Вы находитесь на странице: 1из 11

Review buku mengapa negara gagal

Sudah banyak teori yang mencoba menjawab pertanyaan mengenai asal mula
kesenjangan kemakmuran antar bangsa, antara lain hipotesis geografi, kebudayaan
dan kebodohan. Hipotesis geografi menyatakan bahwa penyebab kesenjangan
adalah kondisi geografis, antara lain iklim tropis menyebabkan penduduknya malas,
penguasanya zalim, dan merupakan sarang penyakit sehingga produktivitas
rendah, atau mempengaruhi keanekaragaman spesies tumbuhan dan hewan yang
dapat mendorong kemajuan. Hipotesis kebudayaan mendasarkan pada perbedaan
antara budaya Eropa, yang memiliki sifat-sifat yang mendorong kemajuan, dan
budaya lainnya yang tidak memiliki sifat tersebut, sedangkan hipotesis kebodohan
mendasarkan pada kesalahan kebijakan yang diambil oleh pemimpin negara-negara
tersebut..

Acemoglu dan Robinson berpendapat lain. Menurut mereka, penyebab utama


kesenjangan adalah institusi politik di masing-masing negara, karena institusi politik
itulah yang akan menentukan institusi ekonomi suatu negara, dan selanjutnya
mempengaruhi kemajuan perekonomiannya..

Tesis dari buku ini sangat sederhana: Institusi ekonomi inklusif akan mendorong
kreativitas dan kemajuan ekonomi suatu bangsa, sebaliknya, institusi ekonomi
ekstraktif akan memiskinkan. Sayangnya, sebagian besar bangsa-bangsa di dunia
ini memiliki institusi ekonomi ekstraktif, sehingga sulit mencapai kemakmuran,
khususnya tidak dapat mengambil manfaat ketika terjadi revolusi industri..
Sementara itu Inggris dapat menjadi pelopor revolusi industri karena telah memiliki
institusi politik yang inklusif, yang telah dimulai dengan adanya Magna Charta pada
tahun 1490.

Penulis mendefinisikan institusi ekonomi inklusif sebagai sistem yang


memungkinkan adanya jaminan kepemilikan atas asset dan properti serta adanya
peluang ekonomi yang merata bagi seluruh masyarakat..Hal ini hanya dapat terjadi
apabila terdapat kepastian hukum, pelayanan publik, dan kebebasan mengikat
kontrak. Oleh karena itu institusi ekonomi tergantung kepada institusi politik, karena
penegakan hukum dan penyediaan pelayanan publik merupakan tugas negara. Dan
institusi politik yang dapat mendukung institusi ekonomi inklusif adalah sistem yang
bersifat demokratis atau yang memungkinkan adanya partisipasi masyarakat luas
dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, sehingga
masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap pemimpin atau pemerintahnya,
serta mencegah terjadinya penindasan, yang merupakan ciri dari negara yang
memiliki institusi ekonomi ekstraktif
Menurut penulis, revolusi industri terjadi di Inggris karena adanya satu episode
sejarah dan perbedaan kecil. Wabah pes pada tahun 1348 membuat jumlah petani
jauh berkurang, sehingga mereka berani menuntut perlakuan yang lebih baik dari
para bangsawan tuan tanah, bahkan melakukan pemberontakan pada tahun 1381.
Meskipun pemberontakan tersebut gagal, namun keadaan telah berubah, karena
para petani mendapat perlakuan lebih baik sehingga lambat laun sistem feudal
lenyap. Wabah pes di Eropa Timur juga menimbulkan kelangkaan tenaga kerja,
namun tuan tanah disana melakukan penindasan lebih kejam sehingga para petani
semakin miskin dan institusi ekonomi ekstraktif terus bertahan selama berabad-
abad.

Inggris dapat melahirkan revolusi industri karena pada abad 17 telah memiliki
institusi ekonomi inklusif. Namun hal tersebut tidak muncul begitu saja, melainkan
melalui berbagai tahap yang cukup rumit, antara lain Perang Saudara Inggris dan
Glorious Revolution pada tahun 1688. Pemberontakan tersebut mengurangi
kekuasaan raja dan memberi wewenang parlemen Inggris untuk menentukan
struktur ekonomi. Setelah revolusi, pemerintah menjamin hak kepemilikan atas
asset dan properti, hak paten, dan membangun berbagai infrastruktur seperti jalan
raya, kanal dan kereta api. Selain itu pungutan pajak secara semena-mena dan
monopoli dihapuskan. Hal ini mendorong inovasi dan perkembangan teknologi.

