Вы находитесь на странице: 1из 69

FORMULASI GEL PENGHARUM RUANGAN MENGGUNAKAN KARAGENAN

DAN GLUKOMANAN DENGAN PEWANGI MINYAK JERUK PURUT DAN


KENANGA

SKRIPSI

ARUM NUR FITRAH


F34080027

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
FORMULASI GEL PENGHARUM RUANGAN ALAMI MENGGUNAKAN
KAPPA KARAGENAN-GLUKOMANAN DAN MINYAK NILAM

FORMULATION FOR NATURAL GEL AIR FRESHENER WITH KAPPA


CARRAGEENAN- GLUCOMANAAN AND PATCHOULI OIL

Arum Nur Fitrah, Meika Syahbana Rusli

Department of Agroindustrial Technology, Faculty of Agricultural Engineering, IPB


Kampus IPB Darmaga P.O. Box 220, Bogor 16002
email : arum_fillah@yahoo.com

ABSTRACT

The purpose of this study is to determine the synergistic effect of kappa caragenaan and
glucomanaan combination and the effectiveness of patchouli oil as fixative agent in gel air freshener
formulation. The composition of kappa carageenan and glucomanaan used were 60 : 40, 70 : 30, and
100 : 0, while the level of their mixture were 3, 4, and 5% respectively. Parameters to determine the
best quality of the gels were gel strength and syneresis, while total liquid loss and aroma strengthness
were applied in three weeks to determine the best aroma retention from the best gel. The result
showed that the ratio of 60 : 40 has the highest gel strength, while the ratio of 100 : 0 has the lowest
syneresis. Hydrocoloid with higher consentration showed higher gel strength and lower syneresis.
The used of patchouli oil on gel air freshener showed lower liquid loss and higher aroma
strengthness. It was caused by the high distiling temperature of patchouli oil. The most prefered
product was gel with composition 60 : 40, consentration 3 %, and using patchouly oil, this aroma
retention is about 40 days within 70.63 grams weight. Kappa caragenaan produces brittle gel, while
glucomanaan produces high viscosity liquid. The sinergy of their mixture forms better gel elasticity
and so that essential oil mixed well with hydrocoloid.

Keywords : natural, gel air freshener, kappa carrageenan, glucomanaan, patchouli oil

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kesesuaian kappa karagenan dan glukomanan sebagai
gel serta mengetahui pengaruh minyak nilam sebagai bahan fiksatif. Variasi perbandingan kappa
karagenan dan glukomanan adalah 60 : 40, 70 : 30, dan 100 : 0, sedangkan variasi konsentrasi
campurannya adalah 3, 4, dan 5%. Parameter yang diamati untuk mengetahui kualitas gel meliputi
kekuatan gel dan sineresis, sedangkan untuk mengetahui ketahanan wangi gel pengharum ruangan
adalah uji penguapan zat cair dan ketahanan wangi selama tiga minggu. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa perbandingan 60 : 40 menghasilkan kekuatan gel yang paling tinggi, sedangkan perbandingan
100 : 0 menghasilkan sineresis yang paling rendah. Semakin tinggi konsentrasi hidrokoloid, semakin
tinggi kekuatan gel dan semakin rendah sineresis yang dihasilkan. Pemakaian minyak nilam pada gel
pengharum ruangan menghasilkan total penguapan zat cair yang lebih rendah dan ketahanan wangi
yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan minyak nilam memiliki titik didih yang tinggi. Produk yang
dipilih adalah perbandingan 60 : 40 konsentrasi 3% dengan minyak nilam, ketahanan wanginya adalah
selama 40 hari dengan bobot awal 70.63 gram. Kappa karagenan menghasilkan gel yang rapuh,
sedangkan glukomanan membentuk larutan yang sangat kental. Sinergi keduanya membentuk gel
yang lebih elastis dan mampu bercampur dengan minyak atsiri lebih baik.

Kata kunci : alami, gel pengharum ruangan, kappa karagenan, glukomanan, minyak nilam
Arum Nur Fitrah. F34080027. Formulasi Gel Pengharum Ruangan Menggunakan Karagenan dan
Glukomanan dengan Pewangi Minyak Jeruk Purut dan Kenanga. Dibawah bimbingan Meika
Syahbana Rusli. 2012.

RINGKASAN

Pengharum ruangan dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu sintetik dan alami. Penggunaan
pengharum ruangan sintetik ternyata memiliki dampak negatif terhadap kesehatan manusia dan
lingkungan. Hasil penelitian yang dilakukan Steinemann et al. (2010) menunjukkan bahwa terdapat
133 VOCs yang dilepaskan oleh 25 sampel produk pewangi yang digolongkan ke dalam senyawa
beracun, berbahaya, dan karsinogen. Selain itu, pewangi sintetik memiliki wangi yang lebih tajam
sehingga dapat menimbulkan rasa pusing, sedangkan pewangi alami memiliki wangi yang lebih
lembut sehingga lebih nyaman digunakan. Oleh karena itu, sudah sebaiknya pengharum ruangan
sintetik digantikan oleh pengharum ruangan alami yang bahan dasarnya berpotensi tinggi untuk
dikembangkan di Indonesia, yaitu minyak atsiri, serta campuran kappa karagenan-glukomanan
sebagai bahan dasar gel. Pengharum ruangan dibuat dalam bentuk gel karena lebih praktis, hemat, dan
banyak diminati konsumen.
Kappa karegenan menghasilkan gel yang bersifat solid namun rapuh, sedangkan glukomanan
tidak dapat membentuk gel solid, melainkan cairan kental yang dapat meningkatkan elastisitas kappa
karagenan. Untuk mengetahui kombinasi yang tepat antara kappa karagenan dengan glukomanan serta
konsentrasi campuran keduanya, dilakukan uji kekuatan dan kestabilan gel. Perbandingan yang
digunakan pada penelitian ini adalah 60 : 40, 70 : 30 dan 100 : 0, dengan konsentrasi 3, 4, dan, 5 %.
Pembuatan gel pengharum ruangan dimulai dengan penimbangan bahan-bahan, yaitu kappa
karagenan-glukomanan, 0.1 % natrium benzoat, dan aquades hingga 100 % (b/b). Bahan dicampur ke
dalam aquades yang sudah dipanaskan hingga suhu 75 C. Setelah terbentuk hidrokoloid, bahan
didinginkan hingga 65 C lalu dicampur 1 % propilen glikol (b/b) sambil terus diaduk lalu dituangkan
ke dalam cetakan. Setelah dingin, gel dipindahkan ke dalam plastik resealable. Kekuatan gel diuji
menggunakan Texture Analyzer, sedangkan kestabilan gel melalui uji sineresis. Gel dengan kekuatan
gel tertinggi dan sineresis di bawah 1 % ditambahkan minyak nilam sebagai bahan fiksatif dan
campuran minyak kenanga dan jeruk purut sebagai bahan pewangi. Variasi perbandingan minyak
nilam, kenanga, dan jeruk purut yang digunakan adalah 0 : 2 : 3 dan 1: 2:3 sebesar 7 % (b/b gel). Uji
yang dilakukan adalah uji ketahanan gel pengharum ruangan melalui uji total penguapan zat cair dan
uji kekuatan wangi yang dilakukan setiap minggu selama 3 minggu. Uji penguapan zat cair dilakukan
dengan cara menimbang gel, sedangkan uji kekuatan wangi dilakukan secara sensorik menggunakan
panelis semi terlatih. Skor yang digunakan adalah 5 = sama wangi, 4 = sedikit kurang wangi, 3 =
kurang wangi, 2 = sangat kurang wangi, dan 1 = tidak wangi. Sebagai standar, dibuat gel baru setiap
minggunya sebelum dilakukan pengujian. Gel pengarum ruangan yang terbaik adalah yang memiliki
penguapan zat cair terendah dan kekuatan wangi tertinggi.
Perbandingan kappa karagenan-glukomanan yang dipilih untuk penelitian selanjutnya adalah
60 : 40 karena paling efektif dalam meningkatkan kekuatan gel dan 100 : 0 karena menghasilkan
sineresis yang paling rendah. Konsentrasi yang dipilih adalah 3% karena sineresisnya sudah berada di
bawah 1%, dan 5% karena menghasilkan kekuatan gel tertinggi. Pada penelitian selanjutnya,
komposisi minyak atsiri yang dipilih adalah perbandingan 1 : 2 : 3 karena memiliki total penguapan
zat cair terendah dan ketahanan wangi tertinggi. Sedangkan formula gel yang dipilih adalah 60 : 40
konsentrasi 3% karena memiliki ketahanan wangi yang baik dan dapat dengan mudah bercampur
dengan minyak atsiri. Sebaliknya, perbandingan 100 : 0 lebih sulit tercampur dengan minyak atsiri
dan konsentrasi 5% menghasilkan hidrokoloid yang sangat kental dan cepat mengeras sehingga lebih
sulit bercampur dengan minyak atsiri. Gel pengharum ruangan perbandingan 60 : 40 konsentrasi 3 %
dengan minyak nilam memeiliki ketahanan wangi selama 40 hari dengan bobot awal sebesar 70.63 g.
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa glukomanan memiliki pengaruh positif dalam
meningkatkan kekuatan gel dan komposisi yang tepat dengan kappa karagenan akan menghasilkan
sineresis yang baik. Selain itu, glukomanan dan minyak nilam memiliki pengaruh yang baik dalam
mempertahankan kekuatan wangi karena glukomanan menghasilkan hidrokoloid yang lebih elastis
sehingga minyak atsiri dapat bercampur dengan lebih homogen, sedangkan minyak nilam memiliki
titik didih yang lebih rendah daripada minyak kenanga dan jeruk purut.
FORMULASI GEL PENGHARUM RUANGAN MENGGUNAKAN KARAGENAN
DAN GLUKOMANAN DENGAN PEWANGI MINYAK JERUK PURUT DAN
KENANGA

SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Oleh
ARUM NUR FITRAH
F34080027

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi : Formulasi Gel Pengharum Ruangan Menggunakan Karagenan dan
Glukomanan dengan Pewangi Minyak Jeruk Purut dan Kenanga
Nama : Arum Nur Fitrah
NIM : F34080027

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I,

(Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M. Sc, Agr.)


NIP. 19620505 198903 1 027

Mengetahui :
Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Nastiti Siswi Indrasti )


NIP. 19621009 198903 2 001

Tanggal lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Gel
Pengharum Ruangan Menggunakan Karagenan dan Glukomanan dengan Pewangi Minyak
Jeruk Purut dan Kenanga adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing
Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juli 2013


Yang membuat pernyataan

Arum Nur Fitrah


F34080027
BIODATA PENULIS

Arum Nur Fitrah dilahirkan di Sumedang pada tanggal 15 Februari 1990 dari
ayah Jumardi dan ibu Tuti Pudja Astuti sebagai putri bungsu dari dua
bersaudara. Penulis menempuh pendidikan formal di SDIT Bina Insani Bogor
(1996 2002), SMP Negeri 1 Bogor (2002 2005) dan SMA Negeri 1 Bogor
(2005 2008). Penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor program
S1 Departemen Teknologi Industri Pertanian (TIN) melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB pada tahun 2008. Selama mengikuti perkuliahan, penulis
aktif di beberapa organisai kampus, yaitu sebagai Sekretaris Gedung Asrama A1 periode 2008 2009,
Bendahara Kerohanian Islam B51 tahun 2008 2009, Badan Pengawas Himpunan Profesi Teknologi
Pertanian (BP-HIMALOGIN) Departemen Public Relation periode 2009 2010 dan sekretaris Badan
Pengawas periode 2010 2011, serta Sekretaris Kerohanian Islam TIN 45. Penulis masuk ke dalam
tim basket fakultas dan departemen, sempat meraih Juara 1 dan 2 Reds Cup serta empat besar pada
Olimpiade Mahasiswa IPB. Penulis mengikuti UKM Bela Diri Putri Gading dan Panahan IPB; pernah
menjadi asisten praktikum mata kuliah Pengawasan Mutu serta Teknologi Pengemasan Distribusi dan
Transportas; aktif dalam Forum Komunikasi Alumni Muslim-Smansa (Forkom Alims), Forum
Alumni KIR Smansa (Forsa), Yayasan Inspirasi Muda Bogor (Imago), dan DKM Fikri Al-Muslim
Indraprasta. Pada tahun 2009, penulis mengukuti pelatihan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM)
IPB dan menjadi finalis pada bidang PKM-Penelitian. Tahun 2011, penulis mengikuti Program
Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan (PKM-K) yang didanai oleh DIKTI. Pada tahun yang sama,
penulis melaksanakan program Praktek Lapang dengan judul Mempelajari Teknologi Proses
Produksi Turunan Eugenol di PT. Indesso Aroma Cileungsi Bogor.
KATA PENGANTAR

Alhamdulilahirabilalamin. Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena
berkat rahmat dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul Formulasi Gel
Pengharum Ruangan Menggunakan Karagenan dan Glukomanan dengan Pewangi Minyak Jeruk Purut
dan Kenanga. Shalawat serta salam tak lupa penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, para
sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman. Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bimbingan, doa, dan
dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan jazakumullah khairan
khatsir kepada :
1. Orangtua yang selama ini telah membesarkan, mencurahkan kasih sayang, motivasi, semangat,
doa dan dukungan penuh kepada penulis.
2. Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc, Agr. selaku dosen pembimbing atas ketulusan hati dan
kesabarannya dalam membimbing, mendukung, dan mengarahkan penulis.
3. Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si, Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M. Si, dan Dr. Ir. Linawati
Hardjito, M. Sc atas bantuan bimbingannya
4. Seluruh panelis atas kesediaan waktunya untuk menguji produk di tengah waktu libur kuliah
dan kesibukan teman-teman.
5. Keluarga besar yang telah memberikan motivasi dan doa kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Teman seperjuangan, Siti Zahiroh, Amina Kurniasi Alu, dan Iam yang telah menemani dan
menyemangati penulis
8. Keluarga besar Forkom Alims dan Smansa Bogor atas motivasi, semangat, perhatian, canda,
bantuan dan doanya. We are One!
7. Teman-teman TIN dan Fateta yang telah saling menyemangati, mendoakan, dan membantu
dalam menyelesaikan skripsi.
9. Laboran dan pegawai di Departemen Teknologi Industri Pertanian atas bantuannya kepada
penulis selama melakukan penelitan dan menyelesaikan skripsi ini.
10. Serta semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis hingga
terselesaikannya skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan
penulisan selanjutnya. Semoga tulisan ini memberikan manfaat dan kontribusi yang nyata terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan di bidang industri dan lingkungan. Wassalamualaykum
Warahmatullahi Wabarakatuh.

Bogor, Juli 2013

Arum Nur Fitrah

iii
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. iii

DAFTAR TABEL ........................................................................................................................ vi

DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................... vii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................................ vii

I. PENDAHULUAN .................................................................................................................. 1

1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................................. 1

1.2. TUJUAN PENELITIAN .............................................................................................. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................................... 3

2. 1. GEL PENGHARUM RUANGAN ............................................................................. 3

2.2. MINYAK ATSIRI SEBAGAI BAHAN PEWANGI .................................................. 4

2.2.1. Minyak jeruk purut ........................................................................................... 6

2.2.2. Minyak kenanga ............................................................................................... 7

2.2.3. Minyak nilam ................................................................................................... 8

2.3. KARAGENAN ............................................................................................................ 10

2.4. GLUKOMANAN ........................................................................................................ 13

2.5. BAHAN TAMBAHAN GEL PENGHARUM RUANGAN ........................................ 15

III. METODOLOGI .................................................................................................................... 17

3.1. WAKTU DAN TEMPAT ............................................................................................ `17

3.2. ALAT DAN BAHAN .................................................................................................. 17

3.3. METODE PENELITIAN ........................................................................................... 19

3.3.1. Penentuan Perbandingan dan Konsentrasi Hidrokoloid ................................... 20

a. Uji Kekuatan Gel ....................................................................................... 22

b. Uji Kestabilan Gel ..................................................................................... 22

c. Rancangan Percobaan Penentuan Gel ....................................................... 23

3.3.2. Pembuatan Gel Pengharum Ruangan ............................................................... 23

a. Uji Penguapan Zat Cair ............................................................................ 24

b. Rancangan Percobaan Penentuan Ketahanan Gel Terbaik ....................... 24

iv
c. Uji Kekuatan Wangi Gel Pengharum Ruangan ......................................... 25

d. Rancangan Percobaan Penentuan Ketahanan Wangi Terbaik .................. 26

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................. 28

4.1. PENGARUH PERBANDINGAN DAN KONSENTRASI HIDROKOLOID ............ 28

4.1.1. Hasil Uji Kekuatan Gel ................................................................................... 29

4.1.2. Hasil Uji Kesatbilan Gel ................................................................................... 31

4.2. PENGARUH JENIS HIDROKOLOID DAN MINYAK NILAM TERHADAP


KETAHANAN WANGI (DAYA SIMPAN) GEL PENGHARUM RUANGAN ...... 34

4.2.1. Total Penguapan Zat Cair ................................................................................. 35

4.2.2. Kekuatan Wangi Selama Penyimpanan ............................................................ 38

V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................................................. 42

5.1. KESIMPULAN ............................................................................................................ 42

5.2. SARAN ........................................................................................................................ 42

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 43

LAMPIRAN ................................................................................................................................. 47

v
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Jenis minyak atsiri potensial sebagai bahan pewangi di Indonesia ............................. 5
Tabel 2. Komposisi kimia fraksi ekstrak minyak kenanga ........................................................ 7
Tabel 3. Komponen kimia penyusun minyak nilam .................................................................. 9
Tabel 4. Perbedaan struktur dan sifat fisikokimia kappa, iota, dan lambda karagenan .............. 11
Tabel 5. Karakteristik propilen glikol ....................................................................................... 15
Tabel 6. Pengaturan Alat Texture Analyzer untuk mengukur kekuatan gel ............................... 18
Tabel 7. Komposisi karagenan dan glukomanan pada konsentrasi hidrokoloid 3, 4,
dan 5% dengan basis 210 g tepung campuran ............................................................. 20
Tabel 8. Komposisi bahan gel pada konsentrasi hidrokoloid 3, 4, dan 5% dengan
basis 210 g ................................................................................................................... 20
Tabel 9. Komposisi minyak atsiri pada tiap formula gel pengharum ruangan .......................... 24
Tabel 10. Mekanisme fisika-kimia utama yang terjadi pada bahan-bahan penyusun
hidrokoloid .................................................................................................................. 28
Tabel 11. Perbandingan nilai sineresis pada gel berbasis kappa karagenan, iota
karagenan, dan LBG .................................................................................................... 33

vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman

Gambar 1. Struktur kimia kappa, iota, dan lambda karagenan ................................................ 10


Gambar 2. Mekanisme pembentukan gel karaginan ................................................................ 12
Gambar 3. Struktur kimia glukomanan ................................................................................... 14
Gambar 4. Stable Micro System TA.XT plus untuk uji kekuatan gel (a = tempat
probe dipasang, b = meja sampel, c = Probe silinder P/1KSS) ............................... 17
Gambar 5. Diagram alir penelitian ........................................................................................... 19
Gambar 6. Diagram alir pembuatan gel pengharum ruangan .................................................. 21
Gambar 7. Pengujian kekuatan gel menggunakan texture analyzer ......................................... 22
Gambar 8. Rata-rata hasil kekuatan gel pada semua jenis perbandingan dan konsentrasi ....... 30
Gambar 9. Kestabilan gel pada semua jenis perbandingan dan konsentrasi ............................. 32
Gambar 10. Rata-rata total penguapan zat cair gel pengharum ruangan pada formula
terpilih..................................................................................................................... 35
Gambar 11. Grafimetri gel pengharum ruangan dengan konsentrasi hidrokoloid 3% ............... 37
Gambar 12. Grafimetri gel pengharum ruangan dengan konsentrasi hidrokoloid 5%................ 38
Gambar 13. Hasil uji sensorik kekuatan wangi gel pengharum ruangan dengan
konsentrasi hidrokoloid 3% selama 21 hari ............................................................ 39
Gambar 14. Hasil uji sensorik kekuatan wangi gel pengharum ruangan dengan
konsentrasi hidrokoloid 5% selama 21 hari ........................................................... 39
Gambar 15. Tren ketahanan wangi gel pengarum ruangan terpilih ........................................... 41

vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman

Lampiran 1. Spesifikasi kappa karagenan ............................................................................... 51


