Вы находитесь на странице: 1из 17

Makalah DDPP

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN TERPADU

oleh
KELOMPOK DUA (2):
1. AUNIAH AMIRUDDIN(L22116525)
2. MIFTAHUL JANNAH (L22116509)
3. ANDINI RASDIN
4. Siti Adinda Dihar Indahwati Caronge (L223116305)
5. MUAWWANA
6. MOAMMAR FAIZI
7. SUSI SUHARSIH
8. RASDIANA
9. GABRIELLA AUGUSTINE
10. MUH.ACHDIAT

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKSSAR
2016/2017
BAB I

PENDAHULUAN
Tidak ada yang meragukan, fakta fisik menunjukan wilayah pesisir dan lautan
Indonesia dengan luas areal mencakup 5,8 juta km2 kaya dengan beragam sumberdaya
alamnya. Sumberdaya alam tersebut terbagi dua, yaitu : pertama sumberdaya alam yang
dapat diperbaharui (renewable resources), seperti : sumberdaya perikanan (perikanan
tangkap dan budidaya), mangrove dan terumbu karang, dan kedua sumber daya alam yang
tidak dapat diperbaharui (nonrenewable resources), seperti : minyak bumi, gas dan mineral
dan bahan tambang lainnya. Selain menyediakan dua sumberdaya tersebut, wilayah pesisir
Indonesia memiliki berbagai fungsi, seperti : transportasi dan pelabuhan, kawasan industri,
agribisnis dan agroindustri, jasa lingkungan, rekreasi dan pariwisata, serta kawasan
permukiman dan tempat pembuangan limbah.

Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan oleh bangsa Indonesia telah dilakukan
sejak berabad-abad lamanya, sebagai salah satu sumber bahan makanan utama,
khususnya protein hewani. Sementara itu, kekayaan minyak bumi, gas alam dan mineral
lainnya yang terdapat di wilayah ini telah dimanfaatkan untuk menunjang pembangunan
ekonomi nasional sejak awal Pelita I. Dalam kaitannya dengan sumberdaya pesisir dan
lautan, pemerintah dan bangsa Indonesia di era reformasi mulai sadar untuk menjadikan
pembangunan berbasis kelautan menjadi pijakan yang kuat dan strategis. Ini tercermin
dalam GBHN 1999 yang menyatakan bahwa pembangunan perekonomian yang
berorientasi global sesuai kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan komperatif
sebagai negara kelautan dan agraris sesuai kompetensi dan produk unggulan daerah dan
berbasis sumberdaya alam (SDA) dan sumberdaya manusia (SDM). Arti strategis ini
dilandasi empat hipotesa pokok, yaitu :

Pertama, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sebanyak


17.508 pulau (pulau besar dan kecil) dengan kekayaan lautan yang luar biasa besar dan
beragam, maka sudah seharusnya arus utama pembangunan berbasis pesisir dan lautan
akan memberikan manfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan.

Kedua, Semakin meningkatnya kegiatan pembangunan dan jumlah penduduk, serta


semakin menipisnya sumberdaya alam daratan, maka sumberdaya pesisir dan lautan akan
menjadi tumpuan harapan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional di masa
mendatang.

Ketiga, dalam menuju era industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan merupakan prioritas
utama untuk pusat pengembangan industri, pariwisata, agribisnis, agroindustri Strategi
Pengelolaan Wilayah Peisisr dan Lautan Secara Terpadu dan Berkelanjutan 1 pemukiman,
transportasi dan pelabuhan.

Keempat, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah (UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No.
25 Tahun 1999), tentang pemerintah daerah dan tentang perimbangan keuangan antara
Pusat dan Daerah, maka dengan propinsi dengan otonomi terbatas dan kabupaten,
mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan, mengelola dan melindungi wilayah pesisir
dan laut untu sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam batas kewenangan wilayah laut
propinsi 12 mil laut diukur dari garis pantai, dan kewenangan kabupaten sejauh sepertiga
dari kewenangan propinsi. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut oleh daerah tidak terlepas
dari misi dan visi secara nasional dan komitmen bangsa dalam melindungi wilayah pesisir
dan laut, pendekatan pemanfaatan dan konservasi perlu dilakukan dengan kehati-hatian
agar tidak mengurangi peluang generasi yang akan datang juga menikmati kehidupan yang
lebih baik dari sekarang.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Karakteristik Wilayah Pesisir Perikanan

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6/1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah


perairan Indonesia mencakup :

1. Laut territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis
pangkal kepulauan Indonesia,
2. Perairan Kepulauan, adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis
pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai,
3. Perairan Pedalaman adalah semua perairan yang terletak pada sisi darat dari
garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk didalamnya semua
bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup
Wilayah pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi
pengembangan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar
ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli
dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta
tersebut antara lain adalah :

1. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari
penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis
pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan
urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang.
2. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah Kabupaten
berada di pesisir, dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah
otonomi tersebut memiliki kewenangan yang lebih luas dalam pengolahan dan
pemanfaatan wilayah pesisir.
3. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap
pembentuka PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada
wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources)
dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum
dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru
sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.
4. Wilyah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen (exporter)
sekaligus sebagi simpul transportasi laut di Wilayah Asia Pasifik. Hal ini
menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor
industri Indonesia yang tumbuh cepat (4%-9%)
5. Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan
lauatan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan
dengan diketahuinya 60% cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7
juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan di dunia, (c)
pariwisata bahari yang diakui dunia dengan keberadaan 21 spot potensial, dan
(d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai daya
tarik bagi pengembangan kegiatan ecotourism.
6. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut
tropis dunia kerena hamper 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia
terdapat di Indonesia.

