan


umum di masyarakat, namun pengetahuan mereka mengenai kelainan
hipermetropi dan kesehatan mata ini masih belum cukup. Padahal
pengetahuan ini sangat penting terutama mengenai koreksi kelainan
hipermetropi. Jika kelainan refraksi tidak dikoreksi dapat menimbulkan
komplikasi seperti esotropia (juling ke dalam), glaukoma bahkan
kebutaan. Oleh karena itu, makalah dengan tema hipermetropi ini
dibuat untuk memberikan pengetahuan mengenai hal-hal yang terkait
dengan kelainan refraksi hipermetropi.

Manfaat Penulisan

1. Bagi penulis, untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit


hipermetropi.

2. Bagi pembaca, untuk menambah pengetahuan dan sebagai acuan


untuk menulis makalah.
1.1 Definisi
Hipermetropi atau biasa dikenal dengan rabun dekat adalah cacat mata
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat melihat benda pada jarak dekat.
Mata hipermetropi disebabkan oleh keadaan fisik lensa mata yang terlalu pipih
atau tidak dapat mencembung dengan optimal, oleh sebab itu bayangan yang
dibentuk lensa mata jatuh di belakang retina. Rabun dekat dapat tolong
menggunakan kaca mata lensa cembung, yang berfungsi untuk
mengumpulkan sinar sebelum masuk mata, sehingga terbentuk bayangan yang
tepat jatuh di retina.
Hipermetropia adalah suatu kondisi ketika kemampuan refraktif mata
terlalu lemah yang menyebabkan sinar yang sejajar dengan sumbu mata tanpa
akomodasi difokuskan di belakang retina. Gangguan ini terjadi pada diameter
anteroposterior bola mata yang pendek sehingga jarak antara lensa dan retina
juga pendek dan sinar difokuskan di belakang retina. Hal ini menyebabkan
kesulitan melihat objek dekat dan disebut farsightedness atau hyperopia
(Indriani Istiqomah, 2004 : 205).
Hipermetropi adalah cacat mata yang disebabkan oleh lensa mata terlalu
pipih sehingga bayangan dari benda yang dekat jatuh dibelakang retina.
Hipermetropi disebut pula juga rabun dekat, karena tidak dapat melihat benda
yang jaraknya dekat. Penderita hipermetropi hanya mampu melihat jelas
benda yang jauh. Untuk menolong penderita hipermetropi, dipakai kacamata
lensa cembung (lensa positif). (Abdullah, Mikrajuddin, dkk, 2007. IPA
Terpadu SMP dan MTS.Tanpa Kota. ESIS, 87-88).
Hipermetropi atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik
fokusnya terletak dibelakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar
difokuskan di belakang makula lutea (Sidarta Ilyas, 2010 : 78).

1.2 Klasifikasi
Berdasarkan bentuknya hipermetropi dibagi menjadi:
1. Hipermetropia manifest
Adalah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif
maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini
terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia
fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik dan
hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata yang maksimal.
2. Hipermetropia Absolut
Dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan
memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia
laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia
manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut
sebagai hipermetropia absolut, sehingga jumlah hipermatropia fakultatif
dengan hipermetropia absolut adalah hipermetropia manifes.
3. Hipermetropia Fakultatif
Dimana kelainan hipermatropia dapat diimbangi dengan akomodasi
ataupun dengan kaca mata positif. Pasien yang hanya mempunyai
hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kaca mata yang bila
diberikan kaca mata positif yang memberikan penglihatan normal maka
otot akomodasinya akan mendapatkan istrahat. Hipermetropia manifes
yang masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia
fakultatif.
4. Hipermetropia Laten
Dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegi ( atau dengan obat yang
melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila siklopegia. Makin muda
makin besar komponen hipermetropi laten seseorang. Makin tua seseorang
akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi
hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia
absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi
terus menerus, teritama bila pasien masih muda dan daya akomodasinya
masih kuat.
5. Hipermetropia Total
Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia.

Selain klasifikasi diatas ada juga yang membagi hipermetropia secara


klinis menjadi tiga kategori, yaitu:
1. Simple Hipermetropia, diakibatkan variasi biologis normal seperti
etiologi axial atau refraksi
2. Patological Hipermetropia, diakibatkan anatomi okuler yang berbeda
yang disebabkan.
3. Fungsional Hipermetropia, merupakan akibat dari paralisis akomodasi.
Klasifikasi hipermetropi berdasarkan berat ringan gangguan:
1.Hipermetropia ringan: gangguan refraksi dibawah +2D
2.Hipermetropia sedang: gangguan refraksinya +2.25- +5 D
3. Hipermetropia berat: gangguan refraksinya diatas 5D

Klasifikasi hipermetropi berdasar struktur bola mata:


1. Hipermetropi refraktif, berkurangnya indeks bias media penglihatan
2. Hipermetropi aksial, kekuatan refraksi mata normal, tetapi diameter
anterior posterior bola mata lebih pendek dari normal
3. Hipermetropi kurvatura, besar bola mata normal tetapi kurvatura kornea
dan lensa lebih lemah dari normal

1.3 Epidemiologi
1.3.1 Angka kejadian hipermetropi

Hipermetropi merupakan penyebab kebutaan nomor satu di dunia.