Lampiran 2. Angket seleksi panelis ....................................................................................... 52
Lampiran 3. Tabel Anova kekuatan gel dan sineresis ............................................................. 53
Lampiran 4. Hasil Uji Duncan faktor perbandingan terhadap kekuatan gel ............................ 53
Lampiran 5. Hasil Uji Duncan faktor konsentrasi terhadap kekuatan gel ............................... 54
Lampiran 6. Uji Duncan faktor perbandingan terhadap sineresis ........................................... 54
Lampiran 7. Uji Duncan faktor konsentrasi terhadap sineresis ............................................... 54
Lampiran 8. Tabel Anova uji susut bobot ............................................................................... 55
Lampiran 9. Uji Duncan faktor formula terhadap susut bobot ................................................ 55
Lampiran 10. Uji duncan faktor interaksi komposisi dan konsentrasi terhadap
kekuatan gel ........................................................................................................ 56
Lampiran 11. Uji duncan faktor interaksi komposisi dan konsentrasi terhadap
sineresis ............................................................................................................... 56
Lampiran 12. Uji Duncan faktor penggunaan minyak nilam terhadapsusut bobot ................... 57
Lampiran 13. Uji Duncan faktor interaksi formula dan penggunaan minyak nilam
terhadap susut bobot .......................................................................................... 57
Lampiran 14. Tabel Anova kekuatan wangi .............................................................................. 58
Lampiran 15. Perubahan bobot gel pengharum ruangan dan penguapan zat cair selama
penyimpanan ........................................................................................................ 59

viii
I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Indonesia merupakan salah satu negara pusat megabiodiversiti yang kaya akan sumber daya
alam, salah satunya adalah minyak atsiri. Dengan potensi alam tersebut, Indonesia menjadi salah satu
negara pemasok minyak atsiri terpenting di dunia. Indonesia menghasilkan 40 dari 80 jenis minyak
atsiri yang diperdagangkan di pasar dunia. Dari jumlah tersebut, 13 jenisnya telah memasuki pasar
atsiri dunia yaitu, nilam, sereh wangi, cengkih, jahe, pala, lada, kayu manis, cendana, melati, akar
wangi, kenanga, kayu putih, dan kemukus. Berdasarkan data dari FAO 2004, sebagian besar minyak
atsiri yang diproduksi penyuling Indonesia diekspor dengan pangsa pasar nilam 90%, kenanga 67%,
akar wangi 26%, sereh wangi 26%, pala 72%, cengkeh 63%, jahe 0.4% dan lada 0.9% dari ekspor
dunia. Negara tujuan ekspor minyak atsiri Indonesia antara lain adalah Amerika Serikat (23%),
Inggris (19%), Singapura (18%), India (8%), Spanyol (8%), Perancis (6%), Cina (3%), Swiss (3%),
Jepang (2%), dan negara-negara lainnya (8%). Menurut Dewan Atsiri Indonesia (2009), data statistik
ekspor-impor dunia menunjukkan bahwa konsumsi minyak atsiri dan turunannya naik sekitar 10%
dari tahun ke tahun. Kenaikan tersebut terutama didorong oleh perkembangan kebutuhan untuk
industri makanan, kosmetik, dan wewangian. Hal ini tentunya merupakan tantangan karena Indonesia
memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan minyak atsiri. Peluang pemasaran minyak
atsiri tidak hanya terbuka di pasar luar negeri tetapi juga di Indonesia.
Wewangian merupakan produk yang semakin berkembang saat ini, salah satunya adalah dalam
bentuk pengharum ruangan. Bahan pewangi yang digunakan pada produk dibagi menjadi dua jenis
yaitu, pewangi sintetik dan pewangi alami. Pewangi sintetik memiliki wangi yang lebih tajam,
sedangkan pewangi alami memiliki wangi yang lebih lembut sehingga lebih nyaman digunakan.
Penggunaan pewangi sintetik yang terlalu tajam dapat menimbulkan rasa pusing dan kurang nyaman.
Penelitian terhadap 25 produk pewangi dilakukan oleh Steinemann et al. (2010) untuk mengetahui
emisi VOCs (Volatile Organic Compounds) dari produk tersebut. Hasil menunjukkan bahwa terdapat
133 VOCs yang dilepaskan oleh ke-25 produk tersebut dan digolongkan ke dalam senyawa beracun
atau berbahaya dan karsinogen seperti 1,4-dioksan, metilen klorida, dan asetaldehid. Berdasarkan hal
tersebut, penggunaan pewangi alami merupakan pilihan yang baik guna menghindari dan
meminimalisasi timbulnya risiko tersebut.
Sebagai bahan pewangi untuk pengharum ruangan alami, dapat digunakan berbagai jenis atau
campuran minyak atsiri, seperti minyak kenanga, minyak melati, minyak mawar, minyak sedap
malam, dan minyak atsiri lain yang berasal dari selain bunga seperti kayu-kayuan, kulit buah, daun,
dan biji. Minyak kenanga merupakan salah satu minyak atsiri yang paling dicari karena wanginya.
Minyak jeruk purut merupakan minyak yang berasal dari daun. Tanamannya tumbuh subur di
Indonesia dan banyak digunakan pada pengharum masakan. Aromanya memberikan kesan
menyegarkan dan menenangkan. Sebagai bahan fiksatif, dapat digunakan minyak nilam. Bahan
fiksatif merupakan bahan yang mengikat molekul-molekul pewangi sehingga wanginya bertahan lebih
lama. Minyak pewangi dan fiksatif dicampur dengan komposisi yang tepat agar wangi lebih terikat
sehingga tidak cepat habis namun juga tetap tercium. Wangi yang dihasilkan oleh minyak atsiri adalah
wangi yang khas dan dapat memberikan efek psikologis seperti menenangkan, menyegarkan, dan
menumbuhkan semangat.
Produk pengharum ruangan alami dapat dibuat dalam berbagai bentuk sediaan, antara lain cair,
gel, semi padat, dan padat. Sediaan ini dibuat dengan tujuan agar minyak atsiri tidak mudah menguap.
Saat ini, pengharum ruangan berbentuk gel sedang banyak dikembangkan karena memiliki beberapa

1
kelebihan seperti tidak tumpah, lebih lama mengikat wangi, praktis, mudah dalam pemakaian, bersifat
elastis, dan bisa dikreasikan bentuknya. Bentuk gel membuat pelepasan zat volatil pada parfum
semakin lambat.
Gel dapat dibuat dari bahan dasar yang berasal dari Indonesia dan alami, seperti karagenan,
kitosan, gelatin, gum, dan pektin. Kappa karagenan merupakan salah satu bahan yang paling umum
digunakan untuk pembuatan gel, berasal dari rumput laut Eucheuma cottonii atau yang sekarang
dikenal dengan nama Kappahycus alvarezii. Kappa karagenan memiliki sifat yang rapuh jika dibuat
menjadi gel. Untuk meningkatkan elastisitas dan kekuatannya, kappa karagenan dapat dicampur
dengan jenis gum atau pati. Pada penelitian gel pengharum ruangan yang dilakukan oleh Bambang
(1999), kappa karagenan dicampur dengan agar-agar, iota karagenan, dan locus bean gum (LBG). Gel
yang terbaik dihasilkan dengan komposisi kappa karagenan sebesar 2% dan LBG 0.8%. Verawati
(2008) juga melakukan penelitian pembuatan gel untuk bahan pangan dengan bahan dasar kappa
karagenan dan konjak, kekuatan gel tertinggi diperoleh dengan komposisi kappa karagenan-konjak
sebesar 60 : 40. Gel yang baik adalah yang memiliki kekuatan gel tinggi dan sineresis rendah. Dengan
ini, diharapkan gel pengharum ruangan yang dihasilkan akan memiliki kekuatan wangi yang stabil dan
ketahanan wangi yang lama sesuai kebutuhan
Glukomanan merupakan hidrokoloid yang memiliki sifat mirip dengan locust bean gum dan
konjak, diperoleh dari ekstraksi umbi Amorphophallus. Jenis Amorphophallus yang banyak
dikembangkan di Indonesia adalah iles-iles/porang (A. muelleri Blume) dan suweg (A. paeoniifolis).
Iles-iles memiliki potensi yang besar di Indonesia, tanamannya dapat tumbuh subur di berbagai
wilayah pulau seperti Sumatra, Jawa, Madura, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Propinsi Jawa Timur
merupakan sentra produksi iles-iles terutama kabupaten Madiun. Berdasarkan data dari Dinas
Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Madiun tahun 2007 2009, produksi iles-iles
menunjukkan peningkatan yang signifikan dengan nilai tiap tahun sebesar 7,314.29; 7,563.34; dan
8,803.32 ton.
Penggunaan gel pengharum ruangan alami merupakan salah satu solusi yang bisa
dikembangkan melalui penelitian sehingga lebih aman untuk kesehatan. Bahan yang berasal dari
Indonesia juga akan memberikan kontribusi positif untuk negara. Berangkat dari permasalan tersebut,
penulis melakukan penelitian pembuatan gel pengharum ruangan alami dengan bahan dasar minyak
nilam, minyak jeruk purut, minyak kenanga, kappa karagenan, dan glukomanan yang potensial di
Indonesia. Selain itu, dengan adanya pencampuran glukomanan dan karagenan, diharapkan gel
pengharum ruangan yang dihasilkan memiliki ketahanan dan kekuatan wangi yang lebih baik.

1.2. TUJUAN PENELITIAN


a. Mengkaji kesesuaian kombinasi kappa karagenan dengan glukomanan sebagai bahan
sediaan gel pengharum ruangan.
b. Mengetahui pengaruh minyak nilam sebagai bahan fiksatif terhadap ketahanan wangi gel
pengharum ruangan dengan bahan dasar campuran karagenan-glukomanan.
c. Membuat produk aplikasi baru dari minyak atsiri dan karagenan-glukomanan

2
II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. GEL PENGHARUM RUANGAN


Bentuk pengharum ruangan di pasaran ada beberapa jenis antara lain, padat (digunakan untuk
lemari dan toilet), cair, semprot, dan gel. Pengharum berbentuk gel biasanya diletakkan dengan cara
digantung atau diletakkan di suatu tempat. Pengharum ruangan terdiri dari dua bahan dasar yaitu,
pewangi dan pelarut. Pelarut ada dua jenis yaitu air dan minyak. Biasanya pengharum yang
menggunakan bahan dasar minyak dibuat dalam bentuk padat dan cair, sedangkan pengharum
berbahan dasar air dibuat dalam bentuk gel. Pengharum ruangan berbentuk gel memiliki kestabilan
aroma yang relatif singkat, namun mudah terurai sehingga aman terhadap lingkungan, sedangkan
bentuk semprot biasanya menggunakan bahan kimia seperti isobutene, n-butane, propane atau
campurannya (Cohen et a.l 2007 dalam Sinurat et al. 2009).
Pengharum ruangan dalam bentuk sedian gel dalam penggunaannya lebih praktis dan mudah
dibandingkan dengan pengharum ruangan dalam bentuk cair karena harus disemprot ke ruangan
terlebih dahulu. Selain itu, pengharum ruangan dalam bentuk sediaan gel ini lebih mudah dalam hal
penyimpanan dan pengemasannya (Rahmaisni 2011).
Parfum dideskripsikan dengan perumpamaan musik yang memiliki tiga not/notes yang
membentuk harmoni wangian. Empat elemen (notes) parfum yaitu, base, middle, top dan bridge.
Elemen base akan melekat lebih lama di kulit dan harumnya lebih kuat, seperti vanili, cengkih, dan
minyak nilam. Wangi middle notes biasanya baru terasa setelah setengah jam parfum disemprotkan,
contohnya geranium dan kenanga. Top notes yang terdapat dalam citrus dan floral akan tercium saat
pertama kali di semprotkan. Sementara bridge notes dipakai untuk menyatukan ketiga elemen lainnya.
Masing-masing note tercium seiring waktu dengan dimulai dari impresi pertama dari top note diikuti
oleh middle note yang telah mendalam dan base note yang sedikit demi sedikit muncul di akhir. Note-
note ini dibuat dengan seteliti mungkin berdasarkan pengetahuan proses evaporasi dari wangian. Di
bawah ini adalah penjelasan dari masing-masing notes.
1. Top notes
Wangi yang langsung tercium ketika parfum disemprotkan. Top notes mengandung molekul
yang ringan dan kecil yang dapat berevaporasi cepat. Top notes membentuk impresi pertama dari
parfum. Minyak atsiri yang termasuk top notes antara lain minyak lemon, minyak jeruk purut,
minyak melati, dan minyak mawar.
2. Middle notes
Wangi yang muncul setelah top notes mulai memudar. Middle notes mengandung inti dari
parfum dan juga bertindak sebagai topeng bagi base notes yang sering kali tidak tercium enak
pada pertama kalinya, namun menjadi enak seiring waktu. Notes ini juga sering disebut heart
notes. Minyak atsiri yang termasuk dalam kategori middle notes adalah minyak lavender, minyak
sereh wangi, dan minyak kenanga.
3. Base notes
Wangi dari sebuah parfum yang muncul seiring memudarnya middle notes. Base dan middle
notes adalah tema wangian utama dari sebuah parfum. Base notes memberikan kedalaman yang
solid dari parfum. Kandungan dari notes ini biasanya kaya dan dalam, dan tidak tercium
setidaknya sampai 30 menit pemakaian. Wangi top dan middle notes terpengaruhi oleh wangi dari
base notes. Minyak nilam termasuk dalam kategori base notes (Sabini 2006).

3
Pemakaian parfum yang mengandung senyawa organik/volatile organic compounds (VOCs)
yang berlebihan dalam gel pengharum ruangan tidak diperbolehkan karena membahayakan kesehatan.
Hal tersebut sesuai dengan peraturan EPA (Environmental Protection Agency), bahwa pemakaian
maksimal VOCs dalam pengharum ruangan adalah 3% sedangkan kenyataannya penggunaan senyawa
tersebut selalu melebihi 3% sehingga para ahli parfum dan ahli kimia berusaha membuat formulasi gel
dari pelarut air (Anggarwal et al. 1998).

2.2 MINYAK ATSIRI SEBAGAI BAHAN PEWANGI


Minyak atsiri merupakan campuran kompleks dari senyawa alkohol yang mudah menguap
(volatil) dan dihasilkan sebagai metabolit sekunder pada tumbuhan. Minyak atsiri biasanya
menentukan aroma khas tanaman (Nerio et al. 2010).
Minyak atsiri disebut juga minyak terbang atau minyak kabur karena minyak atsiri mudah
menguap apabila dibiarkan begitu saja dalam keadaaan terbuka. Dalam bahasa Inggris disebut
essential oils, etherial oils, atau volatile oil. Minyak atsiri dihasilkan dari bagian jaringan tanaman
tertentu seperti akar, batang, kulit, daun, buah, atau biji. Sifat minyak atsiri yang menonjol antara lain
mudah menguap pada suhu kamar tanpa mengalami dekomposisi, mempunyai rasa getir, berbau
wangi sesuai aroma tanaman yang menghasilkannya, umumnya larut dalam pelarut organik dan tidak
larut dalam air. Minyak atsiri akan mengabsorpsi oksigen dari udara sehingga akan berubah warna,
aroma, dan kekentalan sehingga sifat kimia minyak atsiri tersebut akan berubah (Luthony dan
Rahmayanti 2000).
Pengertian atau definisi minyak atsiri yang ditulis dalam Encyclopedia of Chemical
Technology menyebutkan bahwa minyak atsiri merupakan senyawa yang pada umumnya berwujud
cairan, yang diperoleh dari bagian tanaman, akar, kulit, batang, daun, buah, dan biji maupun dari
bunga dengan cara ekstraksi (Sastrohamidjojo 2002).
Minyak atsiri dapat diekstrak dengan 4 cara yaitu, penyulingan (distillation), pengepresan
(pressing), ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction), dan ekstraksi dengan lemak padat
(enfleurasi). Umumnya, metode yang paling sering digunakan adalah penyulingan (Ketaren 1985).
Minyak atsiri dapat dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, minyak atsiri yang dengan mudah
dapat dipisahkan menjadi komponen-komponen atau penyusun murninya, komponen-komponen ini
dapat menjadi bahan dasar untuk diproses menjadi produk-produk lain, seperti minyak sereh, minyak
daun cengkeh, minyak permai, dan terpentin. Kedua, minyak atsiri yang sukar dipisahkan menjadi
komponen murninya, seperti minyak akar wangi, minyak nilam, dan minyak kenanga. Biasanya
minyak atsiri tersebut langsung dapat digunakan tanpa diisolasi komponen-komponennya sebagai
pewangi berbagai produk (Sastrohamidjojo 2004)
Dalam buku The Encyclopedia of Complementary Medicine, The Complete Family Guide to
Alternative Health Care disebutkan bahwa minyak atsiri merupakan zat serbaguna. Molekul yang
dilepaskan ke udara adalah sebagai uap yang dibawa oleh uap air. Ketika uap air yang mengandung
komponen kimia tersebut dihirup, akan diserap tubuh melalui hidung dan paru-paru yang kemudian
masuk ke aliran darah. Bersamaan saat dihirup itu, uap air akan berjalan dengan segera ke sistem
limbik otak yang bertanggung jawab dalam sistem integrasi dan ekspresi perasaan, belajar, ingatan,
emosi, serta rangsangan fisik. Jika digunakan sebagai aplikasi di luar tubuh, minyak atsiri bermanfaat
dalam menyeimbangkan kondisi kulit, seperti juga otot dan organ bagian dalam (Ichad 2011).
Minyak atsiri berfungsi sebagai peyaring udara yang baik. Jika disimpan dalam ruangan,
dapat menghilangkan partikel logam racun dari udara, menaikkan oksigen atmosfer, serta menaikkan
ozon dan ion negatif dalam rumah. Dengan begitu, minyak atsiri menghalangi perkembangan bakteri

4
sekaligus menghilangkan bau pengap. Karena itu, meletakkan atau menyemprotkan miyak atsiri di
ruangan bisa membuat udara dalam ruangan lebih segar (Rahmaisni 2011)
Di Indonesia, jenis minyak atsiri dapat dikategorikan menjadi tiga kondisi yaitu sudah
berkembang, sedang berkembang, dan potensial dikembangkan. Jenis-jenis minyak atsiri tersebut
yang berfungsi sebagai bahan pewangi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis atsiri potensial sebagai bahan pewangi di Indonesia minyak

Kondisi Nama minyak Nama dagang Nama tanaman


Sudah berkembang Nilam Patchouli oil Pogestemon cablin
Serai wangi Citronella oil Andropogon nardus
Akar wangi Vetiver oil Vetiveria zizanoides
Kenanga Cananga oil Canangium odoratum
Cendana Sandalwood oil Santalum album
Daun cengkeh Clove leaf oil Syzygium aromaticum
Gagang cengkeh Clove stem oil Syzygium aromaticum
Bunga cengkeh Clove bud oil Syzygium aromaticum
Melati Jasmine oil Jasminum sambac
Sedang berkembang Ylang-ylang Ylang-ylang oil Canangium odoratum
Gaharu Agarwood oil Aquilaria sp
Klausena Calusena/Anis oil Clausena anisata
Kemukus Cubeb oil Piper cubeba
Potensi dikembangkan Permen Cormint oil Mentha arvensis
Proseres Proseres oil Andropogon procerus
Jeruk purut Lime oil Citrus hystrix
Rosemari Rosemari oil Rosmarinus officinale
Spearmin Spearmint oil Mentha spicata
Lada Black pepper oil Piper nigrum
Kulit kayu manis Cinnamon bark oil Cinnamomum casea
Daun kayu manis Cinnamon leaf oil Cinnamomum casea
Kulit kayu manis Cinnamon bark oil Cinnamomum zeylanicum
Daun kayu manis Cinnamon leaf oil Cinnamomum zeylanicum
(ceylon)
Kulit kayu manis Cinnamon bark oil Cinnamomum burmanii
Gandapura Wintergreen oil Gaultheria fragrantissima
Adas Fennel oil Foeniculum vulgare
Sumber : Sukamto (2009).

Minyak atsiri merupakan komoditas ekspor non-migas yang dibutuhkan di berbagai industri
seperti dalam industri parfum, kosmetika, farmasi/obat-obatan dan pangan. Di dalam dunia
perdagangan, komoditas ini dipandang punya peran strategis dalam menghasilkan produk primer
maupun sekunder, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. Kebutuhan minyak atsiri dalam
negeri cukup besar dan semakin beragam karena kebutuhan industri juga makin pesat dan berkembang
ragamnya seperti akhir-akhir ini banyak dimanfaatkan untuk aromaterapi, spa, dan lain sebagainya
(Sukamto 2009).
Penggunaan minyak atsiri dapat digunakan melalui berbagai cara yaitu, pemakaian langsung
berupa makanan dan minuman seperti jamu yang mengandung minyak atsiri, penyedap makanan, es
krim, permen, pasta gigi dan lain-lain; pemakaian luar seperti untuk minyak urut, lulur, pelembab,

5
krim, balsam, sabun mandi, shampo, obat luka/memar, dan pewangi badan (parfum). Beberapa
minyak atsiri digunakan melalui pernapasan (inhalasi) seperti untuk pewangi ruangan, pengharum
tisu, pelega pernafasan, dan aromaterapi. Minyak atsiri juga banyak digunakan sebagai insektisida,
nematisida, anti-jamur, anti-bakteri, pengusir hama gudang, dan pencegah kontaminasi jamur pada
berbagai produk (Pandey et al. 2000; Sacchetti et al. 2005; Oroojalian et al. 2010).