B. Pemanfaatan dan Pengelolaan Potensi Pesisir di Daerah

Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang
bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan
di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu karang dan
sebagainya untuk memenuhi kebutukan hidupnya. Pada umumnya potensi pesisir dan
kelautan yang di manfaatkan oleh nelayan terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan
hidup.

Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan


keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian
rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala
besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir.
Pada umumnya usaha ekonomi pemanfaatan daerah pesisir ini bergerak disektor
pariwisata.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk


memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Disamping itu Pemerintah Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini
untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di daerah.

Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang


termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah maka
pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah
Kabupaten atau kota yang berada di pesisir. Jadi belum semua Kabupaten dan Kota
yang memanfaatkan potensi daerah pesisir. Namun demikian hal ini merupakan peluang
dan kesempatan untuk mulai merencanakan semua kegiatan dan konsentrasi
pembangunan mengarah ke kawasan pesisir terutama daerah2 yang tidak terlalu
banyak mempunyai luas daratan termasuk Kota Surabaya.

C. Konsep Pengelolaan Secara Terpadu

Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan


(sustainability) dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sebagai kawasan yang
dimanfaatkan untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah pesisir memiliki
kompleksitas isu, permasalahan, peluang dan tantangan.

Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan wilayah pesisir yaitu:

1. UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan


Ekosistemnya.
2. UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.
3. UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4. UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
5. PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
6. Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung.
7. Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di
Daerah.
8. Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak memenuhi kaidah-kaidah
pembangunan yang berkelanjutan secara signifikan mempengaruhi ekosistemnya.
Kegiatan pembangunan yang ada di kawasan ini akan dapat mempengaruhi
produktivitas sumberdaya akibat proses produksi dan residu, dimana pemanfaatan yang
berbeda dari sumberdaya pesisir kerap menimbulkan konflik yang dapat berdampak
timbal balik. Oleh karena itu pemanfaatan sumberdaya pesisir untuk tujuan
pembangunan nasional akan dapat berhasil jika dikelola secara terpadu (Integrated
Coastal Zone Management, ICZM). Pengalaman membuktikan bahwa pengelolaan
atau pemanfaatan kawasan pesisir secara sektoral tidaklah efektif (Dahuri et. al 1996;
Brown 1997; Cicin-Sain and Knecht 1998; Kay and Alder 1999).

Pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu adalah suatu proses interaktif dan
evolusioner untuk mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan
berkelanjutan. Tujuan akhir dari ICZM bukan hanya untuk mengejar pertumbuhan
ekonomi (economic growth) jangka pendek, melainkan juga menjamin pertumbuhan
ekonomi yang dapat dinikmati secara adil dan proporsional oleh segenap pihak yang
terlibat (stakeholders), dan memelihara daya dukung serta kualitas lingkungan pesisir,
sehingga pembangunan dapat berlangsung secara lestari. Dalam rangka mencapai
tujuan tersebut maka unsur esensial dari ICZM adalah keterpaduan (integration) dan
koordinasi. Setiap kebijakan dan strategi dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir harus
berdasarkan kepada : (1) pemahaman yang baik tentang proses-proses alamiah (eko-
hidrologis) yang berlangsung di kawasan pesisir yang sedang dikelola; (2) kondisi
ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat; dan (3) kebutuhan saat ini dan yang
akan datang terhadap barang dan (produk) dan jasa lingkungan pesisir.

Di dalam proses pengelolaan dilakukan identifikasi dan analisis mengenai berbagai


isu pengelolaan atau pemanfaatan yang ada maupun yang diperkirakan akan muncul
dan kemudian menyusun serta melaksanakan kebijakan dan program aksi untuk
mengatasi isu yang berkembang. Proses pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu
dan berkelanjutan ini paling kurang memiliki empat tahapan utama : (1) penataan dan
perencanaan, (2) formulasi, (3) implementasi, dan (4) evaluasi (Cicin-Sain and Knecht
1998). Pada tahap perencanaan dilakukan pengumpulan dan analisis data guna
mengidentifikasi kendala dan permasalahan, potensi dan peluang pembangunan dan
tantangan. Atas dasar ini, kemudian ditetapkan tujuan dan target pengelolaan atau
pemanfaatan dan kebijakan serta strategi dan pemilihan struktur implementasi untuk
mencapai tujuan tersebut.