Keadaan di atas tidak terjadi di negara-negara Eropa lainnya dimana monarki masih
berkuasa penuh, misalnya di Spanyol dan Prancis. Sementara itu di Eropa Timur,
bahkan sampai dengan tahun 1800 institusi ekonomi politik masih bersifat
ekstraktif, karena para tuan tanah masih menerapkan sistem serfdom atau
perbudakan terhadap para petani. Perbedaan kecil pada abad 14 yaitu lebih
kuatnya petani dan buruh di Eropa Barat dari pada di Eropa Timur mengakibatkan
persitiwa wabah pes menghasilkan hal yang berbeda pada abad 17, 18 dan 19:
yaitu lenyapnya feodalisme di Eropa Barat dan penindasan kedua di Eropa Timur.

Sepanjang sejarah, institusi ekonomi ekstraktif terdapat pada banyak negara.


Sistem ini juga dapat menghasilkan pertumbuhan dan kemakmuran, meskipun
bersifat sementara, asalkan terdapat sentralisasi politik, yang memungkinkan
negara menegakkan ketertiban umum. Dalam sistem ini penguasa menentukan
alokasi sumber daya dengan menindas rakyat yang hasilnya digunakan untuk
memicu pertumbuhan serta memakmurkan pihak-pihak di lingkaran kekuasaan.
Misalnya, di Karibia para elite mendorong produksi gula dengan menindas budak,
sedangkan di Uni Soviet pemerintah mendorong pertumbuhan industri dengan
merelokasi sumber daya agrikultur. Namun pertumbuhan tersebut akan terbatas
masanya, karena tanpa adanya penghancuran kreatif munculnya kelompok baru
yang mampu meraih kemakmuran tetapi berpotensi mengurangi kemakmuran dan
hak-hak istimewa kelompok elite - dan inovasi, pertumbuhan ekonomi akan
terhenti, sebagaimana terjadi di Uni Soviet. Selain itu, terkonsentrasinya
kemakmuran hanya pada segelintir elite penguasa menimbulkan keinginan pihak
lain melakukan kekerasan untuk merebut kekayaan tersebut. Hal ini banyak terjadi
pada negara-negara Afrika, dimana sebagian besar para pemimpinnya melakukan
penindasan dan pemerasan terhadap rakyatnya, bahkan melebihi kaum penjajah,
sehingga sering terjadi perang saudara untuk memperebutkan sumber daya
sementara rakyat semakin miskin.

Pemerintahan yang bersifat absolut pada umumnya memiliki institusi ekonomi yang
bersifat ekstraktif, yang sifatnya selain menindas rakyat juga menolak teknologi
baru, sehingga menghambat kemajuan dan kemakmuran. Hal ini dapat dilihat
antara lain pada sejarah kekaisarann Ottoman (Turki), Spanyol, Austria-Hungaria,
Rusia, Cina, Etiopia, dan Somalia. Kekaisaran Ottoman melarang penggunaan mesin
cetak sejak tahun 1485 (tahun 1460 sudah ada percetakan di Prancis), dan
percetakan baru diizinkan berdiri tahun 1727. Namun buku yang akan dicetak harus
melalui sensor ketat, antara lain diperiksa dulu oleh para ahli hukum syariah, hakim
dan ulama.Tidak mengherankan sebuah percetakan yang sempat berdiri akhirnya
tutup pada tahun 1797 setelah mencoba bertahan selama 45 tahun dan
menerbitkan hanya 24 buku, dan tingkat buta huruf mencapai 98%. Sementara itu
di Rusia satu persen kelompok ningrat menguasai petani dan pekerja dengan
penindasan, sedangkan di Spanyol kerajaan memonopoli perdagangan, tidak
melindungi hak rakyat atas kekayaan,dan menghalangi masuknya teknologi baru.
Demikian pula kekaisaran Habsburg dan Rusia, keduanya melestarikan feodalisme,
menghambat industrialisasi dan memonopoli perdagangan. Sedangkan Cina
melarang perdagangan internasional dan pelayaran sejak tahun 1436. Namun
negara yang institusi ekonominya paling ekstraktif adalah Etiopia, dimana raja
sangat berkuasa, sehingga semua tanah adalah miliknya dan dapat diambil
sewaktu-waktu dari rakyat yang sedang menggarap tanah tersebut, dan ketika
muncul bangsa Eropa yang mencari budak, kerajaan langsung memonopoli bisnis
tersebut serta menindas rakyat lebih kejam.