2.2.1. MINYAK JERUK PURUT


Jeruk purut merupakan tanaman yang termasuk dalam salah satu anggota suku jeruk-jerukan
(Rutaceae), sub famili Aurantioidae, genus Citrus, sub genus Papeda, dan spesies Citrus hystrix
(Sarwono 1986). Jeruk purut merupakan salah satu tanaman hortikultura yang umum digunakan
sebagai flavor alami pada berbagai produk makanan dan minuman di Indonesia dan negara-negara
Asia lainnya (Sato et al. 1990).
Daun jeruk purut dikenal dengan nama som makrut di Thailand, swangi limau atau purut limau
di Malaysia, digunakan untuk memeberikan flavor oriental yang unik kepada sup tom yam, kari, laksa,
dan santapan lainnya seperti kue. Di Indonesia, daun jeruk purut juga digunakan sebagai bumbu
masak untuk menutupi bau amis ikan. Buahnya lebih banyak digunakan untuk perawatan tubuh dan
kulit daripada untuk makanan. Kulit buah ini dapat dimanafaatkan untuk bahan sampo. Isolasi
terhadap komponen utama dari minyak daun jeruk purut dapat dimanfaatkan dalam industri non-
pangan seperti industri parfum, kosmetik, dan obat (Lawrence 1993).
Daun jeruk purut berwarna hijau kekuningan dan berbau sedap, berbentuk bulat telur, ujungnya
tumpul, dan bertangkai satu. Daun tanaman jeruk ini banyak dipakai untuk bumbu macam-macam
masakan. Daun jeruk purut berkhasiat sebagai stimulan dan penyegar. Daun mengandung tanin 1.8%,
steroid triterpenoid, dan minyak asiri 1 1.5% v/b (Sarwono 1986).
Minyak atsiri daun jeruk purut biasa disebut kaffir lime oil dalam perdagangan. Wama minyak
daun jeruk purut merupakan gabungan dari warna kuning muda dan kehijauan. Penyulingan minyak
daun jeruk purut belum banyak dilakukan, namun dengan berkembangnya industri makanan,
minuman, dan perasa, minyak daun jeruk purut merupakan salah satu alternatif yang potensial. Hasil
penyulingan yang dilakukan di Balitro, rendemen minyak daun jeruk purut berkisar antara 1.0 1.5
%. Bila dilihat dari aspek kimia, komponen utama dari minyak ini adalah senyawa sitral, menyerupai
minyak sereh dapur/lemon grass oil. Rasa yang dihasilkan minyak daun jeruk purut agak berbeda dari
rasa minyak sereh dapur, minyak daun jeruk purut lebih segar dan lebih lembut (Mamun 2009).
Sato et al. (1990) mengekstrak minyak atsiri dari daun jeruk purut dengan metode distilasi uap
langsung. Minyak atsiri daun jeruk purut hasil distilasi uap tersebut mengandung 54 jenis komponen
kimia dengan l-sitronelal sebagai komponen utama (81.49%) dan beberapa komponen lainnya yang
penting adalah sitronelol (8.22%), linalol (3.69%) dan geraniol (0.31%).
Wijaya (1995) melakukan ekstraksi dengan beberapa cara, yaitu distilasi uap selama 2 jam,
distilasi air selama 6 jam, destilasi Likens-Nickerson selama 6 jam, dan ekstraksi menggunakan
pelarut heksana dengan metode maserasi dan perlokasi masing-masing selama 3 hari dan 6 jam.
Persentase hasil ekstraksi minyak daun jeruk purut dengan pelarut lebih tinggi dibandingkan destilasi.
Tahun 1996, Jantan et al. melaporkan bahwa sitronelal, sitronelol, dan sitronelil asetat
merupakan tiga komponen utama yang terdapat pada minyak daun purut masing-masing sebanyak
72.4%; 6.7% dan 4.1%. Tahun 2002, Munawaroh dan Handayani melakukan penelitian ekstraksi daun
jeruk purut menggunakan pelarut etanol dan n-heksana. Ekstraksi daun jeruk purut dengan pelarut
etanol menghasilkan rendemen minyak 13.39% dan kadar sitronelal 65.99%, sedangkan dengan
pelarut n-heksana menghasilkan rendemen minyak 10.50% dan kadar sitronelal 97.27%.

6
Kandungan sitronelal yang sangat tinggi menjadi salah satu kelebihan minyak daun jeruk purut
di bidang industri khususnya industri parfum dan kosmetik. Minyak dengan kandungan sitronelal
yang tinggi dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk isolasi sitronelal. Hasil isolasi tersebut
kemudian diubah menjadi bentuk esternya seperti hidroksi sitronelal atau mentol sintetik. Ester yang
dihasilkan dengan cara ini umumnya bersifat lebih stabil dan sangat baik digunkaan untuk industri
wangi-wangian. Hidroksi sitronelal dapat digunakan sebagai zat pewangi sabun dan parfum yang
bernilai tinggi. Mentolsintetik dapat digunakan sebagai obat gosok, pasta gigi, dan obat pencuci
mulut. Bentuk ester lain dari sitronelal dapat digunakan sebagai insektisida (Ketaren 1985).
Keuntungan minyak jeruk purut lainnya sebagai pengharum ruangan adalah sifat antibakteri yang
relatif sangat tinggi yang juga berasal dari sitronelalnya (Sait 1991).

2.2.2. MINYAK KENANGA


Kenanga merupakan tanaman yang termasuk dalam salah satu anggota suku Magnoliales,
famili Annonaceae, genus Cananga, dan spesies Cananga odorata (Ketaren 1985). Tanaman kenanga
berasal dari Filipina. Tanaman kenanga tumbuh subur di dataran rendah dengan kelembaban tinggi,
beriklim tropis dan dekat dengan pantai. Di Pulau Jawa, tanaman ini tumbuh liar, biasanya ditanam di
pekarangan rumah, tidak dibudidayakan.
Minyak kenanga adalah minyak atsiri yang diperoleh dari penyulingan bunga kenanga. Bunga
yang masih muda berwarna hijau, sedangkan yang tua berwarna kuning. Rendemen dan mutu minyak
tertinggi terdapat pada bunga yang telah matang sempurna (warna kuning tua).
Minyak kenanga, dalam perdagangan dunia disebut cananga oil, diperoleh dengan penyulingan
sederhana yaitu penyulingan dengan uap dan air (water and steam destilation). Di daerah, biasanya
dilakukan dengan cara perebusan. Hasil sulingan terdiri dari beberapa fraksi yang mempunyai
komposisi dan mutu yang berbeda. Fraksi dengan mutu paling baik adalah yang mengandung kadar
ester dan eter yang tinggi serta sesquiterpen yang rendah.
Minyak kenanga hanya diproduksi di Indonesia dengan output sebesar 20 ton/tahun. Daerah
penghasil minyak kenanga terbesar di Indonesia adalah Boyolali, Jawa Tengah dan Blitar, Jawa
Timur. Minyak kenanga diekspor masih dalam keadaan crude. Oleh importir Amerika dan Eropa,
minyak kenanga biasanya direktifikasi untuk menghasilkan minyak yang lebih jernih dan lebih mudah
larut. Minyak yang dihasilkan akan menyusut sebanyak 25%.
Di dunia, pemakaian minyak kenanga masih terbatas dibandingkan minyak ylang-ylang,
namun masih tetap penting karena bau minyak kenanga lebih tahan lama dan lebih murah
dibandingkan minyak ylang-ylang. Dalam industri, minyak kenanga biasa digunakan sebagai bahan
pewangi sabun (DAI 2009).
Minyak kenanga banyak digunakan dalam industri aromaterapi. Kesan aroma yang dihasilkan
dari minyak kenanga adalah floral, manis, dan sedikit kekayuan. Minyak kenanga dimanfaatkan untuk
mengurangi rambut berminyak, mengobati gigitan serangga, menurunkan tekanan darah tinggi,
mengurangi stres dan depresi, serta mengharumkan ruangan (Trecyda 2011).
Kandungan kimia minyak atsiri bunga kenanga adalah golongan aldehid, keton aseton,
furfural, benzaldehid, komponen bersifat basa (metilantranilat), golongan terpen (d-terpen), golongan
fenol dan fenol eter (fenol, eugenol, isoeugenol, metil salisilat, benzilsalisilat), alkohol dan ester
(metilbenzoat, l-linalool, terpineol, benzil alkohol, feni-etil alkohol, geraniol, fernesol), dan
sesquisterpen (d-caryophyllen, sesquisterpen-alifatis, l-sesquisterpen, d-sesquisterpen) (Guenther
1972). Komposisi kimia fraksi ekstrak minyak kenanga dapat dilihat pada Tabel 2.

7
Tabel 2. Komposisi kimia fraksi ekstrak minyak kenanga

No. Komponen Jumlah (%)


1. Golongan aldehid dan keton aseton, furfural, benzaldehid 0.1 0.2
2. Komponen bersifat basa (Metilantranilat) 0.1
3. Golongan terpen (d-pinene) 0.3 0.6
4. Golongan fenol dan fenol eter (- Cresol, p-Cresol - metil - eter, 3
A, fenol, eugenol, isoeugenol, metil-salisilat, benzilsalisilat,
dan fenol tingkat tinggi)
5. Alkohol dan ester 52 64
Metil - benzoate, l-linalool, terpineol, benzil alkohol, fenil-etil
alkohol, geraniol, nerol, fersenol, nerolidol, l-cadinol,
sesquiterpen alkohol
6. Sesquiterpen 33 38
d-Caryophyllen, sesquiterpen-alifatis, l-sesquiterpen, d-
sesquiterpen, l/d-sesquiterpen bisiklis
Sumber : Guenther (1972).

Kandungan terbesar minyak atsiri bunga kenanga terdiri dari linalool, geraniol dan eugenol,
dengan aroma yang khas menyengat (Ketaren 1985). Komponen utama minyak kenanga berdasarkan
analisa yang dilakukan oleh Balitro adalah kariofilen (36%), -terpineol (10%), benzil asetat (9%),
dan benzil alkohol (2%) (Ketaren et.al. 2000).
Minyak kenanga yang baik mempunyai nilai bobot jenis yang tinggi dan nilai indeks bias serta
putaran optik yang rendah. Warna minyak kenanga bervariasi, semakin tinggi fraksi minyak, warna
akan semakin tua, mungkin disebabkan adanya senyawa fenol dalam minyak tersebut. Minyak ini
sangat sensitif terhadap cahaya sehingga memerlukan kondisi penyimpanan yang lebih baik.
Kelarutan minyak dalam alkohol dipengaruhi oleh jumlah fraksi terpen atau sesquisterpen dalam
minyak. Semakin tinggi kandungannya, maka kelarutan minyak dalam alkohol semakin rendah
(Ketaren 1985).

2.2.3. MINYAK NILAM


Nilam merupakan tanaman yang termasuk dalam salah satu anggota suku Labiatales, famili
Labiatae, genus Pogostemon, dan spesies Pogostemon sp. Nilam dikenal dengan berbagai nama di
beberapa daerah, seperti dilem (Sumatera-Jawa), rei (Sumatera Barat), pisak (Alor), dan ungapa
(Timor). Nilam tumbuh di daerah dengan cuaca yang panas namun tidak langsung di bawah sinar
matahari (DAI 2009).
Daun tanaman nilam berbentuk bulat telur sampai bulat panjang (lonjong). Secara visual, daun
nilam mempunyai ukuran panjang 5 11 cm, berwarna hijau, tipis, tidak kaku, dan berbulu pada
permukaan bagian atas. Permukaan daun kasar dengan tepi bergerigi, ujung daun tumpul, dan urat
daun menonjol ke luar (Rukmana 2003).
Dalam perdagangan internasional, minyak nilam dikenal sebagai pathcouly oil, diperoleh dari
daun, batang, dan cabang tanaman nilam dengan cara penyulingan, baik dengan uap (kukus) maupun
uap bertekanan tinggi. Kadar minyak tertinggi terdapat pada daun dengan kandungan patchouli
alkohol yang berkisar antara 30-50%. Aromanya segar dan khas serta mempunyai daya fiksasi yang
kuat, sulit digantikan oleh bahan sintetis (Rusli 1991).
Minyak nilam terdiri atas persenyawaan terpen dengan alkohol. Komponen utama dalam
minyak nilam adalah patchouli alkohol, yaitu komponen golongan hidrokarbon beroksigen yang

8
menentukan bau minyak nilam ( Ketaren 1985). Menurut Maryadhi (2007), patchouli alkohol
merupakan senyawa seskuiterpen alkohol tersier trisiklik. Tidak larut dalam air, larut dalam alkohol,
eter atau pelarut organik yang lain. Mempunyai titik didih 280.37 oC dan kristal yang terbentuk
memiliki titik leleh 56oC. Minyak nilam mengandung lebih dari 30 jenis komponen kimia, termasuk 4
hidrokarbon monoterpen, 9 hidrokarbon sesquiterpen, 2 oksigenated monoterpen, 4 epoksi, 5
sesquiterpen alkohol, 1 norseskuiterpen alkohol, 2 seskuiterpen keton dan 3 seskuiterpen ketoalkohol.
Komponen utama yang terdapat dalam minyak nilam tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Komponen kimia penyusun minyak nilam

No. Komponen Jumlah (%)


1. Seskuiterpen 40 4
2. Patchouli alkohol 55 60
3. -patchoulin 1.7 4.8
4. -gurjunin 0.0 5.0
5. -guanin 9.9 15.2
6. -kariofilen 2.0 3.9
7. -patchoulin 8.5 12.7
8. Seychellene 5.9 9.4
9. -bulnesin 13.1 17.2
10. -guaniepoxi 0.1 0.2
11. -bulnesinepoksi 0.2 0.4
12. Norpatchoulinol 0.5 0.6
13. Patchoulol 31.2 46.0
14. Pogostol 1.9 2.7
Sumber : Ketaren (1985), Maryadhi (2007).

Di Indonesia, sentra produksi minyak nilam banyak tersebar di NAD, Sumatera Utara,
Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Beberapa
daerah juga mulai mengembangkan nilam seperti Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Tengah. Saat ini, Indonesia menjadi pemasok 90% kebutuhan minyak nilam dan
berkompetisi dengan Filipina, India, dan Cina. Minyak nilam diekspor ke berbagai negara seperti
Amerika, Singapura, Jepang, Perancis, Swiss, Inggris, Taiwan, Belanda, Jerman, dan Cina dengan
volume ekspor sebanyak 2.074.250 kg minyak, nilai ekspor US$ 27.136.913 pada tahun 2004 (DAI
2009).
Kebutuhan minyak nilam dunia diproyeksikan sekitar 1.000 ton/tahun dengan laju peningkatan
5 %/tahun. Untuk memanfaatkan peluang permintaan pasar dunia, luas penanaman dan luas panen
nilam di berbagai daerah di Indonesia akan terus ditingkatkan (Rukmana 2003)
Minyak nilam berwarna coklat. Memiliki aroma yang kaya, earthy, woody dan sedikit fruity.
Digunakan untuk mengobati penyakit kulit seperti eksim, panu, kulit kering, minyak berlebih dan
jerawat, serta mengurangi rasa lelah dan stres (Trecyda 2011).
Dalam pengobatan tradisional, minyak nilam berfungsi untuk mengobati gigitan serangga dan
ular, juga dapat dibakar untuk menghasilkan wangi yang khas. Dalam industri modern, minyak nilam
banyak digunakan sebagai fiksasif atau pengikat bahan-bahan pewangi lain dalam produk parfum,
kosmetik, detergen, kertas tisu, dan pengharum ruangan (DAI 2009).
Minyak nilam merupakan minyak eksotik yang dapat meningkatkan gairah dan semangat serta
mempunyai sifat meningkatkan sensualitas. Biasanya digunakan untuk mengharumkan kamar tidur
untuk memberi efek menenangkan dan membuat tidur lebih nyenyak (anti insomia) (Rahmaisni 2011).

9
2.3. KARAGENAN
Karagenan merupakan getah rumput laut yang diperoleh dari hasil ekstrkasi rumput laut merah
dengan menggunakan air panas (hot water) atau larutan alkali pada suhu tinggi (Glicksman 1983).
Karagenan adalah polisakarida linier yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan 3.6-anhidrogalaktosa
dengan ikatan glikosidik (1.3) dan (1.4) secara bergantian. Pada beberapa atom hidroksil, terikat
gugus sulfat dengan ikatan ester. Karagenan dikelompokkan berdasarkan gugus 3.6-anhidrogalaktosa
dan jumlah serta posisi dari gugus ester sulfatnya. Berdasarkan cara pengelompokkannya tersebut,
karagenan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu karagenan jenis kappa, iota, dan lambda (Angka
dan Suhartono 2000). Struktur kimia ketiga jenis karagenan tersebut disajikan pada Gambar 1. Gugus
molekul yang diberi lingkaran merah merupakan gugus 3.6-anhidrogalaktosa, sedangkan gugus
molekul yang tidak diberi lingkaran merah adalah gugus galaktosa.

Gambar 1. Struktur kimia kappa, iota, dan lambda karagenan (Bubnis 2000)

E. cottonii (Kappaphycus alvarezii) merupakan jenis rumput laut penghasil kappa karagenan,
E.spinosum merupakan penghasil iota karagenan, dan Gigartina merupakan penghasil lambda
karagenan. Euchema cottonii dan E. spinosum merupakan jenis Rhodophyceae yang banyak ditemui di
perairan Indonesia, sedangkan Gigartina banyak ditemui di daerah selatan Eropa (Verawaty 2008).
Selain dibedakan berdasarkan gugus 3.6-anhidrogalaktosa dan ester, karagenan juga dibedakan
oleh sifat gel yang terbentuk. Iota karagenan berupa gel lembut dan fleksibel atau lunak, kappa
karagenan berupa gel kaku dan getas serta keras, sedangkan lambda karagenan tidak dapat
membentuk gel tetapi berbentuk cairan yang kental (Fardiaz 1989). Perbedaan struktur dan sifat
fisiko-kimia karagenan dapat dilihat pada Tabel 4.
Karagenan mempunyai sifat unik yang tidak dapat digantikan dengan jenis gum lainnya.
Kegunaan karagenan dinilai dari dua kunci utama, yakni kemampuannya untuk membentuk gel yang
kuat dengan garam tertentu atau jenis gum lain dan kemampuannya untuk berinteraksi dengan protein
tertentu pembentukan gel adalah suatu fenomena penggabungan atau pengikatan silang rantai-rantai
polimer sehingga terbentuk suatu jala tiga dimensi bersambung. Selanjutnya jala tersebut menangkap
atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat
pembentukan gel ini beragam dari suatu jenis hidrokoloid ke jenis lainnya tergantung pada jenisnya.

10
Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan (Fardiaz 1989). Gambar 2
menunjukkan proses terjadinya gel karagenan.

Tabel 4. Perbedaan struktur dan sifat fisikokimia kappa, iota, dan lambda karagenan
Faktor Kappa Iota Lambda
Gugus penyusun
Ester Sulfat 25 30 % 28 35 % 32 39 %
3.6-anhidro-galaktosa 28 35 % 30 %
Kelarutan
Air panas (80 oC) Larut Larut Larut
Air dingin (20 oC) Garam Na larut, gatam K Garam Na larut Larut
dan Ca tidak larut
Susu panas (80 oC) Larut Larut Larut
Susu dingin (20 oC) Garam Na, K dan Ca tidak Tidak larut Mengental
larut
Larutan gula 50 % Larut, panas Sukar larut Larut
Larutan garam 10 % Tidak larut Larut, panas Larut, panas
Karakteristik gel
Efek kation Gel lebih kuat dengan ion Gel lebih kuat dengan Tidak membentuk gel
porasium ion kalsium
Tipe gel Kuat dan rapuh Elastis Tidak membentuk gel
Shear reversible gel Tidak Ya Tidak membentuk gel
Sineresis Ya Tidak
Histeresis 10 20 oC 5 10 oC
Stabilitas freezing- Tidak Ya Ya
thawing
Efek sinergis dengan Ya Tidak Tidak
locus bean gum
Efek sinergis dengan Ya Tidak Tidak
konjak/glukomanan
Efek sinergis dengan Tidak Ya Tidak
pati
Stabilitas*
pH netral dan alkali Stabil Stabil Stabil
pH asam Terhidrolisis pada larutan Terhidrolisis pada Terhidrolisis
jika dipanaskan. Stabil larutan. Stabil dalam
dalam bentuk gel bentuk gel
Sumber : Imerson (2000), *Glicksman (1983).

Proses pembentukan gel diawali dengan perubahan polimer karagenan menjadi bentuk
gulungan acak (random coil). Perubahan ini disebabkan proses pemanasan dengan suhu yang lebih
tinggi dari suhu pembentukan gel karagenan. Ketika suhu diturunkan, polimer karagenan akan
membentuk struktur double helix (pilinan ganda) dan menghasilkan titik-titik pertemuan (junction
points) dari rantai polimer (Glicksman 1979). Jika diteruskan, ada kemungkinan proses pembentukan
agregat terus terjadi dan gel akan mendorong air yang tidak terikat di dalam gel. Proses keluarnya air
tersebut dinamakan sineresis (Fardiaz 1989).
Hanya kappa dan iota karagenan saja yang mampu membentuk gel. Lambda karagenan tidak
mampu membentuk gel karena tidak mengandung 3,6-anhidrogalaktosa. Proses pembentukan gel
karagenan terjadi ketika larutan panas karagenan dibiarkan menjadi dingin. Gel yang dihasilkan

11
bersifat thermoreversible yaitu gel akan mencair jika dipanaskan dan akan membentuk gel kembali
bila didinginkan (Glicksman 1983).

dingin dingin

panas panas

koil acak pilinan ganda agregat


Gambar 2. Mekanisme pembentukan gel karagenan (Glicksman 1983)

Aplikasi utama karagenan yaitu pada industri makanan terutama produk susu. Pada industri
makanan, karagenan digunakan sebagai penstabil, pemadat, pembuat gel, dan zat tambahan dalam
proses pengolahan cokelat, susu, puding, susu instan, dan makanan kaleng (Kiswanti 2009). Jumlah
karagenan yang digunakan berkisar 0,01-0,05 %. Pada produk keju dan es krim, karagenan berfungsi
sebagai penstabil, pengontrol tekstur produk dan pengikat air. Pada produk cokelat dan susu, selain
berfungsi sebagai penstabil, karagenan dapat memberikan kesan lembut pada mulut. Karagenan dapat
digunakan pada produk daging. Penggunaan semi refined karagenan terbesar adalah untuk makanan
ternak, yaitu 5.500 ton setiap tahunnya (McHugh 2003). Kappa karagenan yang ditambahkan pada
susu cokelat dapat mencegah terjadinya pemisahan lemak dan menstabilkan cokelat (Van de Velde
dan De Ruiter 2005).
Saat ini, pemanfaatan karagenan tidak hanya terbatas pada industri makanan saja, tetapi juga
pada industri-industri lain seperti farmasi, kosmetika, bioteknologi, tekstil, dan lain sebagainya. Pada
industri farmasi, karagenan digunakan sebagai bahan pengental (suspensi), emulsi, dan penstabil pada
proses pembuatan pasta gigi, obat-obatan, minyak mineral, dan lain-lain. Selain itu, karagenan juga
digunakan dalam industri tekstil, cat, dan keramik. Industri pasta gigi merupakan industri terbesar di
Indonesia yang menggunakan karagenan, hal ini dikarenakan kemampuan karagenan sebagai
pengental dalam pasta gigi untuk mengikat air secara efektif dan membentuk gel yang lunak yang
sangat stabil terhadap degradasi enzimatis (Kiswanti 2009).
Dalam industri kosmetik, karagenan digunakan pada gel, krim, lotion, shampo, dan produk
perawatan kulit dan tubuh lainnya. Gel karagenan meningkatkan kestabilan emulsi dengan menjaga
droplet minyak dan mencegah pemisahan bahan yang tidak larut seperti pigmen (Van de Velde dan
De Ruiter 2005). Dalam milk-gels (puding, saus, minuman kaleng) dan antacid-gels, karagenan
berfungsi sebagai pembentuk gel, demikian pula dalam makanan dan minumam water-gels, fish and
meat-gels, dan pengharum ruangan (Anggadireja et al. 1993). Diperkirakan sekitar 200 ton per tahun
karagenan digunakan pada produk nonpangan seperti pada gel pengharum ruangan (McHugh 2003).
Pada gel pengharum ruangan, karagenan berfungsi sebagai pengemulsi minyak pengharum
pada bahan hidrofobik. Karagenan yang dijadikan bahan pembuat gel pengharum ruangan berfungsi
melepaskan minyak aroma secara perlahan (slow release) (Hargreaves 2003). Pada produk pengharum
ruangan, gel dibuat dengan menggunakan karagenan yang dikombinasikan dengan gum jenis lain serta
garam pembentuk gel (hingga 2.5 % b/b dari gum). Kombinasi tersebut mengikat minyak pengharum

12
sehingga pelepasan terjadi secara bersamaan dari permukaan gel hingga gel mengering (Van de Velde
dan De Ruiter 2005).