Oleh karena tujuan ICZM adalah mewujudkan pembangunan kawasan pesisir secara
berkelanjutan maka keterpaduan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan pesisir
dan laut mencakup empat aspek, yaitu : (a) keterpaduan wilayah/ekologis; (b)
keterpaduan sektor; (c) keterpaduan disiplin ilmu; dan (d) keterpaduan stakeholder.
Dengan kata lain, penetapan komposisi dan laju/tingkat kegiatan pembangunan pesisir
yang optimal akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang dapat dirasakan oleh
segenap stakeholders secara adil dan berkelanjutan. Pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu pada dasarnya merupakan suatu proses yang bersifat siklikal.
Dengan demikian terlihat bahwa pendekatan keterpaduan pengelolaan/pemanfaatan
kawasan pesisir dan laut menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud
one plan dan one management serta tercapai pembangunan yang berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.

Wilayah pesisir dan laut merupakan tatanan ekosistem yang memiliki hubungan sangat
erat dengan daerah lahan atas (upland) baik melalui aliran air sungai, air permukaan
(run off) maupun air tanah (ground water), dan dengan aktivitas manusia. Keterkaitan
tersebut menyebabkan terbentuknya kompleksitas dan kerentanan di wilayah pesisir.

Pengelolaan wilayah pesisir terpadu dinyatakan sebagai proses pemanfaatan


sumberdaya pesisir dan lautan serta ruang dengan mengindahkan aspek konservasi dan
keberlanjutannya. Adapun konteks keterpaduan meliputi dimensi sektor, ekologis, hirarki
pemerintahan, antar bangsa/negara, dan disiplin ilmu (Cicin-Sain and Knecht, 1998; Kay
and Alder, 1999).

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu penting dilakukan mengingat banyaknya


kegiatan-kegiatan yang dapat diimplementasikan, sehingga perlu dirumuskan suatu
konsep penataan ruang (strategic plan) serta berbagai pilihan objek pembangunan yang
serasi. Dalam konteks ini maka keterpaduan pengelolaan wilayah pesisir sekurangnya
mengandung 3 dimensi : sektoral, bidang ilmu dan keterkaitan ekologis.

Keterpaduan secara sektoral di wilayah pesisir berarti diperlukan adanya suatu


kooordinasi tugas, wewenang, dan tanggung jawab antar sektor atau instansi (horizontal
integration); dan antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa/kelurahan,
kecamatan, kabupaten, provinsi sampai pemerintah pusat (vertical integration).
Sedangkan keterpaduan sudut pandang keilmuan mensyaratkan bahwa dalam
pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan atas dasar interdisiplin ilmu
(interdisciplinary approaches), yang melibatkan bidang ilmu ekonomi, ekologi, teknik,
sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Hal ini wajar dilakukan mengingat wilayah
pesisir pada dasarnya terdiri dari sistem sosial dan sistem alam yang terjalin secara
kompleks dan dinamis.

Wilayah pesisir yang tersusun dari berbagai macam ekosistem itu satu sama lain saling
terkait dan tidak berdiri sendiri. Perubahan atau kerusakan yang menimpa suatu
ekosistem akan menimpa pula ekosistem lainnya. Selain itu wilayah pesisir , juga
dipengaruhi oleh kegiatan manusia maupun proses-proses alamiah yang terdapat di
kawasan sekitarnya dan lahan atas (upland areas) maupun laut lepas (oceans). Kondisi
empiris di wilayah pesisir ini mensyaratkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu harus memperhatikan segenap keterkaitan ekologis (ecological
linkages) yang dapat mempengaruhi suatu wilayah pesisir. Nuansa keterpaduan tersebut
perlu diterapkan sejak tahap perencanaan sampai evaluasi mengingat bahwa suatu
pengelolaan terdiri dari 3 tahap utama, yaitu perencanaan, implementasi dan
monitoring/evaluasi.

D. Strategi Pengelolaan Berkelanjutan

Dari batasan di atas jelas bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu
menghendaki adanya kesamaan visi antar stakeholders. Menyadari arti penting visi
pengelolaan itu, maka perlu dipelopori perumusan visi bersama seperti terwujudnya
pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir yang berwawasan lingkungan dan
berkelanjutan yang didukung oleh peningkatan kualitas sumberdaya manusia, penataan
dan penegakan hukum, serta penataan ruang untuk terwujudnya peningkatan
kesejahteraan rakyat. Mengacu pada visi tersebut, maka strategi pengelolaan wilayah
pesisir terpadu dan berkelanjutan harus memperhatikan aspek sumberdaya manusia,
hukum, tata ruang, dan kesejahteraan bersama.