Kedua penulis juga menguraikan mengenai hal-hal yang membuat kondisi koloni
Eropa di Amerika dan Australia berbeda dengan wilayah koloni lainnya. Mengapa di
kedua wilayah tersebut, muncul institusi ekonomi yang inklusif sedangkan di
wilayah lain tidak? Apakah karena mereka bangsa kulit putih juga? Tidak. Hal
tersebut karena jumlah penduduk asli di kedua wilayah tersebut sangat sedikit,
sehingga tidak dapat dieksploitasi, karena itu penduduk kulit putih yang menghuni
kedua koloni tersebut harus bersusah payah membangun institusi ekonomi yang
inklusif. Sementara itu di wilayah lain yang banyak penduduknya, penjajah dapat
menciptakan institusi ekstraktif yang sama sekali baru atau mengambil alih yang
telah ada (misalnya kerajaan lokal) untuk mengeruk kekayaan alam dan
memiskinkan rakyatnya (penduduk asli), misalnya yang terjadi di Maluku.
Kesimpulannya, bangsa-bangsa yang memiliki pemerintahan bersifat absolut tidak
memiliki institusi politik yang dapat mengontrol perilaku para pemimpinnya,
sehingga institusi ekonominya akan bersifat ekstraktif, yang mengakibatkan
kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elit, memiskinkan dan menindas rakyat,
menciptakan kekerasan karena perebutan kekuasaan (dan kekayaan) dan
pengurasan sumber daya (alam) suatu negara.

Memang, apabila kita meneliti sejarah bangsa-bangsa, hal ini terlihat sangat jelas,
di Afrika misalnya, dimana hampir seluruh pemerintahnya bersifat korup dan
menindas rakyat, demikian pula pada banyak negara Asia. Di negara-negara ini
tingkat kepercayaan antar warga sangat rendah dan korupsi sangat tinggi. Tidak
beda jauh dengan Indonesia, dimana sangat sulit menemukan orang yang dapat
dipercaya atau memiliki integritas. Berdasarkan kenyataan ini, teori Acemoglu dan
Robinson masih belum dapat menjawab pertanyaan mendasar: mengapa begitu
banyak bangsa yang demikian sulit untuk membentuk institusi politik ekonomi yang
inklusif? Apakah karena bangsa-bangsa tersebut rakyatnya memang demikian
lemah, atau pada dasarnya juga memiliki sifat korup, yang tercermin dari para
pemimpin/pemerintahnya? Mengapa sampai kini pemimpin bangsa-bangsa Afrika
jauh lebih ekstraktif dari pada Asia? Apakah karena rakyat Afrika jauh lebih lemah
dari Asia? Mengapa kudeta dan perang saudara lebih mudah terjadi di Afrika dari
pada di Asia? Mengapa bangsa Eropa Barat dapat mencapai revolusi yang
memungkinkan tahap dimilikinya institusi politk ekonomi inklusif, sedangkan
banyak bangsa lain tidak, bahkan meskipun telah didorong dengan adanya tekanan
internasional?

Mengapa Negara Gagal memberikan cukup banyak informasi dan sejarah yang
menarik untuk direnungkan. Guns, Germs and Steel - yang banyak dikritik kedua
penulis memberikan teori tentang asal mula kesenjangan kemakmuran antar
bangsa yang terjadi di masa awal peradaban. Acemoglu dan Robinson mencoba
menerangkan kondisi di masa kini. Namun, masih ada banyak hal yang memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk menjawab pertanyaan di atas dengan memuaskan.
Resensi Buku: Why Nations Fail

M.Ishak, Wednesday, 18 June 2014

Setelah melakukan riset selama 15 tahun, Daron Acemoglu, memberikan satu


kesimpulan bahwa penyebab kemajuan ekonomi suatu negara tidak ditentukan oleh
faktor geografis dan faktor iklim. Kemajuan suatu ekonomi juga tidak ditentukan
oleh nilai dan etika yang diadopsi oleh suatu negara. Akan tetapi kemajuan tersebut
ditentukan oleh desain institusi politik dan ekonominya.