2.4. GLUKOMANAN
Glukomanan adalah salah satu komponen kimia terpenting yang terdapat dalam umbi
Amorphophallus. Amorphophallus termasuk ke dalam kelas Magnoliophyta, suku Alismatales, dan
famili Araceae. Glukomannan merupakan senyawa yang banyak terkandung dalam tepung
glukomanan yakni mencapai 70 90%. Tepung glukomanan dapat digunakan sebagai bahan
pengental, bahan pembentuk gel, dan pengikat air (Kiswanti 2009).
Sama halnya dengan karagenan, glukomannan merupakan hidrokoloid yang diperoleh dari
hasil ekstraksi. Penyebaran tanaman Amorphophallus lebih banyak di daerah Asia seperti Timur
Tengah, Jepang, dan Asia Tenggara. Beberapa spesies yang tumbuh di daerah tersebut yaitu
Amorphophallus konjak K Koch, A. rivierii, A. bulbifier, dan A. Oncophyllus. Jenis Amorphophallus
juga banyak dikembangkan di Indonesia diantaranya adalah iles-iles/porang (A. muelleri Blume) dan
suweg (A.paeoniifolis) (Takigami 2000). Menurut Harijati (2009), berdasarkan pengukuran
kandungan glukomanan, didapatkan bahwa Amorphophalus muelleri mempunyai kandungan
glukomanan lebih tinggi dibandingkan yang lainnya.
Menurut Harsojuwono (2005), dari hasil survai kawasan iles-iles di Jawa Timur, iles-iles
tersebar luas di daerah hutan jati Nganjuk, Ngawi, Bojonegoro, dan Madiun dengan luas areal masing-
masing 55,000 Ha, 4,000 Ha, 60,000 Ha, dan 75,000 Ha. Kapasitas produksi iles-iles yang telah
dibudidayakan mencapai 8 ton/Ha dengan harga jual mencapai Rp 800.-/kg. Tepung iles-iles
mengalami peningkatan permintaan di beberapa negara terutama Jepang, Taiwan, dan Eropa Barat.
Glukomanan termasuk polisakarida dari jenis hemiselulosa yang memiliki ikatan rantai utama
glukosa dan manosa dalam ikatan -1,4 serta mengandung gugus asetil. Glukomanan mengandung 60
% D-mannosa dan 40 % D-glukosa. Glukomanan memiliki bobot molekul relatif tinggi, yaitu sebesar
200,000 2,000,000 Dalton dengan ukuran antara 0.5 2 mm, yaitu 10 20 kali lebih besar dari sel
pati (Mikonnen 2009).
Konjak glukomannan adalah polimer yang larut dalam air dan dapat menyerap 100 kali dari
volumenya sendiri dalam air. Larutan yang terbentuk merupakan larutan pseudoplastik. Viskositas
konjak lebih tinggi daripada bahan pengental alami lainnya dan stabil terhadap asam, tidak ada
pengendapan walaupun pH diturunkan dibawah 3.3. Larutan konjak tahan terhadap garam walaupun
pada konsentrasi tinggi (Widjanarko 2008). Struktur kimia glukomanan dapat dilihat pada Gambar 3.

Manosa Manosa Glukosa Glukosa


Gambar 3. Struktur kimia glukomanan (Johnson 2002)

Menurut Deptan (2010), senyawa glukomanan mempunyai sifat-sifat khas sebagai berikut :
1) Larut dalam air. Glukomanan dapat larut dalam air dingin dan membentuk larutan yang sangat
kental. Tetapi, bila larutan kental tersebut dipanaskan sampai menjadi gel maka glukomanan
tidak dapat larut kembali di dalam air.

13
2) Membentuk gel. Glukomanan dapat membentuk larutan yang sangat kental di dalam air.
Dengan penambahan air kapur, zat glukomannan dapat membentuk gel di mana gel yang
terbentuk mempunyai sifat khas dan tidak mudah rusak.
3) Merekat. Glukomanan mempunyai sifat merekat yang kuat di dalam air. Namun, dengan
penambahan asam asetat, sifat merekat tersebut akan hilang.

Dengan sifat tersebut diperoleh beberapa manfaat dari glukomanan antara lain :
1) Bahan lem yang daya rekatnya terbaik dan kedap air.
2) Campuran bahan dalam industri kertas agar kertas cukup kuat dan lemas.
3) Pengganti kanji dalam industri pertekstilan sehingga kain katun, linen, wol dan kain-kain dari
bahan imitasi lebih mengkilap.
4) Pengganti media tumbuh mikroba ataupun sebagai detektor mikroba alami yang mampu
menyediakan unsur karbon bagi mikroba dalam bidang laboratories.
5) Pengganti selulosa yang digunakan dalam industri perfilman seperti isolator listrik,
persenjataan perang dan bahan peledak, alat-alat dalam pesawat terbang, serta parasut para
penerjun payung.
6) Penjernih dan massa pengikat pada industri minuman, pabrik gula, dan pertambangan batubara.
Partikel batubara yang terlarut dalam air dapat dengan mudah terikat oleh glukomanan
sehingga airnya dapat dimanfaatkan kembali.
7) Pengikat formula tablet, pengental sirup obat, pembungkus dan etiket kedap air, penghancur
(disintegrator) tablet, dan pembuat suppositoria pada industri farmasi.
8) Bahan pembuatan konyaku (sejenis tahu), shirataki (sejenis mie) dan lain-lain yang sangat
digemari oleh masyarakat Jepang pada industri makanan/pangan.
9) Bahan imitasi yang memiliki sifat lebih baik dari amilum dengan harga lebih murah.
10) Bahan kedap air. Dibuat dengan mencampur larutan glukomanan dengan gliserin/natrium
hidroksida.
11) Untuk menjernihkan air dan memurnikan bagian-bagian koloid yang terapung dalam industri
bir, gula, minyak, dan serat.
12) Dalam industri kosmetika dan pengobatan untuk menjaga dan memulihkan kembali kelancaran
peredaran darah dan mencegah naiknya kadar kolesterol dalam darah, menurunkan tekanan
darah tinggi dan mengobati kencing manis serta meningkatkan kesegaran dan kehalusan kulit.
13) Bahan plastik biodegradable, edible film/coat, dan serat nano. Teknologi ini sedang banyak
dikembangkan saat ini

Sebagai bahan pembentuk gel, glukomanan memiliki kemampuan yang unik untuk membentuk
gel yang reversible dan irreversible pada kondisi yang berbeda. Gel reversible terbentuk jika
glukomanan dikombinasikan dengan hidrokoloid lain seperti karagenan atau xanthan gum. Gel
irreversible didapat dari gel glukomanan yang terbentuk pada kondisi basa. Konsentrasi kritis
terendah konjak glukomanan yang dibutuhkan untuk membentuk gel adalah 0,5% (Takigami 2000).
Pencampuran glukomanan dengan karagenan dapat membentuk gel dengan interaksi yang
sinergis. Sinergisme tersebut akan menghasilkan gel dengan tekstur yang lebih elastis sehingga
memungkinkan penggunaan untuk berbagai kepentingan fungsional yang lebih besar serta tekstur
untuk formulasi (Bubnis 2000).

14
2.5. BAHAN TAMBAHAN GEL PENGHARUM RUANGAN

Pembuatan gel pengharum ruangan diperlukan bahan tambahan di antaranya adalah propilen
glikol yang berperan sebagai pelarut dan sodium benzoat yang berperan sebagai bahan pengawet.
Propilen glikol adalah propana-1.2-diol dengan rumus molekul C3H8O2 dan berat molekul 76.10,
berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, dan higroskopik. Propilen
glikol dapat campur dengan air, dengan etanol (95%) dan dengan kloroform, larut dalam 6 bagian eter,
tidak dapat campur dengan eter minyak tanah dan dengan minyak lemak (Depkes RI 1979).
Propilen glikol dapat berfungsi sebagai pengawet, antimikroba, disinfektan, humektan, solven,
stabilizer untuk vitamin, dan kosolven yang dapat bercampur dengan air. Sebagai pelarut atau
kosolven, propilen glikol digunakan dalam konsentrasi 10-30% larutan aerosol, 10-25% larutan oral,
10-60% larutan parenteral dan 0-80% larutan topikal. Propilen glikol digunakan secara luas dalam
formulasi sediaan farmasi, industri makanan maupun kosmetik, dan dapat dikatakan relatif non toksik.
Dalam formulasi atau teknologi farmasi, propilen glikol secara luas digunakan sebagai pelarut,
pengekstrak dan pengawet makanan dalam berbagai sediaan farmasi parenteral dan non parenteral
(Rowe et al. 2003). Karakteristik propilen glikol dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Karakteristik propilen glikol

Karakteristik propilen glikol Keterangan


Kandungan propana-1.2-diol Tidak kurang dari 99.5 %
Pemerian Cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau,
menyerap air pada udara lembab
Kelarutan Dapat bercampur dengan air, dengan aseton, dan
dengan kloroform, larut dalam eter dan beberapa
minyak esensial, tetapi tidak dapat bercampur dengan
minyak lemak
Kegunaan Pelarut, pembasah (konsentrasi untuk sediaan topikal =
15 %), pengawet untuk sediaan parenteral dan non
parenteral, humektan, plastisizer, zat penstabil untuk
vitamin dan kosolven yang dapat campur dengan air
Sumber : (Rowe et al. 2003).

Sifat propilen glikol hampir sama dengan gliserin hanya saja propilen glikol lebih mudah
melarutkan berbagai jenis zat. Sama seperti gliserin fungsi propilen glikol adalah sebagai humektan,
namun fungsi dalam formula krim adalah sebagai pembawa emulsifier sehingga emulsi menjadi lebih
stabil. Propilen glikol dapat berfungsi sebagai humektan pada sediaan salep, propilen glikol digunakan
pada konsentrasi 15%, sedangkan sebagai preservatif digunakan pada konsentrasi 15-30% (Rowe et
al. 2003).
Sodium benzoat (E211) adalah garam sodium dari asam benzoat dan ada dalam bentuk ini
ketika dilarutkan dalam air dengan rumus kimia NaC6H5CO2. Sodium benzoat dikenal juga dengan
nama natrium benzoat. Fungsi sodium benzoat adalah sebagai bahan pengawet untuk menekan
pertumbuhan mikroorganisme (jamur) yang merugikan (Faisal 2010). Batas atas penggunaan sodium
benzoat yang diijinkan adalah sebesar 0,1% di Amerika Serikat, sedangkan untuk negara-negara lain
berkisar antara 0.15 0.25 %. Untuk negara-negara Eropa batas benzoat berkisar antara 0.015 0.5%.
Sodium benzoat lebih disukai dalam penggunaannya karena 200 kali lebih mudah larut dibandingkan
asam benzoat. Sekitar 0.1% umumnya cukup untuk pengawetan pada produk yang telah dipersiapkan
untuk diawetkan.

15
III. METODOLOGI

3.1. WAKTU DAN TEMPAT

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni November 2012. Penelitian dilakukan di
Laboratorium Department of Industrial Technology (LDIT), Laboratorium Teknologi Kimia,
Laboratorium Organoleptik Departemen Teknologi Industri Pertanian, dan Laboratorium Teknologi
Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor.

3.2. ALAT DAN BAHAN

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :


Alat gelas
Alat gelas yang digunakan antara lain gelas piala 1 L sebanyak satu buah untuk
mendidihkan aquades, 500 mL sebanyak tiga buah untuk membuat gel, 200 mL sebanyak
tiga buah untuk menimbang aquades, 100 mL sebanyak enam buah untuk menimbang
minyak dan propilen glikol, gelas pengaduk, pipet Mohr 1 mL dan 5 mL, dan pipet tetes.
Hot plate
Hot plate yang digunakan adalah portable hot plate 220V merek Maspion dengan
daya listrik yang dapat dipilih antara 300 atau 600 Watt. Hot plate ini tidak memiliki
pengaturan suhu sehingga digunakan termometer.
Texture Analyzer
Texture analyzer digunakan untuk menguji kekuatan gel. Jenis Texture analyser
yang digunakan pada penelitian ini adalah Stable Micro System TA.XT plus (Gambar 4).

a c
b

Gambar 4. Stable Micro System TA.XT plus untuk uji kekuatan gel (a = tempat
probe dipasang, b = meja sampel, c = Probe silinder P/1KSS)

Probe merupakan alat yang dapat dilepas-pasang, digunakan sesuai kebutuhan jenis
pengujian. Jenis probe yang digunakan pada penelitian ini adalah probe silinder P/1KSS
(Kobe 1 cm cylinder stainless) untuk uji kekuatan gel. Texture analyzer dihubungkan
dengan komputer untuk melihat grafik hasil pengujian pada monitor dan keyboard untuk
pengoperasian alat. Pengaturan alat ini dapat dilihat pada Tabel 6.

17
Tabel 6. Pengaturan Alat Texture Analyzer untuk
mengukur kekuatan gel
Parameter Nilai
Kecepatan awal 1.5 mm/detik
Kecepatan uji 2.0 mm/detik
Kecepatan akhir 10 mm/detik
Jarak uji 1 mm
Jarak 18 mm
Tekanan 100 g
Waktu 5 detik
Hitungan 5
Pemacu
Tipe Otomatis
Tekanan 100 g
Stop plot ct Final
Auto Tare On
Satuan
Tekanan Gram
Jarak Mm

Oven
Oven yang digunakan bermerek Binder dengan model ER-03/UE-ATSP produksi
Tuttlingen, Jerman, April 2003. Oven berukuran panjang 71 cm, lebar 32 cm, dan tinggi 71
cm; terdiri dari empat tingkat tempat tray; memiliki pengontrol suhu sampai maksimal
300oC. Daya listrik yang dibutuhkan adalah sebesar 1.2 kW dengan tegangan 230 V dan
kuat arus 5.3 A. Oven digunakan untuk uji sineresis dengan suhu 30 oC.
Timbangan digital
Timbangan digital yang digunakan bermerek Kern tipe 440 35N produksi
Kern&Sohn GmbH, Jerman. Ketelitian timbangan ini sebesar 0.01 gram dengan maksimal
beban sebesar 400 gram. Tegangan listrik yang dibutuhkan adalah sebesar 9 V, dapat
berasal dari baterai atau adaptor DC.
Alat lain seperti sudip, termometer, bulb, gunting, tisu, kain lap, alumunium foil, wadah
plastik, plastik resealable, spidol marker permanen, dan nampan plastik.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu minyak kenanga, minyak jeruk purut, minyak
nilam, kappa karagenan, glukomanan, propilen glikol, natrium benzoat, dan aquades. Minyak kenanga
dan minyak jeruk purut digunakan sebagai bahan pewangi, minyak nilam sebagai bahan fiksatif,
kappa karagenan dan glukomanan sebagai bahan pembentuk gel, propilen glikol sebagai emulsifier,
dan natrium benzoat sebagai bahan anti-kapang.
Minyak atsiri yang digunakan pada penelitian didapatkan dari CV. Kreasi Aroma.
Penyimpanan minyak yang baik selama penelitian adalah di dalam botol kaca yang ditutup rapat,
kemudian botol dibungkus kembali dengan plastik dan diikat kuat. Minyak nilam dan kenanga
disimpan dalam botol gelap karena mudah rusak apabila terpapar cahaya matahari. Propilen glikol
disimpan dalam botol plastik HDPE berwarna putih opak dan ditutup rapat. Semua botol disimpan di
dalam loker laboratorium yang kering dan tidak terpapar sinar matahari.
Spesifikasi kappa karagenan terdapat pada Lampiran 1. Glukomanan yang digunakan berwarna
putih, diperoleh dari Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen

18
Teknik Mesin dan Biosistem. Glukomanan disimpan di dalam lemari dengan suhu 17.2oC dan
kelembaban 96%. Natrium benzoat diperoleh dari toko kimia Setia Guna, Bogor. Penyimpanan semua
bahan kering yang baik selama penelitian adalah di dalam plastik terpisah dan tertutup lalu ditaruh di
dalam laci khusus bahan kering yang terdapat di dalam Laboratotrium DIT-2. Laci yang digunakan
harus dalam keadaan kering, tidak berbau, dan tidak terpapar matahari. Penyimpanan bahan kering
harus terpisah dengan bahan yang mengandung air, bahan yang menghasilkan bau, dan alat
laboratorium.

3.3. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada
penelitian pendahuluan, gel belum dicampur dengan minyak atsiri. Penelitian tahap ini bertujuan
untuk mengetahui sifat gel baru yang dihasilkan dari sinergisme kappa karagenan dengan
glukomanan, dimana masing-masing bahan memiliki sifat gel yang berbeda. Kappa karagenan
memiliki sifat gel yang solid dan rapuh, sedangkan glukomanan memiliki sifat gel yang semi-solid
dan kental. Pencampuran kedua bahan diharapkan dapat menghasilkan gel yang solid dan elastis.
Gambar 5 menunjukkan diagram alir penelitian.

Bahan baku gel

Pembuatan gel dengan beberapa formula

Uji kekuatan gel Uji sineresis

Gel dengan kekuatan tinggi


dan sineresis rendah

Minyak
atsiri Pembuatan gel pengharum ruangan

Seleksi panelis

Uji sensorik Uji penguapan zat cair

Gel pengarum ruangan dengan


ketahanan wangi terbaik

Gambar 5. Diagram alir penelitian

19
Uji yang dilakukan adalah uji kekuatan gel dan sineresis. Gel yang dipilih adalah gel dengan
kekuatan gel baru hasil pencampuran kappa karagenan dengan glukomanan terhadap ketahanan wangi
gel pengharum ruangan dan mengetahui efektifitas minyak nilam sebagai bahan fiksatif pada pewangi
sediaan gel berbasis kappa karagenan-glukomanan. Uji yang dilakukan adalah uji penguapan zat cair
dan uji sensorik sehingga diperoleh gel pe ngarum ruangan dengan ketahanan wangi terbaik.

3.3.1. Penentuan Perbandingan dan Konsentrasi Hidrokoloid

Kappa karagenan dan glukomanan dicampur dengan tiga jenis perbandingan yaitu, 60 : 40
(A1), 70 : 30 (A2), dan 100 : 0 (A3). Tiap perbandingan terdiri dari tiga jenis konsentrasi yaitu, 3%
(B1), 4% (B2), dan 5% (B3) sehingga diperoleh sembilan jenis sampel yaitu, A1B1, A1B2, A1B3,
A2B1, A2B2, A2B3, A3B1, A3B2 dan A3B3. Konsentrasi bahan yang lain yaitu, natrium benzoat
sebesar 0.1%, propilen glikol sebesar 10%, dan aquades hingga 100%. Semua konsentrasi dihitung
dengan persentase bobot bahan per bobot gel (b/b gel). Komposisi bahan-bahan tersebut dapat dilihat
pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Komposisi karagenan dan glukomanan pada konsentrasi hidrokoloid 3, 4,


dan 5% dengan basis 210 g
Hidrokoloid Bobot (g)*
Konsentrasi Jumlah 60 : 40 70 : 30 100 : 0
(%) (g) K G K G K G
3 6.30 3.78 2.52 4.41 1.89 6.30 -
4 8.40 5.04 3.36 5.88 2.52 8.40 -
5 10.50 6.30 4.20 7.35 3.15 10.50 -
*
K = Karagenan; G = Glukomanan

Tabel 8. Komposisi bahan gel pada konsentrasi hidrokoloid 3, 4, dan 5%


dengan basis 210 g
Bobot (g)
Komposisi bahan
3% 4% 5%
Campuran kappa karagenan-
6.30 8.40 10.50
glukomanan
Natrium benzoat (0.1%) 0.21 0.21 0.21
Propilen glikol (10%) 21.00 21.00 21.00
Minyak atsiri (7%)* 14.70 14.70 14.70
Aquades (s.d. 100%)
gel tanpa minyak atsiri 182.49 180.39 178.29
gel dengan minyak atsiri 167.79 165.69 163.59
*hanya digunakan pada penelitian utama
Semua bahan padat (kappa karagenan, glukomanan, dan natrium benzoat) ditimbang di atas
satu alumunium foil kemudian diaduk rata. Agar bahan tidak tumpah selama penyimpanan,
alumunium foil dapat ditutup dan diberi kode sampel. Aluminium foil lebih dipilih daripada gelas
arloji karena bahan padat yang berupa bubuk ringan mudah menempel pada permukaan gelas
sehingga mengakibatkan los saat pemindahan. Bahan cair (aquades dan propilen glikol) ditimbang
dengan wadah gelas piala terpisah, tidak dicampur.