Strategi pengelolaan wilayah pesisir akan difokuskan untuk menangani isu utama yaitu
konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, yang secara simultan juga berkaitan dengan
penanganan isu yang lain. Pemikiran dasar dalam perumusan strategi pengelolaan ini
meliputi keberlanjutan (sustainability), perlindungan dan pelestarian, pengembangan,
pemerataan, dan komunikasi. Dari pemikiran ini, dirumuskan strategi pengelolaan yang
mengakomodasi nilai-nilai, isu-isu, dan visi pengelolaan.
Strategi pengelolaan pesisir yang difokuskan pemanfaatan ruang adalah sebagai
berikut.

1. Identifikasi pengguna ruang dan kebutuhannya.


2. Penyusunan rencana tata ruang pesisir untuk menangani isu konflik
3. Penetapan sempadan pantai dan penanaman mangrove.
4. Pengendalian reklamasi pantai.
5. Pengetatan baku mutu limbah dan manajemen persampahan.
6. Penataan permukiman kumuh.
7. Perbaikan sistem drainase.
8. Penegakan hukum secara konsisten.
Tujuan pengelolaan adalah mengatasi konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir,
sehingga terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan. Adapun target
pengelolaan adalah teratasinya permasalahan turunan dari konflik pemanfaatan
ruang, melalui partisipasi masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah secara
terpadu, yang didukung penegakan hukum secara konsisten, yaitu:

1. Tersusun dan dipatuhinya tata ruang wilayah pesisir ,


2. Terkendalinya reklamasi pantai,
3. Terkendalinya pencemaran perairan,
4. Tertatanya permukiman kumuh,
5. Kembalinya sempadan pantai dan rehabilitasi mangrove,
6. Terkendalinya masalah banjir dan abrasi serta sedimentasi
Salah satu faktor penyubur terjadinya konflik serta mempercepat kerusakan sumberdaya
pesisir adalah lemahnya koordinasi antar lembaga terkait. Untuk mengatasi kondisi
tersebut harus dilakukan peningkatan koordinasi kelembagaan yang melibatkan
dinas/instansi daerah seperti Bappeda/Bappeko, Perikanan dan Kelautan, Pariwisata,
Industri dan Perdagangan, Perhubungan dan kepelabuhan, BPN, dan lain-lain.
Upaya yang harus dilakukan adalah menghilangkan ego sektor dengan penegasan
kembali fungsi dan kewenangan masing-masing dinas/instansi terkait, serta harus ada
selalu diadakan rapat- rapat koordinasi untuk membicarakan berbagai hal yang
menyangkut pengelolaan wilayah pesisir itu sendiri.

Di samping kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif, masyarakat/LSM,


serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat dalam pengelolaan, utamanya pada
tataran perencanaan dan monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu
pengelolaan terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang
menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.

E. Potensi Dan Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Lautan


Suatu kenyataan yang sebenarnya telah kita pahami bersama, jika sumberdaya
pesisir dan lautan memiliki arti penting bagi pembangunan nasional, baik dilihat dari
aspek ekonomi, aspek ekologis, aspek pertahanan dan keamanan, serta aspek
pendidikan dan pelatihan. Salah satu contoh dari aspek ekonomi, total potensi lestari
dari sumber daya perikanan laut Indonesia diperkirakan mencapai 6,7 juta ton per tahun,
masing-masing 4,4 juta ton di perairan teritorial dan perairan nusantara serta 2,3 ton di
perairan ZEE (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002). Sedangkan di kawasan
pesisir, selain kaya akan bahanbahan tambang dan mineral juga berpotensi bagi
pengembangan aktivitas industri, pariwisata, pertanian, permukiman, dan lain
sebagainya. Seluruh nilai ekonomi potensi sumberdaya pesisir dan laut mencapai 82
milyar dollar AS per tahun.
Kenyataannya, kinerja pembangunan bidang kelautan dan perikanan belumlah
optimal, baik ditinjau dari perspektif pendayagunaan potensi yang ada maupun perpektif
pembangunan yang berkelanjutan. Ekosistem pesisir dan lautan yang meliputi sekitar
2/3 dari total wilayah teritorial Indonesia dengan kandungan kekayaan alam yang sangat
besar, kegiatan ekonominya baru mampu menyumbangkan + 20,06% dari total Produk
Domestik Bruto (Kusumastanto, 1998 dalam Rohmin 2001). Padahal negara-negara lain
yang memiliki wilayah dan potensi kelautan yang jauh lebih kecil dari Indonesia (seperti
Norwegia, Thailand, Philipina, dan Jepang), kegiatan ekonomi kelautannya (perikanan,
pertambangan dan energi, pariwisata, perhubungan dan komunikasi, serta industri) telah
memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap PDB mereka, yaitu berkisar 25-60%
per tahun (Rokhmin Dahuri, 2001).
Ini menunjukan bahwa kontribusi kegiatan ekonomi berbasis kelautan masih kecil
dibanding dengan potensi dan peranan sumberdaya pesisir dan lautan yang sedemikian
besarnya, pencapaian hasil pembangunan berbasis kelautan masih jauh dari optimal.
Jika diamati secara seksama, persoalan pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan
selama ini tidak optimal dan berkelanjutan disebabkan oleh faktor-faktor kompleks yang
saling terkait satu sama lain. Faktor-faktor tersebut dapat dikategorikan kedalam faktor
internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kondisi
internal sumberdaya masyarakat pesisir dan nelayan, seperti :

(1) Rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya, teknologi dan manajemen usaha,


Strategi Pengelolaan Wilayah Peisisr dan Lautan Secara Terpadu dan Berkelanjutan
(2) Pola usaha tradisional dan subsisten (hanya cukup memenuhi kehidupan jangka
pendek),
(3) Keterbatasan kemampuan modal usaha,
(4) Kemiskinan dan Keterbelakangan masyarakat pesisir dan nelayan.