Indonesia memiliki angka penderita Hipermetropi tertinggi di Asia
Tenggara. Dari sekitar 234 juta penduduk, 1,5 persen atau lebih dari tiga juta
orang menderita Hipermetropi. Sebagian besar penderita Hipermetropi
adalah lansia berusia 60 tahun ke atas.

Berdasarkan survei kesehatan indera penglihatan dan pendengaran


tahun 1993-1996, menunjukkan angka kebutaan di Indonesia sebesar 1,5%,
dengan penyebab utama adalah Hipermetropi (0,78%); glaukoma (0,20%);
kelainan refraksi (0,14%); dan penyakit-penyakit lain yang berhubungan
dengan lanjut usia (0,38%).

Dibandingkan dengan negara-negara di regional Asia Tenggara, angka


kebutaan di Indonesia adalah yang tertinggi (Bangladesh 1%, India 0,7%,
Thailand 0,3%). Sedangkan insiden Hipermetropi 0,1% (210.000
orang/tahun).

Prevalensi kebutaan di ASEAN adalah sekitar 0,8%. Angka ini


bervariasi, mulai dari 0,3% di Thailand hingga 1,5% di Indonesia. Negara
kita merupakan negara dengan angka kebutaan yang tertinggi dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainnya (WHO, 2001).
Dari hasil Survei Depertemen Kesehatan Republik Indonesia yang
dilakukan di 8 provinsi (Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa
Tenggara Barat) tahun 2009 ditemukan kelainan refraksi sebesar 61.71%.

Berdasarkan penelitian rusdayani (2001) di RSUP M.DJAMIL Padang


, dari 13023 penderita yang berkunjung ke poliklinik mata terdapat 43,08%
adalah penderita hipermetrop. Frekuensi tertinggi dijumpai pada kelompok
umur > 50 tahun . Dan hasil penelitian di RSUP Adam Malik Medan,
terdapat 57,4 % penderita hipermetrop.

Hasil distribusi kelainan refraksi pada anak di BLU RSU Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado periode Juni 2010 Juni 2012 , didapatkan 163
penderita kelainan refraksi pada anak, dengan jumlah penderita
hipermetropia sebanyak 5 penderita (3,07%).

1.3.2 Distribusi hipermetropi


Hipermetropi menyerang diseluruh dunia dengan angka kesakitan
yang masih tinggi terutama di negara berkembang. Hipermetropi
umumnya terjadi pada orang berusia 45-50 tahun. Dimana pada usia
tersebut, daya akomodasi mata berkurang dan lensa berangsur-angsur tidak
dapat memfokuskan bayangan pada retina. Hipermetropi menyebar merata
di berbagai geografis, etnis dan jenis kelamin.

1.3.3 Faktor resiko hipermetropi


Riwayat keluarga (orang yang keluarganya menderita hipermetropi
cenderung lebih beresiko terkena hipermetropi)
Hipermetropi pada bayi yang baru lahir. Dengan rata-rata 2 dioptri.
Orang dewasa dengan presbiopi
Penggunaan lensa kontak
Adanya tumor orbital dan inflamasi.

1.3.4 Faktor protektif hipermetropi


Memperhatikan konsumsi vitamin A
Makan makanan seperti wortel yang mengandung vitamin A. Hal,
ini dikarenakan wortel mengandung vitamin A dan beta karoten
yang berfungsi untuk menjaga kesehatan mata Anda.
Jaga jarak pandang ketika berada didepan layar komputer maupun
TV
Jarak pandang yang ideal sekitar 50-100cm. Seperti juga halnya
ketika sedang membaca buku. Jarak yang ideal ketika membaca
buku sekitar 30cm. Hal ini dimaksudkan agar dapat terhindar dari
kerusakan refraksi mata.
Hindari kebiasaan mengucek mata
Jangan sering mengucek mata ketika mata terasa gatal. Ketika
tangan Anda kotor sehabis memegang suatu benda dapat
menginfeksi organ mata yang dapat berakibat sangat buruk untuk
kesehatan mata.
Istirahatkan mata
Jangan paksakan mata untuk berlama-lama membaca buku atau
berada di depan layar komputer. Jika Anda terlalu lama, mata akan
sakit. Isitirahatkan mata selama beberapa menit.
Pakai pelindung mata
Cobalah untuk memakai pelindung mata dalam berbagai kegiatan
aktivitas seperti saat berkendara, olahraga, dan sebagainya. Banyak
kacamata yang dirancang khusus untuk olahraga untuk
menghindari terjadinya cedera mata dan terhindar dari debu
Rutin memeriksakan mata
Periksakan mata Anda secara rutin agar dapat terhindar dari
penyakit yang menyerang mata sewaktu-waktu.