20
Setelah semua bahan ditimbang, aquades dipanaskan hingga suhu 75oC kemudian campuran
bahan padat dituangkan sedikit demi sedikit sambil diaduk agar tidak terbentuk gumpalan-gumpalan
kecil. Setelah hidrokoloid terbentuk, gelas piala diangkat dari hot plate dengan kain agar tidak panas
lalu terus diaduk hingga suhu mencapai 65oC, propilen glikol dimasukkan ke dalam hidrokolid
kemudian diaduk kembali. Pada awalnya, pengadukan dilakukan menggunakan pengaduk magnetik,
namun hidrokoloid yang dihasilkan sangat kental sehingga pengaduk magnetik tidak dapat berputar.
Setelah propilen glikol tercampur rata, hidrokoloid dibagi ke dalam tiga wadah plastik yang
telah diberi kode sampel sesuai formulanya lalu dibiarkan pada suhu ruang hingga membentuk gel.
Saat proses pencetakkan ini, wadah plastik ditutup namun tidak terlalu rapat agar gel mengeras
dengan lebih rata. Kondisi wadah plastik yang terbuka menyebabkan bagian atas gel menjadi lebih
keras akibat kontak dengan udara, sedangkan wadah yang tertutup rapat mengakibatkan terbentuknya
embun di dalam wadah plastik sehingga gel menjadi basah. Diagram alir pembuatan gel pengharum
ruangan dapat dilihat pada Gambar 6.

Aquades

Dipanaskan hingga 75oC

Karagenan,
glukomanan, Diaduk hingga homogen
natrium benzoat
0,1%

Suhu diturunkan hingga 65oC

Propilen glikol Diaduk hingga homogen

Minyak atsiri 7%* Diaduk hingga homogen

Dituangkan ke dalam tiga


wadah plastik

Dibiarkan pada suhu ruang


hingga mengeras

Gel pengharum ruangan

Gambar 6. Diagram alir pembuatan gel pengharum ruangan (modifikasi Rahmaisni 2008).
*minyak atsiri hanya digunakan untuk penelitian utama

21
Setelah gel terbentuk, dilakukan uji kekuatan gel dan sineresis. Setiap jenis gel diuji dengan
tiga kali ulangan pada masing-masing pengujian. Data yang diperoleh dievaluasi menggunakan
rancangan acak lengkap faktorial untuk mengetahui pengaruh perbandingan dan konsentrasi
hidrokoloid terhadap kekuatan gel dan sineresis, selanjutnya digunakan uji Duncan untuk mengetahui
perbedaan nyata setiap nilai dengan nilai yang lainya.

a. Uji Kekuatan Gel

Uji kekuatan gel dilakukan menggunakan alat Texture Analyzer yang terdapat di Laboratorium
Teknologi Pangan. Prinsip kerja alat ini adalah memberikan tekanan pada permukaan gel hingga
permukaan tersebut rusak, besar tekanan pada saat itu merupakan batas kritis kekuatan gel dalam
satuan gram force. Sampel diletakkan di tengah meja uji dalam keadaan wadah plastik terbuka seperti
pada Gambar 7.

Gambar 7. Pengujian kekuatan gel menggunakan Texture Analyzer

b. Uji Kestabilan Gel

Kestabilan gel diuji dengan menghitung dan membandingkan tingkat sineresis antar sampel.
Gel yang telah terbentuk pada wadah plastik ditimbang bobotnya (Mo) lalu dipindahkan ke dalam
plastik resealable yang telah diberi kode sampel. Gel disimpan pada oven bersuhu 30oC dalam
keadaan plastik terbuka. Setelah 24 jam, gel dikeluarkan dari oven dan dipindahkan ke dalam wadah
plastik sesuai kode sampel untuk ditimbang bobot akhirnya (Mi) (Enifia 2009). Sebelum disimpan
pada wadah plastik, permukaan gel dikeringkan terlebih dahulu oleh tisu kering agar tidak ada zat cair
yang ikut tertimbang. Data yang dihitung adalah persen sineresis dengan perhitungan sebagai berikut :


Sineresis (%) = 100%

22
c. Rancangan Percobaan Penentuan Gel

Rancangan faktorial acak lengkap digunakan karena perlakuan merupakan komposisi dari
semua kombinasi dua faktor atau lebih. Pada penelitian ini, rancangan terdiri dari dua faktor yaitu,
perbandingan dan konsentrasi. Tiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga
diperoleh data observasi sebanyak 27 buah. Berikut merupakan faktor beserta taraf yang digunakan :
Faktor perbandingan : A1 (60 : 40), A2 (70 : 30), A3 (100 : 0)
Faktor konsentrasi (%) : B1 (3), B2 (4), B3 (5)
Ulangan : 1, 2, 3
Respon yang diamati : kekuatan gel (gram force) dan sineresis (%)
Dari informasi tersebut maka model yang terbentuk adalah :

Model linier :
Y ijk = + i + A j + (AB) ij + ijk

Keterangan :
Y ijk = nilai pengamatan pada perbandingan ke-i, konsentrasi ke-j, dan ulangan ke-k.
= rataan umum respon
Ai = pengaruh utama faktor perbandingan ke-i; i = 1, 2, 3
Bj = pengaruh utama faktor konsentrasi ke-j; j = 1, 2, 3
(AB) ij = interaksi dari faktor perbandingan ke-i dan konsentrasi ke-j
ijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0,2)

Hipotesis :
Pengaruh Utama Faktor Perbandingan
H0 : A1 = A2 = A3 = 0
(faktor perbandingan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)
H 1 : paling sedikit ada satu i dimana A i 0

Pengaruh Utama Faktor Konsentrasi


H0 : B1 = B2 = B3 = 0
(faktor konsentrasi tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati )
H 1 : paling sedikit ada satu j dimana B j 0

Pengaruh Interaksi Faktor Perbandingan dengan Faktor Konsentrasi


H 0 : (AB) 11 = (AB) 12 = ... = (AB) 33 = 0
(interaksi antara faktor A dengan faktor B tidak berpengaruh terhadap respon yang
diamati)
H 1 : paling sedikit ada sepasang (i,j) dimana (AB) ij 0

3.3.2. PEMBUATAN GEL PENGHARUM RUANGAN

Metode pembuatan gel pengharum ruangan sama seperti metode pembuatan gel pada penelitian
pendahuluan (Gambar 4). Minyak atsiri dicampur ke dalam hidrokoloid setelah propilen glikol
tercampur rata dan suhu hidrokoloid sudah turun mencapai 65oC. Setiap formula gel yang telah
terpilih dari penelitian pendahuluan (F n ) dicampur dengan minyak atsiri sebesar 7% (b/b gel) dengan

23
dua jenis perbandingan minyak, yaitu dengan minyak nilam (N 1 ) dan tanpa minyak nilam (N 0 ).
Komposisi minyak atsiri dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Komposisi minyak atsiri pada tiap formula gel pengharum ruangan

Perbandingan Bobot (g) Total kandungan


minyak atsiri Nilam Kenanga Jeruk purut minyak atsiri (g)

1:2:3 2.45 4.90 7.35 14.70


0:2:3 - 5.63 9.07 14.70

Setelah minyak tercampur, hidrokoloid dicetak pada wadah plastik. Hidrokoloid yang telah
membentuk gel dipindahkan ke plastik resealable yang telah diberi kode sampel dan telah digunting
segitiga di bagian atasnya. Gel pengharum ruangan disimpan pada suhu ruangan selama tiga minggu
dan diuji setiap minggunya. Uji yang dilakukan adalah uji penguapan zat cair dan uji sensorik. Dari
kedua uji tersebut dapat diketahui efektifitas nilam pada gel pengharum ruangan dan ketahanan wangi
gel pengharum ruangan yang terbaik.

a. Uji Penguapan Zat Cair

Uji penguapan zat cair dilakukan dengan menimbang bobot gel setiap minggu selama tiga
minggu. Dari uji ini, diperoleh besar penurunan bobot gel setiap minggunya dan total penurunan
bobot setelah tiga minggu penyimpanan. Penurunan bobot gel pengharum ruangan diperoleh dengan
menghitung selisih bobot gel pada minggu sebelumnya (M n-1 ) dengan bobot gel pada saat
penimbangan (M n ), sedangkan total penurunan bobot adalah selisih bobot minggu ketiga (M 3 ) dengan
bobot awal (M 0 ). Besar selisih bobot merupakan jumlah zat cair yang menguap. Persen total
penguapan zat cair dihitung dengan rumus :

(M3 0)
Persen total penguapan zat cair = 100%
+

Penurunan bobot setiap minggunya dibuat dalam bentuk grafimetri. Persen bobot gel sisa
dihitung dengan rumus berikut :

()
Persen bobot gel sisa = 100%
0 (M0)

b. Rancangan Percobaan Penentuan Ketahanan Gel Terbaik

Pada uji persen total penguapan zat cair, dilakukan evaluasi perhitungan menggunakan
faktorial acak lengkap. Tiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak tiga kali. Berikut merupakan
faktor beserta taraf yang digunakan :
Faktor formulasi : F 1 , F 2 , ...
Faktor nilam : N 0 (tanpa nilam), N 1 (dengan nilam)
Ulangan : 1, 2, 3
Respon yang diamati : total penguapan zat cair (%)
Dari informasi tersebut maka model yang terbentuk adalah :

24
Model linier :
Y ijk = + F i + N j + (FN) ij + ijk

Keterangan :
Y ijk = nilai pengamatan pada formulasi ke-i, nilam ke-j, dan ulangan ke-k.
= rataan umum respon
Fi = pengaruh utama faktor formulasi ke-i; i = 1, 2, ...
Nj = pengaruh utama faktor nilam ke-j; j = 0, 1
(FN) ij = interaksi dari faktor formulasi ke-i dan nilam ke-j
ijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0,2)

Hipotesis :
Pengaruh Utama Faktor Formulasi
H 0 : F 1 = F 2 = ... = 0
(faktor formulasi tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)
H 1 : paling sedikit ada satu i dimana F i 0

Pengaruh Utama Faktor Nilam


H0 : N0 = N1 = 0
(faktor konsentrasi tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)
H 1 : paling sedikit ada satu j dimana N j 0

Pengaruh Interaksi Faktor Formulasi dengan Faktor Nilam


H 0 : (FN) 10 = (FN) 11 = ... = 0
(Interaksi antara faktor F dengan faktor N tidak berpengaruh terhadap respon yang
diamati)
H 1 : paling sedikit ada sepasang (i,j) dimana (FN) ij 0

Nilam dikatakan efektif apabila penurunan bobot gel yang mengandung nilam signifikan lebih
kecil dibandingkan gel yang tidak mengandung nilam. Namun, penguapan terjadi tidak hanya pada
minyak atsiri tetapi juga air yang dikandung di dalam gel. Oleh karena itu, dibutuhkan juga uji
sensorik setiap minggunya agar diperoleh nilai secara kualitatif.

c. Uji Kekuatan Wangi Gel Pengharum Ruangan

Kekuatan wangi gel pengharum ruangan dinilai melalui uji sensorik yang dilakukan setiap
minggu selama tiga minggu. Kekuatan wangi yang tertinggi dan stabil selama tiga minggu
penyimpanan merupakan gel pengharum ruangan dengan ketahanan wangi yang terbaik. Kekuatan
dan ketahanan wangi ini dibandingkan pada setiap jenis gel dan antara gel yang menggunakan minyak
nilam dengan yang tidak menggunakan minyak nilam. Uji dilakukan oleh empat belas orang panelis
terpilih yang diseleksi dari tiga puluh orang melalui tes organoleptik terhadap gel pengharum ruangan.
Tes organoleptik ini terdiri dari lima soal, meliputi dua soal uji segitiga dengan faktor pembeda berupa
konsentrasi minyak atsiri, dua soal uji segitiga dengan faktor pembeda berupa komposisi campuran
minyak atsiri, dan satu soal uji rangking dengan faktor tingkat konsentrasi minyak atsiri. Contoh
lembar pengisian dapat dilihat pada Lampiran 2.

25
Pada uji segitiga, panelis diminta untuk menceklis salah satu kode sampel pada lembar isian
yang memiliki konsentrasi dan komposisi yang berbeda. Konsentrasi pada nomer 1 adalah 2% (kode
170) dan 3% (162 dan 159), sedangkan pada nomer 2 adalah 3% (452 dan 222) dan 2% (712).
Komposisi minyak atsiri dari campuran minyak nilam, minyak kenanga, dan minyak jeruk purut pada
nomer 3 adalah 1 : 2 : 2 (433 dan 131) dan 1 : 2 : 3 (731), sedangkan pada nomer 4 adalah 1 : 2 : 3
(479 dan 451) dan 1 : 2 : 2 (414). Uji rangking pada nomer 5 adalah mengurutkan sampel dari
konsentrasi tertinggi ke konsentrasi terendah dengan menuliskan kode sampel pada kolom rangking.
Konsentrasi minyak atsiri yang digunakan adalah 3% (357), 2% (551), dan 1% (150). Panelis yang
terpilih adalah yang mampu menjawab soal lebih dari sama dengan 50%.
Uji kekuatan wangi dilakukan dengan metode uji perbandingan jamak karena dua atau lebih
sampel uji disajikan secara bersamaan untuk dibandingkan dengan sampel standar/baku. Sampel
standar dibuat kembali pada hari yang sama sebelum dilakukan pengujian. Pengujian dilakukan pada
H7, H14, dan H21 dengan panelis yang sama.
Pengujian dilakukan dengan cara membandingkan kekuatan wangi gel uji dengan gel standar
dengan skala 5 1, dimana 5 = sama wangi, 4 = sedikit kurang wangi, 3 = kurang wangi, 2 = sangat
kurang wangi, dan 1 = tidak wangi. Lembar pengisian uji pembanding jamak dapat dilihat pada
Lampiran. Uji ini dilakukan di dalam laboratorium organoleptik dengan suhu 26oC. Saat pengujian,
gel diposisikan 45o dari hidung dengan jarak sejengkal dan wangi dicium dengan mengibas-ngibaskan
tangan ke arah hidung. Supaya indra penciuman panelis tidak terpengaruh wangi sebelumnya,
digunakan penetral bubuk kopi sehingga penilaian lebih valid.

d. Rancangan Percobaan Penentuan Ketahanan Wangi Terbaik

Pada uji perbandingan jamak, tiap kombinasi perlakuan diulang sebanyak empat belas kali,
yaitu sebanyak jumlah panelis. Berikut faktor beserta taraf yang digunakan :
Respon yang diamati : kekuatan wangi
Faktor formulasi : F 1 , F 2 , ...
Faktor nilam : N 0 (tanpa nilam), N 1 (dengan nilam)
Ulangan : 1, 2, ...., 14
Respon yang diamati : kekuatan wangi (1 5)
Dari informasi tersebut maka model yang terbentuk adalah :

Model linier :
Y ijk = + F i + N j + (FN) ij + ijk

Keterangan :
Y ijk = nilai pengamatan pada formulasi ke-i, nilam ke-j, dan ulangan ke-k.
= rataan umum respon
Fi = pengaruh utama faktor formulasi ke-i; i = 1, 2, ...
Nj = pengaruh utama faktor nilam ke-j; j = 0, 1
(FN) ij = interaksi dari faktor formulasi ke-i dan nilam ke-j
ijk = pengaruh acak yang menyebar normal (0,2)

Hipotesis :
Pengaruh Utama Faktor Formulasi
H 0 : F 1 = F 2 = ... = 0 (faktor formulasi tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)

26
H 1 : paling sedikit ada satu i dimana F i 0

Pengaruh Utama Faktor Nilam


H 0 : N 0 = N 1 = 0 (faktor konsentrasi tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati)
H 1 : paling sedikit ada satu j dimana N j 0

Pengaruh Interaksi Faktor Formulasi dengan Faktor Nilam


H 0 : (FN) 10 = (FN) 11 = ... = 0
(Interaksi antara faktor F dengan faktor N tidak berpengaruh terhadap respon yang
diamati)
H 1 : paling sedikit ada sepasang (i,j) dimana (FN) ij 0

Nilam dikatakan efektif apabila kekuatan wangi gel pengharum ruangan yang mengandung
nilam signifikan lebih besar dibandingkan gel yang tidak mengandung nilam. Kekuatan wangi yang
masih dalam keadaan baik adalah yang memiliki nilai di atas 2, yaitu sama wangi sampai kurang
wangi. Ketahanan wangi merupakan lama penggunaan gel pengharum ruangan sampai mencapai nilai
2, yaitu sangat kurang wangi.

27
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gel pengharum ruangan merupakan produk rumah tangga dalam bentuk sediaan gel yang
melepaskan wangi ke ruangan melalui udara. Gel adalah sistem padat atau setengah padat dari paling
sedikit dua konstituen yang terdiri atas massa seperti pagar yang rapat (matriks) dan diselusupi oleh
cairan (Ansel 1989). Minyak atsiri yang dicampur ke dalam gel akan menjadi droplet dan terikat
bersama air di antara matriks gel. Minyak akan berdifusi dari tengah gel ke permukaan gel dan
menguap secara perlahan.

4.1. PENGARUH PERBANDINGAN DAN KONSENTRASI HIDROKOLOID


Gel mungkin mengandung 99.9 % bahan cair tetapi mempunyai sifat yang lebih khas seperti
padatan, khususnya sifat elastisitas dan kekakuan (Winarno 1992). Sifat ini memengaruhi kecepatan
difusi dan penguapan minyak atsiri.
Selain kekuatan gel, kestabilan gel juga menjadi faktor yang memengaruhi kemampuan gel
dalam mengikat cairan. Gel yang kurang stabil akan mudah melepas cairan. Adapun kekuatan dan
kestabilan gel dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi hidrokoloid serta bahan tambahan seperti
propilen glikol yang berfungsi sebagai emulsifier. Berbagai jenis bahan penyusun hidrokoloid
menghasilkan mekanisme interaksi yang berbeda-beda sehingga menghasilkan fungsi tertentu pada
gel. Hal ini dimanfaatkan untuk mendapatkan sifat gel tertentu. Mekanisme fisikokimia tersebut dapat
dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Mekanisme fisikokimia utama yang terjadi pada bahan-bahan penyusun hidrokoloid
Campuran bahan Mekanisme fisika-kimia yang terjadi
Makromolekul dengan pelarut Pelarutan, pengembangan
Penambahan kekentalan dan kepadatan
Pengikatan
Stabilisasi
Makromolekul dengan makromolekul Gelasi
Pengikatan
Stabilisasi
Surfaktan atau makromolekul dengan
Droplet minyak Adsorpsi, emulsifikasi
Partikel solid Pengentalan, stabilisasi

Sumber : Eliasson, 1996.

Pada penelitian ini, kappa karagenan dan glukomanan berperan sebagai makromolekul,
aquades sebagai pelarut, propilen glikol sebagai emulsifier, dan natrium benzoat sebagai partikel solid
yang juga memiliki fungsi khusus sebagai bahan anti kapang. Minyak atsiri dicampur ke dalam
hidrokoloid dan diaduk sehingga membentuk droplet minyak.
Aquades dipanaskan kemudian dicampur dengan kappa karagenan, glukomanan, dan natrium
benzoat yang telah dicampur terlebih dahulu. Pemanasan dilakukan sebelum proses pencampuran
karena makromolekul memiliki sifat yang sangat mudah menyerap air. Apabila bahan kering
dicampur terlebih dahulu oleh air yang bersuhu ruangan, makromolekul akan cepat mengalami gelasi
sehingga gel terbentuk di bagian dasar gelas dan sulit tercampur hingga homogen. Selain itu,
glukomanan lebih cepat mengalami gelasi daripada karagenan sehingga antara gel glukomanan dan

28
karagenan sulit tercampur. Sebaliknya, apabila air dipanaskan terlebih dahulu, makromolekul akan
larut terlebih dahulu sebelum membentuk gel sehingga diperoleh hidrokoloid yang lebih homogen.
Makromolekul dituangkan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk. Apabila bahan dituangkan
sekaligus atau terlalu banyak, permukaan karagenan dan glukomanan yang kontak dengan air akan
cepat mengalami gelasi sehingga bagian dalamnya masih kering. Akibatnya, terjadi gumpalan-
gumpalan yang sulit dilarutkan sehingga terbentuk gel yang kurang homogen. Natrium benzoat tidak
memiliki daya hidrasi sehingga dapat larut dan tercampur baik dengan hidrokoloid.
Setelah terbentuk hidrokoloid, propilen glikol dicampur ke dalam hidrokoloid. Setelah propilen
glikol tercampur, minyak atsiri kemudian dicampur ke dalam hidrokoloid. Pada pembuatan gel yang
dilakukan oleh Rahmaisni (2011), propilen glikol dicampur ke dalam minyak atsiri sebelum minyak
atsiri dituangkan ke dalam hidrokoloid. Perbedaan tahap ini dilakukan karena prinsip pencampuran
adalah menggabungkan senyawa sejenis terlebih dahulu (polar dengan polar dan non-polar dengan
non-polar) kemudian senyawa polar dengan non-polar. Propilen glikol merupakan senyawa polar
berupa cairan kental, jernih, tidak berwarna, tidak berbau, rasa agak manis, dan higroskopik. Propilen
glikol dapat campur dengan air, dengan etanol (95 %) dan dengan kloroform, larut dalam 6 bagian
eter, tidak dapat campur dengan eter minyak tanah dan dengan minyak lemak (Depkes RI 1979). Oleh
karena itu, propilen glikol dicampur dengan hidrokoloid karena akan bercampur dengan air, bukan
dicampur dengan minyak atsiri. Namun demikian, propilen glikol tidak bisa dicampur dengan air
sebelum karagenan dan glukomanan membentuk gel karena propilen glikol bersifat menghambat
gelasi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tepung karagenan dan glukomanan yang dicampur
dengan propilen glikol kemudian dicampur dengan air tidak mengalami gelasi, namun kembali
mengendap.