Sedangkan Faktor eksternal, yaitu :


1. Kebijakan pembangunan pesisir dan lautan yang lebih berorientasi pada
produktivitas untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, bersifat sektoral,parsial dan
kurang memihak nelayan tradisional,
2. Belum kondisinya kebijakan ekonomi makro (political economy), suku bunga yang
masih tinggi serta belum adanya program kredit lunak yang diperuntukan bagi sektor
kelautan.
3. Kerusakan ekosistem pesisir dan laut karena pencemaran dari wilayah darat, praktek
penangkapan ikan dengan bahan kimia, eksploitasi dan perusakan terumbu karang,
serta penggunaan peralatatan tangkap yang tidak ramah lingkungan,
4. Sistem hukum dan kelembagaan yang belum memadai disertai implementasinya
yang lemah, dan birokrasi yang beretoskerja rendah serta sarat KKN,
5. Perilaku pengusaha yang hanya memburu keuntungan dengan mempertahankan
sistem pemasaran yang mengutungkan pedagang perantara dan pengusaha,
6. Rendahnya kesadaran akan arti penting dan nilai strategis pengelolaan sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan secara terpadu bagi kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Akibatnya potret pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan selama kurun
waktu 32 tahun yang lalu, dicirikan oleh dominan kegiatan yang kurang
mengindahkan aspek kelestarian lingkungan, dan terjadi ketimpangan pemerataan
pendapatan. Pada masa itu, Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan,
sangat diwarnai oleh rezim yang bersifat open acces, sentralistik, seragamisasi,
kurang memperhatikan keragaman biofisik alam dan sosio-kultural masyarakat lokal.
Lebih jauh antara kelompok pelaku komersial (sektor modern) dengan kelompok
usaha kecil dan subsisten (sektor tradisional) kurang sejalan/ sinergi bahkan saling
mematikan.

F. Urgensi Dan Manfaat Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu
(Pwplt)
Seperti yang dijelaskan diatas, banyak faktor persoalan yang menyebabkan tidak
optimal dan berkelanjutan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Namun, kesepakatan
umum mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama adalah perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan yang selama ini dijalankan
bersifat sektoral dan terpilah-pilah. Padahal karakteristik dan alamiah ekosistem pesisir
dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu sama lain termasuk dengan
ekosistem lahan atas, serta beraneka sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat dalam suatu hamparan
ekosistem pesisir, mensyaratkan bahwa pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan
lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan
terpadu dan holostik. Apabilaperencanaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan
lautan tidak dilakukan secara terpadu, maka dikhawatirkan sumberdaya tersebut akan
rusak bahkan punah, sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk menopang
kesinambungan pembangunan nasional dalam mewujudkan bangsa yang maju, adil dan
makmur.
Ditinjau dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan dan status bangsa
Indonesia sebagai negara berkembang, Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan
Lautan secara Terpadu sesungguhnya berada dipersimpangan jalan (at the cross road).
Disatu sisi kita mengahadapi wilayah pesisir yang padat penduduk dengan derap
pembangunan yang intensif dengan pola yang tidak berkelanjutan (unsustainable
development pattern), seperti yang terjadi di Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Bali,
pesisir antara Balikpapan dan Bontang di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan.
Sehingga, indikasinya telah terlampaui daya dukung (potensi lestari) dari ekosistem
pesisir dan lautan, seperti pencemaran, tangkap lebih (overfishing), degradasi fisik
habitat pesisir dan abrasi pantai. Di sisi lain, masih banyak kawasan pesisir dan lautan
Indonesia yang tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya belum optimal, kondisi ini
umumnya dijumpai di Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan daerah luar jawa lainnya yang
belum tersentuh aktivitas pembangunan.
Bertitik tolak pada kondisi tersebut, sudah waktunya ada kebijakan dan strategi
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang dapat
menyeimbangkan pemanfaatan antar wilayah dan tidak mengulangi kesalahan
(kerusakan lingkungan dan inefesiensi), seperti yang terjadi di Kawasan Barat Indonesia
(KBI). Bedasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan
permasalahannya, maka kebijakan pemerintah untuk membangun kawasan pesisir dan
laut secara optimal dan berkelanjutan hanya dilakukan melalui Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT).