1.3.5 Dampak bagi kesehatan masyarakat


Penderita merasa tidak nyaman karena penglihatannya terganggu
Produktivitas menurun, karena mata tidak berfungsi dengan baik
Menurunkan derajat kesehatan masyarakat karena terkena penyakit
hipermetropi
Menurunkan nilai ujian , karena konsentrasi buyar dan tidak dapat
membaca yang dekat

1.4 Diagnosis
Untuk menegakkan seseorang dengan hipermetropia perlu dilakukan
pemeriksaan pemeriksaan yang menunjang penegakan diagnosa
hipermetropia.
1. Riwayat pasien
Hal-hal yang penting dari riwayat pasien adalah penyakit okuler yang pernah
timbul, penggunaan obat-obatan, penyakit sistemik.
2. Pemeriksaan Okuler
a. Visual Acuity. Mempergunakan beberapa alat untuk mengetahui
kemampuan membaca pasien hipermetropi dalam jarak dekat. Seperti Jaeger
Notation, Snellen metric distance dan Lebehnson chart.6
b. Refraksi.
Retinoskopi merupakan prosedur yang digunakan secara luas untuk menilai
hipermetropia secara objektif. Prosedur yang dilakukan meliputi static
retinoscopy, subjective refraction dan autorefraction.
c. Pergerakan Okuler, Pandangan Binokuler dan Akomodasi
Pemeriksaan ini diperlukan karena gangguan pada fungsi visual diatas dapat
menyebabkan terganggunya visus dan performa visual yang menurun.
d. Assesmen kesehatan okuler dan Skreening Kesehatan sistemik
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendiagnosa hipermetropia dapat
berupa respon pupil, uji konfrontasi lapangan pandang, uji penglihatan warna,
pengukuran tekanan intraokuler dan pemeriksaan kesehatan segmen anterior
posterior bola mata dan adnexa.
e. Kesehatan Segmen anterior
Pada pasien dengan daya akomodasi yang masih sangat kuat atau pada anak-
anak, sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan pemberian siklopegik atau
melumpuhkan otot akomodasi

1.5 Penatalaksanaan

1. Koreksi Optikal

Hipermetropia dikoreksi dengan kacamata berlensa plus (konveks) ataudengan


lensakontak. Pada anak kecil dengan kelainan berderajat rendah yang tidak
menunjukan gejala sakit kepala dan keluhan lainnya, tidak perlu diberi kacamata.
Hanya orang-orang yang derajat hipermetropianya berat dengan atau tanpa
disertai mata juling dianjurkan menggunakan kacamata. Pada anak-anak dengan
mata juling ke dalam (crossed eye) yang disertai hipermetropia, diharuskan
memakai kacamata berlensa positif. Karena kacamata berlensa plus ini amat
bermanfaat untuk menurunkan rangsangan pada otot-otot yang menarik bolamata
juling ke dalam

Biasanya sangat memuaskan apabila power yang lebih tipis (1 D) daripada total
fakultatif dan absolute hyperopia yang diberikan kepada pasien dengan tidak ada
ketidak seimbangan otot ekstraokular. Jika ada akomodatif esotrophia
(convergence), koreksi penuh harus diberikan. Pada exophoria, hyperopianya
harus dikoreksi dengan 1-2D. Jika keseluruhan refraksi manifest kecil, misalnya 1
D atau kurang, koreksi diberikan apabila pasien memiliki gejala-gejala

2. Terapi Penglihatan

Terapi ini efektif pada pengobatan gangguan akomodasi dan disfungsi binokuler
akibat dari hipermetropia. Respon akomodasi habitual pasien dengan
hipermetropia tidak akan memberi respon terhadap koreksi dengan lensa,
sehingga membutuhkan terapi penglihatan untuk mengurangi gangguan
akomodasi tersebut

3. Terapi Medis.
Agen Antikolinesterase seperti diisophropylfluorophospate(DFP) dan
echothiopate iodide (Phospholine Iodide,PI) telah digunakan pada pasien
dengan akomodasi eksotropia dan hipermetropia untuk mengurangi rasio
konvergensi akomodasi dan akomodasi(AC/A)
4. Merubah Kebiasaan Pasien
Modifikasi yang dapat dilakukan adalah pengunaan cahaya yang cukup dalam
aktivitas, menjaga kualitas kebersihan mata dan apabila pasien adalah
pengguna komputer sebaiknya menggunakan komputer dengan kondisi
ergonomis.

5. Bedah Refraksi

Terapi pembedahan refraksi saat ini sedang dalam perkembangan Terapi


pembedahan yang mungkin dilakukan adalah HOLIUM:YAG laser thermal
keratoplasty, Automated Lamellar Keratoplasty, Spiral Hexagonal Keratotomy,
Excimer Laser dan ekstraksi lensa diganti dengan Intra Oculer Lens. Akan
tetapi pembedahan masih jarang digunakan sebagai terapi terhadap
hipermetropia.

1.6 Pencegahan
Duduk dengan posisi tegak ketika menulis
Istirahatkan mata setiap 30-60 menit setelah nonton TV, komputer ataupun
setelah membaca
Atur jarak baca yang tepat (>30 cm)
Gunakan penerangan yang cukup
Jangan membaca dengan posisi tidur

Вам также может понравиться