4.1.1. Hasil Uji Kekuatan Gel


Kekuatan gel dinyatakan dalam kilogram force (kgf) atau gram force (gf), didefinisikan
sebagai gaya maksimum yang dibutuhkan untuk memecahkan matriks polimer pada daerah yang
ditekan (Suheti 2000). Prinsip alat ini berhubungan dengan rumus tekanan, yaitu :

()
(/2 ) =
(2 )

dimana tekanan (gf/mm2) berbanding lurus dengan gaya (gf) dan berbanding terbalik dengan luas
permukaan (mm2) penekan (probe). Probe yang digunakan pada setiap pengujian memiliki luas
permukaan yang sama sehingga faktor ini dapat diabaikan. Gaya yang digunakan diatur pada
komputer sebesar 100 gf.
Nilai kekuatan gel rata-rata hasil uji dapat dilihat pada Gambar 8. Kekuatan gel tertinggi
dihasilkan oleh perbandingan 60 : 40 dengan konsentrasi 5 % (A1B3), kemudian diikuti oleh
konsentrasi 4 % (A1B2). Dari grafik terlihat bahwa perbandingan 60 : 40 (A1) paling efektif dalam
meningkatkan kekuatan gel.
Perbandingan 70 : 30 juga memberikan kekuatan gel yang lebih besar daripada 100 : 0 pada
setiap konsentrasi. Maka, dapat diketahui bahwa campuran glukomanan memberikan pengaruh positif
pada peningkatan kekuatan gel. Hal ini terjadi karena adanya sinergisme antara glukomanan dengan

29
5000
4581.3
4500
4000
Perbandingan
3500 karagenan-
Kekuatan gel (gf)
3000 glukomanan :
3056.2
2500 60 : 40
2000 70 : 30
1425.2 1705.0 100 : 0
1500 1331.0 1418.8
1000 1105.1
1165.2
1035.5
500
0
3 4 5
Konsentrasi hidrokoloid (%)

Gambar 8. Rata-rata kekuatan gel pada semua jenis perbandingan dan konsentrasi

kappa karagenan yang memiliki sifat gel yang berbeda, dimana gel kappa karagenan bersifat rapuh
sedangkan gel glukomanan bersifat elastis dan tidak membentuk gel yang solid. Larutan glukomanan
tidak akan membentuk gel karena gugus asetilnya mencegah rantai panjang glukomanan untuk
bertemu satu sama lain. Larutan yang terbentuk merupakan larutan pseudoplastik (Widjanarko 2008).
Pseudoplastik merupakan fluida dengan tipe eksponensial dimana pengurang viskositas terlihat jelas
dengan adanya peningkatan gaya geser (Landau and Liftshitz, 1997). Glukomanan tidak dapat
membentuk gel kecuali dengan adanya kappa karagenan dan xanthan gum, dimana asosiasi antar
rantai mendukung gelasi atau pengentalan (Thomas 1997).
Glukomanan memiliki sifat yang dapat menurunkan tegangan permukaan gel campuran kappa
karargenan-glukomanan sehingga terbentuk gel yang lebih elastis. Elastisitas menurunkan sifat
kerapuhan gel sehingga gel lebih kuat. Menurut Morris (1998), kappa karagenan yang dicampurkan
dengan tepung konjak atau glukomanan (yang tidak dapat membentuk gel) akan berinteraksi secara
sinergis untuk menghasilkan gel yang lebih elastis). Gel elastis yang terbentuk bersifat reversible
setelah pemanasan dan pendinginan (Ozu et al 1993). Saat pendinginan, polimer karagenan
membentuk struktur double helix (pilinan ganda) yang menghasilkan titik-titik pertemuan (junction
points) dari rantai polimer dan rongga-rongga di antara rantainya (Glicksman 1979). Rantai
glukomanan akan mengisi rongga-rongga antar rantai kappa karagenan. Semakin banyak kandungan
glukomanan, rongga karagenan akan semakin banyak terisi larutan yang kental dan bersifat
pseudoplastik tersebut sehingga gel semakin elastis.
William, et al (1993) meneliti interaksi antara kappa karagenan dan glukomanan menggunakan
Differential Scaning Calorimetry (DSC) dan Electron Spin Resonance (ESR), dari penelitian ini
diketahui bahwa glukomanan diserap ke atas permukaan agregat kappa karagenan. Kohayama, et al
(1993) juga meneliti efek dari peneltian ini diketahui bahwa ada dua bagian kristalin dalam gel
campuran, bagian pertama terdiri dari kappa karagenan sendiri dan yang lainnya berupa asosiasi
antara glukomanan dan kappa karagenan yang memberikan kontribusi terhadap sifat gel. Menurut
Akesowan (2002), gabungan antara glukomanan-karagenan lebih disukai dari gabungan karagenan-
karagenan karena molekul glukomanan tidak bermuatan.

30
Selain karena adanya sinergisme, glukomanan memiliki daya serap zat cair yang lebih besar
daripada kappa karagenan. Proporsi glukomanan yang lebih tinggi menyebabkan semakin banyak air
yang terserap pada gel sehingga lebih elastis.
Pada faktor konsentrasi, terlihat bahwa konsentrasi hidrokoloid memberikan pengaruh positif
pada kekuatan gel, dimana semakin tinggi konsentrasi hidrokoloid maka semakin tinggi kekuatan
gelnya. Pada grafik terlihat bahwa konsentrasi 5 % menghasilkan kekuatan gel yang lebih besar
daripada konsentrasi 4 % dan 3 % pada setiap perbandingan, begitu pun konsentrasi 4 % terhadap 3%.
Hal ini terjadi karena semakin tinggi konsentrasi hidrokoloid, semakin banyak air yang terserap oleh
makromolekul dan rantai heliks yang terbentuk semakin banyak sehingga gel semakin padat. Enifia
(2009) menjelaskan bahwa tekstur suatu produk dipengaruhi oleh jumlah air yang ada dalam produk,
semakin tinggi konsentrasi karagenan dan semakin kecil proporsi kandungan air dalam suatu produk
maka tingkat kekerasannya akan semakin tinggi.
Hasil evaluasi data menggunakan rancangan acak lengkap faktorial pada Lampiran 3
menunjukkan bahwa faktor perbandingan dan konsentrasi memiliki pengaruh yang nyata terhadap
kekuatan gel, begitu pula interaksi keduanya. Rancangan acak lengkap dipilih karena pengujian ini
terdiri dari dua faktor (perbandingan dan konsentrasi) dimana kedua faktor memiliki hubungan yang
saling bersilang (tiap perbandingan mengandung tiap konsentrasi).
Evaluasi dilanjutkan dengan Uji Duncan untuk melihat perbedaan nyata (signifikansi) kekuatan
gel pada faktor perbandingan, konsentrasi, serta interaksi keduanya. Pada faktor perbandingan,
diperoleh bahwa setiap perbandingan memiliki kekuatan gel yang berbeda signifikan, dengan urutan
dari yang terbesar ke yang terkecil adalah 60 : 40, 70 : 30, dan 100 : 0 (Lampiran 4). Begitu pula
dengan faktor konsentrasi hidrokoloid, konsentrasi 5 % menghasilkan kekuatan gel yang signifikan
lebih besar dari konsentrasi 4 %, dan konsentrasi 4 % signifikan lebih besar dari konsentrasi 3 %
(Lampiran 5). Maka, dari pengujian ini dapat diketahui bahwa kekuatan gel terbaik adalah pada
perbandingan 60 : 40 konsentrasi 5 %.
Kekuatan gel yang baik pada gel pengharum ruangan bertujuan untuk mempertahankan bentuk
gel setelah dicetak sehingga gel tidak patah/rusak selama proses pascaproduksi, seperti penyimpanan,
pendistribusian, dan pada saat gel digunakan. Semakin tinggi konsentrasi hidrokoloid, gel akan
semakin kuat. Namun,apabila konsentrasi terlalu tinggi, gel akan sulit dibentuk/dicetak karena
hidrokoloid yang terbentuk sangat kental sehingga aliran fluidanya lambat. Akibatnya, hidrokoloid
tidak dapat mengisi ruang kosong dalam cetakan dengan sempurna. Selain itu, semakin tinggi
konsentrasi hidrokoloid, semakin cepat gel mengeras.

4.1.2. Hasil Uji Kestabilan Gel


Sineresis adalah peristiwa keluarnya air dari dalam gel yang disebabkan oleh agregasi rantai
karagenan saat pendinginan. Pada suhu di atas titik cair (pemanasan), polimer-polimer kappa
karagenan dalam larutan membentuk susunan acak. Saat pendinginan, formasi acak berubah menjadi
rantai heliks ganda yang memungkinkan terbentuknya ikatan-ikatan silang yang membentuk jala atau
jaringan (matriks) secara kontinyu. Pendinginan selanjutnya menyebabkan polimer-polimer menjadi
terikat silang secara kuat dan terbentuk agregat yang membentuk gel kuat. Pembentukan agregrat ini
menyebabkan rantai gel mendorong air yang tidak terikat sehingga air keluar dari gel (Fardiaz 1989).
Lee et al. (2008) menyatakan bahwa jumlah zona ikatan dapat menjadi satu alasan tingginya
tingkat sineresis. Jumlah zona ikatan yang lebih banyak dapat menyebabkan peningkatan sineresis.
Hal ini disebabkan pembentukan heliks dan pembentukan agregat yang terus terjadi selama
penyimpanan sehingga ikatan rantai gel semakin banyak dan rapat, sedangkan rongga antar ikatan
menjadi semakin sempit yang mengakibatkan air yang tidak terikat terdorong ke luar. Pada penelitian

31
ini, sineresis menunjukkan kestabilan gel dalam mempertahankan air yang terperangkap di dalamnya.
Rata-rata sineresis hasil pengujian dapat dilihat pada Gambar 9.

1,2
1.007
1,0

0.806 Perbandingan
0,8
karagenan-
Sineresis (%)

0.657 glukomanan :
0,6 0.526 60 : 40
0.522 70 : 30
0.412
0,4 100 : 0
0.358
0.266
0,2
0.147

0,0
3 4 5
Konsentrasi hidrokoloid (%)

Gambar 9. Kestabilan gel pada semua jenis perbandingan dan konsentrasi. Semakin
rendah tingkat sineresis maka gel semakin stabil

Dari grafik terlihat bahwa perbandingan karagenan-glukomanan 60 : 40 menghasilkan sineresis


yang lebih tinggi daripada perbandingan 70 : 30 (kecuali pada konsentrasi 3 %), dan perbandingan 70
: 30 menghasilkan sineresis yang lebih tinggi daripada perbandingan 100 : 0. Dari data tersebut, dapat
diketahui bahwa semakin tinggi kandungan glukomanan maka semakin tinggi sineresis yang
dihasilkan. Hal ini terjadi karena meskipun glukomanan memiliki kemampuan menyerap air yang
tinggi, glukomanan tidak dapat membentuk gel yang solid, melainkan cairan yang sangat kental. Oleh
karena itu, aliran fluida yang dihasilkan gel glukomanan lebih tinggi daripada aliran fluida gel
karagenan. Selain itu, semakin rendah kandungan karagenan pada gel, semakin sedikit
matriks/jala/kerangka gel yang terbentuk karena glukomanan tidak memiliki kemampuan untuk
membuat matriks. Karagenan yang lebih banyak akan lebih kuat memerangkap air dan hidrokoloid
glukomanan dalam rongga-rongga rantainya. Semakin tinggi proporsi glukomanan pada pengujian ini,
semakin kurang stabil gel yang dihasilkan meskipun kekuatan gelnya lebih tinggi.
Pada faktor konsentrasi, dapat diketahui bahwa konsentrasi 3% menghasilkan tingkat sineresis
yang lebih tinggi daripada konsentrasi 4 %, dan konsentrasi 4 % menghasilkan tingkat sineresis yang
lebih tinggi daripada konsentrasi 5 %. Dari hasil ini dapat disimpulkan bahwa tingkat sineresis
berbanding terbalik dengan tingkat konsentrasi, dimana semakin tinggi konsentrasi maka semakin
rendah sineresis yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena gel dengan konsentrasi yang lebih tinggi
mengandung karagenan dan glukomanan yang lebih banyak sehingga mampu menyerap air lebih
banyak dan kuat sehingga gel menjadi lebih stabil. Menurut Bhattacharya (2011) sineresis air pada gel
merupakan fenomena yang alami dimana air tidak terikat yang berlebih keluar dari matriks gel.
Kejadian ini dapat diminimalisasi dengan penentuan proporsi dan konsentrasi bahan penyusun
hidrokoloid yang tepat serta penambahan bahan penyusun gel yang mendukung. Sineresis berkurang
dengan bertambahnya konsentrasi hidrokoloid pada gel.

32
Gel yang diharapkan pada penelitian ini adalah gel dengan sineresis di bawah 1 %. Dari grafik
dapat diketahui bahwa hampir semua tingkat sineresis berada di bawah 1 %. Artinya, semua jenis gel
memiliki tingkat sineresis yang baik, kecuali gel perbandingan 70 : 30 dengan konsentrasi 3 % yang
menghasilkan sineresis sebesar 1.007 %. Gel perbandingan 60 : 40 dengan konsentrasi 3 % saja,
sudah baik dalam mempertahankan kestabilannya karena menghasilkan sineresis sesuai standar, yaitu
di bawah 1 %.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wicaksono (1999), dibuat gel berbasis
kappa karagenan, iota karagenan, dan LBG (Locus Bean Gum). Iota karagenan dan LBG memiliki
kesamaan sifat dengan glukomanan, yaitu memberikan sifat elastis pada gel dan tidak mampu
membentuk gel tanpa dicampur bahan lain. Hasil penelitian Wicaksoso terdapat pada Tabel 11.

Tabel 11. Perbandingan nilai sineresis pada gel berbasis kappa


karagenan, iota karagenan, dan LBG
Perbandingan

Iota karagenan Tingkat sineresis


Kappa karagenan
dan LBG
1.5 1 1.3 % (tinggi)
2.5 1 0.29 % (rendah)
Sumber : Bambang, 1999.
Dari penelitian tersebut, didapatkan bahwa perbandingan karagenan dan bahan pemberi sifat
elastis sebesar 1.5 : 1 menghasilkan sineresis yang besar (lebih tinggi dari 1 %). Perbandingan 1.5 : 1
ini sebanding dengan 60 : 40, dimana pada penelitian ini dihasilkan sineresis yang lebih rendah dari
1%. Maka, dapat dikatakan bahwa campuran kappa karagenan dengan glukomanan menghasilkan
sineresis yang lebih baik.
Selain faktor perbandingan dan konsentrasi karagenan-glukomanan, sineresis juga dipengaruhi
oleh kehigienisan bahan dan proses, kemasan gel, dan suhu bahan gel saat pencetakan. Bahan dan
proses yang kurang higienis dapat meningkatkan sineresis, oleh karena itu, aquades dididihkan
terlebih dahulu sebelum digunakan dan gel sebaiknya tidak tersentuh oleh tangan selama proses. Hasil
pengujian saat penelitian menunjukkan bahwa kemasan gel yang berupa wadah plastik dapat
meningkatkan sineresis hingga 2 %. Oleh karena itu, setelah gel mengeras, gel dipindahkan ke dalam
plastik resealeable untuk mengurangi kontak gel langsung dengan plastik, sedangkan wadah plastik
digunakan hanya untuk mencetak gel hingga mengeras. Selain itu, suhu perlu diperhatikan saat
pencetakan dan pemindahan gel dari cetakan. Apabila gel dikemas dalam keadaan yang masih panas,
akan terbentuk embun pada permukaan gel sehingga menambah kadar air gel. Sineresis yang terlalu
tinggi menyebabkan air menggenang di dalam wadah plastik sehingga merusak struktur gel dan
berpotensi menimbulkan pertumbuhan kapang.
Sama seperti uji kekuatan gel, data hasil uji sineresis diolah menggunakan rancangan acak
lengkap faktorial untuk mengevaluasi pengaruh faktor perbandingan dan konsentrasi karagenan-
glukomanan terhadap sineresis. Hasil sidik ragam (anova) menunjukkan bahwa faktor perbandingan,
konsentrasi, dan interaksi keduanya memberikan pengaruh yang nyata pada sineresis (Lampiran 3).
Pengujian dilanjutkan dengan uji Duncan. Pada faktor perbandingan diperoleh bahwa sineresis
yang dihasilkan gel dengan perbandingan 60 : 40 tidak berbeda signifikan dengan 70 : 30, sedangkan
perbandingan 100 : 0 berbeda signifikan lebih rendah dari 60 : 40 maupun 70 : 30 (Lampiran 6). Pada
faktor konsentrasi, diperoleh bahwa sineresis yang dihasilkan gel dengan konsentrasi 3% berbeda
signifikan lebih besar dari konsentrasi 4 % maupun 5 %, sedangkan konsentrasi 4 % tidak berbeda
signifikan dari konsentrasi 5 % (Lampiran 7).

33
Dari penelitian pendahuluan ini dapat diketahui bahwa perbandingan karagenan dan
glukomanan sebesar 60 : 40 menghasilkan peningkatkan kekuatan gel yang paling efektif, sedangkan
perbandingan 100 : 0 menghasilkan sineresis paling rendah. Konsentrasi 5 % menghasilkan kekuatan
gel yang paling tinggi dan sineresis yang paling rendah. Namun demikian, sineresis juga tidak boleh
terlalu rendah karena dapat menghambat pelepasan aroma dari minyak atsiri yang berada di dalam
matriks gel sehingga wangi kurang tersebar di ruangan. Konsentrasi 3 % pada perbandingan 60 : 40
masih berada dalam batas sineresis yang dapat diterima, yaitu di bawah 1 %. Oleh karena itu, pada
penelitian selanjutnya dipilih gel dengan perbandingan 60 : 40 dan 100 : 0 dengan konsentrasi masing-
masing sebesar 3 % dan 5 %.

4.2. PENGARUH JENIS HIDROKOLOID DAN MINYAK NILAM


TERHADAP KETAHANAN WANGI (DAYA SIMPAN) GEL
PENGHARUM RUANGAN
Ketahanan wangi dan kekuatan wangi merupakan karakter penting yang ada pada gel
pengharum ruangan. Ketahanan wangi merupakan seberapa lama gel pengharum ruangan dapat
melepas wangi hingga habis, hal ini berkaitan dengan kecepatan penguapan bahan pewangi. Kekuatan
wangi merupakan tingkat wangi yang dihasilkan dari sejumlah bahan pewangi yang menguap pada
waktu tertentu. Gel pengharum ruangan yang baik adalah yang memiliki ketahanan wangi sesuai
dengan waktu yang diinginkan dan dengan kekuatan wangi yang stabil. Ketahanan wangi pengharum
ruangan konvensional biasanya adalah selama satu bulan, sedangkan kekuatan wanginya disesuaikan
dengan tempat penggunaan pewangi tersebut, misalnya untuk ruangan besar dibutuhkan kekuatan
wangi yang lebih tinggi daripada pengharum ruangan untuk kamar mandi atau lemari. Ketahanan dan
kekuatan wangi ditentukan oleh konsentrasi bahan pewangi, bahan penghalang penguapan pewangi,
dan zat pengikat bahan pewangi. Pada penelitian utama ini, digunakan bahan pewangi berupa
campuran minyak atsiri jeruk purut dan kenanga, penahan penguapan bahan pewangi berupa matriks
gel, dan zat pengikat wangi (fiksatif) berupa minyak nilam dan propilen glikol.
Sifat matriks gel berupa kekuatan gel dan sineresis pada gel pengharum ruangan memengaruhi
ketahanan dan kekuatan wangi. Kekuatan gel yang terlalu tinggi dapat menghambat penguapan
minyak sehingga wangi tidak tersebar, gel pengharum ruangan akan bertahan lama namun kekuatan
wangi yang dihasilkan sangat kecil. Nilai sineresis yang terlalu tinggi dapat mempercepat penguapan
bahan pewangi karena minyak atsiri berdifusi bersama air.
Sampel yang digunakan pada penelitian tahap ini adalah gel dengan perbandingan 60 : 40
konsentrasi 3 % (F1), perbandingan 60 : 40 konsentrasi 5 % (F2), perbandingan 100 : 0 konsentrasi
3% (F3), dan perbandingan 100 : 0 konsentrasi 5 % (F4). Dari penelitian tahap ini dapat diketahui
pengaruh penggunaan glukomanan serta tingkat kekuatan gel dan sineresis terhadap kekuatan dan
ketahanan wangi pada gel pengharum ruangan.
Pada proses pembuatan gel pengharum rungan tahap pencampuran, minyak atsiri lebih mudah
bercampur dengan hidrokoloid dengan perbandingan 60 : 40 daripada perbandingan 100 : 0 pada
setiap konsentrasi. Hal ini disebabkan karena hidrokoloid yang mengandung glukomanan bersifat
lebih elastis. Selain itu, hidrokoloid konsentrasi 3 % lebih mudah bercampur dengan minyak atsiri
daripada konsentrasi 5 %. Hal ini disebabakan karena pada konsentrasi 3%, air yang tidak terikat
dengan makro molekul berjumlah lebih banyak daripada air yang tidak terikat pada perbandingan 5%.
Air yang tidak terikat tersebut akan bercampur dengan minyak atsiri yang ditambahkan ke dalam
hidrokoloid dengan bantuan bahan pengemulsi, propilen glikol. Sedangkan, pada konsentrasi 5%, air
sudah terikat dengan hidrokoloid sehingga tidak cukup untuk mengikat minyak atsiri. Di samping itu,

34
glukomanan maupun karagenan tidak memiliki kemampuan absorpsi atau pun gelasi dengan minyak
atsiri. Minyak atsri pada konsentrasi 3 % tercampur lebih homogen dan merata pada matriks gel.
Pengadukan yang kurang baik pada hidrokoloid konsentrasi 5 % dapat mengakibatkan adanya
minyak yang tersisa pada permukaan gel yang telah mengeras. Adanya proses agregasi pada
hidrokoloid juga membuat minyak atsiri semakin sulit tercampur. Perbandingan 60 : 40 konsentrasi
5% lebih cepat mengeras daripada perbandingan 100 : 0, namun elastisitas perbandingan 100 : 0
sangat rendah sehingga minyak atsiri lebih sulit bercampur dan lebih lama menggenang di atas gel
saat pengadukan.
Selain komposisi bahan pembentuk gel, suhu hidrokoloid saat pencampuran dan lama waktu
pengadukan juga memengaruhi kehomogenan hidrokoloid yang dihasilkan. Suhu hidrokoloid yang
terlalu rendah saat minyak dicampurkan mengakibatkan waktu pengadukan menjadi lebih singkat
karena gel lebih cepat mengeras. Akibatnya, gel dapat mengeras sebelum minyak atsiri tercampur
dengan sempurna. Sebaliknya, apabila suhu hidrokoloid terlalu tinggi, minyak atsiri terlalu banyak
yang menguap saat pengadukan sehingga wanginya berkurang. Pengujian yang dilakukan pada
penelitian utama ini adalah uji total penguapan zat cair dan uji kekuatan wangi secara sensorik. Dari
kedua uji tersebut dapat diketahui ketahanan gel pengharum ruangan terbaik. Penggunaan minyak
nilam dijadikan perlakuan pada uji ini (gel dengan minyak nilam dan tanpa minyak nilam) sehingga
dapat diketahui pengaruh penggunaan nilam pada ketahanan wangi pengharum ruangan yang
berbentuk gel.