G. Keunggulan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu (Pwplt)


Pendekatan PWPLT memiliki keunggulan atau manfaat lebih dibanding dengan
pendekatan pengelolaan secara sektoral, yaitu :
1. PWPLT memberikan kesempatan (opportunity) kepada masyarakat pesisir atau para
pengguna sumberdaya pesisir dan lautan (stakeholder) untuk membangun
sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan, melalui pendekatan secara
terpadu konflik pemanfaatan ruang (property rigth) yang sering terjadi di kawasan
pesisir dapat di atasi.
2. PWPLT melibatkan masyarakat pesisir untuk memberikan aspirasi berupa masukan
terhadap perencanaan pengelolaan kawasan pesisir dan laut baik sekarang maupun
masa depan. Dengan pendekatan ini stakeholder kunci (masyarakat pesisir) dapat
memanfaakan, menjaga sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan.
3. PWPLT menyediakan kerangka (framework) yang dapat merespons segenap
fluktuasi maupun ketidak-menentuan (uncertainties) yang merupakan ciri khas pesisir
dan lautan.
4. PWPLT membantu pemerintah daerah maupun pusat dengan suatu proses yang
dapat menumbuhkembangkan pembangunan ekonomi lokal berbasis sumberdaya
lokal.
5. Meskipun PWPLT memerlukan pengumpulan data dan analisis data serta
perencanaan yang lebih panjang daripada pendekatan sektoral, tetapi secara
keseluruhan akhirnya PWPLT lebih murah ketimbang pendekatan sektoral.

H. Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) memerlukan


informasi tentang potensi pembangunan yang dapat dikembangkan di suatu wilayah
pesisir dan Strategi Pengelolaan Wilayah Peisisr dan Lautan Secara Terpadu dan
Berkelanjutan 4 lautan beserta permasalahan yang ada, baik aktual aupun potensial.
PWPLTpada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan pemanfaatan sumber daya dan
jasa-jasa lingkungan yang terdapat diwilayah ini secara berkelanjutan dan optimal bagi
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, rumusan PWPLT disusun berdasarkan pada
potensi, peluang, permasalahan, kendala dan kondisi aktual yang ada, dengan
memperimbangkan pengaruh lingkungan strategis terhadap pembangunan nasional,
otonomi daerah dan globalisasi. Untuk mengimplementasikan PWPLT pada tataran
praktis (kebijakan dan program) maka ada lima strategi, yaitu :
a. Penerapan Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam PWPLT
b. Mengacu pada Prinsip-prinsip dasar dalam PWPLT
c. Proses Perencanaan PWPLT
d. Elemen dan Struktur PWPLT
e. Penerapan PWPLT dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Dalam strategi pertama, suatu kawasan pembangunan yang berkelanjutan memiliki


empat dimensi, yaitu : ekologis, sosial-ekonomi-budaya, sosial-politik, dan hukum serta
kelembagaan. Dimensi ekologis menggambarkan daya dukung suatu wilayah pesisir
dan lautan (supply capacity) dalam menopang setiap pembanguan dan kehidupan
manusia, sedangkan untuk dimensi ekonomis-sosial dari pembangunan berkelanjutan
mempresentasikan permintaan terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan dimana
manfaat dari pembangunan wilayah pesisir seharusnya untuk meningkatkan
kesejahteraan penduduk lokal sekitar program terutama yang termasuk ekonomi
lemah. Untuk Dimensi Sosial-politik, pembangunan berkelanjutan hanya dapat
dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik demokratis dan transparan, tanpa
kondisi politik semacam ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih
cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya. Penegakan dimensi
Hukum dan kelembagaan, Sistem peraturan dan perundang-undangan yang
berwibawa dan kuat akan mengendalikan setiap orang untuk tidak merusak lingkungan
pesisir dan lautan.
Strategi kedua, Pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir harus mengacu pada
prinsip-prinsip dasar PWPLT, ada 15 prinsip dasar yang sebagian besar mengacu Clark
(1992) yaitu :
1. Wilayah pesisir adalah suatu sistem sumberdaya (resource system) yang unik,
yang memerlukan pendekatan khusus dalam merencanakan dan mengelola
pembangunannya.
2. Air merupakan faktor kekuatan pemersatu utama dalam ekosistem pesisir.
3. Tata ruang daratan dan lautan harus direncanakan dan dikelola secara terpadu.
4. Daerah perbatasan laut dan darat hendaknnya dijadikan faktor utama dalam setiap
program pengelolaan wilayah pesisir
5. Batas suatu wilayah pesisir harus ditetapkan berdasarkan pada isu dan
permasalahan yang hendak dikelola serta bersifat adaptif.
6. Fokus utama dari pegelolaan wilayah pesisir adalah untuk mengkonservasi
sumberdaya milik bersama.
7. Pencegahan kerusakan akibat bencana alam dan konservasi sumberdaya alam
harus dikombinasikan dalam suatu program PWPLT.
8. Semua tingkatan di pemerintahan dalam suatu negara harus diikutsertakan dalam
perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir. Strategi Pengelolaan Wilayah
Peisisr dan Lautan Secara Terpadu dan Berkelanjutan 5
9. Pendekatan pengelolaan yang disesuaikan dengan sifat dan dinamika alam adalah
tepat dalam pembangunan wilayah pesisir.
10. Evaluasi pemanfaatan ekonomi dan sosial dari ekosistem pesisir serta partisipasi
masyarakat lokal dalam program pengelolaan wilayah pesisir.
11. Konservasi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan adalah tujuan dari pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir.
12. Pengelolaan multiguna (multiple uses) sangat tepat digunakan untuk semua sistem
sumberdaya wilayah pesisir.
13. Pemanfaatan multiguna (multiple uses) merupakan kunci keberhasilan dalam
pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan
14. Pengelolaan sumberdaya pesisir secara tradisional harus dihargai.
15. Analisis dampak lingkungan sangat penting bagi pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu.
Strategi ketiga, Proses perencanaan PWPLT pada dasarnya ada tiga langkah
utama, yaitu : (1) Perencanaan, (2) implementasi dan (3) Pemantauan dan
Evaluasi. Secara jelas ketiga langkah utama tersebut diilustrasikan dalam diagram
alur proses perencanaan pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan lautan,
dibawah ini.