Kesimpulan Professor dari IMT ini, membantah hipotesis sejumlah pemikir klasik
seperti James Diamond dan Sach, yang menyatakan faktor georafis menjadi
penyebab ketimpangan ekonomi suatu negara dengan negara lain. Ketimpangan
ekonomi antara Meksiko dan AS, Jerman Timur dan Jerman Barat sebelum akhirnya
bersatu, dan Korea Selatan dan Korea Utara, merupakan bukti bahwa kekayaan
negara tidak ditentukan oleh faktor geografis, namun karena faktor institusi politik.

Penulis juga membantah teori yang diwacanakan oleh sosilogis Jerman, Max Weber
(2002) yang menyatakan bahwa kebangkitan industri modern di Eropa Barat
merupakan merupakan buah dari etika Protestan pasca reformasi, atau pandangan
Landes (1999) yang berpendapat bahwa negara-negara Eropa Barat maju berkat
kultur yang unik yang mendorong mereka untuk bekerja keras dan inovatif.
Amerika Serikat dan Kanada merupakan dua bekas negara jajahan Inggris sama
seperti Sierra Leone dan Nigeria. Namun kedua negara pertama mampu menjadi
negara besar sementara dua negara berikutnya, masih berkutat sebagai negara
berkembang. Bahkan menurutnya, berbagai etika yang muncul seperti semangat
gotong royong merupakan hasil dari penerapan dari sebuah institusi dan tidak
berdiri sendiri. Dengan demikian, menurutnya, keyakininan, dan nilai-nilai dan etika
tidak dapat menentukan kemajuan suata negara.

Dalam teori First Welfare Theorem, disebutkan bahwa pasar ekonomi berasal dari
sudut pandang tertentu. Tidak adanya kebebasan dalam produksi, jual beli barang
dan jasa, akan menghasilkan kegagalan pasar. Kondisi inilah yang menjadi dasar
dari teori ketimpangan dunia. Negara kaya menjadi kaya karena mereka
menerapkan kebijakan terbaik dan sukses mengeliminasi kegagalan pasar tersebut.
Sebaliknya, negara miskin terjadi akibat penguasanya memilih kebijakan
menciptakan kemiskinan.

Teori yang dikembangkan oleh penulis adalah perekonomian suatu negara akan
maju jika menerapkan ekonomi inklusif, sebaliknya, negara akan menjadi miskin
jika menerapkan ekoniomi ekstraktif. Penentu dari pilihan tersebut kembali kepada
institusi politik yang menjadi operator dari kebijakan-ekebijakan ekonomi yang
diambil. Sebuah negara disebut memiliki institusi politik ekstraktif jika desain
kebijakan ekonominya berorientasi untuk memperkaya elit dengan berupaya
mempertahankan kekuasannya meskipun mengorbankan rakyatnya.

Ekonomi inklusif dicirikan dengan institusi yang mendorong property right,


menciptakan level playing field dan mendorong investasi pada teknologi dan skill
akan mempu mendorong pertumbuhan ekonomi. Ini berbeda dengan institusi
ekonomi ekstraktif yang menyedot sumber ekonomi dari banyak orang untuk hanya
segelintir orang dan gagal memberikan insentif pada kegiatan ekonomi.

Pemerintahan yang ekstratif (extractice institution) akan menjadi lingkaran setan


dari kondisi suatu negara yang secara permanen akan mengakibatkan ketimpangan
ekonomi suatu negara. Namun demikian lingkaran setan tersebut dapat diputus jika
ada faktor-faktor yang saling mendukung, terutama oleh kondisi kritis, yang
memaksa terjadinya suatu perubahan. Contoh hal ini adalah Revolusi Prancis,
Revolusi Inggris dan Restorasi Meiji di Jepang.

Namun demikian, meskipun institusi yang bersifat ekstraktif juga berupaya untuk
mencapai pertumbuhan yang tinggi, namun kondisinya tidak akan bertahan lama.
Alasannya, pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan mensyaratkan adanya
kreatifitas sementara kreatifitas berpotensi menjadi bola liar yang menggerus
eksistensi dari kekuasaan. Selain itu, institusi ekonomi yang bersifat ekstraktif akan
mendorong rasa iri dari pihak-pihak oposisi sehingga mereka berupaya baik secara
kelompok ataupun individual untuk memperebutkannnya yang kemudian
berdampak pada instabilitas politik.