4.2.1. Total Penguapan Zat Cair


Total penguapan zat cair diketahui dengan menimbang bobot gel pengharum ruangan dan
menghitung penurunan bobot tersebut selama tiga minggu. Berat produk yang hilang merupakan
minyak atsiri dan air yang menguap dari gel. Oleh karena itu, besar susut bobot berbanding terbalik
dengan ketahanan gel. Semakin kecil bobot yang hilang atau semakin besar bobot yang tersisa berarti
semakin sedikit minyak atsiri dan air yang telah menguap, artinya semakin besar ketahanan wangi gel
tersebut. Rata-rata total penguapan zat cair selama tiga minggu dapat dilihat pada Gambar 10.

16
15.54
15
Penguapan zat cair (%)

14

13
12.09 12.60
12
12.00
11.29
11
10.76
10.29 10.66
10
60 : 40; 3% 60 : 40; 5% 100 : 0; 3% 100 : 0; 5%
Formula

Dengan nilam Tanpa nilam

Gambar 10. Rata-rata total penguapan zat cair pada gel pengharum ruangan dengan campuran
karagenan dan glukomanan sebesar 60 : 40 dan 100 : 0 dan konsentrasi masing -
masing sebesar 3 % dan 5 % selama tiga minggu penyimpanan. Setiap gel diberi
perlakuan dengan menggunakan nilam dan tanpa nilam

35
Dari grafik dapat dilihat apabila perbandingan 60 : 40 dan 100 : 0 dibandingkan pada
konsentrasi yang sama, hasil menunjukkan bahwa perbandingan 60 : 40 yang mengandung nilam
mengalami penguapan yang lebih rendah daripada perbandingan 100 : 0 yang mengandung nilam, dan
perbandingan 60 : 40 yang tidak mengandung nilam menunjukkan penguapan yang lebih tinggi
daripada perbandingan 100 : 0 yang tidak mengandung nilam. Artinya, penggunaan nilam pada gel
yang mengandung glukomanan dengan perbandingan 60 : 40 lebih efektif mempertahankan
penguapan zat cair daripada penggunaan nilam pada gel yang tidak mengandung glukomanan
(perbandingan 100 : 0). Hal ini dapat dipengaruhi oleh sifat elastisitas glukomanan yang menyebabkan
minyak atsiri dapat bercampur lebih baik dengan hidrokoloid sehingga nilam pun dapat mengikat
minyak atsiri lebih baik, sedangkan kappa karagenan memiliki struktur gel yang rapuh dan lebih
berongga sehingga minyak tidak begitu terikat dengan hidrokoloid, melainkan hanya mengisi rongga-
rongga rantai heliks kappa karagenan.
Bila konsentrasi 3 % dan 5 % dibandingkan pada perbandingan yang sama, konsentrasi 5 %
menghasilkan penguapan yang lebih rendah daripada konsentrasi 3 % pada gel pengharum ruangan
yang menggunakan nilam. Sedangkan pada gel pengharum ruangan yang tidak menggunakan nilam,
konsentrasi 5 % pada perbandingan 60 : 40 menunjukkan hasil penguapan yang jauh lebih tinggi. Hal
ini menunjukkan adanya perbedaan jauh yang ditimbukan pada konsentrasi 5 %. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, konsentrasi 5 % menghasilkan gel yang cepat mengeras sehingga faktor
pengadukan sangat memengaruhi hasil kehomogenan gel yang dihasilkan. Setelah gel mengeras,
terdapat minyak atsiri yang tersisa di permukaan gel sehingga mudah mengalami penguapan. Namun,
penggunaan minyak nilam membuat minyak atsiri menjadi lebih terikat. Selain itu, suhu yang lebih
tinggi saat pengadukan membuat minyak atsiri lebih banyak menguap sebelum gel tersebut mengeras.
Konsentrasi 5 % menghasilkan penguapan yang kurang stabil karena pengadukan yang sulit.
Data ini kemudian dicek menggunakan rancangan acak lengkap faktorial untuk melihat
pengaruh jenis hidrokoloid/formula gel dan penggunaan nilam terhadap penyusutan bobot. Hasil sidik
ragam menunjukkan bahwa formula gel, penggunaan minyak nilam, dan interaksi keduanya ternyata
memberikan pengaruh yang nyata pada susut bobot (Lampiran 8). Untuk melihat pengaruhnya,
dilakukan uji lanjut Duncan pada ketiga faktor tersebut.
Hasil uji Duncan pada faktor formula menunjukkan bahwa setiap formula memiliki besar susut
bobot yang berbeda signifikan dengan formula yang lainnya (Lampiran 9). Hal ini disebabkan karena
setiap formula memiliki sifat kekuatan gel dan sineresis yang saling berbeda sifnifikan, dimana kedua
faktor tersebut dipengaruhi oleh struktur gel yang akan memengaruhi kestabilan gel dalam
mempertahankan penguapan zat cair. Selain itu, kekuatan gel dan sineresis ini memiliki interaksi yang
nyata pada gel. Artinya, kekuatan gel dan sineresis memiliki pengaruh yang nyata terhadap penguapan
zat cair. Hasil uji Duncan kekuatan gel dan sineresis dapat dilihat pada Lampiran 10 dan 11.
Gel perbandingan 60 : 40, konsentrasi 3 % memiliki kekuatan gel yang lebih rendah dan
sineresis yang lebih tinggi daripada konsentrasi 5 % sehingga penguapannya lebih tinggi. Begitu pula
pada gel perbandingan 100 : 0. Maka, kekuatan gel dan sineresis memberikan pengaruh nyata pada
penguapan zat cair dimana perbandingannya terbalik dengan kekuatan gel dan berbanding lurus
dengan tingkat sineresis. Kekuatan gel yang lebih rendah dan sineresis yang lebih tinggi menyebabkan
stabilitas gel berkurang, zat cair yang berada di dalam matriks gel akan berdifusi perlahan-lahan ke
bagian luar gel dan menguap.
Hasil uji Duncan pada faktor penggunaan minyak nilam menunjukkan bahwa gel dengan
minyak nilam menghasilkan susut bobot yang signifikan lebih rendah daripada gel tanpa minyak
nilam (Lampiran 12). Artinya, nilam memberikan pengaruh positif pada ketahanan bobot gel.
Pengaruh ini positif dan efektif pada gel yang mengandung glukomanan seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya. Menurut Rahmaisni (2011), nilam mengikat wangi karena memiliki titik didih dan uap

36
yang lebih tinggi ketimbang minyak jeruk purut dan minyak kenanga. Peran minyak nilam sebagai zat
fiksatif wangi minyak atsiri lain, diduga oleh adanya semacam kohesivitas antara minyak nilam
dengan komponen-komponen dalam minyak atsiri yang lain sehingga minyak jeruk purut dan kenanga
tidak mudah menguap.
Hasil Uji Duncan terhadap interaksi formula dan nilam (Lampiran 13) menunjukkan bahwa
setiap sampel menghasilkan perbedaan yang signifikan dengan sampel yang lainnya. Hal ini
disebabkan oleh keragaman pada ketiga faktor (kekuatan gel, sineresis, dan penggunaan nilam) dan
interaksi yang nyata pada ketiga faktor tersebut. Semakin beragam faktor-faktor yang memengaruhi
dan semakin nyata interaksi antar faktor tersebut mengakibatkan semakin beragamnya penguapan zat
cair yang dihasilkan.
Gel memiliki berat awal yang berbeda-beda, maka untuk melihat perubahannya setiap minggu,
dilakukan perhitungan penurunan bobot gel secara grafimetri, yakni dengan menghitung nilai
persentase berat tersisa terhadap berat awal produk. Produk gel pengharum ruangan yang memiliki
nilai persentase berat tersisa terhadap berat awal lebih tinggi berarti memiliki penguapan yang lebih
kecil, dengan kata lain memiliki ketahanan wangi lebih tinggi. Persentase penurunan bobot gel
pengharum ruangan dilihat pada setiap konsentrasi, yaitu 3 % dan 5 %, grafik dapat dilihat pada
Gambar 11 dan 12.
Dari grafik terlihat bahwa setiap sampel mengalami penurunan bobot setiap minggunya. Ada
tiga kondisi penurunan bobot gel pengharum ruangan selama penyimpanan yaitu, menurun lebih cepat
dari gel yang lain, menurun lebih cepat dari minggu sebelumnya (mengalami percepatan penurunan),
dan stabil. Gel pengharum ruangan yang menurun lebih cepat dari yang lain adalah gel yang titik
bobotnya berada di bawah titik bobot gel yang lain, gel pengharum ruangan yang mengalami
percepatan penurunan adalah gel yang garis bobotnya memotong garis bobot gel yang lain sehingga
besar bobot sisanya menjadi lebih kecil, sedangkan gel pengharum ruangan yang stabil adalah gel
yang menurun bobotnya namun tidak sampai melewati garis bobot gel lain.

100

98
Perbandingan karagenan-
96 glukomanan, penggunaan
Bobot sisa (%)

minyak nilam:
60 :40, dengan nilam
94
60 :40, tanpa nilam
100 : 0, dengan nilam
92
100 : 0, tanpa nilam

90

88
0 7 14 21
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 11. Grafimetri gel pengharum ruangan dengan konsentrasi hidrokoloid 3 %

37
100

98

Perbandingan karagenan-
96
glukomanan, penggunaan
minyak nilam:
Bobot sisa (%)

94
60 :40, dengan nilam
60 :40, tanpa nilam
92
100 : 0, dengan nilam
90 100 : 0, tanpa nilam

88

86
0 7 14 21
Lama penyimpanan (hari)

Gambar 12. Grafimetri gel pengharum ruangan dengan konsentrasi hidrokoloid 5 %

Pada konsentrasi 3 %, formula gel dengan perbandingan 60 : 40 tanpa minyak nilam dan
perbandingan 100 : 0 dengan minyak nilam mengalami percepatan penurunan mulai minggu kedua.
Sedangkan perbandingan 60 : 40 dengan minyak nilam serta perbandingan 100 : 0 tanpa minyak nilam
mengalami penurunan yang stabil per minggunya.
Pada konsentrasi 5 %, terlihat penurunan bobot yang lebih stabil pada setiap jenis gel
pengharum ruangan. Kecuali pada gel perbandingan 100 : 0 tanpa minyak nilam, dimana garis
bobotnya mengalami percepatan penurunan pada minggu ke dua.
Susut bobot yang hilang pada semua sampel gel pengharum ruangan lebih besar daripada bobot
minyak atsiri yang dikandungnya karena tidak hanya minyak atsiri yang menguap, namun juga air.
Untuk mengetahui ketahanan minyak atsiri yang dikandung setiap sampel gel pengharum ruangan,
dilakukan uji kekuatan wangi gel pengharum ruangan melalui uji sensorik. Melalui uji ini, dapat
diketahui ketahanan wangi gel pengharum ruangan yang lebih baik setelah tiga minggu penyimpanan.
Semakin tinggi kekuatan wanginya pada saat dilakukan pengujian maka semakin banyak minyak atsiri
yang masih terkandung di dalam gel pengharum ruangan.

4.2.2. Kekuatan Wangi Selama Penyimpanan


Kekuatan wangi pada uji sensorik dilakukan melalui pendekatan data kualitatif menjadi data
kuantitatif. Data kualitatif merupakan besar kekuatan wangi yang dirasakan oleh panelis, kemudian
kekuatan wangi tersebut diwakilkan ke dalam skor sehingga menjadi data kuantitatif yang berwujud
angka. Tingkat kekuatan wangi tersebut diwakilkan dengan skor dari 5 sampai 1 (5 = sama wangi, 4 =
sedikit kurang wangi, 3 = kurang wangi, 2 = sangat kurang wangi, dan 1 = tidak wangi). Kekuatan
wangi dilihat pada setiap konsentrasi, yaitu 3 % dan 5 %. Grafik kekuatan wangi pada setiap
minggunya dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

38
5,0

4,5

4,0 Perbandingan karagenan-


glukomanan, penggunaan
Kekuatan wangi

3,5 minyak nilam:


60 : 40, dengan nilam
3,0
60 : 40, tanpa nilam
2,5 100 : 0, dengan nilam
100 : 0, tanpa nilam
2,0

1,5

1,0
7 14 21
Waktu penyimpanan (hari)

Gambar 13. Hasil uji sensorik kekuatan wangi gel pengharum ruangan dengan konsentrasi
hidrokoloid 3 % selama 21 hari

5,0

4,5

4,0 Perbandingan karagenan-


glukomanan, penggunaan
minyak nilam :
Kekuatan wangi

3,5
60 : 40, dengan nilam
3,0
60 : 40, tanpa nilam
2,5 100 : 0, dengan nilam
100 : 0, tanpa nilam
2,0

1,5

1,0
7 14 21
Waktu penyimpanan (hari)

Gambar 14. Hasil uji sensorik kekuatan wangi gel pengharum ruangan dengan konsentrasi
hidrokoloid 5 % selama 21 hari

Hasil pengujian menghasilkan rata-rata skor dalam bentuk desimal, toleransi yang digunakan
adalah sebesar 0.5. Contoh, untuk keadaan kurang wangi (skor 3) maka meliputi skor 2.5 hingga 3.5.
Pada konsentrasi hidrokoloid 3 %, kekuatan wangi gel pengharum ruangan selama 3 minggu
berada pada skala 3.7 hingga 2.9, yaitu pada keadaan kurang wangi. Perubahan kekuatan wangi yang

39
terjadi selama 3 minggu ini memperlihatkan perubahan yang tidak begitu signifikan. Sampai pada
penyimpanan minggu kedua, gel pengharum ruangan secara keseluruhan masih berada di atas skor 3
(kurang wangi). Gel pengharum ruangan perbandingan 60 : 40 dengan minyak nilam dan
perbandingan 100 : 0 belum mengalami penurunan skor kekuatan wangi, sedangkan gel perbandingan
60 : 40 tanpa minyak nilam mengalami sedikit penurunan skor. Pada penyimpanan minggu ketiga,
seluruh gel pengharum ruangan mengalami penurunan kekuatan wangi dan berada di bawah skor 3
yaitu 2.9 dengan kekuatan wangi pada level kurang wangi.
Pada konsentrasi hidrokoloid 5 %, kekuatan wangi gel pengharum ruangan berada pada skala
3.7 hingga 2.7, yaitu pada level sedikit kurang wangi hingga kurang wangi. Skala ini lebih rendah
daripada gel pengharum ruangan dengan konsentrasi hidrokoloid 3 %. Hal ini dapat disebabkan oleh
kurangnya kehomogenan minyak atsiri pada gel akibat struktur gel yang terlalu cepat mengeras saat
pengadukan. Akibatnya, minyak atsiri yang tidak tercampur ke dalam gel lebih cepat menguap.
Pada minggu pertama, seluruh sampel berada di atas skor 3. Gel pengharum ruangan yang
menggunakan nilam menunjukkan kekuatan wangi yang lebih tinggi, yaitu berada di atas skor 3.5
(sedikit kurang wangi), sedangkan formula yang lain berada di bawah skor 3.5 (kurang wangi). Pada
minggu kedua, terdapat satu gel pengharum ruangan yang berada di bawah skor 3, yaitu gel
pengharum ruangan perbandingan 100 : 0 konsentrasi 5 % tanpa minyak nilam. Pada minggu ketiga,
kekuatan wangi berada dalam skala 3 hingga 2.7, yaitu masih dalam level kurang wangi.
Standar kekuatan wangi gel pengharum ruangan yang sudah tidak layak digunakan atau
dinyatakan habis wanginya adalah 2 (sangat kurang wangi). Hasil menunjukkan semua sampel gel
pengharum ruangan masih memiliki kekuatan wangi di atas skor 2.5 (kurang wangi). Artinya, dalam
waktu tiga minggu semua sampel gel pengharum ruangan masih dalam kondisi yang layak digunakan.
Kekuatan wangi gel pengharum ruangan pada minggu ketiga dievaluasi menggunakan
rancangan acak faktorial (Lampiran 14). Hasil ternyata menunjukkan tidak adanya perbedaan
kekuatan wangi yang signifikan pada semua jenis gel pengharum ruangan.
Dengan demikian, pemilihan gel pengharum ruangan lebih didasarkan pada sifat gel yang
dihasilkan dan kekuatan wangi yang bertahan lebih lama, yaitu perbandingan 60 : 40 dengan minyak
nilam. Glukomanan menghasilkan hidrokoloid yang elastis sehingga lebih mudah bercampur dengan
minyak atsiri sehingga minyak atsiri lebih terikat. Interaksi antara glukomanan dengan nilam
memberikan pengaruh positif pada ketahanan dan kekuatan wangi gel pengharum ruangan.
Konsentrasi 5 % menghasilkan kekuatan gel paling tinggi dan sineresis paling rendah, namun sulit
bercampur dengan minyak atsiri karena terlalu kental dan mudah mengeras sehingga minyak atsiri
tersisa di bagian permukaan gel. Oleh karena itu, dipilih konsentrasi 3 % agar lebih mudah dicampur
dengan minyak atsiri. Selain itu, konsentrasi 3 % memiliki kekuatan gel yang cukup tinggi serta nilai
sineresis yang masih berada dalam batas toleransi (maksimal 1%).
Formula gel pengharum ruangan yang terpilih, yaitu perbandingan 60 : 40 konsentrasi
hidrokoloid 3% dengan minyak nilam kemudian dikalkulasikan menggunakan metode garis linear
untuk diketahui batas ketahanan wanginya. Grafik pada Gambar 15, menunjukkan apabila nilai y
pada persamaan diubah dengan nilai 2.5 (sangat kurang wangi), maka diperoleh nilai x sebesar 5.8.
Artinya, ketahanan wangi gel pengharum ruangan adalah selama 5.8 dikali 7 hari, yaitu 40 hari
dengan bobot gel sebesar 70.63 gram (Lampiran 15).
Savary et al (2006) menyatakan bahwa ketahanan wangi disebabkan oleh bahan pewangi
tersebut terserap dalam kompleks jaringan/matriks atau karena kombinasi antara tepung/pati dan
polisakarida pembentuk gel.

40
5,0
4,5
Perbandingan karagenan-
4,0 glukomanan, penggunaan

Kekuatan Wangi
minyak nilam :
3,5
3,0 60 : 40, dengan nilam
y = -0,2x + 3,6667
2,5
Linear (60 : 40, dengan
2,0 nilam)

1,5
1,0
7 14 21
Waktu Penyimpanan (hari)

Gambar 15. Tren ketahanan wangi gel pengarum ruangan dengan perbandingan
karagenan glukomanan 60 : 40, konsentrasi hidrokoloid 3%, dan
penggunaan minyak nilam

Menurut De Roos (2003), terdapat dua faktor utama yang mengontrol/mengatur nilai pelepasan
bahan pewangi dari suatu produk pengharum ruangan yaitu, kemampuan melepaskan pewangi dari
produk dasar (faktor termodinamik) dan kemampuan/daya tahan transfer massa dari produk ke udara
Selain formula gel, penggunaan bahan fiksatif (minyak nilam), dan konsentrasi bahan pewangi,
ketahanan wangi juga dipengaruhi oleh keadaan lingkungan gel pengharum ruangan yaitu, suhu
ruangan, kelembaban ruangan, sirkulasi udara dalam ruangan, dan ukuran ruangan. Suhu yang lebih
tinggi dan kelembaban yang lebih rendah menyebabkan gel pengharum ruangan menjadi lebih cepat
habis. Sirkulasi udara dan ukuran ruangan memengaruhi perbedaan gradien konsentrasi minyak dan
air di dalam gel dengan ruangan. Ruangan dengan sirkulasi udara yang tinggi dan terbuka serta ukuran
ruangan yang lebih luas membuat gradien konsentrasi minyak yang lebih besar sehingga minyak lebih
cepat menguap.
Berdasarkan percobaan, gel yang disimpan selama seminggu pada ruangan sebesar 3 x 3 m
dengan sirkulasi udara rendah dan sedikit terbuka (pintu dan jendela tertutup, hanya sedikit ventilasi)
serta suhu tinggi mengakibatkan gel pengharum ruangan sangat mengkerut dan tidak memiliki wangi
lagi. Sirkulasi udara yang rendah mengakibatkan panas terperangkap dalam ruangan sehingga minyak
dan air cepat menguap. Minyak dan air yang telah menguap ini keluar melalui ventilasi pada ruangan.
Tidak demikian dengan gel pengharum ruangan yang disimpan pada ruangan yang sama dengan
sirkulasi yang baik (pintu dan jendela terbuka), volume dan wanginya bertahan lebih lama.