Strategi keempat, Agar mekanisme atau proses PWPLT dapat direalisasikan dengan
baik perlu dilengkapi dengan komponen-komponen yang diramu dalam suatu piranti
pengelolaan (management arrangement) sebagai raganya. Pada intinya, piranti
pengelolaan terdiri dari piranti kelembagaan dan alat pengelolaan. Piranti kelembagaan
menyediakan semacam kerangka (frame work) bagi pelaksanaan tugastugas
pengelolaan dan penerapan segenap alat pengelolaan.

Meskipun rancangan dan praktek PWPLT bervariasi dari satu negara ke negara yang
lain, namun dapat disimpulkan bahwa keberhasilan PWPLT memerlukan empat
persyaratan utama, yaitu : (1) kepemimpinan pionir (initial leadership), (2) piranti
kelembagaan, (3) kemapuan teknis (technical capacity), dan (4) alat pengelolaan.
Penerapan keempat persyaratan ini bervariasi dari satu negara dengan negara lain,
bergantung pada kondisi geografi, demografi, sosekbud dan politik.

Strategi kelima, Untuk mengatasi konflik perencanaan pengelolaan pesisir, maka perlu
diubah dari perencanaan sektoral ke perencanaan terpadu yang melibatkan pemerintah
daerah, swasta dan masyarakat terkait di pesisir. Semua instansi sektoral, Pemda dan
stakeholder terkait harus menjustifikasi rencana kegiatan dan manfaat yang akan
diperoleh, serta mengkoordinasi kegiatan tersebut dengan kegiatan sektoral lain yang
sudah mapan secara sinergis. Dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah yang
diantaranya ditandai dengan lahir dan diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang
Pemerintah Daerah, yang di dalamnya mencakup pengaturan kewenangan daerah
dalam mengelola sumber daya kelautan (pesisir dan lautan), diharapkan dapat
membawa angin segar sekaligus menjadi mometum untuk melaksanakan
pembangunan, pendayagunaan, dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan
secara yang lebih baik, optimal, terpadu serta berkelanjutan.

I. Aspek Hukum Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan
yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan
ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan
maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna
pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan
tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta
kesinambungan pembangunan perikanan nasional.

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan


Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea
1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif
Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar
internasional yang berlaku.

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan


perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja,
pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan
kecil, pembudidaya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan
dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat


mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan
datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik
yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber
daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif,
efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati
dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan,
keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan
berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta
masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan
berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan


strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan
sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat
berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakaan
suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang ini lebih memberikan
kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di
bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan
penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang
perikanan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di


sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, juga
dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex
specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi
selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode
penegakan hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum
formil. Untuk menjamin kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan,
maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara
tegas, sehingga dalam Undang-Undang ini rumusan mengenai hukum acara (formil)
bersifat lebih cepat.

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana
di bidang perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan
pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk
di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka pengadilan perikanan
yang telah dibentuk tersebut, baru melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat 2
(dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku. Pengadilan
perikanan tersebut bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak
pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu)
orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc.

Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka Undang-
Undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan:

1. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,


pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang
berkelanjutan;
2. Pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan
pengendaliannya;
3. pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan
antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
4. pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang
berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan
serta pengendalian yang terpadu;
5. pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta
penyuluhan di bidang perikanan;
6. pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana perikanan serta
sistem informasi dan data statistik perikanan;
7. penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran
perikanan, dan kapal perikanan;
8. pembangunan kelautan dan perikanan;
9. pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan
kecil atau pembudidaya-ikan kecil;
10. pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif
Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-
undangan dengan tetap memperhatikan persyaratan atau standar internasional yang
berlaku;
11. pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada di perairan
Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan
pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan internasional sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang
tersedia;
12. pengawasan perikanan;
13. pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang
perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira dan pejabat polisi
negara Republik Indonesia;
14. pembentukan pengadilan perikanan; dan
15. pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.