Dengan kerangka teori yang dibangun, penulis memprediksi bahwa eksistensi


Perekonomian China yang kini tumbuh manakjubkan, secara perlahan akan
mengalami penciutan. Pasalnya, dominasi partai Komunis yang dipandang sebagai
rezim ekstraktif telah menghalangi kegiatan ekonomi yang kreatif dan inovatif
terkecuali jika negara tersebut melakukan reformasi politik secara ekstrim. Namun
demikian, penulis memprediksi dalam beberapa dekade elit Partai Komunis masih
akan terus mempertahankan dominasi mereka.

Buku ini juga mengkritik pendekatan sejumlah lembaga multilateral seperti IMF,
gagal dalam mengobati perekonomian negara-negara yang menjadi pasiennya,
terlepas benar tidaknya resep yang mereka tawarkan. Hal ini karena hanya fokus
untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan mereka mereka tidak memahami
terlebih konteks kebijakan institusi politik yang buruk di negara -negara tersebut.

Meskipun demikian, buku ini tidak cukup kritis dalam menjelaskan apa yang
dimaksud dengan negara-negara yang masuk kategori sukses sebagai lawan dari
negara yang dianggapnya gagal. Negara-negara sukses tersebut hanya dilihat dari
aspek pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan secara agregat. Dalam
kenyataannya, ketimpangan ekonomi antara penduduk seperti di AS, kerentanan
sistem finansial AS dan Uni eropa terhadap krisis, yang menciptakan pengangguran
massal tidak mendapatkan pembahasan yang memadai. Padahal kesuksesan
sebuah sistem ekonomi adalah kemampuannya untuk men-delivery kebijakan
hingga mampu mensejahterahkan penduduknya secara berkelanjutan dalam
hitungan individu dan bukan secaraq agregat. []
Mengapa Negara Gagal: Jalinan Ekonomi dan Politik

01 Mei 2014 04:49:39

Diperbarui : 23 Juni 2015 22:59:43

Menarik membaca buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and
Poverty, karangan Daron Acemoglu (ekonom MIT) dan James A. Robinson (pakar
pemerintahan Harvard University). Buku ini diterbitkan oleh Crown Business, New
York, 2012, setebal 529 halaman.

Why Nations Fail (Mengapa Negara Gagal) memberikan kontribusi menarik untuk
menjawab pertanyaan klasik mengapa sebuah negara dikategorikan miskin
sementara negara lain dikenal sebagai negara kaya. Analisis diperkaya dengan
pesan-pesan positif untuk menciptakan kelembagaan (baca: kebijakan ekonomi)
yang lebih baik dan mengurangi kemiskinan.

Tesis utama para penulis berinjak pada suatu negara gagal disebabkan
kelembagaan ekonomi ekstratif yang memberikan insentif yang dibutuhkan bagi
tiap orang untuk menjamin, berkarya, dan melakukan inovasi. Kelembagaan
ekonomi ekstratif ini dijalankan oleh segelintir elit yang menguras sumber daya
negara untuk kepentingan sendiri, dan hanya menyisakan sedikit hasil untuk
kepentingan rakyat. Selanjutnya, kelembagaan politik ekstratif mendukung eksisnya
kebijakan ekonomi itu dengan meneguhkan kekuasaan absolut para elit.

Oleh kedua penulis, politik maupun ekonomi yang bercirikan ekstratif itu diuraikan
secara detail dan berlangsung dalam lingkungan yang berbeda-beda, yang selalu
merupakan akar dari kegagalan negara. Bahkan, kata penulis, alasan lain mengapa
suatu bangsa gagal karena kegagalan negara mereka sendiri. Hal ini terjadi sebagai
konsekuensi berpuluh-puluh tahun pemerintahan yang memuja kelembagaan
ekstratif. Menurut para pengarang, suatu kelembagaan inklusif, pada lain pihak,
akan menyedikan kesempatan setara diantara semua warganegara di suatu negara
untuk menuju kesejahteraan yang lebih luas dan berkelanjutan. Lebih lanjut
dikatakan, kelembagaan inklusif berhubungan dengan perkembangan siklus
kebajikan, yang mana siklus seperti itu merupakan tipikal dari kelembagaan inklusif.