41
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

Pencampuran glukomanan dengan kappa karagenan menghasilkan gel yang bersifat lebih
elastis. Perbandingan karegenan dan glukomanan dan konsentrasinya memberikan pengaruh nyata
pada kekuatan gel dan sineresis. Kekuatan gel berbanding lurus dengan perbandingan dan konsentrasi,
sedangkan sineresis berbanding terbalik. Perbandingan karagenan-glukomanan sebesar 60 : 40
menghasilkan kekuatan gel dan sineresis yang paling tinggi. Setiap perbandingan memiliki kekuatan
gel yang berbeda signifikan. Sinersis perbandingan 60 : 40 tidak berbeda signifikan dengan
perbandingan 70 : 30. Konsentrasi 5 % menghasilkan kekuatan gel yang paling tinggi dan sineresis
yang paling rendah. Tiap konsentrasi menghasilkan kekuatan gel yang berbeda signifikan, sedangkan
sineresis pada konsentrasi 4 % tidak berbeda signifikan dengan sineresis pada konsentrasi 5 %.
Perbandingan yang dipilih adalah 60 : 40 karena paling efektif dalam meningkatkan kekuatan gel.
Konsentrasi yang dipilih adalah 5% karena memberikan kekuatan gel tertinggi dan sineresis terendah,
namun 3% juga digunakan karena sineresisnya masih dalam batas standar (kurang dari 1%).
Kekuatan gel dan sineresis memberikan pengaruh yang nyata pada ketahanan bobot dimana
kekuatan gel bebanding lurus dengan ketahanan bobot, sedangkan sineresis berbanding terbalik
dengan ketahanan bobot. Perbandingan 60 : 40 konsentrasi 5% dengan nilam menghasilkan ketahanan
bobot yang paling baik dan glukomanan membuat hidrokoloid bercampur dengan minyak dengan
lebih baik. Namun demikian, bahan gel dengan perbandingan 60 : 40 konsentrasi 5% sulit untuk
dicampur dengan minyak atsiri karena terlalu kental dan cepat mengeras. Oleh karena itu, konsentrasi
yang dipilih adalah 3 %. Konsentrasi 3 % juga memiliki ketahanan wangi yang lebih baik daripada
5%. Kekuatan gel, sineresis, dan nilam tidak memberikan pengaruh yang nyata pada kekuatan wangi.
Oleh karena itu, formula yang dipilih adalah campuran karagenan-glukomanan 60 : 40 konsentrasi 3%
dengan minyak nilam, ketahanan wanginya adalah selama 40 hari dengan bobot awal 70.63 gram.

5.2. SARAN

1. Sebaiknya dilakukan pengamatan struktur gel dengan mikroskop mikro pada tahap pemilihan
gel terbaik agar lebih terlihat struktur gel dan stabilitasnya.
2. Sebaiknya dilakukan pengamatan dengan mikroskop mikro pada tahap penyimpanan (setelah
diberi pewangi) selama tiga minggu, yang dilakukan setiap minggunya, agar terlihat perubahan
struktur dan penurunan kandungan minyak yang terisolasi di dalam jaringan gel.
3. Dilakukan penambahan K+, potassium, atau komponen lain yang dapat membentuk
ikatan/sinergisme yang lebih baik antara kappa karagenan dan glukomanan. Dengan ini
diharapkan kekuatan gel menjadi lebih tinggi dengan konsentrasi tepung yang lebih rendah
serta diperoleh sineresis yang lebih rendah.
4. Sebaiknya pengecekan kekuatan gel dilakukan pada waktu tunggu yang sama untuk
meminimalisasi perbedaan peningkatan kekuatan gel.

42
DAFTAR PUSTAKA

Anggadireja J, Zantika A, Sujatmiko W, Istini S, Noor Z. 1993. Teknologi produk perikanan dalam industri
farmasi : potensi dan pemanfaatan makro algae-laut. Makalah pada Stadium General Teknologi dan
Alternatif Produk Perikanan dalam Industri Farmasi, Bogor.

Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor : Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2009. Kebijakan Pengembangan Industri Minyak Atsiri. Direktorat Industri Kimia dan Bahan
Bangunan, Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah, Departemen Perindustrian. Seminar
International Essential Oil II, 28 April 2009 (tidak dipublikasikan).

Ansel. 1989. Pengantar Bentuk Sedian Farmasi. Jakarta : Universitas Indonesia.

Bhattacharya S, Banerjee S. 2011. Compressive textural attributes, opacity and syneresis of gels prepared from
gellan, agar and their mixtures. Journal of Food Engineering 102 (2011) 287292.

BBP2TP. 2011. Manfaat limbah nilam sebagai pengendali opt. http://Ditjenbun.Deptan.Go.Id/Bbp2tpbon/


Index.Php?Option=Com_Content&View=Frontpage&Itemid=21&Limitstart=85. [20 Februari 2012].

Bubnis WA. 2000. Carrageenan. http://www.fmcbiopolymer.com/. [ 16 Juli 2012].

DAI. 2009. Minyak Atsiri Indonesia. Editor: Dr. Molide Rizal, Dr. Meika S. Rusli dan Ariato Mulyadi. Bogor :
Dewan Atsiri Indonesia dan IPB.

Departemen Pertanian. 2010. Multifungsi glukomannan dari umbi iles-iles. http://perkebunan.


litbangdeptan.go.id/?p=berita.2.184. [ 16 Juli 2012].

DepKes RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi ke-3. Jakarta : Departemen Kesehatan.

De Roos KB. 2003. Effect of Texture and Microstructure on Flavour Retention and Release. Review.
International Dairy Journal 13 (2003) 593605.

Dorna TS. 2009. Karakteristik Minyak Atsiri Jerangau (Acorus calamus). Medan : Universitas Sumatera
Selatan.

Eliasson A. 1996. Carbohydrates in Food. New York : Marcel Dekker Inc.

Fardiaz D. 1989. Hidrokoloid. Bogor : Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Guenther. 1990. Minyak Atsiri Jilid I dan IVA. Semangat Ketaren, penerjemah. Terjemahan dari : The Essential
Oils. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

Glicksman. 1979. Gelling Hydrocolloids in Food Product Appliction di dalam Polysaccharides in Food. J. M. V.
Blanshard dan J. R. Mitchell (eds.). Butteworths, London.

Glikcsman. 1983. Food Hydrocolloids. Volume I. Florida: CRC Press Boca Raton. p 207

Hargreaves. 2003. Chemical Formulation; An Overview of Surfactant-Based Preparations Used In Everyday


Life. RSC Paperbacks. P 119.

43
Harijati N, Azrianingsi R, Widyarti S. 2009. Laporan penelitian hibah bersaing : studi penurunan obesitas
menggunakan glukomannan asal Amorphophallus endemik Indonesia. Malang : Universitas Brawijaya.

Harsojuwono BA. 2005. Laporan survai kawasan porang di Jawa Timur. Jakarta : P.T. FIM.

Ichad. 2011. Minyak essensial seimbangkan pikiran. http://ichadchemical.wordpress.com/minyak-essensial-


seimbangkan-pikiran/. [20 Februari 2012].

Imeson. 2000. Carrageenan. Phillips GO dan Williams PA, editor. Di dalam Handbook of Hydrocolloids. CRC
Press. BocaRaton.

Johnson A. 2002. Konjac glucomanan. http://www.glucomannan.com/.[12 Agustus 2012].

Ketaren S. 1985. Teknologi Minyak Atsiri. Bogor : IPB Press.

Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta : Balai Pustaka.

Kiswanti ED. 2009. Pemanfaatan karagenan yang ditambahkan minyak sereh wangi pada formula gel penolak
nyamuk Culex quinquefasciatus [skripsi]. Bogor : Program Sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Lawrence BM. 1993. Perfumer and Flavorist 18 (1993) 43.

Lutony TL, Rahmayati Y. 1999. Minyak Atsiri. Jakarta : Penebar Swadaya.

Mamun SS. 2009. Karakteristik Minyak Atsiri Potensial. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Maryadhi A. 2007. Pembuatan Bahan Acuan Minyak Nilam. Cianjur : Pusat Penelitian Sistem Mutu dan
Teknologi Pengujian LIPI.

McHugh. 2003. A guide to seaweed industry. Fisheries and Aquacultures Department. FAO.

Mikonnen KS. 2009. Mannans as film formers and emulsion stabilizers [Disertasi]. Helsinki : Departemen
Teknologi Pangan, Universitas Helsinki.

Nerio LS, Olivero J, Stashenko E. 2010. Repellent Activity of essential oils : a review. Bioresource Technology,
101 (1) :372-378.

Oroojalian F, Kasra-Kermanshahi R, Azizi M, Bassami MR. 2010. Phytochemical composition of the essential
oils from three apiaceae species and their antibacterial effects on food-borne pathogens. Food Chemistry
(120)3: 765-770.

Pandey R, Karla A, Tandon S, Mehrotra N, Singh HN, Kumar S. 2000. Essential oils as potential sources of
nematicidal compounds. J. Phytopatho-logy. 148:501-502.

Pebrianata E. 2005. Pengaruh pencampuran kappa dan iota karagenan terhadap kekuatan gel dan viskositas
karagenan campuran [skripsi]. Bogor : Program Sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.

Rahmaisni A. 2011. Aplikasi minyak atsiri pada produk gel pengharum ruangan anti serangga [skripsi]. Bogor :
Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Rowe, Raymond C, Paul JS, Paul JW. 2003. Handbook of Pharmaceutical Excipients. London: Pharmaceutical
Press.

44
Rukmana R. 2003. Nilam Prospek Agribisnis dan Teknik Budi Daya. Yogyakarta : Kanisius.

Rusli S. 1991. Pemurnian atau peningkatan mutu minyak nilam dan daun cengkeh. Prosiding Pengembangan
Tanaman Atsiri di Sumatera, Bukit Tinggi, 4-8-1991. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat. 89 - 96.

Sabini D. 2006. Aplikasi minyak atsiri pada produk home care dan personal care. Prosiding Pengembangan
Produk Baru danTurunannya. Solo: Konverensi Nasional Minyak Atisiri, 83-85.

Saccketti G, Maietti S, Muzzoli M, Scaglianti M, Manfredini S, Radice M, Bruni R. 2005. Comparative


Evaluation of 11 Essential Oils of Different Origin as Functional Antioxidants, Anti-radicals, and
Antimicrobials in Food. Food Chemistry 91:621-632.

Sait S. 1991. Potensi minyak atsiri daun indonesia sebagai sumber bahan obat. Di dalam Prosiding Forum
Komunikasi Ilmiah Pengembangn Atsiri di Sumatera. Bukut Tinggi, 31 Agustus 1991. Bogor : Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Sait S, Lubis EH. 1991. Pengaruh Cara Isolasi Minyak Atsiri dan Daun Jeruk Purut (Citrus hystrix DC)
terhadap Sifat Wangi Dasar (Fragrant Principle) Aslinya. Bogor : Balai Penelitian Kemurgi dan Aneka
Industri.

Sarwono B. 1986. Jeruk dan Kerabatnya. Jakarta : Penebar Swadaya.

Sastrohamidjojo H. 2002. Kimia Minyak Atsiri. Yogyakarta: FMIPA, UGM.

Sato A, Asano K, Sato T. 1990. The chemical composition of Citrus hystrix dc (Swangi). J. Ess. Oil Res., 2 :
179 183

Satrohamidjojo H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Savary G, Elisabeth G, Jean-Louis D, Nathalie C. 2006. Mixture of aroma compounds: Determination of


partition coefficients in complex semi-solid matrices. Food Research International 39 (2006) 372379.

Setiawati R. 2009. Kajian penggunaan daun pepaya, daun belimbing, wuluh, daun cente, daun jeruk purut, dan
bunga kecombang sebagai insektisida alami terhadap perkembangan Sitophilus zeamais motsch dan
aplikasinya pada penyimpanan beras [Skripsi]. Bogor : Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian.
Institut Pertanian Bogor.

Sinurat E, Murdinah, Peranginangin R. 2009. Pengaruh campuran semi refined carrageenan (src) dan locust
bean gum (lbg) terhadap sifat fisik dan sensori gel pengarum ruangan. Jurnal Pascapanen dan Bioteknologi
Kelautan Dan Perikanan. Vol.4. No. 1. Juni 2009.13-20.

Sukamto. 2009. Prospek Tanaman Nilam Penghasil Minyak Atsiri; Pengembangannya Melalui Sistim Pola
Tanam. Bogor : Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik.

Sulaeman S. 2006. Pengembangan agribisnis komoditi rumput laut melalui model klaster bisnis. Infokop Nomor
28 Tahun XXII. www.smecda.com/ deputi7/file_Infokop/EDISI%2028/komoditi_rumput_ laut.pdf. [8
September 2012].

Takigami S. 2000. Konjac Mannan, di dalam Handbook of Hydrocolloids. G.O.

45
Thomas WR. 1997. Konjac gum di dalam thickening and gelling agents for food. A. P. Imeson (ed.). London :
Blackie Academic and Professional.

Kementrian Perdaganagan RI. 2011. Indonesian essential oil the scents of natural life. Trade Polici Analysis and
Development Agency (Trecyda) Ministry of Trade, Republic of Indonesia.

Phillips, Williams PA. (eds.). New York : CRC Press.

Thomas WR. 1997. Konjac Gum di dalam Thickening and Gelling Agents for Food. A. P. Imeson (ed.). London
: Blackie Academic and Professional.

Van de Velde F, De Ruiter GA. 2005. Carrageenan. Steinbchel A dan Rhee SK, editor. Didalam
Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry. Vol 1. Weinheim : Wiley-VCH Verlag GmbH and
Co. KGaA.

Verawaty. 2008. Pemetaan tekstur dan karakteristik gel hasil kombinasi karagenan dan konjak [skripsi]. Bogor :
Program Sarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Wicaksono B. 1999. Formulasi pengharum ruangan dari karaginan [skripsi]. Bogor : Program Sarjana Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Widjanarko SB. 2008. Bahan pembentuk gel. http://simonbwidjanarko.files.wordpress.com. [14 Agustus 2012].

Wijaya GS. 1994. Pengaruh penambahan antioksidan dan anti penggumpal terhadap mutu flavor bubuk daun
jeruk purut (Citrus hystrix dc) selama penyimpanan [skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor

Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

46
LAMPIRAN

47
Lampiran 1. Spesifikasi kappa karagenan

48
Lampiran 2. Angket seleksi panelis

Uji Segitiga

Tanggal :

Nama Lengkap :

Produk : Gel Pengharum Ruangan

Instruksi : Isilah dengan tanda V di bawah salah satu kode sampel yang Anda nyatakan
memiliki kekuatan wangi yang berbeda

170 162 159

452 712 222

Instruksi : Isilah dengan tanda V di bawah salah satu kode sampel yang Anda nyatakan
memiliki jenis wangi yang berbeda

433 731 131

479 414 451

Uji Rangking

Instruksi : Urutkanlah sampel dari konsentrasi tertinggi (Rangking 1) ke konsentrasi


terendah (Rangking 3) dengan menuliskan kode sampel di bawah rangking.

1 2 3

49
Lampiran 3. Tabel anova kekuatan gel dan sineresis

Kekuatan Gel

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 8 33767200.61 4220900.08 102.14 <.0001
Error 18 743833.41 41324.08
Corrected Total 26 34511034.03

R-Square Coeff Var Root MSE Strength Mean


0.978447 10.87511 203.2832 1869.252

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F


Perbandingan 2 17131530.18 8565765.09 207.28 <.0001
Konsentrasi 2 8963520.58 4481760.29 108.45 <.0001
Perbandingan*konsentrasi 4 7672149.86 1918037.46 46.41 <.0001

Sineresis

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 8 1.73582878 0.21697860 34.22 <.0001
Error 18 0.11414806 0.00634156
Corrected Total 26 1.84997684

R-Square Coeff Var Root MSE sineresis Mean


0.938298 15.24384 0.079634 0.522400

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F


Perbandingan 2 0.37267853 0.18633927 29.38 <.0001
konsentrasi 2 1.23756416 0.61878208 97.58 <.0001
Perbandingan*konsentrasi 4 0.12558609 0.03139652 4.95 0.0072

Lampiran 4. Hasil uji duncan faktor perbandingan terhadap kekuatan gel

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Perbandingan
A 2989.50 9 60 : 40

B 1411.77 9 70 : 30

C 1206.49 9 100 : 0

50
Lampiran 5. Hasil uji duncan faktor konsentrasi terhadap kekuatan gel

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Konsentrasi
A 2568.37 9 5

B 1882.19 9 4

C 1157.20 9 3

Lampiran 6. Uji duncan faktor perbandingan terhadap sineresis

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Perbandingan
A 0.61764 9 60 : 40
A
A 0.59269 9 70 : 30
B 0.35688 9 100 : 0

Lampiran 7. Uji duncan faktor konsentrasi terhadap sineresis

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N konsentrasi
A 0.82325 9 3

B 0.40151 9 4
B
B 0.34245 9 5

51
Lampiran 8. Tabel anova uji susut bobot

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 7 20.84319583 2.97759940 18323.7 <.0001
Error 16 0.00260000 0.00016250
Corrected Total 23 20.84579583

R-Square Coeff Var Root MSE bobot Mean


0.999875 0.178090 0.012748 7.157917

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F


formula 3 4.00091250 1.33363750 8207.00 <.0001
nilam 1 1.06260417 1.06260417 6539.10 <.0001
formula*nilam 3 15.77967917 5.25989306 32368.6 <.0001

Lampiran 9. Uji duncan faktor formula terhadap penguapan zat cair

Means with the same letter


are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N formula
A 7.673333 6 F2

B 7.328333 6 F1

C 7.076667 6 F3

D 6.553333 6 F4

52
Lampiran 10. Uji duncan faktor interaksi komposisi dan konsentrasi terhadap kekuatan gel

Means with the same letter


are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis Gel
A 4581.3 3 60 : 40, 5 %

B 3056.2 3 60 : 40, 4 %

C 1705.0 3 70 : 30, 5 %
C
D C 1425.2 3 70 : 30, 4 %
D C
D C 1418.8 3 100 : 0, 5 %
D C
D C 1331.0 3 60 : 40, 3 %
D
D 1165.2 3 100 : 0, 4 %
D
D 1105.1 3 70 : 30, 3 %
D
D 1035.5 3 100 : 0, 3 %

Lampiran 11. Uji duncan faktor interaksi komposisi dan konsentrasi terhadap sineresis

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Jenis
A 1.00719 3 70 : 30, 3 %

B 0.80551 3 60 : 40, 3 %

C 0.65704 3 100 : 0, 3 %
C
D C 0.52566 3 60 : 40, 4 %
D C
D C 0.52174 3 60 : 40, 5 %
D
D E 0.41246 3 70 : 30, 4 %
E
F E 0.35841 3 70 : 30, 5 %
F
F G 0.26640 3 100 : 0, 4 %
G
G 0.14719 3 100 : 0, 5 %

53
Lampiran 12. Uji Duncan faktor penggunaan minyak nilam terhadapsusut bobot

Means with the same letter


are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N nilam
A 7.368333 12 Tidak

B 6.947500 12 Ya

Lampiran 13. Uji Duncan faktor interaksi formula dan penggunaan minyak nilam terhadap
penguapan zat cair

Means with the same letter


are not significantly different.
Duncan Grouping Mean N Jenis*
A 9.23333 3 F2T

B 7.66667 3 F3N

C 7.35667 3 F1T

D 7.30000 3 F1N

E 6.71000 3 F4N

F 6.48667 3 F3T

G 6.39667 3 F4T

H 6.11333 3 F2N
*T = tanpa minyak nilam, N = dengan minyak nilam

54
Lampiran 14. Tabel anova kekuatan wangi

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 7 0.7767857 0.1109694 0.10 0.9979
Error 104 110.2142857 1.0597527
Corrected Total 111 110.9910714

R-Square Coeff Var Root MSE kekuatanwangi Mean


0.006999 35.91826 1.029443 2.866071

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F


formula 3 0.02678571 0.00892857 0.01 0.9989
nilam 1 0.22321429 0.22321429 0.21 0.6472
formula*nilam 3 0.52678571 0.17559524 0.17 0.9193

55
Lampiran 15. Perubahan bobot gel pengharum ruangan dan penguapan zat cair selama penyimpanan (g)

Sampel* Bobot Sisa Zat Cair yang Menguap Rata-rata


Total Total
H-0 H-7 H-14 H-21 H-7 H-14 H-21 Penguapan Penguapan
F3N 68,22 66,34 64,31 60,56 1,88 2,03 3,75 7,66
68,22 66,36 64,31 60,56 1,86 2,05 3,75 7,66
68,24 66,36 64,29 60,56 1,88 2,07 3,73 7,68 7,67
F3T 70,19 68,39 66,59 63,71 1,80 1,80 2,88 6,48
70,19 68,41 66,61 63,71 1,78 1,80 2,90 6,48
70,19 68,39 66,61 63,69 1,80 1,78 2,92 6,50 6,49
F4N 67,92 65,69 63,66 61,19 2,23 2,03 2,47 6,73
67,90 65,69 63,66 61,21 2,21 2,03 2,45 6,69
67,92 65,69 63,68 61,21 2,23 2,01 2,47 6,71 6,71
F4T 72,17 70,48 68,68 65,78 1,69 1,80 2,90 6,39
72,19 70,48 68,68 65,78 1,71 1,80 2,90 6,41
72,19 70,46 68,68 65,80 1,73 1,78 2,88 6,39 6,40
F1N 70,62 68,35 66,25 63,33 2,27 2,10 2,92 7,29
70,64 68,35 66,25 63,33 2,29 2,10 2,92 7,31
70,64 68,35 66,27 63,34 2,29 2,08 2,93 7,30 7,30
F1T 72,56 70,95 68,70 65,21 1,61 2,25 3,49 7,35
72,56 70,95 68,72 65,21 1,61 2,23 3,51 7,35
72,58 70,97 68,72 65,21 1,61 2,25 3,51 7,37 7,36
F2N 72,71 70,89 69,19 66,59 1,82 1,70 2,60 6,12
72,71 70,89 69,19 66,61 1,82 1,70 2,58 6,10
72,73 70,91 69,19 66,61 1,82 1,72 2,58 6,12 6,11
F2T 76,75 73,30 71,10 67,51 3,45 2,20 3,59 9,24
76,75 73,32 71,10 67,51 3,43 2,22 3,59 9,24
76,75 73,32 71,12 67,53 3,43 2,20 3,59 9,22 9,23
*T = tanpa minyak nilam, N = dengan minyak nilam

56

Вам также может понравиться