J. Pengertian Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan yang Berbasis


Masyarakat

Menurut Sain dan Krecth Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T) adalah proses yang dinamis
yang berjalan secara terus menerus, dalam membuat keputusan-keputusan tentang
pemanfaatan, pembangunan dan perlindungan wilayah dan sumberdaya pesisir dan lautan.
Bagian penting dalam pengelolaan terpadu adalah perancangan proses kelembagaan untuk
mencapai harmonisasi dalam cara yang dapat diterima secara politis.

Suatu kegiatan dikatakan keberlanjutan, apabila kegiatan pembangunan secara ekonomis,


ekologis dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti
bahwa suatu kegiatan pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi,
pemeliharaan capital (capital maintenance), dan penggunaan sumberdaya serta investasi
secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud
harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan,
dan konservasi sumber daya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga
diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan. Sementara itu, berkelanjutan
secara sosial politik mensyaratkan bahwa suatu kegiatan pembangunan hendaknya dapat
menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi
masyarakat, pemberdayaan masyarakat (dekratisasi), identitas sosial, dan pengembangan
kelembagaan (Wiyana, 2004).

Pengelolaan berbasisi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu system pengelolaan


sumber daya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat tersebut terlibat secara
aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang terkandung didalamnya
(Nurmalasari, 2001). Di Indonesia pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat
sebenarnya telah ditetapkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan
tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan Negara atas sumber
daya alam khususnya sumber daya pesisir dan lautan diarahkan kepada tercapainya manfaat
yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan juga harus mampu
mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki kehidupan masyarakat pesisir
serta memajukan desa-desa pantai.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup tinggi hanya saja pemanfaatannya


tidak merata baik antar kelompok sumberdaya perikanan yang berbeeda dalam satu
wilayah pengelolaan perikanan, maupun antar kelompok sumberdaya perikanan yang
sama dalam wilayah pengelolaan perikanan yang berbeda sehingga perlu dilakukan
upaya-upaya pengelolaan yang sungguh-sungguh sesuai yang diperintahkan oleh
undang-undang nasional dan peraturan-peraturan internasional.

Pengelolaan sumberdaya perikanan yang dilakukan hendaknya berdasarkan azas


manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan
kelestarian yang berkelanjutan.

Pengelolaan sumberdaya perikanan dilaksanakan bertujuan: meningkatkan taraf hidup


nelayan kecil/pembudidaya ikan skala kecil; medorong perluasan kesempatan kerja,
mencapai pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal; meningkatkan
produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing; meningkatkan ketersediaan dan
konsumsi protein hewani.

Pengelolaan sumberdaya perikanan dapat menjadi efektif dan afisien apabila


melibatkan users dan stakeholders lainnya di dalam proses perencanaan, implementasi,
monitoring, surveillance dan sebagainya.

Model pengelolaan sumberdaya perikanan yang akan dilakukan pada suatu lingkungan
perikanan hendaknya mengacu kepada aspek biologi, aspek fisik, aspek ekonomi,
aspek budaya dan kearifan local.

B. Saran
1. Kepada pemerintah, agar menerapkan dan mensosialisasikan strategi pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, serta
memonitor secara intensif kondisi sumber daya kelautan dan perikanan.
2. Kepada masyarakat agar melaksanakan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
kelautan dan perikanan yang ramah lingkungan dan akan menjaga keberlanjutan
sumber daya itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA

http://id.shvoong.com/exact-sciences/earth-sciences/2165467-pengelolaan-perikanan-
indonesia/ 11 Januari 2012 22:49

www.sdi.kkp.go.id/submenucontent.php?submenuid=87&MenuId=4&MenuName=Teritorial
11 Januari 2012 22:51

Diposkan oleh Herlina Maulina di 19.46


DAFTAR PUSTAKA
Darajati, Wahyuningsih,Dra.,M.Sc. 2004. STRATEGI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DAN LAUTAN SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN. Jakarta : Bappenas

Fabianto, Muhamad Dio.,Pieter Th Berhitu.(2014).KONSEP PENGELOLAAN WILAYAH


PESISIR SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN YANG BERBASIS
MASYARAKAT.Jurnal Teknologi, Vol 11,No.2.

Kusnandar.,Sri Mulyani.(2015). Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berbasis


Ekosistem.Tegal: Universitas Pancasakti Tegal.Vol 9(01)

https://dipertasby.wordpress.com/2014/02/19/pengelolaan-kawasan-pesisir-secara-terpadu-
dan-berkelanjutan-berbasis-masyarakat/

file:///C:/Users/user/Downloads/strategipengelolaanesdal-140917003414-phpapp02.pdf

http://ajmainhalta.blogspot.co.id/2012/11/makalah-tentang-pengelolaan-sumberdaya.html

Вам также может понравиться