Buku Why Nations Fail merupakan penulisan bagus dengan uraian persuasif dan
membangkitkan minat akan kejadian di paruh melenium kehidupan umat manusia.
Menurut saya, nilai terpenting dari sumbangan buku ini adalah narasi menurut
sudut pandang anti elit, anti rasis, dan anti colonial.Juga uraian mengenai tahapan
pemberdayaan untuk keluar dari kelembagaan ekstratif untuk memaksa para elit
menciptakan kelembagaan yang lebih plural. Pandangan yang lebih teoritis
dibandingkan praktik juga berharga, yang berurutan secara terbatas dalam uraian
buku ini.

Perhatian utama akan melibatkan konsep pasar inklusif, di bawah payung besar
yang dinamakan kelembagaan inklusif. Sekalipun tak ada bagian dalam buku ini
yang menguraiakan definisi operasional mengenai kelembagaan tersebut, mudah
saja untuk menentukan ciri-ciri penting dari pasar inklusif tersebut: rule of law, hak-
hak kepemilikan, sistem paten, stabilitas makro ekonomi, destruksi kreatif, dan
insentif untuk mendorong inovasi. Sebenarnya formulasi kebijakan semacam itu
sudah mengalami kegagalan di bawah payung kelembagaan ekonomi baru (new
economic institution).

Pemikiran ini berjalin kelindan dengan paham neoklasik, yang hampir mengemuka
dalam setiap kajian ekonomi. Kedua pemikiran itu telah ditelanjangi habis-habisan
(misalnya dalam karangan Ha-Joon Chang, 2007) saat gagal mengantisipasi krisis
ekonomi global periode 2007-2008 lampau.

Pemikiran Acemoglu dan Robinson mengenai pasar inklusif dekat dengan


kesetaraan kesempatan, tetapi melupakan ketersediaan sumber daya yang tidak
seimbang. Ketidakseimbangan itu akan selalu ada baik dalam kelembagaan inklusif
maupun pasar inklusif, karena hanya akan menguntungkan (secara ekonomi, politik,
sosial, maupun cultural) bagi kelompok tertentu dalam masyarakat.

Bisa jadi kelompok masyarakat tertentu akan memangkas hasil-hasil positif dari
pengembangan kelembagaan, sementara kalangan yang tidak beruntung tetap saja
merana akibat kesulitan pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
Dengan demikian bisa saja dikatakan adanya scenario asimetris yang akan merusak
makna penting pembangunan untuk masyarakat secara keseluruhan dan juga
memperburuk ketidakseimbangan sumber daya dalam siklus yang tidak
berkesudahan. Bahkan gagasan kebebasan untuk semua acapkali justru
mendorong terbentuknya ketidakseimbangan sumber daya itu sendiri.

Scenario itu akan melibatkan masyarakat, di mana sejumlah orang atau entitas
akan memulai dengan kekuasaan yang justru akan menghancurkan impian para
penulis karena munculnya 2 hal: elitism dan otoritarianisme. Dewasa ini,
ketidaksetaraan di Afrika Selatan semakin buruk sejak diakhirnya politik apartheid,
termasuk ketidaksetaraan diantara kelompok etnis (Leibbrandt, et. al., 2010).
Implementasi demokrasi , dihapuskannya sanksi bagi pelaku apartheid, dan
pelaksanaan pasar inklusif hanya sedikit saja menghasilkan situasi positif bagi
sebagian masyarakat sejak tahun 1994. Terang tidak akan menjadi perdebatan
untuk memahami bahwa munculnya kelompok-kelompok penguasa sumber daya
baru, ditambah dengan situasi politik baru, telah memberikan keuntungan bagi
pelaksanaan kelembagaan tersebut. Buku ini akan menjanjikan keuntungan besar
dalam pembahasan hasil-hasil semacam itu yang sesungguhnya jauh dari aspirasi
yang diharapkan.

Dalam buku ini juga ada penjelasan yang meragukan mengenai faktor-faktor
pembangunan komparatif. Sekalipun disadari tidak ada satu pun konsep tunggal
yang mampu menerangkan segala hal, tetapi mestinya para penulis memiliki
tanggung jawab untuk menguraikan isu-isu yang relevan. Pertama-tama dengan
mengklarifikasi dan menguji kepentingan mereka dengan fokus kepada faktor-faktor
tertentu. Selanjutnya, para penulis mestinya dapat menyingkirkan faktor-faktor
yang tidak relevan dengan analisis.

Acemoglu dan Rabinson nampaknya melakukan kedua hal sekaligus, tetapi dalam
uraian yang terbatas.Seperti sudah ditulis, mereka menunjuk faktor geografi,
kebudayaan, dan aneka rupa teori modernisasi. Bahkan mereka mengaku peran
penting kolonialisme, perbudakan, rasisme, transisi kritis, dan kontigensi.

Uraian tentang ketidaksetaraan efek industrialisasi, ketimpangan sebagai faktor


pendorong, menjadi tidak memuaskan. Parahnya, penulis juga tidak
memperhitungkan situasi pasca colonial, seperti perang dingin, maupun rasisme
berdasarkan warna kulit yang telah berlangsung selama ini. Penjelasan berikutnya
menyangkut relasi antara kemiskinan dan kemakmuran suatu bangsa dewasa ini
merupakan sesuatu yang buruk, tetapi, globalisasi sekarang ini berlangsung dengan
rasis. Proses globalisasi itu sesungguhnya berakar dari kolonialisme barat dan
perdagangan budak akibat perbedaan warna kulit (Lihat Kelliciougle, 2010).

Masih menunjukkan ketimpangan serupa, buku ini juga secara serius mengabaikan
peran negara dan institusi internasional yang begitu digdaya, seperti IMF, WTO,
Bank Dunia, dan korporasi multinasional. Capaian pengembangan kelembagaan
yang disajikan dalam buku ini (dalam tingkatan domestic dan makro) sesungguhnya
dipengaruhi oleh konfigurasi internasional, sesuatu yang nyaris tidak dibahas dalam
buku ini.

Perusahaan multinasional, yang kadang jauh lebih berkuasa dibandingkan


pemerintahan negara tempat beroperasinya, menguasai hukum internasional, akses
informasi, dan mempengaruhi ekonomi, termasuk desain kebijakan suatu negara
dan sector bisnis.

Lihat saja situasi buruk di Zimbabwe yang banyak dibicarakan dalam buku ini,
kekejaman pemerintah colonial Inggris dan pengaruh Bank Duni dalam decade
1990-an, mestinya menjadi uraian pelengkap di samping analisis mengenai kritik
terhadap kepemimpinan Robert Mugabe dan kroni-kroninya.

Selanjutnya, ada suatu bangsa yang dikategorikan memiliki kelembagaan inkulisif


tetap saja mempertahankan semangat ekstratif dibandingkan dengan negara lain.
Supaya adil, sebuah contoh dikemukakan dalam buku ini: kasus intervensi Irak
tahun 2003. Malangnya, titik perhatian terhadap fakta itu tidak disampaikan hingga
akhir analisis. Kekacuan internasional seperti itu merusak pengembangan
kelembagaan. Semangat pemburu rente oleh aktor-aktor internasional telah
memunculkan ketidakseimbangan kekuasaan yang tidak tergantung kepada pilihan
kelembagaan itu sendiri.

Satu hal lagi yang dilalainkan dalam buku ini: preseden kelembagaan. Secara
panjang lebar, para penulis berujar mengenai sulitnya mengembangan
kelembagaan inklusif, dengan menunjuk pada kasus Revolusi Inggris tahun 1677
yang menjadi titik balik bagi kemunculan kelembagaan inklusif.

Sekalipun dua pernyataan itu dapat disetujui namun masuk akal untuk dikatakan
bahwa pengembangan kelembagaan di Barat akan tertunda, sekalipun telah
muncul, karena tetap mempertahankan kebijakan ekonomi ekstratif seiring dengan
perampasan dan penjajahan yang kejam di seluruh dunia sejak akhir abad ke-15.
Dalam kasus seperti itu, analisis keseluruhan harus ditinjau ulang secara mendasar,
karena dorongan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan semangat
membangun kelembagaan.

Namun demikian, buku ini tetap merupakan bacaan yang bagus, menampilkan
naratif komplet mengenai sejarah ekonomi dunia hingga dewasa ini. Malangnya,
hanya sedikit saja hal yang dapat dijawab dari pertanyaan Why Nations Fail.

Вам также может понравиться